You are on page 1of 9

ISLAM LIBERAL 101 Kode 101 adalah kode yang biasa dipergunakan sebagai kode matakuliah dasar di perguruan

tinggi. Jadi buku karya Akmal Syafril yang alumnus Sipil ITB ini cocok buat orang awam yang belum tahu tentang Islam Liberal. Ghazwul Fikriy Ghazwul Fikriy, secara sederhana, diterjemahkan sebagai perang pemikiran. Dari masa ke masa, ghawul fikriy antara pendukung kebenaran dan penentangnya terus terjadi dari masa nabi hingga kini. Nabi Ibrahim tanpa sepengetahuan orang menghancurkan berhala-berhala kecuali berhala yang paling besar. Orang-orang langsung mencurigainya, karena sebelumnya ia sudah sering mencemooh berhala-berhala kaumnya. Al-Quran pun merekam jawaban Nabi Ibrahim as yang mengguncangkan akal pikiran mereka itu. Mereka bertanya, Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim? Ibrahim menjawab,Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara (QS Al-Anbiyaa *21+: 62-63) Benar-benar serba salah mereka dibuatnya. Pada waktu lain, Nabi Ibrahim as berhadapan bukan dengan rakyat jelata, melainkan dengan seorang penguasa zalim. Seperti diceritakan pada [QS Al-Baqarah [2]:258). Apakah kamu tidak memerhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kekuasaan pada orang itu? Ketika Ibrahim mengatakan, Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Mematikan. Orang itu berkata, Saya daapat menghidupkan dan mematika. Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat. Lalu, terdiamlah orang kafir itu dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Pada masa kini dalam ghazwul fikriy, sering kali bukan akal atau argumen ilmiah yang dipergunakan untuk menundukan lawan, melainkan emosi yang dipermainkan agar akal menjadi sesat, kehilangan pegangan, atau salah mengerti. Kalau sudah kehabisan argumen,ada kalanya para dai difitnah dengan segala cara agar orang melupakan inti persoalannya. Ketika didebat, mereka bilang lawan debatnya tidak mnghargai perbedaan. Ketika argumennya dibantah dengan dalil AlQuran atau Al-Hadits, mereka bilang pendapatnya adalah ijtihad (padahal ijtihad tidak dibuat jika ada tuntunan yang jelas dari kedua referensi utama tersebut). Ketika ditegaskan bahwa Islam tidak sama dengan agama-agama lain, tiba-tiba kita dituduh hendak membasmi agama-agama tersebut. Proyek iblis Keadaannya sekarang adalah Islam liberal selalu memperdebatkan (ghazwul fikriy) ini merupakan proyek iblis. Iblis selalu menggoda manusia dan membiaskan hala yang haq dan bathil. Seperti terjadi pada pertama kali manusia diciptakan yaitu Nabi Adam as yang ketika di surga digoda untuk melanggar aturan Allah seperti pada QS AL-Araaf *7+: 20)

Maka setan membisikan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkat, Tuhanmu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga). Iblis pasti tahu bahayanya kesombongan. Manusia-manusia pengekornya pun kemungkinan besar tahu juga. Mereka hanya tidak mampu menolak daya tariknya. Dengan kesombongan inilah, angkatan perang Iblis dibangun dan dipersenjatai. KAKI TANGAN IBLIS Dari masa-masa, ada saja orang yang meniru Iblis. Mereka tahu kebenaran, tetapi tetap membangkang. Seperti Iblis juga, penolakannya muncul karena kesombongan dalam hatinya. Orangorang seperti ini tak kan berguna meski diseru dengan cara apa pun. Itulah kekafiran yang nyata, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Bagi mereka siksa yang amat berat. Diantara manusia-manusia terkafir dan terzalim yang pernah ada, Firaun mendapat tempat yang sangat spesial di dalam Al-Quran. Sebagaimana Iblis, Firaun pun memiliki sebuah megaproyek memperbudak sebuah bangsa. Jika Iblis sampai hilang akal ketika disuruh bersujud kepada Nabi Adam as, maka Firaun pun blingsatan menghadapi ancaman dari populasi Bani Israil. Sebegitu paniknya ia, sampai-sampai seluruh anak laki-laki dari Bani Israil dibantai, sedangkan anak-anak perempuannya dibiarkan hidup. Berbicara tentang Iblis dan kaki tangannya, haruslah senantiasa dilakukan dengan mengingat kesombongannya sebagai masalah yang paling mendasar. Kaki tangan Iblis pun tidak jauh beda dalam masalah kesombongan ini. Sebagian di antara mereka mengikuti pemikiran kaum sekuler Barat yang menganggap agama telah ketinggalan zaman; sekadar cerita-cerita supranatural yang diwariskan dari nenek moyang kepada generasi penerusnya. Mereka yang mencari solusi dari masalah hidupnya kepada agama dianggap kolot, jumud, bahkan mengajukan syariat Islam sebagai solusi pun dianggap sebagai semacam eskapisme yang mencerminkan kebuntuan akal. Dzikir disebut sebagai pelarian bagi mereka yang sudah tak mampu lagi memecahkan persoalan hidupnya dengan akal sehat. Jika ada orang yang dinasihati agar tidak melakukan perbuatan yang merusak, namun yang dinasihati justru langsung mendabik dada, mengaku-ngaku sebagai orang yang melakukan kebaikan, maka terasa betul nuansa kesombongannya. Demikian juga jika seseorang merasa yakin bahwa keimananannya telah lebih tinggi daripada orang-orang lain, maka pastilah ada cacat dalam keimanannya sendiri. Kita tidak pernah menyaksikan Rasulullah saw mencontohkan yang demikian, bahkan beliau adalah manusia yang sangat berhati-hati dalam hal keimanan, meskipun sudah dijamin ke-mashun-annya (keterjagaannya dari dosa dan kesalahan). Sebaliknya, Rasulullah saw tak pernah memandang remeh setiap amal yang bisa dilakukan manusia, betapa pun kecilnya ia di mata manusia. Betapa jauh perilaku mereka dari teladan sang uswatun hasanah.

Ancaman Kaum Fanatik Sudah sejak lama kata fanatik seolah dikhususkan bagi umat beragama, khususnya dari kalangan umat Islam. Ingatlah bagaimana pemerintah kolonial Belanda dahulu menyematkan predikat ekstremis kepada orang-orang yang menyerukan jihad untuk mengusir penjajah. Padahal siapa yang lebih ekstrem tindakannya daripada mereka yang menyeberang samudera dan berpindah benua, memperbudak dan membunuhi pribumi hanya untuk... rempah-rempah! Dari dulu, umat Islam sudah dituduh fanatik, lantaran terlalu beriman. Mereka bisa menerima kalau kita beriman, asalkan jangan beriman-beriman amat, Terima saja kedatangan penjajah dengan tangan terbuka dan kepasrahan yang sempurna. Tidak perlu menggemakan takbir untuk menakut-nakuti orang, apalgi sampai angkat senjata, bahkan sampai ingin jadi syuhada. Beragama silakan, tapi mesti fleksibel. Pada kenyataannya, kita dapat temukan banyak sekali kisah kefanatikan orang-orang yang tidak beriman. Kedekatan antara fanatisme dan kekafiran memang sangat masuk akal, karena kita telah sama-sama tahu bahwa sikap keras kepala itulah-dengan kerja sama yang apik bersama kesombongan-yang telah membuat seseorang tetap dalam kekafirannya. Makna kafir adalah orang yang ingkar, artinya orang yang mengingkari kebenaran, yang sebenarnya sudah pasti, tidak ambigu, tidak relatif, dan dapat dikenali oleh siapa saja. Oleh sebab itu, jika seseorang telah disodori kebenaran hingga berulang kali, tetapi ia tetap tidak juga menyambut seruan kebenaran itu, pastilah ia sendiri yang telah dengan sengaja menutup mata, telinga, dan hatinya. Ia begitu fanatik dengan ketidakmautahukan atau keingkarannya, hingga akhirnya ia tak pernah bisa bangkit dari kekafiran tersebut. Firaun adalah pemimpin yang benar-benar memelihara fanatisme dalam barisannya. Ia tidak terima jika ada prajuritnya yang tidak fanatik. Mereka harus meyakini bahwa mereka berada di barisan yang terbaik dan pasti menang. Mereka harus siap bertempur, semata-mata karena mereka berada di barisan Firaun. Simaklah orasi singkat Firaun dalam membangkitkan semangat tempur bala tentaranya sebelum mereka mengejar kaum Bani Israil. (Firaun berkata), Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil. Sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita. Sesungguhnya kita benar-benar golongan yang selalu berjaga-jaga. Inilah sumber kekuatan Firaun dan prajurit-prajuritnya. Pertama, mereka meyakini bahwa golongannya telah menang jumlah. Kedua, mereka bergerak karena kemarahannya telah tersulut, dan terus diprovokasi. Ketiga, karena yakin tak ada lagi celah dalam tindakan mereka. Akan tetapi, sumber kekuatan itu bisa berbalik menjadi pangkal kecerobohan. Sebab, keyakinan akan menang jumlah bisa juga berarti kendornya strategi, kemarahan bisa membawa pada hilangnya akal, dan merasa tidak punya kekurangan juga berarti keteledoran.

Dari Barat ke Timur Sekularisasi dan Sekularisme Sekularisme adalah paham yang lahir dari rahim wacana pemikiran Barat. Oleh karena itu, untuk memahami kelahiran sekularisme, kita harus merujuk pada sejarah peradaban barat itu sendiri. Ketika Kekaisaran Romawi runtuh pada abad selanjutnya, kekuasaan Gereja tetap tegak di seluruh Eropa. Pada saat itu, agama kristen menjadi pemersatu dan memegang peranan yang sangat penting hingga tak ada satupun aspek kehidupan di Abad Pertengahan yang terlepas dari pengaruh Gereja. Di wilayah bekas kekuasaan Romawi, Gereja memiliki otoritas penuh dalam segala hal, termasuk mengangkat, memecat, dan mengasngkan Raja-raja bahkan mengutuknya jika perlu. Pada masa hegemoni Gereja inilah, muncul sebuah noktah hitam yang tak pernah bisa dihapus dari sejarah Kristen Barat, yaitu Inkuisisi (Inquisition). Inkuisisi adalah lembaga yang dibenytuk oleh Gereja untuk menindak siapa pun yang membantah titah Gereja, termasuk dengan cara-cara pemaksaan, pengancaman, pembunuhan, bahkan penyiksaan itu dirancang secara khusus dan terus disempurnakan demi menjalankan perintah gereja. Pada perkembangannya, agama menjadi kutub yang berlawanan dengan sains, iman berlawanan dengan rasio, keyakinan pada agama dianggap sama dengan kefanatikan, sedangkan keragu-raguan terhadap agama justru dipandang sebagai sikap ilmiah. Sekularisasi mengakibatkan penafsiran terhadap agama bukan hanya berubah, tapi juga dipastikan akan senantiasa berubah, dan hal ini telah disadari oleh para teolog Kristen yang menyeret agamanya ke dalam gerbong sekulerisasi. Sebagai akibat dari penafsiran yang senantiasa berubah, maka versi penafsiran ini akan terus diperbaharui. Sekulerisasi selalu bertautan dengan liberalisme, yaitu paham yang membebaskan manusia sebebas-bebasnya, karena kebebasan dari sistem nilai itulah yang menjadi prinsip dari sekulerisasi. Dengan sendirinya, relativitas nilai menjadi suatu prinsip absolut yang diterima dalam sekularisasi. Orang tidak lagi terikat dengan sistem nilai agama, karena masing-masing bebas menafsirkan kebenarannya sendiri-sendiri. Karena agama pun direlatifkan, maka semuanya harus diterima sebagai kebenaran yang sah. Di sinilah titik kelahiran paham pluralisme agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa liberalisme dan pluralisme agama adalah konsekuensi logis dari sekularisasi. Orientalisme Kehadiran Islam memang telah menggemparkan dunia yahudi dan Kristen. Sebelum masa kenabian Rasulullah saw, orang-orang Yahudi di Yastrib sudah mengumandangkan kedatangan Sang Nabi terakhir yang sama, orang-orang Nasrani pun sedang menunggu-nunggu kehadiran Sang Nabi yang sama. Akan tetapi kecewalah Bani Israil karena yang ditunggu-tunggu ternyata bukan dari golongan mereka. Para teolog Kristen di masa lampau umumnya menjadikan Bibel sebagai acuan dalam menilai kualitas dan validitas Al-Quran. Al-Quran dianggap menyimpang karena memuat kisahkisah yang sama dengan detil yang berbeda dengan versi di dalam Bibel. Kesalahpahaman juga kerap terjadi akibat kesalahan-kesalahan dalam penerjemahan Al-quran ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Beberapa kesalahan lain (baik yang terjadi akibat kesalahan penerjemahan atau pemalsuan yang disengaja) juga disebarluaskan, antara lain tentang kehalalan menikah dengan seribu selir,

kebolehan menceraikan istri seenaknya,dan adanya kisah-kisah tidak senonoh dalam Al-Quran. Bagaimana pun, pandangan kaum orientalis inilah yang dijadikan referensi selama berabad-abad lamanya di Eropa. Bisa dibayangkan, betapa buruknya stigma yang melekat pada Islam di benak masyarakat barat hingga detik ini. Kaum Orientalis menyerang fondasi agama Islam, yaitu dengan menyerang otenisitas dan validitas Al-Quran dan hadits. Mereka pun secara sitematis merintis studi Islam lewat jalur-jalur pendidikan. Pendapat para orientalis yang menyesatkan seputar Islam telah banyak dibantah oleh para ulama, namun pada kenyataannya masih banyak dijadikan referensi, terutama di Barat. Bencana besar terjadi ketika orang-orang Islam kemudian berbondong-bondong mencari beasiswa untuk belajar studi Islam dari golongan orientalis tersebut, bahkan menelan pendapat mereka mentah-mentah. Islam liberal atau Agama Liberal? Islam Liberal adalah sebuah kontradiksi. Siapa pun yang mempelajari Islam dengan sunggujhsungguh dan jujur akan menyadari bahwa Islam tidaklah liberal (bebas), karena Islam itu sendiri menawarkan sebuah sistem nilai yang harus dipatuhi oleh para pemeluknya. Jelaslah bahwa penamaan Islam Liberal itu memang jauh dari tanggung jawab akademis. Karena itu, tak heran jika kontradiksi-kontradiksi yang sangat serius di dalamnya pun diabaikan begitu saja. Selain rancu dari segi metodologis. Islam liberal mendewakan modernitas dan menggunakan modernitas sebagai alat ukur. Menggunakan modernitas sebagai alat ukur bagi Islam atau agama apa pun, tentu saja, adalah bagian dari penghancuran global ala sekuler. Modernitas itu sendiri tidak memiliki sistem nilai yang baku, karena ia senantias berubah dari waktu ke waktu. Akibatnya, penafsiran agama pun tak ada habisnya, termasuk dalam masalah-masalah yang menyangkut aqidah. Di Indonesia, kubu Islam Liberal direpresentasikan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Dalam situs resminya, JIL menjelaskan enam poin landasannya, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Membuka pintu Ijtihad pada semua dimensi Islam Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural Memihak pada minoritas yang tertindas Meyakini kebebasan beragama Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Untuk poin pertama JIL percaya bahwa ijtihad bisa dieslenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial, ubudiyyat (ritual), dan illahiyat (teologi). Terlihat jelas nuansa liberal sehingga mereka membebaskan dirinya dari segala prinsip ajaran Islam. Begitu setianya mereka pada prinsip kebebasan sehingga ijtihad pun dibuka untuk masalah ritual peribadatan dan masalah akidah. Dalam memahami wahyu Allah (yang sering mereka sebut sebagai teks), JIL menggunakan landasan kedua sebagai kaidah, yaitu mengutamakan semangat religio etik daripada makna literal teks. Dengan cara ini penafsiran terhadap perintah-perintah agama memang senantiasa kabur dan mengambang. Sebagai contoh, sikap toleran dan menghormati terhadap agamaagama lain jelas sejalan dengan semangat toleransi yang diajarkan dalam Islam. Akan tetapi jika

mereka kemudian menerjemahkan dalam sikap membenarkan semua agama, maka semangat religio etik yang digunakan di sini telah kebablasan dan melanggar ajaran agama Islam. Demikian juga orang beriman yang ingin shalat haruslah shalat sebagaimana Rasulullah saw, bukan mengarang-ngarang cara shalatnya sendiri atau menggunakan bahasanya sendiri. Landasan ketiga menjelaskan wajah relativisme yang pasti muncul pada sekularisasi, sekularisme, dan liberalisme. Karena kebenaran di masa lampau dapat diralat oleh generasi sekarang. Maka kebenaran itu pun menjadi relatif, terbuka, dan plural. Sebagaimana Islam liberal menerima kontradiksi yang begitu sengit dalam namanya (yaitu antara Islam dan liberal), maka kelompok ini pun menerima begitu saja semua perbedaan mencolok diantara dua hak yang sebenarnya saling bertentangan, misalnya antara tauhid dan trinitas. Keduanya jelas berlawanan, namun berdasarkan prinsip relativisme, keduanya harus diterima sebagai kebenaran. Landasan keempat, yaitu keberpihakan pada yang minoritas dan tertindas, begitu kental dengan nuansa yang melatari kelahiran pemikiran sekuler di Barat. Dahulu Gereja menghegemoni dan menindas rakyat, maka bagsa-bangsa eropa pun umumnya memandang agama sebagai alat legitimasi untuk memaksakan kehendak. Karena itu, para aktivis JIL sudah barang tentu selalu menolak otoritas para ulama dan selalu menentang fatwa-fatwanya. Ahmadiyah tidak mereka pandang sebagai aliran sesat karena tidak pernah ada kata sesat dalam relativisme atau telah keluar dari ajaran Islam. Landasan berikutnya, yaitu menjunjung tinggi kebebasan untuk beragama dan tidak beragama, memiliki semangat yang senapas dengan poin keempat ini, sekaligus juga menambah imej ignorant terhadap soal-soal agama dalam wajah JIL. Landasan JIL yang keenam memperlihatkan wajah sekuler yang sesungguhnya dari Islam liberal, yaitu semangat untuk memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, keagamaan dan politik. Urusan duni untuk dunia dan Akhirat terpisah sama sekali dengannya. Islam liberal menyebut dirinya tidak mewakili suatu agama dan berdiri di atas semua agama, lalu kenapa menamakan diri dengan Islam liberal?

Modus Operandi Permainan Istilah Liberal, progresif, kontekstualitas, literalis, pluralis, fundamentalis, revivalis, tradisionalis, modernis, emnsipatoris, ekstremis, radikalis. Semua istilah ini digunakan oleh barat untuk memecah-belah umat muslim di dunia. Satu pihak disanjung, pihak yang lain dicela. Yang satu disebut pembaharu, yang lain disebut teroris. Islam liberal salah satu contoh istilah yang bermasalah namun dengan dalih kemerdekaan dan kebebasan liberal pun dicekoki kepada umat Muslim. Tuduhan Palsu

Jika anda berniat menentang Islam Liberal secara terbuka, bersiaplah untuk difitnah. Sudah merupakan prosedur standar bagi setiap liberalis untukmemberikan tuduhan palsu kepada siapapun yang membantah mereka. Salah satu metode yang paling sering digunakan adalah mereka memberi kesan bahwa mereka kaum moderat, sedangkan lawan-lawannya mereka posisikan sebagai pihak yang ekstrem. Dengan demikian, orang-orang akan terseret opininya sehingga menyangka bahwa lawan-lawan debatnya adalah pihak yang jahat,radikal, kejam, bahkan teoritis. Tanpa harus berargumen terlalu banyak, metode ini mampu memperdaya orang-orang awam. Kaum-kaum liberalis banyak mencatut nama-nama cendekiawan Islam sebagai referensi mereka padahal mereka menafsirkan itu secara sendiri sesuai dengan enam poin JIL yang telah dijelaskan sebelumnya. Nama-nama seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dan Mohammad Natsir, bahkan Buya Hamka pun tak luput dari pencatutan nama tersebut. Padahal nama-nama yang disebutkan tadi sangat menentang sekularisme dan liberalisme apalagi pluralisme Agama. Pembelokan Masalah Salah satu kesulitan yang akan dihadapi oleh siapa pun yang hendak mendebat kaum liberalis secara terbuka adalah seputar kebiasaan mereka dalam membelokkan masalah. Jika sudah terdesak, biasanya masalah akan dialihkan kepada urusan lain yang seringkali tidak ada hubungannya sama sekali. Sebagai contoh, jika Anda mendebat pemikiran-pemikiran pluralis mereka, misalnya dengan mengatakan bahwa agama yang benar hanya Islam, maka jangan kaget kalau tiba-tiba akan muncul sanggahan yang sama sekali yidak ada kaitannya dengan pembicaraan sebelumnya, misalnya Jadi anda mendukung FPI? Anda bisa saja dikait-kaitkan dengan Front Pembela Islam (FPI), Abu Bakar Baasyir, Al-Qaeda, Wahabi, atau siapapun yang menurut mereka pas untuk didiskreditkan. Dalam sebuah perdebatan di dunia maya, pernah dijumpai seorang doktor yang menggunakan teknik ini. Ketika berbagai argumen disampaikan untuk menolak paham pluralisme, Ia justru mempertanyakan apakah kita memang merekomendasikan untuk membasmi (kata membasmi benar-benar telah digunakan di sini) umat beragama lainnya Beginilah cara licik kaum liberalis memberikan pencitraan yang keliru pada lawan-lawan debatnya. Dengan cara demikian, mereka berharap agar siapapun yang menyaksikan debat tersebut akan menangkap kesan yang mereka tampilkan, atau dengan kata lain mereka percaya bahwa kubu liberalis itulah yang intelek sedangkan lawannya adalah ekstremis. Pemotongan Ayat Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Di tangan seorang liberalis, paparan di atas bisa diolah dengan sangat menarik. Menurutnya, berdasarkan ayat tersebut, jelaslah bahwa Allah SWT memang tidak hendak menciptakan manusia sebagai umat yang tunggal. Selain Islam, ada juga umat-umat lainnya, dan kesemuanya itu adalah sama-sama ciptaan Allah. Dengan kata lain Allah dengan sengaja menciptakan berbagai agama bagi manusia. Karena semua ini adalah kehendak Allah, maka kita tidak layak untuk mempertanyakan fenomena keragaman di antara umat beragama, tentu juga tidak wajar menyatakan agama yang satu benar dan agama yang lain salah. Semuanya harus dianggap benar, karena sama-sama dari Allah SWT. Selanjutnya untuk tiap-tiap umat tersebut, Allah juga memberikan aturan yang berbeda-beda, namun semuanya benar. Itulah sebabnya umat Islam berpegang pada Al-Quran, umat Kristen berpegang pada Bibel, dan seterusnya. Semua kitab suci itu sama-sama benar, karena merupakan aturan yang sama-sama berasal dari Allah. Untuk menyikapi keragaman di antara umat beragama, sikap yang benar adalah fastabiqul khairaat (berlomba-lomba pada kebaikan). Umat Islam harus berlomba-lomba agar bisa lebih banyak berbuat baik daripada umat lainnya. Tidak perlu mendebatkan agama siapa yang lebih baik. Sebab, nanti semua manusia akan kembali kepada Sang Pencipta, kemudian Dia akan memberitahukan kepada kita agama siapa yang lebih baik. Betapa panjang lebarnya penjelasan tentang pluralisme bisa ditarik dari beberapa kalimta di atas. Akhirnya orang awam akan terjebak dan menafsirkan bahwa keduanya itu benar. Maka lahirlah generasi malas berpikir yang sudah tak peduli lagi soal kebenaran, sehingga semuanya diterima sebagai kebenaran, bahkan kebenaran itu sudah rtak lagi dipikirkan. Berhasillah agenda pluralisme. Cemoohan Mereka Jangan Mendominasi Kebenaran Ini adalah pintu keluar standar yang biasa digunakan oleh kalangan liberal. Benang merah pemikirannya sudah sangat jelas relativisme, kemudian liberalisme. Jika semua argumen ditangkis dengan ungkapan jangan mendominasi kebenaran maka tak ada lagi gunanya berdiskusi, sebab semuanya ingin diakui sebagai poihak yang benar. Ini karena mereka memang bukan mencari kebenaran tetapi pembenaran. Penafsiran Siapa Siapa adaah isu yang sangat penting bagi para penganut relativisme, sebab ia menjelaskan versi dari sebuah kebenaran. Sebenarnya ini tidaklah salah untuk mengetahui sebuah tangging jawab akademik dan sangat valid untuk dibahas. Namun ini seringkali dijadikan jalan keluar oleh mereka dengan cara memperdebatkan sesuatu hal, lalu menyimpulkannya bahwa keduanya benar karena menurut siapa ini jelas, dan sudah barang tentu kebenaran ini sangat relatif bagi mereka kaum liberalis.

Jangan Anti Perbedaan Ulil pernah menulis dalam blog pribadinya bahwa dia mengakui kesakaralan Al-Quran, namun orang mau menafsirkan apa saja harus diperbolehkan. Pertanyaannya bagaimana kalau hasil penafsirannya justru melanggar kesakralan Al-Quran? Kebenaran bagi umat muslim adalah suatu haq dan itu harus ditunaikan. Antara haq dan yang bathil bukan hanya harus dibedakan, tapi juga tak boleh dicampuradukkan. Sedangkan Islam Liberal jelas-jelas telah membiaskan hal tersebut dan berkata bahwa semua orang itu benar asalkan dapat dipertanggungjawabkan oleh individu masing-masing. Syahadatnya Sama! Argumen ini termasuk mantra yang cukup sering diulang ketika pasukan liberalis dikerahkan untuk melindungi Ahamdiyah dari tuduhan sebagai aliran sesat. Menurut kalangan intelek liberal, Ahmadiyah memiliki dua kalimat syahadat yang sama dengan umat Islam lainnya dan karena itu mereka pun harus diakuoi sebagai umat Islam. Bukan aliran sesat yang telah keluar dari agama Islam. Tidak Disebutkan di Dalam Al-Quran! Argumen ini, selain kerap kali digunakan untuk memaksakan pendapat yang menyatakan bahwa rokok itu halal, juga pernah digunakan untuk mempropagandakan dukungan terhadap homoseksualitas. Jika argumen ini terdengar begitu konyol jika deipergunakan untuk menghalalkan rokok, maka kerancuan logikanya akan nampak semakin jelas ketika ia dijadikan argumen untuk memperbolehkan homoseksualitas. Cemoohan semacam ini menunjukan kualitas intelektual kaum liberal yang sebenarnya. Mereka bersikap seolah-olah segala sesuatu hanya boleh dihukum ketika tercatat di Al-Quran.

PENUTUP Seorang mukmin sejati tidak pernah menukar imannya dengan apa pun, karena ganjaran baginya telah dipastikan di akhirat kelak. Tidaklah masuk akal jika kita menukar kebahagiaan di dunia dengan kesengsaraan abadi di akhirat. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya

You might also like