You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar belakang Alopesia areata merupakan kelainan yang ditandai hilangnya rambut (kebotakan) pada satu atau beberapa area dimana rambut terminal tumbuh (rambut yang mengandung banyak pigmen. Terdapat dikepala, alis, bulu mata, ketiak dan genetalia eksterna) paling sering terjadi di kepala. Ditandai dengan lesi tunggal maupun multipel berbentuk bulat atau oval berbatas tegas yang mengalami kebotakan (kehilangan rambut secara total), permukaan licin, tidak didapatkan jaringan parut dan tanda inflamasi meski kadang-kadang tampak erithem ringan dan skuama halus. (Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit Kelamin, 2005). Alopesia areata mengenai 158 per 100.000 atau 0,2% populasi di dunia.7 Prevalensi di Amerika Serikat 0,1% - 0,2%. Frekuensi terjadi alopesia areata lebih sering pada anak-anak (60%), usia kurang dari 20 tahun. Alopesia areata bisa terjadi pada semua ras.6 insidensi alopesia areata sama banyak antara laki-laki dan perempuan. Di unit penyakit kulit dan kelamin RSCM Jakarta, dalam pengamatan selama 3 tahun (1983-1985) rata-rata sebanyak 20 orang pertahun dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 6 : 4. Belum diketahui jelas penyebab alopesia areata, namun sering dihubungkan dengan adanya infeksi, keadaan atopi, kelainan endokrin, stres emosional dan faktor genetik. Secara klinis, alopesia areata dapat

bermanifestasikan dalam pola yang berbeda-beda. Meskipun secara medis tidak berbahaya, alopecia areata dapat menyebabkan gangguan emosi dan psikososial yang luar biasa pada pasien yang terkena dan keluarga mereka.8 karena itu penanganan alopesia areata yang tepat dapat memperbaiki keluhan estetik dan mencegah penurunan tingkat kepercayaan diri pada penderita. walaupun belum ada pengobatan yang bener-benar memberikan hasil yang pasti sehingga masih tetap dicari jenis dan sistem pengobatan baru yang diharapkan memberi hasil yang lebih baik.

B. Tujuan Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang Alopesia Areata sehingga dapat menegakkan diagnosis dengan tepat serta melakukan penalaksanaan pada pasien secara benar dan akurat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Alopesia areata adalah peradangan kronis, berulang dari rambut terminal, yang ditandai oleh timbulnya satu atau lebih bercak kerontokan rambut pada scalp dan atau kulit berambut terminal lainnya. Lesi pada umumnya berbentuk bulat atau lonjong dengan batas tegas, permukaan licin tanpa adanya tanda-tanda atropi, skuamasi dan sikatriks.2,4 B. Epidemiologi Insiden alopesia areata sebanyak 158 per 100.000 atau 0,2% dari populasi di dunia.7 Prevalensi pada masyarakat umum di Amerika Serikat 0,1% - 0,2%. Frekuensi terjadi alopesia areata lebih sering pada anak-anak (60%), usia kurang dari 20 tahun. Alopesia areata bisa terjadi pada semua ras.6 Pada beberapa laporan perbandingan insidens alopesia areata sama banyak antara laki-laki dan perempuan. Di unit penyakit kulit dan kelamin RSCM Jakarta, dalam pengamatan selama 3 tahun (1983-1985) rata-rata sebanyak 20 orang pertahun dengan perbandingan laki-laki dengan perempuan 6 : 4. Umur termuda yang pernah dicatat adalah 6 tahun, dan yang tertua umur 59 tahun. 7 C. Etiologi Belum diketahui, sering dihubungkan dengan adanya infeksi fokal, kelainan endokrin dan stres emosional.4 Beberapa faktor atau keadaan patologik yang berasosiasi dengan penyakit ini : 1. Faktor genetik Alopesia areata dapat diturunkan seara domain autosomal dengan penetrasi yang variabel. Frekuensi alopesia areata yang diturunkan secara genetik adalah 10-50%. Insiden tinggi pada alopesia areata dengan onset dini 37% pada umur 30 tahun dan 7,1% pada onset lebih dari 30 tahun. Beberapa gen terangkai

erat, misalnya genetik HLA (Human Leucocyte Antigen) yang berlokasi di lengan pendek kromosom-6 membentuk MHC ( Major Histocompatibility Complex). Tiap gen pada sistem genetik HLA memiliki banyak varian (alel) yang berbeda satu dengan lainnya. Komplek HLA pada penderita alopesia areata diteliti karena banyak hubungan penyakit-penyakit autoimun dengan peningkatan frekuensi antigen HLA. 2. Stigmata atopi (faktor alergi) Beberapa penelitian adanya hubungan antara alopesia areata dengan atopi, terutama pada alopesia areata berat. Frekuensi penderita alopeia areata yang mempunyai stigmata atopis sebesar 10-52%. Kelainan yang sering dijumpai berupa asma bronkhial, rinitis, dan dermatitis atopik. 3. Gangguan neurofisiologik dan emosional Pada alopesia areata telah dibuktikan dapat terjadi vasokonstriksi yang disebabkan oleh gangguan saraf autonom setelah tindakan ortodonik. Beberapa penelitian melaporkan bahwa stres mungkin merupakan faktor presipikasi pada beberapa kasus pada alopesia areata. 4. Gangguan organ ektoderm Kerusakan kuku distropik dianggap berasosiasi dengan alopesia areata. Demikian pula timbulnya katarak tipe subcapsular superior 5. Kelainan endokrin Beberapa penyakit endokrin antara lain gangguan fungsi kelenjar dan diabetus melitus banyak dihubungkan dengan alopesia areata. Tiroid, kelenjar yang paling sering dijumpai kelainannya pada penderita alopesia areata

meperlihatkan gambaran penyakit goiter. 6. Faktor infeksi Adanya laporan mengenai kemungkinan adanya infeksi cytomegato virus (CMV) pada alopesia areata infeksi HIV juga berpotensi sebagai faktor pencetus terjadinya alopesia areata. Tapi ada penyelidikan lain yang menyebutkan tidak ada hubungan bukti keterlibatan virus atau bakteri belum dapat disimpulkan. 7. Faktor neurologi

Perubahan lokal pada sistem saraf perifer pada level papila dermis mungkin memegang peranan pada evolui alopesia areata karena sistem saraf perifer dapat menyalurkan neuropeptida yang memodulasi proses inflamasi dan proliferasi. 8. Bahan kimia Bahan bahan kimia yang berpotensi untuk terjadinya alopesia areata adalah acrylamide, formaldehyde, dan beberapa pestisida. 9. Faktor imunologi Ada laporan hubungan alopesia areata dengan kelainan autoimun yang klasik terutama pada penyakit tiroid dan vitiligo.9 D. Patogenesis Kelainan yang terjadi pada alopesia areata dimulai oleh adanya rangsangan yang menyebabkan folikel rambut setempat memasuki fase telogen lebih awal sehingga terjadi pemendekan siklus rambut. Proses ini meluas, sedangkan sebagian rambut menetap di dalam fase telogen. Rambut yang melanjutkan siklus akan membentuk rambut anagen baru yang lebih pendek, lebih kurus, terletak lebih superfisial pada middermis dan berkembang hanya sampai fase anagen IV. Selanjutnya sisa folikel anagen yang hipoplastik ini akan membentuk jaringan sarung akar dalam, dan mempunyai struktur keratin seperti rambut rudimenter. Beberapa ciri khas alopesia areata dapat dijumpai, misalnya berupa batang rambut tidak berpigmen dengan diameter bervariasi, dan kadang-kadang tumbuh lebih menonjol ke atas (rambut-rambut pendek yang bagian proksimalnya lebih tipis di banding bagian distal sehingga mudah dicabut), disebut exclamation mark hairs atau exclamation point. Hal ini merupakan patognomosis pada alopesia areata. Bentuk lain berupa rambut kurus, pendek dan berpigmen yang disebut black dots. Lesi yang telah lama tidak mengakibatkan pengurangan jumlah folikel. Folikel anagen terdapat di semua tempat walaupun terjadi perubahan rasio anagen dibandingkan dengan telogen. Folikel anagen akan mengecil dengan sarung akar yang meruncing tetapi tetap terjadi diferensiasi korteks, walaupun tanpa tanda

keratinisasi. Rambut yang tumbuh lagi pada lesi biasanya di dahului oleh rambut velus yang kurang berpigmen.4,8,9 E. Gejala Klinis Lesi alopesia areata stadium awal, paling sering ditandai oleh bercak kebotakan yang bulat atau lonjong, berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus, licin, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Pada tepi lesi kadangkadang tampak exclamation-mark hairs yang mudah dicabut. Pada awalnya gambaran klinis alopesia areata berupa bercak atipikal, kemudian menjadi bercak berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk karena rontoknya rambut. Kulit kepala tampak berwarna merah muda mengkilat, licin dan halus, tanpa tanda-tanda sikatriks, atrofi maupun skuamasi. Kadang-kadang dapat disertai dengan eritem ringan dan edema. Bila lesi telah mengenai seluruh atau hampir seluruh scalp disebut alopesia totalis. Apabila alopesia totalis ditambah pula dengan alopesia di bagian badan lain yang dalam keadaan normal berambut terminal disebut alopesia universalis. Gambaran klinis spesifik lainnya adalah bentuk ophiasis yang biasanya terjadi pada anak, berupa kerontokan rambut pada daerah occipital yang dapat meluas ke anterior dan bilateral 1-2 inci diatas telinga, dan prognosisnya buruk. Gejala subjektif biasanya pasien mengeluh gatal, nyeri, rasa terbakar atau parastesi seiring timbulnya lesi.4,9 Ikeda (1965), setelah meneliti 1989 kasus, mengemukakan klasifikasi alopesia areata sebagai berikut : 1. Tipe umum Meliputi 83% kasus terjadi diantara umur 20 40 tahun, dengan gambaran lesi berupa bercak bercak bulat selama masa perjalanan penyakit. Penderita yang tidak mempunyai riwayat stigmata atopi ataupun penyakit endokrin autonomic, lama sakitnya biasanya kurang dari 3 tahun. Sebanyak 6% dari penderita alopesia areata tipe umum akan berkembang menjadi alopesia totalis.

2. Tipe atopik Meliputi 10% kasus, yang umumnya mempunyai stigmata atopi atau penyakitnya telah berlangsung lebih dari 10 tahun. Tipe ini dapat menetap atau mengalami rekurensi pada musim-musim tertentu (perubahan musim). Biasanya dimulai pada masa kanak-kanak dan 75 % akan berkembang menjadi alopesia totalis. 3. Tipe prehipertensif Meliputi 4% kasus dengan riwayat hipertensi pada penderita maupun keluarganya. Bentuk lesi biasanya reticular. Biasanya dimulai pada usia dewasa muda dan 39% akan menjadi alopesia totalis. 4. Tipe kombinasi Meliputi 5% kasus, pada umur > 40 tahun dengan gambaran lesi-lesi bulat atau retikular. Penyakit endokrin autonomik yang terdapat pada penderita antara lain berupa diabetes mellitus dan kelainan tiroid. Sekitar 10 % akan menjadi alopesia totalis. Klasifikasi tersebut sangat berguna untuk menjelaskan pathogenesis dan meramalkan prognosis penyakit. Pada beberapa penderita terjadi perubahan pigmentasi pada rambut di daerah yang akan berkembang menjadi lesi, atau terjadi pertumbuhan rambut baru pada lesi atau pada rambut terminal disekitar lesi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan keratinosit pada korteks yang menimbulkan perubahan pada rambut fase anagen III / IV dengan akibat kerusakan mekanisme pigmentasi pada bulbus rambut.9 F. Pemeriksaan Pemeriksaan pada kulit kepala yang berambut, alis, bulu mata dan jenggot didapatkan bercak bulat atau oval bisa berwarna kemerahan atau seperti kulit normal dan tidak lagi berambut. Tepi bercak yang berbatasan dengan daerah yang masih berambut. Bila rambut dicabut tampak folikel rambut yang atrofi. Rambut tanda seru (Exclamation mark hair) merupakan patognomonik yang tidak selalu ada, gambarannya berupa batang rambut yang kerarah pangkal makin halus. Rambut disekitar bercak tampak normal namun mudah dicabut.1

Penggolongan

alopesia

areata

secara

klinis.

Alopesia

areata

unifokal

pada jenis ini hanya ada satu bercak bundar atau oval. Bisa terdapat rambut tanda seru.

Alopesia areata multifokal pada jenis ini bercak melebar dan mempengaruhi hampir seluruh kulit kepala.

Alopesia areata ophiastik jenis ini kerontokan rambut terjadi sepanjang garis temporo-accipital. Sehingga menyebabkan area kebotakan yang luas di batas inferior kulit kepala

Alopesia

areata

sisaifo

(kebalikan

alopesia

opiasik)

pada jenis ini rambut rontok hampir semua kulit kepala kecuali pada garis temporo-occipital

Alopesia areata retikular bercak-bercak kererontokan rambut dipisahkan oleh rambut yang sehat sehingga membentuk gambaran retikuler

Alopesia areata difus hilangnya rambut secara akut dan meluas. Hal ini dapat menjadi bentuk awal, terutama kalangan anak-anak dan remaja, atau berkembang dari bentuk fokal. Sebagian besar kasus berkembang menjadi alopesia yang lebis serius yaitu totalis atau bahkan universalis.

10

G. Histopatologi Pada potongan kulit daerah yang tidak berambut, didapatkan rambut dalam fase anagen. Folikel rambut kecil dan imatur. Bulbus rambut dalam dermis dikelilingi sebuan sel radang konik, terutama limfosit.

11

H. Pemeriksaan Laboratorium Sebaiknya diperiksa kerokan kulit untuk melihat adakah infeksi jamur atau tidak. Pada pemeriksaan dermoskopi didapatkan bintik kuning, penyebaran rambut putih dan rambut baru yang akan tumbuh juga tidak berpigmen.3,5 I. Diagnosis Cara penegakan diagnosis 1. Anamesis a. Keluhan utama Tiba-tiba dapat timbul satu atau lebih daerah botak pada kulit kepala, alis mata, jenggot, atau dimana saja. b. Riwayat penyakit 2. Fisik a. Lesi primer di kulit bagian : kepala, alis, bulu mata. b. Sesuai dengan gejala diatas (sesuai tipe) c. Terdapat bercak yang spesifik, berbentuk bulat atau oval. Kulit biasanya tampak normal sama sekali, walaupun bisa juga didapatkan daerah eritema ringan, dibeberapa temapt mungkin timbul bercak yang bersebelahan, sehingga menimbulkan gambaran seperti dimakan ngengat. Pemeriksaan yang teliti pada daerah tepi alopesia areata dapat memperoleh gambaran yang patogmonik rambut yang serupa tanda seru (exclamation mark hair) rambut-rambut pendek makin menipis ke arah dasar. d. Wood lamp untuk menyingkirkan tinea capitis.3 J. Diagnosis banding 1. Tinea kapitis : terutama pada anak. Penyebabnya adalah jamur (Microsporum dan Trichophton). Rambut dikelilingi oleh spora yang susunannya tidak teratur. UKK: batas tegas, eritematous, hiperkeratosis dengan gejala klinis terasa sangat nyeri, rambut kusam dan patah.

12

2.

Lupus eritematosus discoid : juga menimbulkan alopesia areata, tapi dapat ditemukan atrofi kulit, skuama dan teleangiektasia.10

K. Terapi 1. Kortikosteroid Topical 2. Injeksi intralesi : beberapa dan sedikit tempat infeksi dari alopesia areata bisa di obati dengan triamcinolon intralesional, acetomide 3,5 mg/ml, yang kadang-kadang sangat efektive. 3. Dapson dengan dosis 50mg 2 x 1 hari selama 6 bulan. 4. Kortikosteroid sistemik : biasanya mendorong pertumbuhan kembali, tapi alopesia sering berulang setelah pengobatan dihentikan, risiko dari penggunaan terapi jangka panjang oleh karena itu menghalangi penggunaan. Obat oral yang sering digunakan prednison dengan dosis dan lama pemberian prednison 80-120 mg/hari selama 8-42 bulan atau dosis denyut 300 mg yang diberikan sebanyak 4 kali dengan interval 4 minggu.6 5. Cyclosporine sistemik : memiliki efek menghambat infiltrasi imunitas kedalam dan sekitar folikel rambut. Dosis cyclosporine yang digunakan 6 mg/kgbb/hari selama 12 minggu.6,9 6. Vitamin B12 dosis 1mg/minggu secara intra muskular dilanjutkan dengan 1mg/bulan.9 7. PUVA (Photochemotherapy).6 L. PROGNOSIS Umumnya baik, kadang-kadang dapat sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa pengobatan,10 namun perjalanan penyakit alopesia areata dan rekurensi tidak dapat diramalkan yang mengalami remisi spontan sebelumnya, sehingga evaluasi pengobatan menjadi sulit. Pada umumnya sulit untuk mengobati alopesia areata yang berat, sehingga masih tetap dicari jenis dan sistem pengobatan baru yang diharapkan memberi hasil yang lebih baik.9

13

BAB III KESIMPULAN Alopesia areata adalah peradangan kronis, berulang dari rambut terminal, yang ditandai oleh timbulnya satu atau lebih bercak kerontokan rambut pada scalp dan atau kulit berambut terminal lainnya. Lesi pada umumnya berbentuk bulat atau lonjong dengan batas tegas, permukaan licin tanpa adanya tanda-tanda atropi, skuamasi dan sikatriks. Etiologi alopesia belum diketahui namun dihubungkan dengan faktor genetik, atopi, emosional, kelainan endokrin, infeksi, paparan bahan kimia dan imunologi. Secara klinis digolongkan menjadi alopesia unifokal, multifokal, ophiastik,sisaifo, retikular dan difus. Pengobatan dengan injeksi triamchinolon intralesi memberikan hasil yang baik. Untuk mendorong

pertumbuhan rambut diberikan sistemik kortikosteroid atau cyclosporine. Prognosis umumnya baik, kadang sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa pengobatan.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. An. Bras. Dermatol. vol.80 no.1 Rio de Janeiro Jan./Feb. 2005

http://dx.doi.org/10.1590/S0365-05962005000100009 2. Bag. SMF FK UNAIR. Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press. 3. Brown. R. G, Burns. T. 2005. Lecture Notes Dermatologi. Jakarta: Erlangga 4. Djuanda, A. Et al. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 5. Finner, M.A. 2011. Alopecia areata: Clinical presentation, diagnosis, and unusual cases. Dermatologic Therapi. DOI: 10.1111/j.1529-

8019.2011.01413.x 6. Fitzpatrick, T.B. 1997. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology Common and Serious Diseases. New York: Mc Graw Hill. 7. Kane, M. et al. 2002. Color Atlas and Synopsis of Pediatric Dermatology. New York: Mc Graw Hill. 8. Bolduc, M. 2012. Alopecia Areata. Available from

http://emedicine.medscape.com 9. Putra, Imam Budi. 2008. Alopesia Areata.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3427/1/08E00074.pdf. Download 29 Mei 2012 10. Siregar, R. S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC

15

You might also like