You are on page 1of 8

EUTHANASIA PERSEPETIF MEDIS DAN HUKUM PIDANA INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia
(Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri[1] sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal
ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang
euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap
manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera
dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian.
Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan
hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya.
Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa
setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup
dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh
manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai
sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah
legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia
termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP).
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang.
Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar
biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat
disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal.
Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis
tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk
mengusahakan obat atau tindakan medis.
Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana
pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan
sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan
secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat
besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra,
maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan
medis di rumah sakit.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui
secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia,
euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir
yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri
Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan
permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum
permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh
dokter.
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai
salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi
nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
Permasalahan
Menyangkut feomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan yang
harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini penulis
mendapatkan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam bab-bab berikutnya
antara lain;
-Apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan kasus-kasus
berat, seperti secara medis penyakit sudah tidak bisa lagi disembuhkan, sementara
dokter pun sudah angkat tangan?
-Mengingat hukum kita menganut positifistik, bagaimana Euthanasia menurut
persepektif hukum Pidana Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

Euthanasia dalam persepektif Medis


Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang
pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada
sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur
diberikan bolehkah untuk dihentikan.
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat
lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang
akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut
merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Bardasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam
tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter,
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan
ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang
namanya euthanasia positif dan euthanasia negative dan berikut adalah contoh-contoh
tersebut;
1. Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang
sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi.
Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya
dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma
selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga
dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan.
Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti
memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan
bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai
"orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat
pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan
secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan
tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya
sebagai berikut;
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit
paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati)
akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang
belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan
(tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit
otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk
eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit
seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan
penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Kede etik kedokteran Indonesia
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa
seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi
dikter harus sesuai dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus
bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan;
Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia),
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan
memberikan obat penenang,
3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.[2]
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:
1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien,
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
Euthanasia dalam persepektif Hukum
Melihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan
Kusuma memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga
bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja.
Ini merupaka perubahan dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang
ditandai semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan
dunia maka semakin sering masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing (di luar
kebiasaan/norma-norma komunitasnya).
Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah
kemajuan berfikir, naamun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh
Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga terjadi
pada Siti Zulaekha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya.
Konsepsi Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang
lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh
penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis
pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut
Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu
kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan
hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat
disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia
(euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya
tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang
diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien,
mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang
berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan
permintaannya); involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada
pasien tanpa persetujuannya).

Konstruksi Yuridis Euthanasia


Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi
komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan
bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat
di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural
karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun”.

Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian,
dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai
perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia,
tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak
pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.

Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan


tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus
Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir
kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu
dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non
voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak
bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah
pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal
338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,

“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.[3]

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat
digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP
yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan
bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya
Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam


keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah”.[4]

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika


mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks
hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga
dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang
terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Euthanasia di Negara lain
Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di
permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk mengagalkan
keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang
apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu
bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang
merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat
kematian menjadi tujuan.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam


majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. kapankah hal seperti itu
terjadi di Indonesia?
Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu
dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik
eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis
maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat
eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban
menghormati dan membela kehidupan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang.
Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;

“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh-
sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan
manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai
sepuluh tahun”.

Sebagai bahan perbandingan. Ternyata di negara inipun melarang adanya


eutanasia
Prosedur pengajuan Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui
secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia,
euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir
yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri
Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan
permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum
permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh
dokter.
Dari kasus diatas kita bisa menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh pemihon
euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di Negara lain yang
prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan
euthanasia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan


dan pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan
kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi
kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik
secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan
persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh
penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien
adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan
yang manusiawi kepadanya.

Jelas bahwa hukum (pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang


bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa harus
mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen untuk disampaikan
mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya permintaan tindakan medis euthanasia
hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai
kultural.

Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar etika, agama, moral


dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila dilegalisir, euthanasia dapat
disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang pendapat ini
dengan menggunakan argumen quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum.
Namun demikian, argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas lebih kuat.
Argumen pertama yaitu secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk
menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk
mengakhirinya. Dasar agama adalah argumen berikutnya, di mana dokter percaya
kesucian dan kemuliaan kehidupan manusia. Dari segi respek moral, pilihan untuk
membunuh, baik orang lain maupun diri sendiri adalah imoral karena merupakan
tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia. Dari segi legal, seorang dokter
yang melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh diri telah melakukan
tindakan melanggar hukum. Argumen terakhir adalah sulitnya untuk melegalisir
euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur yang efektif. Lebih jauh lagi,
melegalisir voluntary euthanasia dapat mengarah kepada dilakukannya involuntary
euthanasia dan membuat orang-orang lemah seperti orang lanjut usia dan para cacat
berada dalam risiko. Selanjutnya hal ini juga dapat memberikan tekanan kepada
mereka yang merasa diabaikan atau merasa sebagai beban keluarga atau teman.
Pengalaman di negeri Belanda telah membuktikan konsep slippery slope.

B. Saran
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia
sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA
Kristiantoro, Amb Sigit, Eutanasia, Perspektif Moral
Hidup.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/15/ilpeng/1325806.htm Jumat, 15
Oktober 2004
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer . Gema Insani Press.

Tongat, Hukum Pidana Materiil. Djambatan. 2003.

Soehino, kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Politeia. Bogor.

_________, The Slippery Slope of Dutch Euthanasia. Human Life International


Special Report Nomor 67, November 1998.

Tongat, Euthanasia dalam persepektif hukum pidana di Indonesia.(makalah). Malang.


14 Februari 2005.

Suswati, Irma. Euthanasia, (makalah).Malang,14 Februari 2005.

_________, Pemerintah Diminta Bentuk UU Euthanasia,


http://cybermed.cbn.net.id/Friday, 5 November 2004 14:14:14 WIB.

Wibudi, Aris, Euthanasia.(makalah) http://rudyct.tripod.com/sem2_012/aris_wibudi.


ITB. Bogor. 2002

Terbarzana, Rina Rehulina, Euthanasia. http://www.myquran.org/. 09 Agustus 2005

[1] Biasanya permintaan itu karena seseorang yang dalam keadaan terdesak atau sakit
yang sudah sangat parah, sehingga tidak ada lagi harapan untuk memperoleh
kesembuhan. Sedangkan dalam pembiayaan (ekonomi) sudah tidak mampu lagi atau
korban memiliki keinginan agar dalam hidupnya tidak lagi merepotkan orang lin.
[2] Irma Suswati, Euthanasia, (makalah). Malang.14 Februari 2005. hal:4.
[3] Lihat dalam Soehino, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Politeia.
Bogor.
[4] ibid

You might also like