You are on page 1of 20

Kegawat Daruratan Obstetrik Abstrak Tidak ada spesialisi kedokteran yang lebih dipenuhi kegawat daruratan selain kebidanan.

Makalah ini menjelaskan sejumlah kegawat daruratan umum kebidanan dari seorang praktisi dengan sudut pandang pedesaan. Kebidaan unik karena terdapat dua pasien sebagai bahan pertimbangan dan perawatan. Makalah ini membahas perawatan dasar pada kegawat daruratan, penilaian kebidanan dan janin, persalinan prematur, ketuban pecah dini, preeklampsia berat, eklampsia, prolaps tali pusat, perdarahan antepartum, abortu dengan syok hemoragik, kehamilan ektopik dengan syok, nyeri perut akut selama kehamilan, DIC, inversi uterus, perdarahan postpartum, retensio plasenta, kehamilan abdomen, distosia bahu, emboli ketuban, trauma, CPR selama kehamilan, seksio sesaria postmortem, seksio sesaria dengan anastesia lokal atau tanpa anastesia, dan pengangkutan pasien kebidanan. Latar Belakang Dalam kebidanan terdapat dua pasien yang harus dirawat, ibu dan janin. Tatalaksana satu pasien akan mempengaruhi tatalaksana pasien yang lain. Kadang-kadang harus dibuat keputusan untuk merawat satu pasien dengan mengorbankan pasien lain, misalnya perawatan ibu yang utama. Pasien kedua yaitu janin dapat hidup atau pun tidak. Perawatan Dasar Kegawat Daruratan Perawatan dasar pada pasien meliputi resusitasi ABC: air way (jalan nafas), breathing (pernafasan), circulation (sirkulasi). Pasien harus dinilai dengan cepat, anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan secepat mungkin. Apakah tanda vitalnya stabil? Apakah pasien syok? Akses intravena harus segera dilakukan, dan jika terdapat perdarahan masif dipasang infus dua jalur. Apakah pasien dan bayi membutuhkan oksigen? Pemeriksaan laboratorium dan radiologi apa yang dibutuhkan? Berapa banyak darah yang tersedia di bank darah? Penilaian Kebidanan Apakah ada yang datang bersama pasien? Apakah pasien sadar? Apakah terdapat tanda trauma luar? Apakah terdapat pedarahan aktif? Apakah pasien kesakitan? Apakah pasien dalam persalinan? Berapa lama kah kehamilan? Kebanyakan pasien yang menerima perawatan prenatal berapa usia kehamilan jika mereka sadar. Jika tidak, apakah tampilan mereka terlihat seperti preterm atau aterm? Bagaimana denyut jantung janin? USG, jika tersedia dapat digunakan untuk memperkirakan usia kehamilan, viabilitas jika janin masih hidup, presentasi, lokasi plasenta, jumlah janin, dsb. Jika hanya terdapat satu janin, tinggi fundus uteri sesuai dengan usia gestasi dalam minggu. Penilaian Janin

Jika kehamilan sudah viabel, dapatkah pasien dan bayi dirawat di pelayanan kesehatan ini atau harus dirujuk ke perawatan yang lebih tinggi? Bagaimana perawatan kebidanaan yang tersedia di pelayanan kesehatan ini? Apakah ada tenaga yang mampu merawat bayi jika bayi harus dilahirkan? Adakah dokter dan perawat anak atau neonalotog? Apakah ahli anastesi tersedia? Apakah pasien membutuhkan tokolitik, betamethasome atau profilaksis Strep B? Dapatkah bayi dimonitoring? Persalinan Prematur Masalah nomor satu dokter kandungan di seluruh dunia adalah persalinan prematur. Persalinan prematur didefinisikan sebagai persalinan sebeluk usia kandungan 37 minggu. Persalinan prematur merupakan 10% dari seluruh persalinan tetapi menyumbang 85% mortalitas dan morbiditas neonatus. Persalinan prematur membutuhkan pendekatan agresif untuk menghentikan persalinan, mengetahui penyebab, dan mencegah persalinan. Sebuah usaha harus dilakukan untuk memastikan penyebab, meskipun 50% kasus tidak dapat

diketahui penyebabnya. Persalinan prematur diterapi dengan tokolitik, biasanya dengan magnesium sulfat atau terbutalin. Jika usia kehamilan kurang dari 34 minggu, Betamethasone diberikan untuk mempercepat pematangan paru. Antibiotik profilaksis Strep gruo B juga diberikan. Keputusan harus dibuat jika kondisi pasien sudah stabil dan membutuhkan rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi atau jika tidak terdapat layanan kandungan. Terkadang keputusan yang dibuat adalah menstabilkan pasien kemudian merujuknya atau menstabilkan pasien dan tetap membantu persalinan pasien, kemudian ibu dan bayi dirujul. Wanita hamil yang bersalin harus dirujuk menggunakan ambulan atau helikopter, tergantung sarana yang tersedia dan cuaca. Jika pasien sedang bersalin, harus ada tenaga kesehatan yang mendampingi di ambulan. Jika terdapat ancaman persalinan didampingi dokter atau dokter spesialis kandungan yang bisa melakukan persalinan pervginam. Untuk transport dengan helikopter, biasanya tidak ada ruangan untuk dokter atau perawat yang menemani. Sebagian besar helikopter dilengkapi dengan dokter atau perawat yang mampu menangani persalinan pervaginam. Kadang-kadang jika terdapat ancaman persalian di pelayanan kesehatan yang tidak ada dokter kandungan. Seorang dokter harus mampu melakukan pertolongan persalinan pervaginam dan seorang perawat harus menemano transport pasien. Sekarang, sebagian besar pelayanan kesehtan tersier tidak menerima rujukan pasien bersalin yang tidak ditemani dokter. Banyak pelayanan kesehatan mengharuskan pasien dalam kondisi stabil saat dirujuk. Kontraindikasi tokolitik termasuk penyakit jantung, gangguan janin berat, hipertiroid, migrain berat, diabetes tidak terkontrol, dilatasi serviks lanjut dan fetal distress. Fetal distress

harus dikelola sebelum ditransfer jika memungkinkan. Tokolitik profilaksis sering digunakan selama pemindahan pasien jika tidak terdapat kontraindikasi untuk meminimalisir resiko persalinan selama perjalanan. Ketuban Pecah Dini Ketuban pecah dini adalah kegawatdaruratan kebidanan terpenting kedua. Cairan yan ada di vagina berasal dari ketuban yang pecah sebelum terbukti karena sebab lain. Diagnosis digunakan dengan pemeriksaan spekulum steril (inspekulo) dengan nitrazin, adanya penumpukan cairan di forniks atau dengan perkiraan jumlah cairan ketuban dengan USG. Amniosentesis dengan metylen blue juga dapat digunakan untuk membuat diagnosis. Pada pemeriksaan dengan spekulum, dilatasi serviks dapat terlihat. Serviks yang tertutup berkebalikan dengan serviks yang telah berdilatasi yang menunjukkan persalinan akan terjadi mempengaruhi pengelolaan. Apakah terdapat ancaman persalinan? Apa bagian terbawah janin? Apakah janin viabel? Berapa usia kandungan?USG dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Seperti pada persalinan prematu, apakah pelayanan kesehatan mampu menangani pasien atau pasien perlu dirujuk? Akankah pasien perlu bersalin dan distabilkan baru dirujuk? Preeklampsia Berat Preeklampsia berat adalah salah satu kegawat daruratan kebidanan yang membutuhkan penangana cepat. Tekanan darah sistol 160 mmHg atau tekanan darah diastol 110 mmHg membutuhkan penanganan secepatnya. Diagnosis preeklampsia berat juga dengan adanya proteinuria 5gr pada urin tampung 24 jam atau +3 pada pemriksaan dipstik. Oliguri yaitu pengeluaran urin < 500ml selama 24 jam, gejala sistem saraf pusat, edem pulmonum atau sianosis, gangguan tes fungsi hati, trombositopeni, IUGR, atau nyeri kuadran atas perut juga mengkonfirmasi diagnosis. Penatalaksanaan preeklampsia berat adalah persalinan, berapa pun usia kandungan. Magnesium sulfat digunakan untuk mencegah kejang, hidalazine untuk mengontrol tekanan darah setelah loading dose magnesium sulfat, dan Lasix untuk edem pulmo. Diuretik hanya digunakan jika terdapat edem pulmo dan gagal jantung kongestif akibat emboli pulmo. Diharapkan persalinan pervaginam, seksio sesaria dilakukan jika induksi gagal, malpresentasi, atau perburukan tekanan darah. Magnesium sulfat diberikan hingga 24 jam postpartum dan kadang hingga 48 jam. Preeklampsia dapat terbentuk hingga dua minggu postpartum. Level terapi magnesium sulfat dapat diperoleh dalam 4-6 jam, biasanya setiap 6 jam. Jika kreatini 1,3 atau lebih, turunkan infus magnesium hingga 50%. Semakin tinggi dosis magnesium, pengecekan level magnesium harus makin sering.

Eklampsia Eklampsia adalah kejang general yang biasanya terjad dengan preeklampsia. 50% terjadi selama antepartum dan 91% terjadi setelah minggu ke 28. Diagnosis bandingnya antara lain epilepsi, hipertensi tidak terkontrol, lupus, perdarahan intrakranial, tumor otak, aneurisma, ITP, gangguan metabolik, vaskulitis serebral, trombosis vena kavernosus, pungsi psotdural, CVA, suntikan vaskular yang tidak disenganja saat anestesi epidural. Biasanya disertai perasaan logam, aura, perasaan aneh sebelum kejang. Pencitraan otak tidak selalu diperlukan kecuali jika terdapat perubahan fokal, kejang berulang, penurunan kondisi pasien, dan diperlukan untuk menyingkirkan etiologi lain. Biasanya penanganannya adalah dengan persalinan, san tidak perlu menunggu terapi betamethasone. Hindari diuretik kecuali jika terjadi edem pulmo. Restriksi cairan digunakan untuk menurukan insidensi edem serebri. Pengobatannya adalah dengan magnesium sulfat. Jila pasien dengan magnesium sulfat dan kejang, diperlukan dosis magnesium sulfat yang lebih banyak. Meskipun jarang, lini kedua dengan antikonvulsan diperlukan. Hidralazine dan labetolol digunakan untuk mengobati tekanan darah. Nitrogliserin dapat digunakan postpartum. Tekanan darah sistol > 160 mmHg dan diastolik > 110 mmHg meningkatkan resiko stroke. Prolaps tali pusat Prolaps tali pusat adalah salah satu kegawat daruratan kebidanan yang menyebabkan kompresi tali pusat yang dapat menyebabkan hasil fatal pada janin jika tidak ditangani dengan segera. Jika ketuban belum pecah, disebut presentasi tali pusat, seperti namanya bencana dapat terjadi. Kompresi tali pusat dapat menyebabkan kompresi pembuluh darah di dalam tali pusat, yang menyebabkan hipoksia janin. Diagnosis dibuat dengan melihat denyut jantung janin dan pemeriksaan dalam vagina. Meskipun prolaps tali pusat dapat terjadi secara spontan, sebagian terjadi setelah ketuban pecah saat kepala janin masih tinggi dan belum masuk panggul. Prinsipnya, tali pusat yang longgar akan keluar ke vagina mengikuti aliran cairan ketuban dan efek gravitasi. Sebagian besar dokter kandungan berusaga memasukkan tali pusat ke dalam uterus, namun jarang berhasil. Penting untuk mengetahui apakah janin masih hidup, apakah janin viabel atau apakah terdapat anomali. Kompresi tali pusat dibebaskam dengan menaikan kepala janin dari vagina sambil menyiapkan seksio sesaria. Peninggian kepala dapat dibantu dengan menempatkan ibu pada posisi Trendelenburg atau knee-chest. Persalinan pervaginam operativ dilakukan jika serviks sudah berdilatasi sempurna dan kepala berada di bagian bawah pelvis.

A. KPD Ketuban pecah dini (KPD) atau disebut juga PROM (Preamture Rupture of The Membrane) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan. Ketuban yang terlalu cepat pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada kehamilan premature (Prawirahardjo, 2008). Penyebab pasti KPD masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah: a. Infeksi yang biasanya berawal dari kemaluan, lalu naik ke mulut rahim, leher rahim, dan dinding ketuban. Dinding ketuban paling bawah merupakan bagian pertama yang mendapat infeksi dari genital dan yang paling rentan karena mendapat tekanan dari bobot janin (Hacker, 2001). b. Servik yang inkompetensia yaitu kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri. Meskipun penyebabnya masih meragukan namun trauma sebelumnya pada servik, khususnya pada tindakan dilatasi, kauteterisasi, kuretasi. Keadaan ini ditandai oleh dilatasi servik tanpa rasa nyeri dalam trimester kedua atau awal trimester ketiga kehamilan yang disertai prolapsus mebran amnion lewat servik dan penonjolan membran tersebut kedalam vagina, peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban dan selanjutnya ekspulsi janin imatur sehingga kemungkinan janin akan meninggal (Maria, 2007). c. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisposi atau penyebab terjadinya (Hacker, 2001). d. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah (Hacker, 2001). e. Faktor lain a. Faktor golongan darah. Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit ketuban. b. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. c. Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. d. Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C). Ketuban pecah dini (KPD) atau disebut juga dengan PROM (Premature Rupture of Membrane) adalah salah satu ketidaknormalan yang paling umum dari kehamilan yang

memiliki dampak besar bagi neonatal dan ibu. Salah satu penyebab tingginya mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi adalah infeksi. Infeksi yang banyak dialami oleh sebagian besar ibu adalah sebanyak 65% disebabkan KPD. Komplikasi selanjutnya adalah kompresi tali pusat, dimana aliran ketuban yang pecah akan membawa serta tali pusat dalam aliran menuju ke daerah pintu atas panggul. Hal ini akan menimbulkan kompresi tali pusat oleh panggul dan presentasi janin (normalnya kepala sebagai presentasi). Apabila tali pusat tertekan antara tulang panggul ibu dan kepala bayi dapat menyebabkan kematian janin akibat gangguan sirkulasi janin. Selain itu jumlah amnion yang sedikit (oligohidroamnion) juga bisa menimbulkan kompresi karena ruang yang makin sempit. Bila dibiarkan, lama-kelamaan akan menimbulkan hipoksia janin yang disebabkan terganggunya passage oksigen dari plasenta ke janin, dan kemungkinan terburuknya akan menimbulkan asfiksia dan kematian intrauterine. Oleh karena itu salah satu penanganannya adalah terminasi kehamilan yang berarti terjadi kelahiran premature. Namun dalam usaha terminasi bukannya tanpa kesulitan, dimana pada ibu yang hisnya lemah, yang salah satunya disebabkan waktu yang belum mencukupi, induksi kehamilan kemungkinan akan sulit dilakukan dikarenakan carian amnion yang sedikit menyebabkan kontraksi uterus yang terjadi tidak efektif. Seperti yang kita ketahui dibutuhkan media penghantar kontraksi, dalam hal ini amnion, untuk bisa mendorong bayi keluar. Akibatnya, bila induksi ini gagal, harus dilakukan Seksio Caesaria segera dan tidak bisa dilahirkan per vaginam. Selain itu kompresi akibat oligohidramnion juga dapat menyebabkan deformitas pertumbuhan janin, termasukkompresi pada dinding toraks yang menyebabkan gangguan maturasi paru dan pengembangan dada. Hal ini diperparah oleh gangguan suplai oksigen ke paru sehingga terjadi hipoplasi paru (Prawirohardjo, 2011). Tabel X. Managemen KPD

Antibiotik yang digunakan pada dalam penanganan ketuban pecah dini adalah antibiotik spektrum sempit yaitu penicilin atau ampicilin. Antibiotik profilaksis yang digunakan berguna untuk mencegah transmisi vertikal dan sepsis neonatal yang disebabkan oleh Streptococcus grup B. Antibiotik yang digunakan yaitu penicilin dengan sediaan intravena (IV) dengan 5.000.000-U bolus yang diikuti dengan 2.500.000 U setiap 4 jam atau ampicilin 2 gram yang diikuti dengan 1 gram intravena (IV) setiap 4 jam (erythromycin 500 gram IV setiap 6 jam atau clyndamycin, 900 gram IV setiap 8 jam, jika terdapat alergi penicilin) (Mercer, 2003). Kortikosteroid yang digunakan dalam penanganan ketuban pecah dini adalah dosis tunggal betametason dan deksametason. Betametason 12 mg intramuscular, 2 dosis setiap 24 jam. Deksametason 6mg intramuscular, 4 dosis setiap 12 jam ( Mercer, 2003). Tidak ada data yang adekuat dalam merekomendasikan pemberian tokolitik dalam terapi untuk mengatasi kejadian ketuban pecah dini. Studi mengenai profilaksis intravena atau terapi oral betamimetic mengatakan bahwa pemberian tokolitik dapat mencegah kejadian ketuban pecah dini. Pemberian tokolitik pada manajemen hamil dapat diberikan setelah kontaksi tidak terjadi. Selama ini beluma ada penelitian konkret yang menyatakan bahwa pemberian tokolitik dapat memperbaiki kondisi neonates yang mengalami ketuban pecah dini

bila terapi tokolitik ini diberikan bersamaan dengan kortikosteroid dan antibiotik. Adapun contoh obatnya adalah : a. Nifedipin 10 mg diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6 jam. b. Golongan beta-mimetik: 1. Salbutamol Per infus 20-50 mg/menit, dan per oral 4 mg, 2-4 kali/menit. 2. Terbutalin Per infus 10-15 mg/menit, per oral 5-7,5 mg setiap 8 jam. c. Magnesium sulfat: Parenteral 4-6 gr/iv pemberian bolus 20-30 menit.

B. Preeklampsia Berat Kriteria diagnosis preeklampsia berat adalah adanya tekanan darah sistol 160 mmHg atau tekanan darah diastol 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan dengan jarak 6 jam disertai proteinuria 5 gram protein pada urin tampung 24 jam atau +3 pada tes dispstik pada 2 sampel urin yang berjarak 4 jam. Preeklampsia berat dapat disertai gangguan multi organ yaitu dengan ditandai adanya oliguri (urin kurang dari 500 ml dalam 24 jam), gangguan penglihatan, edem pulmo, sianosis, nyeri epigastrik, gangguan fungsi hati, trombositopeni, dan IUGR (Wagner, 2004). Penyebab pasti preeklampsia belum diketahui, namun ada beberapa faktor resiko timbulnya preeklampsia yaitu (Duley et al, 2006) : a. Kehamilan pertama b. Riwayat preeklampsia c. Usia ibu 40 tahun d. BMI ibu 35 e. Riwayat preeklampsia di keluarga ibu f. Tekanan darah diastol 80 mmHg g. Kehamilan ganda h. Kondisi medis khusus: hipertensi kronik, gangguan ginjal, diabetes melitus, antiphospholipid antibodi. POGI (2010) membagi preeklampsia berat menjadi 2 golongan yaitu: a. Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia

b. Preeklampsia berat dengan impending eklampsi, dengan 2 gejala impending yaitu mata kabur, mual dan muntah, nyeri kepala, nyeri epigastrium, dan nyeri di kuadran kanan atas abdomen. Pengelolaan dasar preeklampsia berat adalah pertama rencana terapi pada penyulit yang muncul dengan pemberian obat-obatan, kemudian menentukan sikap terhadap kehamilan. Sikap terhadap kehamilan ada 2 yaitu konservatif jika usia kehamilan belum 37 minggu, kehamilan dipertahankan seaterm mungkin sambil memberikan terapi medikamentosa. Kedua adalah aktif, apabila usia kehamilan sudah 37 minggu, kehamilan diakhiri setelah ibu mendapat terapi medika mentos. Terapi medikamentosa segera diberikan setelah pasien masuk rumah sakit yaitu: a. Infus RL atau ringer dekstros 5% b. Pemberian antikejang MgSO4. MgSO4 dibagi menjadi 2 jenis yaitu dosis awal dan dosis lanjutan. Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patela normal, respirasi > 16x/ menit, produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100cc; 0.5 cc/kgBB/jam dan terdapat antidot berupa kalsium glukonat 10% dalam 10 cc. Apabila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO4 seperti frekuensi nafas > 16 x/menit, reflek patela (-), dan anuria maka segera diberikan injeksi kalsium glukonat 10% dalam 10cc selama 3 menit. Tabel x. Pemberian MgSO4 (POGI, 2010)

c. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah 180/110 mmHg atau MAP 126. Obat antihipertensi yang diberikan adalah nifedipin 10-20mg oral, diulangi setelah 30 menit dnegan dosis maksimal 120mg dalam 24 jam. Diharapkan tekanan darah dapat turun secara bertahap yaitu 25% dari tekanan darah sistolik atau mencapai < 160/105 mmHg atau MAP <125.

d. Diuretik, tidak berikan secara rutin karena memperberat perfusi plasenta, hipovolemia dan meningkatkan hemokonsentrasi. Diuretikum diberikan atas indikasi edem pulmo, gagal jantung kongestif, dan edem anasarka. e. Diet seimbang, hindari protein dan kalori berlebih. f. Posisikan pasien pada posisi miring ke kiri. Sikap tehadap kehamilan (POGI, 2010): a. Konservatif, dilakukan jika usia kehamilan kuramg dari 37 minggu dan tidak terdapat tanda-tanda impending eklampsia. Terapi yang diberikan sesuai dengan prinsip terapi diatas. MgSO4 tidak perlu diberikan loading dose intravena, cukup intarmuskuler. Jika usia kehamilan antara 32-34 minggu diberika dexamethasone 6mg 4 kali dosis selama 2 hari. Awasi adanya tandatanda impending eklampsia dan ulangi pemeriksaan proteinuria tiap 2 hari. Penderita dapat dipulangkan jika 3 hari bebas dari gejala preeklampsia berat. b. Aktif yang bertujuan untuk terminasi kehamilan. Indikasi terminasi kehamilan adalah (POGI, 2010): 1. Indikasi ibu: a. Kegagalan terapi medikamentosa yait terjadi kenaikan tekanan darah persisten setelah 6 jam pengobatan dimulai. b. Tanda dan gejala impending eklampsia c. Gangguan fungsi hepar d. Gangguan fungsi ginjal e. Curiga solusio plasenta f. Timbul onset partus, KPD, dan perdarahan. 2. Indikasi janin: a. Umur kehamilan 37 minggu b. IUGR berdasarkan USG c. NST nonrekatif dan profil biofisik abnormal d. Timbulnya oligohidramnion 3. Indikasi laboratorium yaitu trombositopenia progresif yang mengarah ke HELLP syndrom. Pada penanganan aktif, pasien tetap mendapat terapi medikamentosa seperti yang telah dijelaskan di atas. Persalinan sedapat mungkin pervaginam. Jika penderita belum inpartu dilakukan induksi persalinan jika skor Bishop 8. Induksi persalinan harus mencapai kala II dalam 24

jam. Bila gagal dilakukan seksio sesarea. Indikasi seksio sesarea adalah indikasi persalinan pervaginam tidak terpenuhi, induksi gagal, gawat

janin, dan umur kehamilan < 33 minggu. Jika pasien sudah inpartu dilakukan usaha untuk memperingan kala II. Seksio sesaria dapat dilakukan apabila terdapat kegawatdaruratan ibu dan gawat janin. Pada primigravida direkomendasikan untuk terminasi kehamilan dengan seksio sesaria (POGI, 2010).

Preeklampsi berat perlu mendapat penanganan yang tepat karena dapat menyebabkan komplikasi multiorgan antara lain (Duley et al, 2006): a. Sistem saraf pusat: kejang (eklampsia), perdarahan serebral (stroke), edem serebri, edem retina, gangguan pengelihatan serebral dan retinal. b. Sistem ginjal: nekrosis kortikal dan tubular. c. Sistem respirasi: edem pulmo, edem laring. d. Hati: ikterik, sindrom HELLP, ruptur hepar. e. Sistem koagulasi: DIC, mikroangipati hemolisis. f. Placenta: infark plasenta, solusio plasenta. g. Fetus: kematian fetus, persalinan prematur, IUGR

C. Eklampsia

Eklampsia didefinisikan sebagai preeklampsia yang disertai kejang tonik-klonik, dapat disusul dengan koma. Eklampsia dapat terjadi pada saat antepartum, intrapartum ataupun postpartum. Kejang diawali daerah mulut kemudian diikuti kekakuan seluruh tubuh akibat kontraksi otot. Seluruh tubuh akan mengalami kontraksi-relaksasi secara bergantian. Setelah beberapa saat kontraksi otot menjadi lemah kemudian berhenti. Saat kejang, diafragma menjadi kaku sehingga pernafasan terhenti. Pasien dapat mengalami henti nafas, kemudian akan diikuti pasien bernafas panjang kemudian nafas kembali normal.Tanpa penanganan yang tepat pasien dapat mengalami kejang berulang, dari yang ringan hingga status epileptikus. Setelah kejang pasien akan koma selama beberapa saat. Pada kejang yang ringan kesadaran akan segera pulih, namun pada kejang yang berat koma dapat berlangsung lama bahkan diikuti kematian. Prinsip penangananya adalah terapi suportif dan stabilisasi ibu dengan mengatasi permasalahan airway, breathing, dan circulation, mengatasi dan mencegah kejang, koreksi hipoksia dan asidemia, mengatasi penyulit khusunya krisis hipertensi, lahirkan janin secepat mungkin. Terapi medika mentosa pada eklampsia seperti pada preeklampsia berat. MgSO4 diberikan dengan dosis awal 4gr MgSO4 20% IV selama 4-5 menit. Jika terjadi kejang berulang berikan MgSO4 20% 2 gr IV minimal 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila tetap kejang dapat diberikan natrium amobarbital 3-5mg/kgBB IV . Dosis lanjutan MgSO4 adalah 1gr / jam IV. Obat antihipertensi diberikan jika tekanan diastolik > 110 mmHg. Nifedipin sublingual 10mg, setelah 1 jam pemberian nifedipin dapat diulang jika tensi masih tinggi. Penurunan tekanan diatolik jangan terlalu cepat hingga kurang dari 90 mmHg atau 30%. Diuretik hanya diberikan jika trejadi edem pulmo, gagal jantung kongestif, dan edem anasarka. Perawatan kejang pada pasien eklampsia adalah dengan menempatkan pasien pada ruangan isolasi dengan lampu terang, aspirasi lendir di dalam orofaring untuk mencegah aspirasi pneumonia, pasang guedel untuk membuka jalan nafas, fiksasi badan harus kendor agar tidak terjadi fraktur saat kontraksi, rail tempat tidur harus dipasang dan pastikan terkunci. Jika terjadi koma, tingkat kesadaran diukur dengan GCS, usahakan jalan nafas tetap terbuka, hindari dekubitus, dan perhatikan nutrisi. Prinsipnya semua kehamilan dengan eklampsia harus diterminasi tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Terminasi dilakukan setelah stabilisasi kondisi ibu, stabilisasi harus dicapai selambat-lambatnya 4-8 jam setelah pemberian kejang terakhir, kejang terakhir, pemberian obat antihipertensi terakhir, atau kesadaran mulai pulih. Seksio sesaria dilakukan jika dala,

waktu 12 jam bayi tidak dapat dilahirkan pervaginam atau terdapat fetal distress. MgSO4 tetap diberikan hingga 24 jam postpartum atau 24 jam setelah kejang terakhir (Cunningham, 2007; POGI, 2010; Prawirohardjo, 2011). Komplikasi yang dapat timbul pada eklampsia antara lain solusio plasenta, edem pulmo, defisit neurologis, pneumonia aspirasi, henti jantung, gagal ginjal akut, kematian maternal dan neonatal. Beberapa kasus terjadi kebutaan akibat lepasnya retina atau iskemi/edem di lobus oksipitalis (Prawirohardjo, 2011). D. Perdarahan antepartum Perdarahan antepartum didefinisikan sebagai perdarahan dari traktus genitalis sejak trimester ketiga kehamilan. Perdarahan antepartum merupakan salah satu penyebab tingginya mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal di dunia. 50% pasien dengan perdarahan antepartu terdiagnosis plasenta previa dan solusio plasenta, sedangkan sisanya tidak terdiagnosis dengan pasti karena tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan (Giordano. et al, 2010). Adanya riwayat perdarahan pervaginam pada wanita hamil trimester III dilakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, USG untuk menentukan lokasi plasenta. Penyebab nonplasenta yang mungkin mendasari adanya perdarahan adalah servisitis, ektropion serviks, polip serviks maupun kanker serviks. Dapat dilakukan pemeriksaan dengan spekulum steril, pemeriksaan vaginal toucher tidak boleh dilakukan kecuali jika hasil USG menunjukkan perdarahan tidak disebabkan oleh plasenta previa (Sakonrbut et al, 2007).

Gambar x. Plasenta Normal dan Solusio Plasenta Solusio plasenta atau placental abruption adalah pelepasan dini plasenta dari dinding uterus, sehingga terjadi perdarahan sebelum persalinan. Plasenta lepas dari dinding

uterus karena adanya perdarahan di desidua basalis. Perdarahan tersebut menyebabkan terbentuknya hematom dan peningkatan tekanan hidrostatik sehingga memicu lepasnya plasenta. Jika hematon tidak mencapai tepi plasenta, maka darah tidak keluar dari jalan lahir sehingga jumlah darah yang keluar dari jalan lahir tidak menujukkan jumlah perdarahan yang sebenarnya. Penyebab solusio plasenta adalah pembuluh darah plasenta yang abnormal dan mudah ruptur. Solusio plasentasering dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi gestasional, usia ibu hamil yang tinggi, polihidramnion, korioamnionitis, dan trauma. Diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan dengan adanya riwayat perdarahan pervaginam, nyeri perut, kontraksi uterus, uterus teraba kaku. Pada 20-35% kasus tidak dijumpai perdarahan pervaginam karena darah tertahan di retroplasenta. Dapat dijumpai syok akibat perdarahan masif dan koagulopati karena penggunaan faktor pembekuan yang berlebihan. Pemeriksaan dengan USG kurang sentitif untuk mendeteksi solusio plasenta, diagnosis dapat dikonfirmasi dengan memeriksa plasenta setelah persalinan, akan dijumpai adanya bekuan darah dan tekanan pada permukaan maternal. Pada janin dapat timbul fetal distress, persalinan prematur hingga kematian bayi (Giordano. et al, 2010). Penanganan pada solusio plasenta meliputi resusitasi awal dan stabilisasi kondisi ibu diikuti oleh penanganan solusio plasenta dan komplikasinya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam tatalaksana solusio plasenta adalah luas plasenta yang lepas serta reaksi ibu dan janin, dan usia kehamilan. Berikut ini adalah derajat solusio plasenta (Giordano. et al, 2010): a. Derajat 1: biasanya tidak terdeteksi secara klinis sebelum persalinan,terdiagnosis dengan adanya bekuan darah retropalasental b. Derajat 2: gejala klinis solusio plasenta muncul, fetus masih hidup. c. Derajat 3: fetus sudah mati dan dapat disertai koagulopati. Penanganan awal meliputi stabilitasi kondisi ibu dan pemeriksaan kesejahteraan janin. Terapi definitiv tidak perlu menunggu konfirmasi hasil USG karena USG kurang reliable untuk mendiagnosis solusio plasenta. Stabilisasi ibu memerlukan pemeriksaan hematokrit dan faktor koagulasi secara serial untuk mengetahui apakah terdapat DIC. Tokolitik hanya diberikan jika bagian plasenta yang lepas hanya sedikit dan usia kehamilan kurang dari 34 minggu sambil diberikan kortikosteroid untuk pematangan paru janin. Jika denyut jantung janin menunjukkan adanya fetal distress biasanya segera dilakukan seksio sesaria (Sakonrbut et al, 2007). Pada derajat 1, perdarahan dapat berhenti secara spontan,

pasien dapat dirawat jalan. Pada derajat 2 atau 3 perli dilakukan resusitasi, persalinan, dan koreksi gangguan pembekuan yang dapat muncul. Persalinan percobaan pervaginam lebih direkomendasikan jika memenuhi persyaratan persalinan pervaginam. Persalinan dilakukan secepat mungkin dengan tetap memonitoring kondisi ibu dan janin. Jika muncul tanda-tanda fetal distress persalinan dpercepat dengan seksio sesaria. DIC dapat terjadi beberapa jam pada solusio plasenta yang berat. Sebelum dilakukan operasi harus dilakukan penggantian darah dan komponen darah. Adanya solusio placenta meningkatkan resiko perdarahan post partum akibat atonia uteri dan gangguan sistem koagulasi, sehingga pasien perlu diawasi dengan ketat. Urin output harus diawasi dengan ketat karena gagal ginjal merupakan komplikasi yang potensial terjadi (Giordano. et al, 2010). Solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya dibandingakn plasenta previa bagi ibu dan janin. Hal ini dikarenakan perdarahan tersembunyi yang banyak dapat mengganggu sirkulasi uteroplasenter sehingga terjadi hipoksia janin. Hematoma retroplasenter juga dapat menyebabkan koagulopati konsumptif yang fatal bagi ibu (Prawirahardjo, 2008). Solusio plasenta terjadi pada 1% kehamilan. Kematian neonatal berkisar anatara 10-30%. Diperkirakan 50% terjadi sebelum usia kehamilan 36 minggu sehingga meningkatkan kejadia bayi lahir premature. Selain bayi prematurm dapat terjadi IUGR maupun IUFD. Komplikasi yang muncul pada ibu anatara lain syok, anemia, gagal ginjal akut akibat perdarahan yang hebat, DIC akibat masuknya tromboplastin dalam sirkulasi ibu yang menyebabkan koagulopati konsumptif. Perdarahan juga dapat menyebabkan infiltrasi sel darah ke miometrium. Hal ini menyebabkan gangguan kontraksi miometrium yang dapat menyebabkan perdarahan berat pascapersalinan, kondisi ini disebut uterus couvelair (Sakonrbut et al, 2007). Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi di segmen bawah uterus, diperkirakan 4-5 dari 1.000 kehamilan menderita plasenta previa. Plasenta previa disebabkan oleh implantasi blastokista di segmen bawah uterus, beberapa faktor yang dikaitkan dengan kejadian plasenta previa adalah peningkatan paritas dan usia ibu hamil, peningkatan ukuran plasenta (misal: gemeli), kerusakan endometrium (misal: kuretase), riwayat SC, jaringan parut uterus (misal: post miomektomi), dan riwayat plasenta previa. Kecurigaan adanya plasenta previa adalah apabila dijumpai perdarahan dengan darah merah segar tanpa sebab, berulang, dan tidak diertai rasa

sakit. Biasanya plasenta previa diketahui saat pemeriksaan USG, terlihat implantasi plasenta di segmen bawah uterus. Klasifikasi plasenta previa menurut lokasi implantasi (Giordano. et al, 2010): a. Tipe 1/ low lying/ plasenta letak rendah: plasenta berimplantasi kurang lebih 5 cm dari ostium serviks interna b. Tipe 2/ Marginal: plasenta mencapai ostium serviks interna tetapi tidak menutupinya c. Tipe 3/ Partial: sebagian plasenta menutupi ostium serviks interna secara asimetris pada salah satu sisi d. Tipe 4/ Complete: plasenta menutupi ostium serviks secara sempurna

Gambar x. Jenis-Jenis Plasenta Previa 15 % wanita yang mengalami perdarahan antepartum akan mengalami partus spontan dalam 2 minggu sejak perdarahan awal. Jika kehamilan lebih dari 37 minggu dan ada perdarahan rekuren atau disertai IUGR maka penatalaksanaannya adalah dengan induksi persalinan. Jika perdarahan berulang dengan jumlah cukup banyak maka perlu dipertimbangkan terminasi kehamilan meskipun usia kehamilan belum mencapai 37 minggu. Pada kehamilan kurang dari 36 minggu perlu diberikan steroid untuk mengantisipasi jika terjadi persalinan prematur. Penanganan plasenta previa dipengaruhi oleh banyaknya perdarahan dan jenis plasenta previa. Pada plasenta previa marginal dan plasenta letak rendah dapat dilakukan persalinan percobaan pervaginam, namun pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lateralis persalinan harus diakhiri dengan seksio sesaria untuk meminimalisir resiko terjadinya perdarahan (Giordano. et al, 2010). Sebagian besar mortalitas dan morbiditas neonatus pada plasenta previa disebabkan oleh prematuritas janin, sehingga terapi bertujuan untuk mempertahankan kehamilan hingga paru janin matur pada kehamilan preterm. Tokolitik diberikan untuk mempertahankan kehamilan jika perdarahan disertai dengan kontraksi uterus. Kortikosteroid diberikan pada kehamilan 24-34 minggu. Terminasi kehamilan dapat dilakukan pervaginam dan

perabdominan. Wanita dengan plasenta yang berimplantasi 2cm dari ostium uteri interna, persalinan dapat dilakukan pervaginam kecuali jika sedang terjadi perdarahan hebat. Pada wanita dengan plasenta yang berimplantasi 1-2cm dari ostium uteri interna dapat dilakukan persalinan percobaan pervaginam di fasilitas kesehatan yang mampu melakukan seksio sesaria dengan cepat jika diperlukan. Pada wanita dengan plasenta previa tanpa perdarahan dilakukan amniosentensis untuk mengetahui tingkat maturasi paru sebelum direncanakan seksio sesaria (Sakonrbut et al, 2007).

Komplikasi yang ditimbulkan plasenta previa antara lain diakibatkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat perdarahan dapat terjadi syok dan anemia. Jika perdarahan masif dapat terjadi koagulopati konsumptif sehingga terjadi DIC. Segmen bawah rahim yang tipis membuat trofoblas mudah berinvasi hingga miometrium bahkan sampai perimetrium sehingga terjadi plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta. Akibat implantasi plasenta yang abnormal dapat terjadi kelainan letak anak. Fetal distress dan persalinan

prematur sering terjadi karena kondisi ibu yang tidak stabil sehingga harus dilakukan terminasi kehamilan sebelum bayi aterm (Prawirahardjo, 2008). Vasa previa adalah kondisi dimana pembuluh darah janin yang berada di dalam selaput ketuban melewati ostium uteri interna untuk sampai ke tali pusat. Perdarahan dapat terjadi saat ketuban pecah saat pembukaan serviks terjadi robekan pembuluh darah tersebut atau terputusnya pembuluh darah tersebut dari insersinya di tali pusat. Tanda dan gejala yang muncul adalah perdarahan pervaginam, amniotomi, dan bradikardi janin. Pemeriksaan USG tranvaginal dapat mendeteksi adanya vasa previa, pada usia kehamilan 18-20 minggu dapat diketahui insersi plasenta. Idealnya, dengan ANC yang baik vasa previa sudah dapat diketahui sebelum terjadi perdarahan pervaginam akibat rupturnya pembuluh darah. Namun, sebagian besar kasus tidak terdeteksi, dan baru diketahui setelah terjadi perdarahan. Jika terjadi perdarahan antepartum dapat menyebabkan asfiksia hingga kematian janin (33%100%). Setelah pasien terdiagnosis vasa previa, pada usia kehamilan 28-32 minggu segera diberikan kortikosteroid untuk pematangan paru. Hal ini dikarenakan pasien vasa previa mempunyai kecenderungan untuk terjadi persalinan prematur akibat ketuban pecah dini. Terminasi kehamilan dilakukan dengan seksio sesaria elektif, penelitian menunjukkan seksio sesaria elektif sebaiknya dilakukan pada minggu ke-34- atau 35 jika tidak terjadi perdarahan. Namun jika terjadi perdarahan dan ditemukan darah bayi maka seksio sesaria emergensi harus segera dilakukan (Gagnon, 2009; Giordano. et al, 2010).

Cunningham. 2007. Hypertensive Disorder in Pregnancy. Dalam: William Obstetrics Edisi 22. Conecticut: Appleton and Lange. Sakornbut, Ellen., Lawrence Leeman., Patricia Fontaine. 2007. Late Pregnancy Bleeding. American Family Physician. Vol. 75 No. 8 Gagnon, Robert. 2009. Guidelines for Management of Vasa Previa. JOGC. No. 231 Giordano, Rosalba., Alessandra Cacciatore., Pietro Cignini., Reberto Vigna., Mattea Romano. 2010. Antepartum Hemorrhage. Journal of Prenatal Medicine. Vol. 4 Issue. 1 Hal. 12-16 Wagner, Lana. 2004. Diagnosis and Management of Preeclampsia. American Family Physician. Vol. 70 No. 12 Duley, Lelia., Shireen Meher., Edgardo Abalos. 2006. Management of Preeclampsia. BMJ. Vol. 332

Hacker.N.F., Moor J.George, Ketuban Pecah Dini dalam Esensial Obstetri dan Ginekologi, edisi 2, Hipokrates, Jakarta, 2001, hal : 304 306. Maria. 2007. Ketuban Pecah Dini Berhubungan Erat Dengan Persalinan Preterm dan Infeksi Intrapartum. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan Edisi IV. Jakarta: Bina Pustaka. POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia). 2010. Penatalaksanaan Hipertensi dalam Kehamilan. Diunduh di URL:

http://www.pogi.or.id/pogi/upload/downloadfile/b885ca787fde10fe1b84f6747fd2992c_ protaphipertensidalamkehamilanprotaphipertensidalamkehamilan.pdf diakses Jumat, 17 Mei 2013 Mercer, Brian M. 2003. Preterm Premature Rupture of the Membranes. The American College of Obstetricians and Gynecologists. 101 : 185-8.

You might also like