You are on page 1of 56

TAXABLE -DEDUCTIBLE or TAXABLE NONDEDUCTIBLE

Mohon klarifikasi , utk biaya berikut (dlm bentuk uang) berikut masuk taxable -deductible atau taxable -non deductible?: apakah

-Tunjangan perumahan karyawan asing

yang nota bene sudah punya NPWP,

-Tunjangan pajak karyawan asing yg juga sudah punya NPWP,...

Terima
Bang Parlin, Kalau diberikannya dalam bentuk uang sih udah pasti masuk ke Penghasilan Karyawan dan biaya bagi perusahaan [Taxable - Deductable] Salam,

Triyani
Om Parlin ( Paling ramah dan lincah hehehe) Hmm kalo liat prinsipnya pemberian dlm bentuk cash, sifatnya taxable dan deductable utk company..ya kalo punya NPWP berarti tar Expatnya ngelapor SPT Tahunan gitu ( kerjaan kita juga sich ) dan selebihnya dah tahu lah..CMIIW Rgds

-DU
Bang Parlin, Apabila tunjangan dimasukan ke dalam gaji karyawan yg dikenakan PPh 21 maka deductable bagi perusahaan. Tapi kalau dibayarin oleh company ya itu sih fasilitas...benefit in kind dan non deductable. Bagi expat pemotongan oleh perusahaan masuk ke laporan SPTnya...kalau aku selama ini tdk mau ngelaporin SPT mereka....lah wong pribadi kok SPTku juga buat sendiri....expatnya biar buat sendiri aja tuh SPTnya. regards himawan

Terima Kasih utk responnya. Kesimpulannya, memang tidak semua TAXABLE PASTI DEDUCTIBLE, contohnya seperti BIK buat Expat, dimana nyang bayarin pajaknya adalah Kumpeni. Tapi kayaknya ada SE atawa KEP-nya ya Pak Himawan?

Salam,

Lho kok kesimpulan jadi begitu Lae... Bedakan antara Tunjangan dan Tanggungan. Kalo Tunjangan diberikan dalam bentuk uang kepada karyawan ybs. Kalo Tanggungan dibayarin oleh perusahaannya. Kalo Tunjangan, menambah Penghasilan si penerima dan otomatis menambah PPh 21nya (Taxable). Perusahaan boleh membiayakan (Deductible Expense). Kalo Tanggungan, tidak menambah Pnghasilan si penerima, maka tidak menambah PPh 21nya (Non Taxable). Perusahaan tidak boleh membiayakannya (Non deductible expenses). Ada pengeluaran untuk karyawan yang Non Taxable, tapi Deductible, yaitu Makan Siang dan Air Minum yang disediakan oleh perusahaan untuk karyawannya. Hayo... bikin lagi kesimpulan baru... @TS Kang Parlin, > Tapi kan faktanya ada Pengeluaran yg berkaitan dgn karyawan yg TAXABLE > tapi NON DEDUCTIBLE kan? --- Bisa ngasih contoh ? --- As per my understanding, Prinsip yang ada: "Taxable di 21, selalu Deductible di Badan". Misal: Segala tunjangan (pajak, medical, transport dll) adalah taxable di 21 dan dedcutible di Badan. Sebaliknya Segala Natura (BIK) Non Taxable di 21 dan Non Deductible di Badan. Hope be clear, kalau belum, ntar ketemuan GAME & Seminar. -S----- Original Message -----

From: "Sinaga, Parlin" <PSinaga@scj.com> To: <tax-ina@yahoogroups.com> Sent: Friday, July 29, 2005 8:49 AM Subject: RE: [tax-ina] TAXABLE -DEDUCTIBLE or TAXABLE NONDEDUCTIBLE > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > He..he..he bisa aja Mas Teddy ini.

Anyway, thank's utk penjelasannya.

Mungkin saya salah mengambil terminologinya.

Tapi kan faktanya ada Pengeluaran yg berkaitan dgn karyawan yg TAXABLE tapi NON DEDUCTIBLE kan? CMIIW again.

Jadi... (mencoba membuat kesimpulan baru) :

Ada prinsip TAXABLE-DEDUCTIBLE, NONTAXABLE-NONDEDUCTIBLE, Tapi ada jg yg anomali : TAXABLE-NONDEDUCTIBLE, atau NONTAXBLE -DEDUCTIBLE (seperti cth Mas Teddy).

Contoh dan peraturannya mungkin Ibu moderador kita ahlinya....

Thanks,

REMNANT (BARANG EXPIRED/RUSAK)-sbg pengurang Penjualan


Dear Rekan,

Adakah yg punya pengalaman dalam accounting treatment atas Reminant atau barang obselence (expired) yg ada di distributor yg harus dimusnahkan.

Selama ini, kita sebagai principal (yg menjual ke distributor-msh dlm grup) melakukan mekanisme retur dan menghasilkan nota retur pajak, dgn mengikuti prosedur retur yg baku.

Tapi karena alasan praktis , kita sebagai principal ingin menanggung biaya tsb.

1. Apakah dgn menjurnal sebagai pengurang penjualan (Dr) dan Acc Receivable ( Cr), pengurangan tsb bisa diakui secara Pajak?

Dalam hal ini kita tdk memperhitungkan PPN outnya lagi karena tdk memenuhi mekanisme Nota Retur.

2. Apakah utk pengurangan ini masih diperlukan agreement tersendiri? Atau cukup dgn Policy atas mekanisme bisnis biasa?

Terima Kasih - Sebelumnya,

Parlin B Sinaga

Yth. Bapak Parlin Sinaga di tempat, Kami ingin mencoba menjabarkan dan membagi pengetahuan berkaitan dengan permasalahan yang Bapak hadapi. Pemahaman kami: - Distributor (PT.A) dan Principal (PT.B) berada dalam satu kelompok usaha. - PT.A memiliki barang persediaan yang akan dimusnahkan. - PT.B ingin menanggung biaya pemusnahan barang persediaan tersebut. Pertanyaan: - Bagaimana accounting treatment untuk menanggung biaya tersebut? Kami mencoba berbagi: - Pada dasarnya, barang persediaan itu merupakan milik PT.A. Dengan demikian, jika akan dimusnahkan PT.A harus membuat journal, secara umum, sebagai berikut: DR: Kerugian Pemusnahan Barang Persediaan xxx - - -

CR: Barang Persediaan

- - -

xxx

- Apabila PT.B, selaku principal, berkehendak untuk menanggung kerugian atas pemusnahan tersebut, maka akan dibuat journal sebagai berikut: Journal PT.A ditambahkan: DR: Utang dagang xxx - - CR: Penghasilan penghapusan utang dagang - - xxx Journal PT.B: DR: Kerugian Penghapusan Piutang Dagang CR: Piutang dagang - PT.A xxx - - - - -

xxx

Untuk perlakuan tersebut di atas, supaya jelas dan transparan dapat dibuatkan perjanjian karena antara PT.A dan PT.B masih berada dalam satu kelompok usaha. Meskipun, perlakuan akuntansi tersebut adalah umum. Terima kasih atas perhatiannya. Mohon maaf apabila ada hal-hal yang keliru. Have a nice DAY! Donny Danardono

Yth,

Bp Donny Di Tempat,

( wah.. koq jadi kayak surat tanggapan keberatan, yak?...he..he..he),

Terima kasih atau penjelasannya yg cukup sistematik treatment.

secara accounting

Tinggal sekarang, dari segi PT B, jika penghapusan piutang tsb ditreat sebagai pengurang sales, bukankah akhirnya nilai secara bottom line juga sama. Atau apakah ada SE atau KEP yg menghalangi langkah ini dilakukan?

Karena kalau dianggap sebagi penghapus piutang tentu secara Pjk , kita hrs berhadapan dgn 4 kriteria yg sangat mustahil utk dipenuhi.

.....

Parlin B Sinaga
Bang parlin .... kalo anda masukkan sebagai kerugian penghapusan piutang , pasti akan di koreksi olehpajak ( krn tidakmemenuhi 4 syarat) . bagaimana kalo dimasukkan sebagai program marketing saja. . . adakan program marketing untuk membeli kembali semua produk principal yang ada di pasar....jurnal nya dr...biaya marketing... cr.. kas.. trus piutangnya gimana?? ya tetap aja, setelah di bayar oleh PT B ..khan PT A akan dapet duit... bayarin lagi aja ke PT B .... trus kalo di tanya oleh pajak apa alasannya ......kalo saya sih alasannya business risk ....sebab kalo product rusak ..berarti khan ada busniess risk yang di hadapi oleh perusahaan ....yg mempengaruhi oleh brand imange produk anda... gimana ??? toto

Yth. Bapak Parlin Sinaga di tempat, Memang benar, jika diperlakukan sebagai pengurang penjualan secara bottom line akan sama hasilnya. Saya setuju. Akan tetapi, secara accounting treatment maupun pajak akan sulit diterima karena tidak ada alasan untuk mengurangi Penjualan. Namun demikian, diperlakukan sebagai Penghapusan Piutang pun akan menemui kendala dari segi perpajakan. Saya pun setuju dengan pendapat Bapak. Akan tetapi, jika kita berbicara accounting treatment maka Penghapusan Piutang adalah yang tepat.

Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan memperlakukannya sebagai Pengurang Omzet akan tetapi tidak sekaligus. Caranya, dengan memperlakukannya sebagai Diskon Penjualan yang diterapkan secara terbagi rata dalam kurun waktu tertentu. Saya katakan terbagi rata, supaya tidak terlalu menyolok mata Fiskus maupun Auditor. Jika diterapkan secara sekaligus akan menimbulkan pertanyaan dan menyalahi prinsip akuntansi. Insya Alloh, dapat bermanfaat bagi Bapak. Mohon maaf apabila ada kekeliruan. Have a nice DAY! DONNY DANARDONO

Good Idea! Namun demikian, apabila dikatakan Principal akan membeli kembali semua produk yang ada di pasar maka akan timbul Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan dari Distributor ke Principal. Selain itu, jika dikatakan Program Marketing maka harus berlaku bagi Distributor yang lain (jika ada), karena hal semacam ini akan terlihat sebagai Pengalihan Biaya antar Perusahaan dalam satu kelompok usaha. Have a nice DAY! DONNY DANARDONO

mungkin tergantung seberapa besar kerusakan barang dagangan tsb . sehingga bisa ditentukan apakah berlaku ke semua distributor atau tidak .... tapi kalo pun nggak berlaku ke semua distributor juga nggak apa2 kok ...bisa aja dong kita berkelit bilang bahwa kebetulan distributor A yang paling banyak jualan produk kita... :) ( intinya selalu ngeles dan berkelit ....he he he ) kalo PPNnya emang betul sih ...jadi terutang PPN.... (tapi mau bagaimana lagi dong )... toto

so, I think, everything should back to the agreement, right?

year 2002 tax audit


Hi, Saya dapat SKPKB utk pemeriksaan tahun 2002, gimana journalnya ya: 1. PPh21 Rp 100 (termasuk bunga Rp 20) 2. PPh23 witholding tax Rp 100 (termasuk bunga Rp 20) 3. Ps 4 ayat 2 Rp 100 (termasuk bunga Rp 20) 4. PPh 25 Rp 100 (termasuk bunga Rp 20) Terima kasih atas jawabannya & salam/alex [Non-text portions of this message have been removed]

Pak Alex, kalo masih mau keberatan debitnya bisa di catat di akun kalo udah final langsung dicatat di biaya Rgrds, Kaharudin neraca. Tapi

Biaya pajak pada bank? hehhehe nanti biaya pajaknya dikoreksi fiskal (non deductible)

Mas Alex, Untuk point 1-3 kita akui sebagai "Tax Expense": Tax Expense xxx Bank Point 4 a. Bila posisi semula "Over Payment": Tax Expense Corporate Tax Receivable Bank xxx xxx xxx

xxx

b. Bila posisi semula "Under Payment", jurnalnya seperti point 1-3. Begitu kira-kira. Salam Soleh

S-08/PJ 43/2003- Pph 23 atas sewa ruangan utk rapat / training hotel
Dear Colleagues. Dalam S-08/PJ43/2003- Atas sewa Ruangan utk rapat atau training di hotel Ditegaskan bahwa bila atas tagihan hotel tidak dipisahkan antara sewa + harga makanan + service , maka tidak dikenakan pph 23 atas sewa ruangan tsb , karena merupakan harga 1 paket . Dari penegasan tsb bisakah saya ambil kesimpulan : bila dlm tagihan hotel , dipisahkan antara Sewa , harga makanan & sevice , maka dapat di pisahkan mana yg objek pph 23 , mana yg objek PB 1. atau dengan kata lain , saya hrs melakukan withholding tax atas sewa ruangan. Terimakasih atas confirmasinya. Wassalam Aninda Dian Indriani

Dear Ninda, Kalau menurut saya, pendapat Anda benar. Regards, Donny Danardono Tax Department - DuPont Indonesia

Mba dian, di perhotelan ada aturan khusus kalau sewa kamar dan makanminum di tempat tidak dikenakan pajak pusat. Kalau sewa ruangan u/rapat kena PPh 4(2) yah? Sori nih balik nanya....hehhe masih awam soal jasa perhotelan.

kalau sewa ruangan untuk rapat dikenakan PPh Ps. 4 ayat (2) Pak. Tidak dikenakan Pb I. Have a Lucky DAY! Donny

yg TIDAK dikenakan PPh ps 4 (2) termasuk didalamnya penghasilan yg diperoleh dari jasa perhotelan. Yang dimaksud dengan jasa perhotelan adalah semua jasa yang diberikan oleh hotel dalam lingkungan usaha hotel. Tidak termasuk dalam lingkungan usaha diantaranya adalah sewa tempat untuk perkantoran di hotel. Jadi kalo sewa tempat untuk meeting di hotel TIDAK dipotong PPh ps 4 (2). coba dicek lagi di aturan ttg sewa tanah dan bangunan -taufikyg pernah kerja di perhotelan....

Nah kalo tidak dikenakan Pajak Pusat buat apa tuh S-08/PJ43/2003 nulis "Ditegaskan bahwa bila atas tagihan hotel tidak dipisahkan antara sewa + harga makanan + service , maka tidak dikenakan pph 23 atas sewa ruangan tsb, karena merupakan harga 1 paket" Kalo dipisahkan apakah dikenakan pajak? Kalo dari peraturan perhotelan kan nga kena kecuali u/sewa ruangan jadi kantor. Yang kena PPh 23 apa aja sih dari jasa perhotelan? Yang saya tau cuma jasa catering (soalnya dibawa keluar hotel). Persepsi sendiri sih S (surat) tidak dapat dipakai u/beragumen dengan fiskus, fiskus pakai aturan yang lebih tinggi...tp kok kadang2 fiskus malah ngotot pake S (surat)...hehhe NB: pak taufik yang saya nanya pernah menang 4(2) atas kasus saya, bukan nyindir pernah menang menang banding u/kasus yang sama dengan saya pernah banding gitu loh)....kmrn baca email balesan jadi ga paham...hehhe banding itu u/kasus PPh banding apa nga ^_^! tp apa nga (biar yakin ke enak sendiri..takut salah

All, Ini dia isinya S-08..... Disini ditekankan "sepanjang dilakukan di ruangan hotel". Nah, berarti

apabila tidak di ruangan hotel... di Aula (Ballroom misalnya) dan tidak dalam satu paket, apakah berarti kena? kalo menurut saya sih, berdasarkan penegasan di bawah ini, untuk di luar ruangan hotel akan kena PPh 4 (2). Piye Mas Taufik? (kemaren gak jadi nelpon rumah?...he he he) S-08/PJ.43/2003 PPH PASAL 23 ATAS SEWA RUANGAN UNTUK RAPAT ATAU TRAINING DI HOTEL Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 22 Oktober 2002 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan beberapa hal, sebagai berikut: a. PT. ABC sering menggunakan ruangan di hotel untuk training, seminar atau pertemuan untuk satu hari atau lebih, karena ruangan di kantor tidak mencukupi atau dengan alasan agar para peserta seminar atau training dapat berkonsentrasi penuh dalam mengikuti acara tersebut. b. Dalam tagihan yang diajukan pihak hotel tidak dipisahkan antara harga sewa dan harga makanan serta service yang diberikan oleh pihak hotel. Menurut Saudara pemisahan ini agar dapat dipisahkan mana yang menjadi objek PPh Pasal 23 untuk sewa gedung dan objek Pajak Daerah untuk harga makanan. Pihak manajemen hotel bersikeras bahwa tidak ada sewa ruangan melainkan packet yang sudah digabungkan dalam harga makanan sehingga tidak terutang PPh Pasal 23. c. Sementara pada saat audit pajak yang dilakukan oleh auditor mengatakan bahwa penggunaan ruangan hotel untuk pertemuan, seminar atau training terdapat unsur sewa yang terutang PPh Pasal 23. 4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa sepanjang penyelenggaraan seminar, training atau pertemuan lainnya oleh PT ABC dilaksanakan di ruangan hotel, maka atas imbalan yang diperoleh atau diterima sehubungan dengan penyelenggaraan seminar, training atau pertemuan lainnya dengan menggunakan ruangan hotel, harga makanan

dan service yang diberikan oleh pihak XYZ termasuk objek Pajak Daerah. Namun atas imbalan yang diperoleh atau diterima oleh XYZ atas penggunaan ruangan, harga makanan dan service merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunannya. Demikian agar Saudara maklum. A.n. DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR, ttd SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN

di kalimat terahkir S-08 ini kan disebutkan "dilaporkan oleh hotel dalam SPT Tahunan" berarti kita gak boleh potong PPh 4(2). Di Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ/2002 tanggal 23 April 2002 tentang Tata Cara Pemotongan Dan Pembayaran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan Atau Bangunan di Pasal 2:Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Berarti sewa tanah/bangunan di hotel gak dikenakan donk ya... ^_^ Pasal 1 PP 65 th 2001 tentang Pajak Daerah disebutkan bahwa Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan/atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran. Berarti perkantoran dan pertokoan tidak termasuk dalam jasa hotel sehingga sewa toko dan kantor di hotel akan dipotong PPh ps 4 (2) Yang kena PPh 23/4(2) atas penghasilan hotel cuma sewa kantor/toko. Jarang banget ada hotel yg nganterin makan keluar sbg catering. to Tjipto, ooo gitu... aku belum pernah tuh kalo case yg seperti itu. Mendingan sering2 baca ITR deh soale sering dibahas tuh hasil bandingnya.... -taufik-

coba pak donny dengan pak taufik reconsile dulu...hehhehe kayanya masih ada beda pendapat tuh.....yang mabok junior2nya...hehhee NB: saya dukung pak taufik....hehhehe

All, Aku mo coba ikut nimbrung dikit nih..... Usaha-usaha yang berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perpajakan daerah adalah Bea BAlik nama kendaraan bermotor (perda no. 3 Tahun 2003) Pajak Hotel dan restoran (perda no. 9 Tahun 1998) Pajak Kendaraan bermotor (Perda No. 4 Tahun 2003) Melihat permasalahan yang ada dan yang sedang kita diskusikan yaitu masalah persewaan ruangan untuk kegiatan seminar dan atau pertemuan yang dilaksanakan di hotel maka dengan melihat perda no. 9 TAhun 1998 salah satu yang merupakan obyek pajak hotel dan restoran adalahJasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan dihotel. Jadi apabila kita menyewa ruangan untuk pertemuan atau kegiatan acara tidak boleh kita potong PPh pasal 4(2) karena unuk hotel dan restoran terkait dengan Pajak daerah dan tidak berhubungan dengan pajak pusat kecuali untuk SPT TAhunan PPh badannya saja. Hal ini dipertegas dengan surat Dirjen pajak nomor S-08/PJ43/2003 seperti yang telah dicopy-kan oleh bapak donny. Jika kita lihat dari surat tersebut butir ke-2 "Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa sepanjang penyelenggaraan seminar, training atau pertemuan lainnya oleh PT ABC dilaksanakan di ruangan hotel, maka atas imbalan yang diperoleh atau diterima sehubungan dengan penyelenggaraan seminar, training atau pertemuan lainnya dengan menggunakan ruangan hotel, harga makanan dan service yang diberikan oleh pihak XYZ termasuk objek Pajak Daerah". Jadi seperti yang saya sebutkan diatas persewaan ruangan di hotel bukan

merupakan obyek PPh Pasal 4(2) tapi merupakan obyek pajak daerah dan besarnya tarif yaitu 10% dari DPP. BAgi penerima imbalan tersebut (dalam hal ini adalah pihak hotel) merupakan penghasilan dan harus dilaporkan dalam SPT TAhunan PPh Badan. hal ini sesua dengan S-08/PJ43/2003 butir ke-2 "Namun atas imbalan yang diperoleh atau diterima oleh XYZ atas penggunaan ruangan, harga makanan dan service merupakan penghasilan yang harus dilaporkan dalam SPT Tahunannya". Demikian penjelasan dari kita diskusikan lebih lanjut. Best Regards Muh. Annur PT. COGNIS ph. +62 21 Fax +62 21 Wijayakusuma INDONESIA 8711096 ext 228 8729088 saya. Kalo ada yang kurang jelas mari

Ini aturannya untuk mendukung Pak Taufik. S-07/PJ.43/2003 PERMOHONAN PENEGASAN MENGENAI ASPEK PERPAJAKAN BIDANG USAHA PERHOTELAN Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 27 September 2002 perihal sebagaimana tersebut di atas, dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam surat tersebut Saudara mengemukakan beberapa hal, sebagai berikut: a. Pada bulan Agustus 2001, PT ABC yang salah satu bidang usahanya adalah jasa periklanan bertindak atas nama PT. XYZ mengadakan konser pertunjukan musik klasik yang diselenggarakan di Ballroom Hotel XXX (PT. BCA). b. Biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan konser dibayarkan dalam bentuk banquet dimana setiap tamu undangan yang hadir disediakan meja dan kursi yang berisi makanan dan minuman yang harganya bervariasi sesuai dengan harga

tiket pertunjukan yang dibeli. c. Atas biaya tersebut pihak Saudara memotong PPh Pasal 4 ayat (2) sebesar 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN sebagaimana yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996, namun pihak Hotel XXX (PT. BCA) berkeberatan atas pemotongan PPh tersebut, karena bidang usaha perhotelan yang digeluti adalah Objek Pajak Daerah/Pajak Pembangunan I (PBI). d. beberapa hal: (1) Apakah pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang diterima oleh pihak Hotel XXX (PT. BCA) sudah memenuhi persyaratan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan atas Tanah dan atau Bangunan. (2) (PT. BCA) termasuk dalam Menteri Keuangan Nomor Apakah ruangan yang dimiliki oleh Hotel XXX pengertian yang ada dalam Pasal 1 Keputusan 394/KMK.04/1996. Atas permasalahan tersebut Saudara mempertanyakan

2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pemotongan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 tanggal 1 April 2002 tentang Tata Cara Pemotongan dan Pembayaran Serta Pelaporan Pajak Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau

Bangunan yang diatur pelaksanaannya dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-227/PJ/2002 tanggal 23 April 2002 antara lain bahwa penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, gedung perkantoran, pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final. 3. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1998 tentang Pajak Daerah diatur antara lain: a. Pasal 1 angka 4 : Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran; b. Pasal 15 ayat (1) : Objek Pajak Hotel dan Restoran adalah pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di hotel atau restoran, termasuk: 1) jangka pendek 2) Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan 3) atau pertemuan hotel 4) Penjualan makanan dan atau minuman di tempat yang disertai dengan fasilitas penyantapannya. 4. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penyewaan Ballroom hotel XXX Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal

(PT BCA) oleh PT ABC untuk penyelenggaraan pertunjukan musik dalam bentuk banquet tidak termasuk dalam pengertian persewaan ruangan sebagaimana dalam butir 2 di atas, namun merupakan objek Pajak Daerah, sehingga tidak wajib dipotong PPh Pasal 23. Namun demikian atas imbalan yang diterima oleh PT BCA harus dilaporkan dalam SPT Tahunan pada tahun yang bersangkutan. Demikian agar Saudara maklum. A.n. DIREKTUR JENDERAL DIREKTUR, ttd SUMIHAR PETRUS TAMBUNAN

keberatan=bayar 100%?
mo nanya nih.....pertanyaan dangkal sih...hiks kalo mo keberatan harus bayar 100%?Bisa 50% juga ga? Soalnya kalo ditolak mau ke banding. Case yang sama dah menang dibanding. Dalam banding harus bayar minimal 50%. Soalnya mo cari cash flow nya yang minimal :p thanks [Non-text portions of this message have been removed] pernah punya pengalaman yang sama... agak aneh emang, keringanan boleh bayar 50% dulu hanya berlaku untuk "Banding", sedangkan untuk "Keberatan" tidak ada aturannya, yang ada malah disebutkan bahwa pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban pembayaran pajak terutang di SKPKB... lucu, menyedihkan atau mungkin ada yang tau peraturan yang lain ? ^_^

Kalo pengalaman saya, pajak (KPP) gak mo ngeliat/nge-refer UU Pengadilan Pajak mereka tetep keukeuh meureukeuh pegang UU Pajak:"Penagihan tidak menunggu proses keberatan/banding", jadi tetep keukeuh meureukeuh bayar 100%... Moga ngebantu....

Bisa dan boleh bayar 50%, Mas. Memang, proses penagihan tetap berjalan hanya untuk formalitas saja, tetapi tidak sampai di sita dan lelang. Surat Tegoran dan Surat Paksa tetap ada. Itu pengalaman saya dengan KPP PMA. Bahkan, teman2 di Seksi Keberatan Kanwil bilang, ngapain bayar dulu? toh, tanpa membayar juga proses keberatan tetap dijalankan. Gitu Mas. But, better bayar 50% dan menghadap Kasi Penagihannya. Selesai dah. semoga bermanfaat =danardono=

Sama saya juga sudah ketemu dulu dengan kepala penagihan PMA V, dan dia sendiri ngasih tenggang waktu 3 bulan tidak akan ada tindakan apa dari KPP, tapi setelah dua (kita bayarnya angsur, total hutang pajak dibagi 3 bulan) kami di hubungi bank kami yang memberitahukan ada pemblokiran rekening dari kantor pajak. Tapi mungkin bisa saja terjadi seperti yang dialami mas donny.... dan berdasarkan pengalaman saya dengan orang pajak di KPP.... kelakuan mereka itu anomali. Jadi kalo dengan orang pajak lebih baik jalur putih aja ... jangan ada warna lain walaupun capek.. pek.. pek...

Pengalaman saya waktu ngajukan keberatan seringkali enggak bayar tidak masalah. Terakhir, kita bayar SKPKB yang kecil-kecil saja nilainya (kebetulan SKPKBnya ada banyak). Mereka lalu mengajukan surat paksa dan Sita. Tapi melalui pdkt dengan petugas sita, akhirnya yang di sita hanya 3 buah kendaraan motor (kebetulan usahanya jualan motor). Saat ini kami sedang mengajukan banding. Lagi-lagi SK Keberatan yang kita bayar hanya yang kecil saja, tidak seluruhnya, tidak sampai 30%... Jadi, tergantung pada kondisi dan situasinya, Mas Tjip. Dan disamping itu perlu kepandaian bersilat lidah. Intinya kita mau menjaga cashflow dan tidak mau repot narik duitnya kembali kalo kita menang khan.... salam, @TS

heheheh....kalo KPP-KPP pusat mah dah pada kenal kepala penagihannya ^ ^ yang ini nih KPP cabang...nun jauh di sana....mau ramah tamah ntar diaudit lagi...pemborosan perjalanan dinas....hehhehe

jadi secara peraturan keberatan tidak menunda kewajiban perpajakan, bayar 100% atau mau dengan permohonan angsuran. Mayan dapet duid 2% per bulan dari pembayaran SKP ampe tanggal banding....hehhehe (%$&$*^(*&)&_*(_) tapi Pak Teddy, setahu saya kalau apa yang kita lakukan tidak sesuai dengan ketentuan KUP-nya, maka secara formal kita sudah kalah, dan banding kita akan langsung ditolak karena tidak memenuhi ketentuan formal (belum masuk ke materi banding sudah dinyatakan kalah hiks..hiks...hiks...) ^_^

Memang ini yang saya khawatirkan. Saat ini sudah 2 kali sidang dan belum ada tanda-tanda dinyatakan kalah. Semoga saja tidak kejadian...he...he... @TS

Re: Fwd: SE-04/PJ.34/2005 - ttg kriteria Beneficial Owner


HSBC (Cabang Bank LN) di Indonesia adalah Bentuk Usaha Tetap. Sehingga diperlakukan sbg WPDN. Menurut saya, BUT berbeda dg SPV. tapi bedanya apa yahh.... :) Meskipun Beneficial owner-nya WPLN, bahkan kalaupun PT X (di Indonesia) membayar bunga langsung ke Bank HSBC di LN jg 'dianggap' sbg pendapatan bunga dari Bank HSBC Indonesia (Prinsip Attributable dan Force of attraction rule for PE] Bunga pinjaman yang dibayar ke Bank (Dalam Negeri) bukan obyek PPh 23. CMIIW Salam, Triyani --- In tax-ina@yahoogroups.com, Donny Danardono <Donny.Danardono@i...> wrote: > Saya tertarik dengan SE ini ...... > > Bagaimana apabila PT.X (di Indonesia) membayar Bunga Pinjaman ke

HSBC > Jakarta? soalnya, jika kita membayar bunga ke Bank Asing di Indonesia, > notabene bisa dikatakan Beneficial Owner nya adalah HSBC di Luar > Negeri.... dan HSBC Jakarta hanya berfungsi sebagai SPV... > > Have a nice Day! > > DONNY DANARDONO

Saya tertarik dengan SE ini ...... Bagaimana apabila PT.X (di Indonesia) membayar Bunga Pinjaman ke HSBC Jakarta? soalnya, jika kita membayar bunga ke Bank Asing di Indonesia, notabene bisa dikatakan Beneficial Owner nya adalah HSBC di Luar Negeri.... dan HSBC Jakarta hanya berfungsi sebagai SPV... Have a nice Day! DONNY DANARDONO

Utk bagian yg lain ntar aja komentarnya kalau udah sempet heheheheh... aku mau komentarin bagian ini dulu : Quote : Saya pun sepaham, dengan prinsip "Worldwide Income" maka penghasilan yang diperoleh WPLN dari Indonesia dapat "ditarik" ke sini jika di Indonesia ada PE-nya..... Tri : Untk PW tidak berlaku prinsip Worldwide Income pak Donny. Penghasilan PE di Indonesia yang merupakan obyek PPh (di Indonesia) "hanyalah" penghasilan yang berasal dari Indonesia. Kayaknya ini udah pra seminar yahhh ttg Tax Treaty hehehehehe Salam, Triyani

Gross up salary

Sedikit penjelasan dari saya nih: PPh 21 di gross-up sering dilakukan untuk gaji (take home pay) yang sudah net dikurangi pajak. Jadi jika take home pay anda 100, dan asumsi rate pajak 10%, maka untuk kedua metode DI GROSS UP Biaya gaji + Hutang PPh 21 = 100 Komponen Gaji 100/110*100 = 90.9 PPh 21 0.1*90.9 = 9.1 Disini biaya gaji yang masuk di SPT perusahaan adalah 100 TIDAK DI GROSS UP Biaya gaji + Hutang PPh 21= 110 Komponen Gaji = 100 PPh 21 0.1*100 = 10 Disini biaya gaji yang masuk di SPT perusahaan adalah 110. Sekian, kalo salah di koreksi yah.... HH ----- Original Message ----From: Bitner HS To: Finance-Forum@yahoogroups.com Sent: Friday, July 15, 2005 8:26 AM Subject: [Finance-Forum] Salary Gross-Up : Mohon Pencerahan Dear rekan, Mohon pencerahan mengenai salary gross-up untuk perhitungan PPH 21.Perusahaan kami membayarkan gaji karyawan net, dgn catatan bahwa PPH 21 ditanggung oleh perusahaan. Beberapa auditor (KAP) kami sebelumnya mengatakan bhw gaji tsb hrs digross-up pd saat penghitungan PPH 21. Namun auditor kami yg baru mengatakan boleh tdk digross-up dgn alasan yg kurang saya mengerti. Pertanyaan saya: 1. apakah salary tsb hrs di gross-up atau tidak? mohon dijelaskan 2. kalau ya mengapa, dan kalau tidak mengapa? 3. dimana undang2 atau peraturannya tertuang? Atas bantuan rekan-rekan saya ucapkan terima kasih.

Regards, Bitner Siu Pin, untuk kewajiban forwader memang ada kewajiban yang merupakan obyek PPh 23 dan juga ada beberapa aspek PPh 23 yang wajib kita potong. misal untuk handling, storage, kalo kita menggunakan jasa tersebut kita wajib memotong nya sebesar 6% sebagai sewa harta. coba baca s-589/pj.8/2000 ----- Original Message ----From: "Siu Pin" <listriani@sentraco.co.id> To: <Finance-Forum@yahoogroups.com> Sent: Wednesday, July 20, 2005 5:44 PM Subject: [Finance-Forum] Tanya Pemot PPH 23 Jasa Forwarder > Hi rekan2 > > Kantor tempat saya bekerja sedang menghadapi pemeriksaan All Tax Kantor > Pajak Madya, dimana menurut fiskus salah satu kewajiban pajak yg > harusnya kita potong pph ps 23 (7,5 %)adalah Biaya2 Export /Import dr > Forwarder seperti : Air Way Bill Fee, Handling Fee/Charges , CFS, THC, > Administrasi Fee , Storage Fee di gudang Tanjung priok/Airport. Melalui > milis ini bagi rekan yg bekerja di Forwarder/mengetahui peraturan > perpajakan utk jasa forwarder mohon informasinya, apakah ada yg > mengetahui/mempunyai peraturan perundang2an pajak yg mengatur mengenai > pemotongan pajak psl 23 utk jasa yg saya sebutkan diatas. Terima Kasih > sebelumnya. > > Rgds, > Listriani > Pak Gerry, Saya coba buat ilustrasi umum. Misalkan PT X (perusahaan di Indonesia) mengimpor bahan kimia dari PT Y di Amerika, artinya PT X membayar menggunakan dolar. Transaksi dilakukan awal Januari 2005, dan sesuai perjanjian pelunasan pembayaran dilakukan pada akhir Februari 2005. Misal saja pada Januari 2005 kurs 1 USD = Rp. 9,400. PT X memiliki account di Bank A (sebuah bank devisa), dan membuka L/C di Bank A. PT X kemudian melakukan hedging dengan membeli premi di Bank A. Tujuannya adalah melindungi PT X dari fluktuasi kurs. Jadi pada saat pelunasan pembayaran di akhir Februari, PT A tetap menggunakan kurs USD = Rp. 9,400, berapapun kenyataan kurs di pasar.

Dalam prakteknya, tidak selalu perusahaan yang mengimpor barang dari luar negeri melakukan hedging. Mungkin pertimbangannya karena kurs Rupiah saat itu sedang tidak terlalu bergejolak. Apa pertimbangan untuk melakukan hedging atau tidak? Sesuai dengan fungsinya (yaitu proteksi), hedging digunakan untuk melindungi pihak yang melakukan transaksi (dalam hal ini valuta asing) dari perubahan kurs. Jika ingin secure/aman tidak terjadi perubahan kurs yang dapat merugikan, digunakanlah hedging. Dimana beli produk derivatif seperti hedging tersebut? Bisa dilakukan di diseluruh bank devisa Indonesia. Apakah bank menyediakan produk tersebut? Bank devisa menyediakan produk tersebut, bank non devisa (misal bpr) tidak menyediakan produk tersebut. Apakah di Indonesia ada? Konsep hedging adalah praktek yang lazim digunakan bank devisa sejak lama. Untuk iddle cash di sebuah perusahaan, umumnya dimasukkan ke deposito. Apakah aman? Sampai September 2005 semua dana pihak ketiga di perbankan di jamin pemerintah, setelah itu dialihkan ke Lembaga Penjamin Simpanan. Jadi deposito tidak perlu dihedging (karena aman dengan adanya jaminan dari pemerintah). Untuk SBI, setahu saya karena dikeluarkan BI, berarti sangat aman, tidak perlu di hedging. Untuk obligasi dan reksadana, setahu saya tidak ada instrumen untuk hedgingnya. Peringkat resiko obligasi bisa diketahui dari hasil rating lembaga-lembaga seperti Standard & Poor, Moody;s, Pefindo dan sebagainya. Untuk saham, bisa dihedging dengan menggunakan option (bisa call option & put option). Di BEJ belum semua saham ada optionnya (istilahnya Kontrak Opsi Saham/KOS). Untuk dapat menggunakan option, investor melakukan transaksi melalui perusahaan sekuritas. Pak Gerry, coba lihat Kompas hari ini (Kamis 21 Juli 2005) hal 24, ada seminar gratis tentang penggunaan option untuk mendapatkan profit dalam transaksi saham. Tidak ada salahnya ikut untuk menambah wawasan. Good Luck.

-----Original Message----From: Finance-Forum@yahoogroups.com [mailto:Finance-Forum@yahoogroups.com] On Behalf Of Gerry Sent: Thursday, July 21, 2005 8:56 AM To: Finance-Forum@yahoogroups.com Subject: RE: [Finance-Forum] Minta info / bantuan mengenai hedging [ apakah applicable di Indonesia ?] Hi Pak Arya Saleh, Saya sebanarnya agak bingung untuk membatasi paper saya, untuk investasi apa. tapi jika saya sebagai finance officer, yang harus mengambil keputusan untuk hedging. sebaiknya aspek apa yg harus saya lihat misal untuk memproteksi pendapatan saya yang dalam bentuk FOREX

agar tidah terdevaluasi, nah ini bagaimanasaya mau lakukan hedging. saya bisa beli product derivative (options,swap,foward dsb) saya bisa beli dimana ? apakah bank menyediakan hal2 seperti ini ? dan berapa biaya nya ? apakah di indonesia ada ? dan hal lain seperti jika ada idle cash saya mau investasikan ( tetap dalam posisi finance officer ) misal product obligasi / saham (selain sbi,reksadana,deposito) nah apakah saya bisa hedging ? dan dimana ? mungkin teman2 bisa bantu, sehingga saya dapat gambaran untuk mempersempit lingkup nya. thanks. --- Arya <arya.saleh@danamon.co.id> wrote: > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > Pak Gerry, Pada dasarnya Hedging berarti memproteksi transaksi yang kita lakukan. Mirip kita mengasuransikan mobil kita. Untuk valuta asing, dealer yang ada di bank sudah biasa melakukan hedging atas transaksi yang dilakukan. Untuk saham, di BEJ dikenal KOS (Kontrak Opsi Saham), sebuah instrumen yang dalam bahasa Inggris namanya Option. Belum semua saham yang diperdagangkan di BEJ sudah memiliki KOS. Ada beberapa investor Indonesia yang sudah melakukan transaksi option di Amerika. Alasan pemilihan di Amerika adalah karena pilihan optionnya sangat banyak, diatas 1000 option (Investor membeli option atas perusahaan mis: Microsoft, Dell, IBM, Ford, Citibank dsb). Untuk komoditi, maaf saya tidak tahu. Mungkin ada rekan lain yang bisa memberi tanggapan. Jadi ringkasnya Hedging adalah tindakan proteksi. Untuk pembuatan paper, saya kira sebaiknya Gery perlu mempersempit pembahasan, hedging pada investasi apa? Investasi ada yang di saham, dan ada yang di valuta asing, komoditi dsb. Dengan demikian pembahasannya bisa lebih mengena. -----Original Message-----

> > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > >

From: Finance-Forum@yahoogroups.com [mailto:Finance-Forum@yahoogroups.com] On Behalf Of Gerry Sent: Wednesday, July 20, 2005 1:30 PM To: Finance-Forum@yahoogroups.com Subject: RE: [Finance-Forum] Minta info / bantuan mengenai hedging [ apakah applicable di Indonesia ?] hedging ini apakah applicable untuk indonesia ? apakah pasar komoditi di indonesia sudah bisa dipakai untuk hedging ? atau ada gak temen2 yang punya pengalaman untuk hedging forex di indonesia ? thanks. --- venita tampubolon <vreto75@yahoo.com> wrote: > info tambahan untuk Mr. Gerry, > > bisa juga buka websitenya nymex > (www.nymex.com/jsp/education/ath_main.jsp) untuk > referensi hedging pada komoditi energi. > > > Arya <arya.saleh@danamon.co.id> wrote: > Gerry bisa coba buka website: > Powerupcapital.com - website untuk berlatih (dengan > mengikuti kursus) > menggunakan option dalam transaksi saham > Optionsxpress.com - website untuk melakukan > transaksi option di USA > Buku-bukunya Roy Sembel ada juga yang membahas > konsep hedging > > > -----Original Message----> From: Finance-Forum@yahoogroups.com > [mailto:Finance-Forum@yahoogroups.com] On Behalf Of > Gerry > Sent: Monday, July 18, 2005 9:46 AM > To: Finance-Forum@yahoogroups.com > Subject: [Finance-Forum] Minta info / bantuan > mengenai hedging > > temen temen, > > saya ada tugas untuk bikin paper mengenai analisa > dan > konsep hedging pada instrument investasi. > ada yang punya bahan, website referensi atau ide ? > > thanks yah

> >

Pajak Sub-Kontrak
Dear rekans, Saya ada pertanyaan neh. Case-nya seperti ini : A memenangkan tender dari pemerintah. Sedangkan B & C menjadi sub-kontrak dari proyeknya A. A menginvoice pemerintah $1,100 (mis.) untuk proyek tersebut, tetapi pemerintah hanya membayar $ 1,000 saja (yang berarti memotong $100 untuk PPN tersebut). Karena itu A meminta B & C untuk tidak mengenakan PPN pada A, dikarenakan pemerintah tidak membayar $100 tersebut. Pertanyaannya adalah : 1. Kenapa pemerintah tidak membayar PPN A tersebut? 2. Apakah bisa A meminta sub-kontraknya (B&C) untuk tidak mengenakan PPN ke A? 3. Kalo bisa, bagaimana caranya? 4. Case tersebut ada terdapat dalam UU pajak yang mana yah? Saya ucapkan terima kasih sebelumnya, Vienna

1. Pemerintah itu WAPU (wajib pungut), kalo ada tagihan memang dibayar non PPN, nanti dikasih SSP yang dibayar ama pemerintahnya (musti dikejerin). Waktu pelaporan PPN masuk ke A3 keterangan SSP blm diterima. 2. Transaksi normal dikenakan PPN, kecuali dibebaskan 3. Ya kecuali dibebaskan atau masuk ke Bounded Area. 4. Case nya ya di UU PPN.

Tanya Pembetulan PPN MTS


Dear All, Salam kenal semua, UU PPN yg isinya (kalau salah mohon dikoreksi) adalah Pengkreditan PM dalam Masa Pajak yang tidak sama HANYA diperkenankan 3 bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan, dan setelah lewat dari 3 bulan pengkreditan PM dapat dilakukan dengan cara Pembetulan SPM PPN, nah pertanyaannya adalah ; 1. Apakah pembetulan tsb dapat digabung dalam satu Pembetulan SPM PPN (misalnya ; FP

yang over dari 3 bulan selama tahun 2005 dapat dibetulkan dalam Pembetulan SPM PPN pada Bulan Desember 2005/pembetulannya nggak tiap bulan). 2. Bagaimana teknis pembayaran atas selisih penambahan PM sebagai akibat Pembetulan tsb karena Masa-masa yg sebelumnya sudah diperhitungkan/dibayar? Sekian & mohon maaf apabila sudah dibahas sebelumnya, soalnya saya baru bergabung dg milis ini. Terima kasih, Nanang K [Non-text portions of this message have been removed]

Pak nanang.. 1. pembetulan tersebut tidak dapat digabungkan sekaligus selama satu tahun misalnya karena pajak masukan hanya dapat dikreditkan selama 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan. Kalau mau digabung itu hanya bisa untuk pajak masukan selama 4 bulan (misalnya kita membetulkan masa desember maka faktur pajak yang kita masukan itu hanya faktur pajak masa desember,November,oktober dan September)bila kita ingin membetulkan SPM PPN karena faktur pajak masukan yang belum dikreditkan dari awal tahun maka kita harus membetulkannya minimal dari masa April. 2. Bila hasil pembetulan tersebut mengakibatkan angka lebih bayar maka itu bisa dikompensasikan ke masa berikutnya. Trimakasih dan mohon pendapat rekan yang lainnya.. * gts *

Misalnya ada FP masukan tahun 2005 untuk bulan Januari, Februari, Mei, Agustus, Desember 1. Kalo langsung pembetulan di Desember 2005 tidak bisa. Harus dipisah2,misalnya : - Januari dan Februari = di Februari atau di di April - Mei dan Agustus = di Agustus - Desember = di Desember 2. Perhitungannya jadi Lebih Bayar, kompensasi ke bulan berikutnya sampai dengan Desember 2005, mo nga mau bikin pembetulan dari Februari/April s/d Desember. Bisa kompensasi lagi di tahun berikutnya atau restitusi. Biasanya

sih restitusi di Desember 2005.

Thanks Pak Gerit & Pak Sucipto, tapi yang terjadi saya menerima FP Masukan dari Supplier lebih dari 3 bulan......nah yg salahkan dari suppliernya. dan saya mau motong tagihan supplier atas keterlambatan mengirim Faktur Pajak sudah nggak bisa lagi karena tagihan tsb sudah dibayar oleh Sub-Distributor (pihak ketiga), resikonya kita yg nanggung. Terima kasih. Regards, Nanang

tanya peraturan tentang pemusnahan barang harus disaksikan pihak ke 3 (KPP)


Dear Friends Mohon maaf bila sudah pernah dibahas Adakah peraturan yang tegas mengatur bahwa pemusnahan barang harus disaksikan KPP (AR) ? 1. Apakah harus KPP, kalau Auditor KAP boleh? 2. Apakah semua barang yang dimusnahkan termasuk bahan mentah atau barang jadi saja yang disaksikan pihak ke tiga tersebut? Saya sudah coba Tanya AR dan cari di Taxes namun sampai sekarang belum ketemu peraturannya. Terima kasih Agus kayanya emang ga ada peraturan khusus tentang crushing barang. Setau saya dan dah konfirm ke Seksi PPH Badan dan PPN, ngomongnya sih musti : 1. Dikeluarkan berita acara crushing, di dalamnya terdapat perincian barang2 apa saja yang dicrushing (quantity dan nominal).

2. Disaksikan oleh pihak ke-3, biasanya dari asosisasi yang menaungi (kalo di tarra ASIRI atau AIVI) dan dari RT/kepolisian setempat 3. Hasil berita acara tersebut dikasih tau juga ke KPP.

Thanks Mas Tjipto Cerita dikit ya, tidak hanya barang jadi yang bisa dimusnahkan, bahan mentah pun dimusnahkan periodenya hampir per bulan, karena kalau ditumpuk bahaya,dan sebagainya jadi singkatnya sekarang ini baru dibuat berita acara secara internal saja. Sebenarnya esensi dari pemusnahan barang tsb mengurangi aktiva perusahaan atau mengurangi persediaan barang dagangan ya? Menurut pendapat saya hanya barang jadi yang perlu diundang pihak ke tiga barang barang jadi ini langsung mengurangi persediaan barang dagangan..betul gak? Kalau harus mengundang AR kan harus ada Standar Operating Prosedur (SOP) nya, kalau buat SOP harus ada aturan pajaknya..lagi pula apa boleh setiap Bulan AR KPP ke Bandung? Thanks anyway Agus

memang mengurani barang dagangan/inventory atau material kita. kalo diperiksa di account inventory/material kan ada tuh adjustment audit/accounting, pasti kan ditanya, nah kita dah siap dengan bukti pemusnahan tersebut. kalo AR ke Bandung mah ok2 aja, tp perusahaan yang nanggung? hehhee

Perlakuan atas penggunaan jasa kontraktor ?


Dear Rekan-Rekan Tax Ina Saya mau tanya bagaimana perlakukan atas jasa kontraktor apakah kita kenakanan/ potong tarif 7,5% atas kontrak yang dihasilkan, saya pernah baca ada berbedaan atas jasa dengan material bangunan maaf kurang mengeri mohon bantuannya yaaa please.. Makasih yaa sebelumnya.

Pinkan R

Untuk Jasa Konstruksi dikenakan tarif pemotongan Pajak Penghasilan sebagai berikut: 1) 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi 2) 4% untuk Perencanaan dan Pengawasan Konstruksi Kemudian dibedakan lagi, antara Pengusaha Jasa Konstruksi yang termasuk kriteria usaha kecil dan mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp.1 Milyar dengan Non Kriteria Tersebut. Untuk Pengusaha Kecil dikenakan PPh yang bersifat FINAL, sedangkan yang tidak akan dikenakan PPh yang bersifat NON FINAL. Pengenaan PPh hanya atas Nilai Jasa saja, dengan demikian seharusnya dalam tagihan dipisahkan antara nilai material dengan nilai jasa. semoga bermanfaat =danardono= Sorry Pak Donny,

Cuma mau klarifikasi, bukankah khusus utk Jasa Konstruksi dan catering dikenakan atas semuanya baik material dan jasa.

Koreksi saya kalau salah,

Tarima Kasih,

Parlin B
Sepakat..., berdasarkan KEP-170/PJ/2002 tgl 28 Maret 2002 pasal 1 ayat 1 : "Dalam keputusan ini yg dimaksud jumlah imbalan bruto khusus untuk jasa konstruksi dan jasa katering adalah jumlah imbalan yg dibayarkan seluruhnya, termasuk atas pemberian jasa dan pengadaan material/barangnya." ...cmiiw... Thank's,

[ Wishnu H.]

Bung Parlin, Your calarification will be precisely correct, if material & service fee are insparable, othrewise only service fee is withheld. C.U on seminar session with your fresher games. -S-

Hallo Pak Parlin, Kalo peraturan yang aku punya bunyinya begini nih: Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-170/PJ/2002 tentang Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain diatur: Pasal 1 ayat (2) Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa katering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material/barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak. Piye, Pak....... menopo wonten ingkang luwih anyar nggih......? nyuwun sewu lho Pak Parlin....

SURAT DARI KPP TTG BESAR ANGSURAN PPH PS 25


Dear Rekan, Mohon penjelasannya , saya barusan dapat surat dr KPP Pemberitahuan Besar Angsuran PPh ps 25 th 2005 yg isinya laba atau rugi yg insidentil di keluarkan dari perhitungan angsuran PPh ps 25 bulanan. di keluarkan sehingga besar angsuran Pph ps 25 yang sudah dibayar ( thn 2004 ) PMA 2 ttg bersifat Karena pos ini berdasarkan SPT

sejak Maret 2005 menjadi lebih besar ( takutnya di akhir tahun buku, kredit pajak lebih besar dari PPh terutang). Menurut AR kita memang harus di keluarkan karena ada peraturan Ps 25(6) UU PPh jo.KEP-537/PJ./2000. Yang ingin di tanyakan apakah benar perlakuan ini menurut KEP tst dan bagaimana caranya untuk minta pengurangan angsuran tersebut, hal-hal apa saja yang harus di persiapkan. Thank sebelum dan sesudahnya, jawaban & penjelasan dr rekan-rekan sangat diharapkan. Rergard, Irma

penghasilan tidak teratur memang harus dikeluarkan dalam perhitungan angsuran PPh 25. misalnya : Penghasilan sesuai SPT 100 juta, penghasilan tidak teratur 25 juta. Maka penghasilan sbg dasar perhitungan PPh 25 adalah 75 juta. Dengan demikian pajak terutangnya untuk dibagi 12 menjadi LEBIH KECIL, sehingga angsuran PPh 25 justru menjadi lebih kecil bukan menjadi lebih besar. Is it right? -taufik-

Mungkin PPh 25-nya jadi lebih besar krn Penghasilan tidak teraturnya Minus (Rugi). Salam, Triyani

Mba Irma, aku setuju dengan jawaban Mas Taufik. Pengeluaran tidak teratur dikeluarkan dari penghitungan PPh pasal 25 justru agar angsuran PPh pasal 25 menjadi lebih kecil (berarti jumlah kredit pajak juga menjadi lebih kecil). Untuk penurunan angsuran PPh pasal 25 harus mengajukan permohonan kepada Dirjen pajak (cuma aku kurang tahu apa aja yang mesti disiapkan). Selama belum ada surat persetujuan penurunan angsuran PPh 25, Mba Irma harus tetap

membayar sesuai jumlah yang ditetapkan sebelumnya


Dear Mbak Irma,

Penentuan besarnya angsuran PPh 25, memang benar dikeluarkan dari penghasilan tidak tertentu,lain halnya menentukan besarnya PPh badan yang terutang. Permohonan penurunan angsuran PPh 25, dilakukan dengan membuat surat permohonan penurunan angsuran PPh 25 dengan membuat proyeksi Laporan rugi laba, sampai akhir tahun pajak-nya perusahaan mbak. Selain itu bilang aja alasan cash flownya ketat banget kalo dipaksakan dengan angsuran PPh 25 yang berdasarkan laba tahun lalu, lagi2 mbak harus buktikan ke mereka dengan buat proyeksi cash flownya juga... Tapi sepengalaman saya, modal buat minta penurunan angsuran kaga cuman yang saya sebutkan diatas akan tetapi juga ada faktor pendekatan dan biaya "... ". Mangga kalo rekan2 lain mau menambahkan Salam Iwan K

Pak Pur, "memang hanya penghasilan teratur yang dikeluarkan dari perhitungan PPh Pasal 25" -- Maksudnya ? -- Tambahan sharing juga: Baru 2 hari lalu kami terima "SK dikabulkanya atas PK STP PPh-25" dari kanwil senilai 1,047,000,000. Sebab terbitnya STP karena angsuran PPh-25 dianggap tidak ada padahal sudah kita bayarkan, karena perush kami merger, angsuran pakai nama & NPWP company baru. Padahal proses merger sudah diberiathukan secara resmi + sudah di ACC penggunaan Net Book Value-nya. -- Sempat uring-uringan sama A/R, karena sudah kita jelaskan baik lisan, tulisan+bukti-2, tahu-tahu pada saat kami harus terima SKPLB ternyata dipotong sebesar STP tsb. Boss Jepang nggak terima... hampir saja perush ini di "SONY" kan ke Vietnam gara-gara STP tsb. -- Selama mem-follow up PK tsb kami tidak melalui A/R tapi langsung ke KAKAP PMA 6 Pak Edy Triharyogo Telp 791 96742, beliau minta ma'af + bilang andai

PK itu diproses di PMA 6, niscaya STP itu akan dibatalkan, tapi karena diproses di Kanwil, maka beliau sendiri yang akan mem-follow up dan kami cukup duduk manis menunggu hasilnya. Salam -S-

Mungkin yang perlu di'Sony'kan bukan perusahaan asing Pak Soleh. Tapi para pejabatnya termasuk pak dirjen.

Pak Soleh Sorry. Maksusnya penghasilan tidak teratur, yang dikeluarkan dari perhitungan. Salam

Pak Soleh, Sepertinya sudah ada pencerahan,di laporan R/L kita memang ada Rugi selisih kurs yang lumayan besar yaitu Rp 299 juta;jadi ini yang tidak dikeluarkan dr pehitungan angsuran PPh ps 25. Pak, kalo kita mau mengajukan permohonan untuk pengurangan angsuran PPh ps 25 harus dengan surat PK ps 36? Tolong beritahu prosedurnya seperti apa and PK ps 36 maksudnya apa ya? Regards, Irma

wahh kalau aku sih gak mau mengeluarkan rugi selisih kurs dalam perhitungan angsuran pph 25, meskipun dikirimin surat dari KPP. laba/rugi selisih kurs khan bisa dibilang 'penghasilan teratur'. :) tapi kalau laba selisih kurs yaa.... liat2 dulu dehh efek ke PPh 25nya seberapa besar.. baru dipikirin apakah 'dianggap' sbg penghasilan teratur atau tidak hehehehehhhe.... gak mau rugi yahh.. :D Salam,

Triyani
Laba kurs karena utang piutang atau rekening bank dalam US$ semestinya tidak teratur.

Memang setiap tahun akan ada laba atau rugi kurs. Tapi kalau kita bilang penghasilan teratur, apa yakin tahun berikutnya akan laba juga. Siapa tahu rugi kurs. Lha kalau tahun depan aja gak tahu mau laba atau rugi kurs, apalagi tahu besarnya laba kurs. Ya nggak? Sebenarnya kalau dari sisi fairness memang laba atau rugi harus dikeluarkan. Tapi kan, UU hanya bilang penghasilan tidak teratur dikeluarkan dari perhitungan angsuran PPh Pasal 25 dan tidak menyebutkan biaya/rugi tidak teratur. Sorry telah karena kemarin off. Mungkin dapat membantu. Saya pernah punya pengalaman dengan KPP PMA 1 untuk hal serupa sekitar 3 th lalu. KPP PMA menerbitkan STP PPh pasal 25 angsuran bulanan karena menurut mereka rugi tidak teratur harus dikeluarkan dari perhitungan PPh Pasal 25. Otomatis laba menjadi lebih besar. Klien saya kemudian memasukkan surat PK pasal 36 dan setelah beberapa bulan plus debat kusir yang berlarut-larut akhirnya dikabulkan dan perhitungan dikembalikan menjadi sesuai SPT. Secara peraturan perpajakan, memang hanya penghasilan teratur yang dikeluarkan dari perhitungan PPh Pasal 25. Tapi Dirjen Pajak sendiri pernah mengirimkan surat internal bukan SE tapi S yang kemudian diinterpretasikan KPP PMA I bahwa kerugian selisih kurs dikeluarkan dari perhitungan angsuran. Sayangnya copy surat (S) tersebut tersimpan di file klien dan sudah masuk gudang. Intinya adalah kembalikan ke UU PPh saja. Pasal 25 hanya mengenal penghasilan tidak teratur dan tidak dikenal kerugian/biaya tidak teratur.

Potongan atas PPh 22 atau 23 Dear All, Saya mempunyai satu kasus mengenai potongan atas PPh 22 atau PPh 23, begini ceritanya : Perusahaan tempat saya bekerja adalah salah satu kontraktor atas jasa dan barang object pajak dari beberapa perusahaan minyak (Oil Company)pada saat perusahaan saya menjual barang (bukan jasa)kepada oil company,invoice kami pada saat dibayar dipotong dengan alasan perusahaan kami kena potongan atas

PPh 22 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan no.254/KMK.03/2001 oleh salah satu oil company tetapi oleh perusahaan minyak yang lain perusahaan kami dikenakan PPh 23 atas jenis barang yang sama, mohon kepada para peserta millis jika mengetahui tentang peraturan sebetulnya mana yang benar dipotong PPh 22 atau PPh 23 setahu saya PPh 23 itu atas Jasa bukan atas Barang yang kita jual, saya mohon bantuannya.....Terima Kasih Rgds, Ardent Ramadhana

Sejauh yg saya tahu mengenai kasus ini: 1. Barang yang dijual itu berupa apa? Kalau Alat2 berat berupa mesin dalam rangka produksi minyak, menurut saya seharusnya hanya dikenai PPN, bukan PPh. Jika barang yang dimaksud adalah minyak (Bahan Bakar Minyak dan Gas), ini yang bisa dikenakan PPh 22 final. 2. Berkaitan dengan point 1 di atas, jika barangnya adalah minyak, maka yg harus diperhatikan juga adalah siapa pembelinya? Pertamina atau swasta? Kalau swasta tarif PPh yg dipotong 0.3%, tapi kalau Pertamina 0.25%. Demikian semoga bermanfaat. specific. Rgds, Erwin Pak Ramadhana, Masalahnya adalah ada dari sebagai wapu sesuai dengan kep. Men keu customer anda, apakah dia wapu atau tidak ( mungkin bisa berupa Surat Edaran ( SE ) beberapa perusahaan oil company tsb ditunjuk tsb dan sebaiknya anda menanyakan ke dan sekalian minta bukti penunjukannya atau apa )?. Mungkin yang lain bisa menjelaskan lebih

I . Bila oil company tersebut ditunjuk sebagai wapu. Misalnya ; invoice tsb terdiri dari material ( barang ) dan Jasa maka perlakuannya Sbb : 1. atas Material ( barang ) tsb akan dikenakan Pemotongan Pajak PPh 22 sebesar 1,5 % X nilai material ( barang ). 2. atas jasanya dikenakan pemotongan Pajak PPh 23 sebesar 6% X nilai jasa. Sehingga pada saat anda penerima tagihan akan dikurangi pemotongan PPh 22 dan PPh 23.

2 . Bila oil company tersebut tidak ditunjuk sebagai wapu. Misalnya ; invoice tsb terdiri dari material ( barang ) dan Jasa. maka perlakuannya Sbb : Hanya atas jasanya yang dikenakan pemotongan Pajak PPh 23 sebesar nilai jasa.

6% X

Sehingga pada saat anda penerima tagihan akan dikurangi pemotongan PPh 23 saja. Hal - hal yang perlu diperhatikan : 1. Didalam pembuatan invoice, mohon dipisahkan antara nilai atas Material(barang) dan nilai atas Jasa agar memudahkan perhitungannya 2. Bukti Pemotongan tsb dapat anda minta ke customer anda. ( biasanya dapat diperoleh pada bulan berikutnya setelah diterima pembayaran ). 3. Bukti Pemotongan PPh 22 dan PPh 23 tsb akan menjadi prepaid pajak dan dapat mengurangi atas perhitungan PPh badan tahunan. untuk lebih detail lagi atas Pajak PPh 22 dan Pajak PPh 23 anda bisa melihat website pajak di www.kanwilpajakkhusus.depkeu.go.id Begitu aja dari saya, ada yang mau menambahkan. Rgrds, Dedy Iskandar

Pak Dedy dan Pak Erwin serta seluruh peserta millist ; sebagai Informasi tambahan Pihak Oil Company pada saat memotong invoice kami atas barang (bukan jasa) untuk PPh 22 hanya menunjukan kepada kami surat dari Pertamina (Kepala Urusan Keuangan Dit Hulu) yang meminta kepada General Manager Oil Company untuk memotong PPh 22 terhadap barang yang dibeli dari masing-masing vendornya (dan barang yang kami jual bukan barang berat atau barang-barang pendukung explorasi minyak) dan yang saya lebih heran dengan barang yang sama (bukan jasa ) kalau kita jual ke Oil Company lain kita dikenakan PPh 23 dan mereka memberikan bukti potong PPh 23 sebesar 1,5%. Yang menjadi pertanyaan berikutnya kenapa yang satu oil company memotong PPh 22 sebesar 1,5% dan yang lainnya memotong PPh 23 sebesar 1,5% atas barang (bukan jasa) yang kami jual, saya mohon keterangannya Terima Kasih.

Salah satu dasar pengenaan pph 22 adalah bila kita menjual ke bendarawan negara(BUMN) apakah perusahaan anda menjual ke BUMN? bila yes sudah benar perlakuannya namun bila tidak saya belum melihat ada peraturanya,pengenaan pph 23 adalah atas jasa-mungkin pada saat menjual barang ada jasa yang diberikan.bolehkah lebih jelas barang yang dijual itu apa(apakah setelah barang dijual ada jasa yang dilakukan??) Ini sedikit pendapat dari saya mungkin yang lain bisa tambahkan.

Saya sih sependapat dg P,Deddy . Tentang kejadian -kejadian seperti dicontohkan tersebut saya melihat sebagai contoh kasus krg optimalnya "menterjemahkan" aturan pajak yg juga sebagai ekses dari aturan-aturan pajak itu sendiri yg seringkali tidak dapat menjelaskan kebijakannya secara spesifik,& gampang dimengerti oleh awam , sehingga pada tahap penerapannya bisa menghasilkan lebih dari 1(satu) "kebijakan" dari sudut pandang yg berbeda-beda. Regards Luke

Francise
i Rudy, pendapat saya sbb(bila salah boleh dicounter) beda beli franchise dan beli license: beli franchise adalah hanya memakai merk dagang dalam kurun waktu tertentu yg untuk itu pembeli franshise harus memenuhi persyaratan2 sesuai dgn perjanjian antara pihak pemilik merk franshise tsb dgn kita sg pembeli franchise, biasanya meliputi kewajiban keuangan spt royalti fee, dan management fee dan prosentase pembagian keuntungan berdasarkan revenue, sdangkan kewajiban secr manajerial biasanya meliputi cara memproduksi dan memanage usaha tentunya juga berada dibawah aturan yg mengikat dgn pemilik merk yg di perdagangkan tsb. apabila kurun waktu ini sudah selsai dan tidak diperpanjang lagi, maka tentunya perjanjian ini sudah selesai dan kedua pihak tidak mempunyai sangkutan lagi dikemudian hari. sedangkan membeli license berarti juga adalah membeli PT yg mempunyai lisence tsb, secara umum, lisensi diberikan

oleh departmen pemerintah kepada suatu badan hukum/PT/CV yg telah memenuhi persyaratan yg diharuskan berdasarkan peraturan yg ada, misalnya PT yg sudah mempunyai licensi untuk membuka jasa keuangan NOn Bank/leasing, atau PT yg mempunyai hak penebangan hutan , diartikan jika dia menjual lisensi nya berati harus menjual PT nya. sehingga pada akhirnya pembeli lisensi akan terikat kepada peraturan2 yg mengikat dgn pemerintah, bukan dgn pemilik pertama dari lisensinya tadi. Diantaranya memenuhi kewajiban yg disyaratkan oleh pemrintah sesuai dgn Surat Keputusan dr Instansi Terkait yg masih Berlaku. . Dengan demikian segala kegiatan management dan keuangan sepenuhnya dibawah kendali pembeli lisensi tsb nantinya dan sampai selamanya dalam kurun waktu yg tidak menentu tergantung umur lisensi yg diberikan oleh Pemrintah tsb apakah mempunyai limit waktu tertentu/tidak. BIola suatu peruh lokal ingin melakukan perubahan menjdi PMA tentunya harus melakukan RUPS dan perubahan Akte ttg adanya perubahan susunan pemegang Saham, kemudian sambil diproses ke DEp Kehakiman kemudian mengajukan permohonan ke BKPM ttg Perubahan status dr Perush Lokal ke PMA. Untuk itu ada fomulir baku yg harus di isi dan formulir bisa dibeli dari buku panduan BKPM yg ada. Namun biasanya perush lebih memilih mendirikan permohonan baru sbg PMA krn biasanya status dr Perush Lokal ke PMA tdk mendapat fasilitas pembebasan PPN/BM apabila mengimport barang2 modal dr LN. Rgds Listriani >Dear all, > >saya butuh masukan, >1. apa bedanya perusahaan beli franchise dengan beli license >2. beban2 apa saja yang harus ditanggung perusahaan untuk kedua hal di atas >3. beban pajak apa saja yg harus ditanggung oleh perusahaan atas point (2) >4. apa saja yg dibutuhkan untuk melakukan perubahan dari perusahaan lokal >menjadi PMA >

>thx sebelumnya

SSP WAPU

Dear frends, Aku mau nanya nich, perusahaanku ada transaksi dg bendahara pemerintah yg notabene adalah wapu. Pada saat kita memberikan SSP atas pajak keluaran yg dipungut oleh mereka, mereka menginginkan SSP tsb kita yg tandatangan dan stempel juga, padahal setahu saya seharusnya mereka yg tandtangan dan stempel. Pas aku tanya ke mereka masalah tsb, katanya ada aturan baru dari Depkeu mengenai masalah tsb. Yang ingin aku tanyakan, apakah ada masalah apabila kita yg tandatangan dan stempel, karena seharusnya kan itu wewenang mereka, tp kalo menurutku itu sich gak ada masalah karena sepanjang dibayar dan dilapor serta isian pada formulir tsb lengkap dan jelas. Yang kedua, adakah aturan yg membahas mengenai SSp utk WAPU tsb harus kita yg tandtangan dan stempel? Terima kasih atas tanggapannya F@L

kalo kita yg tandatangani dan stempel artinya kita yg setor donk. kalo gitu minta ajha PPNnya mereka kasih ke kita. kami sering transaksi dengan WAPU. dan biar gak repot soal SSP, WAPU bayar full tagihannya incl. PPN jadi mereka gak repot juga setor2.

Kalo masalah prosedur wapu, mereka maunya tetep mereka yg setor atas nama kita dan bagi aku sich gak ada masalah, sepanjang tidak ada masalah yg ditimbulkan di kemudian hari. Soalnya kan masalah kecil aja bisa digede-gedein sama fiskus dengan alasan tidak sesuai dg prosedur. F@L

Saya juga pernah punya kasus seperti itu yaitu transaksi dengan Migas, jadi di SSP ada 2 tanda tangan (pihak kami & mereka) dengan stempel mereka. Saya pernah kasih penjelasan kalau hal seperti itu salah tapi mereka tetap dengan maunya mereka, so...daripada urusannya nanti tagihan saya tidak dibayar jadi saya turutin aja kemauan mereka. Bagaimana yach cara ngasih penjelasan ke orang-2 seperti itu ???

SEWA
Dear all, Seputar kasus pembayaran ruang sewa PPh 4(2). Ada masalah yang masih nge-gantung. 1. Di dalam kontrak sewa senilai 10.000 USD (misalnya) 2. Di dalam kontrak tidak mencantumkan kurs yang digunakan secara tetap. 3. Ada klausal yang berbunyi "semua pembayaran (seperti harga sewa, biaya pelayanan dan uang jaminan) yang jatuh tempo tunduk kepada nilai paotkan Dollar AS terhadap rupiah yang ditetapkan olej Pemilik yangberlaku di Mal pada saat pembayaran tersebut jatuh tempo". 4. Setiap bulan bersamaan dengan invoice, kami mendapatkan kurs yang ditetapkan oleh pihak mall. 5. Invoice dalam bentuk mata uang rupiah. Tidak ada kalimat 10.000 USD*6500= Rp. 65.000.000,Namun langsung menunjuk pada "Rent Installment dan Service Charge" Rp. 65.000.000,Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa posisi kita untuk menang sampai banding <50%. Q: Apakah ada senior2 di sini yang sudah menang sampai banding untuk case yang di dalam kontrak tidak ditetapkan dengan jelas rate yang digunakan? Thank's agreement kan hanya janji bahwa kita akan laksanakan sesuai kesepakatan. Pihak Pajak mestinya melihat dari fakta transaksi yg terjadi. Sehingga kalo

transaksi yg terjadi dilakukan dalam rupiah tentu pemotongan PPh juga dalam rupiah bukan dollar dengan kurs yg berlaku. -taufikbetul pak, kami sudah beragument seperti itu.... 1. transaksi dalam idr 2. transaksi berdasarkan kesepakatan bersama (ada range IDR bila kurs dollar meningkat jauh misalnya 60-70jt, tentu saja USD nya ga sama dengan kurs BI/KMK) 3. dalam perjanjian sudah jelas bahwa pembayaran akan ditentukan dikemudian hari (red:sesuai dengan perjanjian point 2). 4. kurs KMK hanya ditetapkan bila pembayaran dalam mata uang asing. contoh langsung 10.000USD, bila kita membayar dengan kurs KMK yang salah, ya salah. 5. pihak mall yang menentukan kurs-nya, sehingga kami hanya bayar sesuai invoice, tidak mungkin potong lebih dari yang sebenarnya kita bayar (IDR). ya gitu deh fiskusnya ngotot, salah ya salah...dah ampe panas tuh kmrn ruang supervisornya (padahal ber-AC). sekarang direksi mikirnya kan cash flow. Kalo dari kasus seperti ini udah ada yang menang/kemungkinan menang, kita mau fight ampe banding..... NB: pak taufik dah pernah menang ampe banding? ^_^ thanks...

maju aja man... iseng2 ke pengadilan sapa tau menang... kalo menang bisa makan2 di atrium senen... aku lagi siap2in data ke pemeriksa dulu biar diskusiin sebelum maju ke hakim tgl 4 nanti... top scorer menang di banding kayaknya dipegang ama Triyani deh.... -taufik-

PPN Jasa Luar Negri

Guys....

Ada yang ngerti soal konsep PPN Jasa Luar Negri nggak (yg kita bayar trus SSPnya kita kreditin) Abis aneh aja... kita bayar juga, trus kita kreditin juga... bikin repot aja

He? PPh 26??? Emang kalo jasa luar negri kena PPh 26 juga ya? Bukannya itu Cuma kalo pembayaran bunga, deviden, royalti, dsb..

tergantung supplier Luar Negeri-nya punya COD apa enggak.... jasanya kena WHT apa enggak... kan emang itu satu serangkai PPh 26 ama PPN Jasa Luar Negeri... Kan dah sering diomongin PPh 26... ^_^ -taufik-

Wadooo... mana mau dipotong vendornya.... Gross up boleh kan ya? Doooh nombok dah....

Eh iya.. kalo nggak ada CoD (kemungkinan terburuk) kenanya 30% ya... (10% PPNJLN, 20% 26) hikssss

PPN

EKSPOR

Kebetulan perusahaan tempat saya bekerja bergerak di bidang freight forwarder...Apabila dalam melakukan penyerahan jasa freight forwarding kepasa ekportir/importir apabila di dalam tagihan kepada konsumen tidak

hanya membebankan jasa handling tetapi terdapat mark-up atas biaya freight maka DPPnya sebesar penggantian termasuk biaya freight yang diminta . Namun apabila di dalam tagihan terdapat biaya reimburstment untuk penggantian biaya-biaya yang telah dibayarkan dahulu oleh pemberi jasa atas nama penerima jasa yang mana didalamnya terdapat biaya-biaya yang sudah dikenakan PPN cont: biaya freight, biaya warehose,bea masuk, biaya bill of loading. Maka atas biaya reimbursement tersebut tidak terutang. Jadi PPN yang dikenakan hanya atas jasa custom cleareancenya saja Regards, Reykter Eversond Accounting & Tax Dept. PT. PUNINAR JAYA Jl. Raya Cakung Cilincing KM 1.5 Jakarta 13910 Tel. +62 21 4602278 Fax. +62 21 4604866 _____

Di Gen Ledger , dijurnal Gross dan Diskon, tapi di FP dicatat hanya NET
Ada case spt dlm topik di atas.

Apakah ada ketentuan yg membuat treatment tsb tidak dibenarkan oleh pjk? Mgkn ada rekan yg pernah punya pengalaman diaudit.

Maturnuwun Sakderengipun (Mauliate,- Thanks in advanced)

Parlin B Sinaga

Bung Parlin, Menurutku di G/L di Gross / di Net nggak ngaruh. Toh Finally ketika direcons SPT PPN sama kan ? So go straight ahead !

-S-

Yth. Bapak Parlin Sinaga, Mengenai permasalahan yang Bapak ajukan, saya pikir tidak ada larangan melakukan hal tersebut. Akan tetapi, Anda bisa saja mengalami sedikit kerepotan pada saat melakukan rekonsiliasinya. Terima kasih, semoga bermanfaat. Salam, Donny Danardono

Pak Soleh dan Pak Donny,

Terima Kasih atas responnya yg "one minute service".

Barusan saya searching dan temukan ada pasal 1 point 18, dl UU PPN, menyebutkan :

yg

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. Apakah hal ini bisa ditafsirkan bhw, jika tdk dicantumkan di FP maka diskon (ptgan harganya) tdk diakui sebagai pengurang penjualan?

Rgds,

Parlin B Sinaga
Yth. Pak Parlin, Mengenai Pasal 1 Angka 18 UU PPN, merupakan penjelasan arti Harga Jual untuk menentukan Dasar Pengenaan Pajak. Namun demikian, tidak bisa diartikan bahwa apabila Diskon tidak tercantum di FP maka tidak boleh diakui sebagai pengurang Peredaran Usaha Bruto.

Tetap saja, Diskon dapat diakui sebagai pengurang Peredaran Usaha Bruto karena apabila kita melakukan rekonsiliasi dengan Faktur Pajak dan membandingkannya dengan Arus Piutang maupun Arus Uang akan tetap reconciled. Ada beberapa risiko yang mungkin timbul: 1) Kerepotan rekonsiliasi. 2) Fiskus "iseng" bisa saja bilang "Faktur Pajak Cacat" dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN. Have a Lucky DAY, Bro! Donny Danardono

Jasssa konsultan
Rekans,

Klo consultancy fee yg diberikan kepada bukan perusahaan konsultan, dipotong jasa konsultan 7.5% atau 6% ya?

Thx, Ikhsan Nomer peraturan: : KEP-545/PJ./2000 Pasal 9 7) Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto. (8) Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% ( lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pasal 12 Tarif sebesar 15% ( lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).

Dear Pak Ikhsan, Untuk konsultan fee secara umum dipotong jasa konsultan sebesar 7.5%. dan masalah jenis PPh-nya adalah tergantung dari segi penerimanya apabila si penerima penghasilan tersebut adalah orang pribadi maka dipotong PPh pasal 21 tapi apabila penerimanya adalah perusahaan maka dipotong PPh pasal 23. Hanya saja perlu diingat bahwa dalam KEP 545/PJ/2000 Pasal 9 (7) dipertegas jenis-jenis jasa Konsultan yang dipotong PPh sebesar 7,5% demikian halnya dengan PPh pasal 23 juga dipertgeas mengenai jenis-jenis jasa konsultan yang dipotong 7,5% seperti tercantum dalam KEP-305/PJ/2001 jo KEP 170/PJ/2002. Nah.... jasa konsultan apa yang diberikan kepada perusahaan pak iksan??? apabila termasuk dalam salah satu jenis jasa konsultan tersebut tentu saja dipotong sebesar 7,5% tapi apabila tidak termasuk dalam salah satu jenis jasa konsultan tersebut ya... kta cari peraturan yang lain besarnya pemotongan juga berbeda. Best Regards Muh. Annur Wijayakusuma PT. COGNIS INDONESIA ph. +62 21 8711096 ext 228

Fax +62 21 8729088


sekedar menambahkan... kadang2 aturan pajak tuh kudu ati2 ngeliatnya. Sebenarnya yg kita liat untuk dipotong pake tarif 7,5% itu jasa konsultannya atau karena dia adalah konsultan? jasanya kan ya.. misalnya gini.... 1. kalo konsultan kasih jasa konsultan jelas kena tarif 7,5% (PPh 21 atau PPh 23 tergantung badan atau WPOP). 2. kalo BUKAN KONSULTAN kasih jasa konsultan kena potong PPh 7,5% apa enggak? jawab : ya kena tarif PPh 7,5% 3. kalo KONSULTAN kasih jasa non konsultan (misalnya nyewain mesin fotokopi) kena potong PPh 7,5% apa enggak? jawab : bukan 7,5% tapi 6%. -taufik-

Mas Ikhsan, Pengenaan PPh 23 sebenarnya dari obyek transaksi kecuali untuk obyek yg berkaitan dengan kontraktor krn harus ada sertifikat dari pihak berwenang. jadi menurut saya untuk konsultan fee pengenaanya adalah 7,5% kecuali untuk kontraktor dikenakan 4% (perencanaan konstruksi ex. design ect) Thanks Rgds Himawan Leighton C Ind

Merger
Saya coba menanggapinya. Menurut pendapat saya, apabila ada 2 Perusahaan yang mau merger, maka masing-masing perusahaan tersebut harus membereskan terlebih dahulu kewajibannya / hutang pajaknya ke kantor Pajak. Setelah itu kedua Perusahaan bernegosiasi u/ menentukan nilai buku semua akun yang ada,. Apabila telah disetujui keduabelah pihak, maka nilai buku tersebut harus diketahui dan dilaporkan ke Kantor Pajak setempat. Untuk pembayaran hutang pajaknya, sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak maka salah satu NPWP dari Perusahaan yang dimerger itu harus dihapus, sehingga nama wajib pajak hanya satu. Demikian menurut pendapat saya. Maaf kalo jawabannya saya kurang memuaskan. Mgk ada pendapat pembaca milis Finance-Forum lainnya yang ingin menanggapi? J & J GUNAWAN <jgwan@indo.net.id> wrote: Dear All Mau tanya nich kalau perusahaan akan merger apa yang harus kita lakukan dari segi Tax dll? regards Jos

Dear JJ dari segi tax : Permohonan penggunaan nilai buku atas Pengalihan harta dalam rangka Penggabungan usaha ke Kanwil Pajak. Sebagai kelengkapan permohonan, lampirannya : 1. Fotocopy Berita Acara RUPS Luar Biasa terakhir untuk masingmasing badan usaha; 2. Fotocopy Perjanjian Pendahuluan Penggabungan Usaha.

3. Fotocopy Akte Pendirian masing-masing badan usaha beserta perubahannya. 4. Fotocopy "Surat Persetujuan Penggabungan Usaha dari Ketua BKPM bagi Wajib Pajak PMA/PMDN; atau 'Surat Keputusan Ijin Prinsip Penggabungan Usaha" dari Departemen Keuangan bagi Wajib Pajak Bank. 5a. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya/Kabupaten dimana tanah dan/atau bangunan tersebut berada; 5b. Fotocopy Sertifikat tanah dan/atau bangunan yang telah dilegalisir oleh perusahaan yang bersangkutan dengan menunjukkan sertifikat aslinya. Saya memiliki format suratnya apakah bisa diattach di milis? Regards yo

PAJAK YAYASAN
Dear all, Mohon informasinya mengenai Yayasan. Apa saja bedanya dengan PT dari segi : - Penghasilan : sumbangan dan penjualan BKP bila diatas 1M menjadi PKP. Di luar sumbangan atau termasuk sumbangan? - Biaya gaji : deductible-taxable? - Koreksi fiskal : sama dengan PT?

- Bila ada aturan khusus tentang yayasan boleh infonya sekalian thanks yah

Bung Cip, Pls refer to the reg below. Have U ? SURAT DIRJEN PAJAK NO. S-89/PJ.31/1999 TGL. 12-04-1999 TENTANG PENJELASAN PERLAKUAN PERPAJAKAN TERHADAP YAYASAN

-S

jual beli saham


Rekan, mohon masukannya : X Co memiliki saham PT A (di Indonesia), berniat menjual sahamnya kepada Y Sdn. X Co dan Y Sdn adalah WP LN. Pertanyaannya : adakah efek perpajakan Indonesia atas transaksi tersebut (baik untuk X Co, Y Sdn, dan PT A) ? Wassalam, KH

as per UU PPh Pasal 26 (2) Penghasilan WPLN dari penjualan harta di Indonesia (kec yang telah dikenakan pph final ps 4 ayat 2) wajib dipotong PPh sebesar 20% dari perk penghasilan Netto. Kalau ga salah dulu ada posting dari pak taufik (reply emailku) aturan ttg perkiraan penghasilan netto. Kalau WPLN tsb berasal dari negara treaty partner indonesia, lihat dulu tax-treaty. apakah Indonesia memiliki hak pemajakan atas penghasilan dari penjualan harta WPLN di Indonesia. Salam,

Triyani

mungkin yg ini kali ya... -taufikS-489/PJ.341/2003 tanggal 24 juli 2003 PENEGASAN TENTANG PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 ATAS PENGHASILAN YANG DIPEROLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI ATAS PENGHASILAN BERUPA KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN SAHAM Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX, perihal seperti di atas, bersama ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam Surat tersebut, Saudara menyampaikan hal-hal sebagai berikut: a. Salah satu pemegang saham perusahaan Saudara, ABC, yang berkedudukan di Jepang akan mengalihkan/menjual sahamnya kepada perusahaan lain yang berkedudukan di Jepang; b. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 434/KMK.04/1999 tanggal 24 Agustus 1999 pada Pasal 2 ayat (2), diatur bahwa WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, maka pemotongan pajak atas transaksi pengalihan/penjualan saham perseroan hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia; c. Dalam P3B Indonesia-Jepang, Saudara tidak menemukan adanya klausul yang mengatur mengenai pemajakan atas penghasilan dari pengalihan/penjualan saham. Saudara memohon penegasan apakah Perusahaan Saudara berkewajiban untuk memotong, menyetorkan, dan melaporkan PPh Pasal 26 atas transaksi tersebut. 2. Berdasarkan P3B Indonesia-Jepang antara lain diatur bahwa: a. Pasal 13 ayat (4),

"Gains from the alienation of any property other than that referred to in the preceding paragraph shall be taxable only in the Contracting State of

which the alienator is a resident." b. Pasal 22 ayat (1), "Items of income of a resident of a Contracting State, wherever arising, not dealt with in the foregoing Articles of this Agreement shall be taxable in that Contracting State." 3. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh) antara lain diatur bahwa: a. Pasal 5 ayat (1) huruf a

yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai. b. Pasal 26 ayat (2)

atas penghasilan dari penjualan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) selain bentuk usaha tetap di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. 4. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Atas Penghasilan Berupa Keuntungan Dari Penjualan Saham, antara lain diatur bahwa: a. Pasal 2 ayat (1):

Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh WPLN selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan netto. b. Pasal 2 ayat (2): Terhadap WPLN berkedudukan di negara-negara yang telah

mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia, maka pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia. c. Pasal 2 ayat (3):

Besarnya perkiraan penghasilan netto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual, sehingga besarnya PPh Pasal 26 adalah 20% x 25% atau 5% (lima persen) dan harga jual. d. final. e. Pasal 3 ayat (1): Pasal 2 ayat (4): Pembayaran PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat

Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima WPLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dipotong pajak oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak dan kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26. f. Pasal 3 ayat (3) : Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah Perseroan. 5. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan P3B antara lain ditegaskan sebagai berikut: a. WPLN wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang membayarkan penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pihak yang membayarkan penghasilan terdaftar. SKD asli tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayarkan penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai ketentuan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat kedudukan WPLN tersebut. b. sah SKD diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang

di negara mitra runding. Namun demikian, SKD yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pelayanan Pajak tempat WPLN yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan dengan SKD yang dibuat Competent Authority. 6. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut: a. Berdasarkan P3B Indonesia-Jepang, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh ABC dari pengalihan saham sebagaimana tersebut pada angka 1, tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 atau pajak penghasilan, sepanjang ABC tidak mempunyai BUT di Indonesia, yang memiliki saham yang diperjualbelikan. b. Untuk penerapan ketentuan P3B tersebut diatas, ABC wajib menyerahkan asli SKD yang diterbitkan dan ditandatangani oleh pejabat Competent Authority Jepang, kepada Perseroan yang ditunjuk sebagai pemungut pajak dan menyerahkan fotokopinya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Perseroan terdaftar. c. Apabila ABC tidak dapat menyerahkan SKD dimaksud, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pengalihan saham sebagaimana tersebut pada angka 1, dikenakan pemotongan pajak di Indonesia dengan tarif 20% x 25% atau 5% (lima persen) dari jumlah bruto. d. Apabila ABC mempunyai BUT di Indonesia, dan saham yang dialihkan merupakan bagian dari harta atau dikuasai BUT tersebut, maka atas penghasilan yang diterima atau diperoleh ABC dari pengalihan saham sebagaimana tersebut pada angka 1, dikenakan pajak di Indonesia dengan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan. Demikian penegasan kami harap maklum. A.n. DIREKTUR JENDERAL, DIREKTUR, ttd IGN MAYUN WINANGUN

Pak Taufik, menurut P3B dengan UK Article 13 sbb : Capital Gains 1. Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of immovable property referred to in Article 6 of this Agreement and situated in the other Contracting State may be taxed in that other State. 2. Gains from the alienation of movable property forming part of the business property of a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other Contracting State or of movable property pertaining to a fixed base available to a resident of a Contracting State in the other Contracting State for the purpose of performing independent personal services, including such gains from the alienation of such a permanent establishment (alone or with the whole enterprise) or of such a fixed base, may be taxed in that other State. 3. Gains derived by a resident of a Contracting State from the alienation of ships or aircraft operated in international traffic or movable property pertaining to the operation of such ships or aircraft shall be taxable only in that State. 4. Gains from the alienation of any property other than that mentioned in paragraphs 1, 2 and 3 of this Article shall be taxable only in the Contracting State of which the alienator is a resident. 5. The provisions of paragraph 4 of this Article shall not affect the right of a Contracting State to levy according to its law a tax on capital gains from the alienation of any property derived by an individual who is a resident of the Contracting State and has been a resident of the first-mentioned Contracting State at any time during the five years immediately preceding the alienation of the property. kayaknya penjualan saham PT A oleh X Co (di Inggris) kepada Y Sdn hak pemajakannya di Inggris, ya ? refernya ke no. 4 "Gains from the alienation of any property other than that mentioned in paragraphs 1, 2 and 3 of this Article shall be taxable only in the Contracting State of which the alienator is a resident." Wassalam, Kaharudin

You might also like