You are on page 1of 31

Hukum Operasi dan

Bedah Mayat Menurut


Islam

OLEH:

Ahmed Mawardi
080100239

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN-2008
KATA PENGANTAR

‫بسم ال الرحمن الرحيم‬

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Alhamdulillah, puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas limpahan
rahmatnya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Makalah ini disusun sebagai bahan kuliah Agama Islam yang disampaikan pada
semester 2 di Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Sehubungan dengan
diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi Fakultas Kedoteran, maka mahasiswa
dituntut aktif meberikan bahan kuliah dan tidak lagi diberikan oleh dosen mata kuliah Agama
Islam. Dalam hal ini dosen hanya bertindak sebagai narasumber.

Dalam penyusunan makalah ini, saya berusaha memberikan yang terbaik dengan
mencari bahan dari berbagai sumber seperti buku, artikel dari internet, dll. Namun terlepas
dari itu saya menyadari sepenuhnya makalah ini masih jauh dari kata sempurna. untuk itu
saya menerima kritk dan saran dari para pembaca sekalian.

Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi mahasiswa Fakultas
Kedokteran yang beragama Islam sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
keputusan medis khususnya yang menyangkut masalah agama, agar nantinya dapat
menjadi dokter yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Penyusun

~2~
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................3
PENDAHULUAN..................................................................................................4
PEMBAHASAN....................................................................................................5
A. Operasi Medis......................................................................................5
B. Transplantasi Organ.............................................................................6
C. Khitan...................................................................................................11
D. Bedah Plastik......................................................................................15
E. Operasi Transeksual...........................................................................18
F. Bedah Mayat.......................................................................................23
KESIMPULAN.....................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................28

~3~
PENDAHULUAN

Maksud makalah ini adalah memberikan keterangan singkat mengenai masalah


operasi kepada seluruh mahasiswa kedokteran khususnya yang beragama islam.

Diantara masalah operasi yang banyak menimbulkan problema dalam hukum islam
adalah masalah operasi medis, transplantasi, bedah plastik, operasi transeksual dan bedah
mayat. Bagaimana pandangan hukum islam mengenai masalah tersebut?

Untuk memudahkan pemahaman makalah ini, penyusun membagi menjadi beberapa


subjudul secara sistematika disusun sebagai berikut:
A. Opeasi medis
B. Transplantasi organ
C. Khitan
D. Bedah plastik
E. Operasi transeksual
F. Bedah mayat

~4~
PEMBAHASAN

A. OPERASI MEDIS

Terkadang seorang muslim diuji oleh Allah dengan suatu penyakit, dia ingin sembuh
dari penyakit tersebut, dia mengetahui bahwa berobat dianjurkan, akan tetapi penyakit di
mana dia diuji oleh Allah dengannya, jalan menuju kepada kesembuhannya menurut para
dokter adalah operasi. Pertanyaannya bagaimana pandangan syariat terhadap operasi
medis yang umumnya adalah tindakan pembedahan?

Dalil-dalil dari al-Qur`an dan sunnah menetapkan dibolehkannya operasi medis


dengan syarat-syaratnya, dan bahwa tidak ada dosa atas seorang muslim melakukannya
untuk meraih kesembuhan dari penyakit yang Allah ujikan kepadanya dengan izin Allah.

Adapun dalil-dalil tersebut maka ia sebagai berikut:

Firman Allah, “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32).

Dalam ayat ini Allah memuji orang yang berusaha menghidupkan dan menyelamatkan
jiwa dari kematian dan sudah dimaklumi bahwa dalam banyak kasus operasi medis menjadi
sebab terselamatkannya jiwa dari kematian yang hampir dipastikan.

Tidak sedikit penyakit di mana kesembuhannya tergantung setelah Allah kepada


operasi medis, tanpa operasi penyakit penderita akan memburuk dan membahayakannya,
jika tim medis melakukannya dan penderita sembuh dengan izin Allah berarti mereka telah
menyelamatkannya. Tanpa ragu ini termasuk perbuatan yang dipuji oleh ayat di atas.

Adapun dari sunnah maka ada beberapa hadits yang bisa dijadikan pijakan dalam
menetapkan dibolehkannya operasi medis, di antaranya:

~5~
1. Hadits hijamah (berbekam)

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw berbekam di kepalanya. (HR. Al-Bukhari).

Dari Jabir bahwa dia menjenguk orang sakit. Dia berkata, “Aku tidak meninggalkan
tempat ini sebelum kamu berbekam karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda,
‘Padanya terdapat kesembuhan”. (HR. Al-Bukhari).

Hadits tersebut menetapkannya disyariatkannya hijamah dan sudah dimaklumi bahwa


hijamah dilakukan dengan membedah atau menyayat tempat tertentu pada tubuh untuk
menyedot darah kotor dan membuangnya. Jadi disyariatkannya hijamah merupakan dasar
dibolehkannya membedah tubuh untuk membuang penyakit atau penyebab penyakit.

2. Hadits Jabir bin Abdullah

Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah SAW mengirim seorang tabib kepada Ubay bin
Kaab maka tabib tersebut memotong pembuluh darahnya dan menempelnya dengan besi
panas”. (HR. Muslim).

Dalam hadits ini Nabi SAW menyetujui apa yang dilakukan oleh tabib tersebut
terhadap Ubay bin Kaab, dan apa yang dilakukan oleh tabib tersebut adalah salah satu
bentuk operasi medis yaitu pemotongan terhadap anggota tertentu.

Kemudian dari sisi pertimbangan kebutuhan penderita kepada operasi yang tidak
lepas dari dua kemungkinan yaitu menyelamatkan hidup dan menjaga kesehatan,
pertimbangan yang dalam kondisi tertentu bisa mencapai tingkat dharurat maka tidak ada
alasan yang rajih menolak operasi medis.

Syariat Islam tidak melarang operasi medis secara mutlak dan tidak membolehkan
secara mutlak, syariat meletakkan larangan pada tempatnya dan pembolehan pada
tempatnya, masing-masing diberi hak dan kadarnya.

Jika operasi medis memenuhi syarat-syarat yang diletakkan syariat maka dibolehkan
karena dalam kondisi ini target yang diharapkan yaitu kesembuhan dengan izin Allah bisa
diwujudkan, sebaliknya jika tim medis berpandangan bahwa operasi tidak bermanfaat, tidak

~6~
mewujudkan sasarannya atau justru menambah penderitaan penderita maka dalam kondisi
ini syariat melarangnya.

Inilah syarat-syarat dibolehkannya operasi medis yang diletakkan oleh fuqaha Islam
dalam buku-buku mereka, syarat-syarat ini diambil dari dasar-dasar kaidah syariat.

1) Hendaknya operasi medis disyariatkan.

2) Hendaknya penderita membutuhkannya.

3) Hendaknya penderita mengizinkan.

4) Hendaknya tim medis menguasai.

5) Hendaknya peluang keberhasilan lebih besar.

6) Hendaknya tidak ada cara lain yang lebih minim mudharatnya.

7) Hendaknya operasi medis berakibat baik.

8) Hendaknya operasi tidak berakibat lebih buruk daripada penyakit penderita.

B. TRANSPLANTASI ORGAN

1) SEJARAH

Yang memberikan ilham masalah transplantasi dalam Ilmu Kedokteran adalah:

1. Terciptanya Hawa dari tulang iga yang diambil dari tulang iga milik Adam.
2. Legenda taentang Icarus yang berhasil membuat sayap dari bulu burung garuda lalu
ditempelkan di badannya.

Kira-kira 2000 tahun sebelum Kristus, di Mesir ditemukan sebuah manuskrip yang
isinya antara lain uraian mengenai percobaan-percobaan transplantasi jaringan. Sedang di
India beberapa puluh tahun sebelum Kristus, seorang ali bedah bangsa Hindu telah berhasil
memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara
mentransplantasikan sebagian kulit jaringan lemak di bawahnya yang berasal dari
lengannya. Pengalaman ini merangsang George Tagliacosi, ahli bedah bangsa Italia, pada
tahun 1597 mencoba memperbaiki cacat pada hidung seseorang dengan menggunakan
kulit milik kawannya.

Pada tahun 1863, Paul Bert, ahli fisiologi bangsa Perancis berpendapat transplantasi
jaringan antar individu yang sejenis akan mengalami kegagalan, tetapi dia tidak dapat

~7~
menjelaskan sebabnya. Kemudian pada tahun 1903, C.O. Jensen, seorang ahli biologi dan
tahun 1912, G. Schone, seorang ahli bedah; kedua-duanya bangsa Jerman; menjelaskan
mekanisme penolakan jaringan oleh resipien, yaitu karena terjadi proses imunitas dalam
tubuh resipien.

John Murphy, ahli bedah bangsa Amerika, pada tahun 1897 telah berhasil
menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan. Prestasinya ini membawa
perkembangan lebih pesat dan lebih maju dalam bidang transplantasi dan menjadi tonggak
diadakannya transplantasi organ.

Pada tahun 1902 E. Ullman, ahli bedah bangsa Jerman, dan setahun kemudian
Claude Beck, ahli bedah bangsa Amerika, telah berhasil melakukan transplantasi ginjal
pada seekor anjing.

Pada awal abad ke XX timbul pemikiran mengadakan transplantasi jaringan atau


organ pada dua individu kembar yang berasal dari satu sel telur. Karena individu kembar
yang berasal dari satu sel telur secara biologis dapat dianggap satu individu. Berdasarkan
kenyataan ini mendorong Dr. J.E. Murray pada tahun 1954 untuk mengobati seorang anak
yang menderita penyakit ginjal dengan mentransplantasikan ginjal yang berasal dari sudara
kembarnya.

2) DEFINISI TRANSPLANTASI

Di dalam dunia kedokteran, transplantasi (pencangkokan) dapat diartikan sebagai


usaha memindahkan sebagian dari bagian tubuh (jaringan atau organ) dari satu tempat ke
tempat lain. Dari pengertian tersebut transplantasi dapat dibagi menjadi dua bagian:

a. Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.


b. Transplantasi organ seperti pencangkokan ginjal, jantung, dan sebagainya

Berdasarkan hubungan genetik antara donor dengan resipien, ada tiga macam
pencangkokan, yaitu:

1. Autotransplantasi, yaitu transplantasi dimana donor dan resipiennya satu individu.


Seperti seseorang yang pipinya dioperasi untuk memulihkan bentuk, diambil daging
dari bagian tubuhnya yang lain.
2. Homotransplantasi (Allotransplantasi), yaitu transplantasi dimana donor dan
resipiennya individu yang sama jenisnya. Homotransplantasi dapat terjadi pada dua
individu yang masih hidup; bisa juga antara donor yang sudah meninggal yang
disebut cadaver donor sedang resipien masih hidup.

~8~
3. Heterotransplantasi (Xenotransplantasi), yaitu transplantasi yang donor dan resipien
nya adalah dua individu yang berbeda jenisnya. Misalnya mentransplantasikan
jaringan atau organ dari binatang ke manusia.

Indikasi utama transplantasi organ adalah ikhtiar pengobatan organ itu (yang
menderita penyakit sehingga merusak fungsinya) setelah semua ikhtiar pengobatan lainnya
dilakukan tetapi mengalami kegagalan.

Melihat tingkatannya, tujuan transplantasi untuk pengobatan mempunyai kedudukan


yang berlainan; ada yang semata-mata pengobatan dari sakit atau cacat yang kalau tidak
dilakukan dengan pencangkokan tidak akan menimbulkan kematian, tetapi akan
menimbulkan cacat atau ketidak sempurnaan badan, seperti pencangokan menambal bibir
sumbing, pencangkokan kornea untuk mengobati orang yang korneanya rusak atau tidak
dapat melihat. Kalau tidak dilakukan pencangkokan, orang yang sumbing tetap sehat
seluruh jasmaninya, hanya mukanya tidak sebagaimana biasa. Mengenai pencangkokan
kornea, jika tidak dilakukan tidak akan mengalami kematian tetapi mengakibatkan kebutaan
yang akan mengurangi kegiatan dibanding orang yang lengkap seluruh anggota badannya.

Pada pencangkokan yang termasuk pengobatan yang jika tidak dilakukan akan
menimbulkan kematian, adalah seperti pencangkokan penggantian ginjal, hati, jantung, dan
sebagainya. Kalau tidak dialkukan pencangkokan akan mengakibatkan kematian pasien.

Melihat tingkatan itu, dapat diperinci, pada pencangkokan tingkat pertama adalah
tingkat dihajadkan, sedang tingkat kedua tingkat darurat.

3) ASPEK HUKUM TRANSPLANTASI

Pengaturan mengenai transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia telah
diatur dalam hukum positif di Indonesia. Dalam peraturan tersebut diatur tentang siapa yang
berwenang melakukan tindakan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia,
bagaimana prosedur pelaksanaan tindakan medis transplantasi organ dan atau jaringan
tubuh manusia, juga tentang sanksi pidana.

Dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan bagi pelaku pelanggaran baik yang
tidak memiliki keahlian dan kewenangan, melakukan transplantasi organ dan atau jaringan
tubuh manusia tanpa persetujuan donor atau ahli waris, memperjual belikan organ dan atau
jaringan tubuh manusia diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh ) tahun dan denda
paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta) sebagaimana diatur dalam
Pasal 81 ayat (1)a, Pasal 81 ayat (2)a, Pasal 80 ayat (3), dan sanksi administratif terhadap
~9~
pelaku pelanggaran yang melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia
yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) PP No. 81 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Minis dan
Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia.

Untuk menanggulangi perdagangan gelap organ dan/atau jaringan tubuh manusia


diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, yang berisi ketentuan mengenai jenis perbuatan dan sanksi pidana bagi pelaku yang
terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal
17, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000, (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000, (enam ratus juta rupiah).

Sedangkan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang juga rentan terhadap
tindakan eksploitasi perdagangan gelap transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh telah
diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 85 UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
serta yang berisi ketentuan mengenai jenis tindak pidana dan sanksi pidana yang dapat
dikenakan terhadap pelakunya. Dalam melakukan tindakan medis transplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh manusia seorang dokter harus melakukannya berdasarkan standart
profesi serta berpegang teguh pads Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

4) TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSPLANTASI

Mengenai pengobatan, dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara khusus , hanya ada
petunjuk bahwa diturunkannya Al-Qur’an sebagai penyembuh seperti pada surat Al-Isra’
yang artinya adalah “Al-Qur’an adalah penyembuh atau obat yang sempurna, obat rohani
dan jasmani, obat bagi dunia dan akhirat”.

Ayat lain yang menganjurkan agar memelihara diri untuk tidak berbuat yang
mendatangkan kerusakan diri, seperti tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 195:

“ Janganlah kamu menjerumuskan diri dalam kerusakan”

Ayat di atas mengandung ketentuan agar kita tidak berbuat yang merusakkan diri,
termasuk dalam pengertian ini adalah larangan membiarkan diri tidak terpelihara, sehingga
menderita sakit, dan bila menderita sakitpun kita dilarang untuk membiarkan diri untuk
diobati. Dengan kata lain mengobati badan di waktu menderita sakit merupakan perintah
Tuhan.

~ 10 ~
Secara tegas Hadist Nabi berbunyi:

“Hendaklah kamu sekalian berobat, wahai hamba Allah, karena Allah tidak
menjadikan penyakit kecuali menjadikan pula obatnya, selain penyakit yang satu yaitu
penyakit tua.”

Hadist ini tidak termasuk hadist yang sahih Bukhari Muslim, tetapi isinya didukung
oleh hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

“Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat diterapkan atas sesuatu penyakit, semoga
sembuh dengan izin Allah.”

Dari segi pengobatan maka pencangkokan itu dapat digolongkan hal yang dianjurkan,
melihat pada lafaz Hadist pertama di atas, yakni bentuk amar (perintah). Hukum yang
ditunjuki oleh amar itu wajib. Melihat jiwa ayat dan hadist di atas, serta mempertahankan
qaidah di atas dapat ditetapkan sementara bahwa hukum pencangkokan adalah wajib,
sekurang-kurangnya sunnah.

Tetapi belum dapat berhenti sampai di sini, karena jika dilihat cara pencangkokan dan
macamnya, dokter yang melakukan pencangkokan itu harus melakukan operasi yang
memerlukan pembicaraan tersendiri, apalagi pada homotransplantsi dengan cadaver donor.
Dalam persoalan ini akan dijumpai nash umum baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang
melarang adanya pelukaan, pengaliran darah, khususnya pelukaan terhadap mayat.

Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 84:

“Kamu sekalian tidak akan menumpahkan darah kamu”

Hadist Nabi antara lain:

“Maka sungguh darah kamu dan harta kamu serta hartabenda kamu diharamkan bagi
kamu (jangan diganggu)”.

Hadist tentang melukai mayat:

“Merusak tulang mayat adalah dosanya seperti merusak tulang orang yang masih
hidup.”

~ 11 ~
Memperhatikan nash-nash di atas, maka terlihat adanya taa’arudl (kontradiksi)
dengan nash sebelumnya yang menganjurkan berobat. Taa’rudl; karena nash-nash di atas
melarang orang mengalirkan darah atau melukai orang lain, sedang nash sebelumnya
menyuruh orang berobat, termasuk pencangkokan yang pelaksanaannya melukai dan
mengalirkan darah orang lain.

Adapun pencangkokan yang tujuannya pengobatan itu, dilakukan dengan


mengadakan operasi jaringan atau organ, bahkan kalau terpaksa dengan organ yang telah
meninggal selaku donornya; hal itu belum ada dalilnya dan perlu dicari.

Dalil yang ada melarang berbuat dan bertindak yang mendatangkan kerusakan.
Dalam mengadakan operasi atau pencangkokan memecahkan tulang atau organ mayatpun
dilarang oleh Hadist di atas karena mendatangkan kerusakan. Maka terlihat dua masalah
yang keduanya akan mendatangkan kerusakan. Yaitu bila tidak dilakukan pencangkokan
akan terdapat kemadharatan yakni kematian, bila dilakukan pencangkokan akan terpaksa
melakukan hal yang mendatangkan kemadharatan yakni operasi pengambilan jaringan atau
organ.

Dari Qaidah Fiqhiyyah didapati qaidah yang relevan dengan masalah ini, ialah:

“Kemadharatan dihilangkan”

“Kemadharatan dihilangkan sedapat mungkin”

Prinsip dalam Hukum Islam, bahwa segala yang menimbulkan kemadharatan harus
dihindari dan diusahakan hilangnya. Untuk dua masalah kemadharatan digunakan qaidah:

“Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan”

Sehingga dengan demikian hukum pencangkokan yang dilakukan untuk


menyelamatkan jiwa pasien, dengan tujuan pengobatan untuk menghindari cacat tubuh
adalah mubah.

C. KHITAN

Sunat atau khitan atau sirkumsisi (Inggris : circumcision) adalah tindakan


memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis.
Frenulum dari penis dapat juga dipotong secara bersamaan dalam prosedur yang
dinamakan frenektomi. Kata sirkumsisi berasal dari bahasa Latin circum (berarti "memutar")
dan caedere (berarti "memotong"). Dalam bahasa Arab khitan juga digunakan sebagai
~ 12 ~
nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadist yang mengatakan
"Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim, Tirmidzi, dll.).

Sunat telah dilakukan sejak jaman prasejarah, dilihat dari gambar-gambar di gua yang
berasal dari Zaman Batu dan makam Mesir purba. Alasan tindakan ini masih belum jelas
pada masa itu tetapi teori-teori memperkirakan bahwa tindakan ini merupakan bagian dari
ritual pengorbanan atau persembahan, tanda penyerahan pada Yang Maha Kuasa, langkah
menuju kedewasaan, tanda kekalahan atau perbudakan, atau upaya untuk mengubah
estetika atau seksualitas. Sunat pada laki-laki diwajibkan pada agama Islam dan Yahudi.
Praktik ini juga terdapat di kalangan mayoritas penduduk Korea Selatan, Amerika, dan
Filipina.

Sunat pada bayi telah didiskusikan pada beberapa dekade terakhir. American Medical
Association (AMA) menyatakan bahwa perhimpunan kesehatan di Amerika Serikat,
Australia dan Kanada tidak merekomendasikan sunat rutin non-therapeutic (bukan alasan
agama, tidak ritual, dan tidak deperlukan secara medis) pada bayi laki-laki.

Menurut literatur AMA tahun 1999, orangtua di AS memilih untuk melakukan sunat
pada anaknya terutama disebabkan alasan sosial atau budaya dibandingkan karena alasan
kesehatan. Akan tetapi, survey tahun 2001 menunjukkan bahwa 23,5% orang tua
melakukannya dengan alasan "kesehatan". Para pendukung integritas genital mengecam
semua tindakan sunat pada bayi karena menurut mereka itu adalah bentuk mutilasi genital
pria yang dapat disamakan dengan sunat pada wanita yang dilarang di AS. Beberapa ahli
berargumen bahwa sunat bermanfaat bagi kesehatan. Sunat diperlukan untuk mengobati
pendarahan kronis pada penis, dan kanker penis. Beberapa dokter menyarankan sunat
untuk mengobati fimosis, sedangkan lainnya menyarankan metode pengobatan efektif
lainnya untuk kondisi ini.

Faedah khitan
Seperti yang diungkapkan para ahli kedokteran bahwa khitan mempunyai faedah bagi
kesehatan karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tempat persembunyian
kotoran, virus, najis dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua unsur
tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, maka endapan kotoran
sebagian tertahan oleh kulit tersebut. Semakin lama endapan tersebut semakin banyak.
Bisa dibayangkan berapa lama seseorang melakukan kencing dalam sehari dan berapa
banyak endapan yang disimpan oleh kulit penutup kelamin dalam setahun. Oleh karenanya
beberapa penelitian medis membuktikan bahwa penderita penyakit kelamin lebih banyak
dari kelangan yang tidak dikhitan. Begitu juga penderita penyakit berbahaya AIDS, kanker
alat kelamin dan bahkan kanker rahim juga lebih banyak diderita oleh pasangan yang tidak
dikhitan. Selain itu secara medis juga membuktikan, bagian kepala penis peka terhadap
rangsangan karena banyak mengandung saraf erotis. Ini membuat kepala penis yang tidak
~ 13 ~
disunat lebih sensitive daripada yang disunat. Jadi, sunat ternyata juga membantu
mencegah terjadinya ejakulasi dini. Ini juga yang menjadi salah satu alasan non muslim di
Eropa dan AS melakukan khitan.

Khitan dalam Islam


Khitan dalam Islam tidak hanya dilakukan pada laki-laki, tetapi juga kepada wanita.
Khitan bagi laki-laki adalah memotong semua kulup (kulit) yang menutupi ujung zakar,
sedangkan bagi wanita adalah memotong bagian kulit yang menonjol (ke atas) vaginanya
saja.

Dalam agama Islam, khitan merupakan salah satu media pensucian diri dan bukti
ketundukan kita kepada ajaran agama. Dalam hadist Rasulullah s.a.w. bersabda: "Kesucian
(fitrah) itu ada lima: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan
kumis dan memotong kuku" (H.R. Bukhari Muslim).

Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Azis Dahlan et al., Jakarta, 1997,
Vol 3 pada sub bab Khitan diterangkan sebagai berikut: Khitan (berasal dari akar kata arab
khatana-yakhtanu-khatnan = memotong). Secara terminologi pengertian khitan dibedakan
antara laki-laki dan perempuan. Menurut Imam al-Mawardi, ulama fikih Mahzab Syafi’i,
khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi
terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan adalah membuang bagian dalam faraj yaitu
kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian atas
kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga I’zar dan bagi perempuan
disebut khafd. Namun keduanya lazim disebut khitan.

Hukum Khitan
Dalam fikih Islam, hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan perempuan. Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan baik untuk lelaki maupun perempuan.

1. Hukum khitan untuk lelaki:


Menurut jumhur (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Para
pendukung pendapat ini adalah imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut imam Malik.
Imam Hanafi mengatakan khitan wajib tetapi tidak fardlu.

Menurut riwayat populer dari imam Malik beliau mengatakan khitan hukumnya
sunnah. Begitu juga riwayat dari imam Hanafi dan Hasan al-Basri mengatakan sunnah.
Namun bagi imam Malik, sunnah kalau ditinggalkan berdosa, karena menurut madzhab
Maliki sunnah adalah antara fadlu dan nadb. Ibnu abi Musa dari ulama Hanbali juga
mengatakan sunnah muakkadah.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mughni mengatakan bahwa khitan bagi lelaki
hukumnya wajib dan kemuliaan bagi perempuan, andaikan seorang lelaki dewasa masuk

~ 14 ~
Islam dan takut khitan maka tidak wajib baginya, sama dengan kewajiban wudlu dan mandi
bisa gugur kalau ditakutkan membahayakan jiwa, maka khitan pun demikian.

Dalil yang Yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib.

1. Salman al-Farisi ketika masuk Islam tidak disuruh khitan;


2. Hadist di atas menyebutkan khitan dalan rentetan amalan sunnah seperti mencukur
bulu ketiak dan memendekkan kuku, maka secara logis khitan juga sunnah.
3. Hadist Ayaddad bin Aus, Rasulullah s.a.w bersabda: "Khitan itu sunnah bagi lelaki dan
diutamakan bagi perempuan”. Namun kata sunnah dalam hadist sering diungkapkan
untuk tradisi dan kebiasaan Rasulullah baik yang wajib maupun bukan dan khitan di sini
termasuk yang wajib.

Adapun dalil-dalil yang dijadikan landasan para ulama yang mengatakan khitan wajib
adalah sebagai berikut :

1. Dari Abu Hurairah Rasulullah s.a.w. bersabda bahwa nabi Ibrahim melaksanakan khitan
ketika berumur 80 tahun, beliau khitan dengan menggunakan kapak. (H.R. Bukhari).
Nabi Ibrahim melaksanakannya ketika diperintahkan untuk khitan padahal beliau sudah
berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah khitan.
2. Kulit yang di depan alat kelamin terkena najis ketika kencing, kalau tidak dikhitan maka
sama dengan orang yang menyentuh najis di badannya sehingga sholatnya tidak sah.
Sholat adalah ibadah wajib, segala sesuatu yang menjadi prasyarat sholat hukumnya
wajib.
3. Hadist riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah s.a.w. berkata kepada Kulaib:
"Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah". Perintah Rasulullah s.a.w. menunjukkan
kewajiban.
4. Diperbolehkan membuka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat sesuatu yang
dilarang. Ini menujukkan bahwa khitan wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang
dilarang kecuali untuk sesuatu yang sangat kuat hukumnya.
5. Memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit tidak
mungkin kecuali karena perkara wajib, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.
6. Khitan merupakan tradisi Umat Islam sejak zaman Rasulullah S.A.W. sampai zaman
sekarang dan tidak ada yang meninggalkannya, maka tidak ada alasan yang
mengatakan itu tidak wajib.

2. Khitan untuk perempuan


Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Sebagian
mengatakan itu sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja dan tidak ada
yang mengatakan wajib.

Perbedaan pendapat para ulama seputar hukum khitan bagi perempuan tersebut
disebabkan riwayat hadist seputar khitan perempuan yang masih dipermasalahkan
kekuatannya.

Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan. Ibnu Mundzir
mengatakan bahwa tidak ada hadist yang bisa dijadikan rujukan dalam masalah khitan

~ 15 ~
perempuan dan tidak ada sunnah yang bisa dijadikan landasan. Semua hadist yang
meriwayatkan khitan perempuan mempunyai sanad dlaif atau lemah.

Hadist paling populer tentang khitan perempuan adalah hadist Ummi 'Atiyah r.a.,
seorang juru khitan perempuan, Rasulllah bersabda kepadanya: " Wahai Umi Atiyah, sedikit
sajalah dipotong, sebab hal itu menambah cantik wajahnya dan kehormatan bagi suami ".
Hadist ini diriwayatkan oleh Baihaqi, Hakim dari Dhahhak bin Qais. Abu Dawud juga
meriwayatkan hadist serupa namun semua riwayatnya dlaif dan tidak ada yang kuat. Abu
Dawud sendiri konon meriwayatkan hadist ini untuk menunjukkan kedlaifannya. Demikian
dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhisul Khabir.

Mengingat tidak ada hadist yang kuat tentang khitan perempuan ini, Ibnu Hajar
meriwayatkan bahwa sebagian ulama Syafi'iyah dan riwayat dari imam Ahmad mengatakan
bahwa tidak ada anjuran khitan bagi perempuan.

Sebagian ulama mengatakan bahwa perempuan Timur (kawasan semenanjung Arab)


dianjurkan khitan, sedangkan perempuan Barat dari kawasan Afrika tidak diwajibkan khitan
karena tidak mempunyai kulit yang perlu dipotong yang sering mengganggu atau
menyebabkan kekurang nyamanan perempuan itu sendiri.

Apa yang dipotong dari perempuan


Imam Mawardi mengatakan bahwa khitan pada perempuan yang dipotong adalah kulit
yang berada di atas vagina perempuan yang berbentuk mirip cengger ayam. Yang
dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut bukan menghilangkannya secara
keseluruhan. Imam Nawawi juga menjelaskan hal yang sama bahwa khitan pada
perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih yang ada di atas vagina perempuan.

Namun pada penerapannya banyak kesalahan dilakukan oleh umat Islam dalam
melaksanakan khitan perempuan, yaitu dengan berlebih-lebihan dalam memotong bagian
alat vital perempuan. Seperti yang dikutip Dr. Muhammad bin Lutfi Al-Sabbag dalam
bukunya tentang khitan bahwa kesalahan fatal dalam melaksanakan khitan perempuan
banyak terjadi di masyarakat muslim Sudan dan Indonesia. Kesalahan tersebut berupa
pemotongan tidak hanya kulit bagian atas alat vital perempuan, tapi juga memotong hingga
semua daging yang menonjol pada alat vital perempuan, termasuk clitoris sehingga yang
tersisa hanya saluran air kencing dan saluran rahim. Khitan model ini di masyarakat Arab
dikenal dengan sebutan "Khitan Fir'aun". Beberapa kajian medis membuktikan bahwa
khitan seperti ini bisa menimbulkan dampak negatif bagi perempuan baik secara kesehatan
maupun psikologis, seperti menyebabkan perempuan tidak stabil dan mengurangi gairah
seksualnya. Bahkan sebagian ahli medis menyatakan bahwa khitan model ini juga bisa
menyebabkan berbagai pernyakit kelamin pada perempuan.

Seandainya hadist tentang khitan perempuan di atas sahih, maka di situ pun
Rasulullah s.a.w. melarang berlebih-lebihan dalam menghitan anak perempuan. Larangan
dari Rasulullah s.a.w. secara hukum bisa mengindikasikan keharaman tindakan tersebut.
Apalagi bila terbukti bahwa berlebihan atau kesalahan dalam melaksanakan khitan
perempuan bisa menimbulkan dampak negatif, maka bisa dipastikan keharaman tindakan
tersebut.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas beberapa kalangan ulama kontemporer


menyatakan bahwa apabila tidak bisa terjamin pelaksanaan khitan perempuan secara

~ 16 ~
benar, terutama bila itu dilakukan terhadap anak perempuan yang masih bayi, yang pada
umumnya sulit untuk bisa melaksanakan khitan perempuan dengan tidak berlebihan, maka
sebaiknya tidak melakukan khitan perempuan. Toh tidak ada hadist sahih yang
melandasinya.

Waktu khitan

Waktu wajib khitan adalah pada saat baligh, karena pada saat itulah wajib
melaksanakan sholat. Tanpa khitan, sholat tidak sempurna sebab suci yang yang
merupakan syarat sah sholat tidak bisa terpenuhi.

Adapun waktu sunnah adalah sebelum baligh. Sedangkan waktu ikhtiar (pilihan yang
baik untuk dilaksanakan) adalah hari ketujuh setelah lahir, atau 40 hari setelah kelahiran,
atau juga dianjurkan pada umur 7 tahun. Qadli Husain mengatakan sebaiknya melakuan
khitan pada umur 10 tahun karena pada saat itu anak mulai diperintahkan sholat. Ibnu
Mundzir mengatakan bahwa khitan pada umur 7 hari hukumnya makruh karena itu tradisi
Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah s.a.w. mengkhitan Hasan dan Husain, cucu
beliau pada umur 7 hari, begitu juga konon nabi Ibrahim mengkhitan putera beliau Ishaq
pada umur 7 hari.

Ibnu Abbas ditanya, yang artinya: "Seusia siapa engkau tatkala Rasululloh Shallallahu
alaihi wa Salam meninggal dunia?" Ibnu Abas berkata: "Saya pada waktu itu sudah dikhitan,
dan orang-orang (jaman itu) tidak mengkhitan laki-laki hingga dia baligh." (HR: Al-Bukhari)

Wanita dikhitan pada waktu masih bayi.

D. Bedah plastik
Bedah plastik adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang bertujuan untuk
merekonstruksi atau memperbaiki bagian tubuh manusia melalui operasi kedokteran.
Bedah plastik, berasal dari bahasa Yunani, yaitu “plastikos” yang berarti “membentuk”
atau “memberi bentuk”. Ilmu ini sendiri merupakan cabang dari ilmu bedah yang
bertujuan untuk mengembalikan bentuk dan fungsi yang normal dan “menyempurnakan”
bentuk dengan proporsi yang “lebih baik”. Asal kata bedah jenis ini sebenarnya tidak
diturunkan bahan plastik. Jenis bedah plastik secara umum dibagi dua jenis: pembedahan
untuk rekonstruksi dan pembedahan untuk kosmetik.

Dengan definisi tersebut berarti dapat disimpulkan, bedah plastik merupakan ilmu
yang memiliki ciri lebih memperhatikan penampakan hasil akhir dari suatu tindakan
agar tampak mendekati normal atau lebih baik.

Bedah Plastik di Indonesia dirintis oleh Prof. Moenadjat Wiratmadja. Setelah lulus
sebagai spesialis bedah dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1958,
beliau melanjutkan pendidikan bedah plastik di Washington University/Barnes Hospital di
Amerika Serikat hingga tahun 1959. Sepulang dari luar negeri, beliau mulai
mengkhususkan diri dalam memberikan pelayanan pada umum dan pendidikan bedah
~ 17 ~
plastik pada mahasiswa dan asisten bedah di FKUI/RSCM. Pada tahun 1979 beliau
dikukuhkan sebagai profesor dalam ilmu kedokteran di FKUI. Profesor Moenadjat
Wiratmadja wafat pada tahun 1980.

Saat ini, pandangan masyarakat tentang bedah plastik berorientasi hanya pada
masalah kecantikan (estetik), seperti sedot lemak, memancungkan hidung,
mengencangkan muka, dan lain sebagainya. Sesungguhnya, ruang lingkup bedah plastik
sangatlah luas. Tidak hanya masalah estetika, tetapi juga rekonstruksi, seperti pada
kasus-kasus luka bakar, trauma wajah pada kasus kecelakaan, cacat bawaan lahir
(congenital), seperti bibir sumbing, kelainan pada alat kelamin, serta kelainan congenital
lainnya. Reparasi patah tulang muka, termasuk tulang hidung, tulang rahang atas maupun
bawah, termasuk dalam cakupan bedah plastik. Dengan demikian, tindakan bedah dapat
bertujuan terapi, juga kosmetik. Namun bukan berarti nilai estetika tak diperhatikan. Dan
tindakan lengkap untuk melakukan kedua hal ini tentunya hanya bedah plastik.

Bedah Plastik Dalam Pandangan Islam


Ulama berbeda pandangan. Sebagian membolehkan jika ditujukan untuk terapi dan
sebagian lain mengharamkan bila digunakan demi alasan kosmetik. Keharaman ini
didasarkan atas keharaman mengubah ciptaan Allah.

Hukum operasi wajah untuk memperbaiki bagian tubuh yang rusak karena sebuah
musibah dibenarkan. Dalilnya ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ada
seorang shahabat Rasulullah SAW yang mengganti hidungnya dengan emas lantaran
patah saat perang. Logikanya, kalau mengganti hidung yang patah dengan emas
dibolehkan, apalagi dengan kulit sendiri, tentu lebih utama.

Wajah manusia adalah bagian dari keindahan yang dianugerahi Allah SWT. Sebaiknya
dijaga dan dipelihara. Memang tidak boleh diubah dengan cara mencukur alis, karena
adanya larangan dari Rasulullah SAW tentang hal itu. Rasulullah s.a.w. melaknat
perempuan-perempuan yang mencukur alisnya atau minta dicukurkan alisnya.

Namun bila wajah rusak total sehingga membuat yang bersangkutan kehilangan
muka, dengan maksud bukan untuk mengubah ciptaan Allah SWT, sebaliknya, justru
mengembalikan anugerah Allah SWT yang sempat rusak. Sehingga operasi wajah dengan
tujuan seperti itu, memang dibolehkan. Sebab akan mengembalikan harga diri seseorang.

Yang termasuk dibolehkan juga adalah operasi untuk memperbaiki cacat bawaan.
Misalnya, operasi menambal mulut yang sumbing. Sekarang dengan teknologi implantasi
modern, masalah ini sudah bisa diatasi. Dan akan mengembalikan rasa percaya diri
seseorang karena bisa hidup normal tanpa cacat.

Sedangkan yang diharamkan adalah bila tujuannya semata-mata bedah kosmetik.


Atau yang popler dengan bedah plastik. Misalnya, hidungnya yang pesek dibikin mancung,
matanya yang sipit dibikin luas, bibirnya yang tebal dibikin tipis. Seperti yang banyak
dilakukan oleh para selebriti hedonis tak bermoral itu. Padahal apa yang Allah SWT
berikan itu bukan sebuah cacat atau kekurangan seperti pada kasus sumbing atau wajah
rusak karena musibah. Tapi semata-mata karena ‘gatel’ dan kurang kerjaan.

~ 18 ~
Operasi seperti ini selain berbahaya, karena sangat beresiko komplikasi, juga sangat
kuat aroma mengubah ciptaan Allah SWT. Seolah mereka tidak bisa terima diberi wajah
sejak lahir seperti itu. Dalam pandangan kami, kalau semangatnya semata-mata hanya itu,
yaitu tidak puas dengan anugerah Allah SWT, maka operasi kecantikan semacam ini
termasuk yang dilarang. Sebab pada dasarnya Allah SWT sudah menciptakan manusia
dalam keadaan yang paling sempurna. Apalagi hal itu jelas telah melampaui batas
kewajaran. Allah telah mengingatkan kita agar jangan sampai melebihi batas. Seperti
dalam firman berikut:

“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (QS. Al
Maidah : 32)

Dibawah Imam An-Nawawi untuk membedakan antara operasi kecantikan yang


dibolehkan dan yang diharamkan:

Dalam menjelaskan hadits Rasulullah yang berbunyi:

"Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan yang meminta untuk ditatokan, yang
mencukur (menipiskan) alis dan yang meminta dicukur, yang mengikir gigi supaya
kelihatan cantik dan merubah ciptaan Allah." (H.R Muslim)

Imam An-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:

"Al-Wasyimah" adalah wanita yang mentato. Yaitu melukis punggung telapak tangan,
pergelangan tangan, bibir atau anggota tubuh lainnya dengan jarum atau sejenisnya
hingga mengeluarkan darah lalu dibubuhi dengan tinta untuk diwarnai. Perbuatan tersebut
haram hukumnya bagi yang mentato ataupun yang minta ditatokan. Sementara An-
Naamishah adalah wanita yang menghilangkan atau mencukur bulu wajah. Adapun Al-
Mutanammishah adalah wanita yang meminta dicukurkan. Perbuatan ini juga haram
hukumnya, kecuali jika tumbuh jenggot atau kumis pada wajah wanita tersebut, dalam
kasus ini ia boleh mencukurnya. Sementara Al-Mutafallijat adalah wanita yang
menjarangkan giginya, biasa dilakukan oleh wanita-wanita tua atau dewasa supaya
kelihatan muda dan lebih indah. Karena jarak renggang antara gigi-gigi tersebut biasa
terdapat pada gadis-gadis kecil. Apabila seorang wanita sudah beranjak tua giginya akan
membesar, sehingga ia menggunakan kikir untuk mengecilkan bentuk giginya supaya
lebih indah dan agar kelihatan masih muda.

Perbuatan tersebut jelas haram hukumnya baik yang mengikir ataupun yang dikikirkan
giginya berdasarkan hadits tersebut di atas. Dan tindakan itu juga termasuk merubah
ciptaan Allah, pemalsuan dan penipuan. Adapun sabda nabi: "Yang mengikir giginya
supaya kelihatan cantik" maknanya adalah yang melakukan hal itu untuk mempercantik
diri. Sabda nabi tersebut secara implisit menunjukkan bahwa yang diharamkan adalah
yang meminta hal itu dilakukan atas dirinya dengan tujuan untuk mempercantik diri.
Adapun bila hal itu perlu dilakukan untuk tujuan pengobatan atau karena cacat pada gigi
~ 19 ~
atau sejenisnya maka hal itu dibolehkan, wallahu a'lam. (Syarh Shahih Muslim karangan
Imam An-Nawawi XIII/107).

Suatu permasalahan yang perlu disinggung di sini ialah para ahli medis operasi
kecantikan tersebut biasanya tidak membedakan antara kebutuhan yang menimbulkan
bahaya dengan kebutuhan yang tidak menimbulkan bahaya. Yang menjadi interest
mereka hanyalah mencari keuntungan materi, dan memberi kepuasan kepada pasien dan
pengikut hawa nafsu, materialis dan penyeru kebebasan. Mereka beranggapan setiap
orang bebas melakukan apa saja terhadap tubuhnya sendiri. Ini jelas sebuah
penyimpangan. Karena pada hakikatnya jasad ini adalah milik Allah, Dia-lah yang
menetapkan ketentuan-ketentuan berkenaan dengannya sekehendak-Nya. Allah telah
menjelaskan kepada kita metode-metode yang telah diikrarkan Iblis untuk menyesatkan
bani Adam, di antaranya adalah firman Allah:

"Dan aku akan suruh mereka (merobah ciptaan Allah), lalu mereka benar-benar
merobahnya." (Q:S 4:119)

Ada beberapa pelaksanaan operasi kecantikan yang diharamkan karena tidak


memenuhi ketentuan-ketentuan dispensasi syar'i yang disepakati dan karena termasuk
mempermainkan ciptaan Allah serta hanya bertujuan mencari keindahan dan kecantikan
semata, misalnya memperindah payudara dengan mengecilkan atau membesarkannya
atau operasi untuk menghilangkan kesan ketuaan, misalnya mengeritingkan rambut atau
sejenisnya. Dalam hal ini syariat tidak membolehkannya. Karena tidak ada kebutuhan
yang darurat untuk melakukan hal itu. Hal itu dilakukan semata-mata untuk merobah dan
mempermainkan ciptaan Allah sesuai dengan hawa nafsu dan syahwat manusia. Hal itu
jelas haram dan terlaknat pelakunya. Dan juga karena termasuk dalam dua perkara yang
disebutkan dalam hadits di atas, yaitu hanya ingin mempercantik diri dan merubah ciptaan
Allah. Ditambah lagi operasi kecantikan semacam itu banyak mengandung unsur
penipuan dan pemalsuan. Demikian pula injeksi dengan zat-zat yang diambil secara
haram dari janin yang gugur, yang mana perbuatan tersebut merupakan kejahatan serius,
dan efek samping serta mudharat lainnya yang timbul akibat operasi kecantikan
sebagaimana dijelaskan oleh pakar-pakar kedokteran.

E. OPERASI TRANSEKSUAL

1.Pengertianya

Wacana seks kaum liberal mengenai istilah transeksual, yaitu:

1. seseorang yang normal secara genetis dan tidak memiliki ciri interseks secara fisik
(ketidakjelasan atas genital eksternal atau internal atau keduanya);

2. merasa dirinya anggota jender berkebalikan dari genital yang dimilikinya;

3. merasa tidak nyaman dengan tubuhnya;

~ 20 ~
4. menginginkan menyesuaikan tubuh dengan jiwanya, dan mengganti genital yang
dimiliki menjadi genital sesuai jender yang dimiliki;

5. menginginkan diakui dan hidup secara sah (menurut hukum) sebagai anggota
jender yang dimiliki.

Seorang transeksual bisa memiliki orientasi (kecenderungan) seksual homo, hetero,


atau biseksual. Teori faktor penyebabnya ada tiga:

1. bawaan atau genetis;


2. hasil didikan lingkungan;
3. konsumsi beberapa zat kimia dan sejumlah polutan yang memberikan efek sama.

Perkataan penggantian kelamin merupakan terjemahan dari Bahasa inggris


“transeksual”, karena memang operasi tersebut sasaran utamanya adalah mengganti
kelamin seorang waria yang menginginkan dirinya menjadi perempuan. Padahal waria
digolongkan sebagai laki-laki, karena ia memiliki alat kelamin laki-laki.

Maka dalam hal ini, dapat ditarik suatu pengertian bahwa penggantian kelamin
(transeksual) adalah usaha seorang dokter ahli bedah plastik dan kosmetik untuk
mengganti kelamin seorang laki-laki menjadi kelamin perempuan, melalui proses operasi.

Khuntsa

Islam memang mengenal banci atau khuntsa. Al-khuntsa dalam Bahasa Arab berasal
dari kata khanatsa yang berarti ''lunak'' atau ''melunak''. Misalnya dalam kalimat khanatsa
wa takhannatsa yang artinya ucapan atau cara jalan seorang laki-laki yang lembut dan
melenggak-lenggok menyerupai wanita.

Banci yang diterima Islam sebagai realitas adalah banci fisik (hermaphrodyt). Yaitu
seseorang yang alat vitalnya tidak sempurna sebagai lelaki atau perempuan.

Seorang khuntsa harus dioperasi guna menegaskan jenis kelamin atau jender. Tapi,
penentuan jendernya bukan tergantung pada kemauan atau kecenderungan pribadi,
melainkan dilihat bentuk fisiknya. Bila bentuk kelamin lelaki yang lebih dominan, maka dia
harus disempurnakan sebagai penis. Demikian juga sebaliknya.

~ 21 ~
Kalau bentuk farji dobel berimbang (baik keduanya dominan atau malah samar, yang
disebut khuntsa musykil), maka penentuan jendernya dapat dilacak pada 5 sifat organik
seksual (Cermin Dunia Kedokteran No. 126/2000).

Yang pertama, susunan kromosom atau kelamin genetik. Manusia memiliki 23 pasang
kromosom, 22 di antaranya hampir serupa, dan yang ke-23 adalah yang menentukan
perbedaan jenis kelamin. Pada perempuan kromosom itu ialah XX, sedangkan pada lelaki
ialah XY.

Kedua, jenis gonad. Lelaki mempunyai testes, sedangkan perempuan mempunyai


ovarium.

Ketiga, morfologi genitalia eksterna, yang pada lelaki adalah skrotum, penis dan glans
penis. Sedangkan genitalia eksterna pada perempuan adalah labia mayora, labia minora
dan klitoris.

Keempat, morfologi genitalia interna yang pada lelaki yaitu vasa deferens, vesikula
seminalis, dan epididimus. Sedangkan genitalia interna pada perempuan yaitu tuba
falloppii, uterus, dan sepertiga bagian atas vagina.

Dan yang kelima adalah hormon seks, apakah testosteron (laki-laki) atau estrogen
(wanita).

2. Proses Operasi dan Efeknya

Bukan hanya di Negara Barat saja yang menunjukkan keberhasilan beberapa dokter
ahli, mengganti kelamin laki-laki menjadi perempuan, tetapi di Indonesia pun sudah
banyak dokter yang mampu berbuat seperti itu.

Meskipun proses operasi penggantian kelamin(transeksual) hanya memerlukan waktu


dua jam saja, namun hal tersebut tidak bisa disebut sebagai operasi kecil, karena
resikonya sangat besar bila terjadi kekurangtelitan atau kelalaian dokter yang
menanganinya. Resiko yang dimaksudkannya, bukan saja terjadi pada saat pembedahan,
tetapi justru sesudahnya yang lebih berbahaya. Lebih-lebih larangan dokter dilanggar oleh
yang menjalani penggantian kelamin itu.

~ 22 ~
Pada operasi penggantian kelamin, penis (dzakar) dan scrotum (buah dzakar atau
pelir) serta testis (tempat produksi sperma) dibuang. Sedangkan kulit scrotan digunakan
untuk menutupi liang vagina (faraj); dan untuk pembuatan clitoris (klentit), diambil
sebagian dari penis yang telah terbuang tadi.

Karena operasi tersebut termasuk pembedahan yang mengandung resiko, maka


seorang dokter yang menanganinya harus berhati-hati dan cermat, karena bisa saja terjadi
hal-hal sebagaimana berikut:

a. Tembusnya anus atau tempat kotoran, sehingga seharusnyanya kotoran keluar


melalui dubur, tetapi justru melewati liang vagina buatan itu. Maka kedalaman liang
vagina buatan itu harus disesuaikan dengan besarnya pinnggul atau anatomi tubuh
yang menjalani operasi. Tentu saja, pinggul yang agak kecil tidak diperbolehkan
membuat liang vaginanya terlalu dalam, karena dikhawatirkan dapat menembus
tempat kotorannya, yang pada gilirannya dapat berbahaya terhadap pasien itu
sendiri. Tetapi kebanyakan pasien yang dioperasi di Indonesia, kedalaman
vaginanya hanya mencapai 10 sampai 15 cm. Itupun masih bisa mengerut dan
memendek bila operasinya sudah sembuh. Oleh karena itu, vagina buatan yang
selesai dioperasi, dipasangi didalamnya sebuah alat penyanggah yang disebut
“tempo” selama satu bulan baru bisa dilepaskan. Dan kalau dilepaskan sebelum
lukanya sembuh, maka liangnya bisa tertutup lagi.

b. Terjadinya kelainan syaraf pada penderita, bila ia tidak dapat menahan kencing
setelah operasinya selesai. Ini sering terjadi, karena ketika operasi, saluran
kencingnya ikut terbuang.

Ada suatu hal yang sanngat berbahaya terhadap pasien bila ia tidak menuruti nasehat
Dokter, yang akhirnya melakukan hubungan seks sebelum vaginanya betul-betul sembuh.
Perbuatan semacam itu, bisa mengakibatkan robeknya selaput perut yang bisa
menembus saluran kotoran. Dan kalau terjadi hal seperti itu, maka satu-satunya cara
mengatasinya, adalah dioperasi kembali untuk menutupnya. Berarti tidak lagi berfungsi
sebagai vagina, tetapi hanya sebagai saluran kencing saja.

Kalau vaginanya sudah sembuh, maka sudah bisa difungsikan sebagaimana


keinginan pasien, menuruti keterangan dokter. Sehingga tidak sedikit waria yang sudah
mengganti kelaminnya, melangsungkan perkawinan dan hidup berumah tangga dengan
laki-laki. Dan perlu diketahui hubungan seks antara keduanya, bisa saling memuaskan
sebagaimana layaknya laki-laki dengan perempuan; hanya saja ia tidak dapat hamil,
Karena maninya tetap berjenis sperma, tidak bisa diubah oleh dokter menjadi ovum. Maka
di sinilah letak keterbatasan dokter ahli sebagai manusia biasa, yang tidak dapat
mengubah jenis sperma menjadi ovum, sebagai syarat utama terjadinya pembuahan
(kehamilan) seseorang.

~ 23 ~
3. Hukumnya dalam pandangan islam

Seorang laki-laki dilarang dalam islam menyamakan dirinya dengan perempuan, dan
sebaliknya perempuan dilarang menyamakan dirinya dengan laki-laki; baik perilakunya,
pakaianya dan lebih-lebih bila ia mengganti kelaminnya. Rasulullah memperingatkan:
"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-
laki." Demikian pula operasi kelamin lantaran menuruti kecenderungan banci, tidak
dibenarkan.

Larangan ini mengandung dosa besar, yang banyak melibatkan pihak lain, misalnya
dokter yang mengoperasinya, orang-orang yang memberikan dukungan moril dalam
upaya mengoperasiannya dan sebagainya. Kesemuanya itu mendapatkan dosa yang
sama, lebih-lebih lagi bila waria yang berhasil mengganti kelaminnya, menggunakannya
untuk mengadakan hubungan seks dengan laki-laki. Maka ia mendapatkan lagi dosa
besar, karena digolongkan sebagai perbuatan homoseksul (Al Liwaath), yang status
hukumnya sama denngan perzinaan. Dan berikut ini, dapat dikemukakan salah satu hadits
yang dapat dijadikan dasar diharamkannya perbuatan tersebut,

“Empat golongan yang pagi-pagi mendatangi kemarahan Allah, dan berangkat pada
sore hari menemui kemurkaan-Nya. Maka saya berkata (salah seorang sahabat
bertanya): Siapakah mereka yang dimaksud itu wahai Rasulullah? Nabi menjawab : Laki-
laki yang menyamakan dirinya dengan perempuan, dan perempuan yang menyamakan
dirinya dengan laki-laki, serta orang yang mengumpuli binatang dan sesama laki-laki.
(H.R.Al-Baihaqi)”.

Telah dikemukakan di atas, bahwa semua orang yang terlibat langsung atau tidak
langsung terhadap upaya penggantian kelamin, termasuk menanggung dosa besar. Hal ini
dapat diketahui status hukumnya sebagai haram, yang mengakibatkan dosa bagi seorang
dokter yang menanganinya, dan orang-orang yang memberikan fasillitas serta dukungan
morilnya; berdasarkan kaidah fiqhiyah yang mempunyai arti sebagai berikut :

“Apa-apa yang diharamkan menerimanya, diharamkan pula memberinya”.

Maksud qaidah ini, adalah seorang waria diharamkan menerima penggantian kelamin
dari dokter, maka diharamkan pula bagi dokter memberikan (membantu) waria itu dalam
upaya tersebut.

“Rela memberi dukungan terhadap sesuatu, berarti rela pula terhadap resiko (dosa)
yang ditimbulkannya”.

~ 24 ~
Maksud kaidah ini, adalah orang-orang yang memberikan fasilitas dan dukungan
morilnya, termasuuk kedua orang tua nya yang memberikan izin untuk penggantian
kelamin seorang waria, turut menanggung dosanya. Jadi jelas, bahwa semua orang yang
terlibat langsung atau tidak langsung dalam upaya penggantian kelamin seorang waria,
mendapatka dosa yang sama besarnya dengan dosa yang di perbuat oleh waria itu.

Lebih-lebih, hubungan seks kelamin sejenis. Jangankan Islam, Yahudi dan Nasrani
saja melarang. Misalnya, dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:13 disebutkan: “Bila seorang
laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya
melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa
kepada mereka sendiri.”

Ajaran Islam pun keras mencegah dan menghukumi praktik homo dan lesbian. Dari
Jabir ra, Rasulullah saw berpesan: "Sungguh yang paling kutakuti (menimpa) umatku
adalah perbuatan kaum Luth" (HR Ibnu Majah).

Rasullullah saw juga memperingatkan:''Siapa yang kalian dapati melakukan


perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah keduanya" (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah,
dan Ahmad).

''Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth (diulangi tiga kali)"
(HR Nasa'i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337).

''Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau
menyetubuhi wanita pada duburnya" (HR Tirmidzi, Nasa'i, dan Ibnu Hibban).

Diriwayatkan oleh Khalid bin Walid, di pinggiran Kota Arab pernah terjadi perkawinan
sesama laki-laki. Maka Khalid bersurat kepada Khalifah Abu Bakar as. Khalifah lalu
bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk menentukan hukuman buat pasangan
tadi.

Yang paling keras pendapatnya adalah Sayyidina Ali ra, yang berkata: "Tidaklah
melakukan perbuatan ini kecuali hanya satu ummat (Nabi Luth) dan kalian telah
mengetahui apa yang telah Allah lakukan kepada mereka. Aku berpendapat agar dia
dibakar.'' Maka Abu Bakar lalu mengirim surat kepada Khalid bin Walid untuk membakar
pasangan sesat itu.

~ 25 ~
Ulama lain berbeda pendapat soal teknis eksekusi terhadap pelaku homo. Tapi
mereka sepakat dengan hukuman mati untuk kaum sodomi. Menurut Abdullah bin Abbas
ra, pelaku homo diterjunkan dari ketinggian diikuti lemparan batu. Sedangkan Imam Syafii
berpendapat, pelaku homoseksual harus dirajam sampai mati tanpa membedakan apakah
dia bujangan atau sudah menikah.

Dalam Kitab Fathul Mu'in disebutkan, pelaku lesbi (musaahaqah) diberi sanksi sesuai
dengan keputusan penguasa (ta'zir). Bisa jadi, penguasa atau hakim membedakan jenis
hukuman antara pelaku lesbi yang ''terpaksa'' dengan yang ''profesional''. Apalagi, untuk
para promotor lesbi, dengan memelintir ayat Qur'an pula. Bisa jadi hukuman mati layak
baginya.

F. BEDAH MAYAT
Ditinjau dari aspek tujuannya, bedah mayat (autopsi) dapat bagi dalam tiga kelompok,
yaitu:

1. Autopsi Anatomis adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang
diperoleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan
praktikum tentang teori ilmu urai tubuh manusia (anatomi).
2. Autopsi Klinis adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit
setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter. Pembedahan ini dilakukan
dengan tujuan mengetahui secara mendalam sifat perubahan suatu penyakit setelah
dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu serta untuk mengetahui secara
pasti jenis penyakit yang belum diketahui secara sempurna selama ia sakit.
3. Autopsi Forensik adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan mencari
kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, misalnya dugaan pembunuhan,
bunuh diri, kecelakaan, dan lain-lain. Pembedahan seperti ini biasanya dilakukan atas
permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk memastikan sebab kematian
seseorang. Hail visum dokter (visum et repertum) ini akan mempengaruhi keputusan
hakim dalam menentukan suatu perkara.

Pandangan Islam Tentang Bedah Mayat (Autopsi) :


Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat.

1. Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi hukumnya haram.


Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama (dosanya) dangan mematahkannya
pada waktu hidupnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

2. Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah (boleh).

~ 26 ~
Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan prinsip-prinsip yang
ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa seorang Arab Badui
mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, “Apakah kita harus berobat?” Rasulullah
SAW menjawab, “Ya hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah tidak
menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya, kecuali untuk satu penyakit,
yaitu penyakit tua.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad).

Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit, berarti secara implisit
(tersirat) kita diperintahkan melakukan penelitian untuk menentukan jenis-jenis penyakit dan
cara pengobatannya.

Autopsi anatomis dan klinis merupakan salah satu media atau perangkat penelitian
untuk mengembangkan keahlian dalam bidang pengobatan. Tujuan autopsi forensik sejalan
dengan prisip Islam untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam penetapan hukum,
sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa 4:58)

Seorang hakim wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil. Untuk
dapat menentukan hukum secara benar dan adil diperlukan bukti-bukti yang sah dan akurat.
Autopsi forensik merupakan salah satu cara atau media untuk menemukan bukti.
Mencermati alasan-alasan yang dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa autopsi
anatomis, klinis dan forensik hukumnya mubah (boleh) karena tujuannya tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun bedah mayat yang dilakukan tanpa tujuan yang
benar, hukumnya haram sebagaimana dijelaskan keterangannya oleh pendapat pertama.

Tema penggunaan jenazah sebagai objek penelitian termasuk kasus baru yang
jawabannya tidak dipandu langsung oleh Al-Quran dan hadis (nash). Padanan eksplisit
dalam nash pun tidak dijumpai. Sehingga tidak bisa dipakai metode qiyas (analogi). Kasus
demikian, dalam kajian fikih, dicari solusinya dengan metode takhrij. Yakni, dicari analogi
pada norma hukum yang dihasilkan lewat ijtihad karena tidak dipaparkan langsung oleh
nash.

Dalam literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat. Pertama, pandangan
mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang berkesimpulan bahwa praktek demikian itu boleh (jawaz).
Kedua, pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-Mith’i, bahwa bedah jenazah
hanya boleh untuk dua keperluan: mengambil harta orang, misalnya permata, yang
tersimpan di perut jenazah, dan menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila
untuk penelitian, katanya, tidak boleh (la yajuuz).

Pandangan keduanya merupakan hasil takhrij atas kajian pada ulama klasik. Berupa
bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua kasus: mengambil permata yang tersimpan
di perut jenazah dan menyelamatkan janin. Dalam kasus mengambil harta dalam perut
jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi berpendapat boleh bila almarhum atau almarhumah tidak
meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia harus didahulukan di
atas hak Allah.

Dalam mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang masyhur, hal itu dapat dilakukan
secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-Maliki. Sedangkan Ahmad bin Hanbal
tidak membenarkan. Dalam kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafi’i
berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hanbali melarang.
~ 27 ~
Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadis Nabi kepada penggali
kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang didapatkan dari kuburan. “Engkau jangan
merusak tulang itu, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan
merusak tulang seseorang yang masih hidup,” sabda Nabi, diriwayatkan Malik, Ibnu Majah,
dan Abu Daud dengan sanad yang sahih.

Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari pemahaman hadist itu
secara mutlak, dalam kondisi apapun. Sedangkan alasan pendapat yang membolehkan
adalah darurat, seperti menyelamatkan janin dan mengambil harta.

Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa al-Islamiyah,
berkomentar terhadap hadist tadi. Menurutnya, hadis itu berlaku bila tidak ada
kemaslahatan lebih krusial (maslahah rajihah). Bila ada kemaslahatan lebih krusial yang
ingin diraih, seperti menyelamatkan janin, maka termasuk pengecualian.

Fatwa MUI Nomor 19, tanggal 5 Februari 1988, menyebutkan bahwa penyelidikan
ilmiah terhadap mayat tidak dilarang oleh Islam. Setelah dipakai penyelidikan, mayat itu
wajib dikuburkan. Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-
Dajwi.

Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul:

Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia itu
terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak
jenazah. Salah satunya, menyegerakan jenazah dikuburkan.

Kedua, pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Dengan
ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan keilmuan dan mendatangkan
maslahat lebih besar: memberikan perlindungan jiwa. Bukan untuk praktek semata.

Ketiga, sebelum pengawetan, hak-hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya


dimandikan, dikafani, dan disalati. Pengawetan jenazah untuk penelitian harus dilakukan
dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah selesai, jenazah
harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Keempat, negara diminta membuat regulasi yang mengatur ketentuan dan mekanismenya.

Kaidah dalam agama Islam, ulas Masdar F Mas'udi dari Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU), segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan sampai ada dalil yang
menyatakan terlarang.

Organ tubuh dalam hukum Islam menyangkut manusia hidup karena terkait dengan
jiwa. Sejauh ini belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia setelah meninggal, karena
itu boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk menyelamatkan jiwa manusia. Hal
ini dihargai dan dinilai sebagai amal jariah.

~ 28 ~
Izin penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik tubuh saat masih hidup atau izin
keluarga jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak teridentifikasi, izin diberikan oleh
pemerintah.

Hal senada dikemukan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dari Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya, sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran jika
mendonorkan tubuh maka tubuh menjadi tidak lengkap saat menghadap Tuhan.

"Saat seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk menghadap


Tuhan, sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika disumbangkan untuk riset dan pendidikan
yang bermanfaat bagi kemanusiaan, si pemilik akan mendapat pahala," ujarnya.

Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia dr.
Agus Purwadianto, SpF, SH, MSi, Indonesia telah memiliki peraturan dan fatwa mengenai
bedah mayat, antara lain Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' Kementerian
Kesehatan No 4/1955, yang menyatakan bedah mayat hukumnya mubah (tidak diharamkan
dan tidak dihalalkan).

Dalam Fatwa No 7/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat untuk kepentingan
pendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis
dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
(ATK).

~ 29 ~
KESIMPULAN

1. Syariat Islam tidak melarang operasi medis secara mutlak dan tidak membolehkan
secara mutlak, syariat meletakkan larangan pada tempatnya dan pembolehan pada
tempatnya, masing-masing diberi hak dan kadarnya.
2. Transplantasi (pencangkokan) dengan tujuan untuk pengobatan adalah suatu
tindakan pengobatan setelah pengobatan yang lain tidak berhasil dan hukumnya
mubah.
3. Menurut jumhur (mayoritas ulama), hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Para
pendukung pendapat ini adalah imam Syafi'i, Ahmad, dan sebagian pengikut imam
Malik. Imam Hanafi mengatakan khitan wajib tetapi tidak fardlu.
4. Tidak ada hadist sahih yang menjelaskan hukum khitan perempuan. Sebagian
ulama mengatakan sunnah dan sebagian mengatakan itu suatu keutamaan saja dan
tidak ada yang mengatakan wajib.
5. Operasi bedah plastik yang bertujuan untuk terapi dan memperbaiki bagian tubuh
yang rusak karena sebuah musibah dibenarkan. Sedangkan yang diharamkan
adalah bila tujuannya semata-mata bedah kosmetik.
6. Hukum operasi transeksual adalah haram. Tetapi harus dilakukan pada orang yang
lahir dengan ketidakjelasan jenis kelamin atau memilki dua kelamin.
7. Bedah mayat yang dilakukan tanpa tujuan yang benar, hukumnya haram. Bedah
mayat yang dilakukan untuk keperluan ilmiah, klinis dan forensik hukumnya mubah
(boleh) karena tujuannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
8. Untuk membahas lebih lanjut tentang masalah-masalah di atas tidak terlepas dari
penerapan konsep Maqashid Al-Syariah dan konsep darurat.

~ 30 ~
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia.

Amiruddin, aam. 2008. Apa Hukumnya Bedah Mayat (Autopsi) ?. http://www.percikaniman.


org/ta- nya_jawab_aam.php?cID=216

Anonim. 1980. Bayi Tabung Dan Pencangkokan dalam Sorotan Hukum Islam, Keputusan
Muktamar Tarjih Muhammadiyah Ke 21. Yogyakarta : Persatuan.

As-Sa'di, Syaikh Abddurrahman. 2008. Membedah Perut Mayat Wanita Hamil Untuk
Mengeluarkan Bayi.

As-sa’idan, Walid Rasyid. 2007. Fikih Kedokteran. Muhammad Syafi’i Masykur. Yogyakarta:
Pustaka Fahima

Karni, Asrori S., Deni Muliya Barus, dan M. Nur Cholish Zaein. Agama. Gatra Nomor 43
Beredar Kamis, 4 September 2000

Menyumbangkan Tubuh untuk Perkembangan Ilmu Pengetahuan.


http://www2.kompas.com/ kompas-cetak/0301/13/iptek/79723.htm

Verayanti, Rosa Saptrina. 2008. Aspek Hukum Transplantasi Organ Dan Atau Jaringan
Tubuh Manusia Di Indonesia. http://adln.lib.unair. ac.id/go..........

http://www.suara-islam.com/index.php/Laporan-Khusus/Antara-Banci-dan-Homo.html

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0707/14/humaniora/3682801.htm

http://id.wikipedia.org/wiki/Sunat

Jami’ al-Fatawa ath-Thibbiyah, Dr. Abdul Aziz bin Fahd bin Abdul Muhsin.

~ 31 ~

You might also like