Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2009
1
ABSTRAKSI
2
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI.................................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................... 3
DAFTAR TABEL............................................................................................ 5
DAFTAR SKEMA........................................................................................... 6
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ 7
3
B. 9 Pembiayaan Pendidilan...................................................... 43
B. 10 Manajerial Inklusi............................................................ 44
C Sehari Di Sekolah.......................................................................... 45
D Profil Informan............................................................................... 46
BAB V PENUTUP............................................................................................ 84
A. Kesimpulan....................................................................................... 84
B. Catatan Kritis..................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
4
Tabel 3 Biaya Pendidikan yang Ditanggung Orang Tua Siswa.................... 43
Tabel 4 Perbedaan Sekolah Inklusi dan Sekolah Konvensional................... 79
DAFTAR SKEMA
5
DAFTAR GAMBAR
6
Gambar 7 Band tuna netra tampil di UNY.................................................... 81
BAB I
PENDAHULUAN
7
Apakah makna pendidikan?
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai yang akan
menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus
untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia karena pendidikan merupakan
investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat bagi terciptanya peradaban manusia.
Tanpa pendidikan, diyakini bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia
masa lampau yang dibandingkan dengan manusia sekarang telah sangat tertinggal baik
dikatakan, bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu
bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa
tersebut. Tidak berlebihan jika pendidikan dikatakan sebagai investasi jangka panjang suatu
Kondisi pendidikan yang sentralistis sejak era Orde Baru dapat dikatakan telah
kepentingan penguasa, untuk melegitimasi kedudukan penguasa Orde Baru, bukannya demi
kemajuan peserta didik. Kurikulum yang padat dan militeristik sengaja diciptakan agar semua
peserta didik (dan guru) memiliki pola pikir yang seragam. Sebagai contoh, pada pelajaran
Sejarah siswa hanya diajarkan peristiwa G 30 S versi pemerintah, padahal menurut bukti
sejarah terdapat banyak versi peristiwa tersebut. Siswa tidak dibimbing untuk mengetahui
konteks historis peristiwa sejarah yang terjadi di Indonesia namun hanya dicekoki dengan
8
Kurikulum yang berkaitan dengan wacana kemanusiaan harus merupakan pegangan
tentang tujuan metode, lingkup materi, dan evaluasi pendidikan yang terintegrasi1 karena
kurikulum yang tersentralisir dan menganut kebenaran tunggal serta tidak memberi
kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi akan memasung kreativitas dan daya kritis siswa.
Sistem pendidikan semacam itu tidak mustahil akan menghasilkan individu-individu tanpa
menjadi tunggal, tetapi memelihara dan mengembangkannya agar tetap beragam. 3 Sebab
keragaman itu sendiri merupakan keindahan dunia. Bukankah dunia lebih indah karena
memiliki banyak warna, tidak hanya hitam dan putih? Lanjutnya, melarang perbedaan adalah
identik dengan merampas kemerdekaan orang lain; dan itu bertentangan dengan prinsip
1
A. Waidl. Pendidikan yang Memahami Manusia dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih (Editor). 2000.
Transformasi Pendidikan : Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta : Kanisius, Cetakan Pertama, hal. 24.
2
Leo Sutrisno. Pluralisme, Pendidikan Pembelajaran dalam Tradisi Konstruktivisme dalam Th. Sumartana,
dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta : Interfidei, hal 208-9.
3
Darmaningtyas. 1999. Pendidikan Pada dan Setelah Krisis (Evaluasi Pendidikan di Masa Krisis). Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, hal 180.
9
pendidikan yang harus membimbing individu untuk mencapai kemerdekaannya. 4 Seorang
tokoh nasional yang concern di bidang pendidikan, Romo Mangun, menyebut kurikulum
nasional pada era Orde Baru tidak lebih sebagai kurikulum terselubung yang mengadopsi
sistem militer dan diperkuat oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh
Memang resmi untuk muatan lokal cukup diberi banyak kesempatan sehingga
guru dapat menyesuaikan isi sebagian kurikulum dengan suasana dan keperluan khas
setempat. Tetapi dalam iklim yang serba satu ragam, satu bahasa dan gaji terlalu
sedikit, mana ada guru yang masih sempat berkreasi? Dan bila toh masih ada guru
yang begitu cinta kepada anak-anak didiknya, dan ingin membuat eksperimen itu
masih dalam batas-batas ketentuan Depdikbud, apakah Kakanwil dan rekan-rekan
guru akan mendukung orang yang berjalan kreatif lucu di luar barisan? Bukankah
keseragaman dan kesatubahasaan di Indonesia adalah hukum yang, yang sering lebih
tinggi daripada Hukum Tuhan? Tuhan, mencipta anak yang serba dinamis, bergerak
dan bermain, serba mencari dengan kagum. Tetapi menurut peraturan (dari mana,
entah), anak-anak TK harus berbaris dan berseragam seperti itik, terkotak, dan
terpagar. Iklim sekolah membuat anak-anak segan bertanya dan lebih “aman” untuk
menghafal, dan menghafal seolah-olah Tuhan menciptakan anak muda dan remaja itu
sebagai beo. Padahal remaja direka Tuhan justru agar semakin kritis dan serba
bertanya, bahkan membantah terhadap dimensi-dimensi sikap yang perlu agar mantap
perkembangannya, menuju kedewasaannya menjadi pribadi yang kuat.5
Penyeragaman tidak hanya terdapat pada kurikulum namun juga pakaian seragam,
aktivitas, hingga metode mengajar dan alat tes kelulusan. Pemerintah tidak memberi
kesempatan kepada siswa dan sekolah untuk menggunakan pakaian seragam sesuai selera
atau identitas historis sekolah. Semua harus seragam, merah putih untuk sekolah dasar, biru
putih untuk tingkat menengah pertama dan abu-abu putih untuk tingkat menengah atas.
Upacara bendera juga harus dilaksanakan setiap hari Senin untuk meningkatkan patriotisme
dan cinta tanah air, padahal sebenarnya masih banyak cara untuk menumbuhkan patriotisme
dan cinta tanah air di kalangan siswa. Rutinitas penyeragaman ini telah berlangsung selama
beberapa dekade walau pun tidak memiliki dasar yang kuat, kecuali alasan militeristik,
4
Ibid. hal.126.
5
YB. Mangunwijaya, Kompas, 28 September 1988 dalam Y. Dedy Pradipto. 2007. Belajar Sejati VS Kurikulum
Nasional : Kontestasi Kekuasaan dalam Pendidikan Dasar. Yogyakarta : Kanisius, Cetakan Pertama, hal 63.
10
”Aturan dari atas”, “Demi ketertiban”, atau ”Menghindari kesenjangan sosial” yang terkesan
mengada-ada.
Bagaimana seharusnya?
Indonesia adalah negara yang plural, terdiri dari berbagai macam etnis, suku bangsa
dan agama. Sebagai negara multikultural, pendidikan yang diadakan di Indonesia seharusnya
menyeragamkan siswa secara nasional dan menghilangkan ciri-ciri lokal yang dimiliki
masing-masing daerah. Siswa yang tidak diajarkan mengenai keunggulan budaya lain akan
menganggap budayanya sebagai kebenaran mutlak dan tidak menoleransi perbedaan di dalam
inklusi yang saat ini menjadi trend pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Terdapat 123
sekolah inklusi yang tersebar di DIY, baik tingkat taman kanak-kanak (TK), pendidikan dasar
1983) , SD Giwangan, SMU Pembangunan (sejak 1989), SMU Muhammadiyah 4, dan MAN
inklusif yang tertua, konsep pendidikan inklusif di MAN Maguwoharjo telah menjadi
adalah sebuah konsep pembelajaran yang menempatkan siswa berkebutuhan khusus dan
siswa biasa dalam satu ruang sosial dengan kedudukan yang sejajar. Pendidikan inklusif
proses penanaman cara hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman
6
Ptu. Jumlah Sekolah Minim, Banyak Anak Difabel Tidak Bersekolah. Bernas, 2 April 2008. Diakses dari
www.bernas.co.id, tanggal 20 April 2009.
11
budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat7, sedangkan pendidikan inklusif diartikan
sebagai pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki
kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular
dalam satu kesatuan yang sistemik.8 Proses pembelajaran inklusif dalam suasana saling
menghormati akan menanamkan dan melatihkan nilai-nilai pada anak didik sehingga
nantinya mereka memiliki spirit multikultural berupa hidup secara rukun dan damai dalam
suasana kemajemukan.
B. Perumusan Masalah
pendidikan di dalam sistem pendidikan nasional kita. Di tengah sistem pendidikan nasional
pembelajaran yang menghargai perbedaan fisik pada tiap anak. Oleh karena itu, keunikan
C. Tujuan Penelitian
pendidikan alternatif bagi siswa dan orang tua dalam memilih lembaga pendidikan sekolah
menengah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menelusuri konstruksi pendidikan
7
Musa Asy’arie (2004) dalam Widiyanto. 2009. Pendidikan Multikultural dalam Konteks Masyarakat
Indonesia. http://staff.blog.unnes.ac.id/widiyanto/, diakses tanggal 21 April 2009.
8
Inti Rerstuningtyas. 2009. Pendidikan Inklusif. http://inti.student.fkip.uns.ac.id, diakses tanggal 21 April 2009.
12
inklusif yang dibangun MAN Maguwoharjo serta menjelaskan praksis konsepsi pendidikan
Manusia adalah makhluk yang merdeka dan berpikir secara bebas. Oleh karena itu,
Freire berkeyakinan bahwa pendidikan harus berorientasi kepada pengenalan realitas diri
manusia dan dirinya sendiri secara obyektif dan subyektif. Pendapat ini dikuatkan oleh Romo
dilihat sebagai kemampuan anak untuk mengakses pengetahuan dengan caranya sendiri”.9
Menurut Escobar, sekolah adalah lembaga sosial yang pada umumnya mempreservasi
kekuatan-kekuatan sosial-politik yang ada atau menjaga status quo bukan membebaskan
manusia dari tirani kekuasaan.10 Sedangkan Freire menyatakan hakikat pendidikan adalah
pembebasan manusia dari berbagai penindasan. Menurut Freire, pendidikan dengan sistem
“gaya bank” merupakan pendidikan yang menindas peserta didik karena meminimalisir
kebebasan mereka untuk berkreasi dan berpikir kritis, seperti yang ditunjukkannya pada alur
Skema 1
9
Pradipto. 2000. hal.15
10
Escobar dalam H.A.R. Tilaar. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, Cetakan Ketiga.
11
A. Sudiarja. 2001. Pendidikan Radikal tapi Dialogal. Basis No. 01-02, Tahun ke-50, Edisi Januari-Februari,
hal.12.
13
Subjek Subjek Subjek
Interaksi
realita yang harus diubah bersama (kaum tertindas sebagai bagian dari realitas)
k
humanisasi sebagai proses yang terus menerus berlangsungnya situasi penindasan
Pendidikan gaya bank semacam ini akan menjadi sarana untuk mendehumanisasi
peserta didik. Oleh karena itu, Freire menciptakan alternatif sistem pembelajaran “problem-
posing education” yang dialogis dan memungkinkan guru belajar dari murid dan murid
belajar dari guru. Di dalam sistem pembelajaran hadap-masalah ini guru berperan sebagai
pendamping yang merangsang pemikiran kritis peserta didik mengenai dirinya dan dunia
tempat berpikir’, yaitu sekolah sebagai sarana untuk menumbuhkan daya kritis siswa
terhadap realita dunia. Dengan kemampuan berpikir yang disertai daya kritis, seseorang dapat
12
Paulo Freire. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, Cetakan Keenam (edisi
revisi), hal 83.
14
terus-menerus mempersalahkan pendapatnya sendiri dan membuat reinterpretasi terhadap
pengetahuan dan ketrampilan” namun merupakan ”proses membimbing anak untuk sedikit
D. 1. 2. Hakikat Pendidikan
kepada generasi muda.14 Lanjutnya, pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola
Pendidikan berperan besar dalam menanamkan nilai dan norma yang ditaati
masyarakat serta membentuk pribadi yang disiplin dan taat. Hasil cetak kepribadian manusia
adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara
humanis, bukan secara politis maupun kapitalis. Dengan kata lain, keberhasilan pendidikan
bukan semata ditunjukkan dari nilai akademis namun juga perilaku sehari – hari, kesehatan
Menurut Plato, pendidikan ada pada kualitas etis. Pendidikan sekolah harus
memainkan perannya yang lebih sejati, yakni sebagai sarana regenerasi sosial.16 Pendidikan
menjadi tempat untuk menumbuhkembangkan kepekaan peserta didik akan nilai – nilai dan
13
A. Waild. op.cit. hal.156.
14
Nasution. 1983. Sosiologi Pendidikan. Bandung : Jemmars.
15
Ibid
16
A. Supratikno. Hantu Masyarakat Bernama Pendidikan, Basis, No.01-02, Tahun ke-47 1998, hal. 90.
15
norma moral dan secara progresif mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Sedangkan
Freire berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan adalah membuat peserta didik sampai
pada tingkat kesadaran akan realitas diri dan dunianya. Kesadaran itu hanya dapat terwujud
saat dimensi-dimensi humanistik peserta didik mendapat tempat dalam kegiatan belajar
Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu
atau beberapa orang lain, tapi juga mentransformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas
kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadian, dan struktur kesadaran manusia itu. Pendidikan
merupakan proses dialektis. Peserta didik seharusnya berperan sebagai subyek yang bergulat
maksimal dalam proses pendidikan didampingi oleh para pendidik, bukannya obyek yang
Lebih dari itu, realisme melihat pendidikan sebagai sarana dimana orang harus
mernperoleh pengetahuan dan pengertian yang mendalam. Hal ini dapat dicapai dengan
menjelajahi permasalahan lewat dunia nyata. Menurut Romo Mangun dalam Wirapradja, kita
harus menjadi pembelajar sejati, yaitu belajar sebagai bentuk kesadaran yang tidak akan
berhenti meski pun sekolah telah berakhir.17 Sejatinya, pendidikan difungsikan untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki nilai, norma, dan perilaku
sesuai dengan sistem dan aturan yang berlaku sehingga dapat mewujudkan totalitas manusia
yang utuh dan mandiri sesuai dengan tata cara hidup bangsa. Dalam hal ini pendidikan
bertujuan memberikan bekal moral, intelektual dan keterampilan agar peserta didik siap
menghadapi masa depan dengan penuh percaya diri. Pendidikan mengenai baik-buruk atau
benar-salah harus ditempatkan pada posisi sentral dalam ranah pendidikan karena pendidikan
secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian
kemanusiaan.
17
Nana Rukmana Wirapradja, M.A dimuat di harian Pikiran Rakyat tanggal 2 Mei 2007.
16
“Education shall be directed to the full development of the human personality
and tho strenghtening of respect for human rights and fundamental freedom. It shall
promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or
religious groups, and shall further the activities of the United Nations for
maintenance of peace.”
(Article 26, Universal Declaration of Human Rights)
didik harus belajar bertanggung jawab untuk menciptakan situasi masyarakat yang tenteram
pribadi yang berkarakter serta mengenal budi pekerti (tidak sebatas nilai) agar mereka
terbentuknya “pribadi yang bermoral” atau moral character.18 Pendidikan yang berhasil juga
mengungkapkan pentingnya menanamkan pendidikan budi pekerti pada anak didik, tidak
“dengan memperkaya dimensi nilai, moral dan norma pada aktivitas pendidikan di
sekolah, akan memberi pegangan hidup yang kokoh bagi anak-anak dalam
menghadapi perubahan sosial... dengan bekal pendidikan budi pekerti secara
memadai, akan memperkuat konstruksi moralitas peserta didik sehingga mereka tidak
gampang goyah dalam menghadapi aneka macam godaan dan rayuan negatif di luar
sekolah”.19
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Muslikhah di dalam Quo Vadis Pendidikan
semua aspek kehidupan manusia dan memperhatikan seluruh dimensi yang ada dalam diri
18
Montemayor dalam YB. Adimassana. Revitalisasi Pendidikan Nilai di Dalam Sektor Pendidikan Formal
dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih (Editor). 2000. Transformasi Pendidikan : Memasuki Milenium Ketiga.
Yogyakarta : Kanisius, Cetakan Pertama, hal. 35.
19
Zubaedi. op. cit., hal 3
17
seseorang.20 Pendidikan dengan kurikulum yang terlalu padat, banyak menghafal dan bersifat
satu arah akan membuat anak didik tidak memiliki ketrampilan hidup karena mereka tidak
diajarkan untuk mengenal kondisi lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, hubungan
dialektis di dalam pendidikan harus melibatkan unsur pengajar, pelajar atau anak didik serta
realitas dunia. Selama ini yang sering terjadi adalah sekolah diisolasi, terasing dari
masyarakat karena tidak peka terhadap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat.
mengikuti dan menanggapi arus perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat.21
Multikultur berasal dari kata multi (banyak) dan kultur (budaya). Multikulturalisme
menegaskan bahwa setiap budaya unik namun tidak semuanya baik, karena multikulturalisme
seperti berjudi, mencuri atau merendahkan perempuan. Alo Liliweri dalam Prasangka dan
adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan dengan makna yang saling berkaitan, yaitu
sebagai kondisi pluralisme budaya masyarakat dan sebagai seperangkat kebijakan pemerintah
yang dirancang sedemikian rupa sehingga masyarakat memberi perhatian kepada kebudayaan
kebijakan yang mampu mendorong lahirnya apresiasi, toleransi serta prinsip kesetaraan; 3)
20
Muslikhah. 2007. Quo Vadis Pendidikan Multikultur : Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan.
Salatiga : Stain Salatiga Press bekerjasama dengan JP Books, Cetakan Pertama, hal. 55-56.
21
J. Sudarminta. Tantangan dan Permasalahan Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium Ketiga dalam A.
Atmadi dan Y. Setiyaningsih (Editor). 2000. Transformasi Pendidikan : Memasuki Milenium Ketiga.
Yogyakarta : Kanisius, Cetakan Pertama, hal.3.
18
belakang kebudayaan para peserta didik sebagai kekuatan untuk membentuk sikap
gagasan bertukar pengetahuan dan keyakinan melalui pertukaran kebudayaan atau perilaku
semua kelompok kultural terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan
dengan demikian kurikulum yang dikembangkan harus pula mencakup semua materi dari
berbagai kultur.23 Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan multikultural yang disebutkan
merupakan bagian dari budaya, dengan kata lain di dalam pendidikan terdapat akar-akar
kultur yang berasal dari masyarakat. Di lain sisi, budaya tidak akan berkembang dan
berkelanjutan tanpa pendidikan karena budaya tidak diwariskan secara generatif tetapi
diperoleh dengan sosialisasi dan belajar. Menurut Tilaar dalam Maslikhah, mengisolasikan
pendidikan dari keanekaan budaya berarti melihat proses pendidikan dalam ruangan yang
hampa.25
metode pembelajaran yang tidak membedakan peserta didik yang memiliki berbagai
22
Alo Liliweri. 2005. Prasangka dan Konflik : Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.
Yogyakarta : LkiS, Cetakan Pertama.
23
Andreas A. Susanto dalam Josep J. Darmawan (ed). 2005. Multikulturalisme : Alternatif yang Problematik.
Yogyakarta : Universitas Atma Jaya.
24
Zubaedi, op.cit., hal 70.
25
Maslikhah. op.cit., hal 23.
19
kemampuan intelegensia (cerdas, sedang, kurang) atau berbagai kondisi fisik
(difabel/nondifabel). Siswa tidak sekedar dicekoki ilmu pengetahuan namun juga kemampuan
untuk hidup bersama di dalam masyarakat plural, misalnya toleransi dan saling menghormati
perbedaan yang unik pada tiap orang dan masyarakat. Ia merupakan pendidikan yang
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bersosialisasi dengan sesama yang beragam
baik dari segi fisik, agama, suku, dan lain-lain. Pendidikan multikultural mengandaikan
sekolah dan kelas dikelola sebagai simulasi arena kehidupan nyata yang plural, terus
berkembang dan berubah. Hal ini didasari oleh adanya kepekaan dan solidaritas di antara
peserta didik. Potensi transedental, intelektual, moral dan estetis dikembangkan dengan cara
mengintegrasikan nuansa moralitas dan spiritual di dalam kurikulum. Pelajaran agama pun
tidak sekadar merupakan penyalehan individu namun lebih dari itu, pelajaran agama yang
diberikan berfungsi untuk penyalehan sosial. Sikap dan sifat yang umumnya berkembang di
masyarakat plural seperti di Indonesia antara lain memiliki solidaritas buta, etnosentrisme,
dalam masyarakat. Sebagai negara yang memiliki beragam etnis, religi dan budaya, Indonesia
berbeda namun juga mengenali dan memahami perbedaan itu sehingga setiap elemen yang
hidup bersama di suatu masyarakat memiliki kedudukan yang sejajar tanpa adanya dominasi
dari kultur tertentu. Oleh karena itu, paradigma multikulturalisme yang mempercayai bahwa
semua kultur memiliki kedudukan yang sama dan menghilangkan perspektif kultur dominan-
20
Pendidikan multikultural dikatakan berhasil jika di dalam masyarakat terjadi
perubahan cara berpikir dari yang sebelumnya bercara pandang dan interpretasi sosial budaya
sempit dan fanatis berubah menjadi cara pandang dan interpretasi demokratis-pluralis dan
mampu menghargai budaya orang lain.26 Maksudnya, siswa mampu menghargai segala
perbedaan di dalam masyarakat dan menganggap perbedaan itu sebagai realitas yang harus
pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as “education for freedom”)
sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar
sesama (as inclusive and cementing movement)”.27 Jadi, pendidikan multikultural adalah
pendidikan yang bersifat antirasis (dan anti pembedaan berdasar etnis, suku, maupun agama),
mendasar, penting (berguna) untuk semua siswa, pervasif (dapat meresap/ menembus/
merembes), untuk keadilan sosial serta merupakan sebuah proses pedagogi kritis.
D. 2. Kerangka Pemikiran
Salah satu ciri hakiki manusia ialah bahwa ia menyadari eksistensinya, dengan
situasinya dan dimensinya.28 Penyadaran ini dapat ditemukan pada pendidikan yang
multikulural yang menghargai keberagaman tidak terjadi secara serta merta namun didasari
kesadaran dari pendidik dan peserta didik untuk hidup berdampingan dengan berbagai
elemen masyarakat. Menurut Keith Wilson, beberapa kelengkapan yang harus dimiliki oleh
segenap sivitas akademika sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan yang multikultural,
antara lain : a) lingkungan belajar yang mendukung kontak positif antar “ras”, b) kurikulum
26
Zubaedi. 2006. Pendidikan Berbasis Masyarakat : Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Problem
Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan Ketiga, hal 79.
27
James dalam Zubaedi. op.cit., hal. 70-1.
28
Broto Semedi Wiryotenoyo. 1984. Hidup Bersama Orang Lain. Gema No.27, Edisi Desember, hal 5.
21
multikultural, c) cara berpikir yang positif dari para guru, d) dukungan administrasi, dan e)
Terdapat berbagai elemen pendidikan inklusi yang terkait sebagai satu kesatuan
masing-masing yang khas dan pokok namun tidak dapat dipisahkan dalam praksis pendidikan
input (menjadi awal konstruksi pendidikan inklusif), proses (berperan dalam praksis
pendidikan inklusif) dan output (hasil proses pendidikan inklusif) seperti yang ditunjukkan
Skema 2
Kerangka Pemikiran
Output
• Hasil proses
Proses pendidikan
(bagi siswa
• Metode difabel &
pembelajaran nondifabel),
termasuk
• Kurikulum perubahan pola
Input • Evaluasi
• Peran
pikir pada siswa,
guru & elemen
• Seleksi guru/pendamping sekolah lain.
• Komposisi siswa • Ekskul
& guru • Kebijakan khusus
• Ideologi difabel
E. Metode Penelitian
29
Wilson (1999) dalam Sidharta (2005)
22
Penelitian ini mengambil kasus di MAN Maguwoharjo yang menerapkan pola
Penelitian ini bersifat eksploratif dan menggunakan metode studi kasus, yaitu suatu
teknik eksplorasi dan analisa dalam penyelidikan mengenai sebuah kesatuan sosial tertentu. 30
Menurut Yin, studi kasus dikehendaki untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer, bila
peristiwa-peristiwa tersebut tidak dapat dimanipulasi.31 Kasus di dalam penelitian studi kasus
bersifat kontemporer, masih terkait dengan masa kini, baik yang sedang terjadi, maupun telah
selesai tetapi masih memiliki dampak yang masih terasa pada saat dilakukannya penelitian. 32
Tidak semua peristiwa/fenomena dapat diteliti dengan metode studi kasus yang menuntut
eksplorasi yang mendalam dan intensif. Metode ini dipilih karena dirasa sesuai dan holistik di
dalam pengumpulan data sesuai tema yang dipilih oleh penulis. Obyek penyelidikan di dalam
studi kasus dapat berupa seseorang, suatu keluarga, suatu kelompok kebudayaan, suatu
pranata, atau suatu kelompok masyarakat.33 Dalam penelitian ini, obyek penyelidikan yang
dimaksud adalah seluruh elemen sekolah yang berperan dalam kegiatan belajar mengajar,
Metode kualitatif juga penulis rasa dapat mengetahui “the means behind the facts”
atas berbagai peristiwa sosial yang terjadi karena berakar pada paradigma interpretatif. Hal
ini ditunjukkan dari adanya beberapa perbedaan mendasar pada penelitian kuantitatif dan
kualitatif, yaitu :
30
Komaruddin.,1987. Kamus Riset. Bandung : Angkasa, Cetakan Kesepuluh.
31
Robert K. Yin. 2008. Studi Kasus : Desain dan Metode. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, Cetakan
Kedelapan, Edisi Pertama, hal. 12.
32
Yin (2003) dalam Hadi Wahyono. 2009. Pengertian Penelitian Studi Kasus.
http://penelitianstudikasus.blogspot.com, diakses tanggal 21 April 2009.
33
Komaruddin, op. cit.
23
1. Cara memandang sifat realitas sosial
Penelitian kualitatif menganggap realitas sosial itu bersifat ganda. Realitas sosial
merupakan hasil konstruksi pemikiran dan bersifat holistik. Di pihak lain, penelitian
kuantitatif memandang realitas sosial bersifat tunggal, konkret, dan teramati.
2. Peranan nilai
Penelitian kualitatif menganggap bahwa proses penelitian tidak dapat dikatakan
sebagai sepenuhnya ‘bebas nilai’. Di pihak lain, penelitian kuantitatif menganggap
bahwa proses penelitian sepenuhnya ‘bebas nilai’.
Studi kasus tunggal menyajikan suatu kasus yang ekstrem atau unik. Penelitian ini
merupakan penelitian studi kasus tunggal yang bertujuan menelusuri, menyingkap dan
menggambarkan secara rinci eksistensi MAN Maguwoharjo untuk mengetahui makna dibalik
eksistensinya. Melalui studi kasus, kita dapat mengetahui keunikan dari fenomena pendidikan
inklusif yang diterapkan MAN Maguwoharjo serta menjelaskan keunikan tersebut, yang
berkaitan dengan pola pembelajaran, instrumen pendidikan, dan konteks kasus berdirinya
generalisasi dari hasil penelitiannya.35 Oleh karena itu, tidak ada istilah populasi dan sampel
pada penelitian kualitatif. Informan adalah subjek yang akan memberi informasi selama
34
Emy Susanti Hendrarso dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (editor). 2007. Metode Penelitian Sosial :
Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta : Kencana, Edisi Pertama, Cetakan Ketiga.
35
Ibid, hal. 171-2.
24
informan kunci yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam
penelitian, informan utama yang terlibat langsung dalam interaksi sosial fenomena yang
diteliti, serta informan tambahan yang dapat memberikan informasi walau pun tidak terlibat
penelitian ini adalah siswa serta pengajar sebagai inti dari populasi di MAN Maguwoharjo.
Siswa merupakan subyek aktif yang menjadi sasaran kerja proses pendidikan. Dalam hal ini,
siswa mencakup siswa difabel maupun siswa nondifabel. Sedangkan pengajar sebagai pihak
yang menjalankan fungsi institusi pendidikan, yaitu transfer ilmu pengetahuan mencakup
Menurut Yin, posisi pemanfaatan teori yang telah ada di dalam penelitian studi kasus
dimaksudkan untuk memberikan arah penelitian36 yang disebut proposisi. Proposisi berfungsi
sebagai arahan teoritis yang digunakan untuk membangun protokol penelitian, yaitu petunjuk
praktis pengumpulan data yang harus diikuti peneliti agar penelitian terfokus pada
konteksnya.37
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik agar tingkat validitas dan
diperoleh dari penelitian kualitatif antara lain berupa catatan lapangan, rekaman wawancara,
foto, dan lain-lain. Adapun teknik-teknik yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
36
Yin (2003) dalam Hadi Wahyono, op. cit.
37
Ibid
25
a. Observasi
Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan cara mengamati dan
mengetahui kondisi umum lingkungan sekolah dan proses belajar mengajar yang dilakukan di
MAN Maguwoharjo secara mendalam. Data yang akan didapat melalui observasi antara lain
rincian kegiatan, perilaku serta keseluruhan interaksi yang terjadi di lokasi penelitian yang
Terdapat tiga teknik yang lazim digunakan dalam observasi, yaitu observasi
apabila peneliti turut mengambil bagian atau berada dalam keadaan objek yang diobservasi.
Observasi sistematik terdiri dari kerangka yang memuat faktor-faktor yang telah diatur
unsur-unsur penting dalam situasi sedemikian rupa sehingga situasi tersebut dapat diatur
sesuai dengan tujuan penelitian dan dapat mengurangi timbulnya faktor-faktor yang tidak
Sebagai instrumen yang harus menyerap informasi secara lengkap, peneliti harus
melakukan observasi dengan detail. Peneliti memperhatikan keadaan fisik lokasi penelitian,
Peneliti harus bisa menangkap data yang kompleks untuk memahami permasalahan secara
lengkap dan obyektif seperti yang diungkapkan oleh Neuman, ”The researcher records such
details because something of significance might be revealed... if they are not noticed, the
38
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara, Cetakan Pertama.
26
details are lost, as is a full understanding of the event.”39 Pendapat ini dikuatkan oleh Lincoln
dan Guba dalam Moleong yang menyatakan bahwa ontologi alamiah menghendaki adanya
kenyataan-kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari
konteksnya.40
b. Wawancara
wawancara terdapat suatu tujuan yaitu memperoleh keterangan atau pendapat dari seorang
mengetahui segala permasalahan yang tidak tertangkap indera. Wawancara dilakukan kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar di MAN Maguwoharjo, antara lain
siswa, pengajar, dan wali murid. Field research interview involves a mutual sharing of
experience41 dengan tujuan tertentu, yaitu memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian
c. Studi literatur
permasalahan yang terjadi pada obyek penelitian, misalnya mengetahui suatu teori dari
pustaka. Tinjauan literatur berguna antara lain untuk : 1) menunjukan pentingnya masalah
39
William Lawrence Neuman. 2000. Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches. 4rd Edition.
Needham Heights : Allyn and Bacon, hal.362.
40
Lincoln dan Guba (1985) dalam Lexy J. Moleong (1999), hal 4.
41
Neumann. Op cit
27
kemungkinan hipotesis yang diperlukan untuk dites; serta 5) membantu peneliti menghindari
“mengadakan penelitian mengenai masalah yang sudah diteliti berulangkali pada waktu
lampau dengan hasil yang cukup konsisten dari masing-masing penelitian”.42 Sedangkan data
dalam mengidentifikasi dan membahas isu-isu relevan dalam kasus yang dianalisisnya. 43
Penulis mengumpulkan informasi yang relevan untuk memahami situasi, khususnya masalah-
masalah kunci dalam kasus seperti pemahaman terhadap pendidikan inklusif, instrumen
pendidikan inklusif dan praksis pendidikan inklusif di MAN Maguwoharjo. Pada analisis data
studi kasus, proposisi digunakan sebagai pijakan untuk mengetahui posisi hasil penelitian
terhadap teori. Dengan mengetahui posisi tersebut, dapat diketahui apakah hasil penelitian
Studi kasus kerap dituding tidak menghasilkan informasi yang obyektif. Untuk
mendukung validitas data, penulis menentukan tema tertentu lalu melakukan observasi yang
diikuti dengan wawancara dan studi dokumen. Observasi dan wawancara dilaksanakan secara
dengan cara membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang per orang sehingga
menghasilkan data yang spesifik. Analisa data yang diperoleh dari berbagai sumber yang
42
Adi Rianto. op. cit. hal. 159-160.
43
G.L Kreps dan C.L. Lederman dalam Deddy Mulyana. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset, Cetakan Keempat,
hal. 202.
44
Yin (2003) dalam Hadi Wahyono, op. cit.
28
temuan dan melakukan penarikan kesimpulan. Informasi yang diterima dari ketiga sumber
F. Sistematika Penulisan
Skripsi Konstruksi dan Model Pendidikan Inklusif ini terdiri dari empat bab yang
diawali dari BAB I yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian
dan metode penelitian sebagai landasan operasional penelitian. Kerangka teori juga
disebutkan di dalamnya.
budaya kabupaten Sleman, letak MAN Maguwoharjo, profil lembaga pendidikan MAN
BAB III dan IV akan menampilkan berbagai data yang ditemukan penulis di lapangan
beserta analisisnya. Analisis data dikaitkan dengan konsep yang telah dijelaskan di dalam
BAB I demi keajegan penulisan skripsi. Terakhir, BAB V berupa kesimpulan dan catatan
BAB II
29
KONSEPSI OBJEK PENELITIAN
Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 107° 15' 03" dan
107° 29' 30" Bujur Timur, 7° 34' 51" dan 7° 47' 30" Lintang Selatan dengan ketinggian antara
100 – 2.500 meter diatas permukaan air laut. Jarak terjauh Utara-Selatan kira-kira 32 km,
Timur-Barat kira-kira 35 km, terdiri dari 17 kecamatan, 86 desa, dan 1.212 dusun. Kabupaten
Sleman memiliki luas 57.482 Ha atau 574,82 km2 atau sekitar 18% dari luas Propinsi Daerah
Istimewa Jogjakarta dengan jumlah penduduk 895.327 jiwa, terdiri dari 443.471 jiwa laki-
Propinsi Jawa Tengah, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa
Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi DIY dan
Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan berbatasan dengan Kota
Sleman tidak kalah maju. Pada tahun 2006/2007 tercatat kabupaten Sleman memiliki 499 unit
sekolah dasar yang terdiri dari 387 SD negeri dan 112 SD swasta dengan jumlah kelas
masing-masing sebanyak 2.576 kelas untuk SD negeri dan 778 kelas untuk SD swasta. Pada
jenjang SMP, jumlah sekolah tercatat sebanyak 104 sekolah, yang terdiri 55 SMP negeri dan
49 SMP swasta dengan 649 kelas untuk SMP negeri dan 248 kelas untuk SMP swasta. Untuk
jenjang SMA, tersedia sebanyak 50 sekolah dengan 17 SMA negeri dan 33 SMA swasta.
Bahkan, berbagai perguruan tinggi yang terkemuka sebenarnya secara administratif terletak
45
Sumber : Badan Pusat Statistik Sleman
30
di wilayah Sleman, diantaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta,
Universitas Islam Negeri (IAIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia,
inklusi dalam memberikan akses kepada siswa difabel untuk dapat mengenyam pendidikan
dengan mengambil objek di salah satu institusi pendidikan di kabupaten Sleman, tepatnya di
sekolah inklusi MAN Maguwoharjo yang terletak di Jl. Maguwoharjo, Tajem, Depok,
Sleman, DI Yogyakarta. Di sekolah ini lah para pendiri sekolah inklusi MAN Maguwoharjo
yang beragama Islam. Sekolah ini berdiri di lahan yang cukup luas, yaitu 7.350 m² dengan
bangunan seluas 1684 m², pekarangan seluas 3.382 m², kebun seluas 1.500 m² dan lapangan
Sekolah ini berlokasi di pinggir jalan dan berbatasan langsung dengan tanah
penduduk di sebelah utara, makam muslim di sebelah barat, sungai dan sawah di sebelah
timur serta Jalan Raya Maguwoharjo-Ngemplak di sebelah selatan. Lokasi sekolah terhitung
cukup strategis karena dekat dengan fasilitas-fasilitas publik seperti pasar Stan, rumah
makan, kuburan muslim serta stadion sepakbola. Situasi sekolah yang terletak di pinggir jalan
menciptakan situasi yang kurang tenang bagi proses belajar mengajar di sekolah karena suara
diketahui dari profil sekolah tersebut. Melalui profil ini dapat diketahui gambaran kehidupan
dan kondisi sekolah sehingga menjadi basis bagi pendidikan inklusi yang dijalankan dalam
31
pembelajaran sehari-hari. Sejarah sekolah menjelaskan perjalanan MAN Maguwoharjo sejak
didirikan hingga menjadi sekolah inklusi yang cukup terkemuka seperti saat ini. Visi Misi
dan Kurikulum Pendidikan menjadi basis pengembangan sistem pendidikan yang dibangun
oleh sekolah. Struktur Organisasi Sekolah dan Tenaga Pendidik menunjukkan sistem
pendukung kegiatan akademik yang dilakukan stake holder sekolah. Keadaan Ruang dan
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Atribut Siswa menunjukkan syarat identitas yang harus
dipatuhi siswa sebagai warga sekolah, sedangkan Biaya Pendidikan menjelaskan banyaknya
biaya yang harus dibayarkan orang tua dan pemerintah agar siswa dapat mengakses
pendidikan di sekolah ini dan menjadi konsekuensi bagi sebuah sistem pendidikan berbasis
inklusifitas. Profil MAN Maguwoharjo menjadi gambaran dasar bagi kegiatan akademis
MAN Maguwoharjo adalah madrasah inklusi yaitu madrasah yang menerima siswa
berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses belajar mengajar bersama-sama dengan para
Awal pendirian sekolah ini diawali dari kesadaran akan akses terhadap pendidikan
yang merupakan hak semua orang, baik mereka yang difabel/berkebutuhan khusus maupun
yang nondifabel. Sayangnya, fasilitas pendidikan bagi difabel belum begitu baik pada tahun
1970-an. Minimnya sekolah bagi difabel pada saat itu menjadi suatu kekhawatiran bagi
Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam (Yaketunis). Padahal, sekolah merupakan sarana
46
Mukadimah Brosur MAN Maguwoharjo untuk Pameran Pendidikan Inklusi di Sekaten Yogyakarta 17-18
Februari 2009.
32
Berdasar semangat ingin mencukupi kebutuhan pendidikan umat Islam di daerah
Depok dan sekitarnya, tokoh masyarakat yang bernama Alm. Bp. Boto Wiarjo (Kadus
MWC NU Kecamatan Depok, Sleman), Alm. Bp. Solihin (Yaketunis) serta Bapak H. Abdul
sekolah yang bagi siswa tuna netra. Awal pendirian sekolah ini merupakan keunikan
tersendiri yang membedakannya dari sekolah lain. Yaketunis bekerja sama dengan MWC NU
kecamatan Depok mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama Luar Biasa (PGALB) bagian
A (Tuna Netra) dengan harapan anak–anak tuna netra dapat mengikuti pendidikan
sebagaimana mestinya orang-orang sempurna yang fisiknya. PGALB tidak hanya ditujukan
bagi siswa tuna netra, siswa nontuna netra juga berhak menuntut ilmu di sekolah ini.
1972 PGALB berubah menjadi PGAN (Pendidikan Guru Agama Enam Tahun). Pada tanggal
10 Juli 1978 lembaga pendidikan yang dibangun oleh Yaketunis ini mendapatkan SK tetap
bernama PGALB/A dengan SK No.143. 1968 dan dikepalai seorang tuna netra bernama
Bapak Supardi Abdushomad, kemudian pada tanggal 16 Maret 1978 berubah status menjadi
awalnya kelas 1-6 menjadi MTs Maguwoharjo (kelas 1-3) dan MAN Maguwoharjo (kelas 4-
6) dengan jurusan IPA, IPS dan Agama. Kemudian MTs dan MAN dipisah oleh DEPAG
DIY dan sekarang MAN dikenal sebagai MAN 5 Maguwoharjo. Saat jurusan IPA dan IPS
kemudian membuka jurusan A-1 (jurusan Agama), A-2 (jurusan Ilmu Biologi) dan A-3
33
(jurusan Sosial). Sesuai dengan kurikulum terbaru, saat ini penjurusan di MAN Maguwoharjo
terbagi menjadi jurusan IPA dan IPS yang dimulai dari tingkat XI (kelas 2).
Visi, misi, dan tujuan yang dicanangkan MAN Maguwoharjo hingga mengalami
a. Visi
MAN Maguwoharjo memiliki visi mendidik siswa agar bertakwa, berilmu, dan
beramal untuk membentuk siswa yang islami, cerdas, terampil, berbudi luhur dan mandiri
profesi yang akan ditekuni di masa mendatang karena ketakwaan dipercaya akan
menyelamatkan siswa.
b. Misi
kekeluargaan.
c. Tujuan
34
2. Mewujudkan lingkungan madrasah yang kondusif, bersih, indah, nyaman dan aman
dengan penataan ruang yang harmonis, sehingga menjadi tempat belajar yang berdaya
3. Memberikan pelayanan hak belajar yang sama dan adil kepada semua peserta didik
sehingga tidak ada pembedaan antara anak normal dan anak berkebutuhan khusus dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencetak sumber daya manusia
yang beriman, berakhlaqul karimah, cerdas, terampil, kreatif dan bertanggungjawab dalam
Skema 3
35
Kepala
Madrasah
Drs. H .Bukhari
Muslim, M.Pd.I
BP3 Kepala TU
Drs. H. M. Sukidi, S.Pd,
Sularna, M.A MM
B. 4. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan salah satu perangkat yang harus dimiliki institusi pendidikan
dalam melaksanakan tugas mengantarkan anak bangsa menuju kehidupan yang lebih baik,
mandiri, terampil, dan berakhlak mulia.47 Saat MAN Maguwoharjo masih berbentuk PGALB
Negeri Bagian A, kurikulum sekolah terdiri atas dua bagian, yaitu kurikulum PGAN dan
kurikulum yang berkaitan dengan ketunanetraan yang meliputi baca tulis huruf braille, ilmu
jiwa khusus tunanetra, metodik tunanetra, bimbingan dan penyuluhan khusus tunanetra, serta
rehabilitasi tunanetra.
evaluasi madrasah baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler48 dan bertujuan
47
Sumber : Kerangka Dasar Kurikulum MAN Maguwoharjo Sleman
48
Ibid
36
memastikan semua warga madrasah dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-
Allah SWT : Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan orang yang mau
Pendidikan tahun 2006, dalam aplikasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ini siswa
dituntut untuk aktif pada waktu kegiatan pembelajaran berlangsung, sedangkan guru hanya
bertindak sebagai fasilitator. Kurikulum MAN Maguwoharjo Sleman terdiri atas lima
kelompok mata pelajaran, yaitu kelompok mata pelajaran agama dan akhlaq mulia, kelompok
pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran
Tabel 1
49
Ibid
37
Alokasi Waktu Per Minggu
Komponen kelas kelas XII kelas XII
X IPA IPS IPA IPS
1. Pendidikan Agama :
a. Qur’an Hadits 1 2 2 1 1
b. Fiqih 2 2 2 2 2
c. Akidah Akhlak 2 - - - -
d. SKI - - - 2 2
2.Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 2 2 2
3. Bahasa Indonesia 4 4 4 4 4
4. Bahasa Inggris 4 5 5 5 5
5. Bahasa Arab 3 2 2 2 2
6. Matematika 5 7 4 6 4
7. Fisika 3 5 - 5 -
8. Kimia 2 5 - 5 -
9. Biologi 2 4 - 4 -
10. Sejarah 1 2 4 2 4
11. Geografi 2 - 4 - 4
12. Ekonomi 3 - 6 - 6
13. Sosiologi 3 - 4 - 4
14. Seni Budaya (seni musik) 1 - - - -
15.Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan 2 2 2 2 2
16. Teknologi Informasi dan Komunikasi 2 2 2 2 2
Mulok : Bahasa dan Sastra Jawa 1 1 1 1 1
Pengembangan Diri/BK *)
Jumlah 45 45 45 45 45
*) Pengembangan Diri di samping masuk ke intrakurikuler 1 jam pelajaran yang dibimbing oleh Guru BK juga
dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler (Seni, Olahraga, dan Keterampilan)
menampakkan eksistensi sekolah sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Sebagai
sekolah yang berciri agama Islam, pelajaran Agama di MAN Maguwoharjo memiliki alokasi
waktu yang cukup banyak dan terbagi menjadi empat mata pelajaran, yaitu Qur’an Hadits,
Fiqih, Akidah Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Tadarus Al Qur’an juga rutin
dilakukan setiap pagi sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Oleh karena itu, sekolah
menerapkan kebijakan wajib menguasai huruf hijaiyah bagi siswa sebagai syarat dasar untuk
B. 5. Tenaga Pendidik
38
Tenaga pendidik di MAN Maguwoharjo terdiri dari 27 guru dengan latar belakang
akademik mayoritas dari IAIN dan IKIP. Selain itu juga terdapat dua orang Guru
Pendamping Khusus (GPK) yang bertugas mendampingi siswa berkebutuhan khusus dalam
pembelajaran sehari-hari.
B. 6. Keadaan Ruang
Lingkungan fisik tidak dapat dilepaskan dari segala aktivitas yang berlangsung di
sekolah karena menjadi tempat bagi interaksi antara berbagai elemen sekolah. Bangunan di
MAN Maguwoharjo terdiri dari beberapa gedung dan menempati lahan yang cukup luas.
Halaman kosong di samping dan belakang dimanfaatkan menjadi ruang parkir, sedangkan
lapangan yang berada di tengah sekolah dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan upacara
bendera setiap hari Senin. Upacara bendera hari Senin diikuti oleh seluruh elemen sekolah,
baik siswa, guru, maupun staf sekolah. Upacara bendera yang dilaksanakan di lapangan
sekolah dimanfaatkan sebagai salah satu sarana memberi nasehat kepada siswa, misalnya
mengenai urgensi belajar dan tanggung jawab. Jika salah satu siswa sekolah mengikuti
kejuaraan dan menang, pada akhir upacara pihak sekolah akan mengumumkan dan memberi
penghargaan terhadap siswa tersebut di depan teman-temannya. Hal ini bermaksud untuk
Bangunan MAN Maguwoharjo terdiri dari beberapa bangunan kecil satu lantai yang
disatukan lorong outdoor. Ruang kosong yang cukup luas menyebabkan sirkulasi udara yang
baik di sekolah namun saat istirahat siswa terkonsentrasi di dalam kelas, di depan kelas,
mushola serta kantin. Kantin seringkali menjadi tempat nongkrong siswa saat pelajaran
Ruang kelas di MAN Maguwoharjo sama seperti ruang kelas di sekolah formal di
Indonesia pada umumnya. Papan tulis dan meja guru di depan, lambang negara, foto presiden
39
dan wakil presiden, majalah dinding mini, beberapa alat kebersihan kelas serta meja dan kursi
kayu sejumlah siswa kelas tersebut. Siswa awas duduk di meja-kursi kecil yang digunakan
untuk satu orang dengan maksud mengurangi kemungkinan mengobrol, sedangkan siswa
tuna netra duduk di meja-kursi berlaci dua bersebelahan dengan seorang siswa awas yang
bertugas membacakan tulisan di papan tulis dan buku bagi siswa tuna netra tersebut. Siswa
awas yang duduk di sebelah siswa tuna netra adalah petugas piket membaca atau siswa awas
B. 7. Fasilitas Sekolah
Fasilitas sekolah berupa sarana dan prasarana dapat memberikan gambaran mengenai
keadaan lingkungan fisik dan berbagai fasilitas penunjang kegiatan pendidikan dan
pengajaran yang ada di sekolah sehingga menjadi penting untuk diketahui. MAN
yaitu koran dinding, perpustakaan, laboratorium biologi, laboratorium fisika dan ruang
komputer. Koran dinding diperbarui tiap hari. Koleksi perpustakaan berupa buku-buku paket
mata pelajaran kelas X-XII baik berupa buku bertulisan latin maupun braille. Perpustakaan
juga memiliki buku cerita latin dan braille, Al Quran tulisan arab, Al Quran tulisan braille
yang terbagi per juz, buku-buku tafsir serta berbagai macam buku agama Islam. Mushola
terletak di bagian belakang dan dipergunakan seluruh warga sekolah untuk beribadat sesuai
tuntunan agama Islam. Dua buah kantin yang menjual mie, roti, dan panganan ringan terdapat
MAN Maguwoharjo belum memiliki ramp standar untuk mempermudah akses siswa
difabel di sekolah. Siswa harus menaiki undakan yang cukup tinggi saat memasuki kelas.
Untuk mempermudah akses siswa difabel terhadap fasilitas fisik sekolah, sekolah
membangun kamar mandi yang diperuntukkan khusus bagi difabel tuna netra dan tuna daksa.
40
Sekolah juga berencana memasang ubin khusus yang berfungsi sebagai petunjuk arah bagi
tuna netra. Pemasangan ubin ini merupakan hasil kerja sama sekolah dengan sebuah LSM
dari Jerman dalam rangka persiapan dini menghadapi gempa bumi yang sangat mungkin
pembelajaran inklusi dengan komputer bagi tuna netra dengan program khusus JAWS
(mengeluarkan suara). Sekolah juga berencana menjalin kerjasama antar perpustakaan tuna
netra secara on line untuk memperluas akses informasi siswa tuna netra serta program alih
B. 8. Atribut Siswa
sehari-hari, seperti siswa sekolah formal di Indonesia pada umumnya. Seragam standar
tingkat menengah atas adalah seragam putih-abu, yakni putih untuk kemeja dan abu-abu
untuk rok/celana.
dengan kebijakan sekolah. Seragam batik hijau digunakan sebagai perlambang sekolah turut
nguri-uri budaya Jawa dengan dasar menghormati identitas budaya Jawa (Yogyakarta)
berupa batik, sedangkan warna hijau dipilih karena melambangkan perdamaian dan
kesuburan.
Tabel 2
Hari Seragam
Senin dan Selasa kemeja putih, celana/rok panjang putih, kerudung biru laut (putri)
Rabu dan Kamis kemeja putih, celana/rok panjang abu-abu
Jumat dan Sabtu kemeja batik hijau/baju pramuka (atasan coklat muda, bawahan coklat tua)
41
B. 9. Pembiayaan Pendidikan
Orang tua siswa memberi dana bagi kelangsungan pendidikan dalam bentuk dana
komite (SPP) dalam jumlah tetap yang dibayar tiap bulan. Selain itu terdapat komponen
pembiayaan berupa uang pendaftaran, modul/latihan soal, seragam identitas serta pendalaman
Tabel 3
b. Bantuan pemerintah
Pendidikan Nasional pusat (Jakarta) direktorat Pendidikan Luar Biasa dalam bentuk block
grant, yaitu software JAWS, uang operasional, bantuan rintisan sekolah penyelenggara
inklusi serta subsidi e-learning, sedangkan bantuan dari Dinas Sosial berupa bantuan sarana
dan prasarana buku pelajaran dan buku cerita braille. Siswa difabel juga mendapatkan
42
beasiswa inklusi dari Departemen Pendidikan Nasional. Bantuan dari pemerintah tidak
bersifat tetap namun tergantung kualitas komunikasi antara pihak sekolah dengan dinas.
Bantuan pihak lain berasal dari unsur swasta, baik organisasi kedaerahan, sekolah,
maupun pihak lain yang tidak mengikat. Bentuk bantuan berupa sarana prasarana pendidikan
inklusi.
Program pendidikan inklusi masih tercakup dalam konteks program sekolah secara
umum namun manajerial pendidikan inklusi di MAN Maguwoharjo terpisah dari manajerial
sekolah sejak tahun 2008. Pemisahan manajerial ini atas instruksi dari Direktorat Pendidikan
Luar Biasa agar setiap sekolah yang menerapkan metode pendidikan inklusi membentuk
inklusi menjadi hal yang pokok dalam manajerial inklusi karena sebelum manajerial inklusi
dibentuk, setiap program atau kebijakan yang menyangkut siswa berkebutuhan khusus dan
Kemandirian manajerial inklusi dari pihak sekolah antara lain dalam penyaluran dana
bantuan inklusi yang langsung dikelola manajemen inklusi tidak melalui pihak sekolah.
kema 4
43
C. Sehari Di Sekolah
Siswa MAN Maguwoharjo sudah harus masuk kelas pukul 07.00 WIB kecuali hari
Senin, pelajaran dimulai pukul 08.00 karena sebelumnya diadakan upacara bendera sejak
pukul 07.00 WIB selama kurang lebih tiga puluh menit. Selisih waktu dimanfaatkan siswa
Sebelum pelajaran pertama dimulai siswa melakukan tadarus Al Qur’an sebanyak satu
ruku’ (± 10 menit) terlebih dahulu, kemudian berdoa sebelum belajar. Dua kali waktu
istirahat, yaitu pukul 09.40 WIB dan pukul 12.00 selama 15 menit dan 30 menit digunakan
siswa untuk makan, sholat Dhuha dan sholat Dhuhur di mushola sekolah. Sekolah
menyediakan dua buah kantin, masing-masing di sayap kiri dan sayap kanan sekolah yang
memungkinkan siswa memperoleh makanan secara mudah, murah, sehat serta variatif.
Siswa kelas XII pulang sekolah pukul 14.20 WIB karena selain memperoleh pelajaran
biasa, siswa kelas XII mengikuti les pelajaran sebagai persiapan Ujian Nasional kelulusan
setiap hari Senin hingga Kamis. Les pelajaran ini mencakup mata pelajaran yang diujikan
dalan Ujian Akhir Nasional, antara lain matematika, bahasa inggris, dan bahasa indonesia.
Khusus bagi siswa tuna netra, terdapat penambahan les persiapan UAN setelah pelajaran
44
Sumber : Dokumentasi penulis, Februari 2009
D. Profil Informan
1. Bapak Imam, kepala madrasah (2008-Februari 2009). Bapak Imam yang tinggal di
Bambanglipuro ini mengaku baru pertama kali memimpin sebuah sekolah dengan
metode pendidikan inklusi di MAN Maguwoharjo. Kondisi ini membuat beliau terpacu
2. Bapak Abdul Hadi, guru. Bapak Abdul Hadi adalah manajer inklusi yang bertanggung
jawab atas manajerial inklusi di MAN Maguwoharjo. Sebagai guru, bapak Abdul Hadi
mengampu mata pelajaran Pendidikan Seni dan Matematika. Beliau percaya manusia
harus menggunakan otak kanan dan kiri secara seimbang. Sewaktu muda beliau aktif di
LSM yang bergerak di bidang pertanian pemberdayaan masyarakat. Bapak Abdul Hadi
percaya setiap orang, termasuk siswa difabel memiliki kelebihan. Oleh karena itu, beliau
tidak ragu mendorong siswa difabel menampilkan bakatnya di luar lingkungan sekolah.
45
3. Ibu Mardinah, guru. Ibu Mardinah menjabat sebagai Guru Pembimbing Khusus di MAN
Maguwoharjo sejak tahun 2004. Beliau adalah alumni MAN Maguwoharjo saat masih
untuk membantu siswa difabel dalam menuntut ilmu. Berbekal ilmu pedagogi luar biasa
dari PGALB, beliau mengabdikan diri di MAN Maguwoharjo sejak tahun 2004.
4. Bapak Aris Fuad, guru. Bapak Aris yang mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris juga
kurikulum 2006 (KTSP) yang menghargai aspirasi sekolah dan memungkinkan siswa
bahasa inggris di MAN, Bapak Aris membentuk klub bahasa inggris untuk meningkatkan
Februari 2009.
5. Bapak Marijo, guru. Sebelum MAN Maguwoharjo memiliki GPK tahun 2004, Bapak
Marijo yang mengampu pelajaran Sosiologi ini merangkap guru penbimbing khusus.
Beliau mampu membaca dan menulis dalam tulisan braille karena pernah mengajar di
6. C, siswa. Siswa kelas XI yang aktif di kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) ini
7. F, siswa. Siswa kelas XII ini mengaku pada awalnya merasa direpotkan dengan
keberadaan siswa difabel karena siswa nondifabel harus banyak membantu namun
setelah hampir tiga tahun bersekolah bersama mereka, ia mengaku banyak mendapat
46
pelajaran positif dari siswa difabel. Wawancara dilakukan di MAN Maguwoharjo
8. M, siswa. Siswa kelas XII ini mengaku MAN Maguwoharjo melatihnya untuk selalu siap
9. E, Z, Wd, siswa. Ketiga siswa kelas XII ini mengaku bersekolah di MAN Maguwoharjo
10. Fd, siswa. Siswa kelas XII yang berniat melanjutkan kuliah di Tarbiyah UIN ini tertarik
11. SL, siswa. Siswa kelas XII yang ramah ini telah akrab dengan pendidikan inklusi sejak
bersekolah di sebuah SMP di Bantul yang juga menerapkan metode pendidikan inklusi.
12. W, siswa (alumni). Alumni MAN Maguwoharjo yang sedang menempuh studi di
Pendidikan Agama Islam UIN ini tertarik dengan konsep pendidikan inklusi. Difabilitas
baginya adalah keberagaman di dalam masyarakat, sama halnya dengan perbedaan etnis
atau agama. Wawancara dilakukan di UIN Sunan Kalijaga tanggal 26 Februari 2009.
13. Bapak N dan Ibu A-wali. Suami istri yang sudah bertahun-tahun hidup bersama dengan
siswa difabel MAN Maguwoharjo ini memandang siswa berkebutuhan khusus sama
seperti siswa lain yang tidak perlu diistimewakan. Wawancara dilakukan di kediaman
47
BAB III
Pembacaan pendidikan dan sekolah dalam karya ini sepenuhnya memakai dasar
pemikiran Paulo Freire dan multikulturalisme. Pertemuan konsep pendidikan Freire dan
multikulturalisme bertemu dalam tataran proses, fungsi dan aktivitas institusional pendidikan.
48
Paulo Freire bermaksud melakukan penyadaran kepada masyarakat melalui pendidikan
menjadi penindas melainkan menghapus dominasi yang terjadi di masyaakat. Tidak adanya
dominasi akan menyebabkan masyarakat melihat golongan lain sebagai golongan yang
sejajar dengan mereka. Perbedaan yang terjadi di dalam masyarakat tidak lagi dianggap
Idealita sekolah adalah tempat yang nyaman bagi anak untuk mempersiapkan masa
depannya. Pedagogi (pendidikan) berasal dari bahasa Yunani “pedagogia” dari akar kata
“paedos” yang berarti anak dan “agoge” yang berarti saya membimbing atau memimpin.
Seorang pedagog (guru) berarti seseorang yang tugasnya membimbing anak-anak dalam
mendewasakan siswa dan membantu mereka agar mampu menghadapi realita kehidupan saat
satu cita-cita nasional yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa. Secara teoritis pola pendidikan di Indonesia sangat ideal dengan landasan
budaya, Pancasila dan UUD 1945 namun pada aplikasinya, pendidikan di Indonesia masih
jauh dari idealita mencerdaskan karena belum mengakar pada akar kebudayaan bangsa dan
bersifat otoriter. Akibatnya, siswa terisolasi dari lingkungan sosial kulturalnya. Padahal,
sekolah sesungguhnya bukan hanya merupakan tempat untuk memperoleh informasi semata
melainkan suatu ruang interaksi bagi guru dan siswa untuk sama-sama belajar serta sama-
50
Choirul Mahfud. 2008. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan Kedua, Edisi Revisi,
hal. 32.
49
Dulu waktu di asrama semua sama, tuna netra. Mau ngapain-ngapain, kanca dhewe,
sudah tahu. Sekarang di sekolah ada yang tuna netra, ada yang awas. Kita harus
tebal kupingnya. Terus pas di SLB lebih kondusif lingkungan pembelajarannya,
lebih tenang. Kalau disini anak-anak suka ramai, suka bising motor war-wer juga.
Butuh konsentrasi tinggi tapi enggak apa-apa, lama-lama biasa.
(Wd-siswa, 13 Februari 2009)
fungsi pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan
dan ketertindasan yang dialami oleh masyarakat, baik dari soal kebodohan sampai
penindasan tidak hanya mengenai faktor fisik namun juga merasuk hingga kesadaran
manusia. Pendidikan seringkali hanya menekankan faktor otak dan kepandaian sehingga
tidak jarang siswa pandai namun emosinya tidak berkembang. Diabaikannya faktor
pendidikan selain faktor kognitif secara tidak langsung menghambat pembentukan manusia
menjadi manusia. Menurut Freire, pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya bisa
dilakukan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar telah
menyadari realitas dirinya52 bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungannya sekitarnya.
belakang agama, ekonomi, status sosial, kondisi fisik, dan sebagainya. Pasal 3 Undang
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab. Untuk mencapai tujuan itu,
setiap siswa harus dibentuk menjadi individu yang mampu menghargai perbedaan dan
51
Paulo Freire (1976, 214) dalam Firdaus M. Yunus. 2005. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial : Paulo Freire
dan Y.B. Mangunwijaya. Yogyakarta : Logung Pustaka, Cetakan Kedua, hal viii.
52
Pengantar terbitan Indonesia, Paulo Freire. 1999. Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan. Yogyakarta : ReäD bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, hal. xvii.
50
berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal siswa
A. 2. Ideologi Inklusi
masyarakat.53 Ideologi mengandung keinginan untuk mengubah keadaan yang dirasa kurang
baik. MAN Maguwoharjo memiliki tujuan yang idealistis, yaitu menciptakan lembaga
pendidikan yang mampu mewadahi aspirasi siswa difabel, khususnya tuna netra. Proses
Freire yang bermuara pada usaha memanusiakan manusia sebab di dalam proses pendidikan
inklusif tersebut terdapat kekuatan penggugah atau penyadar dan pembebas manusia, yaitu
Pendidikan formal yang masih minim dan kurang memihak pada orang berkebutuhan
khusus menjadi alasan tersendiri bagi pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah ini. Ideologi
pendidikan yang dimiliki pendiri MAN Maguwoharjo hingga kini masih terasa dalam
kehidupan sosial sekolah. Sekolah Inklusi MAN Maguwoharjo dirancang agar pendidikan
yang diselenggarakan dapat dijangkau oleh semua siswa, baik yang difabel maupun
nondifabel. Sekolah memandang siswa nondifabel dan difabel dalam kedudukan yang sejajar:
Sekolah inklusi beda dengan sekolah luar biasa yang khusus untuk difabel.
Disini malah semua siswa dianggap sama. Yang namanya inklusi itu sama,
bukan khusus untuk difabel.
(Bp. Abdul Hadi-guru, 3 Februari 2009)
Sekolah memperlakukan seluruh siswa secara sama dalam hak dan kewajiban namun
tetap memberi pelayanan khusus bagi siswa tn. Misalnya, sekolah memfasilitasi siswa tn
53
Hendra Lesmana Putra. Thesis. 2009. Konsep Pendidikan Alternatif di Sekolah Alternatif Qaryah Tayyibah
(Studi Kasus tentang Sekolah Alternatif Qaryah Tayyibah Salatiga, Jawa Tengah). Yogyakarta : Pasca Sarjana
Sosiologi UGM
51
dengan guru pembimbing khusus dan program pengayaan intensif. Fasilitas yang
diperuntukkan khusus bagi siswa difabel bukan berarti mengistimewakan siswa difabel
Sekolah memiliki pemikiran bahwa siswa berkebutuhan khusus seperti tuna netra
maupun tuna daksa adalah siswa yang normal dalam segi intelegensi sehingga tidak boleh
dibedakan dari siswa lain. Siswa difabel tidak memiliki perbedaan dengan siswa nondifabel
kecuali dalam kemampuan fisik. Siswa difabel sama seperti siswa lain yang bisa pintar,
mencontek saat ulangan, bahkan merasakan jatuh cinta. Sekolah percaya siswa difabel dan
nondifabel memiliki potensi dan kesempatan yang sama untuk meraih prestasi di bidang
Siswa difabel ada yang juara satu paralel, juara olahraga, bahkan sampai ikut PON.
Kalau ada yang bilang siswa tuna netra pasti tertinggal, itu salah. Tapi kalau ada
yang bilang tuna netra pasti pintar-pintar, itu juga salah. Ya sama saja. Ada yang p
intar, ada yang biasa saja. Tergantung orangnya.
(Bp. Abdul Hadi-guru, 3 Februari 2009)
Pendidikan inklusif didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak
dalam pendidikan. Terlebih MAN Maguwoharjo bernafaskan agama Islam yang mengajarkan
manusia tidak boleh membeda-bedakan etnik, ras, dan lain sebagainya karena semua manusia
sama, yang membedakannya adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Keragaman kemampuan
Pendidikan inklusi positif banget ya mbak. Jadi tuna netra di dalam hatinya merasa
sama. Jadi enggak ada diskriminasi. Coba, mbak sendiri kalau ada kekurangan
terus dipisahkan, rasanya apa, kan ada perbedaan.
(C-siswa, 4 Februari 2009)
52
Apakah begitu buruk
Apakah kau merasa yang paling hebat
Bukankah kita sama, dengan harga yang sama
Bukankah perbedaan itu diciptakan untuk melengkapi
Bagaimana bisa kau putuskan membenci
Jika kau tak pernah mengenal atau coba untuk
Singgah...
(Singgah oleh Dwi Ariyani)54
Tidak jarang kita menemukan pandangan negatif mengenai difabel dan difabilitas di
dalam masyarakat. Masih terdapat sebagian orang yang menganggap difabilitas sebagai
penyakit, beban, kekurangan, bahkan sebuah kutukan. Penggantian sebutan difabel (different
ability) dari disabel dan penyandang cacat belum sepenuhnya mengubah perspektif difabel
sebagai bagian dari masyarakat. Marginalisasi difabel disebabkan belum banyak masyarakat
yang hidup berdampingan dan mengenal kehidupan difabel. Masyarakat belum memahami
Tak kenal maka tak sayang. Masyarakat seringkali melakukan prejudice terhadap
kemampuan difabel terkait dengan keterbatasan indera yang dimiliki. Padahal, difabel
sebagai keberagaman di dalam masyarakat sebenarnya memiliki potensi yang sama dengan
elemen masyarakat lain. Difabel memiliki kemampuan yang sama dalam melakukan
pekerjaan tertentu sesuai kondisi fisiknya. Prejudice masyarakat seringkali tampak dari sikap
Saya enggak bangga kalau dibilang pintar. Bukan gaya tapi menurut saya itu biasa
saja. Kalau ada orang bilang, ”Jebul tuna netra yo isa pinter yo”, berarti dia
54
Yuyun, dkk. 2006. Ojo Dumeh : Antologi Puisi Difabilitas. Solo : Padepokan KoSaKaTa, Cetakan Pertama,
hal. 17.
53
menganggap tuna netra enggak layak pintar. Padahal sebenarnya kami sama saja
kayak yang lainnya.
(W- alumni, 26 Februari 2009)
maupun etnis namun juga kemampuan intelegensia (IQ) dan kondisi fisik siswa. Sekolah
adalah miniatur kehidupan dalam masyarakat55, yaitu simulasi masyarakat umum yang
bermasyarakat dengan mengarahkan siswa untuk memiliki karakter yang bisa menghargai
dan menghormati diri sendiri dan orang lain serta mampu hidup damai dengan diri sendiri
Salah satu model pendidikan yang dapat menjadi sebuah alternatif dimana seluruh
peserta didik merasa nyaman adalah pendidikan yang mampu menanamkan penghormatan
Di sekolah yang menerapkan metode pendidikan inklusif siswa dapat belajar mengenai
keberbedaan dan keberagaman dari teman-temannya baik melalui sikap, perilaku, ide serta
Tidak terdapat seleksi khusus bagi guru yang mengajar di MAN Maguwoharjo.
Seleksi guru bersifat umum melalui ujian Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang
langsung guru yang mengajar di MAN harus beragama Islam karena sifat sekolah yang
55
Anita Lie. 2007. Wawasan Multikultural dalam Pendidikan Karakter. Basis No. 07-08 tahun ke-56, Juli-
Agustus 2007.
54
Seleksi bagi calon murid dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dengan seleksi
sekolah lain. Bentuk seleksi antara lain tes wawancara, tes baca Al Qur’an, hafalan Hadits,
dan tes tertulis. Siswa tuna netra tidak dibebani tes yang berbeda dari siswa lain, bahkan
siswa tuna netra tidak mengikuti ujian tertulis terkait dengan kondisi fisik mereka. Sekolah
belum pernah menolak calon siswa difabel karena selain menjunjung semangat inklusif,
Sekolah tidak menjadikan NEM (Nilai Ebtanas Murni) sebagai patokan dalam
penerimaan siswa baru, namun siswa difabel yang mendaftar di MAN Maguwoharjo
memiliki NEM yang cukup, yaitu rata-rata per mata pelajaran mendapat nilai tujuh hingga
delapan.
Tidak semua calon siswa yang mendaftar pasti diterima. Sekolah memiliki syarat
moral tidak tertulis bagi calon siswa, baik putra maupun putri untuk menjaga proses
Waktu seleksi kami perhatikan, kalau yang LMD –londo mung ndase-, tindikan,
mulutnya hitam ngrokokan, apalagi matanya keliatan kalau sering mabuk, guru-guru
sudah hafal sama anak begitu. Tidak akan kami terima walaupun pintar. Kami tidak
mau anak-anak lain ketularan.
(Bp. Imam-kepala madrasah, 2 Februari 2009)
Guru di MAN Maguwoharjo berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, antara
lain IKIP, IAIN dan perguruan tinggi lain. Guru yang akan mengajar di MAN Maguwoharjo
tidak harus menguasai ilmu pendidikan luar biasa, bahkan tidak sedikit yang tidak
55
adanya pembatasan kriteria tertentu terhadap calon guru yang akan mengajar di MAN
Maguwoharjo membuat setiap orang dari latar belakang pendidikan apa pun berhak untuk
Siswa di MAN Maguwoharjo berasal dari SMP dan MTs (Madrasah Tsanawiyah) di
daerah Tajem maupun di luar kota. Sebagian siswa tinggal di dekat sekolah, baik rumah
orang tua maupun kos. Siswa tahun ajaran 2008/2009 terdiri dari 253 siswa, masing-masing
25 siswa laki-laki kelas X, 42 siswa perempuan kelas X, 45 siswa laki-laki kelas XI, 47 siswa
perempuan kelas XI, 36 siswa laki-laki kelas XII dan 58 siswa perempuan kelas XII. Di kelas
X terdapat 1 orang difabel tuna daksa, di kelas XI terdapat 1 orang yang memiliki
kepercayaan diri rendah, di kelas XII terdapat 1 orang tuna daksa dan 6 orang tuna netra. 9
Selama menjadi sekolah inklusi, jenis disability siswa yang pernah menimba ilmu di
MAN Maguwoharjo adalah tipe A (tuna netra), tipe D (tuna daksa), serta siswa yang
memiliki kepercayaan diri sangat rendah. Sekolah tidak membatasi disability tipe tertentu
saja yang boleh mengikuti pembelajaran di MAN tetapi belum pernah ada siswa difabel jenis
tuna grahita, tuna rungu atau tuna wicara yang mendaftar di sekolah tersebut. Namun sekolah
mengaku belum memiliki kapasitas dalam membina siswa berkebutuhan khusus dari
disability tipe tersebut. Hal ini disebabkan tiap tipe disability membutuhkan metode
pengajaran khusus yang belum dikuasai sekolah. Misalnya, tuna grahita perlu mendapatkan
perlakuan khusus karena tingkat IQ di bawah standar, berbeda dengan disability tipe lain
56
BAB IV
A. Instrumen Pendidikan
Pendidikan yang ideal akan ditujukan untuk menguntungkan pihak yang paling
berperan di kegiatan belajar mengajar, yaitu siswa. Pendidikan harus terlepas dari
Oleh karena itu, pendidikan seharusnya diciptakan, dilaksanakan dan ditujukan bagi
kepentingan siswa. Guru dan siswa adalah dua elemen pendidikan yang berhadapan langsung
dengan proses belajar dan mengajar sehingga mereka berhak untuk menentukan materi yang
perlu dipelajari. Penghargaan atas aspirasi guru dan siswa di MAN Maguwoharjo ditunjukkan
antara lain dalam penyusunan kurikulum yang melibatkan berbagai stakeholders sekolah,
antara lain guru dan pengurus OSIS Naba Kharisma MAN Maguwoharjo sebagai perwakilan
pihak siswa.
57
Kurikulum MAN Maguwoharjo mengadopsi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
menghargai lokalitas dan aspirasi sekolah. Di dalam pelaksanaan KTSP, guru lebih diberikan
kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa
serta kondisi sekolah berada. Kurikulum yang diadopsi sekolah bersifat desentralisasi
sehingga sekolah memiliki otonomi untuk menentukan pelajaran yang dibutuhkan sekolah
tanpa terlepas dari standar nasional yang ditetapkan pemerintah. Pengembangan perangkat
pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian menjadi wewenang satuan pendidikan
Kurikulum baru yang disusun MAN Maguwoharjo secara substansial berbeda dengan
Maguwoharjo yang baru mengkondisikan siswa untuk mampu mengaplikasikan ilmu dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya di dalam pelajaran bahasa inggris siswa tidak hanya
ditekankan dalam kemampuan grammar namun guru juga mendorong kemampuan berbicara
siswa.57
Walaupun kurikulum yang diterapkan di MAN Maguwoharjo secara garis besar sama
seperti kurikulum yang diterapkan di sekolah umum namun dalam aplikasi pembelajaran
secara fleksibel agar tidak membebani siswa. Misalnya, tidak ada paksaan terhadap siswa
difabel baik tuna netra maupun tuna daksa jika tidak mampu mengikuti praktik pelajaran
tertentu:
56
Tiar. 2008. Tentang Kurikulum Indonesia. http://dedidwitagama.wordpress.com/2008/03/24/ tentang-
kurikulum-indonesia/, diakses tanggal 24 Februari 2009.
57
Substansi materi pelajaran kurikulum 1994 dan sebelumnya berbeda dengan KBK dan KTSP. Kemampuan
siswa dalam mengaplikasikan ilmu menjadi poin penting dalam KBK dan KTSP. Untuk meningkatkan
kemampuan siswa berbicara bahasa inggris, guru-guru bahasa inggris membentuk klub bahasa inggris sebagai
salah satu jenis ekstra kurikuler.
58
Tidak ada konsekuensi nilai kalau siswa tn tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga.
Siswa tidak harus mengganti nilai praktik dengan nilai teori, kecuali guru yang
meminta. Tergantung kebijakan masing-masing guru.
(Bp. Abdul Hadi-guru, 4 Februari 2009)
Proses belajar mengajar dapat dilihat dalam metode yang digunakan dalam kegiatan
belajar mengajar di kelas. Metode mengajar dapat dilakukan dengan ceramah, diskusi, tanya
jawab maupun presentasi yang melibatkan pihak guru dan siswa maupun salah satu pihak
saja. Dalam diskusi dan presentasi, terjadi tukar pendapat antar peserta yang
mengekspresikan kebebasan berfikir seseorang. Metode ini juga membuka peluang siswa
Diskusi merupakan sarana yang tepat untuk memupuk nilai demokrasi di MAN
Maguwoharjo. Di dalam diskusi, siswa difabel (di sekolah disebut ‘tn’) dan nondifabel
(diistilahkan ‘awas’) memiliki hak yang sama dalam berpendapat. Pencarian kebenaran
melalui diskusi dilakukan dengan cara yang menghargai setiap individu, bukannya
pemaksaan kehendak absolut. Guru tidak selalu ‘menang’, siswa juga tidak selalu ‘kalah’.
‘Menang’ dan ‘kalah’ dalam diskusi kelas tergantung dari tingkat pemahaman terhadap suatu
Pengetahuan hanya lahir melalui usaha penemuan dan penemuan ulang, melalui
pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus menerus dan penuh harapan di dunia,
59
dengan dunia dan bersama orang lain.58 Di dalam metode pembelajaran dialogis, guru bukan
sumber belajar yang dominan. Budaya diskusi di kelas membuat guru dan siswa terpacu
untuk mencari sumber pembelajaran selain buku paket, misalnya e-book atau mencari
informasi dengan media internet. Proses belajar tidak berjalan satu arah sehingga anak tidak
pasif dan menyerap materi pelajaran. Di dalam proses pendidikan satu arah, materi pelajaran
(termasuk nilai-nilai) tidak akan terinternalisasi. Bahkan fenomena yang nampak adalah
Partisipasi siswa secara aktif di dalam kelas menunjukkan hubungan yang dialogis
dan tidak otoriter. Guru tidak menjadi sosok menyeramkan yang bercerita di kelas namun
Partisipasi siswa di dalam kelas tidak tumbuh secara kebetulan namun dibudayakan oleh guru
sejak awal pembelajaran (kelas X). Tidak jarang siswa pada tahun pertama (kelas X) masih
pasif karena di SMP/MTs mereka terbiasa dengan metode pembelajaran satu arah. Untuk
merangsang minat siswa berpartisipasi, guru menerapkan reward bagi siswa yang aktif :
Untuk aktif ya diberikan nilai lah. Siapa yang mengeluarkan pendapat apapun,
minimal bertanya kita akan berikan nilai. Kira-kira kapan siswa siap untuk
berdiskusi tanpa imbalan? Kelas dua kira-kira baru mulai. Kelas satu belum, masih
perlu dibimbing.
(Bp. Aris-guru, 22 Februari 2009)
Untuk meningkatkan kemampuan siswa, guru tidak hanya membekali teori mengenai
materi pelajaran namun juga menekankan praktik agar siswa mampu menerapkan ilmu dalam
kehidupan sehari-hari. Setiap siswa, termasuk siswa difabel, berhak dan wajib berlatih untuk
mengaplikasikan ilmu yang diberi guru. Misalnya, di pelajaran Teknologi Informasi dan
58
Paulo Freire. 2008. Op. Cit., hal. 52.
59
Ign. Gatut Saksono. 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Siswa. Yogyakarta : Rumah Belajar Yabinkas,
Cetakan Pertama, hal. 82.
60
Komputer siswa tuna netra wajib melakukan praktik komputer dengan bantuan program
Guru harus menjamin setiap siswa di kelas mendapatkan ilmu secara sama. Terkait
kondisi fisik difabel khususnya tuna netra, guru mengembangkan metode pengajaran di kelas
dengan alat peraga untuk memeragakan konsep-konsep visual yang tidak dapat diakses siswa
tuna netra. Misalnya, untuk menerangkan konsep sinus di pelajaran Matematika guru
benda dan mampu memahami konsep yang diberikan guru walaupun tidak semua konsep
Guru tidak hanya mengenalkan konsep-konsep teori kepada siswa namun juga melatih
sosial. Misalnya, saat pelajaran Sosiologi bab Interaksi Sosial, guru menugaskan siswa untuk
berinteraksi dengan minimal satu orang warga Tajem. Hal ini bertujuan mengenalkan siswa
dengan kehidupan sosial masyarakat lokal Tajem dan menghilangkan sekat antara sekolah
dengan masyarakat. Outing kelas juga bermanfaat untuk menanamkan konsep ilmu secara
Maguwoharjo mengadakan kegiatan ekstrakurikuler pilihan wajib bagi siswa kelas X dan XI.
Kegiatan ekstrakurikuler di MAN Maguwoharjo terdiri dari Pramuka, olahraga (tae kwondo,
tenis meja, voli), tata boga, baca tulis Al Qur’an, dan seni qosidah yang diadakan tiap hari
mulai pukul 15.00 s.d. 16.00 WIB. Kegiatan ekstrakurikuler diadakan dengan maksud
61
Keterampilan yang diajarkan sekolah melalui ekstrakurikuler adalah keterampilan
yang dinilai strategis dari segi ekonomi. Ekstrakurikuler olahraga mencakup olahraga populer
masakan sehari-hari dan masakan komersial. Tidak ada pembedaan hak siswa di dalam
mengakses ekstrakurikuler. Siswa tuna netra pun berhak mengikuti ekstrakurikuler tata boga
kebijakan sekolah untuk meningkatkan kemampuan siswa di dunia kerja karena mayoritas
lulusan MAN Maguwoharjo terjun ke dunia kerja setelah menyelesaikan studi. Sekolah
menilai keahlian praksis yang dimiliki siswa akan membuat siswa memiliki nilai tambah
daripada sekedar lulusan sekolah menengah dan menciptakan lulusan yang berjiwa
A. 4. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi yang dilakukan saat sekolah masih berbentuk PGALB bagian A adalah ujian
teori dan praktik. Saat ini evaluasi di MAN Maguwoharjo dilaksanakan dalam berbagai
Evaluasi oleh guru meliputi ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir
semester, pemberian tugas serta pengamatan sikap, perilaku dan budi pekerti. Ulangan harian
bagi siswa tuna netra dilaksanakan dengan cara soal dibacakan lalu siswa menjawab dalam
tulisan braille sedangkan tugas yang diberikan kepada siswa (difabel dan nondifabel) antara
lain berwujud pekerjaan rumah, latihan soal (LKS), pembuatan portofolio, dan pembuatan
62
artikel bagi siswa jurusan IPA. Evaluasi dan pemberian tugas diberikan kepada siswa difabel
Kalau ada PR yang harus dikerjakan cepat kita juga harus bikin mbak, sama kayak
teman lain. Kalau kepepetnya enggak garap, kita alasan sama guru, enggak ada yang
bacain. Guru ngerti koq. Tapi ya enggak dibiasain kayak gitu.
(Wd-siswa, 13 Februari 2009)
Persamaan hak dan kewajiban siswa didasari ideologi pendidikan inklusif yang dianut
MAN Maguwoharjo, yaitu persamaan kemampuan siswa difabel dan nondifabel dalam segi
intelegensia. Tidak boleh ada pembedaan hak dan kewajiban antara siswa difabel dan
nondifabel namun jika siswa difabel memerlukan pelayanan khusus terkait kondisi fisiknya,
Evaluasi yang dilakukan oleh sekolah dilakukan dalam bentuk uji kompetensi
madrasah, misalnya ujian tulis dan praktik pada rumpun pelajaran Agama Islam (Akidah
Akhlak, Fiqih, Al Qur’an Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam). Sedangkan penilaian oleh
pemerintah dilaksanakan dalam bentuk ujian nasional mata pelajaran tertentu dari kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.61 Ujian nasional yang mengacu pada
Kurikulum Nasional dilaksanakan dalam bentuk Ujian Akhir Nasional (UAN). Dalam
pelaksanaan ujian, siswa tunanetra membaca soal UAN dalam tulisan braille, bukan
dibacakan oleh guru. Penambahan waktu 20 menit dari waktu ujian yang berdurasi 120 menit
belum banyak membantu siswa tuna netra dalam pelaksanaan UAN karena tulisan braille
Evaluasi tingkat nasional (UAN) bukan hal yang mudah bagi siswa tuna netra karena
mereka harus menghafal banyak materi tanpa bisa membaca buku paket seperti teman-teman
awas. Terlebih tahun ini syarat kelulusan adalah memiliki nilai minimal 5,5. Ujian tertulis
juga terkadang memiliki soal berupa gambar, bagan atau tabel yang menambah kerepotan
61
Kerangka Dasar Kurikulum MAN Maguwoharjo Sleman
63
siswa tuna netra karena harus mengilustrasikan terlebih dahulu. Namun, siswa tuna netra
mengaku lebih menyukai ujian tertulis dibanding lisan karena tidak akan menunjukkan
penilaian hasil belajar/evaluasi di setiap mata pelajaran dan muatan lokal di MAN
Maguwoharjo meliputi ranah afektif, kognitif, dan psikomotor. Siswa diharapkan tidak hanya
mampu memahami materi pelajaran namun juga mampu mengaplikasikan ilmu secara praksis
di kehidupan sehari-hari. Misalnya, siswa harus terampil berbicara bahasa Inggris, tidak
Maguwoharjo yang harus memiliki komitmen untuk memberikan pendidikan bagi seluruh
siswa (education for all). Tidak mudah mengambil peran sebagai subjek dalam sistem
pendidikan nasional yang sentralistis dan birokratis namun guru di MAN Maguwoharjo
mencoba untuk menciptakan iklim demokrasi dengan metode pembelajaran diskusi kelas,
kecuali bagi siswa kelas XII saat semester dua karena pembelajaran di kelas lebih difokuskan
Tenaga pengajar di MAN Maguwoharjo terdiri dari 27 guru reguler dan 2 guru
pendamping khusus (GPK), yaitu Bp. Haminarto dari SLB Wiyata Dharma 2 Tempel dan Ibu
Dra. Marginah dari SLB Yapenas Condong Catur. Sekolah inklusi ini terhitung cukup
memfasilitasi siswa difabel karena tidak sedikit sekolah inklusi yang belum memiliki special
teacher untuk mendampingi siswanya. Adapun jadwal pendampingan siswa difabel oleh
GPK di sekolah adalah hari Rabu, Kamis dan Jumat oleh Ibu Mardinah serta hari Kamis oleh
64
bapak Haminarto. GPK melaksanakan pendampingan di sekolah pada saat istirahat, pulang
sekolah atau sore hari, tergantung kesiapan siswa. GPK berperan penting sebagai mediator
antara siswa dengan guru reguler. Pada aplikasi pembelajaran sehari-hari siswa tuna netra
menulis dalam tulisan braille, termasuk dalam ulangan. GPK berperan sebagai translator
yang menerjemahkan tulisan braille ke dalam tulisan latin untuk kemudian diperiksa guru
reguler. Hal ini disebabkan tidak banyak guru reguler yang menguasai tulisan braille.
GPK di MAN memiliki tugas mendampingi siswa difabel, misalnya membantu jika
mereka mengalami kesulitan atau belum memahami substansi pelajaran dengan cara
merekam catatan/materi pelajaran untuk didengarkan siswa di rumah. GPK juga mendatangi
rumah siswa untuk memberi memberi penjelasan mengenai suatu materi pelajaran yang telah
diberi guru mata pelajaran (mengulang materi) setiap hari Sabtu sore atau menyesuaikan
kebutuhan siswa. Jika GPK tidak datang padahal siswa harus belajar atau membuat PR, siswa
difabel lah yang harus aktif dalam mencari orang yang mau membantu, misalnya teman atau
tetangga yang awas. Hal ini dipercaya akan mendorong siswa difabel untuk berinteraksi
pendamping khusus:
Kalau ada PR mendadak dan GPK tidak bisa membantu ya siswa tn yang harus aktif
mencari orang yang mau membacakan. Bisa teman atau tetangganya. Memang
sengaja, pendidikan inklusi kan tidak hanya di sekolah tapi juga di masyarakat. Mau
tidak mau itu akan membuat siswa kenal dengan masyarakat.
(Bp. Marijo-guru, 17 Februari 2009)
Fasilitasi GPK yang dimulai sekolah sejak tahun 2004 sedikit banyak mempengaruhi
sosialisasi siswa difabel dengan orang awas. Terlepas dari peran GPK yang berperan
mempermudah akses siswa terhadap materi pelajaran bertulisan latin, beberapa pihak
65
Zaman saya dulu enggak ada GPK mbak, jadi saya berusaha minta bantuan teman.
Teman saya banyak, dari luar kelas juga ada karena tiap istirahat saya jalan-jalan.
Kalau ada PR essai, pagi-pagi saya minta tolong teman untuk translate ke tulisan
latin. Kalau sekarang saya lihat sudah beda sekali. Sosialisasinya kurang dibanding
saya dan teman-teman dulu.
(W-alumni, 27 Februari 2009)
Menurut saya GPK itu malah bikin anak-anak jadi enggak mandiri. Saya melihat
mereka (anak-anak tuna netra) itu biasa, sama saja seperti kita jadi enggak ada yang
istimewa. Kalau enggak ada GPK kan mereka bisa usaha minta tolong ke saya atau
teman untuk membacakan atau merekam materi. Yang penting kan itu, mereka bisa
sosialisasi sama orang awas.
(Ibu A-wali, 3 Maret 2009)
Sekolah memiliki beberapa kebijakan tertulis dan tidak tertulis yang berkaitan dengan
siswa difabel:
Menurut rancangan kurikulum sekolah, penjurusan bagi siswa dari kelas X ke kelas
minat.62 Jadi, penjurusan siswa ke jurusan IPA atau IPS ditentukan oleh kemampuan dan
jurusan IPS dengan alasan lebih mudah diikuti, tidak seperti jurusan IPA yang banyak
memiliki konsep sains yang susah untuk dipahami siswa tuna netra, misalnya konsep
tentang cahaya. Padahal, tidak sedikit siswa tuna netra yang menyukai dan mampu
Banyak anak tn yang pintar IPA mbak tapi karena diarahkan ke IPS ya masuk IPS.
Diberi pengertian guru kalau di IPA begini-begini. Kendalanya memang praktikum.
Seandainya bisa cuma teori pasti bisa... ya, seandainya saja.
(Sl-siswa, 18 Februari 2009)
62
Kerangka Dasar Kurikulum, Op.Cit.
66
Katanya dulu ada anak tn yang pintar matematika, malah nomor satu di kelas tapi
karena tuna netra jadi ga bisa masuk IPA. Aku juga pernah tanya,”Kenapa tho ga bisa
masuk IPA?”. Ternyata kendalanya praktik.
(M-siswa, 22 Februari 2009)
Sekolah telah mengusahakan pembelajaran matematika dan IPA yang maksimal bagi
siswa tuna netra dengan metode peragaan namun sekolah belum memberi ruang kepada
siswa tuna netra untuk menampung bakat di bidang IPA. Hal ini terkait dengan sistem
evaluasi yang harus ditaati sekolah, yaitu UAN (Ujian Akhir Nasional) dan ujian praktik.
Padahal siswa tunanetra tidak mampu melakukan praktikum IPA seperti melakukan
Tujuan awal PPI sebenarnya ditujukan untuk membimbing siswa yang memiliki
Maguwoharjo, PPI diberikan kepada siswa tuna netra dalam bentuk bimbingan khusus
belajar (pengayaan materi dan persiapan ujian) oleh guru reguler dan guru pembimbing
Mata pelajaran yang diberikan dalam PPI tidak ditentukan oleh sekolah. Guru
menerangkan pelajaran yang dipilih siswa difabel dengan tema yang diinginkan atau
belum dipahami siswa. Jadwal pelajaran yang fleksibel membuat guru harus selalu siap
67
Sumber : Dokumentasi penulis, Februari 2009
Sarana dan prasarana pendidikan bagi siswa difabel selain ditujukan untuk
meningkatkan akses siswa terhadap bangunan fisik juga untuk memudahkan siswa
mengakses ilmu. Oleh karena itu, sekolah berupaya melengkapi fasilitas yang
diperuntukkan khusus bagi siswa difabel dengan cara aktif menjalin kerjasama dengan
pihak luar.
Sarana fisik yang sedang dalam tahap pembangunan dan ditujukan untuk siswa
difabel antara lain kamar kecil khusus difabel. Kamar kecil ini memiliki desain khusus
yang memudahkan akses tuna daksa dan tuna netra. Sedangkan sarana yang berfungsi
memudahkan siswa difabel dalam mengakses ilmu antara lain komputer tuna netra.
Komputer ini berupa komputer biasa yang dilengkapi software JAWS yang dapat
sekolah bekerjasama dengan Departemen Agama juga menyediakan Al Qur’an braille bagi
68
Sumber : Dokumentasi penulis, Februari 2009
ditunjukkan dari penguasaan ilmu pengetahuan dan keluasan wawasan siswa saja namun juga
tampak pada pola pikir, perilaku, dan daya kreasi siswa setelah mengikuti pembelajaran di
institusi pendidikan tersebut. Output proses pendidikan dalam segi kognitif misalnya
ditunjukkan dengan nilai rapor dan NEM (Nilai Ebtanas Murni), sedangkan hasil dari segi
afektif tampak dari peningkatan kemampuan siswa untuk hidup bersama di dalam
masyarakat. Output proses pendidikan ini dapat dilihat saat siswa masih mengikuti
pembelajaran dan beradaptasi dengan lingkungan sosial sekolah maupun setelah siswa
Prestasi akademik bukan hanya milik siswa biasa namun juga siswa berkebutuhan
khusus. Siswa difabel membuktikan keterbatasan kemampuan fisik tidak identik dengan
kebodohan, bahkan siswa difabel mampu melebihi prestasi teman-temannya. Beberapa siswa
tunanetra berhasil meraih peringkat pertama di kelas dan menjadi juara satu paralel
69
matematika di sekolah, bahkan ada siswa tuna netra yang berhasil mendapat beasiswa. Dilihat
dari perolehan NEM, siswa difabel memiliki nilai yang memuaskan dengan indikasi tingkat
kelulusan difabel sebesar 100%, sedangkan secara umum tingkat kelulusan sekolah mencapai
Dulu kalau lihat orang tuna netra saya kasihan. Sekarang juga masih kasihan tapi
dikit. Ternyata banyak yang pintar. Kita belum paham, dia sudah.
(M-siswa, 23 Februari 2009)
Beda banget mbak. Kirain yang namanya orang enggak bisa ngelihat itu prestasinya
kurang. Karena apa? Ya, dia enggak bisa melihat jadi enggak bisa maksimal gitu.
Tapi kenyataannya sangat jauh. Dulu juara satu paralel malah tuna netra. Terus dia
masuk UIN tanpa tes, gratis lagi.
(C-siswa, 4 Februari 2009)
mengikuti pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komputer) bersama teman sekelasnya.
Siswa tunanetra juga memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mempermudah akses mereka
terhadap ilmu pengetahuan. Walkman digunakan untuk merekam dan mendengar materi
pelajaran yang disampaikan guru, scanner dan komputer digunakan untuk membaca teks
yang telah dipindai. Sedangkan untuk mendukung keluasan wawasan siswa tunanetra,
sekolah mengusahakan pengadaan literatur braille berupa buku pelajaran, buku umum, dan
Suatu sekolah merupakan sebuah kebersamaan dari para pelajar yang harga-
menghargai satu sama lain.63 Pada awal pembelajaran, saat siswa kelas X mengikuti Masa
Orientasi Siswa (MOS) dan merasakan bersekolah dalam kelas yang beragam untuk pertama
63
J. Drost, SJ. 2005. Dari KBK Sampai MBS (Esai-Esai Pendidikan). Jakarta : Penerbit Buku Kompas, Cetakan
Pertama, hal 57.
70
kalinya, guru melakukan sosialisasi mengenai keberagaman di antara siswa. Sosialiasi
mengenai keberagaman dan inklusivitas pada awal pencampuran siswa biasa dengan siswa
Saya kira itu tidak terlalu sulit dan tidak perlu perlakuan khusus. Sekedar informasi
saja barangkali. Cukup diberitahu saja,”Disini ada anak tuna netra dan kalian sebagai
siswa awas harus bersyukur, bukan hanya berterima kasih tapi dalam bentuk
bantuan kepada tuna netra dalam mengikuti pelajaran.”
(Bp. Abdul Hadi-guru, 3 Februari 2009)
Untuk adaptasi, untuk yang sekolah disini kan mereka sudah menginjak dewasa
jadi adaptasi sudah tidak begitu susah.
(Ibu Mardinah-guru, 6 Februari 2009)
Penerimaan siswa terhadap kondisi sekolah yang plural tidak hanya karena dorongan
guru dan sekolah namun juga kesadaran diri siswa untuk saling menghargai sesama manusia.
Interaksi sosial siswa difabel dan nondifabel tidak pernah mengalami masalah serius.
Hubungan siswa difabel-nondifabel berjalan normal sebagai teman sebaya, bahkan siswa
Kalau ejek-ejekan sudah biasa mbak tapi untuk guyon. Kalau ada yang ejek tentang
fisik ya dibalas,”mBangane kowe, iso ndelok tapi kaya ngono”. Enggak ada yang
sakit hati soalnya sudah tahu kalau cuma guyon sesama teman. Wong aku juga ikut
ngece koq.
(Wd-siswa, 13 Februari 2009)
Kalau gelut antarsiswa ya pernah ada, yang laki-laki. Tapi kalau anak awas
dengan tuna netra malah belum pernah. Bahkan yang paling nakal kalau sama tuna
netra malah baik banget.
(M-siswa, 23 Februari 2009)
Saya rasa sampai sekarang tidak ada masalah antara anak awas dengan tuna netra.
Dan berjalan dengan baik menjadi suatu pendidikan yang namanya pendidikan
toleran.
(Bp. Abdul Hadi-guru, 3 Februari 2009)
siswa untuk membentuk jadwal piket membacakan bagi siswa tuna netra, sekolah juga pernah
71
melaksanakan training yang bertujuan meningkatkan kualitas hubungan antarelemen sekolah
di dalam pendidikan inklusif. Pada awal tahun pelajaran, guru menginstruksikan siswa untuk
membagi jadwal piket harian dengan tugas membacakan materi pelajaran di buku maupun di
papan tulis bagi siswa tuna netra. Siswa tuna netra pun diwajibkan untuk mengikuti pelajaran
seperti teman-teman sekelasnya dengan bantuan dari guru dan teman nondifabel jika siswa
difabel mengalami kesulitan. Bagi Freire, dialog antarmanusia harus berdasarkan pada
kepekaan terhadap kemampuan bawaan di dalam tiap manusia untuk menemukan dirinya
sendiri.64 Untuk menemukan realita diri, manusia memerlukan sifat-sifat kerendahan hati
untuk menganggap orang lain sederajad walaupun berasal dari minoritas, kepercayaan bahwa
manusia pada hakikatnya harus mengubah dunia menjadi lebih kaya, serta percaya dan kasih
Maguwoharjo antara lain dengan cara meningkatkan kerjasama siswa tn dengan siswa awas
Siswa tn tetap ikut pelajaran olahraga mbak. Dibantu kita yang awas. Misalnya kalau
pas olahraga, lari kita gandeng. Pertama ya sebel, ngerasa direpotin banget deh,
ngapain sih harus gandeng segala. Tapi lama-lama biasa, mulai tumbuh empati.
Wong namanya juga sesama teman. Gimana pandangan kamu sama orang tuna
netra di luar sekolah? Sekarang kalau lihat orang tuna netra jadi gimana gitu. Aku
juga punya teman kayak gitu di sekolah. Aku jadi ngerasa lebih bersyukur.
(F-siswa, 9 Februari 2009)
64
Ign. Gatut Saksono. 2008. Pendidikan yang Memerdekakan Siswa. Yogyakarta : Rumah belajar Yabinkas,
Cetakan Pertama, hal.6.
72
Sumber : Dokumen MAN Maguwoharjo, 2009
Siswa difabel tidak disatukan dalam satu kelas melainkan dipisah di beberapa kelas.
Pemisahan ini bertujuan menghilangkan anggapan bahwa siswa difabel hanya akan bergaul
dengan sesama difabel. Pemisahan kelas juga merupakan strategi agar setiap siswa awas di
kelas yang berlainan turut merasakan kelas ‘campuran’ dan berpartisipasi dalam praksis
pendidikan inklusif di kelas. Selain itu, sekolah mempercayai hasil pendidikan inklusi akan
lebih dirasakan siswa jika mereka berada di dalam lingkungan sosial yang plural:
Kebijakan sekolah yang memungkinkan setiap siswa awas bergaul dengan siswa
Pemisahan itu bertujuan biar enggak ada gap, anggapan kalau tuna netra pasti
berteman dengan tuna netra. Kadang teman bilang,”Kae kancamu” kalau melihat tuna
netra lain. Padahal kan enggak mesti tuna netra kenal dengan tuna netra, wong enggak
sekelas.
(W-alumni, 26 Februari 2009)
73
Sumber : Dokumen MAN Maguwoharjo, 2009
Pendidikan yang dalam proses belajar mengajarnya ‘memisahkan’ siswa berdasar ciri fisik
sangat mustahil menyiapkan siswa untuk terjun ke dalam masyarakat yang majemuk.
dikehendaki dalam tingkah laku individu dan kelompok hanya akan berhasil melalui interaksi
seseorang dengan perwujudan dan benda sekitar serta dengan alam sekeliling, tempat ia
hidup.65
Esensi filosofi pendidikan menurut Paulo Freire adalah interpretasi terhadap realitas
serta konsep konsientasi yang menyentuh aspek hati nurani dan kepedulian sosial. Selain
sosial kemanusiaan.66 Pendidikan tidak membuat peserta didik mampu menghafal namun juga
memahami realitas diri dan lingkungannya. Konsientasi yang diharapkan Freire adalah
mengarahkan peserta didik kepada komitmen perubahan sosial, yaitu di dalam diri mereka
ditumbuhkan kesadaran untuk berpartisipasi dalam perjuangan bersama dan bagi mereka
74
Dulu saya sempat minder, apa iya saya mampu bersaing sama teman-teman awas?
Aku iki sopo tho? Tapi lama-lama minder itu hilang. Halah, jebul kaya ngene tho.
Podo wae.
(Wd-siswa, 13 Februari 2009)
Dulu saya minder, enggak percaya diri bersaing sama awas. Waktu di SLB
komunitas saya ya tuna netra. Waktu itu saya ngerasa orang awas sedikit yang
peduli. Ternyata enggak juga.
(W-alumni, 26 Februari 2009)
Pendidikan inklusif diakui siswa difabel membawa dampak positif bagi kesiapan
mereka untuk hidup di tengah masyarakat umum. Pendidikan inklusif membiasakan siswa
difabel berinteraksi dengan setiap orang dan mengandung upaya memandirikan siswa
sehingga mereka tidak terus menerus terisolasi dari kehidupan masyarakat plural.
Metode pembelajaran dua arah yang diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar
berdampak pada hubungan siswa dan guru di dalam dan di luar kelas. Hubungan dialogis
yang terjadi diantara siswa dan guru yang akrab tidak hanya terjalin di dalam kelas namun
Saya rasa tidak ada perbedaan hubungan guru dan murid di dalam atau luar kelas.
Ya sama saja mbak.
(Bp. Aris-guru, 23 Februari 2009)
Kayanya sama saja mbak, di kelas atau di luar guru-murid akrab. Kalau pelajaran
bisa gojeg, guru juga enggak marah asal siswa tetap konsen. Sering ada yang
nyeletuk-nyeletuk tapi guru enggak marah, asal enggak terlalu ramai.
(M-siswa, 23 Februari 2009)
Tidak sedikit guru yang mengaku belum mengenal pendidikan inklusif sebelum
mengajar di MAN Maguwoharjo. Pengalaman mengajar di kelas campuran pun menjadi hal
Saya baru tahu tentang inklusi di sekolah ini. Waktu awal mengajar saya kadang
lupa dan mengajar dengan cepat. Tahu-tahu ingat, oh ya ada yang tidak bisa melihat.
Saya lalu pelan-pelan, saya ulang. Lama-lama jadi terbiasa mengajar siswa tn.
(Bp.Aris-guru, 23 Februari 2009)
75
Guru yang mengajar di MAN Maguwoharjo dilatih untuk teliti dan memperhatikan
kebutuhan dan kemampuan setiap siswa dalam menuntut ilmu. Guru harus menjamin setiap
siswa memiliki akses yang sama besar dalam proses pembelajaran sehari-hari dengan
menerapkan hubungan yang dialogis dan akrab namun masih ada sebagian kecil guru yang
belum menerapkan hubungan dialogis dalam berhubungan dengan siswa, bahkan tidak bisa
menerima kritik dari siswa. Untuk menghadapi guru semacam ini, biasanya siswa wadul ke
wali kelas atau guru lain yang dianggap dekat dengan siswa:
Kita bilang ke guru,”Pak, guru ini koq begini-begini tho? Mbok tolong
dikandhani, kami enggak berani”. Nanti guru yang menyampaikan. Pak Guru juga
bilang, ”Kalian bilang sendiri enggak kenapa-kenapa kan? Asal ngomongnya
benar.” Tapi kami enggak enak.
(M-siswa, 23 Februari 2009)
Dalam kasus tertentu yang dinilai siswa keterlaluan, kritik terhadap guru yang otoriter
dilakukan secara spontan oleh siswa yang dianggap paling berani atau bersama-sama dengan
teman lain:
Paling mereka ngomong,”Mbok ora koyo ngono Pak... guru koq koyo ngono”.
Mereka kan yang paling berani. Tapi ya enggak sering, nek sudah keterlaluan saja.
(M-siswa, 23 Februari 2009)
Wah, kalau bapak itu harus barengan mbak ngomongnya. Nek enggak, enggak
ngaruh. Omongannya juga pedes banget, enggak peduli sama tuna netra atau bukan,
cowok atau cewek.
(Fd-siswa, 1 Maret 2009)
Guru memiliki peran signifikan dalam mempersiapkan siswa difabel bersekolah di sekolah
campuran karena mayoritas siswa difabel pertama kali mengenal pendidikan inklusi di MAN
Maguwoharjo. Guru harus memastikan siswa difabel siap mengikuti proses pembelajaran di
lingkungan sosial yang plural karena sebelumnya mereka bersekolah di sekolah luar biasa
Sebelum anak-anak masuk saya tanting.”Kamu sekolah di sekolah umum, harus siap
mental. Kamu disana bersaing dengan anak-anak normal. Nanti disana, namanya
76
anak banyak, kadang-kadang ada yang njlomprongke, ada yang suka, ada yang
benci, ada yang sering bantu, ada yang cuek, macam-macam”. Rata-rata anak bisa
menerima itu dan bisa memilih kawan yang cocok dan bisa menjadi tutor sebaya.
(Ibu Mardinah-guru, 6 Februari 2009)
inklusif dan pendidikan luar biasa, yaitu kemandirian siswa difabel untuk terjun ke
masyarakat lebih terasah di sekolah inklusif. Penulis juga menemukan beberapa perbedaan
Tabel 4
Perbedaan Sekolah Inklusi dan Sekolah Konvensional
77
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Hubungan otentik yang dicirikan oleh kepercayaan dan persahabatan antara pengakar
dan pelajar merupakan syarat mutlak untuk setiap pengembangan menuju komitmen kepada
nilai-nilai67. Cinta kasih dan perhatian pribadi terhadap tiap-tiap pelajar merupakan unsur
Perbedaan kondisi fisik seringkali membuat siswa difabel tidak memiliki kepercayaan
diri/minder saat pertama kali bergabung dengan lingkungan sekolah yang majemuk. Padahal
tidak sedikit siswa difabel yang memiliki keahlian yang patut dibanggakan. Guru memiliki
peran penting dalam pembentukan kepercayaan diri siswa difabel baik di dalam lingkungan
keahliannya di depan orang lain. Guru di MAN Maguwoharjo tidak hanya berperan sebagai
fasilitator belajar namun juga sebagai motivator yang jeli menangkap bakat siswa dan
Saya sering ajak dia keluar main musik. Kemarin juga barusan main di SLB, diajak
ibu Mardinah. Sekarang dia sudah PD main di depan orang, malah pernah main di
depan pejabat.
(Bp. Abdul Hadi-guru, 17 Februari 2009)
Usaha guru memotivasi kepercayaan diri siswa diakui berhasil oleh siswa difabel.
67
Ibid
78
Dulu pernah jantungku deg-degan waktu main band, aduh, kaya mau kumat. Masa
lagi main ambruk? Sekarang sudah biasa, enggak deg-degan lagi. Soalnya sudah
sering main di depan orang.
(Z-siswa, 13 Februari 2009)
Gambar 6. Siswa difabel bermain musik di pameran inklusi Sekaten 17-18 Februari 2009
dan nonakademik, misalnya di bidang seni musik, olahraga, teknologi informasi dan bidang
keterampilan lain. Namun siswa tuna netra diutamakan untuk terampil di bidang seni musik.
Alasannya, siswa tunanetra memiliki kepekaan indera pendengaran yang lebih tajam dari
siswa awas. Siswa tunanetra juga mengakui mereka lebih mudah untuk mengaktualisasikan
79
Sumber : Dokumen MAN Maguwoharjo, 2009
MAN Maguwoharjo
(ekstern).
untuk menempatkan difabel sejajar dengan dirinya namun masih ada sebagian kecil yang
masih memandang difabel sebagai subordinat. Hal ini disebabkan konstruksi pola pikir
masyarakat yang belum sepenuhnya terlepas dari stereotype mengenai difabel. Di dalam
masyarakat masih ada anggapan bahwa tuna netra adalah golongan yang harus dikasihani,
tuna netra tidak lebih pintar dari nondifabel serta adanya anggapan bahwa tuna netra hanya
menciptakan gap antara difabel dengan nondifabel. Stereotype yang masih melekat pada tuna
80
netra menjadi kontradiktif bagi pendidikan inklusi yang bertujuan ‘membebaskan’ siswa tuna
Sikap pakewuh yang ditampilkan siswa awas pada awal pembelajaran juga menjadi
pengucilan minoritas. Siswa difabel juga belum memiliki pengalaman bergaul dengan siswa
awas, bahkan cenderung minder. Sikap ini terlihat di awal proses pencampuran siswa difabel
dan nondifabel serta menghilang seiring rutinnya interaksi mereka sebagai teman sebaya di
sekolah.
keberhasilan pendidikan. Minimnya buku braille membuat siswa tuna netra tidak memiliki
banyak pilihan buku yang dapat dibaca. Buku paket yang ditulis dalam tulisan braille hanya
buku matematika dan bahasa inggris, termasuk kamus. Bantuan pemerintah yang masih
minim serta harga buku braille yang tidak bisa dibilang murah menjadi penyebab pengadaan
buku braille terhambat. Pembuatan buku braille pun tidak secepat buku bertulisan latin.68 Hal
ini menjadi pertimbangan sekolah dalam pengadaan buku paket braille karena perubahan
kurikulum nasional yang relatif cepat berdampak pada perubahan buku acuan pula.
maksud mewadahi aspirasi sekolah dan keberagaman menjadi kontras dengan tujuan awalnya
karena pemerintah masih turut campur dalam pelaksanaan pendidikan dengan menekankan
68
Menurut Bapak Abdul Hadi (wawancara 3 Februari 2009), pengadaan buku paket braille di MAN
Maguwoharjo tidak secepat pengadaan buku paket bertulisan latin. Biasanya buku braille baru terbit tiga tahun
setelah buku latin terbit.
81
evaluasi pendidikan yang bersifat nasional, Ujian Akhir Nasional (UAN). KTSP yang
ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik mengenai hal-hal yang dibutuhkan
siswa atau menjadi ciri khas suatu sekolah/daerah menjadi kontradiktif karena pada akhir
ditetapkan pemerintah.
yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat. Namun pendidikan inklusi di MAN Maguwoharjo
belum banyak melibatkan peran orangtua siswa. Latar pendidikan orangtua yang rendah
pendidikan anak kepada pihak sekolah. Hal ini menjadi penghambat terselenggaranya
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian
mengistimewakan siswa difabel namun memberi hak dan kewajiban yang sama kepada
seluruh siswa. Kedua, pendidikan inklusif dikonstruksikan sebagai pendidikan yang dapat
82
diakses seluruh anak. Sekolah memberi kesempatan bagi siswa berkebutuhan khusus untuk
menimba ilmu di sekolah reguler dengan memberi kemudahan pada seleksi masuk dan
evaluasi. Instrumen pendidikan ini memiliki peran khas masing-masing namun saling terkait
keberagaman di dalam masyarakat. Peserta didik diajarkan untuk menerima dan menghargai
setiap elemen masyarakat dalam kedudukan yang sejajar. Melalui pendidikan inklusif siswa
dikondisikan untuk memiliki kepekaan dan empati terhadap siswa berkebutuhan khusus.
B. Catatan Kritis
Penelitian ini merupakan hasil observasi dan wawancara peneliti terhadap elemen-
elemen sekolah MAN Maguwoharjo dengan metode studi kasus oleh karena itu penelitian ini
tidak bertujuan membuat generalisasi statistik. Penelitian ini melihat input, proses, output
pendidikan beserta latar belakang sekolah dan supporting system yang menunjang
Terdapat beberapa hal penting yang penulis kritisi dalam penelitian ini. Penulis
melihat sekolah memiliki kebijakan khusus siswa difabel yang dalam pandangan penulis
masih bias dengan konteks keberagaman. Misalnya kebijakan penjurusan IPS bagi siswa
83
tunanetra. Sekolah belum menyediakan ruang yang cukup untuk mengembangkan bakat
siswa tunanetra di bidang IPA. Kesulitan dalam mengajarkan konsep visual IPA telah
diantisipasi sekolah dengan pembuatan alat peraga pendidikan namun sekolah tidak mampu
menerapkan sistem evaluasi UAN (Ujian Akhir Nasional) yang mewajibkan ujian praktik
bagi seluruh siswa jurusan IPA. Ujian praktik berupa percobaan-percobaan sains ini tidak
Selain itu, sekolah memberikan fasilitas GPK (Guru Pembimbing Khusus) bagi siswa
difabel sejak tahun 2004. Fasilitas yang diharapkan membantu siswa difabel dalam proses
pendidikan ini dinilai menyebabkan siswa difabel tergantung dengan keberadaan GPK.
Kebijakan ini juga dituding beberapa pihak sebagai penghambat sosialisasi siswa difabel
Maguwoharjo sudah berjalan dengan baik namun akan semakin berkualitas jika setiap elemen
masyarakat, guru dan siswa perlu bekerjasama dalam mewujudkan pendidikan inklusif
dengan menerapkan ideologi inklusif di dalam kurikulum, metode pengajaran, evaluasi, serta
pendidikan yang belum banyak dikaji. Peneliti memandang perlu diadakan kajian mengenai
pendidikan inklusif dari bidang kajian sosiologi, psikologi dan pedagogi untuk meningkatkan
84
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta : Granit, Edisi Pertama.
Assegaf, Abd. Rahman. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan : Tipologi Kondisi, Kasus dan
Konsep. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta : Kompas, Cetakan
Pertama.
85
Baker, Therese L. 1999. Doing Social Research. 3rd edition. Singapore : McGraw-Hill.
Darmaningtyas. 1999. Pendidikan Pada dan Setelah Krisis (Evaluasi Pendidikan di Masa
Krisis). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama.
Holliday, Adrian. 2002. Doing and Writing Qualitative Research. London : Sage Publications
Ltd.
2005. Dari KBK Sampai MBS (Esai-Esai Pendidikan). Jakarta : Penerbit Buku Kompas,
Cetakan Pertama.
Kartono, Kartini. 1992. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional. Jakarta :
Pradnya Paramita, Cetakan Pertama.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik : Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur. Yogyakarta : Lkis, Cetakan Pertama.
Marzuki. 2000. Metodologi Riset. Yogyakarta : Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi UII,
Cetakan Ketujuh.
86
Mintara, Agus. 2001. Sekolah Atau Penjara. Basis No. 01-02, Tahun ke-50, Edisi Januari-
Februari.
Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Keempat.
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara,
Cetakan Pertama.
Ptu. 2008. Jumlah Sekolah Minim, Banyak Anak Difabel Tidak Bersekolah. Diakses dari
www.bernas.co.id, tanggal 20 April 2009.
Silverman, David. 2005. Doing Qualitative Research : A Practical Handbook. London : Sage
Publications Ltd, Edisi Kedua.
Sudiarja, A. 2001. Pendidikan Radikal tapi Dialogal. Basis No. 01-02, Tahun ke-50, Edisi
Januari-Februari.
Sufyanto. 2007. Refleksi Hardiknas, Politik Pendidikan Tanpa Humanitas. Dimuat di Harian
Surya tanggal 1 Mei 2007.
Suyanto, Bagong dan Sutinah (Editor). 2007. Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif
Pendekatan. Jakarta : Kencana, Edisi pertama, Cetakan Ketiga.
Tilaar, H.A.R. 2002. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Ketiga.
87
Wahyono, Hadi. 2009. Pengertian Penelitian Studi Kasus.
http://penelitianstudikasus.blogspot.com, diakses tanggal 21 April 2009.
Wiryotenoyo, Broto Semedi. 1984. Hidup Bersama Orang Lain. Gema No.27, Edisi
Desember.
Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus : Desain dan Metode. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
Cetakan Kedelapan, Edisi Pertama.
88