You are on page 1of 26

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia dalam tubuhnya memiliki sistem mekanisme
kekebalan (imun) yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis dari
luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen yang terdiri dari
infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat
asing lain dan dimusnahkan agar sel organisme dan jaringan tetap sehat
dan dapat berfungsi seperti biasa. Akan tetapi, apabila antibodi yang
berfungsi sebagai sistem kekebalan tubuh salah mengidentifikasi benda
asing dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia dianggap sebagai
benda asing sehingga dirusak oleh antibodi (imun) itu sendiri yang dikenal
dengan nama autoimun. Salah satu gangguan autoimun yang sering terjadi
adalah Rheumatoid Arthritis.
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit progresif yang
berpotensi untuk menyebabkan kerusakan sendi dan kecacatan fungsional.
Rheumatoid Arthritis lebih sering dijumpai pada wanita dengan
perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Rheumatoid Arthritis sering
terjadi pada usia 25 sampai 55 tahun (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
Data statistik mengenai arthritis mencapai 14,3 dari populasi
Amerika Serikat (Gordon, 2002). Di Indonesia sendiri diperkirakan kasus
Rheumatoid Arthritis berkisar 0,1% sampai 0,3% dari jumlah penduduk
Indonesia.
Penderita Rheumatoid Arthritis tidak hanya mengalami gangguan
kenyamanan dan keterbatasan gerak dalam aktivitas sehari-hari tetapi juga
berdampak pada efek sistemik yang dapat menimbulkan kegagalan organ
atau mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri, mudah lelah, perubahan
citra diri serta gangguan tidur. Hal yang terburuk pada penderita
Rheumatoid Arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas
2

kehidupan. Bahkan kasus Rheumatoid Arthritis yang tidak begitu parah
dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk produktif dan fungsional
seutuhnya (Gordon, 2002).
Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam
menangani kasus Rheumatoid Arhritis harus mengenal lebih dalam tentang
Rheumatoid Arthritis.

B. Identifikasi Masalah
Rheumatoid Artritis merupakan penyakit kronis yang dapat
berlangsung selama bertahun-tahun yang bersifat progresif. Penyakit ini
berpotensi menyebabkan kerusakan sendi dan kecacatan fungsional.
Penderita Rheumatoid Arthritis tidak hanya mengalami gangguan
kenyamanan dan keterbatasan gerak dalam aktivitas sehari-hari tetapi juga
berdampak pada efek sistemik yang dapat menimbulkan kegagalan organ
atau mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri, mudah lelah, perubahan
citra diri serta gangguan tidur.
C. Batasan Masalah
Banyaknya jenis dan permasalahan yang timbul pada kasus
Rheumatoid Arthritis, maka penulis membatasi permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini. Adapun masalah yang akan dibahas yaitu
Rheumatoid Arthritis Aktualitas Tinggi.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1. Apa definisi Rheumatoid Arthritis?
2. Bagaimana epidemiologi Rheumatoid arthritis?
3. Apa etiologi Rheumatoid Arhritis?
4. Bagaimana patofisiologi Rheumatoid Arthritis?
5. Apa gejala klinis Rheumatoid Arhritis?
6. Apa klasifikasi Rheumatoid Arhritis?
E. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
3

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang Rheumatoid Arthritis dan
penanganan Rheumatoid Arhritis dengan fisioterapi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi Rheumatoid Arhritis.
b. Mengetahui epidemiologi Rheumatoid Arhritis.
c. Mengetahui etiologi Rheumatoid Arhritis.
d. Memahami Patofisiologi Rheumatoid Arhritis.
e. Mengetahui gejala klinis Rheumatoid Arhritis.
f. Mengetahui Klasifikasi Rheumatoid Arthritis.

F. Manfaat Penulisan Makalah
1. Bagi Institusi Pendidikan
a. Sebagai bahan referensi atau pembanding dalam kegiatan yang
berhubungan dengan kesehatan.
b. Memberikan pandangan fisioterapi dalam menganalisa tentang
Rheumatoid Arthritis
2. Bagi Peneliti
Untuk menambah dan memperdalam ilmu pengetahuan dan akademik
tentang Rheumatoid Arthritis dan mempraktekkan pola berpikir ilmiah
untuk mengetahui atau menganalisa suatu masalah.
3. Bagi Pembaca
Dari hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
referensi dalam kasus Rheumatoid Arthritis.








4

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Definisi Rheumatoid Arthritis
Definisi Rheumatoid Arthritis secara bahasa yaitu kata arthritis berasal
dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang
berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan
rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian
dalam sendi (Gordon, 2002).
Radang sendi atau reumatoid artritis (bahasa Inggris: Rheumatoid
Arthritis, RA) merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat
tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan
peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini menyerang
persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang
pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan
penipisan tulang (Wikipedia, 2012). Suatu sindroma yang kronis dengan
gejala yang tidak khas, menyerang sendi perifer dan simetris. Bila penyakit
berlarut larut, terjadi penghancuran jaringan sendi dan sekitarnya. (Penyakit
Tulang dan Persendian Arthritis atau Arthralgia hal 98, 2006)
Rematoid Artritis adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang
tidak diketahui penyebabnya, dikarakteristikan oleh kerusakan dan proliferasi
membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada tulang sendi,
ankilosis, dan deformitas. (Doenges, E Marilynn, 2000 : hal 859).
Rheumatoid arthritis adalah penyakit peradangan sistemik yang paling umum
yang ditandai dengan keterlibatan sendi simetris.penyakit ekstra - artikular
termasuk nodul rheumatoid, vaskulitis, peradangan mata, disfungsi
neurologis, penyakit kardiopulmonari, limfadenopati, dan splenomegali, bisa
menjadi manifestasi dari penyakit ini. Meskipun biasanya proses penyakitnya
adalah kronis, beberapa pasien akan memasuki remisi spontan.
5

(Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach seventh edition hal 1505,
2008).
B. Epideminologi
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal
dan tersebar luas di seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok
etnik.
Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar
antara 0,3 sampai 2,1 persen). Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada
wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar 3:1. Perbandingan ini
mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.
Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan
wanita. Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih
sering pada orang lanjut usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid
yang dibandingkan dengan 600.000 pria.
C. Etiologi
Penyebab Artritis Reumatoid masih belum diketahui. Faktor genetik
dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya
penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk
kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR
4
dengan
RA seropositif. Pengemban HLA-DR
4
memiliki resiko relatif 4:1 untuk
menderita penyakit ini.
Kecenderungan wanita untuk menderita RA dan sering dijumpainya
remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan terdapatnya
faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh
pada penyakit ini. Walaupun demikian karena pemberian hormon estrogen
eksternal tidak pernah menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan,
sehingga kini belum berhasil dipastikan bahwa faktor hormonal memang
merupakan penyebab penyakit ini.
6

Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab RA.
Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab RA juga timbul karena umumnya
onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh
gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil
dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak
menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan
atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR.
Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah
bakteri, mikoplasma atau virus.
Heat shock protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang
(60 sampai 90 kDa) yang dibentuk oleh sel seluruh spesies sebagai respons
terhadap stress. Walaupun telah diketahui terdapat hubungan antara HSP dan
sel T pada pasien RA, mekanisme ini belum diketahui dengan jelas.
D. Patofisiologi
Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis AR terjadi akibat
rantai peristiwa imunologis sebagai berikut :
Suatu antigen penyebab AR yang berada pada membran sinovial, akan
diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis
sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya
mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah
diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD
4
+ bersama dengan determinan
HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk
suatu kompleks trimolekular. Kompleks trimolekular ini dengan bantuan
interleukin-1 (IL-1) yang dibebaskan oleh monosit atau makrofag selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD
4
+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan
mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) Pada permukaan CD
4
+. IL-2 yang
diekskresi oleh sel CD
4
+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada
permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan
proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD
4
+ ini akan berlangsung terus selama
7

antigen tetap berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD
4
+ yang telah
teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon,
tumor necrosis factor (TNF-), interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4),
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa
mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan
aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1, IL-
2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan
akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam
ruang sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem
komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C
5a
. Komponen-
komplemen C
5a
merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan
permeabilitas vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear
(PMN) dan monosit ke arah lokasi tersebut. Pemeriksaan histopatologis
membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini dijumpai pada
AR adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial,
infiltrasi sel PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh
pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas, leukotrien,
prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin) yang akan
menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang Radikal oksigen bebas dapat
menyebabkan terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan
terjadinya penurunan viskositas cairan sendi. Selain itu radikal oksigen bebas
juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E
2
(PGE
2
) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat
merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan
TNF. Rantai peristiwa imunologis ini sebenarnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur
8

persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak
terhentinya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan oleh
terdapatnya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi
terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90 % pasien AR. Faktor
reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi
sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan
kompleks imun juga menyebabkan terjadinya degranulasi mast cell yang
menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai enzim proteolitik
serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan
kompleks imun menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen
yang paling destruktif dalam patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan
granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan
berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah perbatasan rawan
sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.
E. Gejala Klinis
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan pada penderita
reumatoid artritis. Gambaran klinis ini tidak harus timbul sekaligus pada saat
yang bersamaan oleh karena penyakit ini memiliki gambaran klinis yang
sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan
menurun dan demam. Terkadang kelelahan dapat demikian hebatnya.
2. Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di
tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal.
Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang.
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam: dapat bersifat generalisata
tatapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung
selama beberapa menit dan selalu kurang dari 1 jam.
9

4. Artritis erosif merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik.
Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini
dapat dilihat pada radiogram.
5. Deformitas: kerusakan dari struktur-struktur penunjang sendi dengan
perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi jari, subluksasi sendi
metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa adalah
beberapa deformitas tangan yang sering dijumpai pada penderita. Pada
kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder
dari subluksasi metatarsal. Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan
mengalami pengurangan kemampuan bergerak terutama dalam
melakukan gerak ekstensi.
6. Nodula-nodula reumatoid adalah massa subkutan yang ditemukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa penderita arthritis rheumatoid. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku ) atau
di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian
nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya
nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit
yang aktif dan lebih berat.
7. Manifestasi ekstra-artikular: artritis reumatoid juga dapat menyerang
organ-organ lain di luar sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis),
mata, dan pembuluh darah dapat rusak.
F. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
10

3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda
dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit
dalam waktu 3 bulan.
























11

BAB III
STATUS KLINIS

Kasus : Reumatoid Arhritis Ankle Aktualitas Tinggi









A. ANAMNESIS
1. Biodata Pasien
Nama : Nafiatun Kausiah
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Alamat : Jalan Menco 5, Gonilan, Kartasura. Surakarta
No. Telp : 085758032887
Tanggal Pemeriksaan: Selasa, 10 Desember 2013
2. Keluhan Utama
Ada rasa nyeri di pergelangan kaki, bengkak, dan merasakan kekakuan
sendi pergelangan kaki terutama meningkat pada pagi hari.
12

Kapan mulai sakit ? sekitar 1 minggu yang lalu.
3. Pemeriksaan Objektif
a. Talar Tilt Test Inversi dan Eversi
- Talar Tilt Test Inversi
Tujuan: Untuk mengetahui cidera ligament
calcaneofibulare
Cara:
Posisi pasien high sitting
Fleksi knee 90
0
, kaki posisi netral
Fiksasi di tibiofibula distal
Terapist menggerakkan inversi
Hasil test (+) jika terjad gerak berlebihan ke inversi
- Talar Tilt Test Eversi
Tujuan: Untuk mengetahui cidera ligament deltoid, tibionaviculare,
tibiocalcanea dan tibiotalar posterior.
Cara:
Posisi pasien high sitting
Fleksi knee 90
0
, kaki posisi netral
Fiksasi di tibiofibula distal
Terapist menggerakkan eversi
Hasil test (+) jika terjadi gerak berlebihan ke eversi
b. Kleiger Test
Tujuan: Untuk mengetahui ada ruptur ligament deltoid
Cara:
Posisi pasien high sitting
Knee fleksi 90
0
, kaki netral
Fiksasi di tibiofibula distal
Terapist menggerakkan ke lateral rotasi
13

Hasil test (+) jika terjadi gerak berlebihan ke lateral rotasi

c. Anterior Drawer Test
Tujuan: Untuk mengetahui ada ruptur ligament
talofibulare anterior
Cara:
Posisi pasien supine lying
Knee fleksi 20
0
-30
0

Fiksasi pada tibiofibula distal
Therapist menggerakkan talur ke anterior
Hasil test (+) jika terjadi gerak berlebihan ke anterior

d. Posterior Drawer Test
Tujuan: Untuk mengetahui ada ruptur ligament talofibulare posterior
Cara:
Posisi pasien supine lying
Knee full ekstensi dan tergantung di pinggir bed
Fiksasi pada tibiofibula distal
Terapist mendorong talus ke posterior
Hasil test (+) jika terjadi gerak berlebihan ke
posterior

e. Tinel Sign
Tujuan: Untuk mengetahui tarsal tunnel syndrome
Cara:
Posisi pasien supine lying
Knee full ekstensi dengan kaki tergantung di
pinggir bed
Terapist mengetuk saraf tibialis posterior pada
maleolus medial menggunakan hammer
14

Hasil tes (+) jika ada nyeri atau rasa tidak nyaman

f. Thompson Test
Tujuan: Untuk mengetahui ada ruptur tendon Achilles
Cara:
Posisi pasien prone lying
Fleksi knee 90
0
atau juga dapat dilakukan dengan knee full
ekstensi dan kaki tergantung dipinggir bed
Terapis meremas calf muscle
Hasil test (+) jika tidak terjadi gerakan plantar fleksi




Kesimpulan Pemeriksaan :
Nama Pemeriksaan Hasil
Tallar Tilt Test Negatif
Kleiger Test Negatif
Anterior Drawer Test Negatif
Posterior Drawer Test Negatif
Tinel Sign Negatif
Thompson Test Negatif

4. Riwayat Penyakit Sekarang
bangun tidur sering mersakan nyeri pada pergelangan kaki.
5. Riwayat Penyakit Dahulu
belum pernah mengalami penyakit sejenis
15

6. Riwayat Penyerta
Tidak ada
7. Riwayat terapi
belum pernah diterapi.
8. Data Medis
Pemeriksaan Laboratorium ditemukan ada Rheumatoid Faktor dan
Leukositosis.

B. PEMERIKSAAN UMUM
a. Vital Sign
a. Tekanan Darah : 130/100 mg
b. Denyut Nadi : 80 kali/menit
c. Pernafasan : 21 kali/menit
d. Temperatur : 38
0
C
e. Tinggi Badan : 156 cm
f. Berat Badan : 75 kg
b. Inspeksi
a. Berjalan sedikit pincang
b. Ada bengkak pada pergelangan kaki
c. Palpasi
a. Peningkatan suhu lokal pergelangan kaki
b. Ada nyeri tekan di pergelangan kaki
d. Pemeriksaan Gerak Dasar
a. Gerak Aktif
Gerak dorsi fleksi-plantar fleksi dan inverse-eversi tidak full ROM
b. Gerak Pasif
Gerak dorsi fleksi-plantar fleksi dan inverse-eversi full ROM
c. Gerak Isometrik Melawan Tahanan
Pasien tidak mampu melakukan gerak dorsi fleksi, plantar fleksi,
inversi, eversi melawan tahanan.

16

C. PEMERIKSAAN KHUSUS
1. Mengukur Nyeri (Alat Ukur: VAS)
- Nyeri Diam : 2
- Nyeri Tekan : 5,5
- Nyeri Gerak : - Dorsi fleksi : 5,5
- Plantar fleksi : 5,5
- Inversi : 5,5
- Eversi : 5,5
2. Lingkup Gerak Sendi (Alat Ukur: Goneometer)
S: 15
0
0 40
0
LGS: 55
0

R: 15
0
0 - 20
0
LGS: 35
0

3. Kekuatan Otot (Alat Ukur: MMT)

p
l
a
n
t
a
r
Keterangan
0 = Tidak ada Kontraksi
1 = ada Kontraksi, tidak terjadi perubahan LGS
2 = ada kontraksi, terjadi perubahan LGS, tidak bisa melawan gravitasi
3 = ada kontraksi, terjadi perubahan LGS, bisa melawan gravitasi
4 = ada kontraksi, terjadi perubahan LGS, bisa melawan gravitasi, tahanan minimal
5 = ada kontaksi, terjadi perubahan LGS, bisa melawan gravitasi, tahanan optimal






Bidang Gerak Nama Otot Nilai MMT
Sagital
Plantar Flexi

Dorsal Flexi
Rotasi
Eversi
Inversi

m. Gastrocnemius
m. Soleus
m. Tibialis Anterior

m. Peroneus
m. Tibialis Posterior

3
3
3

3
3
17

4. Aktivitas Fungsional
Pemeriksaan kemampuan fungsional menggunakan skala Jette

Keterangan :
Penilaian nyeri
1 : tak ada nyeri
2 : nyeri ringan
3 : nyeri sedang
4 ; sangat nyeri
Penilaian tingkat kesulitan
1 : sangat mudah
2 : agak mudah
3 : sedang
4 : agak sulit
5 : sangat sulit
Skala Jette
Penilaian Nyeri Tingkat
kesulitan
Tingkat
ketergantungan
mobilitas Gross
berjalan di dalam
Memanjat tangga
Bangkit dari kursi

2
2
3

2
3
3

2
2
2
perawatan pribadi
Memakai celana
Mengancingkan kemeja / blus
Cuci semua bagian tubuh
Memakai kemeja / blus

1
1
1
1

1
1
2
1

1
1
2
1
Kegiatan / peran sosial
Melakukan pekerjaan Anda
Mengendarai mobil
Menghadiri pertemuan / janji
Mengunjungi dengan teman dan
kerabat

3
3
3
3

4
4
4
4

2
5
4
4
kegiatan tangan
Penulisan
Membuka wadah
Panggilan telepon


1
1
1

1
1
1

1
1
1
Tugas Rumah
Membersihkan debu karpet
Menjangkau ke lemari rendah
melakukan binatu
melakukan pekerjaan halaman

2
2
2
2

4
3
3
2

2
2
2
1
18

Penilaian tingkat ketergantungan:
1 : tanpa bantuan
2 : butuh bantuan alat
3 : butuh bantuan orang lain
4 : butuh bantuan alat & orang lain
5 : tak dapat melakukan

D. DIAGNOSIS FISIOTERAPI
1. Impairment
a. Nyeri
b. Odema
c. Kelemahan Otot
d. Kekakuan Sendi
e. Keterbatasan LGS
2. Functional Limitation
a. Merasakan nyeri saat berjalan.
b. Kadang-kadang dari duduk ke berdiri merasakan nyeri.
c. Ada keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Disability
a. tidak dapat berjalan jauh
b. tidak dapat berkunjung ke rumah temannya, dan keluarganya dengan
mandiri
c. tidak dapat mengendarai motor sendiri
d. tidak dapat melakukan olahraga berat






19

E. CLINICAL REASONING










20

F. TUJUAN TERAPI
1. Jangka Pendek :
Mengurangi nyeri
Mengurangi Odema
Meningkatkan kekuatan Otot
mobilitas Sendi
Meningkatkan LGS
2. Jangka Panjang
Mengoptimalkan kemampuan kapasitas fisik
Peningkatan Kemampuan fungsional
Peningkatan ADL

G. RENCANA TERAPI
a. RICE
Pada tahap peradangan dilakukan upaya upaya untuk menekan respon
peradangan yang berlebihan melalui proses RICE (rest, ice, cold and
elevation). Proses fisioterapi yang ideal dalam hal ini adalah
hydrotherapy, maupun cold therapy.
b. Ultrasound
Terapi Ultrasound yang mempergunakan gelombang suara energi tinggi
yang dapat dirubah menjadi panas pada jaringan tubuh bagian dalam.
Antara alat ultrasound dan kulit diolesi jel, minyak atau air yang berfungsi
sebagai penghantar gelombang suara. Energi dihasilkan oleh kristal kuarsa
yang dapat kemudian menembus jel, menghasilkan panas pada jaringan
lunak dan bahkan tulang di bagian dalam, meningkatkan aliran darah dan
metabolisme jaringan serta meningkatkan ambang batas nyeri. Pada
frekuensi 1 megahertz sampai 3 megahertz, gelombang ultra dapat
menembus struktur yang lebih dalam seperti kapsul persendian, tendon dan
ligamen sehingga dapat meningkatkan jangkauan gerak sendi. Gelombang
suara ultra juga memiliki efek anti inflamasi yang kuat serta efektif untuk
21

mengurangi ketegangan otot yang sering mengakibatkan nyeri dan sering
terjadi pada peradangan saraf (neuritis).
c. Massage
Massage adalah pemijatan atau pengurutan pada bagian badan tertentu
dengan tangan atau alat-alat khusus untuk melancarkan peredaran darah.
Manfaat massage yaitu memperlancar peredaran darah dan getah bening.
Dimana massage akan membantu memperlancar metabolisme dalam tubuh.
Terapi massage akan mempengaruhi kontraksi dinding kapiler sehingga
terjadi keadaan vasodilatasi atau melebarnya pembuluh darah kapiler dan
pembuluh getah bening. Aliran oksigen dalam darah meningkat,
pembuangan sisa-sisa metabolisme semakin lancar sehingga memacu
hormon endorphin yang berfungsi memberikan rasa nyaman. Selain hal
tersebut banyak sekali manfaat massage bagi peningkatan fungsi-fungsi
fisiologis tubuh.
d. Exercise
Latihan berguna untuk menjaga kesehatan dan kekuatan otot, menjaga
mobilitas sendi dan juga fleksibilitas. Latihan juga dapat membantu pasien
tidur nyenyak, mengurangi rasa nyeri, dan menjaga keoptimisan dan
menurunkan berat badan.

H. INTERVENSI TERAPI
1. RICE
a. Rest (Istrahat) yaitu dimana bagian tubuh yang mengalami RA (ankle)
tersebut diistrahatkan dari aktivitas. Prinsip penanganan cidera akut ini,
yaitu, meminimalisir pelebaran pembuluh darah. Sebab jika mendapat
penekanan dapat terjadi pelebaran pembuluh darah
b. Ice yaitu pemberian es di daerah yang mengalami RA/cidera. Tujuan
dari pemberian es ini yaitu agar pembuluh darah yang tadinya melebar
(vasodilatasi), menjadi menyempit (vasokonstriksi), sehingga dengan
adanya penyempitan (vasokonstriksi) pembuluh darah, maka akan
22

disertai dengan menurunnya aktualitas bengkak dan nyeri pada daerah
yang cidera.
c. Compress atau penekanan biasa diartikan dengan memberikan elastis
perban didaerah yang mengalami RA/cidera. Pemberian penekanan
dengan menggunakan elastis perban ini dimaksudkan untuk memberi
penekanan pada daerah yang bengkak, sehingga cidera yang bengkak
tadi, menjadi berkurang bengkaknya.
d. Elevate, yaitu metode meninggikan daerah tubuh yang cidera tersebut.
Tujuan dari meninggikan daerah yang cidera tersebut yaitu, untuk
membuat sirkulasi darah didaerah cidera menjadi lancar.
2. Ultrasound
a. Sebelum terapi
Terapis melakukan pemeriksaan yg dimulai dari anamnesis sampai
dgn kontra indikasi US
Penjelasan thd pasien tentang terapi US dan tujuannya
Menentukan daerah yg akan dierapi dgn tepat
Tes sensibilitas
Bersihkan dgn alkohol atau sabun
Metode yang akan digunakan
Teknik: kontak tidak langsung (subaqua). Karena masih dalam
aktualitas tinggi.
Jenis arus: Intermitten
Frekuensi: 0,5
Lama terapi: luas area yang diterapi : ERA
Gerakan transduser: melingkar
Pasien diposisikan comfortable /nyaman bisa pasien dengan posisi
duduk
b. Selama terapi
Masukkan ankle ke dalam baskom yang berisi air
Terapis menyetel paramater pd mesin US
Treatmen head /tranduser diletakkan di daerah yg akan diterapi
23

Tentukan lama terapi, frekuensi, intensitas
Treatment harus selalu dinamis dan ritmis, jangan terlalu ditekan
Terapis harus menanyakan ke pasien apa yang dirasakan
c. Sesudah terapi
Terhadap alat: semua tombol dalam posisi nol dan mesin dimatikan,
bersihkan tranduser dgn alkohol 70% dan dilap sampai kering.
Rapikan tempat tidur
Terhadap pasien : pemeriksaan baik subyektif maupun obyektif.
3. Massage
Teknik massage yang digunakan dalam kasus Rheumatoid Arhritis yaitu:
a. Stroking
Teknik :

gosokan tanpa tekanan, arah tidak beraturan,
irama ritmis
Fungsi : meratakan media
Efek : sedatif, mengurangi nyeri, sensasi
menghanyutkan sehingga dapat menurunkan
spasme otot
b. Effluarage
Teknik : pegang-tekan-dorong-lepas
Efek : adanya tekanan merangsang vaskuler untuk
melancarkan aliran darah ke jantung
mengatasi kelelahan akibat asam laktat yang
tertimbun dalam jaringan
adanya streaching pada jaringan dan otot
superficial menyebabkan lepasnya
perlengketan atau kontraktur jaring.


24

4. Exercise
Latihan Isometrik untuk memelihara kekuatan otot.
Teknik , Latihan Isometrik dengan gerakan dorsi fleksi Plantar fleksi dan
Everisi Inversi.

I. Edukasi
1. Pasien dianjurkan untuk melakukan exercise secara rutin
2. Pasien diharapkan tidak melakukan aktifitas berlebihan yang membebani
ankle

















BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit autoimun sistemik
menahun yang proses patologi utamanya terjadi di cairan sinovial.
25

Penderita Artritis Reumatoid seringkali datang dengan keluhan
artritis yang nyata dan tanda-tanda keradangan sistemik. Baisanya gejala
timbul perlahan-lahan seperti lelah, demam, hilangnya nafsu makan,
turunnya berat badan, nyeri, dan kaku sendi.
Meskipun penderita artritis reumatoid jarang yang sampai
menimbulkan kematian, namun apabila tidak segera ditangani dapat
menimbulkan gejala deformitas/cacat yang menetap.
Meskipun prognose untuk kehidupan penderita tidak
membahayakan, akan tetapi kesembuhan penyakit sukar tercapai adalah
mengurangi nyeri, mengurangi Odema, meningkatkan kekuatan Otot,
mobilitas Sendi, meningkatkan LGS selain itu juga untuk mengoptimalkan
kemampuan kapasitas fisik, peningkatan Kemampuan fungsional,
peningkatan ADL.

B. Saran
1. Untuk Pasien
Pasien diharapkan rajin dalam melakukan terapi dan menjauhi hal-hal
yang dapat menyebabkan nyeri dan penyakitnya bertambah parah.
2. Untuk penerapis
Penerapis hendaknya memberikan semangat kepada pasien agar rajin
dalam melakukan terapi dan memberikan edukasi kepada pasien agar
pasien dapat menjaga kondisi sakitnya.




DAFTAR PUSTAKA

26

Daneswari, Prita. Etiologi & Epideminology (Online),
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8619090, diakses tanggal 17
Desember 2013, Pukul : 19.26 WIB)
Gordon, N.F. (2002). The Cooper Clinic and Research Institute Fitness Series.
Fajar Interpratama Offset
Imam. Reumatoid Arthritis (Online),
(http://pakdheimam.blogspot.com/2009/12/arthritis-rheumatoid.html ,
diakses tanggal 17 Desember 2013, Pukul : 19.20 WIB)
Nasution..1996.Aspek Genetik Penyakit Reumatik dalam Noer S (Editor) Buku
Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
Reeves, J. R., Roux, G., Lockhart, R. (2001). Medical-Surgical Nursing. Jakarta:
Salemba Medika.

You might also like