GOOODIT: lalu, gimana proses kerja yang lo lewati dalam membuat Novel Grafis Djinah 1965 ini? Evans.poton: nah, waktu itu, gua dibantu ama tmn anak FFTV - penyutradaraan buat milih cerita. lebih ke pemilihan alternatif untuk garap sebuah novel grafis.. Evans.poton: lebih ke mpet si gua, ke Gramedia, komiknya manga.. Evans.poton: kaga ada komik indonesianyahh Evans.poton: pengennya si bikin sebuah novelgrafis yg indonesia banget, dr segi look, cerita ama karakter.. Evans.poton: sempet kepikiran buat ngangkat almarhum Munir, cuma gua sempet konsultasi ama seorang aktivis feminis, yg dulu kerabat dekatnya alm. munir, dan si doy tau alternatif cerita yg pengen gua angkat itu ttg keterlibatan Gerwani di G3os Evans.poton: dia lebih tertarik, karena biar anak muda ga ngelupain sejarah juga si.. Evans.poton: *ingt pidato bung karno.. Jas merah.. tp skrg mah udah jadi Jas Kidding hahahaaha Evans.poton: dari situ gua memantapkan diri buat nge garap novel grafis ttg perjuangan hidup Ibu Sudjinah
Imaji tentang malam 30 September 1965 serta efeknya berupa tragedi pembantaian kaum kiri yang berlangsung selama kurun waktu 1965-1966 mungkin tidak terlalu menarik perhatian para komikus Indonesia kontemporer. Dari sedikit karya sekuensial (baca: komik) yang membangun fondasi cerita-visualnya berdasarkan tragedi tersebut, sebuah novel grafis berjudul Djinah 1965 karya Evans Poton layak didaulat sebagai satu entitas langka yang berusaha memberi citra pada sejarah kelam berpuluh-puluh tahun lalu dengan tujuan supaya anak muda tidak melupakan[nya]. Adapun sejarah yang Evans Poton ingin mengajak kita untuk melupakannya berhubungan erat dengan kejadian historis, yakni dibantainya orang-orang kiri maupun mereka yang dianggap berafiliasi atau bersimpati kepada orang-orang tersebut. Sebagai gambaran kecil, Sarwo Edhi Wibowo yang memimpin pasukan RPKAD di tahun 1965-1966 mengaku telah membantai tiga juta orang komunis. Dan mereka yang tidak mengalami pembunuhan dan pembantaian seperti sastrawan Pramoedya Ananta Toer, misalnya menghadapi hukuman penjara tanpa pengadilan. Saya menduga inilah yang dimaksudkan oleh Poton sebagai sejarah yang tidak boleh dilupakan. Meski demikian, orang hendaknya tidak melupakan satu hal lagi: bahwa Evans Poton bukanlah satu-satunya orang yang berusaha menggambarkan tragedi tersebut. Ada beberapa komikus lain yang berusaha untuk tidak hanya menggambarkan tragedi pembantaian dan efeknya bagi para korban, melainkan juga apa yang terjadi di malam 30 September 1965. Di antara sekian karya komik dalam jumlah minim yang berusaha menggambarkan sejarah Indonesia modern sepanjang tahun 1965- 1966, esei ini akan berusaha menelisik tiga karya komik Indonesia yang berfokus pada isu-isu yang disebut di atas. Mereka adalah Djinah 1965 (Evans), Cinta Itu Buta (Gerdi WK), serta Gerakan 30 September: Tragedi Itu (Eko S Bimantara). Ketiganya menarik untuk disimak, sebab secara sintagmatik mereka membangun sebuah petanda (walau petanda itu bisa jadi bukan lantaran concern utama dari ketiga kreator itu adalah isu-isu di seputar tragedi pembantaian 1965-1966): bahwa di tengah isu tentang kebangkitan komik Indonesia, keindonesiaan dalam komik, dan hak-hak intelektual komikus di tengah rezim perdagangan bebas AFTA, masih ada beberapa komikus yang mau menggarap isu yang barangkali tidak menarik baik secara komersil maupun secara industri. Walau klaim saya ini masih perlu dibuktikan di tempat lain, namun ketiga judul yang saya sebut di atas jelas membuat tema komik Indonesia menjadi lebih meluas dan beragam. Namun ada yang lebih penting dari itu. Ketiga judul di atas berbicara sekaligus mengangkat salah satu tragedi dalam sejarah Indonesia modern. Dalam kondisi di mana tidak banyak karya komik yang mengangkat tema G30S maupun akibat yang muncul setelahnya (pembantaian dan penangkapan orang komunis maupun mereka yang dituduh demikian, di sepanjang 1965-1966), perkaranya kemudian bukan cuma soal bagaimana sejarah direpresentasikan lewat medium yang memiliki kekhasan bentuk seperti komik (lewat ruang serta temporalitasnya yang khusus), tetapi juga menyentuh soal etika.Dengan mengangkat soal etika, saya tidak hendak mengarahkan tujuan esei ini ke wilayah di mana ia berperan sebagai penjaga moral, namun dari sana kita bisa melakukan ziarah dengan memfokuskan diri pada soal sejauh mana sejumlah pertimbangan kultural digunakan untuk merepresentasikan tragedi 1965-1966 secara sekuensial. Pertimbangan kultural seperti yang saya sebut di atas menjadi penting jika kita terlebih dulu memperhatikan fakta bahwa korban pembantaian sampai sekarang belum mendapat keadilan dari negara. Jika benar ketiga judul komik yang menjadi corpus pada esei ini bermaksud supaya anak muda tidak melupakan sejarah, sekaligus memberi pencerahan atas apa yang sebenarnya terjadi pada malam 30 September 1965, maka pilihan-pilihan etis macam apa yang digunakan untuk menggambarkannya. Selanjutnya, apakah pilihan etis itu bermaksud untuk berpihak kepada kemanusiaan para korban, atau ada kemungkinan lain yang diambil masing-masing komikus? Lucunya 30 September 1965 Gerakan 30 September: Tragedi Itu merupakan sebuah komik pendek karya Eko S Bimantara yang sempat dipamerkan di ajang Indonesia And The World 1959-1969: A Critical Decade di Goethe Institute, Jakarta, pada 2011 silam. Karya tersebut di bagian pembukanya mengajak orang untuk memahami apa yang terjadi pada 48 jam ini tak bisa tidak, adalah syarat utama untuk bisa berdamai dengan masa lalu. Lewat kata-kata penuh pengharapan, kiranya sudah jelas Eko mau mengajak penikmat komiknya kemana: dia bermaksud untuk mengajak orang memahami apa yang terjadi pada malam 30 September 1965. Dengan ajakan awal yang mengesankan bahwa Eko akan membahas sebuah tema dengan cara seserius mungkin (paling tidak demikian waktu awal mula saya membayangkannya), karyanya justru menyodorkan hal sebaliknya: lucu, main-main, sama sekali tidak serius. Tentang tidak serius dan main-main kiranya bisa dilihat dari bagaimana Eko memperlakukan subjek/karakter yang hidup dalam panil demi panil yang dibentuk olehnya. Ambilah contoh pada karakter Aidit, misalnya. Eko memperlakukan Aidit dengan cara yang menyenangkan. Visualisasi karakter yang sederhana, namun terdistorsi pada bagian mata, Aidit ditampakkan bukan sebagai tokoh revolusioner, melainkan tokoh yang sama sekali tidak berwibawa. Lima panil minus detil visual yang rinci pada halaman tiga (lihat gambar satu) memperlihatkan ketidaktahuan Aidit tentang rencana penculikan para dewan jendral. Kondisi riil menjelang penculikan yang setidaknya dalam bayangan saya seharusnya tegang, berubah menjadi sebuah situasi lucu.
Gambar 1 Dalam nafas kelucuan yang sama, pertemuan antara Omar Dani dan Sjam, serta satu karakter lagi yang tidak disebutkan namanya, Eko menggiring persepsi pembaca ke wilayah di mana malam pemberontakan 30 September tampak sebagai sebuah lelucon ketimbang sebuah gerakan revolusi yang serius (lihat gambar dua).
Gambar 2 Dari contoh adegan seorang Aidit yang digiring ke rumah Sersan Suwadi sampai berkumpulnya Omar Dani dan Sjam dalam satu halaman, sejarah malam 30 September 1965 yang digambarkan Eko tidak menjadi sesuatu yang menakutkan. Sepintas Eko tampak main-main dan tidak serius dalam mengkarakterisasikan tokoh-tokoh di balik gerakan 30 September. Meski begitu, di sinilah kemudian orang bisa melihat sikap seorang Eko dalam menghadapi sejarah yang dalam narasi resmi dibikin menjadi horor dan menakutkan. Narasi yang ditawarkan oleh Eko setidaknya berbeda dengan gambaran resmi yang diceritakan oleh rezim Orde Baru lewat film Pengkhianatan G30/PKI, misalnya. Jika film tersebut benar-benar horor, sekaligus menggambarkan betapa kotor dan bengisnya PKI, Eko memilih untuk meniadakan gambaran semacam itu. Mengapa Eko memilih untuk menarasikan sejarah dengan cara yang lucu dan menyenangkan? Apakah ini berarti Eko berusaha memutus mata rantai wacana resmi Orde Baru yang mengajarkan PKI adalah biangnya kekejaman di malam itu, dan oleh karenanya mereka perlu digambarkan dengan cara yang menakutkan lewat artefak populer seperti film G30S/PKI? Saya tidak punya jawaban pasti mengapa Eko memilih pilihan yang kontradiktif dengan narasi resmi Orde Baru. Meski begitu, empat panil pada halaman terakhir (gambar tiga) kiranya sedikit memberi petunjuk tentang keputusannya tersebut. Eko menunjukkan kepada pembacanya ihwal dirinya yang lebih suka menarasikan G30S dengan cara selucu mungkin. Sebabnya sederhana: dia lebih suka kelucuan dibandingkan horor.
Gambar 3 Meski Tragedi Itu bukanlah sebuah karya komik yang menyajikan panil dengan kedalaman/detil ruang dan proporsi subjek/objek yang tinggi, namun pembaca menemukan sesuatu yang menarik darinya. Ketertarikan saya muncul justru lewat bagaimana panil dan gambaran karakter ditata sedemikian rupa hingga memunculkan rasa lucu lagi menyenangkan. Pilihan dan keyakinan Eko atas bentuk humor untuk karyanya itu, dalam derajat tertentu, juga menciptakan jarak dengan narasi resmi Orde Baru tentang malam G30S. Eko mengingat malam G30S bukan sebagai momen di mana kekejaman PKI, pengkhianatan terstruktur dan terencana dengan baik, menjadi sejumlah nilai utama yang disodorkan dan terus menerus disiarkan sepanjang Orde Baru berkuasa. Sebaliknya, Eko menarasikan malam G30S sebagai malam yang kacau sekaligus kocak. Jadi walau terkesan main-main lewat Tragedi Itu, Eko sebetulnya menyodorkan pilihan yang sangat politis, yang sekaligus mengajak pembacanya untuk merenungkan setidaknya mempertimbangkan ingatan tentang kebenaran malam G30S yang disiarkan Orde Baru.
Narasi Korban Dalam Dua Komik Berbeda dengan Tragedi Itu, Cinta Itu Buta (Gerdi WK) dan Djinah 1965 (Evans Poton) menarasikan akibat wacana pemersetanan terhadap orang- orang yang dituduh sebagai antek PKI lewat sudut pandang korban. Saya akan memulainya dari Djinah 1965 terlebih dahulu. Narasi yang diceritakan oleh Poton lewat karya komiknya itu berpusat pada kehidupan empat orang tokoh, Sudjinah, Sulami, Sri Ambar, dan Suharti, paska malam 30 September. Berbeda dengan karya Eko yang menawarkan elemen-elemen visual yang menyenangkan guna mendeskripsikan malam sejarah tersebut, serta membangunnya dari sumber tertulis yang dirangkum oleh Tempo Institute, Poton melakukan hal yang lebih jauh lagi: ia menarasikan akibat yang muncul setelah G30S. Poton tidak hanya membangun narasi dengan cara membaca sumber-sumber tertulis, namun juga melakukan wawancara lisan dengan penyintas. Kerja pengkaryaan yang dilakukan oleh Poton agak di luar kebiasaan, sebab dia mewawancarai narasumber layaknya seorang sejarawan lisan menggali potongan ingatan yang tersisa dari seorang subjek. Namun hendaknya Poton tidak dianggap sebagai seorang sejarawan, meski apa yang dia kerjakan mirip dengan itu; lebih jauh lagi, apa yang dilakukan Poton rasanya juga tidak bisa diklaim sebagai karya seorang sejarawan yang mempelajari memori seseorang. Meski narasi Djinah 1965 dibangun lewat empat orang karakter, adalah Sudjinah yang mendapat porsi lebih banyak dibandingkan ketiga temannya. Ia adalah karakter yang ditonjolkan dalam panil demi panil, dan Evans menghadirkan sosok Sudjinah tidak hanya lewat penggambaran fisiknya, namun melalui caption yang berisi monolog-monolog batin sang protagonis. Dalam semesta Djinah 1965, caption memainkan fungsi sentralnya sebagai narator sejarah yang menceritakan detil-detil tentang apa yang terjadi setelah malam 30 September. Sama seperti Sjam, Aidit, Omar Dani, dan beberapa tokoh lain - yang dialihrupakan menjadi karakter menyenangkan dalam Tragedi Itu, Sudjinah juga adalah karakter yang dibangun berdasarkan tokoh nyata. Menurut Poton, Sudjinah adalah aktivis Gerwani yang pernah bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Internasional (GWDS) di Berlin, Jerman, serta pernah mendapat tugas-tugas ke Paris, Austria, Finlandia, Denmark, Swedia, dan negara-negara lain (lihat Djinah 1965 hal. 97). Bab pertama dari Djinah 1965 yang diberi judul 1 Oktober 1965 menggambarkan situasi tegang yang terjadi di markas Gerwani di Matraman pada pagi hari tanggal tersebut. Ketegangan mau tidak mau muncul dalam benak para anggota Gerwani yang berkumpul di sana, sebab mereka tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada dini hari sebelumnya ketika pembunuhan terhadap enam jenderal terjadi. Panil demi panil terus bergulir, dan pada bab kedua berjudul Dalam Pengejaran, Poton mendeskripsikan teror yang merebak di seluruh negeri, di mana para aktivis yang berafiliasi dengan komunis diburu. Dalam situasi chaos, mau tidak mau Sudjinah juga ikut terseret dalam huru-hara. Karena situasi sudah tidak mendukung bagi para aktivis kiri, Sudjinah kemudian harus meninggalkan Jakarta. Bersembunyi. Kisah Sudjinah yang kini menjadi pelarian politik, serta narasi mengenai pembunuhan massal terhadap aktivis komunis dinarasikan lewat bab ketiga berjudul Pesakitan Politik. Bab keempat, Gerakan Bawah Tanah, menarasikan gerakan bawah tanah bernama Pendukung Komando Presiden Soekarno (PKPS), yang dibangun oleh Sudjinah bersama dengan dua orang kawannya, yakni Sulami dan Sri Ambar. PKPS dalam narasi Djinah 1965 diceritakan sebagai organisasi yang dibentuk guna melawan narasi resmi yang pada waktu itu telah menetapkan tuduhan kepada Partai Komunis Indonesia sebagai dalang G30S. Korban pembantaian dalam perspektif Djinah 65 betul-betul ditempatkan dalam posisi terhina, sementara mereka yang melakukan pembunuhan terhadap orang yang dianggap antek komunis direpresentasikan secara metaforik dengan meminjam imaji tentang setan buas yang tega menghabisi bangsa sendiri (gambar empat). Agaknya bukan tanpa alasan jika Poton memilih untuk membangun narasinya dengan bentuk visual di mana bentuk selalu terikat ke dalam forma shading yang pekat. Perpindahan sudut gambar dari panil-ke-panil yang selalu menonjolkan kepekatan bayangan, pada gilirannya membuat rona cahaya yang jatuh ke atas permukaan objek dan membentuk proporsi bayangan yang terlihat terdistorsi secara berlebihan (exaggerated). Guratan/arsiran kasar yang kerap ditambahkan ke dalam visualisasi tubuh karakter serta objek-objek yang berdiri di sekitarnya makin menonjolkan suasana seram dan gawat pada sebuah periode sejarah. Dari sana saya memahami pilihan Poton untuk membentuk suasana sejarah dalam komiknya. Dengan cara mendistorsi objek/subjek visual di setiap panil menggunakan shading yang berlebihan, Evans Poton bukan ingin menggambarkan keindahan detil maupun impresi pada keduanya, melainkan ia menggunakan bayangan untuk merepresentasikan sejarah yang penuh teror. Pendek kata, saya justru melihat kentalnya shading (perlu disebut juga di sini: blok-blok hitam serta arsiran yang pekat sebagai unsur visual yang juga ditonjolkan Poton) dalam Djinah 1965 sebagai unsur yang menguatkan teror.
Gambar 4 Berbicara tentang teror, tentu akan selalu ada dua pihak. Di satu sisi ada pihak yang meneror serta di sisi lain ada pihak yang terteror. Dalam gradasi macam itu, amat wajar bila kemudian muncul dua oposisi biner yang saling berdiri dalam satu halaman, melalui panil- demi-panil, di mana masing-masing pihak selalu meminta perhatian. Yang satu adalah jahat seutuhnya, sementara yang lain adalah pihak murni tidak bersalah. Gambar lima menunjukkan lebih banyak kepada kita ihwal oposisi biner seperti yang telah saya sebut di atas.
Gambar 5 Kita telah melihat visualisasi yang merepresentasikan bagaimana malam setelah 30 September menjadi teror bagi Sudjinah sendiri. Dan karena Djinah 1965 menekankan pusat penokohan pada Sudjinah dengan Gwrwani yang juga adalah pihak yang berkali-kali disebut di dalamnya, penikmat komik tersebut tidak bisa mengabaikan forma caption dengan teks yang mengudara di dalamnya. Dari halaman ke halaman, orang juga bisa menemukan forma caption yang sebetulnya menyediakan ruang bagi pembaca untuk berimajinasi, namun kekuatannya terampas oleh ilustrasi yang mensketsakan monolog batin lewat sejumlah caption yang tersedia. Terlepas dari ketidakbebasan teks caption (karena pada akhirnya ia tergantung pada ilustrasi untuk membangun suasana), teks yang mengada (suara narator itu sendiri) selalu berusaha untuk memberikan pembelaan, bahwa kaum kiri dalam sejarah Indonesia bukanlah pihak yang pantas untuk dipersetankan, oleh karena merekalah yang berusaha memberi pencerahan pada bangsa ini. Pendek kata, kaum kiri adalah kumpulan manusia-manusia suci nan heroik. Untuk lebih jelasnya kita mesti melihat tiga kumpulan gambar di bawah ini.
Gambar 6 Ketika narator menggugat atas dasar apa mereka dengan bengisnya bertindak demikian , pembelaan diri kemudian mengental. Sudjinah menggugat: mana mungkin Gerwani terlibat dalam aksi di Lobang Buaya itu??? Organisasi kami berjuang memberantas buta huruf bagi perempuan demi masa depan mereka organisasi kami mendirikan taman kanak-kanak gratis bagi rakyat melalui TK Melati di tiap tempat Itu semua kami lakukan untuk rakyat, karena kami bagian dari mereka untuk melanjutkan Api Perjuangan Ibu Kartini lantas kenapa malah kami yang dituduh melakukan tarian porno di lobang buaya melalui Tarian Harum Bunga?. KENAPA??? Evans Poton dalam karyanya itu dengan tegas menempatkan Sudjinah sebagai korban dalam dongeng sejarah yang bersembunyi di balik ketiak penguasa, dan tunduk di bawah acungan senjata (Djinah 1965, hlm. 3). Akan tetapi sangat sedikit informasi visual yang menerangkan kepada kita tentang apa persisnya korban itu. Bagaimana Sudjinah ditempatkan secara sah sebagai korban. Dalam sebuah halaman, misalnya, Sudjinah diceritakan didatangi seorang tentara yang mencari senjata yang mungkin disembunyikan olehnya dan kawan-kawannya. Setelah serangkaian tanya-jawab ditambah bantahan dari Sudjinah, di mana kemudian Sudjinah diajak oleh teman-temannya untuk tidak mempedulikan ocehan tentara itu, halaman tersebut kehilangan momen(gambar tujuh). Sudjinah dibiarkan berlalu begitu saja, dibiarkan oleh tentara, tanpa sedikitpun dicitrakan sebagai korban.Di hadapan tentara ia masih mampu beragumen sekaligus menyangkal kepemilikan senjata oleh Gerwani, sebuah kemewahan individual yang kiranya sulit dibayangkan terjadi pada masa itu.
Gambar 7 Kesan utama yang saya peroleh melalui karakter Sudjinah adalah penempatan subjek yang masih memiliki kekuatan untuk berdiri sebagai aku, alih-alih sebagai korban yang nelangsa dan tunduk di bawah acungan senjata. Ini terutama terlihat lewat sejumlah panil dalam dua halaman yang menarasikan pelarian Sudjinah. Dalam pelarian, dalam keadaan masygul, ia sempat bermonolog lewat caption, menyebut dirinya sebagai seorang ..yang terjebak dalam jasad seorang gadis yang tengah menghindari kejaran agar tidak tunduk di bawah acungan sejata . Dalam pelarian Sudjinah masih sempat merutuki mereka yang memburunya. Dan dalam irama panil dalam halaman yang sama pula, ia masih pula sempat memikirkan nasib generasi penerus bangsa nantinya. Gambar delapan akan memperlihatkan lebih banyak tentang ke-aku-an Sudjinah di tengah pelarian.
Gambar 8 Dalam irama visual yang merepresentasikan teror, caption berfungsi sebagai penegas diri, sekaligus sebagai sebuah senjata untuk menggugat tuduhan pihak peneror. Dalam ruang penuh dikotomi biner, di mana Djinah sekarang di hadapan saya mampu berbicara sekeras-kerasnya kepada saya lewat caption dalam panil-demi-panil sembari menyebut sederet prestasi Gerwani bagi rakyat, rasanya tidak salah jika komik tersebut dianggap sebagai ruang di mana karakter-penutur mampu berbagi sejarah kekerasan yang dilihat sekaligus dialaminya, dengan cara sebebas mungkin. Karya Evans Poton menurut saya menjadi saluran di mana sang pengarang/komikus mengabdi dengan penuh ketaatan terhadap kedirian Djinah, serta cerita-ceritanya tentang pembantaian dan tentang Gerwani itu sendiri. Lebih-lebih lewat caption, Djinah berbagi memori, nilai serta emosi melalui kehidupan lampaunya melalui teks, yang turut mensakralkan kehidupannya sebagai mantan anggota Gerwani. Sebagai karya visual penuh dengan teks pembelaan diri, Djinah 1965 mau tidak mau membangkitkan empati orang yang menikmatinya sebuah perasaan yang juga saya alami. Cerita mengenai Sudjinah, yang hidup-hidupnya setelah malam 30 September 1965 berisi momen-momen di mana ia harus melarikan diri dari kejaran tentara, berpindah dari tempat satu ke tempat lain, adalah narasi tentang bagaimana dia menggugat mereka yang memburunya. Dibaca secara psikoanalisis, bingkai narasi sejarah yang disodorkan lewat Djinah 1965 penuh dengan rekonstruksi penemuan self dalam hubungannya dengan Other (mereka yang memburu Sudjinah). Dengan kata lain, self (kedirian Djinah) dibentuk lewat komik tersebut dengan terlebih dulu membenturkan realitas karakter utama (sebagai anggota Gerwani) dengan realitas lain yang ingin melenyapkan dirinya sebagai subjek. Meski demikian, dalam posisi di mana saya bukanlah orang yang berbicara langsung dengan subjek dan tahu apa sebenarnya pandangan dogmatisnya, saya tidak berpretensi untuk mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan penderitaan korban. Alih-alih melakukan hal tersebut, kita mesti memahami usaha Poton dalam menarasikan kisah Sudjinah melalui karyanya itu. Ia melakukannya dengan cara merentangkan jarak ekstrim antara Sudjinah sebagai korban, dengan negara sebagai pihak yang sepenuhnya bersalah atas penderitaannya. Di sinilah kutub ekstrim terbentuk dan keutuhan Sudjinah sebagai subjek terbentuk. Kemudian menjadi menarik untuk meminjam ujaran John Rossa dan Ayu Ratih: [] sang aku terbentuk oleh hubungannya dengan norma-norma sosial dan dengan orang lain, sang aku harus menyadari bahwa ia sendiri tidak dapat dipahami ketika menceritakan sejarah kehidupannya, ketika tercapai keutuhan yang bersifat sementara itu. Ujaran Rossa dan Ratih yang dipakai untuk mendiskusikan ihwal Sejarah Lisan Di Indonesia Dan Kajian Subjektivitas itu mau saya gunakan untuk menolong mendiskusikan Djinah 1965. Saya sebagai penikmat cerita tidak akan pernah bisa memahami Sudjinah sepenuhnya, sebab lewat Djinah 1965 ia sudah direpresentasikan secara satu dimensi sebagai subjek heroik, yang menggugat kekuasaan yang melabeli dirinya sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Ingatan Sudjinah yang dihantarkan lewat Djinah 1965 menunjukkan imaji tentang yang benar ada maupun yang dibayangkan ada, dan ini semua ditujukan kepada penerima cerita. Djinah 1965 adalah karya yang berusaha menarasikan testimoni penyintas (Sudjinah) serta saksi mata kedua (Evans Poton) yang menarasikan cerita saksi pertama. Melalui representasi atas tragedi pembantaian 1965-1966, tangan Poton sebagai komikus meminjam konsep Hillary Chute mencitrakan hubungan [antara] suara pribadi dari saksi utama dan penerjemahnya, suara saksi kedua. Dalam bingkai yang campur baur, kita sebagai pembaca tentu tidak akan mampu membedakan mana cerita yang benar ada maupun yang dibayangkan ada. Akan tetapi penting untuk dicatat bahwa Poton menurut saya tidak berusaha untuk menyodorkan fakta sejarah yang sahih dan yang bisa dipertanggung-jawabkan secara metodologis. Alih- alih menganggapnya seperti itu, Djinah 1965 mungkin akan lebih tepat untuk dinilai sebagai karya yang berusaha memaknai tuturan-tuturan Sudjinah sebagai protagonis utama dan yang hidup sebagai penyintas. Dalam Djinah 1965 lah Sudjinah bisa hidup dan menarasikan ingatannya lewat tangan Poton, dengan cara menonjolkan ke-aku-annya secara mutlak. Ini kemudian mengantarkan kita ke soal lain: jika dimensi heroik dan ke-aku-an ditonjolkan secara mutlak di Djinah 1965, masihkah ada peluang untuk menikmati tawaran ide lain di seputar sejarah 1965-1966? Cinta Itu Buta merupakan sebuah komik di mana cerita tentang kehidupan penyintas tragedi pembantaian hanyalah satu bagian dari enam fragmen cerita dalam komik tersebut, yang semuanya berpusat pada tema cinta yang humanis. Pada bab mengenai korban pembantaian yang ditempatkan pada fragmen terakhir dari keseluruhan struktur Cinta Itu Buta, Gerdi terlihat berusaha membangun narasinya dengan fondasi serupa seperti apa yang telah dilakukan Poton melalui Djinah 1965: dia memulai rangkaian kisah dari periode setelah G30S. Walau ada kesamaan momen yang diambil keduanya, kita bisa melihat perbedaan mendasar. Jika Djinah 1965 menampilkan sosok heroik seorang mantan anggota Gerwani, Cinta Itu Buta karya Gerdi WK menghantarkan pandangan berbeda tentang bagaimana seorang penyintas dan keluarganya harus menjalani kehidupan paska pembantaian 1965-1966. Tersebutlah sebuah keluarga, yang masing-masing anggotanya tidak diberi nama oleh komikusnya. Seorang ayah dan ibu, dengan tujuh orang anak. Ayah seorang Pegawai Negeri Sipil, sedangkan ibu adalah ibu rumah tangga biasa. Panil demi panil mengalir, bercerita lancar tentang sang ayah yang kemudian diciduk tentara tanpa alasan. Walau Gerdi tidak menyajikan informasi cukup mengenai siapa sebenarnya sang ayah hingga dia harus ditahan tentara, namun kiranya kita bisa menduga bahwa sang ayah berhubungan dengan PKI. Keluarga tersebut kemudian kehilangan pegangan nafkah setelah ayah mereka ditahan. Kehidupan yang kacau dan serba kekurangan, juga stigma PKI yang melekat pada anak- anak keluarga tersebut, menjadi bumbu kisah tersendiri yang makin mendekatkan satu fragmen dalam Cinta Itu Buta ke babakan periode sejarah 1965-1966. Melalui narasi yang disampaikan melalui sang bungsu, Gerdi WK menyodorkan sebuah karya dalam bentuk komik yang berusaha menunjukkan kepada kita tentang bagaimana sebuah keluarga menyikapi tragedi yang menimpa mereka. Setelah 13 tahun ditahan tanpa pengadilan, sang ayah akhirnya kembali ke tengah keluarganya dengan perasaan limbung. Melalui si bungsu yang bertindak sebagai narator, penikmat fragmen diperlihatkan adegan dalam satu splash page tanpa panil (gambar sembilan), di mana sang ayah menangis dan minta maaf karena telah menelantarkan anak- anaknyatelah menurunkan stigma negatif kepada kami sebagai anak ex tapol yang harus melewati masa kecil yang pahit, masa remaja yang tidak indah, dan masa depan yang jelas (Cinta Itu Buta, Hlm. 98). Dalam kondisi sesal, bungsu sebagai narator masih melakukan gugatan kecil dengan berkata kalau pun sekarang kami bisa hidup lumayan, ini berkat perjuangan yang extra keras usaha di atas penderitaan yang tidak seharusnya.. (Cinta Itu Buta, Hlm. 98).
Gambar 9 Dibandingkan Djinah 1965 yang menonjolkan ke-aku-an protagonisnya, fragmen dalam Cinta Itu Buta lebih menekankan narasi pada bentuk melodrama. Pilihan Gerdi atas bentuk melodrama menjadi masuk akal bila orang memperhatikan bagaimana psikologi karakter direka sedemikian guna mendorong orang untuk merasakan emosi sebuah keluarga penyintas, melalui seorang ayah yang merasa menyesal karena telah menelantarkan keluarganya. Artinya, sang ayah justru tidak menyalahkan orang lain (baca: tentara) yang menjadi penyebab kemalangan diri dan keluarganya. Agoni yang tumbuh di dalam kedirian sang ayah pada dasarnya tumbuh dari rasa sesal.Kepada kita seolah-olah diperlihatkan: bukan tentara atau negara yang menjadi penyebab utama rasa sesal, melainkan keputusan dirinya di masa lalu (bergabung dengan PKI) yang dirasa menjadi sebab utama disorientasi eksistensial yang dialami keluarganya itu. Perkara disorientasi eksistensial sangat terasa bila kita menyimak bagaimana hidup ketujuh anak yang ditinggal ayahnya yang dipenjara (gambar sepuluh). Dalam tiga halaman di mana garis panil tidak dibentuk guna membedakan satu sudut cerita dengan sudut lain, serta ruang ilustrasi yang merampas kekuatan imajinatif narasi bungsu yang hadir dalam bentuk teks, tergambar bagaimana kehidupan tujuh anak itu, yang rata-rata mengalami kesulitan hidup karena karena stigma melekat pada kedirian mereka.
Gambar 10 Namun di tengah kondisi serba sulit pun, sang bungsu hanya bisa merutuki nasib keluarganya dan juga nasib keluarga-keluarga yang lain, yang sama seperti mereka. Frustrasi karena keadaan, si bungsu bertanya: lalu berapa juta lagi anak anak-anak ex tapol lain yang mengalami trauma dan hidupnya gagal? Berhadapan dengan pertanyaan yang jelas bukan untuk dijawab, seorang gadis yang tampaknya adalah pacar si bungsu mengeluarkan kata-kata bijak yang menjadi pamungkas untuk meredakan rasa frustrasi si bungsu: Itulah takdir, massemua yang sudah terjadi adalah takdirkehendak Tuhan. (gambar sebelas). Sepintas kita ditunjukkan perihal tarik-menarik antara sikap menerima tragedi itu apa adanya, dan gugatan atas nasib yang seharusnya tidak dialami oleh keluarga si bungsu. Dalam sayup-sayup ambivalensi sikap macam itu, pembaca bisa terombang-ambing juga: antara menerima karya Gerdi WK itu sebagai entitas murni yang tidak berusaha mengeraskan sikap memberontak kepada negara, atau justru membacanya sebagai karya yang menggugat secara politis hak-hak penyintas akan keadilan.
Gambar 11 Akan tetapi dalam dua kutub yang saling tarik-menarik, satu fragmen narasi tentang akibat pembantaian 1965-1966 dalam Cinta Itu Buta justru lebih banyak menonjolkan sikap pasrah. Ketimbang menyalahkan pihak lain, karakter yang hidup di dalam komik tersebut memilih untuk menyelesaikan perasaan limbung dengan menyebut bahwa semua yang terjadi adalah takdir. Pada akhirnya, kedirian yang dibentuk dari stigma diperlakukan sebagai sesuatu yang diterima begitu saja. Karena stigma menjadi bagian dari takdir, atau dipandang sebagai konsekuensi yang muncul akibat tindakan di masa lalu, maka tidak ada sedikit pun gugatan kepada liyan (siapapun itu) yang sebetulnya membuat stigma PKI/jahat menjadi memungkinkan untuk mengada. Stigma PKI, dengan demikian, seolah-olah menjadi sebuah tanda yang natural dan mesti diterima keluarga yang naas itu. Agaknya tepat bila kita menerjemahkan sikap Gerdi yang berusaha menaturalisasi nasib penyintas (yang menghidupkan komiknya) dengan meminjam istilah nrimo. Franz Magnis-Suseno menerjemahkan nrimo sebagai sikap menerima segala apa yang mendatangi kita, tanpa protes dan pemberontakan. Dibaca dengan cara demikian, karya Gerdi WK bisa dibilang mencerminkan sebuah sikap untuk menerima apapun kondisi diri, dan siap untuk menanggung nasib yang buruk.Dengan cara demikian, malapetaka diharapkan bisa kehilangan rasa sengsaranya. Penutup: Etika Mengingat Dalam interseksi yang menunjukkan perbedaan pandangan serta cara memaknai tragedi 1965-1966, satu hal yang perlu digaris-bawahi adalah bahwa ketiganya sama-sama ingin keluar dari arus ingatan resmi bentukan Orde Baru. Eko Bimantara melakukannya dengan cara menonjolkan bentuk humor lewat Tragedi Itu, sementara Gerdi WK dan Evans Poton berangkat dari perspektif suara korban yang sampai sekarang belum mendapat keadilan memadai dari negara. Dinilai dalam bingkai etis, ketiganya memang telah menyodorkan satu sisi sejarah yang sengaja dilupakan oleh rezim Orde Baru. Baik Tragedi Itu, Djinah 1965,dan satu fragmen dalam Cinta Itu Buta menyodorkan sebuah konten tema keindonesiaan-dalam-komik yang merujuk bukan pada ambisi untuk menyajikan fakta sejarah yang teruji, melainkan pada kepedulian etis. Maksudnya, mereka berangkat dari persoalan yang sangat relevan oleh karena belum selesai sampai sekarang. Meminjam ujaran Budiawan, di sinilah terbuka peluang bagi eskalasi wacana, yang mendorong terbentuknya pengetahuan-pengetahuan baru, yang akan memunculkan rezim-rezim kebenaran baru.
Bacaan Budiawan. 2014. Trauma Dalam Kompleksitas Hubungan Antara Ingatan Personal Dan Sejarah Nasional. Dalam Sejarah Sebagai Humaniora. Yogyakarta: Ombak. Chute, Hillary. 2009. History And Graphic Representation In Maus. Dalam Jeet Heer & Kent Worcester. A Comics Studies Reader. USA: University Press of Mississippi. Magnis-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia. Rossa, John & Ayu Ratih. 2008. Sejarah Lisan Di Indonesia Dan Kajian Subjektivitas. Dalam Henk Schulte Nordholt, et.al (ed). Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.