You are on page 1of 16

PENGANTAR REDAKSI

Selamat datang mahasiswa baru UI 2014!


Setelah meninggalkan masa indah rema-
ja yang menyenangkan di bangku seko-
lah, kini saatnya menikmati masa yang
lebih menantang di bangku perkuliahan.
Tinggalkan huru-hara remaja untuk me-
masuki dunia yang lebih dewasa dengan
beragam pemikiran dan kegiatan yang
akan bermanfaat bagi kalian kelak.
Terkait dengan perubahan yang dicip-
takan, mahasiswa sering dilabeli dengan
karakteragent of change, iron stock, dan
moral force. Akan tetapi benarkah sede-
mikian hebatnya mahasiswa? Bagaimana
konstruksi semacam itu bisa terbangun?
Jawaban yang di dapat ialah benar adan-
ya bahwa mahasiswa sudah menjauh dan
terasing. Padahal, praktis sejak runtuhn-
ya Orde Baru, gerakan mahasiswa sudah
tidak terasa gaungnya dan perlahan pun
meninggalkan peran yang semestinya ia
ambil.
Terpuruknya citra mahasiswa tentunya
dibentuk dari perilaku mahasiswa serta
perannya dalam kehidupan sosial poli-
tik rakyatnya. Dalam konteks gerakan
perubahan sosial, posisi mahasiswa se-
lalu menjadi bagian terpinggirkan dari
mayoritas. Ia hanya menjadi obyek dan
alat dari penguasa pada lazimnya kasus
kekinian. Sebab rakyat sudah mulai sadar
untuk meongorganisir diri dan bergerak
memperjuangkan keadilan dan cita-ci-
tanya, tanpa membutuhkan sosok pelin-
dung rakyat atau bahasa lainnnya agent
of change, iron stock dan moral force.
Oleh karena itu Pamfet SEMAR UI ha-
dir untuk menawarkan alternatif terkait
posisi dan gerakan kritis mahasiswa se-
sungguhnya.
Mudah-mudahan edisi Pamfet SEMAR
UI kali ini dapat memberikan sedikit
pemahaman baru terkait gerakan maha-
siswa, khususnya kepada kawan-kawan
mahasiswa baru angkatan 2014.
Selanjutnya,selamat menanggalkan be-
lenggu kehampaan diri dan kebingun-
gan intelektualmu dengan cara bernalar,
bertindak dan berlawan! Lebih baik me-
lakukan bunuh diri kelas daripada nya-
man di atas menara gading dan hanya
turun apabila ada permasalahan semata.
Selamat membaca!
Ditulis dan disebarluaskan oleh Departemen Agitasi dan Propaganda
Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (SEMAR UI)
Redaksi: Bayu Baskoro F. (Pemimpin Redaksi), Bhadrika Dirgantara (Tata letak dan ilustrasi),
Dicky Dwi Ananta (Penulis), Mitrardi Sangkoyo (Penulis), Muhammad Teguh (Penulis), Perdana
Putri (Penulis dan penyunting), dan Trishadi Pratama (Penulis)
pamflet
04/2014 2
pamflet
04/2014 3
pamflet
04/2014 3
mistifikasi gerakan mahasiswa
Merasa familiar dengan istilah agent
of change, moral force, iron stock dan
social force? Bagaimana tidak! Empat
karakter itulah yang dilekatkan wacana
pembangunan terhadap mahasiswa. Ma-
hasiswa adalah suatu mistifkasi, ia dia-
gung-agungkan tanpa diketahui bahwa
ia turut melanggengkan kekuasaan yang
lalim dengan karakter tersebut.
Apa sebenarnya yang ada di dalam
mahasiswa hingga ia mendapatkan em-
pat karakter tersebut? Sejarah panjang
gerakan mahasiswa turut berkontribusi
di dalam hal ini. Dalam artian, ia sebe-
narnya ada dan memang benar memiliki
karakter tersebut. Namun, pada akhir-
nya pemerintah, khususnya Orde Baru,
berusaha meredam posisi otentik maha-
siswa di dalam struktur masyarakat agar
menghindari gerakan mahasiswa yang
seyogyanya berpotensi untuk menumpas
tirani.
Pada dasarnya, mahasiswa tidak bisa
dibedakan dari masyarakat. Ia adalah
bagian dari masyarakat. Permasalahan
masyarakat, adalah permasalahannya.
Namun, kuasa Orde Baru mendistribu-
sikan wacana mengenai mahasiswa se-
bagai agen pengubah (perhatikan peng-
gunaan kata agent dan force) dengan
kata lain, mahasiswa dicitrakan berada di
luar sistem dan dia harus melihat masya-
rakat secara positivis: masyarakat adalah
semut-semut yang berada di dalam boks,
dan mahasiswa adalah si peneliti angkuh
di luar boks tersebut.
Kini kita boleh berkoar-koar, berbangga
hati kita mahasiswa, anti-sistem pembela
masyarakat. Pertanyaannya, bukankah
kita akan dicetak untuk menaati sistem
dalam pendidikan sebagai Ideologi-
cal State Apparatus ala Althusser? Kita
adalah iron stock, kita diduplikasi sede-
mikian rupa agar memenuhi kebutuhan
kapital akan sumber daya manusia yang
taat kepada sistem.
Lalu mengapa masih berbangga hati
menyandang empat gelar tersebut, ka-
lau toh, pada akhirnya kalian tidak lebih
sama dengan sistem yang kalian protes?
(Perdana Putri)
pamflet
04/2014 5
Pendidikan: Reproduksi Kelas?
Sesi ini, penulis akan mengajak berdiskusi sidang
pembaca sekalian untuk memperhatikan sejenak
posisi pendidikan dengan proses reproduksi kelas di
dalam masyarakat, seperti apa posisi dan fungsinya,
sehingga ia layak untuk diperbincangkan.
Reproduksi Kondisi Produksi
Sebelum mendiskusikan posisi pendidikan dalam
sistem kapitalisme, perlu dijelaskan terlebih dahu-
lu kebutuhan apa yang membuat posisi pendidikan
menjadi begitu penting dalam sistem tersebut. Hal
tersebut menjadi pemberi makna pendidikan dalam
skema Kapitalisme.
Dalam sistem Kapitalisme, terdapat ciri antropo-
logis yaitu rasionalitas dan keberlanjutan. Dengan
ciri tersebut, terdapat suatu skema yang harus selalu
dibangun oleh Kapitalisme guna mempertahankan
keberadaannya, yaitu reproduksi. Hal itu merupakan
prasyarat mutlak bagi keberlangsungan dirinya.
Tanpa adanya reproduksi yang terus menerus, suatu
formasi sosial hanya akan bertahan sementara. Re-
produksi di sini diartikan secara spesifk sebagai re-
produksi dari kondisi produksi. Mengapa reproduksi
berada di ranah mendasar (produksi)?
Hal tersebut seperti metafora bangunan yang digu-
nakan Marx dalam melihat struktur masyarakat seca-
ra keseluruhan. Menurutnya, susunan struktur mas-
yarakat itu seperti bangunan, yaitu terdapat pondasi
(basis) dan bangunan atasnya (suprastruktur). Dalam
struktur tersebut, pondasi dari masyarakat untuk tetap
ada dan disebut sebagai masyarakat, terdapat pada
model produksi tertentu yang menjadi cara masya-
rakat tersebut untuk bertahan hidup. Inilah yang di-
sebut dengan basis. Selanjutnya, ada Suprastrukturdi
atasnya seperti negara, hukum, politik, kebudayaan,
dan ideologi. Dalam relasinya, basis akan mempen-
garuhi suprastruktur, artinya cara produksi pada sua-
tu masyarakat akan berpengaruh pada bentuk negara,
hukum, politik, kebudayaan, dan ideologinya.
Akan tetapi, hubungan antara keduanya tidaklah
satu arah, melainkan dialektis/dua arah. Dalam kon-
disi tertentu bisa dimungkinkan tindakan balik
dari suprastruktur ke basis sejauh dalam batas-batas
yang diberikan oleh basisnya.Dengan demikian, un-
tuk melihat bahwa suatu sistem sosial, misal dalam
kapitalisme, dapat terus berjalan, maka dipastikan
terdapat model produksi tertentu yang terus berjalan
di dalamnya. Adapun untuk bisa terus memproduksi,
maka diperlukan sebuah reproduksi atas kondisi pro-
duksi tersebut secara terus-menerus.
Kondisi produksi diasumsikan bahwa di setiap ta-
tanan sosial terdapat modus produksi yang dominan.
Dalam tatanan sosial saat ini, modus produksi yang
dominan adalah kerja-upahan. Maka, mereproduksi
kondisi produksi tersebutbertujuan untuk memper-
tahankan kondisi produksi yang telah mengakar, di
dalam dan di bawah relasi produksi yang tetap terse-
but. Menurut Althusser (2008) terdapat dua hal yang
harus direproduksi dalam setiap tatanan sosial agar
tetap terus berlangsung, yaitu kekuatan produktif dan
relasi produksi yang telah ada. Reproduksi dalam
skema kapitalisme pun juga mengacu dalam dua hal
tersebut.
Di dalam sistem produksi secara umum terdapat
dua elemen penyusun: alat produksi dan sumber daya
manusia. Dengan demikian, reproduksi kekuatan
produksi meliputi reproduksi pada dua hal tersebut.
Reproduksi alat produksi, dalam tingkat perusahaan
dilakukan dengan pembelian bahan baku dan mesin-
mesin, berikut dengan perawatannya. Sedangkan da-
lam konteks global, karena setiap perusahaan butuh
mereproduksi alat produksinya sendiri, dan itu tidak
dapat dipenuhi sendiri olehnya, maka ia akan selalu
membuat rangkaian tanpa akhir dari skema yang
saling membutuhkan antar perusahaan. Hal ini dije-
laskan Marx dengan hubungan pembagian kerja se-
cara sosial antara dua departeman, yaitu departemen
I (produksi alat produksi) dan departemen II (pro-
duksi alat konsumsi).
Reproduksi Sumberdaya Manusia
Karena berhubungan dengan pendidikan, kita akan
berfokus pada reproduksi sumber daya manusia.
Dalam sistem kapitalisme, di sinilah letak dari ranah
pendidikan.
Reproduksi material dari sumber daya manusia di-
peroleh pekerja melalui upah yang diterimanya. Upah
adalah nilai yang digunakan untuk merumuskan
ulang tenaga pekerja, atau sebagai mata nilai peng-
ganti pemulihan tenaga kerja yang telah dikeluarkan
oleh pekerja dalam sehari. Tujuannya, agar pekerja
bisa datang kembali esok harinya. Dalam upah itu
tercangkup, (1) Biaya pemenuhan kebutuhan pekerja
secara biologis dan sosial, dan (2) Biaya untuk mem-
besarkan dan mendidik anak-anak yang merupakan
reproduksi kaum proletar itu sendiri. Namun, kondisi
tersebut belum cukup untuk menjamin reproduksi di
bidang sumber daya manusia.
Dalam perkembangan selanjutnya, Kapitalisme me-
miliki kebutuhan untuk menjadikan pekerja berkom-
pamflet
04/2014 6
peten dalam bidangnya. Kompeten di sini maksudnya
nya bahwa pekerja harus cocok ditempatkan dalam
suatu pembagian kerja yang rumit. Dengan begitu,
terdapat tuntutan bahwa setiap pekerja harus memi-
liki keahlian tertentu dan jumlahnya yang terdeferen-
siasi. Berhadapan dengan sistempembagiankerjater-
sebut, maka pekerja harus dibentuk dan direproduksi
dengan cara yang seperti itu pula.
Sistem dan institusi pendidikan (kapitalis) di sini
berperan dalam membentuk dan menjalankan re-
produksi keahlian pekerja tersebut, yang tidak da-
pat dijalankan oleh sistem internal produksi sendiri.
Dalam pendidikan, setiap manusia diajarkan cara
membaca, menulis, dan berhitung. Keahlian dasar
ini merupakan bentuk manifestasi hasil pendidikan
yang dapat digunakan dalam pelbagai jenis pekerjaan
dan pembagiannya. Dengan begitu, ajaran utama dari
sistem pendidikan kapitalis adalah pembelajaran ten-
tang know-how.
Tetapi selain mempelajari tentang pengetahuan dan
teknik, pelajar di institusi pendidikan diajarkan ten-
tang aturan tingkah laku yang baik, yang tak lain
merupakan norma dan tata aturan yang diciptakan
untuk mengatur kehidupan mereka dalam ranah
yang telah ditentukan oleh penguasa atau kapitalis.
Maka, sebenarnya, dalam sekolah setiap orang dia-
jarkan untuk selalu patuh pada tatanan yang dibangun
penguasa/kapitalis. Kesimpulan dari ini, sepertiyang
dijelaskan Althusser, bahwa Reproduksi tenaga kerja
membutuhkan tidak saja reproduksi keahlian mereka
saja, tetapi pada saat yang sama, merupakan reproduksi
ketundukan sumber daya manusia kepada aturan yang
sudah mapan. Dengan begitu, reproduksi sumber daya
manusia yang dijalankan institusi pendidikan, membe-
rikan dua hal yaitu reproduksi keahlian dan ketundukan
pada ideologi penguasa/kapitalis. Hal ini dapat dilihat
pada reproduksi ketundukan terhadap ideologi yang be-
roperasi pada pekerja, karena jelas reproduksi keahlian
hanya dapat terjaadi dalam bentuk dan dibawah ketun-
dukan pada ideologi yang sedang berjalan.
Pendidikan sebagai Ideological State Aparatus (ISA)
Berkaitan dengan ketundukan ideologis, institusi pendi-
dikan berperan besar dalam menjalankan proses ideolo-
gisasi ini. Dalam bahasa Althusser institusi pendidikan
ditempatkan sebagai ISA (Ideological State Aparatus)
yang paling dominan dalam relasi produksi Kapitalis-
me. Aparatus jenis ini merupakan alat dari negara untuk
melakukan secara massif proses yang menonjolkan ideo-
logi, termasuk di dalamnya pembentukan dan penjaga-
annya. Hal ini sangat penting karena tak ada kelas atau
penguasa yang dapat berkuasa lama, tanpa memegang
kendali dan menjalankan hegemoni di sekeliling apara-
tus ideologis. ISA digunakan kelas yang berkuasa untuk
menjaga hagemoni ideologi tersebut.
Apa siginifkansi penjagaan hagemoni ideologi ini?
Bagi Kapitalisme, ini adalah bagian dari reproduksi re-
lasi produksi yang telah berjalan. Dengan adanya ISA,
proses kesadaran mengenai relasi produksi yang eksploi-
tatif ditempatkan dalam konteks yang biasa-biasa saja,
dengan demikian, gejolak perlawanan dijauhkan dari
pekerja dan relasi produksi dapat berjalan secara kontin-
yu. Disinilah letak reproduksi relasi produksi yang telah
berjalan. Dengan ISA juga, proses pendisplinan tubuh
dijalankan dengan mengikuti pola kerja yang ada dalam
kehidupan Kapitalisme. Dalam dunia sekarang, adakah
sebuah institusi aparatus negara ideologis yang dapat
memaksa peserta di dalamnya terlibat dalam aktivitas
selama, minimal, delapan jam selama enam hari, kecua-
li sekolah? Pendisiplinan ini dibentuk dalam kerangka
menyiapkan diri-diri manusia dalam memasuki dunia
kerja berikutnya.
Melihat paparan, yang sebagian besar diambil dari
pemikiran Althusser di atas, kita bisa menyimpulkan
bahwa sistem dan institusi pendidikan memiliki peran
yang strategis di tubuh kapitalisme. Pertama sebagai ba-
gian dari skema reproduksi alat produksi, dimana dalam
hal ini pendidikan menempati fungsi sebagai reproduksi
sumber daya manusia, dan kedua, berperan sebagai pe-
laku utama dari reproduksi relasi hubungan produksi
dengan menjadi ISA.
Bila kita dibesarkan dalam tradisi pendidikan seper-
ti yang di atas, kesadaran menjadi sangat penting. Dan
tulisan ini dibuat untuk menyuntikan kesadaran itu. Se-
telah kita sadar, suatu tindakan untuk mempelajari kon-
disi sosial secara kritis dan mengubahnya, menurut saya,
adalah tindakan yang berada dalam jalan yang lurus
(Shiratal Mustaqim).
(Dicky D. Ananta)
pamflet
04/2014 7
pamflet
04/2014 8
AKSI MASSA
SEBUAH PILIHAN TERLUPAKAN DALAM GERAKAN MAHASISWA
Ketika gerakan mahasiswa telah termisti-
fkasi oleh jargon-jargon usang peningga-
lan rezim orde baru selama bertahun-tahun,
maka kita menemukan gerakan tersebut telah
terborjuasi dalam segala aspeknya. Kenyata-
an sehari-hari setelah reformasi tahun 1998
menunjukkan dengan gamblang sekali bahwa
gerakan mahasiswa makin terasing dari basis
materialnya yaitu mahasiswa. Gerakan yang
keberadaannya lahir dari kesadaran intelek-
tualitas mahasiswa atas pembacaan terhadap
kondisi realitas disekelilingnya, justru se-
makin menjauh keberadaan dari realita ke-
hidupan mahasiswa tempatnya berasal. Ke-
beradaan mahasiswa secara objektif sebagai
basis massa bagi gerakan mahasiswa hanya-
lah berakhir sebagai objek eksploitasi yang
dilatarbelakangi kerakusan-kerakusan akan
berbagai kepentingan delusif.
erdapat jurang yang semakin melebar anta-
ra mahasiswa sebagai basis dan gerakan ma-
hasiswa sebagai wadah bagi perjuangannya.
Wadah atau struktur tersebut telah tereduksi
menjadi bangunan kokoh idealisme yang
hanya bisa dimasuki oleh segelintir maha-
siswa elitis yang disokong oleh kepentin-
gan tuan-tuannya yang tak terlihat. Artinya
gerakan mahasiswa justru tidaklah ramah
bagi seorang mahasiswa biasa, yang kare-
na tidak mempunyai akses dari tuan-tuan tak
terlihat tersebut, akan selalu terpinggirkan
ketika dirinya ingin masuk kedalam gerakan
tersebut.Selain itu, seleksi lain yang tak kalah
kejam adalah urusan perut dan sistem akade-
mis yang tiap hari mencekik kehidupan setiap
mahasiswa di kampusnya sendiri. Sehingga
seperti adalah sebuah kewajaran jika gerakan
mahasiswa kemudian menjadi sebuah ke-
mewahan yang asing dan tak terjangkau.
Untuk itu dalam tulisan ini, penulis me-
nawarkan suatu teori alternatif bagi kondisi
gerakan mahasiswa yang berada dalam ke-
terasingan tersebut. Yaitu sebuah teori yang
pernah dikembangkan oleh Tan Malaka men-
genai aksi massa. Teori tersebut berangkat
dari sebuah kondisi hampir serupa yang per-
nah terjadi dalam gerakan rakyat Indonesia
pada masa kolonial Belanda. Masa tersebut
adalah saat gagalnya pemberontakan PKI ta-
hun 1926 yang kemudian dampaknya adalah
semakin represifnya pemerintahan kolonial
terhadap seluruh gerakan kemerdekaan In-
donesia. Sebuah pembacaan kritis terhadap
gerakan yang berbasis pada aksi massa, te-
tapi seperti melupakan keberadaan massanya
sendiri. Kondisi tersebut, tentunya dengan
penyesuaian konteks waktu dan tempat, teta-
plah relevan untuk menggambarkan gerakan
mahasiswa yang juga telah melupakan basis
massanya yaitu mahasiswanya itu sendiri.
Kondisi Sosial dan Politik Mahasiswa
di Kampus
Jika kita kembali melihat posisi mahasiswa
dalam konteks struktur kekinian masya-
rakat Indonesia, maka tidaklah sulit melihat
bahwa para mahasiswa tersebut adalah objek
penghisapan kapitalisme juga. Bahkan lebih
ekstremnya mahasiswa hanyalah dianggap
sebagai media untuk melanggengkannya.
Hal tersebut bisa terlihat pengkondisian iklim
kampus yang terus didorong menjadi liberal.
Bukan karena massa bodoh atau tidak memperhatikan, melainkan karena massa
hanya berjuang untuk kebutuhan yang terdekat dan sesuai dengan kepentingan
ekonomi
-Tan Malaka
pamflet
04/2014 9
untuk melenakan mahasiswa kedalam ilusi
mengenai kehidupan ideal. Disini ego indi-
vidualisme mahasiswa akan seperti didorong
ke tingkat maksimal melebihi realita tentang
keberadaan mereka secara sosial sebagai
bagian masyarakat. Bahkan kenyataan me-
reka sebagai bagian dari masyarakat yang
terhisap oleh sistem kapitalisme seperti ter-
lupakan karena mereka berfantasi telah tum-
buh menjadi struktur sosial tersendiri dalam
masyarakat. Dalam fantasi terliarnya sebagai
sebuah struktur sosial baru, mereka dirinya
lebih superiordari masyarakat sekelilingnya
dan bisa menentukan apa yang seharusnya
dilakukan masyarakat tersebut. Salah satun-
ya adalah mereka merasa dirinya mampu
merubah masyarakat tersebut sesuai idealis-
me yang mereka sukai. Begitu delusionalnya
mahasiswa akan posisinya sendiri, sehingga
dapat didapati bahwa dikampusnya ada ma-
hasiswa yang tidak tahu menahu akan maha-
siswa lainnya
Hal ini juga terakumulasi dalam gerakan-
gerakan mahasiswa yang lahir dari individua-
lisme ideal yangdisebut oleh Tan Malaka se-
bagai Putch1, yaitu gerakan yang dilakukan
oleh orang yang sedang demam dengan im-
piannya atau baru keluar dari sebuah gua.
Gerombolan gerakan mahasiswa tersebut
muncul sporadis layaknya jamur di musim
hujan dengan berbagai hasil lamunan-lamu-
nan dalam kepalanya. Lalu dengan lamunan-
lamunannya tersebut, mereka menyimbolkan
dirinya sebagai representasi dari seluruh ma-
hasiswa. Hal ini terjadi karena mereka men-
ganggap bahwa mahasiswa yang mereka wa-
kili tersebut tidak kurang lebih seperti yang
mereka bayangkan. Akibatnya mereka den-
gan semaunya membuat berbagai program
gerakan yang semu dan menyesatkan tentang
moral dan politik yang universal.Padahal
kenyataannya, walau pun memang berbasis
massa dari mahasiswa, mereka tak pernah be-
nar-benar mengecek kondisi mahasiswa yang
menjadi basis massa bagi gerakannya. Lebih
buruknya lagi, mereka juga mungkin tidak
benar-benar memperhitungkan lebih dahulu
apakah aksi massa mereka sudah matang apa
belum.Tanpa tujuan konkret, tanpa tahu sia-
pa yang harus didengar gerakan mahasiswa
terombang-ambing.
Sehingga seperti apa yang dikatakan
oleh Tan Malaka ketika menganalisis setiap
gerakan yang dilakukan oleh gerombolan
putch di tahun 20-an2, maka dengan jelas da-
pat kita lihat dalam gerakan mahasiswa saat
ini. Bahwa bukan berarti massa mahasiswa
menjadi tidak peduli dengan segala isu yang
dibawa oleh gerakan mahasiswa. Namun, se-
tiap isu yang mereka bawa tidak menyentuh
kondisi aktual yang setiap hari mereka alami
yang begitu fundamentalnya di masyarakat,
yang sebenarnya pun akan turut mengubah
kehidupan mereka.
Alat dan Strategi Perjuangan
Gerakan aksi massa dimanapun dan dalam
bentuk apapun tak akan turun dari langit be-
gitu saja. Mereka ada karena disebabkan oleh
berbagai prekondisi yang saling mendahu-
lui. Aksi massa menurut Tan Malaka, tidak
membutuhkan fantasi kosong gerombolan
putch, opurtunis, petualang, ataupun orang
yang hanya ingin jadi seorang pahlawan.
Aksi massa berasal dari orang banyak untuk
memenuhi kehendak ekonomi dan politik
mereka. Ia selalu diawali oleh sebuah per-
samaan, yaitu timbul karena adanya sebuah
krisis baik dalam politik maupaun ekonomi.
Sehingga dalam sejarahnya sendiri sebuah
kemangan politik yang diperoleh dari aksi
massa, diawali oleh perjuangan dalam politik
dan ekonomi3.
Hal demikian juga berlaku bagi sebuah ge-
rakan mahasiswa yang tidak ingin terasing
dari basis massanya yaitu mahasiswanya
sendiri. Mereka harus berangkat dari krisis
yang sedang dialami para mahasiswa itu sen-
diri dalam sistem kapitalisme yang saat ini
direpresentasikan oleh kampus sebagai insti-
pamflet
04/2014 10
tusinya. Tentunya itu sekali lagi tak akan le-
pas dari urusan ekonomi dan politik. Apalagi
kalau tidak jauh dari hal-hal seperti masalah
biaya kuliah dan biaya hidup yang makin
tidak adil dan timpang, tuntutan akademik
yang semakin tidak masuk akal sementara
kualitasnya rendah, serta kebebasan non aka-
demik yang semakin dipangkas (seperti ma-
kin didepolitisasinya mahasiswa, favoritisme
pada gerakan politik tertentu, sampai urusan
moral mahasiswa).
Lalu harus seperti apakah gerakan maha-
siswa seharusnya? Apakah gerakan maha-
siswa borjuasi yang tak lebih dari bagian
alat penghisap sistem? Atau gerakan berbasis
fundamentalis agama yang memistifkasikan
kebenaran dalam kebanalan? Tan Malaka
mensyaratkan keberadaan sebuah partai bagi
keberlangsungan dari aksi massa4. Tentunya
yang dimaksud partai disini bukanlah par-
tai yang selama ini kita temui dan juga kaki
tangan-kaki tangan dalam bentuk gerakan
mahasiswa di kampus. Partai yang dimaksud
disini adalah partai yang revolusioner dan
juga demokratis dalam artiannya yang se-
sungguhnya. Artinya partai tersebut haruslah
menjadi wadah yang mampu mengumpulkan
dan memusatkan kekuatan-kekuatan revolu-
sioner yang ada dengan jalan aksi massa yang
terencana5. Ia juga harus menghadirkan ko-
lektivitas di dalam pengambilan keputusan
hasilnya harus benar-benar putusan bersama
anggota6. Lalu kembali kepada soal seperti
apakah gerakan mahasiswa itu seharusnya,
maka seperti partai yang dikonsepkan oleh
Tan Malaka, gerakan mahasiswa harus beru-
pa organisasi yang tersusun dan terencana
rapi. Hal itu karena organisasi gerakan ma-
hasiswa tersebut haruslah mampu mengorga-
nisasi aksi massa yang terstruktur dan solid.
Bagaimanapun keberadaan sebuah organisasi
bagi gerakan mahasiswa yang otentik harus
hadir sebagai alat untuk memperjuangkan
kemenangan secara politik dan ekonomi bagi
mahasiswa melawan rezim kampus.
Pada Akhirnya.
Kenyataan bahwa gerakan mahasiswa saat
ini seperti terasing dari basis massanya yaitu
mahasiswa. Keterasingan tersebut yang ke-
mudian pada akhirnya melumpuhkan gerakan
aksi massa dalam kehidupan perpolitikan
mahasiswa. Saat ini gerakan mahasiswa cen-
derung ditinggalkan karena setiap isu yang
mereka bawa dalam gerakannya bukanlah isu
yang setiap hari mereka hadapi. Terutama isu
yang menyangkut soal ekonomi dan politik
bagi mahasiswa itu sendiri. Padahal setiap
harinya mereka harus selalu dihadapkan pada
keberadaan rezim kampus yang menghamba
kepada berbagai kepentingan. Salahsatunya
berupa kepentingan akumulasi modal.
Salah satu cara untuk mengembalikan ge-
rakan mahasiswa kepada basis massanya ada-
lah melalui mengembalikan fokus gerakan
kepada isu terpenting yang dihadapi oleh
setiap mahasiswa di kampus manapun, yaitu
isu ekonomi dan politik. Tanpa itu gerakan
mahasiswa yang bertumpu kepada aksi mas-
sa tidak akanlah berjalan dengan signifkan.
Gerakan yang ada hanyalah akan terjebak ke-
dalam ideal yang sangat individualisme yang
tidak akan menyentuh inti pokok kontradiksi
permasalahan. Tidak lain tidak bukan adalah
penguasaan ekonomi dan politik melalui pen-
guasaan modal yang telah menggurita dalam
sistem kapitalisme.
(Muhammad Teguh)
pamflet
04/201411
T: AssalamualaikumCuk.
C: Waalaikumsalam Tong. Dari mana loe?
T: Dari keluarga yang baik-baik, Cuk.
C: Atur dah atur. Palingan abis aksi ye sama anak-anak?
T: Hahaha, yooiii. Biasa, Cuk. Kan kita mahasiswa, gak bisa kita cuman bela-
jar doang di kampus. Masyarakat butuh sama kita, Cuk.
C: Widiih, mahasiswa gerakan banget nih lauEmang bedanya kita
sama masyarakat apaan sih Tong?
T: Kan kita agent of change cuk. Kita golongan terdidik dan terpelajar.
Sebagai mahasiswa, kita harus selalu turun ke masyarakat, memberi
pencerdasan ke mereka. Ini jakun bukan sekedar jaket bro!
C: Hoo, gitu yak TongLoe OKK gak pernah bolos ya pasti? Hafal banget
kayaknya gitu-gituan.
T: Lau sensi banget kayaknya CukEmang menurut loe gimana?
C: Ya menurut gue, mahasiswa itu gak lebih tinggi dari masyarakat Tong.
Mahasiswa itu bagian dari masyarakat. Sok banget, nganggep diri kita itu lebih
tinggi dari masyarakat, agent of changelah, apalah. Loe pernahbacaberitasoali-
bu-ibu Rembang yang bulan puasa kemarin aksi di hutan berhari-hari, ngelawan
perusahaan semen yang mau ancurin tempat tinggal mereka?
T: Pernah denger sekilas sih Cuk, cuman kan anak-anak lagi fokus ke isu-isu
nasionalYaudah emang kenape itu ibu-ibu?
C: Itu ibu-ibu aksi loe kira ada mahasiswa apa yang gerakin? Kagak Tong!
Mereka kagak butuh jakun atau ngisi IRS buat bisa gerak. Padahal sekolah aja
belum tentu. Gerak juga pake duit sendiri, kagak pake duit emaknya.
T: Ya tetep aja Cuk, mahasiswa ya mahasiswa.
C: Terserah loe, Tong. Gue cabs dulu ya.
T: Yaudah sono. Inget Cuk, kita ini maha-siswa, udah bukan siswa bia-
sa. Masyarakat butuh kita, Cuk!
C: Iyeiye. Ngomong-ngomong, cuman di Indonesia doang tau Tong,
kita dipanggil maha-siswa. Loe coba cari dah, di luar sono kagak ada
tuh super-student, mahasiswa tetep student biasa kok!
pamflet
04/2014 12
IDEALISME DI SIMPANG JALAN
Saya tidak tertarik membuka tulisan ini
dengan kuotasi syahdu Tan Malaka soal idea-
lisme, harta, dan pemuda. Bagi saya, sudah
kepalang basi. Toh di zaman sekarang kita
tinggal retweet saja di media sosial dari akun
yang rajin memberikan kuotasi Tan Malaka.
Yang tak pernah basi adalah membicarakan
idealisme itu sendiri dan bagaimana seha-
rusnya, tidak hanya mahasiswa, tapi semua
manusia memaknainya, lebih dari sekadar
sebuah kata sifat.
Yang membingungkan tentu ketika men-
defnisikan Apa sebenarnya idealisme itu?
Mengapa pada pemuda itu adalah sebuah
harta? Ini pertanyaan yang jawabannya san-
gat terbuka, jadi silakan anda yang menjawab
sendiri. Bagi saya, idealisme adalah sebuah
kutukan yang terus menghantui seseorang,
membuatnya sadar akan demoralisasi dan
perangkap kehidupan instan. Jika anda ber-
kenalan dengan demoralisasi dan kepahitan
hidup, hanya ada dua pilihan: menjadi idealis
lalu akhirnya gila dan tersadar, atau berpura-
pura dan terseret dalam kualitas masyarakat
yang terus menurun. Idealisme tidak pernah
hadir dalam kuotasi Tan Malaka, tapi ia hadir
dalam cita-cita Tan Malaka itu sendiri.
Sampai di titik ini, saya tidak pernah me-
rasakan indahnya idealisme.Bagaimana ra-
sanya menertawai kehidupan tapi juga harus
menangiss bersamanya seiring memperbai-
kinya. Menjadi idealis berarti menandatanga-
ni kontrak untuk terus menerus memakai isi
otak dan mengkritisi nilai-nilai kehidupan
baik yang benar maupun yang salah. Bukan
karena ia begitu terpaku pada idenya, tapi
bagi saya justru seorang idealis tahu dunia
jauh lebih luas daripada ide di dalamdirinya,
oleh karena itu ia harus terus membuka pi-
kirannya akan berbagai kemungkinan akan
permasalahan hidup dan penyelesaiannya.
Berpikir, tidak seperti pemilu, tidak perlu
menunggu lima tahun sekali untuk di-
lakukan. Setiap detik, setiap waktu kita
selalu berpikir, karena itulah yang membuat
kita waras dan tidak waras secara bersama-
an. Berpikir, sebagai kata kunci dalam
memahami idealisme, berarti menjadi hidup
itu sendiri dan mengasah sensitivitas akan
kehidupan di sekitarnya. Idealisme adalah
sebuah perayaan yang dikutuk, karena ia
merayakan matinya ketidakacuhan.
Lalu ada apa dengan pemuda dan idealisme?
Pemuda selalu diasosiasikan dengan orang
yang bergejolak dan berada di pinggir sis-
tem. Karakter yang terasosiasi tersebut erat
dengan idealisme, karena di dalamnya selalu
ada letupan pemikiran. Yang muda yang
berkarya, yang muda yang menguasai itu
benar adanya, karena ia akan selalu memili-
ki idealismenya, antara sadar ataupun tidak.
Akan tetapi, tentu saja, sebaiknya sih sadar
kalau punya dan sebaik-baiknya kesadaran,
adalah yang digunakan untuk perubahan.
(Perdana Putri)
pamflet
04/2014
13
pamflet
04/2014 14
pamflet
04/2014
15

You might also like