You are on page 1of 139

KADIPATEN SELOMANIK SEBAGAI BASIS KEGIATAN POLITIK

KEAGAMAAN PADA MASA KOLONIAL


(1825-1830)

SKRIPSI
Diajukan dalam rangka menyelesaikan studi strata I untuk mencapai
gelar sarjana ilmu sejarah di Universitas Negeri Semarang

Oleh:

Nama : Dwie Kurniaty Rahayu


NIM : 3150403007
Prodi : Ilmu Sejarah
Jurusan : Sejarah

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2007

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi berjudul: ”Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan politik

keagamaan pada masa kolonial (1825-1830)”, telah disetujui oleh dosen

pembimbing untuk diajukan di sidang ujian skripsi, pada:

Hari :

Tanggal :

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Ibnu Sodiq, M.Hum. Arif Purnomo, S.S.,S.Pd., M.Pd.


NIP. 131 873 677 NIP. 132 238 496

Mengetahui,

Ketua Jurusan Sejarah

Drs. Jayusman, M.Hum.


NIP. 131 764 053

ii
PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan

Sejarah Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada:

Hari :

Tanggal :

Penguji utama

Drs. Ba’in, M. Hum


NIP. 131 876 207

Penguji I Penguji II

Drs. Ibnu Sodiq, M. Hum Arif Purnomo, S. Pd, S.S, M. Pd


NIP. 131 813 677 NIP. 132 238 496

Mengetahui,

Dekan

Drs. H. Sunardi, M. M
NIP. 130 367 998

iii
PERNYATAAN

Saya menyatakan yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya

sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau

seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam tugas akhir

ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Juli 2007

Dwie Kurniaty Rahayu

iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto:

”Dosa Terbesar adalah Ketakutan, Rekreasi Terbaik adalah Bekerja, Musibah

Terbesar adalah Keputusan, Keberanian adalah Sebuah Kesabaran, Guru

Terbaik adalah Pengalaman, Misteri Terbesar adalah Kematian, Karunia

Terbesar adalah Anak Yang Sholeh-Sholehah, Sumbangan Terbesar adalah Ikut

Berpartisipasi, modal terbesar adalah Kemandirian” (Nasihat Ali Bin Abi

Thalib)

Persembahan:

Skripsi ini penyusun persembahkan kepada:

1. Bapak, ibu, kakak, adek-adekku tercinta yang telah memberikan dukungan

moril maupun materiil

2. Keluarga besar di Wonosobo dan Magelang yang telah memberikan

cinta, nasehat, dan doanya serta semangat hingga terselesainya skripsi

ini

3. Staf Pengajar di Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Semarang

4. Bapak Khaerudin, Juru Kunci Makam Ki Ageng Selomanik yang telah

memberikan informasinya kepada penulis

5. Seluruh informan yang telah memberikan informasi yang berharga kepada

penulis

6. Alm. Nur Farida, Alm. Andi Tri Nugroho terima kasih telah menjadi

kakakku

v
7. Eko Ony yang selalu memberikan support untukku

8. Bunda Nissa, Budi Cay, Mas J, Nain, Awix, Ema yang selalu memberikan

semangat untukku

9. Seluruh penghuni Joven 2, Thank untuk kebersamaannya, Mbak Copix,

Monika, Lel, Bt, Dek Phika, dan Mas Den yang selalu menemaniku

10. Teman-teman Sejarah ’03 dan Almamaterku

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik,

dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini, sebagai satu syarat

untuk mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri

Semarang.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini tidak lepas dari bantuan berbagai

pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati

penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Sudijono Satroatmodjo, M. Si sebagai Rektor Universitas

Negeri Semarang, yang telah memberikan ijin kuliah dan fasilitas kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. H. Sunardi, M. M, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri

semarang yang telah memberikan kemudahan perizinan penelitian untuk

penulisan skripsi.

3. Drs. Jayusman, M. Hum, Ketua Jurusan Sejarah yang telah memberikan

dukungan dan kemudahan selama penulis belajar di Jurusan Sejarah

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Drs. Ibnu Sodiq, M. Hum, Dosen Pembimbing I yang telah membimbing

penulis dengan penuh kesabaran dan keiklasan serta memberikan waktu

dan ilmu pengetahuan dengan penuh bijaksana sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

vii
5. Arif Purnomo, S.S, Spd, M. Pd, Dosen Pembimbing II yang telah

membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan keiklasan serta

memberikan waktu dan ilmu pengetahuan, mengarahkan dan memberikan

masukan berharga bagi penulis.

6. Drs. Ba’in, M. Hum, penguji utama

7. Staf Pengajar Jurusan Sejarah yang telah membantu dan memperlancar

penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Kaerudin Juru Kunci Makam Ki Ageng Selomanik yang telah

memberikan informasi yang berharga kepada penulis.

9. Semua responden yang telah memberikan informasi kepada penulis.

10. Bapak, Ibu, kakak, dan adek-adekku yang selalu memberi dorongan dan

semangat.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan.

Semarang, Juli 2007

Penulis

viii
SARI

Dwie Kurniaty Rahayu. 2007. Kadipaten Selomanik sebagai basis Kegiatan


Politik Keagamaan pada Masa Kolonial (1825-1830). Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, xii+144 hal.

Kata Kunci: Kadipaten, Basis, Politik, Agama, Kolonial


Kadipaten Selomanik merupakan salah satu desa di Jawa, yang menjadi
pusat kegiatan politik, agama, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan pada
masa kolonial. Permasalahan yang diungkap dalam penelitian sebagai berikut:
(1) bagaimana perkembangan Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan
politik keagamaan pada masa kolonial tahun 1825-1830, (2) faktor yang
menyebabkan Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan politik keagamaan
pada masa kolonial tahun 1825-1830. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1)
menjelaskan perkembangan Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan
politik keagamaan pada masa kolonial tahun 1825-1830, (2) mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan
politik keagamaan pada masa kolonial tahun 1825-1830.
Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian adalah metode
sejarah (Historical Methode). Empat tahap metode sejarah, antara lain:
heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kadipaten
sebagai basis kegiatan politik keagamaan dimulai sejak berkembang Agama
Islam hingga menjelang kemerdekaan, puncaknya yaitu Perang Jawa (1825-
1830) yang dipimpin oleh Pangerang Diponegoro. Seorang tokoh pemuka
agama yaitu Kertawasesa II merupakan pengikut dari Pangeran Diponegoro
yang melarikan diri hingga sampai di Desa Selomanik. Di Desa Selomanik,
Wonosobo, Kertawasesa II, menetap dan diangkat menjadi Tumenggung.
Desa Selomanik berkembang pesat menjadi pusat pemerintahan. Selain
sebagai kepala pemerintahan, Kertawasesa II juga membantu di Pondok
Pesantren Selomanik untuk memberikan ilmu pengetahuan serta ilmu
keagamaan kepada santri/muridnya. Pondok Pesantren Selomanik dipimpin
oleh Kiai Ngalwi dari Tebuireng, Jawa Timur. Di pondok pesantren para
pemuka agama bertemu dan berkumpul, baik untuk melakukan sholat maupun
mengadakan pertemuan. Perkembangan desa sebagai basis kegiatan politik
keagamaan membawa perubahan pada masyarakat Desa Selomanik,
Wonosobo. Perubahan yang terjadi bersifat fundamental. Kiai mempunyai
kedudukan tinggi yaitu sebagai seorang pemimpin dalam bidang agama. Kiai
dalam menjalankan tugasnya untuk membuat strategi dalam melawan penjajah
kolonial. Sebuah organisasi dengan basis komunitas santri, menyebabkan
aktivitas yang terlibat dengan kegiatan politik. Kegiatan yang dilakukan oleh
para kiai berkaitan dengan gerakan sosial. Kenyataannya gerakan sosial tidak
bisa terlepas dari dinamika politik. Dengan adanya tradisi Islam sebagai
referensi sebuah gerakan Islam yang mempunyai kekuasaan yang berdasarkan
nilai-nilai ketuhanan. Agama Islam sebagai alat legitimasi terhadap kekuasaan
dan sebagai sarana perjuangan untuk menduduki struktur kekuasaan. Agama

ix
Islam sebagai sumber inspirasi kultural dalam kerangka paradigma dalam
pemikiran politik. Semua kegiatan politik, agama, sosial budaya bahkan
ekonomi dilakukan di desa-desa seluruh Jawa, tetapi yang paling menonjol
yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh para pemimpin perjuangan untuk
melawan penjajah yang bercorak keagamaan.

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................iii

PERNYATAAN......................................................................................iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN..........................................................v

KATA PENGANTAR.............................................................................vii

SARI........................................................................................................ix

DAFTAR ISI............................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...............................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................10

C. Tujuan Penelitian.........................................................................10

D. Manfaat Penelitian.......................................................................10

E. Kajian Pustaka.............................................................................11

F. Metode Penelitian........................................................................29

G. Sistematika Skripsi......................................................................37

BAB II KEADAAN DESA SELOMANIK, WONOSOBO

TAHUN 1825-1830...........................................................................39

A. Sejarah Desa Selomanik, Wonosobo...........................................39

B. Istilah Desa..................................................................................42

C. Istilah Kadipaten..........................................................................48

D. Keadaan Alam.............................................................................55

xi
E. Kondisi Sosial Ekonomi..............................................................56

F. Kondisi Sosial Agama..................................................................58

BAB III PERKEMBANGAN KADIPATEN SELOMANIK SEBAGAI BASIS

KEGIATAN POLITIK KEAGAMAAN (1825-1830).......................61

A. Peran Ki Ageng Selomanik.........................................................61

B. Kondisi Desa Selomanik tahun 1825-1830.................................69

1. Perkembangan di Bidang Politik............................................69

2. Perkembangan di Bidang Agama (Agama Islam)..................74

3. Peranan Kiai/ulama.................................................................80

4. Peranan Pondok Pesantren......................................................81

5. Masjid/ Langgar/ Surau...........................................................88

6. Makam.....................................................................................92

BAB IV KADIPATEN SELOMANIK SEBAGAI BASIS KEGIATAN POLITIK

KEAGAMAAN (1825-1830)..............................................................94

A. Faktor Ekonomi..............................................................................97

B. Faktor Politik..................................................................................111

C. Faktor Sosial Budaya......................................................................112

BAB V SIMPULAN..................................................................................118

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................122

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan judul Skripsi, Skripsi ini mencoba untuk menelaah Ki

Ageng Selomanik di Kadipaten Selomanik (1825-1830) pada masa kolonial.

Lingkup temporal yaitu tahun 1825-1830 karena tahun itu merupakan

terjadinya Perang Diponegoro. Orang Jawa biasa menyebut dengan Perang

Jawa. Waktu yang diambil karena sesuai dengan saat terjadinya peristiwa

sejarah. Peristiwa itu berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, namun

telah menimbulkan implikasi yang cukup besar dan luas, baik bagi masyarakat

pribumi maupun bagi pemerintah kolonial. Oleh karena itu, meskipun dalam

waktu yang singkat tetapi memerlukan kajian sejarah yang lebih mendalam.

Selama abad XIX hingga awal abad XX di berbagai daerah pedesaan

Jawa terjadi kerusuhan, kekacauan, perlawanan, serta pemberontakan yang

dilatarbelakangi oleh petani, bangsawan, dan rakyat. Gerakan itu merupakan

gerakan protes atau reaksi terhadap keadaan yang tidak adil, sehingga terjadi

protes dikalangan rakyat, petani dan bangsawan yang kurang puas terhadap

kinerja pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Gerakan tersebut pada

dasarnya bersifat religius, namun banyak yang mempunyai aspek duniawi,

seperti pergolakan petani yang nantinya masuk dalam faktor bidang ekonomi.

Sedangkan gerakan itu dipimpin oleh para pemuka agama/ kiai yang

mempunyai peranan penting dalam pemerintahan (Hayati, 2000: 2)

1
2

Konflik yang terjadi kebanyakan adalah konflik-konflik sosial yang

didukung dengan keagamaan. Konflik yang terjadi merupakan gerakan sosial.

gerakan sosial dilakukan oleh para bangsawan, pemuka agama, dan rakyat.

Hal itu disebabkan, karena rakyat menyatakan diri kurang puas terhadap

peraturan pemerintah dalam segala bidang, baik di bidang ekonomi (masalah

pajak), perluasan daerah, serta penyebaran Agama Kristen, pola perilaku yang

mengikuti mode orang-orang Barat, seperti yang terjadi di Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Surakarta yaitu yang ditandai dengan Perang Jawa (Perang

Diponegoro).

Perang Diponegoro dimulai tahun 1825-an. Bermula di daerah

Yogyakarta dan sekitarnya. Seiring waktu, ternyata perang tersebut meluas

kedaerah-daerah lain diluar pusat pemerintahan kerajaan hingga sampai ke

beberapa daerah, seperti: Karesidenan Kedu, Karesidenan Bagelen,

Temanggung, Wonosobo, Pantai Utara Jawa bahkan sampai Ngawi dan

Madiun di Jawa Timur (Zuhri, 1981: 36). Kadipaten Selomanik dibawah

kekuasaan Mataram dan tidak termasuk bagian dari Karesidenan Kedu,

maupun Bagelen. Kadipaten Selomanik bukan daerah perdikan.

Perang Jawa (1825-1830), dipimpin oleh Pangeran Diponegoro,

merupakan keturunan Mataram dibawah Pakubuwono II. Kedatangan bangsa

asing di Indonesia, khususnya di Jawa/ lingkungan kerajaan menyebabkan

seluruh lapisan masyarakat di wilayah kerajaan Mataram benci terhadap sikap

pemerintah sendiri maupun terhadap pemerintah Kolonial. Hal itu dikarenakan

wilayah kekuasaan Mataram dipersempit. Para bangsawan juga merasa


3

kecewa terhadap pemeritah kolonial yang melarang mereka untuk

menyewakan tanah kepada pengusaha-pengusaha perkebunan bangsa Belanda.

Adanya persebaran peradaban Barat di lingkungan kerajaan dikarenakan adat

Barat dianggap bertentangan dengan adat Timur yang masih memegang kokoh

ajaran Agama Islam di lingkungan kerajaan maupun sekitarnya. Orang-orang

Eropa yang ada di istana menyebarkan pengaruh yang buruk terhadap generasi

penerus yang ada dalam keraton. Selain itu rakyat sangat menderita terhadap

sikap pemerintah yang menerapkan pajak cukup besar terhadap rakyat. Rakyat

juga bekerja rodi untuk kepentingan pemerintah Kolonial (Djuliati, 2000: 84).

Keraton yang berkedudukan di Yogyakarta saat itu, Belanda mulai

campur tangan dalam urusan intern, sehingga menimbulkan berbagai masalah

yang meresahkan keluarga keraton. Salah satu dari ahli waris keraton adalah

Pangeran Diponegoro. Seorang putra dari Sultan Sepuh yang berdomisili di

tengah-tengah masyarakat Tegalrejo. Ia merasa terusik atas tingkah laku

orang-orang Belanda yang berada di wilayah kerajaan. Pemerintah kolonial

terlalu menekan baik kepada keluarga keraton maupun rakyat kecil yang

sepanjang hidupnya berkorban, bekerja keras untuk kepentingan para

penguasa dan penjajah kulit putih (Carey, 2004: IX).

Pada masa pemerintahan kolonial (Daendels) berlangsung, RM.

Mustahar sudah berangkat dewasa dan menyaksikan kehidupan rakyat yang

cukup berat atas kewajiban dalam menjalani kerja paksa untuk bekerja berat,

padahal kerja itu ditentukan oleh peraturan dari pemerintah keraton. Dengan

keadaan itu, sejak masih muda RM. Mustahar sudah pintar dalam mengolah
4

pola pikirnya. Ia tersentuh atas segala sesuatu yang dialami oleh rakyatnya.

Demikian juga saat terjadi pemelaratan di kalangan bangsawan dimana segala

kekuasaannya dipersempit oleh pemerintah kolonial yang terpaksa

menyewakan tanahnya bahkan menjual tanahnya kepada pemerintah keraton

(Penadi, 2000: 22-24). Bangsa Indonesia abad XIX mengalami perubahan

yang dirasakan oleh rakyat diberbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa.

Jawa merupakan daerah yang tanahnya sangat subur, berpenduduk padat dan

paling maju. Daerah yang tanahnya sudah siap diolah untuk menghasilkan

berbagai komoditas, sehingga menjadi perhatian utama bagi penjajah (Djuliati,

2000: 2).

Pada tahun 1825-1830, pemerintah kolonial merencanakan membuat

jalan pintas tetapi melampui batas dan akibatnya telah melintasi makam

leluhur Pangeran Diponegoro. Tanpa meminta ijin terlebih dahulu, pemerintah

kolonial menyuruh menancapkan tonggak-tonggak kayu di atas makam

tersebut. Akibatnya Pangeran Diponegoro beserta keluarga marah dan

meminta agar tonggak-tonggak kayu tersebut dicabut. Pemerintah kolonial

minta kepada Pangeran Mangkubumi untuk memangil Pangeran Diponegoro,

tetapi beliau menolak panggilan tersebut. Bahkan Pangeran Mangkubumi

mendukung sikap Pangeran Diponegoro. Tepat pada tanggal 20 Juli 1825, jam

lima sore, pasukan Belanda menyerbu kediaman Pangeran Diponegoro di

Telogorejo. Dengan demikian, Perang Jawa dimulai (Sagimun, 1965: 60).

Jalan yang dibangun antara Anyer-Panarukan merupakan pekerjaan

besar yang memerlukan kerja rodi dari seluruh penduduk sepanjang pulau
5

Jawa. Jalan tersebut dibangun bagi kepentingan perekonomian maupun

militer. Banyak rakyat yang menderita dan menjadi korban karena kelaparan,

kepanasan serta kerja yang berat. Hal itu yang menyebabkan banyak korban.

Disisi lain apa yang dilakukan oleh Daendels dengan segala peraturannya

menyebabkan para penguasa pribumi (bupati), bekel, demang, ikut dalam

permainan politik, namun ada juga yang menolaknya. Selain itu kedudukan

para penguasa pribumi yang ikut dalam permainan politik mengalami

kemerosotan, serta kehilangan kekuasaan dan wibawa (Burger, 1962: 127).

Pemerintah kolonial lebih suka mendekati dan memilih para

administrator Jawa dan semua bangsawan serta para pemimpin yang sukar

diajak untuk berdamai. Hal itu dengan cara mengangkat dan menjadikan

mereka sebagai pegawai dalam kedudukan pemerintahan. Namun tidak semua

mengikuti cara pemerintah kolonial justru banyak bangsawan dan rakyat yang

kurang senang dengan tindakan tersebut. Banyak terjadi pemberontakan

hampir diseluruh wilayah di Jawa dan sekitarnya (Adas, 1988: 76). Yang

paling menonjol adalah peran pemimpin agama dalam pemberontakan, yang

berbasis di daerah pedesaan (Adas, 1988: 205-207).

Pada masa kolonial, desa mempunyai peranan dalam bidang agama,

politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kurang

bijaknya peraturan pemerintah kolonial yang berlebihan. Hal itu menjadi

faktor utama terjadinya pemberontakan di daerah pedesaan di seluruh wilayah

Jawa (Adas, 1988: 102-128). Di Jawa, desa sangat membantu dalam

menghadapi situasi yang kurang baik bagi rakyat maupun para pemuka agama
6

yang menjadi pemimpin karena merasa terganggu dengan pemerintahan

kolonial. Selain itu, desa juga dijadikan sebagai tempat kegiatan politik

keagamaan pada masa kolonial tahun 1825-1830 yang dipelopori para kiai/

ulama (Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo, 2002: 40-195).

Sebagai seorang pemimpin serta pemuka agama, pada masa kolonial

mampu memberikan pengaruh yang cukup kuat dan besar terhadap kekuatan

rakyat maupun massa untuk mencapai tujuan yaitu mengejar zaman keemasan

dalam kehidupan yang harmonis dan sejahtera (Adas, 1988: 67-101). Berbagi

gerakan yang timbul pada abad XIX hingga sampai awal abad XX itu

mempunyai ciri-ciri khusus, baik pola kepemimpinan, corak ideologi, bentuk

organisasi, maupun sistem kepercayaannya. Ideologi yang digunakan masih

bersifat tradisional. Bentuk dan isi pergerakan tersebut semata-mata untuk

mencapai jaman keemasan yang akan menghilangkan ketidak adilan bagi

rakyat, kekacauan, pemberontakan, pertentangan dan penderitaan. Dengan

kedatangan seorang tokoh yang dianggap mampu membawa mereka kedalam

kehidupan yang lebih baik menuju masa adil dan makmur (Adas, 1988: xi-

xiv). Hal itu menunjukkan adanya sebuah gerakan yang menolak budaya asing

berkembang ditengah-tengah masyarakat dan sebaliknya ingin

mengembalikan ciri kehidupan masyarakat dengan budaya asli. Semua itu

merupakan gagasan Perang Suci atau Perang Sabil yaitu sebagai pendorong

semangat perjuangan bagi rakyat (Hayati, 2000: 3-4). Unsur dari perang sabil

yaitu perlawanan yang dilakukan oleh Ki Ageng Selomanik untuk melawan

pemerintah kolonial di Kadipaten Selomanik.


7

Wonosobo menjadi bagian dari daerah perluasan Perang Jawa yang

secara langsung ikut menyumbang dalam sejarah di Indonesia. Wonosobo

menjadi daerah yang menjadi pusat perlawan, sehingga terjadi pertempuran

antara laskar Pangeran Diponegoro dan pengikutnya dengan tentara kolonial.

Perang yang terjadi diberbagai tempat yang melibatkan berbagai pihak yang

terdiri dari “Wong Jowo” dan ulama/ kiai.

Kadipaten Selomanik merupakan kawasan pedesaan yang mempunyai

kegiatan disegala bidang seperti penyebaran Agama Islam melalui pendidikan

di pondok pesantren, pengolahan sumber daya alam (Adas, 1988: 102).

Kawasan pedesaan merupakan kawasan permukiman bagi masyarakat desa,

pelayanan jasa pemerintah, sosial, ekonomi, politik, agama, budaya,

pertahanan dan (Tim Penyusun Pemda, 2003: 2). Wonosobo terdapat beberapa

ulama atau kiai seperti Kiai Walik, Kiai Kolodete, dan Kiai Karim (Utomo,

2007: 9 ), yang ikut secara langsung dalam pertempuran melawan pemerintah

kolonial. Ketiga kiai tersebut merupakan pendiri Wonosobo. Sedangkan

daerah Selomanik, dipimpin oleh Kertawasesa II (Cerita Rakyat Jawa Tengah,

1983: 89). Kedatangan Kertawasesa II ke daerah Selomanik, Wonosobo ialah

hanya ingin bersembunyi dari kejaran pemerintah kolonial. Lambat laun

memutuskan untuk menetap dan bermukim di daerah tersebut, kemudian

diangkat menjadi kepala daerah dan pusat pemerintahannya di Desa

Selomanik, Wonosobo. Sebelumnya, daerah itu dipimpin oleh seorang

pemuka keagaaman seperti guru mengaji yang mengasuh di pondok pesantren

dan dipercaya serta diberi wewenang untuk menjadi pemimpin oleh seluruh
8

masyarakat. Pemimpin tersebut biasa disebut dengan kiai. Salah satunya

adalah Kiai Ngalwi yang berasal dari Tebuireng, Jawa Timur (Wawancara

Khaerudin tanggal 13 Februari 2007).

Dengan kedatangan Kertawasesa II beserta pengikutnya ke Desa

Selomanik, Wonosobo mampu memberi sumbangan dalam memajukan daerah

tersebut. Pada zaman kolonial peran pemimpin banyak yang tersingkir dan

dideprivasi, hal itu merupakan peran pemerintah kolonial dalam

mempersempit kekuasaan dan ruang gerak bagi para penguasa dan rakyat.

Sehingga terjadi pergeseran dari sosio-ekonomi, agama, politik, budaya yang

pernah dijalankan dalam memperkaut kakuasaannya, namun mampu

mengalami kehancuran dan kembali kepada perilaku pribumi sebagai jalan

untuk memulihkan status mereka yang mulai hilang. Mulai dari pemimpin

dalam setiap gerakan yang terjadi di daerah pedesaan, serta mampu

mendominasi kekuasaan tertinggi dalam birokrasi pemerintahan (Adas, 1988:

67-101).

Para kiai/ ulama mendirikan basis kegiatan politik keagamaan di daerah

pedesaan. Disini para kiai/ ulama mempunyai peranan ganda, selain sebagai

pemimpin juga menjadi seorang guru di pondok pesantren. Pondok pesantren

sebagai wahana pendidikan dan sebagai basis kegiatan politik keagamaan,

yang mempunyai tujuan untuk mengusir penjajah di bumi pertiwi. Para ulama

tersebut menjalankan pemerintahannya dengan struktur yang terorganisir.

Para pemimpin yang terdiri dari kiai/ ulama membangun kekuatan

sedikit demi sedikit, hingga mampu berdiri sendiri menjadi kekuatan yang
9

kuat dan kokoh bahkan sangat luar biasa. Baik dari kiai/ ulama sendiri yang

dibantu oleh santri/ muridnya dalam melawan pemerintah kolonial. Disinilah

Desa Selomanik berperan dalam mempertahan diri dari serangan penjajah,

serta puncak dari perlawanan rakyat terhadap pemerintahan yang dipimpin

oleh Patih Danurejo yaitu pemerintahan yang selalu bekerja sama dengan

pemerintah kolonial di Kerajaan Yogyakarta (Poerwokosoemo, 1985: 79).

Peran Kertawasesa II yang menjadi penguasa daerah Wonosobo berpusat

di Desa Selomanik. Kertawasesa II merupakan bangsawan dari keturunan

Pasundan pada Masa Mataram Islam (Suara Merdeka Senin 24 Juli 2006),

yang membuka Desa Selomanik menjadi pusat kekuasaan dan pemerintahan

yang dibantu oleh pengikutnya (Cerita Rakyat Jawa Tengah, 1983: 87-97).

Yang terjadi di Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan politik

keagamaan pada masa kolonial tahun 1825-1830 merupakan salah satu strategi

untuk melawan pemerintah kolonial yang selalu bertindak sewenang-wenang

terhadap rakyat. Dengan kedatangan beberapa kiai kedaerah ini, sangat

membantu dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Pengaruh dari

Perang Diponegoro 1825-1830, Wonosobo menjadi salah satu medan

pertempuran yang bersejarah. Daerah ini menjadi basis pertahanan dari

pasukan Diponegoro, karena kondisi alamnya yang menguntungkan serta

dukungan yang besar dari rakyat dan masyarakat terhadap perjuangan

Diponegoro (Suara Merdeka, Senin 24 Juli 2006), serta mampu

mempengaruhi perubahan sosial di seluruh negeri.


10

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berinisiatif melakukan

penelitian dengan judul “Kadipaten Selomanik Sebagai Basis Kegiatan Politik

Keagamaan Pada Masa Kolonial (1825-1830)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan

politik keagamaan pada masa Kolonial (1825-1830)?

2. Faktor apa yang menyebabkan Kadipaten Selomanik sebagai basis

kegiatan pada masa Kolonial (1825-1830)?

C. Tujuan Penelitian

Bardasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menjelaskan perkembangan Kadipaten Selomanik sebagai sasis kegiatan

politik keagamaan pada masa Kolonial (1825-1830).

2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Kadipaten Selomanik

sebagai basis kegiatan politik keagamaan pada masa Kolonial (1825-

1830).

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain

sebagai berikut:

1. Memberikan sumbangan pemikiran dan memperkaya khasanah sejarah

politik, agama pada masa Kolonial (1825-1830) di Indonesia.

2. Mengetahui perkembangan Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan

politik keagamaan pada masa Kolonial (1825-1830) di Indonesia.


11

E. Kajian Pustaka

Keterikatan masyarakat pedesaan dalam mempertahankan kemerdekaan

Republik Indonesia belum banyak mendapatkan perhatian yang serius untuk

dimasukkan dalam lembaran sejarah, padahal Kadipaten Selomanik dijadikan

basis kegiatan politik keagamaan pada masa kolonial (1825-1830) dalam

mempertahankan keamanan di desa. Kadipaten Selomanik mempunyai

sumbangan bagi negara sebagai daerah yang bersejarah. Desa

menyumbangkan material dan moral, tetapi yang lebih mencolok adalah

kegiatan politik keagamaan pada masa kolonial di Indonesia.

Soetardjo Kartohadikoesoemo (1964) Bandung: Sumur, dalam bukunya

yang berjudul “Desa”, dengan 413 halaman yaitu menjelaskan mengenai

hubungan yang baru di negara atas prakarsa kepala negara, maka faedahnya

sangat besar bagi masyarakat yang menerangkan mengenai adanya

unsur-unsur kebudayaan bermutu tinggi yang masih tertimbun di daerah-

daerah pedesaan. Desa memberi corak kepada kepribadian bangsa Indonesia.

Dalam buku yang berjudul Desa membantu dalam penyelesaian skripsi

untuk bagian BAB 2 mecangkup mengenai nama dan sifat desa serta riwayat

terjadinya dan tumbuhnya desa. Kata desa dipakai di Jawa, Madura dan Bali.

Sedangkan perkataan dusun dipakai didaerah Sumatra Selatan dan di daerah

Maluku mengunakan istilah dusunsati. Batak menggunakan istilah dusun yang

dipakai dalam sebuah pedukuhan. Di Aceh menggunakan istilah gampong dan

meunasah buat daerah-hukum yang ada dibawahnya. Di Batak daerah hukum,


12

setingkat dengan desa karena sama-sama disebut huta, uta, dan kuta. Setiap

pedukuhan disebut dengan dusun (Jawa).

Desa ialah suatu kesatuan hukum dimana berada dalam tempat tinggal

dalam suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.

Desa terbentuk dalam sebuah kelompok masyarakat dan menetap dalam

sebuah kediaman masyarakat dari masyarakat hukum yang terpisah dalam

kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri yang dinamakan pedukuhan. Setiap

desa pada zaman dahulu ditandai dengan Pohon Bambu sebagai batas desa

sedangkan sifat desa teritoriaal (kedaerahan).

Pada zaman Kolonial Belanda, terjadi hubungan timbal balik dalam

terbentuknya masyarakat-masyarakat desa. Soal hubungan masyarakat yang

satu dengan yang lainnya (masyarakat pertanian, masyarakat santri atau

daerah kauman, perdagangan, dan sebagainya). Lambat laun terjadi hubungan

yang baik diantara mereka dalam segala bidang, seperti dalam masalah

hubungan yang baik yaitu saling membantu dalam menyelesaikan masalah

secara gotong royong.

Kelebihan buku ini ialah pada zaman Pemerintah Kolonial Belanda

dalam ketentuan peraturan mengenai hak atas kedudukan daerah-daerah

hukum ditentukan oleh pemerintah kolonial sendiri dan berbau barat. Dalam

peraturan undang-undang tentang desa yang termuat dalam

regeeringsreglement yang mempunyai kekuatan hukum di desa dan

masyarakat desa merupakan pondamen negara. Desa mempunyai wewenang

untuk berkembang dan maju menurut bakatnya sendiri-sendiri. Untuk


13

mencapai maksud tersebut maka desa tidak lagi dikekang dalam berbagai

pertaturan yang mengikat. Berdasarkan prinsip tersebut, maka desa dibagi

dalam desa hasil ordonnantie baru kemudian diadakan perbedaan antara desa

yang maju dengan desa yang bersifat tradisional. Untuk desa yang maju,

pemerintahan dilakukan oleh sebuah Dewan Desa (Desaraad), sedangkan

untuk desa yang tradisional atau belum maju pemerintahannya diadakan

dengan cara rapat desa (kepala desa) yang dibantu oleh parentah desa.

Sedangkan desa ordonnantie baru itu, diperintah oleh parentah desa yang

dibantu oleh rumah tangga desa dengan peraturan yang mengikat, dalam

pemerintahan desa diharuskan lebih banyak mempergunakan hukum-adat.

Pada zaman Jepang, Indonesia diduduki oleh militer Jepang, maka oleh

pemerintah Jepang dalam kedudukan desa mengalami perubahan. Desa

dijadikan sebuah kekuatan dalam perang. Untuk mencukupi kebutuhan perang

maka otonomi desa dan kedudukan-hukum desa. Pemerintah pusat setiap

karesidenan (syuu) dipergunakan intituut mengunakan kekuasaan kepala desa

atau kepala daerah.

Pengawasan terhadap desa ditentukan oleh peraturan yang berlaku,

dalam keputusan dewan perwakilan rakyat daerah dan pemerintah daerah

dipegang oleh pemerintah daerah kabupaten. Peraturan itu berlaku ketika

Indonesia merdeka, dengan adanya pembangunan hukum ketataprajaan, semua

itu mempunyai kedudukan tertingi dalam lapisan masyarakat. Dalam

kedudukan dan pemerintahan desa diatur oleh kepala daerah yang diatur

dalam undang-undang pada tanggal 23 Nopember 1945 No.1 yaitu mengenai


14

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diberi nama Komite Nasional Daerah

yang berlaku di seluruh desa di daerah.

Penulisan sejarah pada saat ini, banyak menampilkan tokoh-tokoh

pemuka agama seperti kiai/ ulama. Apalagi periode revolusi kemerdekaan,

masalah diplomasi atau politik dan kekuasan ditulis oleh sejarawan Indonesia.

Kelemahan buku ini, masalah pedesaan yang berkaitan dengan politik

keagamaan yang belum diteliti. Hal itu terbukti dengan adanya pedesaan yang

belum diteliti para sejarawan.

Menurut Tashadi, dalam bukunya yang berjudul Perjuangan Desa dalam

Perjuangan Kemerdekaan: Studi Kasus dalam Keterlibatan Beberapa Desa di

Daerah Istimewa Yogyakarta periode 1945-1949, Depdikbud, Direktorat

Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Idsn, Jakarta, 1992 hal:1 menyebutkan

bahwa daerah pedesaan beserta masyarakatnya tidak diterangkan dalam

penulisan sejarah Indonesia dan dianggap sejarah yang hilang. Hal itu juga

dikemukakan oleh pakar sejarawan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo yaitu dengan

menulis kembali sejarah yang mulai hilang dari ingatan masyarakat. Dengan

menginventarisasi dan mendokumentasi desa sebagai kegiatan politik

keagamaan pada masa kolonial di Indonesia tahun 1825-1830 untuk di tulis

kembali oleh sejarawan dimana peranan kiai/ ulama, santri, pejabat

pemerintah bahkan masyarakat itu sendiri dalam mempertahankan dan

keamanan dari penjajah kolonial di Indonesia.

Mengenai masalah keadaan pedesaan pada masa Kolonial, sejak zaman

dahulu hingga sekarang yaitu mencangkup berbagai segi kehidupan pedesaan,


15

yang dipandang melalui relevan dengan apa yang sedang diusahakan sebagai

pembangunan bagi masyarakat di desa. Para sejarawan/ peneliti yang sedang

melakukan penelitian di pedesaan, mempunyai kewajiban melaksanakan

rencana pembangunan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dan

memperluas perspektif dalam memecahkan persoalan-persoalan yang ada

disekitar pembangunan masyarakat desa (Ranneft, 1974: vii). Desa yang

dimaksud disini adalah kesatuan pemerintahan yang paling bawah (istilah

zaman sekarang ialah kelurahan). Desa ini terbentuk dari kesatuan-kesatuan

pemerintahan dalam struktur ketatanegaraan pada masa kolonial. Hal itu,

merupakan bentukan dari persekutuan-persekutuan adat (desa adat), yang

dibentuk oleh pemerintah kolonial dengan cara mengabungkan beberapa

persekutuan adat menjadi satu (desa baru). Buku ini juga memberi sumbangan

dalam membahas BAB 2. Kelebihan buku ini adalah mampu mengulas

tentang Laporan-Laporan Desa (Desa-Raporten) secara keseluruhan seperti

dalam bukunya Soetardjo Hadikoesoemoe tentang Desa.

Khaerudin menulis dalam bukunya berjudul “Politik Kiai”, Polemik

Keterlibatan Kiai dalam Politik Praktis. Diterbitkan oleh Averroes Press

Malang, tahun 2005 dengan tebal buku xxi + 162 hal. Buku ini membahas

tentang keterlibatan kiai dalam politik praktis, kiai sebagai lokal yang sangat

mempengaruhi sistem politik dan sosial yang berlaku dalam masyarakat

karena mempunyai hubungan yang baik antara kiai dengan masyarakat di

sekitarnya. Hal itu menunjukkan hubungan yang baik yaitu sebuah hubungan

patron-klien. Patron klien adalah suatu budaya dimana seorang patron (atasan)
16

sanggup menyediakan kursi jabatan, serta pekerjaan bagi klien (bawahan)

dengan imbalan jasa. Bahwa bawahan harus memberikan loyalitas seperti

dedikasi pada atasannya. pondok pesantren dengan melibatkan kiai atau

pemeluk agama serta santri-santrinya dalam mempertahankan diri dari

penjajahan. Salah satunya yaitu Kadipaten Selomanik yang menjadi objek

dalam melaksanakan kegiatan politik tersebut.

Bahwa tokoh utama didalamnya yaitu para kiai/ ulama seperti Ki Ageng

Selomanik, yang dibantu oleh santri/ muridnya yang berasal dari Pondok

Pesantren Selomanik yang dipimpin oleh Kiai Ngalwi sebagai guru. Ki Ageng

Selomanik datang ke Pondok Pesantren Selomanik bertujuan untuk mencari

tempat perasembunyian dari serangan pemerintah kolonial dan kejaran dari

Patih Danurejo. Sebagai seorang yang dianggap pemimpin oleh masyarakat,

Ki Ageng Selomanik disibukkan dalam segala hal, baik di lingkungan pondok

pesantren sendiri juga mengatur jalannya pemerintahan. Hubungan antara

santri dengan muridnya sangat baik. Disini guru dianggap sebagai seseorang

yang tinggi sedangkan para santri dibekali pelajaran mengenai pengetahuan

maupun ilmu beladiri seperti pencak silat.

Peranan kiai diperkuat dengan cara mendirikan perkumpulan pencak

silat dengan tujuan untuk memperkuat posisinya, serta tujuan yang paling

utama yaitu membangun pertahanan dan keamanan di lingkungan pondok

pesantren khususnya di Kadipaten Selomanik. Minat yang belajar di pondok

pesantren semakin banyak, sehingga jumlah murid/ santri memperkuat

semangat keagaamaan serta perjuangan yang tinggi. Para kiai memberi


17

perhatian yang besar terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh

masyarakat. Hal itu mempunyai manfaat serta pengaruh penyebaran Agama

Islam (Hayati, 2000: 68-72) di Desa Selomanik, khususnya di Pondok

Pesantren Selomanik. Buku tersebut membantu dalam menyelesaikan BAB 3.

“ Moral Politik Santri Agama Pembelaan Kaum yang Tertindas” yaitu

menjelaskan keterlibatan santri dalam ikut serta dalam menjalankan

pemerintahan di negaranya. Dimana desa dijadikan sebagai daerah pertahanan

serta untuk menjalankan politik, yang tidak terlepas dari unsur keagamaan.

Khususnya Agama Islam yang banyak melibatkan para kiai/ ulama, santri

dalam kancah kekuasaan. Hal itu dijelaskan oleh Abdul Munir Mulkhan.

Dalam buku ini mempunyai kelebihan seperti desa sebagai basisi kegiatan

politik keagamaan yang melibatkan para pemuka agama yang secara langsung

ikut dalam pemerintahan, seperti para pemuka agama yang masuk ke dalam

partai pilitik, dsb. Para santri diberi kesempatan secara langsung di dalam

menyambung aspirasinya kepada kiai. Sedangkan kelemahannya yaitu hanya

membahas mengenai paranan kiai, santri dalam kancah politik saja, adanya

kecenderungan para kiai atau pemuka agama masuk ke partai politik padahal

segala sesuatu apabila berbau dengan politik karisma dari ulama tersebut

merosot atau turun kewibawaannya.

Perang antara pemerintah kolonial di Indonesia, banyak desa yang

dijadikan dalam perjuangan dan pertahanan seperti Desa Selomanik,

Wonosobo. Hal itu untuk mengetahui tentang politik yang digunakan saat

perang, dan cara mempertahankannya dengan membentuk benteng-benteng


18

pertahanan di desa-desa atau daerah pedalaman. Seperti membentuk organisasi

yang diatasnamakan oleh rakyat dan dipimpin para pemuka agama seperti

kiai/ ulama, itu terdapat dalam bukunya Tan Malaka yang berjudul Gerpolek.

Fran Husken menyebutkan bahwa desa sebagai arena politik yang tidak

terlepas dari sistem kekerabatan dan keagamaan serta kekuasaan dalam

mempertahankan kemerdekaaan melalui kaum elite desa. Pola hubungan

kekerabatan yang dibangun kiai/ ulama dalam tradisi pesantren berlangsung

secara efektif, sehingga tradisi tersebut dapat berkembang dengan baik melalui

sistem sosial yang mampu mempengaruhi masyarakat secara luas. Para kiai/

ulama disini tidak hanya berkecimpung di dunia keagamaan saja tetapi juga

pada dunia politik (Rahardjo, 1974: 10). Kelebihan buku ini ialah menjelaskan

mengenai perubahan dari zaman ke zaman mengenai masyarakat desa di Jawa.

Sedangkan kelemahan buku ini adalah banyak istilah-istilah yang sulit

dipahami, bentuk tulisannya yang relatif kecil dan sulit untuk dimengerti,

terlalu tebal buku tersebut sehingga banyak yang tidak terlalu banyak untuk

membacanya, jumlah halaman yang terlalu tebal, sehingga malas

membacanya. Buku ini mampu diterapkan dalam BAB 2 dan 3.

Adeng dkk (1995) bukunya berjudul Peran Desa dalam Perjuangan

Kemerdekaan: Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa di Bandung dan

Sekitarnya Tahun 1945-1949 yaitu menjelaskan mengenai desa-desa di

Bandung yang ikut berperan dalam menjalankan politik keagamaan serta yang

bersifat umum dalam mempertahankan keamanan dan pertahanan dari

serangan penjajah kolonial di Indonesia.


19

Desa-desa yang ada di Bandung seperti dalam Peristiwa Cimareme 1919.

Peristiwa itu merupakan kegiatan politik yang berpusat di desa. Peristiwa yang

terjadi merupakan sejarah mikro, namun mempunyai hubungan yang sangat

luas dengan kerangka perkembangan sejarah umum di Jawa, khususnya di

Jawa Barat dengan melibatkan berbagai peristiwa yang berpusat di desa. Desa

sebagai pusat kegiatan politik dalam menjalankan rencana untuk melawan

pemerintah kolonial. Walaupun sejarah lokal di tingkat daerah dipandang

sebagai sejarah dari suatu keseluruhan masyarakat di Indonesia. Itulah

sebabnya studi sejarah lokal harus meneliti semua aspek kehidupan manusia.

Di tingkat lokal, pemerintah kolonial lebih tampak sehingga kejadian historis

ditingkat lokal merupakan dimensi dari Sejarah Nasional (Hayati, 2000: 9-10).

Peristiwa yang terjadi di desa-desa biasanya disebabkan oleh campur

tangan pemerintah kolonial di dalam pemerintahan. Selain itu, biasanya

disebabkan oleh kebijakan pemerintah mengenai peraturan yang berlaku

dalam penjualan hasil bumi, pajak, kerja wajib, dsb, serta peranan kaum elite

sangat berperan di desa-desa. Dengan adanya kerjasama yang kuat antara

pemerintah kolonial dengan para kaum elite menjadikan para petani merasa

dirugikan dengan sistem yang berlaku dalam kalangan petani. Dengan

peraturan yang berlaku pada masyarakat petani yang ada di desa menjadikan

banyak golongan petani maupun masyarakat yang berontak untuk melawan

peraturan yang dianggap merugikan para petani.

Selain di bidang ekonomi, ternyata yang paling mencolok di sini yaitu

masalah di bidang politik dan agama. Pada dasarnya mereka melakukan


20

pelawanan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi mereka berjuang untuk

kepentingan masyarakat desa khususnya para petani yang merasa dirugikan

oleh pemerintah lokal, maupun pemerintah kolonial. Dengan peraturan

pemerintah mengeluarkan undang-undang mengenai peraturan penjualan hasil

bumi dengan mewajibkan berapa persen untuk pemerintah lokal maupun

pemerintah kolonial membuat para petani merasa ditindas.

Biasanya peristiwa yang sedang terjadi, tidak terlepas dari peranan

seorang pemimpin baik dari kaum elite maupun para ulama yang dipercaya

oleh masyarakat setempat. Masalah kepemimpinan merupakan masalah yang

sudah mendarah daging sejak zaman dulu hingga sampai sekarang (Fiedler,

1967 dalam Hayati, 2000), yaitu sekelompok manusia yang di dalamnya

terdiri dari beberapa orang, kemudian salah satu dari mereka menjadi figur

yang diberi kepercayaan oleh sekelompok orang tadi (Walgito, hal. 89-98).

Dalam masyarakat pedesaan terdapat dua jenis kepemimpinan yaitu

kepemimpinan resmi dan kepemimpinan tidak resmi. Seperti: kepala desa

(kepemimpinan resmi), sedangkan kepemimpinan yang tidak resmi yaitu para

pemimpin yang tidak menduduki jabatan pemerintahan seperti kiai/ ulama.

Keadaan ini kemudian muncul kelompok-kelompok politik skuler dan elite di

pedesaan. Kelompok elite biasanya mereka yang bekerjasama dengan

pemerintah kolonial, mereka adalah para birokrat yang menyesuaikan diri dan

bersikap loyal kepada pemerintah kolonial. Tetapi kemudian kepemimpinan

itu tergeser atau digantikan dengan peranan kiai/ ulama sebagai seorang

pemimpin. Keberadaan elite agama tidak ada hubungannya dengan birokrasi


21

pemerintah kolonial. Para kiai merupakan pemimpin tradisional dari

komunitas Islam serta merupakan pemimpin lokal yang bebas. Pada tingkat

desa kiai sering dipandang sebagai pemimpin politik yang cenderung bersikap

menentang pemerintah kolonial serta lembaga sekuler lainnya (Hayati, 2000:

161-166).

Kelebihan buku ini yaitu menguraikan tentang kejadian mengenai

peristiwa sejarah lokal. Peristiwa itu menarik untuk dikaji, yaitu untuk

mengungkap peristiwa lokal pada masa lampau juga dipergunakan untuk

memperluas perspektif historis dari perkembangan sejarah mikro itu sendiri.

Di samping itu, dapat juga dipergunakan untuk mempertajam analisis dalam

memahami hubungannya dengan peristiwa yang lebih luas. Pengungkapan

secara khusus dalam bentuk mikro akan lebih mampu akan menunjukkan

motif-motif yang tersembunyi. Dengan demikian, peristiwa Cimareme

mempunyai arti penting untuk memperkaya pengetahuan sejarah Indonesia.

Untuk kelebihan yang kedua, meskipun terjadi di tingkat lokal dan

dalam waktu yang singkat, peristiwa perlawanan H. Hasan itu sangat penting

artinya sebagai salah satu gerakan petani pada awal abad XX. Sejarah gerakan

petani merupakan sektor yang masih kabur, meskipun sebenarnya selama abad

XX tampak tanda-tanda yang jelas tentang adanya pergolakan petani dan

revolusi agraris yang aktif. Melalui pengkajian terhadap dokumen-dokumen

tentang gerakan petani yang diperoleh gambaran yang lebih objektif. Dengan

demikian, mampu mengungkapan gerakan yang lebih analitis.


22

Kelebihan yang ketiga yaitu mampu menelaah tindakan-tindakan besar

dari rakyat kecil yaitu petani, maka dapat dipahami adanya arus dasar yang

berkecamuk dalam sejarah. Kerusuhan dan gerakan sosial yang timbul

merupakan indikator dari perubahan sosial yang sedang terjadi. Kondisi sosial

ekonomi yang buruk dan makin lemahnya lembaga-lembaga pribumi yang

mengundang timbulnya reaksi serta kekuatan yang menentang terhadap

pemerintah kolonial.

Kekurangan buku ini yaitu hanya mengkaji sejarah lokal saja dan masih

banyak yang belum dijelaskan dengan seksama. Selain itu, ternyata dalam

buku ini tidak dijelaskan mengenai keterlibatan para ulama secara

menyeluruh, sehingga hanya setengah-setengah saja yang dijabarkan atau

dijelaskan sehingga banyak pembaca yang kurang mengetahuinya.

Dari uraian diatas, dalam buku yang berjudul “Peristiwa Cimareme

1919” (Perlawanan H. Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi) oleh

Chusnul Hayati (2000) Semarang: Mimbar dengan 229 halaman, memberikan

inspirasi serta menambah reverensi dalam skripsi ini yaitu berkaitan dengan

pembahasan bab 3 dan bab 4. Dalam bab 3 dan bab 4, buku tersebut memberi

sumbangan mengenai peristiwa yang terjadi di Kabupaten Cimareme (Jawa

Barat) yang dipelopori oleh para ulama/ kiai dalam melakukan perlawanan

untuk melawan pemerintah kolonial. Sebagai basis kegiatan tersebut yaitu di

desa-desa yang melibatkan para ulama/ kiai serta kepala daerah atau pemuka

desa.
23

Keterlibatan para pemuka agama seperti kiai/ ulama dalam bidang

politik maupun agama, dengan mendirikan pondok pesantren sebagai pusat

kegiatan. Nahdatul ulama sebagai salah satu ajaran Agama Islam murni yang

dibawa oleh Rosulullah SAW beserta sahabatnya. Pada dasarnya Nahdatul

Ulama merupakan jam’iyyah diniyah yang membawa faham keagamaan, maka

ulama sebagai faham ahlussunah wal jama’ah. Selain itu juga sistem dakwah

diterapkan sebagai bagian dari kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh kiai/

ulama dalam ikut serta dalam politik untuk melawan penjajah kolonial di

Indonesia. Semua itu dijelaskan dalam buku NU dalam Perspektif Sejarah dan

Ajaran ( Reflewksi 65 Tn. Ikut NU) oleh Abdul Muchith Muzadi.

Bahwa dalam buku ini, yang berjudul Perilaku Politik Kiai oleh Khoiro

Ummatin (2002) lebih mengacu pada sejarah lokal dengan mengunakan

permasalahan yang bersifat global sehingga pemerintah harus mengikuti alur

perubahan yang terjadi di dalam masyarakatnya sebagai salah satu fakta yang

terjadi di Indonesia khususnya di Desa Selomanik, Wonosobo pada masa

kolonial sudah jelas bahwa politik ikut andil dalam pembagian momentum

suatu perubahan khususnya perlawanan yang dilakukan oleh para kiai yang

berada di pondok pesantren dan organisasi yang berbau dengan dunia Islam.

Dengan munculnya berbagai organisasi yang sesudahnya seperti lahirnya

organisasi NU, Muhammadiyah, dan lain lain. Dengan munculnya berbagai

kegiatan keagamaan dapat mengubah kehidupan yang terjadi pada saat

melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Peran kiai dalam suatu


24

desa ternyata mampu mengubah segala sesuatu yang terjadi pada masa

kolonial sebagai basis kegiatan politik keagamaan yang berjalan dengan baik.

Khususnya pada masa kolonial di Desa Selomanik, Wonosobo bahwa

desa merupakan tempat yang sering digunakan dalam kegiatan keagamaan

seperti didirikannya pondok pesantren yang didirikan oleh para pemuka agama

yang disebut dengan kiai/ ulama. Dalam hal ini, sudah dijelaskan bahwa para

kiai sangat mempengaruhi perkembangan dan perubahan pada masyarakat

seperti lingkungan masyarakat Desa Selomanik, Wonosobo. Dengan jiwa

nasionalisme yang tinggi, hal itu mampu mengusir penjajah dan

mempertahankan diri dari serangan pemerintah kolonial.

Para kiai/ ulama dalam pondok pesantren itu sendiri tidak hanya

mengajarkan suatu ilmu pengetahuan, disini juga mampu memberikan

sokongan dibidang politik. Bahwa pondok pesantren di desa mempunyai 2

tradisi yang sangat relevansi di dalam dunia politik yaitu: (1) tradisi pesantren

yang berbasis kultural; (2) tradisi pesantren sebagai mediator antara

kepentingan politik dan pendukungnya. Pada poin yang kedua bahwa kiai

merupakan seseorang yang mempunyai posisi dalam kegiatan politik yang

mampu menjadi signifikan dalam merebut kekuasaan kolonial di Indonesia,

khususnya di Kadipaten Selomanik.

Tradisi pesantren di Jawa khususnya yang berada di desa-desa ini

merupakan bentuk sistem sosial yang tumbuh pada lingkungan pondok

pesantren yaitu melalui sistem kekerabatan yang dibangun oleh para kiai/

ulama. Sistem yang dikembangkan adalah mempertahankan diri dari serangan


25

pemerintah kolonial. Dengan berlandaskan pada hubungan kekerabatan

genealogi intelektual dan aspek hubungan antara guru dengan murid atau

bahkan melalui hubungan perkawinan (Dhofier, 1982: 62-82).

Pada masa kolonial, desa sangat mempengaruhi peranan yang sangat

penting dalam hal ini sebagai basis pertahanan dan basis kegiatan politik

keagamaan. Disini para kiai ikut ambil bagian dalam kegiatan politik di

Indonesia. Bahwa kiai mempunyai posisi yang strategis baik dalam urusan

internal maupun eksternal, serta ikut dalam peran sosial politik dengan ikut

campur ke dalam kegiatan politik keagamaan, seperti dengan berdirinya

organisasi-organisasi sesudah Indonesia merdeka dan sebelumnya pun para

kiai ikut secara langsung dalam kegiatan tesebut. Organisasi itu seperti

Muhammadiyah, NU, PNI, PKI, Masyumi,dan lain-lain (Anindita, 1983 dalam

Ummatin 2002: 25).

Kiai, di pondok pesantren mempunyai keterikatan dengan pola

pemikiran Islam tradisional yang mampu membenahi diri untuk tetap

memiliki peranan dalam membangun masyarakat desa, bangsa dan negara.

Kegiatan keagamaan yang dijalankan mampu memberi sokongan dalam

pondok pesantren dan para kiai memberi pengaruh yang cukup besar dalam

dunia politik (Dhofier, 1982: 172).

Perjungan para kiai disini semakin eksis dan kuat keberadaannya. Hal itu

untuk melawan pemerintah kolonial di Indonesia dengan didirikannya

organisasi, seperti yang telah disebut di atas. Dimana Muhammadiyah

(Ahmad Dahlan), dan NU (Hasyim Ashari) yaitu sebagai wadah perjuangan di


26

dalam dunia Islam, tetapi pada zaman kolonial di Wonosobo dipelopori oleh

Ki Ageng Selomanik yang dibantu oleh para pengikutnya.

Pembahasan perilaku politik diartikan sebagai kegiatan yang berkenaan

dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kegiatan politik

dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan fungsi pemerintahan dan

kegiatan politik yang dilakukan masyarakat yang berkaitan dengan fungsi

politik (Suhbakti,1992: 131 dalam Umatin, 2002: 10). Dalam pandangan

sosiologis yaitu sebagai bukti sejarah sudah menunjukkan bahwa perpolitikan

yang melibatkan para kiai dan organisasi yang sudah berdiri di Indonesia

selalu melibatkan tradisi pondok pesantren (Dhofier, 1982: 68). Pengaruhnya

sangat kuat dalam kelembagaan di pondok pesantren sebagai wujud dalam

bidang sosial keagamaan dan politik di desa yang merupakan fungsi dan

peranan para kiai sebagai tokoh yang kuat di desa. Seperti halnya yang

dilakukan oleh Ki Ageng Selomanik dan Kiai Ngalwi dalam menjalankan

kegiatan keagamaan di Pondok Pesantren Selomanik.

Keuntungan dari beberapa buku yang menjadi reverensi seperti uraian

diatas yaitu mampu mengungkapakan peristiwa sejarah dengan mengunakan

metode penelitian yang mampu mendeskripsikan mengenai perpolitikan di

desa dengan mendirikan pondok pesantren sebagai wujud dari perubahan pada

masyarakat dan mampu mengembangkan situasi politik di tanah air. Dalam

hal ini, mengunakan pendekatan etnometodologi yang merupakan metode

penelitian untuk mempelajari tentang perilaku sosial (Muhatjir,1996: 94).


27

Kelemahan buku-buku diatas yang sudah diuraiakan yaitu buku-buku

tersebut kurang runtut dalam menjelaskan berbagai permasalahan yang

difokuskan pada zaman kolonial saja dan pengunaan bahasa yang kurang

menarik sehingga mengurangi minat para pembaca. Jumlah halaman terlalu

banyak. Bahasanya terlalu sulit untuk dipahami. Inti dari permasahan terlalu

berputar-putar. Sulitnya untuk mendapatkan sumber bukunya.

Achmad Siddiq menjelaskan dalam bukunya Khitthah Nahdliyyah yaitu

nahdatul ulama adalah sesuatu yang penting, gelar kiai/ ulama di dalam

pondok pesantren yang menerapkan sistem pendidikan keagamaan bagi para

santri/ muridnya. Para pemuka agama seperti kiai/ ulama yang memberi

tauladan kepada santri/ muridnya dengan amal perbuatan dan tingkah laku

yang baik kepada santri/ muridnya juga memberi tauladan kepada semua

orang yang ada disekitarnya.

Kelebihan buku ini, memberi informasi mengenai peranan kiai/ ulama

dalam tingkah laku yang memberi tauladan yang baik kepada murid/ santrinya

di dalam pondok pesantren. Hal itu, sebagai salah satu media pembelajaran

dalam bidang pendidikan nonformal.

Kelemahan buku ini, ialah hanya menjelaskan kehidupan di pondok

pesantren saja serta keterlibatan para santri/ muridnya dalam kancah politik.

Kurang menarik untuk dibaca karena pemilihan kosa katanya monoton.

Terlalu membosankan. Tidak dijelaskan secara mendetail mengenai pokok

bahasannya.
28

Ratu Adil Tokoh dan Gerakan Millenarian Menentang Kolonialisme

Eropa, karangan Michael Adas tahun 1988 menjelaskan tentang hal-hal yang

berkaitan dengan kekuatan militer pada zaman kolonial yang dipimpin oleh

para pemuka agama. Pemuka agama merupakan seorang pemimpin dalam

kegiatan seperti pemberontakan serta kegiatan yang berkaitan dengan

sekelompok massa yang kurang puas terhadap sikap pemerintah ataupun

pejabat Negara yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, sehingga

mampu membuat suatu komunitas untuk bersatu dalam sebuah ikatan

organisasi sebagai contoh Perang Diponegoro yang bertujuan untuk

membebaskan diri dari keterikatan dari pemerintah. Zaman keemasan yang

ditunggu oleh seluruh rakyat, dengan harapan muncul seorang tokoh yang

akan mengeluarkan mereka dari penderitaan dan ketidakadilan. Orang tersebut

dianggap sebagai ratu adil. Kekuatan militer pada zaman kolonial merupakan

kekuatan yang kuat. Lewat pemimpin, rakyat bersikeras untuk mencapai

jaman keemasan yang penuh dengan keharmonisan dan kesejahteraan untuk

masa yang akan datang.

Partisipan dalam sebuah gerakan merupakan aspek utama dalam bidang

sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Hal itu, Mampu memberikan

perubahan yang sangat fundamental pada lapisan masyarakat. Zaman

keemasan merupakan perubahan sosial yang terjadi dan mengarah pada

penciptaan budaya yang baru.

Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi pada zaman kolonial yaitu

sebuah gerakan revitalisasi. Gerakan tersebut di setiap daerah berbeda-beda,


29

namun yang paling banyak adalah gerakan yang berbau dengan agama dan

mampu mengubah sistem sosial-budaya, politik, dan ekonomi serta mampu

keluar dari hukum konstitusional. Gerakan tersebut banyak melibatkan lapisan

masyarakat yang berpusat di daerah pedesaan sebagai daerah pertahanan.

Kelebihan buku ini mampu mengulas kejadian pada masa lalu yang

terjadi di seluruh dunia, dengan memunculkan seorang tokoh yang dianggap

sebagai ratu adil dan menuju zaman keemasan. Sedangkan kekurangan buku

ini adalah hanya mengulas sebuah gerakan sosial yang dipadu dengan

kehidupan duniawi. Serta langkanya buku yang beredar dipasaran sehingga

sangat menyulitkan bagi siapa saja yang ingin mengulas lebih dalam tentang

buku ini.

F. Metode Penelitian

1. Metode Sejarah

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah

(Historical Methode). Metode sejarah adalah proses menguji dan

menganalisa secara kritis, rekaman dan peninggalan masa lampau

(Gottschalk, 1985: 32). Adapun langkah-langkah dalam metode sejarah

sebagai berikut:

a. Heuristik

Heuristik adalah usaha untuk mencari, menghimpun, dan

mengumpulkan data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Dalam hal ini

data yang diperoleh berupa buti-bukti tertulis, seperti Arsip, Dokumen, Surat

Kabar yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas. Dalam
30

penelitian ini akan digunakan sumber buku kepustakaan, situs sejarah,

sumber tertulis, sumber material, serta sejarah lisan.

Dalam prosedur kerja seorang sejarawan, langkah pertama yang harus

dilalui dalam menyusun sebuah cerita sejarah adalah menemukan jejak

sejarah itu sendiri. Dalam metode sejarah, kegiatan ini disebut heuristik. Kata

heuristik berasal dari bahasa yunani “ heurisken” yang berarti mencari atau

menemukan, maksudnya mencari serta menemukan jejak-jejak sejarah

(Widja, 1988 dalam Muhadjir, 1998: 19).

Hiroko Horikoshi dalam bukunya yang berjudul Kiai dan Perubahan

Sosial, terjemahan Umar Basalim (Jakarta: P3M, 1987: 5) menyebutkan

bahwa studi sejarah pasti mengunakan sumber sejarah sebagai dokumen

sejarah dalam peristiwa sejarah pada masa kolonial di Indonesia yang bersifat

mutlak. Selain sumber tertulis yang terdapat di Arsip Daerah Masing-masing

maupun di Arsip Nasional masih ada yaitu sumber yang didapat melalui

wawancara. Walaupun hanya bersifat lisan tetapi sumber tersebut sangat

membantu dalam menyelesaikan penelitian (Hayati, 2000: 25).

Dalam penelitian ini, menggunakan teknik-teknik yang bersifat primer

dan sumber sekunder antara lain:

(1) Sumber Primer

Sumber primer merupakan kesaksian dari seseorang yang

menjadi saksi mata dalam peristiwa sejarah (Gottschalk, 1975: 35).

Sumber primer berupa orang, benda atau tulisan yang memiliki

keaslian dalam arti tulis tangan, orang pertama, atau dikisahkan oleh

orang yang terlibat secara langsung dalam peristiwa sejarah.


31

(2) Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah kesaksian dari siapapun yang bukan

merupakan saksi mata dalam peristiwa sejarah (Gottschalk, 1975: 35).

Dengan perkataan lain, sumber yang berasal dari orang yang bukan

saksi hidup atau tidak sejaman dengan peristiwa yang sedang diteliti.

Untuk mendapat informasi mengenai sumber-sumber sejarah baik

primer maupun sumber sekunder, maka diperlukan teknik sebagai berikut:

(1) Wawancara

Teknik ini bertujuan untuk mendapatkan sumber sejarah yang

benar-benar dapat dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan dari

para pelaku sejarah ataupun saksi sejarah. Selain itu wawancara

merupakan alat mengumpulkan informasi yang berupatanggapan

pribadi, pendapat atau opini serta keyakinan. Dalam teknik wawancara

ini dapat dilakukan melalui tanya jawab dengan para ulama di Pondok

Pesantren dan Desa-desa yang tentunya merupakan sumber lisan dan

dapat dipercaya kebenarannya.

Metode wawancara atau interview, mencakup cara yang

dipergunakan kalau seseorang, untuk tujuan suatu tugas tertentu,

mencoba mendapat keterangan atau poendirian secara lisan dari

seorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan

orang itu (Koentjaraningrat dalam gottschalk, 1975: 42).

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai


32

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang

diajukan itu.maksud mengadakan wawancara, seperti ditegaskan oleh

Licoln dan Guba (1985: 266), antara lain: menkonstruksi mengenai

orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,

kepedulian, dan kebulatan (Moleong, 2002: 135).

(2) Studi pustaka

Studi pustaka yaitu cara menggumpulkan data untuk menjawab

rumusan masalah dalam penelitian dan menelaah sumber atau bahan

pustaka. Dalam penelitian ini, maka bahan-bahan yang ditelaah berupa

buku-buku yang berhubungan dengan Kadipaten Selomanik sebagai

basis kegiatan politik keagamaan pada masa kolonial tahun 1825-

1830. Kegiatan politik keagamaan pada masa kolonial, pada waktu itu

serta buku lain yang berkaitan dengan permasalahan di dalam

penelitian serta buku- buku yang lebih relevan. Untuk mendapatkan

sumber tersebut yaitu melalui kajian pustaka, ataupun Arsip Daerah.

(3) Studi dokumen (tertulis)

Cara menggumpulkan data yang dilakukan dengan

menggunakan bahan-bahan tertulis, sebagai dokumen dan bentuk

lainnya seperti buku-buku, Koran, Majalah atau yang sejenis (Nawai,

dkk. 1992: 69). Menurut Gottschalk (1985: 38), studi dokumen adalah

proses pembuktian yang didasarkan atas jenis sumber apapun baik

yang bersifat tulisan, lisan, gambar, dan arkeologis. Jadi studi


33

dokumen yaitu berwujud dalam bentuk objek tertulis atau yang

lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan dokumen tertulis

yang berupa catatan mengenai sejarah Ki Ageng Selomanik, maupun

sumber yang tidak tertulis seperti berupa foto, berasal dari kutipan

beberapa kumpulan cerita Sejarah Rakyat Jawa Tengah (Arsip Daerah

Wonosobo, 1983: 89-97). Selain dari Arsip, si peneliti juga

mendapatkan dokumen yang lain berupa catatan yang mengenai

silsilah Ki Ageng Selomanik di keraton Yogyakarta (Kunjungan ke

Keraton Yogyakarta tanggal 14 Febuari 2007). Dari hasil penelitian,

sumber yang didapat mampu memberikan sumbangan bagi si peneliti

untuk keperluan melengkapi data, baik tertulis maupun berupa foto.

b. Kritik Sumber

Setelah kita berhasil menemukan dan mengumpulkan jejak-jejak

sejarah, maka selanjutnya adalah melakukan kritik sumber. Kritik sumber

yaitu menilai, menguji atau menyeleksi jejak-jejak sejarah tersebut sebagai

usaha untuk mendapatkan sumber yang benar, asli dan relevan. Kritik sumber

ini bermaksud untuk menentukan kredibilitas dari jejak-jejak sejarah (Widja,

1988 dalam Muhadjir, 1998: 21).

Menurut Coensuelo G. Sevilla dkk, kritik sumber terbagi menjadi dua

yaitu kritik eksternal dan kritik internal antara lain:


34

(1) Kritik Internal

Apabila sumber yang diperoleh itu merupakan sumber asli, maka

langkah selanjutnya yaitu mengecek kembali, arti dan layaknya suatu

dokumen yang nantinya akan digunakan sebagai data. Hal ini meliputi

pengertian kata-kata dari pernyataan yang ditulis termasuk didalamnya

adalah menentukan kredibilitas pernyataan penulis sehingga sumber

tersebut benar-benar dapat dipercaya.

(2) Kritik Eksternal

Meliputi penemuan, jika bahan sumber asli yang mempunyai

integritas tekstual tekstual. Dalam hal ini perlu di cek atau diteliti di dalam

suatu dokumen yang dapat diterima sebagai bukti, apakah suatu dokumen

tersebut benar-benar sesuai dengan yang ditulis didalamnya dan sama

dengan aslinya. Kritik eksternal bertujuan untuk menetapakan otentik

tidaknya atau asli tidaknya sumber yang dipakai. Kritik eksternal berusaha

menjawab pertanyaan tentang ke otentikan dan keaslian sumber yang

digunakan (Nugroho Notosusanto, 1975: 39).

c. Interpretasi atau Penafsiran Data

Setelah kritik sumber itu setelah dikerjakan, maka jejak-jejak sejarah

yang berhasil didapatkan itu biasa diwujudkan sebagai fakta sejarah (Widja,

1988: 23). Interpretasi yaitu proses menyusun, mencapai antara satu fakta

sejarah dengan sejarah yang lainnya., sehingga menjadi satu kesatuan yang

dapat dimengerti maknanya. Tujuannya agar data yang ada mampu untuk

mengungkap permasalahan yang ada sehingga diperoleh pemecahannya.

Dalam proses interpretasi tidak semua fakta dapat dimasukkannya, tetapi

harus dipilih mana yang relevan dengan gambaran cerita yang hendak
35

disusun. Kemudian disusun menjadi satu rangkaian yang sistematis dan

masuk akal.

Menurut Nugroho Notosusanto sebagaimana dikutip oleh W. Poes

Prodjo (1987:3) bahwa proses sejarah atau pembabakan sejarah. Periodesasi

merupakan yang penting dalam sejarah karena akan memudahkan pengertian,

melakukan penyerdanaan, memenuhi sistemati ilmu pengetahuan dan

akhirnya dapat membuat klasifikasi dalam ilmu sejarah (Hugiono dkk,1987:

54-55).

Interpretasi dalam prosesnya untuk mendapatkan gambaran sejarah

yang bersifat ilmiah, logis dan integrati untuk mencapai target tersebut

tergantung dari kemampuan penulis skripsi, terutama kemampuan dalam

menuangkan kedalam tulisan.

d. Historiografi

Historiografis atau penulisan sejarah adalah cara merekonstruksi suatu

gambaran masa lalu secara imajinatif berdasarkan data yang diperoleh

(Gottschalk, 1985: 32). Historiografi merupakan langkah terakhir dalam

penulisan sejarah. Penulisannya harus sistematis dan menempatkan kejadian-

kejadian yang akan diceritakan dalam urutan kronologis, dalam arti urutan

kejadian disusun dari awal sampai akhir.

Dalam penelitian ini, maka penulisan sejarah disusun urut, menurut

catatan kronologisnya yaitu perkembangan Kadipaten Selomanik sebagai

basis kegiatan politik keagamaaan dan faktor apa saja yang

mempengaruhinya.
36

Historiografi yaitu cara menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam

bentuk cerita. Dalam tahapan historiografi ini merupakan langkah penulisan

cerita sejarah yang ditulis secara logis menurut urutan kronologis dengan

tema yang jelas serta mudah dimengerti, kemudian dilengkapi dengan

pengaturan bab atau bagian yang dapat membangun urutan kronologis dan

teoretis (Wiyono, 1990: 5).

2. Pendekatan Penelitian atau Pendekatan Teori

Yang dikumpulkan dalam mengumpulan data yaitu dengan cara studi

pustaka, wawancara, dokumentasi, dan lain-lain. Penelitian mengenai

Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan politik keagamaan pada masa

kolonial (1825-1830). Dalam penelitian ini mengunakan pendekatan

multidimensional, yaitu membahas berbagai dimensi kegiatan politik yang

meliputi aspek politik, sosial, agama, ekonomi, sosiologi, kultural

antropologis. Persoalan yang mengacu pada masalah-masalah mengenai

perkembangan politik keagamaan pada masa kolonial (1825-1830) di

Kadipaten Selomanik ditelaah melalui pendekatan dari berbagai dimensi.

Skripsi ini telah berhasil mengangkat tema kegiatan poltik keagamaan ynag

memberi sumabangan kepada sejarah di Indonesia, serta menguak mengenai

kegiatan yang dilakukan oleh para pemuka agama seperti kiai/ ulama yang

berperan dalam sejarah di Indonesia.

Skripsi ini, menjelaskan mengenai perkembangan politik pada masa

kolonial, yang melibatkan semua komponen masyarakat baik dari pejabat

pemerintah maupun rakyat, selain itu para pemuka agama ikut berperan di
37

dalamnya. Seperti ynag dilakukan oleh Ki Ageng Selomanik sebagai seorang

pemimipin dalam kegiatan politik keagamaan pada masa kolonial (1825-

1830) di Kadipaten Selomanik.

Di bawah Patih Danurejo di keraton Yogyakarta, banyak rakyat yang

kurang puas terhadap pemerintahannya sehingga dimana-mana terjadi

pemberontakan dan perlawanan baik di lingkungan kerajaan maupun di luar

kerajaan. Banyak desa-desa yang dijadikan sebagai basis kegiatan politik

keagamaan pada masa kolonial.

Akibat konflik sosial pada Perang Jawa (1825-1830), banyak tampilnya

elite agama sebagai lawan yang kuat dari birokrat-birokrat kolonial. Elite

agama atau pemuka agama seperti kiai/ ulama dalam melepaskan diri dari

pemerintah kolonial dan keraton Yogyakarta. Para kiai/ ulama dalam

melakukan perang, menjadikan daerah pedesaan sebagai dasis kegiatan

politik dan untuk menentukan strategi perang. Hal itu bertujuan untuk

menghancurkan pemerintah kolonial di Indonesia.

G. Sistematika Skripsi

Dalam penulisan skripsi, maka disusun sistematika skripsi. Adapun

sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, terdiri dari: latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode

penelitian, sistematika skripsi.


38

Bab II Keadaan Desa Selomanik, Wonosobo (1825-1830) berisi tentang:

sejarah Desa Selomanik, Wonosobo, istilah desa, istilah kadipaten,

keadaan alam, kondisi sosial ekonomi, kondisi sosial agama.

Bab III Perkembangan Kadipaten Selomanik sebagai basis kegiatan politik

keagamaan tahun 1825-1830, berisi tentang: peran Ki Ageng

Selomanik, kondisi Desa Selomanik sebelum tahun 1825-1830,

yang terdiri dari: perkembangan kegiatan politik; perkembangan

Agama Islam; peranan kiai/ ulama; peranan pondok pesantren;

langgar/ masjid/ surau; makam.

Bab IV menguraikan tentang Kadipaten Selomanik sebagai kegiatan politik

keagamaan pada masa kolonial (1825-1830) yang terdiri dari:

faktor ekonomi, faktor politik, faktor sosial budaya.

Bab V berisi tentang simpulan.

Daftar Pustaka
BAB II

KEADAAN DESA SELOMANIK, WONOSOBO

(1825-1830)

A. Sejarah Desa Selomanik, Wonosobo

Desa Selomanik berasal dari dua suku kata yaitu “selo” yang artinya

batu besar, sedangkan “manik” ialah sebuah permata. Jadi Selomanik adalah

batu permata yang besar. Hal itu disebabkan daerah Desa Selomanik terdapat

Watu Bangkong (Batu Kodok, Katak, batu yang besar) yang ada disekitarnya.

Menurut cerita bahwa Batu Bangkong merupakan jelmaan Ki Bangkong

Reang, dengan adanya Ki Bangkong Reang di Desa Selomanik, Wonosobo

pada masa kolonial tahun 1825-1830. Ki Bangkong Reang merubah wujud

menjadi Bangkong (Jawa: kodok, katak), hal itu merupakan starategi Ki

Bangkong Reang ketika melawan musuh. Seperti yang beliau lakukan ketika

melawan pasukan dari Kebumen di bawah pimpinan Tumenggung Salamangu.

Perang terjadi karena Tumenggung Salamangu menuntut agar

Katemenggungan Wonosobo ikut di bawah kekuasaan Tumenggung

Salamangu (Kebumen). Selama pertempuran terjadi Ki Bangkong Reang tidak

mampu mengalahkan pihak Tumenggung Salamangu, karena pihak musuh

mempunyai sebuah masjid yang anti “peluru”. Meriam Belanda pun tidak

mampu menghancurkan masjid itu”. Menurut Khaeudin Juru Kunci Makam

Ki Ageng Selomanik, Wonosobo. Kemudian Ki Bangkong Reang bersemedi

(Jawa: napak aji) dan mengeluarkan ilmunya dengan berubah wujud menjadi

39
40

Kodok, Bangkong. Cara itu, ternyata bisa masuk ke Masjid Batu. Masjid Batu

tersebut mempunyai ciri khas tersendiri dari batu-batu yang lainnya. Dengan

ukurannya yang besar juga bentuknya berbeda dengan batu-batu yang ada di

sungai atau di sekitarnya. Batu-batu besar yang ada di daerah tersebut

dipercaya oleh penduduk sekitar sebagai lambang sebuah kekuasaan. Sekarang

batu-batu itu masih bisa kita jumpai di sepanjang jalan Desa Selomanik,

karena masyarakat Desa Selomanik tetap menjaga keasliannya (Wawancara

Khaerudin tanggal 24 Mei 2005). Desa Selomanik, Wonosobo merupakan

bagian dari Propinsi Jawa Tengah (sekarang). Wonosobo sebuah daerah yang

memiliki catatan panjang dalam perjalanan sejarah. Selain sebagai daerah

kabupaten, juga dijadikan sebagai nama Ibukota Kabupaten yaitu tempat

kedudukan pemerintah kabupaten. Proses kegiatan pemerintahan dan

pembangunan daerah disusun, diatur dan dikelola dengan baik oleh pejabat

pemerintah.

Asal mula Kota Wonosobo erat kaitanya dengan banyaknya para

pendatang. Menurut istilah, Wonosobo berasal dari dua kata yaitu ”wono”

yang artinya hutan dan ”sobo” yang berarti mengunjungi. Jadi, kata Wonosobo

yaitu kawasan hutan yang banyak dikunjungi. Wonosobo dari hari ke hari

semakin ramai dan bertambah penduduknya. Pada zaman Mataram, pusat

pemerintahan Wonosobo di Desa Selomanik yang dipimpin oleh Kertawasesa

II, yang nantinya namanya diganti dengan sebutan Ki Ageng Selomanik dan

bergelar Tumenggung.
41

Kertawasesa II, keturunan dari kerajaan Mataram di Yogyakarta,

merupakan pengikut Pangeran Diponegoro yang berhasil meloloskan diri dari

serangan pemerintah kolonial dan Patih Danurejo. Kertawasesa II adalah

orang yang setia terhadap tanah air dan bangsanya, serta tidak mau hidup

dalam gengaman penjajah kolonial. Politik dan tindakan Patih Danurejo

ditentang oleh Kertawasesa II, karena sikapnya yang memihak pemerintah

kolonial. Hal itu, sangat membahayakan kerajaan Mataram. Patih Danurejo

mengirim utusanya untuk menemui Kertawasesa II dirumahnya, bahwa

Kerawasesa II untuk segera menemui Patih Danurejo di kepatihan dan segera

menyerahkan diri kepada pemerintah kolonial, tetapi utusan itu di tolaknya.

Marahlah utusan Patih Danurejo, akhirnya terjadi perang. Adanya peristiwa

tersebut menyebabkan Kertawasesa II merasa tidak nyaman lagi tinggal di

Keraton Yogyakarta dan memutuskan untuk meninggalkan kota tersebut, yang

diikuti oleh istri dan pengikutnya. Perjalanannya sampai di Desa Selomanik,

Wonosobo.

Kertawasesa II menetap dan diangkat oleh rakyat untuk menjadi

seseorang yang diberi wewenang dalam menjalankan roda pemerintahan. Desa

Selomanik berkembang pesat dan ramai sebagai pusat Pemerintahan

Wonosobo. Desa Selomanik berubah menjadi kadipaten. Selain menjadi

kepala pemerintah, Kertawasesa II, membantu di Pondok Pesantren Selomanik

yang dipimpin oleh Kiai Ngalwi dari Tebuireng, Jawa Timur untuk menjadi

guru yang memberikan ilmu pengetahuan, di bidang ilmu keagamaan kepada

santri/muridnya. Para santri dilatih belajar ilmu keagamaan juga diajari ilmu

beladiri. Ilmu beladiri yang diberikan kepada para santri/muridnya bertujuan

untuk menjaga dirinya sendiri dari serangan musuh juga diangkat menjadi

prajurit pemerintah.
42

Kertawasesa II diangkat menjadi kepala pemerintahan Wonosobo. Pusat

kegiatan dilakukan di Pondok Pesantren Selomanik, kemudian mendirikan

kadipaten yang berpusat di Selomanik. Kertawasesa II dalam menjalankan

roda pemerintahan dibantu oleh Ki Demang yang akhirnya diangkat sebagai

penasehat, dan sebagai senopatinya diangkatlah Ki Butawereng. Kertawasesa

II menyandang gelar Tumenggung. Kertawasea II kemudian menganti nama

menjadi Ki Ageng Selomanik yang disesuaikan dengan wilayah tempat

tinggalnya yaitu di Desa Selomanik, Wonosobo.

Ki Ageng Selomanik dalam menjalankan roda pemerintahanya

dilakukan di pondok pesantren sebagai pusat kegiatan, baik masalah

pemerintahan hingga sampai masalah politik, keagamaan, dan ekonomi yang

sedang berkembang serta masalah keamanan dan pertahanan. Kadipaten

Selomanik sebagai pusat kegiatan politik yang dilakukan oleh pejabat

pemerintah maupun para pemuka agama untuk membahas tentang kegiatan

politik keagamaan dan menyusun starategi perang dalam menghadapi musuh.

B. Istilah Desa

Kata “desa”, dusun, desi (swa-desi), hal itu seperti halnya dengan

negara, nagari, negeri, negari, negory (nagarom) berasal dari kata Sankskrit

yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran. Indonesia sudah terjadi

pada zaman dahulu, hingga zaman sekarang. Khusus penduduk di daerah

Jakarta dan sekitarnya menyebut desa dengan “negari” yaitu pada masa

kolonial di Indonesia.

Istilah desa, hanya dipakai di Jawa, Madura, dan Bali. Kata dusun

dipakai di daerah Sumatera Selatan, Maluku (dusun dati). Sedangkan di Batak

mengunakan istilah perdukuhan. Di Aceh mengunakan istilah gampong dan


43

meunasah yang digunakan pada daerah-hukum yang bawah dalam artian

daerah yang mempunyai starata sosial yang terbawah. Di Batak daerah hukum

ditingkat desa diberi nama kuta, uta, huta. Pedukuhannya disebut dengan

dusun (Jawa), solor dan pagaran. Pedukuhan lain mayoritas mata pencaharian

sebagai petani yang sering disebut dengan istilah banjar atau jamban.

Desa ialah suatu kesatuan hukum yang bertempat tinggal dalam suatu

masyarakat, mempunyai kekuasaan atau kuasa dan mengadakan pemerintahan

sendiri. Desa terjadi karena, merupakan kediaman masyarakat saja, ataupun

terjadi dari satu induk-desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari

masyarakat dengan tata cara hukum yang terpisah. Hal itu merupakan satu

kesatuan tempat tinggal sendiri yaitu kesatuan-kestuan itu dinamakan

pedukuhan, ampean, kampong, jantilan, empang dan tambak. Besarnya desa

itu berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Untuk

daerah pegunungan mempunyai daerah yang lebih luas (besar) dibandingkan

dengan daerah yang lainnya.

Desa-desa di Jawa mempunyai induk-induk desa dan pedukuhan,

sedangkan orang-orang Belanda pada masa kolonial menyebut desa atau

dukuh dengan istilah Tuidorp. Didaerah Swa-Praja khususnya di Jawa, desa

yang tidak mempunyai tanah, pertamanan, disebabkan karena tanah tempat

tinggal penduduk itu termasuk daerah milik Swa-Praja. Istilah tersebut

dinamakan Karang Kopek. Di Jawa dan Madura, desa itu terjadi dari

sekumpulan tanah-pekarangan. Yang biasanya diberi tanda berupa pagar

keliling baik pagar hidup seperti pohon, dan pagar mati, antara lain: Tembok,
44

Kayu, dan Bambu. Diatas pekarang terdiri sebuah rumah kediaman penduduk

beserta lumbung padi (tempat menyimpan hasil pertanian seperti Padi, yang

berbentuk rumah panggung dan berdinding anyaman bambu), dsb.

Pekarangan-pekarangan itu dari ujung desa yang satu ke ujung desa yang

lainnya disambung dengan jalan-jalan desa. Ditepi desa, jalan-jalan itu

biasanya ditutup dengan sebuah pintu dari kayu ataupun bambu. Apabila

malam, desa dikunci dari dalam dengan kuat. Dimuka pintu desa itu di sebelah

dalam berdiri sebuah gardu sebagai tempat penjagaan warga desa. Adapun

pintu desa diberi atap dengan genteng atau daun, sehingga menyerupai sebuah

rumah.

Di kanan kiri jalan dibuat gladak (lantai diatas tiang-tiang yang

menyerupai panggung), yang berada dikedua belah tepi jalan. Diatas panggung

tersebut pada zaman dulu digunakan untuk menerima tamu yang berasal dari

keraton, kadipaten ataupun tamu mancanegara dan disebelahnya ditaruh

seperangkat gamelan dengan tujuan untuk menghormati para tamu.

Di beberapa daerah (Jawa Tengah, Jawa Timur), setiap tepi desa

pedukuhan ditanami Bambu yang lebat dan padat sehingga tidak memudahkan

orang luar masuk ke daerah desa tersebut. Tujuan ditanami Pohon Bambu di

pintu gerbang desa yaitu untuk menjaga keadaan desa dari gangguan dari

segala hal. Bagi orang yang masuk ke dalam desa harus lewat pintu gerbang

desa. Pintu gerbang pada waktu malam dikunci dari dalam dengan kuat, maka

tidak mungkin ada orang memasuki desa, sehingga desa dalam keadaan yang

demikian benar-benar merupakan sebuah benteng yang kuat terhadap para


45

pencuri, perampok yang sewaktu-waktu datang ke dalam desa. Jadi di desa

perlu penjagaan. Pintu gerbang masuk ke Desa Selomanik, Wonosobo dan

daerah yang ada disekitanya sampai sekarang masih terdapat Pohon Bambu

sebagai pintu utama masuk ke desa. Beberapa daerah yang mengunakan istilah

desa, seperti di daerah Cilacap terdapat desa yang terjadi dirumah-rumah

diatas getek (rakit) dari kayu/ bambu yang terapung diatas air atau ditepi

sungai.

Lazimnya desa, setiap dukuh mempunyai tempat beribadah seperti surau/

langgar, dan masjid, serta tempat penginapan bagi para tamu yang datang

berkunjung kedaerah tersebut. Didekat langgar/surau dan masjid terdapat

pemakaman umum desa atau kuburan bersama di desa dengan ditandai adanya

Pohon Sambodro atau Bunga Semboja yang bunganya sangat wangi/ harum.

Kuburan desa dipelihara oleh beberapa penduduk warga desa dan mereka yang

mengurusi makam tersebut dibebaskan dari pajak wajib, dan wajib kerja serta

mereka diberi sebidang tanah untuk digarap dan membutuhi kebutuhan

keluarga para pekerja. Hal itu, berlaku selama mereka menjalankan

pemeliharaan kuburan/ makam desa dengan baik.

Seluruh desa di Jawa pasti mempunyai Balai Desa atau tempat untuk

mengadakan pertemuan, seperti di Desa Selomanik, Wonosobo pada masa

kolonial apabila mengadakan rapat-rapat, pertemuan, dilaksanakan di pondok

pesantren atau di tempat demang desa. Balai desa digunakan untuk melakukan

dan menjalankan roda pemerintahan desa serta dijadikan sebagai tempat

Kantor Kepala Desa, selain itu juga digunakan untuk mengadakan berbagai
46

kumpulan baik resmi seperti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pejabat

pemerintah dan kegiatan sosial yang lainnya. Disetiap desa dibuat lumbung

desa, sekolah seperti pondok pesantren, dan terdapat pasar desa sebagai

tempat pertemuan para pedagang untuk melakukan jual beli.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, orang desa membutuhkan tempat

untuk melangsungkan pertemuan di Balai Desa. Pertama punya kepala desa

lazimnya mempunyai pendopo yang cukup luas untuk mengadakan berbagai

rapat/ kumpulan. Lihat Lampiran No. 1, hal. 121. Akan tetapi ada yang lebih

penting ialah untuk mengumpulkan orang-orang untuk berpendapat, bahwa

rumah lurah harus menjadi tempat pusat segala hal dalam usaha di desa, baik

bersifat ketataprajaan maupun yang bersifat kemasyarakatan. Hal ini

bersangkutan erat dengan ikatan batin (hiesteke band) yang mengikat rakyat

dengan pemimpin desa atau atasannya.

Jadi sifat desa berbentuk teritorial (kedaerahan). Di luar Jawa dan

Madura, desa sifatnya berbeda-beda. Hal itu berhubungan erat dengan bentuk

genealogis (dasar keturunan) yang ada di desa-desa tersebut. Adanya

hunbungan yang erat dengan rakyat dalam kehidupan sehari-hari yang

ditunjukkan dalam kehidupan yang lainnya secara umum.

Daerah Wonosobo pada zaman dulu merupakan daerah yang masih

berupa hutan belantara. Dengan kedatangan Kiai Walik, Kiai Kolodete dan

Kiai Karim ke daerah Wonosobo untuk membuka lahan yang baru. Pada

zaman dulu, masyarakat memilih tempat tinggal, menetap, dan berkumpul

dalam jumlah kecil maupun jumlah yang besar memutuskan untuk hidup dan
47

berkumpul secara bersama-sama dan turun temurun selamanya. Dalam

kebersamaannya untuk berkumpul maka tujuan mereka akan lebih mudah dan

ringan dalam memelihara hubungan tersebut, baik untuk kepentingan pribadi

maupun kepentingan bersama.

Masyarakat membentuk komunitas yang besar dan kuat untuk melawan

bahaya dari dalam maupun dari luar, khususnya untuk melawan penjajahan di

bumi pertiwi sehingga kerjasama sangat ditonjolkan dalam menjalin hubungan

yang baik, erat dan teratur.

Dalam membentuk masyarakat di bidang pertanian khususnya Kadipaten

Selomanik dibentuk sekumpulan manusia seperti kedatangan para kiai

kedaerah tersebut untuk membentuk masyarakat pertanian. Mereka membuka

hutan belukar dan mengolahnya secara bersama-sama yaitu mengolah lahan

tanah yang kosong untuk ditanami tumbuh-tumbuhan yang dapat

menghasilkan bahan-bahan makanan.

Dengan membuka lahan pertanian, banyak masyarakat yang datang ke

daerah Wonosobo dan bermukim disana, serta menggabungkan diri untuk

menetap di daerah itu. Mereka bergabung untuk mempertahankan diri dari

bahaya. Di daerah-daerah yang yang tanahnya subur kemudian terdapat

masyarakat yang besar dan tergabung dalam ikatan desa yang kuat dan banyak

penduduknya. Di Jawa terdapat beberapa definisi tentang desa yang sangat

mendukung perkembangan desa itu sendiri, seperti: (1) Desa Pasar (Dagang)

yaitu tempat orang-orang dari berbagai penjuru dan bertemu dalam satu

tempat untuk melakukan transaksi jual beli barang yang dihasilkan oleh
48

masyarakat; (2) Desa Pakuncen yaitu dipakai bagi mereka yang diwajibkan

untuk memelihara makam yang keramat atau tempat lain yang dianggap

keramat. Orang-orang yang biasanya mempunyai kewajban untuk memelihara

tempat keramat tersebut adalah orang yang alim, pintar membaca Al-Qur’an

dan hafal ayat-ayat Qur’an karena disetiap kegiatan keagamaan seperti untuk

memimpin doa. Bagi mereka yang menjaga makam yaitu disebut pakuncen

atau juru kunci; (3) Desa Mutihan yaitu desa yang penduduk desanya terkenal

dengan lingkungan orang-orang alim, taat beribadah

(Kartohadikoesoemo,1964: 5-77).

C. Istilah Kadipaten

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia

bahwa kadipaten adalah istilah yang merujuk kepada suatu kampung atau

wilayah di lingkungan sebuah keraton atau kesultanan. Nama ini berasal dari

nama gelar/ pangkat di lingkungan keraton, yakni adipati

(http:/id.wikipedia.org/wiki/Kadipaten, 2007). Kadipaten ialah daerah yang

dikuasai oleh adipati, dibawah kekuasaan Paku Alaman (KBBI, 2003: 488).

Ibukota adalah permukiman yang permanen, relatif padat, penduduknya

heterogen, mempunyai bangunan-bangunan untuk mewadai berbagai macam

kegiatan penduduk. Ibukota merupakan permukiman penduduk yang terdiri

dari bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dari berbagai

lapisan masyarakat. Ibukota juga mempunyai hubungan yang erat dengan

daerah hinterland di sekitarnya (Kostof, 1991: 37-38). Ibukota merupakan


49

tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara, serta tempat menghimpun

unsur-unsur administratif, yaitu legeslatif, yudikatif (Kostof, 1991: 39).

Secara substansial Kasultanan Yogyakarta diakui keberadaannya

berdasarkan Perjanjian Gianti pada tanggal 21 Jumadil Awal 1680 J = 13

Februari 1755, maka lebih dahulu Sri Sultan mendirikan keraton dengan

berbagai macam sarana dan prasarana, untuk mewadai aktifitas pemerintahan.

Keraton didirikan di Desa Gamping 4 kilometer sebelah barat kota Yogyakarta

yang sekarang, sebelah barat kali Bedog. Keraton yang didirikanya oleh Sri

Sultan di tempat itu dinamakan Ambarketawang. Dari tempat ini Sri Sultan

mencari tempat yang lebih baik untuk dijadikan ibukota dari Kasultanan

Yogyakarta. Pada akhirnya tempat itu dapat ditemukan yaitu di Hutan

Beringan diantara kali Winongo dan kali Code, 4 kilometer sebelah timur

Ambarketawang (Poerwokoesoemo, 1985: 35).

Menurut Cerita Rakyat Yogyakarta, dalam pemilihan tempat sebagai

ibukota Kasultanan adalah sebagai berikut:

”Ada seorang hamba tukang sabit (paratik) mencari rumput di Hutan


Beringan. Ia kehausan, dan mencari air kemana-mana. Dalam pencariannya
ternyata tidak menemukan sumber mata air, kemudian ia melihat burung
kuntul yang terbang tinggi dan menuju salah satu tempat. Dalam hati si tukang
sabit berkata ”burung kuntul itu pasti menuju daerah yang ada airnya, atau
bahkan hutan ini ada danaunya”. Dugaan si tukang sabit ternyata tidak salah.
Sebab daerah yang dikunjungi oleh burung kuntul itu, ada sebuah danau yang
airnya sangat jernih. Tetapi pada saat ia meminum air danau tersebut ternyata
ada seekor naga. ”Hai, janganlah kau melarikan diri tukang sabit”, kata naga
itu, ” saya adalah Kiai Mojo, yang mbaurekso (menjaga keselamatan) hutan
ini. Sampaikanlah pada rajamu, apabila mencari tempat untuk ibukota, Hutan
Beringan yang terbaik”.
Tukang sabit menemui Sri Sultan di pasanggrahan Ambarketawang
Gamping. Sri Sultan Hamengku Buwono I, kemudian menitahkan untuk
membabad Hutan Beringan untuk dijadikan ibukota Kasultanan. Setelah
ibukota berdiri, Sri Sultan menitahkan untuk membuat tugu di sebelah utara
50

keraton, tugu tersebut sebagi pusat pandangan Sri Sultan jika lenggah
siniwoko di Sitinggil. Kemudian Kiai Jogo yang menempati tugu tersebut
(Cerita Rakyat Yogyakarta dalam Poerwokoesoemo, 1985: 45-46).

Dalam pemilihan tempat ibukota Kasultanan Yogyakarta lebih condong

kepada alasan pertahanan, yaitu diperkuat dengan adanya bangunan Tamansari

sebagai bangunan keraton. Tamansari merupakan tempat peristirahatan dan

tempat hiburan. Jika kita menyelidiki Tamansari lebih mendalam, ternyata di

bagian-bagian dalam terdapat jalan-jalan kecil di bawah tanah yang menembus

ke beberapa jurusan dan berbelok-belok, bahkan ada yang menembus sampai

keraton dan keluar kota. Dengan demikian Tamansari, jelas tidak hanya

tempat istirahat untuk sekedar mendapatkan hiburan saja, tetapi mempunyai

arti dalam soal pertahanan (Poerwokoesoemo, 1985: 46).

Sri Sultan pindah ke keratonnya yang baru di Beringan pada tanggal 7

Oktober 1756. Sejak saat itu, Beringan berkembang dengan pesat sebagai kota

Yogyakarta yang menjadi ibukota Kasultanan. Tanggal 17 Oktober 1756

merupakan hari jadi kota Yogyakarta yang ke 200 tahun atau dwi-abad (Dwi-

Sata-Warsa) diadakan peringatan besar-besaran oleh Kotapraja Yogyakarta

antara lain dengan menyelengarakan pekan raya peringatan 200 tahun kota

Yogyakarta, yang bertaraf nasional maupun internasional.

Dalam pekan raya tersebut tidak hanya didirikan stand-stand yuang

menarik dari departemen-departemen dan penguasa-penguasa swasta,

melainkan juga didirikannya stand-stand dari kedutaan asing: Amerika Serikat,

Rusia, RRC. Peringatan pekan raya dilakukan selama 40 hari, membawa

keuntungan yaitu membangun gedung pertemuan Sasana Hinggil Dwi Abad di


51

Siti Hinggil Kidul alun-alun selatan, menbangun gedung pertemuan Panti Dwi

Sata Warsa di pingir alun-alun utara sebelah barat dan membagun air mancur

(fontain) Sasono Tirto Dwi Abad di tengah alun-alun utara sebelah utara

waringin kurung.

Beringan yang tadinya hutan (7 Oktober 1756) berubah dan berkembang

menjadi sebuah kota yaitu kota Yogyakarta (sekarang). Yogyakarta dulunya

merupakan kota kecil yang terletak di kali Winongo dan kali Code (bisa dilihat

dari tembak-tembok yang mengelilingi keraton), lambat-laun kota Yogyakarta

berkembang menjadi kota Yogyakarta seperti yang sekarang. Kota Yogyakarta

meluas sampai sebelah barat kali Winongo dan ke timur sampai kali Code,

bahkan sekarang wilayahnya labih luas lagi hingga sampai kali Gajahwong.

Letak kota Yogyakarta berada di tengah-tengah diantara gunung Merapi

dan Samudera Indonesia. Kota Yogyakarta berada di tengah-tengah pulau

Jawa, karena semua alat transformasi dari segala jurusan berhenti di

Yogyakarta. Berkembangnya kota yogyakarta hingga sampai ke barat kali

Winongo dan ke timur kali Code, semua itu sulit dipastikan tanggal dan

tahunnya. Akan tetapi dapat mengingat dengan adanya kampung-kampung

Patangpuluhan, Wiroprajan, Ketanggungan dan Bugisan di barat kali

Winongo, mampu membuktikan bahwa hampir bersamaan dengan berdirinya

keraton Yogyakarta ibukota Kasultanan sudah meluas sampai ke barat kali

Winongo. Sebab kampung-kampung itu semuanya terletak di barat kali

Winongo dan kampung-kampung tersebut menunjukkan bahwa tempat itu

menjadi tempat kediaman golongan-golongan prajurit pengikut Pangeran


52

Mangkubumi dalam peperangan ialah Patangpuluh, prajurit Wirobrojo,

prajurit Ketanggung dan prajurit Bugis. Dalam penempatan prajurit-prajurit

tersebut di sebelah barat kali Winongo pda waktu itu dengan maksud untuk

menjaga keamanan keraton dari kemungkinan serangan-serangan yang datang

dari arah barat.

Di sebelah timur kali Code terdapat nama kampung-kampung Surakarsan

dan Nyutran. Bahwa bersamaan dengan berdirinya keraton Yogyakarta,

ibukota Kasultanan sudah meluas sampai ke timur kali Code. Nama kampung-

kampung Nyutran dan Surokarsan menujukkan bahwa kampung-kampung

tersebut menjadi tempat kediaman prajurit-prajurit Nyutro dan Surokarso

pengikut Pangeran Mangkubumi dalam peperangan. Penempatan prajurit-

prajurit tersebut di sebelah timur kali Code bertujuan untuk melindungi

keraton, apabila terjadi serangan dari arah timur.

Golongan prajurit yang ditempatkan di sebelah selatan keraton, antara

kali Winongo dan kali Code adalah prajurit Daeng, Jogokariyo, Mantrijero.

Penempatan prajurit-prajurit pengikut Pangeran Mangkubumi dalam

peperangan yang terjadi di sebelah selatan keraton bertujuan untuk melindungi

keraton jika sewaktu-waktu ada serangan baik dari selatan maupun utara,

sedangkan prajurit komandan di tempatkan di sebelah selatan keraton yang

sering disebut Kumendaman.

Sejak berdirinya keraton Yogyakarta, keraton ini sudah dibentengi oleh

prajurit-prajurit di sekitar keraton (benteng). Bahwa kota Yogyakarta cepat

meluas sampai ke barat kali Winongo dan timur kali Code. Pangeran
53

Notokusumo yang kemudian menjadi KGPAA Pakualaman 1 (putra Sri Sultan

Hamengku Buwono I, Pangeran Mangkubumi) sudah mampunyai tempat

tInggal di sebelah timur kali Code yaitu yang terkenal dengan sebutan Pura

Pakualaman. Dalam Perang Diponegopro (1825-1830) pun telah disebut-sebut

adanya pertempuran untuk merebut jembatan Sayidan dan di atas kali Code.

Ibukota Kasultanan berkembang dengan cepat dan meluas sampai ke timur

kali Code.

Kota Yogyakarta merupakan ibukota Kasultanan, cepat meluas ke arah

barat kali Winongo yang ditandai dengan tempat kediaman Pangeran

Diponegoro di Tegalrejo. Letak kampung tersebut tepat disebelah barat kali

Winongo.

Dalam buku peringatan kota Yogyakarta 200 tahun yang diterbitkan oleh

Kotapraja Yogyakarta halaman 76 yaitu tentang kota Yogyakarta sebagai

ibukota Kasultanan, sebagai berikut:

”Perjanjian Gianti terjadi pada tanggal 29 Rabingulakir 1680 atau 13


Februari 1755, dan menurut catatan keraton Surakarta, palihan negeri
diperingati dengan condrosengkala ”Tunggal Pangesti Rasaning Janma =
1681, yaitu pelaksanaan membagi negara Mataram menjadi dua, sebagian
menjadi kekuasaan Sri Sultan Hamengku Buwono III dan sebagian menjadi
kekuasaan Sri Sultan Hamenguku Buwono I. Sejak itulah Sri Sultan
Hamengku Buwono I, memerintahkan untuk mulai mengerjakan bangunan
ibukota, dimulai dari keraton sebagai pusat dan permulaan, yang dibantu oleh
pengikutnya. Sri Sultan Hamengku Buwono I bertempat (masanggrah) di
istana (pasanggrahan) Gamping, yang letaknya kurang lebih 5 kilometer
sebelah barat kota Yogyakarta yang sekarang.
Istana Gamping mempunyai sifat pertahanan, karena letaknya yang dekat
dengan sebuah Gunung Gamping. Gunung Gamping memberi perlindungan
kuat kepada penghuni istana. Gunung Gamping terletak di sebelah timur laut
istana Ambarketawang. Sri Sultan Hamengku Buwono I, tinggal di
Ambarketawang sudah lama, dengan mengawasi pembangunan keraton
Yogyakarta yang sekarang, dapat dihitung menurut catatan kapunggajangan
keraton Yogyakarta, sebagai berikut: Perjanjian Gianti terjadi pada tanggal 29
54

Rabinguakir 1680 atau 13 Februari 1755. mulai pada hari Kamis tanggal 3
Suro wawu 1681 atau 9 Oktober 1755, Sri Sultan masanggrah di istana
Ambarketawang. Kurang lebih satu tahun kemudian tepatnya pada hari Kamis
Pahing tanggal 13 Suro Jimakir 1682 atau 7 Oktober 1756 Sri Sultan berkenan
memasuki keraton Yogyakarta yang sekarang. Yang ditempati pertama kali
adalah Gedong Sedahan. Kepindahan Sri Sultan ke keraton ditandai dengan
lukisan ”Dua ekor naga yang ekornya saling melilit” yang ditempatkan di atas
gapuro belakang. Candrasengkala memet artinya Dwi Naga Rasa Tunggal =
1682” (Peringatan Kota Yogyakarta 200 tahun dalam Poerwokoesoemo,
1985: 38-39).

Selanjutnya dalam halaman 22 dan seterusnya tentang perkembangan

ibukota Kasultanan, sebagai berikut:

”Bersama-sama dengan perkembangan pembangunan keraton Sri Sultan


Hamengku Buwono I juga menitahkan untuk membangun kampung-kampung
di sekeliling baluwarti keraton, dimulai dari kampung-kampung untuk
perumahan atau asrama para anak buah angkatan perang dan para perwiranya.
Yang terpilih untuk bertempat tinggal di dalam benteng keraton hanya yang
penting sekali, sedangkan para prajurit lainnya ditempatkan di luar benteng.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kampung-kampung di
dalam kota Yogyakarta yang tertua adalah kampung-kampung yang
mempunyai hubungan langsung dengan resimen-resimen atau bagian-
bagiannya atau kampung-kampung yang namanya merupakan tempat dari
ahli-ahli teknik. Cara memberikan nama pada kampung-kampung itu menurut
nama pembesar atau golongan prajurit, atau golongan ahli teknik yang
menempati tempat itu. Misalnya kampung Bintaran, daerah itu ditempati oleh
Pangeran Bintoro, kampung Sukokarsan merupakan tempat tinggal para
prajurit Surokarso, kampung Notoprajan karena daerah itu merupakan daerah
tempat tinggal oleh Pangeran Notoprojo, kampung Dagen, semula daerah itu
tempat tinggal golongan undagi (tukang-tukang kayu), kampung
Kumendaman yang merupakan tempat tinggal komandan prajurit, kampung
Wirogunan tempat Bupati Wiroguno dan kampung Wirobrajan yang
merupakan tempat tinggal prajurit Wirobrojo dan seterusnya (Peringatan Kota
Yogyakarta 200 tahun dalam Poerwokoesoemo, 1985: 39-40).

Kadipaten Paku Alaman didirikan pada tanggal 17 Maret 1813, ketika

Pangeran Notokusumo, putra dari Sultan Hamengku Buwono I dengan

Permasuri Srenggorowati, dinobatkan oleh Gubernur-Jendral Sir Thomas

Raffles (Gubernur Jendral Britania Raya, yang memerintah pada saat itu)

sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A.) Paku Alam I.


55

Status kerajaan ini mirip dengan status Praja Mangkunagaran di Surakarta

(http:/id.wikipedia.org/wiki/Kadipaten Paku Alaman, 2007).

D. Keadaan Alam

Daerah Wonosobo merupakan daerah antara pegunungan dengan

ketinggian yang terendah lebih dari 500 meter di atas permukaan laut dan di

antara dua kerucut vulkan yaitu Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.

Sebutan dataran pegunungan yang dipakai untuk menamai region ini

sebenarnya kurang tepat, karena keadan permukaan yang datar hanya dapat

dilihat secara tempat sangat terbatas. Namun sebutan itu dipakai juga untuk

mudahnya penamaan, dan juga dengan mengingat bahwa pusat permukiman

didaerah ini kebanyakan terdapat pada bagian-bagian yang datar.

Berdasarkan Keputusan Pemerintah Kota Wonosobo mengenai Peraturan

Pemerintah bahwa Wonosobo ditetapkan menjadi sebuah kabupaten pada

tanggal 24 Juli 1825 sebagai hari jadi Kota Wonosobo berdasarkan Peraturan

Pemerintah nomor 10 tahun 1994. Wonosobo terletak pada posisi 7 0 LS


0
diantara 109-110 BT. Dengan luas wilayah 984,68 km² atau 98.468 hektare

yang berada pada ketinggian antara 270-2.300 M di atas permukaan laut.

Wonosobo merupakan bagian dari propinsi Jawa Tengah yang berbatasan:

sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kendal dan Batang, sebelah timur

berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Magelang, sebelah selatan

berbatasan dengan Kabupaten Purworejo dan Kebumen, sedangkan sebelah

barat berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kebumen.


56

Keadaan umum Wonosobo merupakan kabupaten yang terdiri dari 14

kecamatan, 236 desa, 28 kelurahan, 961 dusun. Wonosobo terbagi dalam

beberapa kecamatan seperti: Wadaslintang, Kaliwiro, Kepil, Sapuran,

Selomerto, Leksono, Sukoharjo, Kalikajar, Kertek, Wonosobo, Watumalang,

Mojotengah, Garung Dan Kejajar.

Sistem mata pencaharian penduduk Wonosobo adalah petani, sejak

zaman sebelum dan setelah dengan pusat permukiman berkembang karena

adanya usaha manusia untuk mendiami daerah-daerah pegunungan yang subur

dan mengembangkan daerah budidaya dengan hasil cocok tanam. Berdirinya

Kota Wonosobo hingga sampai sekarang. Dengan daerah pegunungan, dan

curah hujan tinggi, Wonosobo merupakan daerah yang agraris.

Kondisi alam Desa Selomanik, Wonosobo merupakan bagian dari daerah

Kaliwiro (kecamatan sekarang). Desa Selomanik dikelilingi dengan

pengunungan sebagai batas wilayah daerah tersebut. Tepat dibawah Gunung

Lawang yang berada di sebelah selatan. Sedangkan di sebelah utara dibatasi

dengan Gunung Pogor. Untuk batas wilayah yang lainnya mengunakan sungai.

Desa Selomanik dikelilingi oleh hutan dan sungai sebagai batas serta

pertahanan dari serangan musuh.

E. Kondisi Sosial Ekonomi

Sistem sosial pada dasarnya adalah suatu sistem dari tindakan-tindakan

yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi diantara individu-individu,

tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan melainkan berdasarkan atas


57

standar penilaian umum untuk mengenai norma-norma sosial, yang disepakati

bersama oleh para anggota masyarakat sehingga terbentuk srtuktur sosial

Masyarakat Selomanik, Wonosobo termasuk kelompok masyarakat yang

plural. Struktur sosial sebagaimana struktur sosial masyarakat Indonesia pada

umumnya ditandai oleh ciri-ciri, sbb: secara horizontal yaitu dengan adanya

kesatuan sosial sebagai mana struktur sosial berdasarkan perbedaan.

Sedangkan vertikal oleh Vurnivall (1967) dengan konsep masyarakat

majemuk (plural society) yaitu membedakan masyarakat secara hierarkis.

Yang termasuk bersifat hierarkis yaitu golongan Eropa atas golongan pribumi

pada masa kolonial. Pada masyaraakat Desa Selomanik, pemerintah kolonial

nampaknya berhasil mewariskan pelapisan sosial. Politik kolonial yang

menciptakan segresi keuangan dengan pengaturan tempat tinggal berdasarkan

etnik demi kepentingan dan keamanan pemerintah kolonial.

Masih tampak dalam golongan priyayi dengan golongan wong cilik.

Menurut koenjaraningrat (1976) pelapisan sosial merupakan dasar konsepsi

klasik masyarakat Jawa (Koenjaraningrat, 1994: 32). Perpektif sejarah telah

menunjukkan adanya perubahan-perubahan terutama pada golongan priyayi.

Pemerintah dalam pengertian priyayi meluas yang ditarik dalam sistem

biroraksi (Geertz, 1964: 308). Pada masyarakat Desa Selomanik terdapat

golongan priyayi yaitu menunjukkan golongan abangan dan pengawai atau

pejabat pemerintah (Geertz, 1964: 20-23).

Pembangunan desa di Jawa dibentuk oleh pengawasan dari pemerintah

yang ketat mengenai pengunaan hak-hak istimewa politik secara administratif


58

dan campur tangan pemerintah dalam urusan desa, baik pemerintah pusat

maupun pemerintah kolonial (Antlov, 2002: 5). Campur tangan pemerintah

kolonial dalam urusan desa biasa hanya dilakukan dalam bidang tertentu

dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kepentingan itu sendiri.

Selain itu, pemerintah pusat yang bekerjasama dalam menetapkan peraturan

undang-undang dikerajaan yang diberlakukan kepada warga masyarakat desa

di Jawa (Ranneft,1974: xii).

Lembaga-lembaga pemerintah menjadi lebih mencolok campur

tangannya didalam urusan-urusan desa maupun para kiai/ ulama banyak yang

ikut didalam kekuasaan yang bersifat administratif (Antlov, 2002: 6).

F. Kondisi Sosial Agama

Kondisi sosial keagamaan Kadipaten Selomanik sebelum tahun 1825

yaitu telah berkembang Agama Islam. Agama Islam yang berkembang pada

masyarakat Desa Selomanik sudah turun temurun sejak zaman dahulu hingga

sampai sekarang. Peranan Kiai Ngalwi sebagai pelopor dalam bidang

keagamaan di Desa Selomanik, Wonosobo sangat mempengaruhi semua

kegiatan yang terjadi di daerah tersebut.

Dengan didirikannya Pondok Pesantren Selomanik, mampu menjadikan

daerah itu menjadi daerah yang ramai dan maju. Pondok Pesantren Selomanik

merupakan wahana pendidikan non formal dan lembaga sosial

kemasyarakatan yang telah memberikan warna dan corak khas dalam wajah

masyarakat Indonesia. Pendiri dan peletak dasar dari Pondok Pesantren

Selomanik adalah Kiai Ngalwi dari Tebuireng, Jawa Timur. Kiai Ngalwi
59

merupakan orang yang telah memberikan warna yang baru pada masyarakat

Desa Selomanik mengenai kehidupan dan tatanan keagamaan. Dengan

mendirikan pondok pesantren di daerah tersebut.

Aktivitas sosial keagamaan yang berlangsung di Kadipaten Selomanik

dilakukan di pondok pesantren sebagai pusat pendidikan. Pondok pesantren

merupakan lembaga pendidikan juga sebagai lembaga keagamaan yang patut

mendapat perhatian dalam segala aktifitasnya dan peranannya dibidang sosial

keagamaan pada kehidupan masyarakat Desa Selomanik, Wonosobo.

Pesantren merupakan jawaban terhadap panggilan keagamaan, untuk

menegahkan ajaran dan nilai-nilai agama melalui pendidikan dalam arti luas,

yakni pengajaran dan pendidikan keagamaan dan pengayom serta dukungan

kepada kelompok-kelompok (jamaah) yang bersedia menjalankan perintah

agama dan mengatur hubungan antar jamaah.

Agama yang berkembang pada masyarakat Desa Selomanik, Wonosobo

yaitu Agama Islam (ahlussunah wal jamaah) yang berasal dari Nabi

Muhammad SAW. Pondok pesantren yang didirikan oleh Kiai Ngalwi mampu

menarik perhatian bagi masyrakat untuk datang dengan tujuan belajar dalam

bentuk belajar Al-Quran maupun ilmu-ilmu pengetahuan yang lainnya.

Masyarakat yang datang ke daerah tersebut, mampu mengubah

pandangan tentang Agama Islam. Perkembangan Agama Islam di Kadipaten

Selomanik berkembang dengan pesat. Santri/ murid mempunyai hubungan

yang erat dengan gurunya. Kiai Ngalwi merupakan guru yang memberi
60

pengajaran di Pondok Pesantren Selomanik baik ilmu-ilmu agama maupun

ilmu-ilmu yang lainnya.

Sebelum Ki Ageng Selomanik, datang Agama Islam sudah berkembang

dengan pesat hingga kedatangan Ki Ageng Selomanik. Awal kedatangan Ki

Ageng Selomanik ke daerah tersebut hanya sebagai persingahan perjalanannya

dari Keraton Yogyakarta. Ki Ageng Selomanik sampai ke Desa Selomanik,

Wonosobo kemudian menetap dan menjabat sebagai kepala pemimpin daerah

setempat. Selain sebagai pemimpin daerah, Ki Ageng Selomanik juga menjadi

seorang tokoh Agama Islam yang taat dan sholeh. Dengan kedatangan Ki

Ageng Selomanik mampu membantu semua kegiatan yang berlangsung di

Pondok Pesantren Selomanik.

Kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan yaitu dibatasi aktivitas sosial

keagamaan yang biasa dilakukan oleh pondok pesantren dan masyarakat

setempat untuk membahas semua kegitan yang sedang berlangung di

Kadipaten Selomanik. Selain melakukan kegiatan sosial juga melakukan

kegiatan keagamaan. Untuk mengatasi kekacauan di Kadipaten Selomanik

banyak para pemuka agama yang ikut aktif dalam menyampaikan aspirasi di

dalam pertemuan yang sering diadakan di pondok pesantren.


BAB III

PERKEMBANGAN KADIPATEN SELOMANIK SEBAGAI BASIS

KEGIATAN POLITIK KEAGAAMAAN (1828-1830)

A. Peran Ki Ageng Selomanik

Pada masa Kerajaan Mataram Di Yogyakarta, keadaan pemerintah selalu

kacau, dan terjadi pemberontakan dimana- mana. Hal itu juga didukung

dengan pemerintahan yang selalu memihak pemerintah kolonial (Sejarah

Rakyat Jawa Tengah, 1983: 89). Masa kolonial di Indonesia, para pejabat

negara dari Keraton, yang secara garis besar ikut perang untuk

mempertahankan negaranya dan ingin melepaskan diri dari pemerintah

kolonial yang menindas rakyat Indonesia khususnya di Kerajaan Yogyakarta.

Dari peperangan tersebut muncul seorang pemuka agama yang

memberontak dengan tujuan melawan pemerintah kolonial di

Yogyakarta.tokoh agama yang mempelopori perlawanan untuk melawan

pemerintah kolonial yaitu Pangeran Diponegoro. Perjuangan Pangeran

Diponegoro perlu dicontoh yaitu sebagai tonggak perjuangan para ulama di

Jawa (Wawancara Khaerudin tanggal 24 Mei 2005). Perang yang terjadi pada

zaman dahulu bertujuan untuk mencapai suasana yang harmonis dan sejahtera

sehingga tercapai zaman keemasan, dengan lewat para pemimpin mereka

seperti pemuka agama dalam menghadapi pemerintah kolonial (Adas, 1988:

xii).

Perang tersebut berlangsung dengan cepat, hal itu terjadi karena adanya

campur tangan pemerintah kolonial di dalam kerajaan (Poerwokoesoemo,

61
62

1985: 155). Perang Jawa 1825-1830, didukung oleh banyak pihak baik dari

kaum bangsawan maupun para rakyat di daerah kerajaan hingga sampai luar

kerajaan Yogyakarta. Sedangkan di keraton sendiri, terjadi pemberontakan

dimana-mana. Perang berlangsung antara pemberontak dengan pemerintah

kolonial yang selalu ikut campur di dalam pemerintahan kerajaan Yogyakarta

(Carey, 2004: v-xviii).

Banyak korban yang meninggal dunia, dan sebagian melarikan diri dari

serangan pemerintah kolonial. Para pejabat keraton yang ikut menyelamatkan

diri dari perang tersebut, salah satunya adalah Kertawasesa II. Disinilah

dimulainya perjalanan panjang Ki Ageng Selomanik hingga sampai di Desa

Selomanik, Wonosobo. Bahwa Ki Ageng Selomanik merupakan pengikut

Pangeran Diponegoro yang sangat setia terhadap bangsa dan tanah airnya.

Nama asli Ki Ageng Selomanik adalah Kertowasesa II, yang merupakan

keturunan dari kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya

V (Supangat,1983: 1). (Silsilah keturunan kerajaan Majapahit pada masa

pemerintahan Prabu Brawijaya V, dapat dilihat dalam lampiran. 1, hal. 121).

Ki Ageng Selomanik hidup masa pemerintahan Patih Danurejo, patih di

kerajaan Mataram. Pada masa Patih Danurejo menjabat sebagai patih, kondisi

pemerintahan di kerajaan kacau. Hal itu disebabkan adanya campur tangan

pemerintah kolonial di dalam pemerintahan. Perang pun berlangsung. Ki

Ageng Selomanik tetap menentang pemerintahan Patih Danurejo yang dibantu

oleh pemerintah kolonial. Banyak utusan dari Patih Danurejo yang bertugas

untuk menangkap Ki Ageng Selomanik, namun usaha itu selalu gagal.


63

Akhirnya perangpun terjadi, antara Ki Ageng Selomanik dangan utusan Patih

Danurejo (Sejarah Rakyat Jawa Tengah, 1983: 89).

Peristiwa tersebut menyebabkan Ki Ageng Selomanik merasa tidak

aman lagi tinggal di kerajaan. Akhirnya Ki Ageng Selomanik memutuskan

untuk meninggalkan kerajaan. Perjalanannya pun dimulai, hingga sampai di

Desa Selomanik, Wonosobo. Di sanalah ia bersembunyi dan mendirikan

sebuah kadipaten sebagai daerah pertahanan dan pusat pemerintannya.

Tepatnya di Pondok Pesantren Selomanik.

Pondok Pesantren Selomanik didirikan oleh Kiai Ngalwi dari Tebu

Ireng, Jawa Timur. Kiai Ngalwi merupakan orang yang pertama kali

menyebarkan Agama Islam di Desa Selomanik. Dengan kedatangan

Tumenggung Kertawasesa II di Pondok Pesantren Selomanik mampu

memberi warna baru di daerah tersebut. Setelah mendirikan sebuah Kadipaten,

maka Desa Selomanik dijadikan daerah pertahanan dan keamanan. Dengan

adanya pondok pesantren, peranan Tumenggung Kertawasesa II sangat besar.

Menurut tradisi lisan Tumenggung Kertawasesa II, diangkat menjadi Bupati I

di Wonosobo. Kemudian berganti nama menjadi Ki Ageng Selomanik. Hal itu

disebabkan untuk berjaga-jaga agar tidak diketahui oleh Patih Danurejo dan

pemerintah kolonial.

Perjalanan dimulai oleh Ki Ageng Selomanik (Kertawasesa II) yang

berhasil menyelamatkan diri dari ancaman musuh, hingga sampai di Desa

Selomanik, Wonosobo. Kertawasesa II, keturunan dari kerajaan Mataram di

Yogyakarta, merupakan pengikut Pangeran Diponegoro yang berhasil

meloloskan diri dari serangan pemerintah kolonial dan Patih Danurejo.


64

Kertawasesa II adalah orang yang setia terhadap tanah air dan bangsanya,

serta tidak mau hidup dalam gengaman penjajah kolonial. Politik dan tindakan

Patih Danurejo ditentang oleh Kertawasesa II, karena sikapnya yang memihak

pemerintah kolonial. Hal itu, sangat membahayakan kerajaan Mataram. Patih

Danurejo mengirim utusanya untuk menemui Kertawasesa II dirumahnya,

bahwa Kerawasesa II untuk segera menemui Patih Danurejo di kepatihan dan

segera menyerahkan diri kepada pemerintah kolonial, tetapi utusan itu di

tolaknya. Marahlah utusan Patih Danurejo, akhirnya terjadi perang. Adanya

peristiwa tersebut menyebabkan Kertawasesa II merasa tidak nyaman lagi

tinggal di Keraton Yogyakarta dan memutuskan untuk meninggalkan kota

tersebut, yang di ikuti oleh istri dan pengikutnya. Perjalanannya sampai di

Desa Selomanik, Wonosobo.

Kertawasesa II menetap dan diangkat oleh rakyat untuk menjadi

seseorang yang diberi wewenang dalam menjalankan roda pemerintahan. Desa

Selomanik berkembang pesat dan ramai sebagai pusat Pemerintahan

Wonosobo. Selain menjadi kepala pemerintah, Kertawasesa II, membantu di

Pondok Pesantren Selomanik yang dipimpin oleh Kiai Ngalwi dari Tebuireng,

Jawa Timur untuk menjadi guru yang memberikan ilmu pengetahuan, di

bidang ilmu keagamaan kepada santri/muridnya. Para santri dilatih belajar

ilmu keagamaan juga diajari ilmu beladiri. Ilmu beladiri yang diberikan

kepada para santri/muridnya bertujuan untuk menjaga dirinya sendiri dari

serangan musuh juga diangkat menjadi prajurit pemerintah.

Kertawasesa II diangkat menjadi kepala pemerintahan Wonosobo. Pusat

kegiatan dilakukan di Pondok Pesantren Selomanik, kemudian mendirikan

kadipaten yang berpusat di Selomanik. Kertawasesa II dalam menjalankan

roda pemerintahan dibantu oleh Ki Demang yang akhirnya diangkat sebagai


65

penasehat, dan sebagai senopatinya diangkatlah Ki Butawereng. Kertawasesa

II menyandang gelar Tumenggung. Kertawasea II kemudian menganti nama

menjadi Ki Ageng Selomanik yang disesuaikan dengan wilayah tempat

tinggalnya yaitu di Desa Selomanik, Wonosobo.

Ki Ageng Selomanik dalam menjalankan roda pemerintahanya

dilakukan di pondok pesantren sebagai pusat kegiatan, baik masalah

pemerintahan hingga sampai masalah politik, keagamaan, dan ekonomi yang

sedang berkembang serta masalah keamanan dan pertahanan. Kadipaten

Selomanik sebagai pusat kegiatan politik yang dilakukan oleh pejabat

pemerintah maupun para pemuka agama untuk membahas tentang kegiatan

politik keagamaan dan menyusun starategi perang dalam menghadapi musuh.

Tetapi, daerah Selomanik, Wonosobo belum diketahui keberadaannya oleh

pemerintah kolonial maupun Patih Danurejo yang masih mencari keberadaan

Ki Ageng Selomanik.

Perkembangan desa sebagai basis kegiatan politik keagamaan membawa

perubahan pada masyarakat Desa Selomanik, Wonosobo. Perubahan yang

terjadi bersifat fundamental. Perubahan tersebut membawa dampak diberbagai

aspek kehidupan masyarakat di Jawa, seperti perkembangan di bidang politik

yaitu adanya peranan kiai dalam masyarakat. Peran kiai sangat penting dalam

semua kegiatan yang berada di Kadipaten Selomanik, yaitu berpusat di

pondok pesantren. Kiai mempunyai kedudukan tinggi yaitu sebagai seorang

pemimpin dalam bidang agama. Kiai dalam menjalankan tugasnya untuk

membuat strategi dalam melawan penjajah kolonial. Sebuah organisasi dengan

basis komunitas santri, menyebabkan aktivitas yang terlibat dengan kegiatan

politik. Kegiatan yang dilakukan oleh para kiai berkaitan dengan gerakan

sosial. Kenyataannya gerakan sosial tidak bisa terlepas dari dinamika politik.
66

Dengan adanya tradisi Islam sebagai reverensi sebuah gerakan Islam yang

mempunyai kekuasaan yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Agama Islam

sebagai alat legitimasi terhadap kekuasaan dan sebagai sarana perjuangan

untuk menduduki struktur kekuasaan. Agama Islam sebagai sumber inspirasi

kultural dalam kerangka paradigma dalam pemikiran politik. Semua kegiatan

politik, agama, sosial budaya bahkan ekonomi dilakukan di desa-desa seluruh

Jawa, tetapi yang paling menonjol yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh

para pemimpin untuk melawan penjajah yang bercorak keagamaan. Agama

Islam berkembang pesat di Desa Selomanik.

Ki Ageng Selomanik menjalankan pemerintahan dengan baik. Ia sangat

disegani oleh rakyat dan pengikutnya. Selain menjalankan roda pemerintahan,

Ki Ageng Selomanik juga membantu Kiai Ngalwi di pondok pesantren untuk

memberi pelajaran kepada santri/ muridnya. Ilmu Agama Islam sebagai

pelajaran dasar/ utama di Pondok Pesantren Selomanik. Di pondok pesantren

juga diberi pelajaran ilmu beladiri, hal itu untuk menjaga diri apabila sewaktu-

waktu mendapat serangan yang mendadak dari musuh (Sejarah Rakyat Jawa

Tengah, 1983: 89-97).

Yang menjalankan pemerintahan di Kadipaten Selomanik antara lain:

(1) Tumenggung Ki Ageng Selomanik

(2) R.A. Selomanik (Istri Ki Ageng Selomanik/ Kertawasesa II)

(3) Eyang Blitar yaitu Putra Pangeran Brawijaya V

(4) Ki Demang sebagai penasehat Ki Ageng Selomanik didalam

menjalankan pemerintahannya.
67

(5) Ki Buta Wereng yaitu diangkat menjadi Senopati. Pada waktu itu Ki

Buta Wereng terkenal dengan aljogo/ tukang jagal orang (Jawa: orang

yang mempunyai profesi sebagai pemotong kepala orang, aljogo).

Banyak masyarakat yang kurang mengetahui Ki Buta Wereng. Selama

hidupnya Ki Buta Wereng mengabdi pada Ki Ageng Selomanik yaitu

sebagai Senopati yang setia. Ia mempunyai tugas yang sangat berat yaitu

sebagai aljogo, khususnya ketika pemerintah kolonial mengetahui

persembunyian Ki Ageng Selomanik di daerah persembunyiannya di

Desa Selomanik yang berpusat di pondok pesantren. Bagi siapa saja

yang dicurigai sebagai mata-mata dari pemerintah kolonial maupun

utusan dari Patih Danurejo langsung ditangkap dan dihukum. Bahkan

tidak segan-segan untuk dibunuh dengan cara di pancung (Jawa:

dipenggal kepalanya). Letak pemancungan berada di tengah sungai

dengan berdiri tiga buah watu Bangkong (Jawa: Batu yang mirip dengan

Katak, Kodok, Batu Besar) yang sampai sekarang masih ada. Disanalah

tempat untuk melaksanakan hukuman terhadap para mata-mata baik dari

Patih Danurejo maupun pemerintah kolonial. Ki Buta Wereng

meninggal dunia dan di makamkan di Dukuh Karang Manggu, Desa

Selomanik (Sejarah Rakyat Jawa Tengah, 1983: 93). Ki Buta Wereng

merupakan orang yang sakti diantara pengikut Ki Ageng Selomanik,

dengan ilmu yang dimiliki mampu membuat badai besar (Pos Metro

Balikpapan Online: Tokoh-Tokoh Sakti Penggubak Wonosobo, Jum’at

24 November 2006).
68

(6) Ki Bangkong Reang sebagai penderek (Jawa: pengikut) Ki Ageng

Selomanik. Ia terkenal dengan kesaktiannya dan merupakan orang pintar

yang selalu membantu di pondok pesantren untuk memberikan ilmu-

ilmu baik ilmu agama maupun ilmu kanuragan. Ki Bangkong Reang

dipercaya oleh masyarakat hingga sampai sekarang bahwa siapa saja

yang ingin menjadi orang pintar/ ampuh mandraguna tanpa campur

tangan seorang guru. Maka orang tersebut dianjurkan untuk berziarah

atau berdoa di makam Ki Bangkong Reang dan menyebut keinginannya,

Insya Allah akan dikabulkan. Dalam cerita rakyat, bahwa Ki Bangkong

Reang merupakan tokoh yang sakti yaitu bisa berubah wujud menjadi

katak, kodok dalam menyerang musuh {(Pos Metro Balikpapan Online:

Tokoh-Tokoh Sakti Penggubak (Melayu: Pendiri, Cikal Bakal)

Wonosobo, Jum’at 24 November 2006)}.

(7) Ki Yudan Toko, merupakan prajurit yang dipercaya oleh Ki Ageng

Selomanik untuk menjaga keamanan dan pertahanan dari serangan

musuh.

(8) Ki Jogonegoro, seorang prajurit yang membantu dalam menjaga

keamanan dan pertahanan di Kadipaten Selomanik.

(9) Ki Trancang Mimis, pengikut Ki Ageng Selomanik

(10) Ki Udan Kawat, juga pengikut Ki Ageng Selomanik.

(11) Mbah Jebrak, adalah tukang pijatnya (Jawa: orang yang mempunyai

profesi sebagai juru pijat) Ki Ageng Selomanik, juga sebagai penderek

(Wawancara Khaerudin tanggal 24 Mei 2005).


69

B. Kondisi Desa Selomanik sebelum Tahun 1825-1830

1. Perkembangan di Bidang Politik

Dalam kehidupan masyarakat, kiai/ ulama mempunyai kedudukan tinggi

dalam ilmu keagamaan yang bersumber pada syariat yang ada. Kiai/ ulama

dibagi menjadi dua kategori antara lain: (a). Ulama akhirat yaitu cenderung

kedunia ilmu agama sebagai wujud pengabdian yang sholeh dan menjauhkan

diri dari politik atau urusan dunia. (b). Ulama dunia yaitu bersifat keduniawian

hingga masalah berpolitik (Kartodirdjo, 1981: 129).

Selain peranan kiai/ ulama, hubungan Kawula Gusti masih berperan

tinggi dalam masyarakat. Raja mempunyai peranan tinggi dengan

pemerintahan di kerajaan. Disini telah terjadi hubungan kerjasama antara raja

dengan pemerintah kolonial dalam tampuk pemerintahan yang menjadikan

wilayah kerajaan di Yogyakarta sebagai basis kegiatan politik yang

diperankan oleh pemuka agama, bangsawan, rakyat untuk melawan

pemerintah kolonial, dan menjadikan kerajaan porak poranda serta terjadi

pergeseran kekuasaan. Bahkan sempat terjadi kekosongan kekuasaan

(Soemarsaid, 1985: 50).

Perang yang terjadi di kerajaan banyak yang mengungsi/ melarikan diri

untuk melepaskan diri dari pasukan kolonial, hingga sampai ke pelosok negeri

sebagai tempat persinggahan. Dari perjalanannya, maka Desa Selomanik,

Wonosobo menjadi sebuah wilayah yang menyumbangkan sejarahnya bagi

bangsa Indonesia. Ki Ageng Selomanik menjadi Bupati I, di Wonosobo

(Wawancara Khaerudin tanggal 24 Mei 2005).


70

Dalam bukunya De Opkomst jilid XIII, hal: 109 De Jonge menulisnya

sebagai berikut:

“Mengenai hubungan dengan raja-raja di Jawa Tengah, pemerintah


kolonial Belanda masa Daendles menjalankan politik baru. Jika dulu
hubungan dengan raja-raja dilakukan oleh kompeni melalui Gubernur
dan Direktur Jawa Utara (Semarang) yang mempunyai hubungan secara
langsung dengan pemerintah Belanda di Batavia. Para residen
ditempatkan di Yogyaarta dan Surakarta dibawah gubernur jendral. Para
residen diberi instruksi untuk menjalankan hubungan dengan
permasalahan dengan kerajaan baik Surakarta maupun Yogyakarta dan
diberi kedudukan sebagai minister” (Poewokoesoemo, 1985: 69).

Politik yang berjalan di dalam kerajaan semata-mata hanya untuk

menarik perhatian dari pemerintah Inggris (Politik Kontrak 28 Desember

1811) hal itu untuk menghindari konflik di dalam kerajaan. Ini terjadi pada

masa pemerintahan Pangeran Notokusumo, dibantu oleh 3 tokoh: 1). Pangeran

Diponegoro 2). Tumenggung Notoyudo 3). Patih Danurejo. Pangeran

Diponegoro cenderung mempelajari tentang dunia politik dan kesusastraan.

Selain itu juga Pangeran Diponegoro berkecimpung di bidang agama dalam

menjalankan roda pemerintahan (Poerwokoesoemo, 1985: 76-80).

Kekacauan yang terjadi di kerajaan tidak lepas dari campur tangan

pemerintaha kolonial (Inggris, Eropa) didalamnya. Tata cara yang terjadi

kerajaan berubah dengan digantinya adat Barat. Apalagi dengan diangkatnya

Patih Danurejo menjadi patih kerajaan. Hal itu bertentangan dengan norma-

norma yang berlaku di kerajaan Yogyakarta maupun agama. Selain ingin

mengambil alih kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda juga ingin

mempunyai maksud tertentu yaitu menyebarkan Agama Kristen di lingkungan

kerajaan, sehingga mendapat perlawanan baik dari keluarga kerajaan maupun


71

rakyat yang dikutip dalam bukunya Sejarah dalam abad XIX 1800-1900”

Sejarah Perang Diponegoro” 1825-1830 (Dekker, 1975: 103-125). Perang

Diponegoro dimulai tanggal 25 Juli 1825 yaitu sebagai awal dari perlawan

rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda (Poerwokoesoemo, 1985:

156-162).

Perlawanan rakyat terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Patih

Danurejo yang selalu bekerja sama dengan pemerintah kolonial di kerajaan

merupakan awal perjalanan Ki Ageng Selomanik dalam melawan penjajah dan

ingin melepaskan diri dari Pemerintahan Patih Danurejo. Didalam

Pemerintahan yang dipegang oleh Ki Ageng Selomanik, dengan mendirikan

beberapa pusat kekuatan baik politik, agama, dan militer (Wertheim, 1999:

38). Pusat-pusat itu seperti di bidang agama dengan mendirikan pondok

pesantren, yang melatih para prajurit untuk belajar ilmu beladiri, serta

memperbanyak prajurit. Prajurit tersebut diambil dari para santri/ murid dari

pondok pesantren Selomanik yang dipimpin oleh Kiai Ngalwi, Ki Ageng

Selomanik dan dibantu Ki Buta Wereng, serta para pemuka agama yang

lainnya. Pondok pesantren sebagai tempat untuk mengadakan musyawarah

mengenai cara-cara dalam menghadapi pemerintah kolonial/ mata-mata dari

Patih Danurejo yang sewaktu-waktu menyerang Kadipaten Wonosob (Sejarah

Rakyat Jawa Tengah, 1983: 89) kegiatan tersebut tidak terlalu jauh dari

Kadipaten Wonosobo.

Dukungan sepenuhnya dari rakyat maupun pemuka agama seperti kiai/

ulama, bahkan para santri/ muridnya, serta dari abdi dalemnya. Dukungan
72

tersebut sangat membantu sekali bagi Ki Ageng Selomanik untuk membuat

daerah pertahanan, dengan membuat jaringan komunikasi dengan orang-orang

terpercaya dalam menguasai Kadipaten Selomanik. Orang-orang terpercaya

tersebut, ditempatkan di berbagai daerah Kadipaten Selomanik untuk melihat

situasi dan kondisi. Apakah ada mata-mata yang datang atau tidak. Apabila

ada mata-mata datang, maka Ki Ageng Selomanik langsung memberikan

wewenang kepada Ki Buta Wereng untuk menangkap mata-mata dan tawanan

untuk segera dihukum. Hukuman bagi mata-mata dan tawanan biasanya

dengan hukuman pancung (Wawancara Khaerudin tanggal 24 Mei 2005).

Adanya penyebaran Agama Nasrani yang dibawa oleh orang-orang

Eropa, dengan hidup gaya mewah yang bersifat foya-foya menjadikan

kehidupan dikerajaan berubah. Disini penyebaran Agama Kristen di dalam

Keraton Yogyakarta bertujuan untuk mengurangi kekuasaan di Jawa. Dimana

dengan kedatangan pemerintah kolonial di lingkungan kerajaan menjadikan

suasana menjadi keruh dan amburadul dalam pemerintahan. Kebijakan

pemerintah yang bersifat memaksa dan menindas membuat rakyat tidak

menyukai pemerintahan Patih Danurejo dimana selalu tergantung pada

pemerintah kolonial. Selain dibidang agama terjadi pergeseran, dibidang

ekonomi pun merosot. Hal itu justru meningkatkan dibidang pendidikan

(Koentjaraningrat, 1984: 62-63).

Persebaran Agama Islam berkaitan dengan politik didalamnya dengan

berdirinya pondok pesantren sebagai pusat keagamaan pada masa kolonial di

Indonesia. Tahun 1825 dimulainya, perlawanan Ki Ageng Selomanik dalam


73

mengusir penjajah yaitu pengalaman berpolitik yang paling ditonjolkan,

namun disisi lain, juga berperan dalam ilmu keagamaan yang ikut membantu

dalam usahanya untuk mengusir penjajah dari Bumi Nusantara, khususnya di

Desa Selomanik tahun 1825-1830. Dalam pemerintahan berpolitik dijalankan

untuk melawan penjajah kolonial. Perang Jawa barlangsung 5 tahun sejak 12

Juli 1825 sampai dengan tahun 1830 yang diakhiri tertangkapnya Pangeran

Diponegoro oleh pemerintah kolonial hingga beliau dibuang ke Makasar

(Moh. Yamin dalam Penadi, 2000: 35 dalam Carey, 2004: v-45). Perang Jawa

mampu menunjukkan keberanian dan bakat kepemimpinan dalam menghadapi

pemerintahan yang kurang konsekuen dan selalu mementingkan urusan

pribadi dengan pemerintah kolonial. Maka banyak terjadi pemberontakan

dimana-mana (Moedjanto, 1987: 199-202).

Dibidang militer mampu menguasai daerah jajahan yang semakin luas

hingga sampai seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur Dan Yogyakarta. Dengan

semakin luasnya daerah yang dikuasai dalam menentang dan mengusir

penjajah kolonial di pedesaan tahun 1825-1830 mendapat dukungan dari

semua pihak. Seluruh masyarakat berperan dalam perang yang berlangsung

lima tahun tersebut. Kekuatan militer terdiri dari prajurit regular (teratur)

yang merupakan prajurit inti yang dibagi dalam beberapa persatuan seperti:

Bulkiya, Turkiya, dan Arkiya. Ketiga kekuatan prajurit sebagai pusat

pertahanan dan keamanan di desa-desa. Sebagai pusat pertahanan dan

keamanan maka didirikan pondok pesantren. Peran kiai sangat penting dalam

semua kegiatan yang ada di pondok pesantren. Selain di pondok pesantren kiai
74

menjalankan tugasnya untuk membuat strategi dalam melawan penjajah di

pedesaan (Moedjanto, 1989: 199-205).

Sebuah organisasi dengan basis komunitas santri, menyebabkan aktivitas

yang terlibat dengan kegiatan politik. Sebuah gerakan sosial yang sulit

dipisahkan dari dinamika politik. Dengan adanya tradisi Islam sebagai

referensi sebuah gerakan Islam yang mempunyai kekuasaan (Teologi Politik)

yang berdasarkan dengan nilai-nilai sakral tentang ketuhanan. Hubungan

kegiatan sosial dan kegiatan politik (kekuasaan dan kenegaraan) terdapat pada

syariat/ hukum Islam yaitu syari’ah atau fiqih (Ridwan, 2004: V-VII) sebuah

hubungan ke-NU-an dengan berbagai formula teologis tentang doktrin yang

ada seperti doktrin sosial, ekonomi, politik, agama, dan sebagainya. Namun

dalam hubungan agama yaitu menggunakan doktrin sunni (ahlussunnah wal

jamaah) yaitu aliran Islam.

Gerakan sosial Islam selalu terlibat dalam kegiatan politik sejak zaman

dulu hingga sampai sekarang. Agama dan politik merupakan titik singung

yang kuat, yaitu keduanya dipahami sebagai sarana menata hidup manusia

secara menyeluruh. Agama Islam sebagai alat legitimasi terhadap kekuasan

dan sebagai sarana perjuangan untuk menduduki struktur kekuasaan. Agama

Islam sebagai sumber inspirasi kultural dalam kerangka paradigma dan

pemikiran politik (Ridwan, 2004: VII-VIII).

2. Perkembangan di Bidang Agama (Islam)

Mayoritas masyarakat Desa Selomanik beragama Islam. Agama Islam

yang bersifat Ahlussunah Wal Jamaah yaitu ajaran Agama Islam sebagaimana
75

yang diamalkan oleh Rosulullah SAW bersama sahabatnya (Siddiq, 2005: 27-

28). Hal itu pula yang diajarkan oleh Kiai Ngalwi yaitu Agama Islam yang

dianut oleh masyarakat Desa Selomanik, Wonosobo dan sekitarnya. Agama

Islam berkembang pesat sejak jaman dulu hingga sampai sekarang

(Wawancara Khaerudin tanggal 13 Febuari 2007). Islam adalah agama yang

universal, untuk siapa saja, kapan saja dan dimana saja (Miftahuzzaman, 2000:

15).

Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat bersifat menyempurnakan

segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Paham keagamaan dianut oleh

Nahdatul Ulama (NU) yang memberi panutan dalam bersikap dan bertindak,

membangun serta menghindari sikap yang akan merugikan dirinya sendiri

maupun orang lain (Muzadi, 2006: 59-60).

Al-Qur’an merupakan sumber Islam yang meletakkan garis menyeluruh

yang digunakan untuk mengali berbagai undang-undang dengan

memperhatikan hak, keadilan dan latar belakang tematis, meskipun sebagian

menentukan hukum yang tegas seperti: masalah warisan, sanksi perzinaan dan

pencurian,dll (Miftahuzzaman, 2000: 38-39). Agama Islam mempunyai

keterangan mengenai bingkai yang bersifat sangat luas yaitu Al-Qur’an

sebagai tonggak keadilan mutlak dan amanah.

Agama Islam, yang melibatkan pemuka agama, santri, pejabat

pemerintah, tidak biasa terlepas dari unsur-unsur animisme dan dinamisme dan

unsur hindhu-budha. Tetapi disini tetap tidak terlepas dari dogma Agama

Islam (Koentjaningrat, 1984: 62).


76

Selain Agama Islam yang bersumber pada Ahlussunah wal Jamaah, juga

terdapat Islam kejawen yang berkembang pada masyarakat di Kadipaten

Selomanik pada masa kolonial (tahun 1825-1830). Islam kejawen yang ada

dalam masyarakat Kadipaten Selomanik merupakan suatu paham yang

cenderung ke ilmu kebatinan yang bersifat luas atau bebas dan kulminasi

dalam kehidupan masyarakat. Adanya hubungan kawula gusti dan menjadi

motif kesusastraan di Jawa. Paham kebatinan merupakan keyakinan yang

terletak pada tinjauan ilham yang tajam dalam tingkah laku sehari-hari dalam

hidup bermasyarakat. Dalam hal ini terjadi laku atau yoga (istilah Agama

Hindu) yang berupa perbuatan, kekuatan, pikiran, kesadaran, dll. Istilah umum

yoga adalah mistik. Mistik adalah ilmu yang mempelajari ilmu gaib

(Mangunsarkoro, 1951: 7-8).

Pada waktu Agama Islam masuk ke Jawa, penduduk Jawa masih

memeluk Agama Hindu-Budha. Masuknya Agama Islam memang secara

langsung. Tetapi berangsur-angsur dan damai. Kedatangan di daerah Jawa

dengan cara pasti. Bahwa daerah pesisir Jawa sudah banyak yang memeluk

Agama Islam dengan ditandai adanya kerajaan Islam di Nusantara.

Sebelum Islam masuk dan berkembang, terdapat karajaan yang terakhir

yang mempunyai pengaruh terhadap Agama Islam yaitu kerajaan Majapahit.

Kerajaan Majapahit yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh agama hingga

sampai pelosok negeri di Indonesia. Hancurnya Kerajaan Majapahit yaitu

terjadinya perebutan kekuasaan dan semakin lemahnya pemerintahan di pusat

kerajaan yang disebabkan karena adanya campur tangan pemerintah kolonial


77

di dalam kerajaan. Serta perebutan kekuasaan dan banyaknya pemberontakan

dikalangan keluarga kerajaan (Djandrasasmita, 1984: 5-6).

Di dalam Agama Islam terdapat tasawuf yang merupakan suatu cara

penting dalam proses islamisasi di Indonesia. Tasawuf adalah ajaran yang

berpangkal pada pemikiran tentang pencarian bentuk hubungan antara

manusia dengan Tuhan. Belajar tasawuf yaitu hanya semata-mata memikirkan

Tuhan. Orang-orang yang mempelajari tasawuf dengan hidup mengembara,

musafir dengan tujuan ingin mencari jati dirinya sendiri. Dalam mempelajari

tasawuf harus mempunyai guru sebagai petunjuk arah atau pembimbing dan

harus matang dalam pengetahuan tentang syariat serta setia dalam pengalaman

hidupnya (Soekmono, 1987: 37-40).

Tasawuf mengajarkan mengenai jalan kelepasan untuk mendapatkan

pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan. Jalan yang harus dilalui tiga

tingkat yaitu syariat, tariqat dan maarif. Dalam hal ini disebutkan bahwa

haqikat merupakan tingakatan terakhir dalam jalan kelepasan. Yang dimaksud

dengan syariat adalah hidup yang sesuai dengan hukum Allah. Tingat kedua

yaitu tariqat, orang yang harus sabar dan menyerahkan diri sepenuhnya

kepada Allah. Tingkat yang terakhir adalah ma’rifat yaitu orang yang lengkap

dan sempurna (Hadiwiyono, 1983: 56). Para ahli tasawuf menyebarkan ajaran

dan budaya Islam melalui dua cara yaitu: pertama; untuk membentuk calon

mubaliqh agar mampu mengajarkan dan menyebarkan Agama Islam di daerah

asalnya. Kedua; melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca oleh siapa saja

dan diberbagai tempat (Abdullah, 1991: 111) seperti Al-Quran yang ditulis
78

oleh Kiai Ngalwi dari Tebuireng, Jawa Timur, yang sekarang masih terjaga

keasliannya. Bacaan Al-Qur’an yang ditulis tangan oleh Kiai Ngalwi masih

ada (sekarang masih ditempatnya Bpk. Khaerudin Juru Kunci Makam Ki

Ageng Selomanik, Wonosobo), sedang yang lainnya sudah tidak biasa

terpakai lagi karena rusak, tetapi tulisannya masih jelas (Wawancara

Khaerudin tanggal 13 Febuari 2007).

Wirid hidayat jati karangan Rangga Warsita yang memuat pokok-pokok

ajaran tasawuf yang dipaduakan dengan berbagai ajaran kejawen, sehingga

ajaran semacam itu disebut mistik Islam kejawen. Kitab tersebut

mempertemukan ajaran-ajaran yang terdapat dalam tradisi Jawa dengan

Agama Islam. Dalam wirid hidayat jati diuraikan pemikiran tentang ajaran

martabat tujuh. Martabat tujuh mengajarkan bahwa segala yang ada dalam

semesta, termasuk manusia adalah aspek lahir dari suatu hakikat yang tunggal

yaitu Tuhan. Ketujuh martyabat adalah ahadiyat (keesaan), wahdat (kesatuan

petama). Wahidiyat (kasatuan kedua), alam arwah (alam segala nyawa), alam

mitsal (alam segala rupa atau alam ibarat), alam insane (alam manusia),

ketujuh alam martabat itu betujuan untuk mempercepat dalam menyebarkan

Agama Islam (Hadiwijono, 1983 dalam Simuh, 1988: 307-308).

Ajaran tasawuf berhungan erat dengan tarekat yaitu jalan yang ditempuh

kaum sufi dalam mendekatkan diri dengan tuhan. Tarekat-tarekat yang ada di

Indonesia antara lain adalah Qadiriah, Naqsyabaddiah Sammaniah,

Syattariah. Sedangkan yang terkenal di Jawa adalah Syariat Sammaniah (Sheh

Muhammad Samman, Jakarta) ajaran ini berisi dzikir. Untuk tarekat yang
79

pertama kali di Jawa adalah tarekat syattariah yaitu ajaran kejawen yang

berhubungan dengan tujuh tingkat keadaan Allah yaitu tentang hakikat ilmu

yang disebut ilmu martabat tujuh (Djandrasasmita, 1984: 210-211).

Sebuah organisasi dengan basis komunitas santri, menyebabkan aktivitas

yang terlibat dengan kegiatan politik. Sebuah gerakan sosial yang sulit

dipisahkan dari dinamika politik. Dengan adanya tradisi Islam sebagai

referensi sebuah gerakan Islam yang mempunyai kekuasaan yang berdasarkan

dengan nilai-nilai sakral tentang ketuhanan. Hubungan kegiatan sosial dan

kegiatan politik (kekuasaan dan kenegaraan) terdapat pada syariat/ hukum

Islam yaitu syari’ah atau fiqih (Ridwan, 2004: V-VII) sebuah hubungan ke-

NU-an dengan berbagai formula teologis tentang doktrin yang ada seperti

doktrin sosial, ekonomi, politik, agama, dsb. Namun dalam hubungan agama

yaitu menggunakan doktrin Sunni (Ahlussunnah Wal Jamaah) yaitu aliran

Islam.

Gerakan sosial Islam selalu terlibat dalam kegiatan politik sejak zaman

dulu hingga sampai sekarang. Agama dan politik merupakan titik singung

yang kuat, yaitu keduanya dipahami sebagai sarana menata hidup manusia

secara menyeluruh. Agama Islam sebagai alat legtimasi terhadap kekuasan

dan sebagai sarana perjuangan untuk menduduki struktur kekuasaan. Agama

Islam sebagai sumber inspirasi kultural dalam kerangka paradigma dan

pemikiran politik (Ridwan, 2004: VII-VIII). Gerakan sebuah Agama Islam

yang dipakai dalam sebuah ajaran yang bersifat murni berdasarkan

ahluissunnah wal jamaah. Sebuah kehidupan yang berbasis pada kegiatan


80

keagamaan yaitu ke-santri-an yang ada pada saat itu dengan sistem yang

ditetapkan di pondok pesantren baik yang bersifat modern mupun tradisional.

Tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Kegiatan Agama

Islam yang dilakukan di pondok pesantren yaitu istiqhotsah/ semi ritual seperti

pengajian rutin tiap hari atau tablik.

Islam sebagai agama samawi yang dasarnya dari komponen aqidah,

syariah, dan akhlak yaitu mempunyai relasi yang erat dengan politik. Hal itu

sebagai sumber motifasi, Agama Islam berperan penting dalam menumbuhkan

sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya diatur dalam rumusan

syariah sebagai katalog lengkap dari perintah dan larangan Allah SWT yaitu

membimbing manusia dan mengatur jalannya dari aspek-aspek kehidupan

manusia.

3. Peranan Kiai/ Ulama

Bagi Agama Islam kiai/ ulama sudah tidak asing lagi, mulai dari

penjajahan kolonial hingga sekarang. Kiai adalah seorang pemuka Agama

Islam yaitu sebagai tiang utama didalam agama. Hal itu didasarkan pada dua

dasar, diantaranya: pertama: Ulama sebagai suatu wadah keagamaan yang

mempunyai kekuatan sentral, terdapat pada tokoh-tokoh agama yang dapat

dipertanggungjawabkan jiwa, mental, amal, dan amal keagamaannya. Kedua:

Ulama mempunyai pengaruh kewibawaan yang besar terhadap santri/

muridnya dan bekas santri/ muridnya. Bahkan kiai/ ulama mempunyai

kewibawaan langsung dengan masyarakat yang ada di sekitarnya, itu semua


81

mampu menembus batas-batas organisasi diseluruh negeri (Siddiq, 2005: 17-

18).

Hubungan antara kiai/ ulama dengan santri/ muridnya tidak akan

terputus dengan berhentinya proses belajar mengajar di pondok pesantren.

Sebaliknya keduanya mempunyai ikatan batin yang kuat sehingga tali

silaturahmi diantara keduanya tetap terjalin terus menerus.

Dalam struktur sosial mayoritas penduduknya beragama Islam, ulama

dan pemuka agama seperti kiai/ ulama. Itu merupakan elite keagamaan yang

memiliki kewibawaan sosial yang tinggi di kalangan masyarakat pedesaan

(Hayati, 2000: 184) khususnya di Kadipaten Selomanik.

Dalam kehidupan masyarakat, kiai/ ulama mempunyai kedudukan tinggi

dalam ilmu keagamaan yang bersumber pada syariat yang ada. Kiai/ ulama

dibagi menjadi dua kategori antara lain: Ulama akhirat yaitu cenderung

kedunia ilmu agama sebagai wujud pengabdian yang saleh dan menjauhkan

diri dari politik atau urusan dunia. Ulama dunia yaitu bersifat keduniawian

hingga masalah berpolitik (Kartidirdjo, 1981: 129).

4. Peranan Pondok Pesantren

Pondok pesantren merupakan pusat penyebaran Agama Islam (Tasawuf,

Thoreqat) di Indonesia sebagai pusat kegiatan keagamaan (Galba, 1995: 17),

khususnya di daerah pedesaan. Hal itu terbukti dengan berdirinya pondok

pesantren Selomanik pada zaman pra-kolonial hingga zaman kolonial yang

berpusat di Kadipaten Selomanik. Agama Islam berkembang pesat dan dapat

diterima oleh semua masyarakat.


82

Pondok Pesantren Selomanik didirikan oleh Kiai Ngalwi dari Tebuireng,

Jawa Timur. Kiai Ngalwi adalah orang yang pertama kali menyebarkan

Agama Islam di Desa Selomanik (Wawancara Khaerudin tanggal 13 Febuari

2007). Ajaran Islam yaitu Ahlussunah wal Jamaah (Siddiq, 2005: 27).

Sistem pendidikan di pondok pesantren adalah salah satu sistem

pendidikan yang utuh yaitu dalam pengembangan dan peningkatan ilmu

keagamaan dalam kehidupan yang nyata dalam lingkungan pondok pesantren

maupun masyarakat umum. Para kiai/ ulama memberikan pelajaran

keagamaan dengan memberikan tauladan yang baik, dengan amal perbuatan

dan tingkah laku, sehingga mampu dihayati maupun di mengerti oleh santri/

muridnya khususnya bagi masyarat yang beragama Islam (Siddiq, 2005: 74-

75).

Pondok pesantren lahir melalui proses akulturasi Hindu-Budha. Peranan

kiai/ ulama sangat penting di dalam pondok pesantren. Setiap kajian berkaitan

dengan ilmu keagamaan yang bersangkutan dengan Agama Islam yang ada di

pondok pesantren selalu mendapat perhatian dan ditelaah kembali oleh kiai/

ulama yang menjadi pemimpin di pondok pesantren. Hal itu untuk mengetahui

apakah kajian keagamaan itu baik digunakan oleh santri/ muridnya (Nata dan

Azyumardi Azra, 2001: 133-148).

Dari segi historis pondok pesantren adalah lembaga yang merupakan

wujud dari proses dalam perkembangan sistem pendidikan yang dipimpin

oleh kiai. Para santri belajar kepada kiai yaitu ilmu keagamaan seperti ngaji

(Jawa: belajar membaca Al-Qur’an, mengaji), dan ilmu kanuragan atau


83

kekebalan tubuh. Keagamaan di Indonesia diwarnai oleh peran kiai, santri,

pondok pesantren dan para ulama–awal abad XX. Bahwa sejarah Islam di

Indonesia identik dengan sejarah pondok pesantren dan para kiai/ ulama baik

dalam pendidikan, metode dakwah, hingga sampai masalah politik. Semua

dijadikan strategi dalam perjuangan untuk menghadapi berbagai tantangan

terutama kekuatan kolonial (Nata dan Azyumardi Azra, 2001: 135-148).

Di dalam pondok pesantren tidak terlepas dari peranan kiai. Pondok

pesantren merupakan akar berdirinya tradisi tradisional dengan tradisi tarekat

yang dilaksanakan kaum sufi, ditandai dengan terbentuknya kelompok

organisasi tarekat yang melaksanakan amalan dzikir dan wirid. Kiai

mempunyai peranan yang sangat besar yang berkaitan dengan kegiatan di

pondok pesantren. Kegiatan yang dilakukan di pondok pesantren harus

mendapat persetujuan dari kiai/ ulama. Mereka tinggal di pondokan/ masjid/

langgar/ surau. Pondok pesantren didirikan di daerah pedalaman seperti di

pedesaan (Rahardjo, 2005: 78-98).

Kegiatan yang dilakukan oleh para santri di pondok pesantren untuk

belajar ilmu agama dan ilmu kanuragan, sedangkan bagi kiai/ ulama

merupakan orang yang dianggap sebagai tokoh masyarakat. Apabila yang

bersangkutan mempunyai ilmu yang tinggi seperti ngelmu kasekten (Jawa:

ilmu kekebalan tubuh yang tinggi maupun di bidang agama). Maka, tidak

jarang yang banyak orang yang meminta pertolongan, doa, dan berkah dari

kiai/ulama. Karena kiai/ulama mempunyai posisi yang sentral di mata

masyarakat maupun santri/muridnya ( Nurdiyanto dkk, 2004: 10).


84

Pondok pesantren merupakan upaya dakwah Agama Islam (Masroer,

2004: 44). Dakwah mempunyai arti yang sangat luas yaitu usaha mengajak,

membawa, dan menggerakkan manusia untuk mencapai keadaan yang lebih

baik menurut Tuhan Yang Maha Esa. Nahdatul ulama merupakan gerakan

organisasi yang menerapkan dakwah Agama Islam (Siddiq, 2005: 77-86) yaitu

lembaga pendidikan yang bermanfaaat untuk mendidik para santri/ muridnya

dalam belajar Agama Islam secara utuh dan murni. Agama dalam dunia

pendidikan sejak zaman dahulu hingga sekarang, tetap berkembang dengan

baik dan maju. Peran pendidikan tidak hanya mempelajari ilmu- ilmu

keagamaan saja, tetapi mencangkup peranan aspek penghayatan agama yang

bersifat kesalehan personal (etika) melalui pengenalan dan praktek secara

langsung di bidang tasawuf dengan perkembangan zaman. Pelajaran di

pondok pesantren akhirnya sampai pada ilmu syariat yang berkaitan dengan

aturan atau tata pergaulan kemasyarakatan.

Dalam ilmu syariat yang mempelajari kepemimpinan dan Agama Islam

(Masroer, 2004: 45) seperti yang dilakukan oleh Kiai Ngalwi dan Ki Ageng

Selomanik dalam menyebarkan Agama Islam di Kadipaten Selomanik yang

berpusat di Pondok Pesanten Selomanik. Selain itu juga mengajak tokoh-

tokoh agama untuk mengusir penjajah di bumi nusantara (Wawancara

Khaerudin tanggal 24 Mei 2005).

Cara langsung untuk menjadi maju dalam sebuah negara yaitu agama.

Cara langsung untuk kemajuan dan kebangkitan Islam ialah tabliqh dan

dakwah seperti yang dibawa oleh Rosulullah SAW dan sahabatnya yang telah
85

menyebarkan Agama Islam melalui dakwah. Dakwah yang dilakukan yaitu

dengan menggunakan: pertama; cara: hikmah, mauidhoh hasanah, dan dialog-

dialog, sedangkan yang kedua yaitu media atau alat: ahlak karimah. Jadi

dakwah yaitu sebuah media yang bersifat akhlak karimah yang memberikan

khasanah, karimah (Miftahuzzaman, 2000: 15-16).

Dalam upaya penyebaran Agama Islam terdapat berbagai macam cara

antara lain dengan pondok pesantren dalam menyebarkan ajaran tasawuf.

Peranan pondok pesantren yang cukup mendidik bagi calon-calon ulama,

santri/ muridnya. Setelah keluar dari pondok pesantren, mereka kembali

kedaerah asalnya untuk menyebarkan Agama Islam dengan cara mendirikan

pondok pesantren yang baru, sehingga Agama Islam berkembang dengan

pesat (Djandrasasmita, 1984: 188-195).

Pondok Pesantren Selomanik yang didirikan oleh Kiai Ngalwi dari

Tebuireng, Jawa Timur. Pondok pesantren ini berdiri sebelum Ki Ageng

Selomanik datang dan menetap di Desa Selomanik, pondok ini sudah berdiri/

ada. Pemimpin pondok pesantren mempunyai hubungan dengan tradisi agama

dengan kalangan elite, kekuasaan Jawa. Apalagi setelah Ki Ageng Selomanik

datang, menempati dan mendirikan pemerintahan di Kadipaten Selomanik.

Dalam kedaan yang seperti itu merupakan cagar budaya terhadap hal-hal yang

dipandang islami sehingga merefleksikan muatan budaya yang terdapat pada

Agama Islam.

Kentalnya muatan agama dalam kebudayaan yang diciptakan dengan

melalui pondok pesantren. Dalam kalangan elite kekuasaan di pondok


86

pesantren, karena mempunyai watak kebudayaan yang terkesan sangat agamis

dan membudaya, serta tidak mencampuri urusan politik, maka pemerintah

memberi dukungan dalam bentuk hal-hal khusus sebagai pembentuk

kebudayaan masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang diserap dari kitab-kitab

yang diajarkan dalam bidang teologi, hukum Islam dan mistismisme/ etika

(Abdullah, 2006: XV-XVI), tetapi ketika Ki Ageng Selomanik datang ke Desa

Selomanik, semuanya berubah. Hal itu, terjadi perubahan dalam kehidupan di

pondok pesantren maupun masyarakat disekitarnya.

Pola hubungan interaktif antara kiai, santri, dan masyarakat

mencerminkan ungkapan pegalaman keagamaan yang mereka bangun dari

nilai-nilai yang ada dalam kitab seperti Al-Qur’an dan kitab-kitab yang lain

sebagai pegangan orang Islam. Bersamaan dengan dominasi kekuasaan

pemerintah kolonial dalam bidang politik, pesantren dengan kebudayaannya

yang agamis ini didesak dengan tudingan sebagai pembawa paham ekstrim

yang menciptakan dalam berpotensi untuk membuat kerusuhan/ kekacauan.

Dalam situasi seperti ini, beberapa pesantren dengan terpaksa berjuang dengan

melalui santri yang berada di kawasan pedalaman sebagaimana yang

diperlihatkan oleh sejumlah pesantren terkenal yang muncul pada abad IX

seperti Tebuireng, salah satunya yang menyebarkan Agama Islam di Desa

Selomanik dengan mendirikan pondok pesanten sebagai pusat pemerintahan

oleh Ki Ageng Selomanik, Termas didirikan pada tahun 1823, Jampes di

Kediri, dan Bendo juga di Kediri, dan lain lain.


87

Dalam perpektif politik kolonial, pondok pesantren sering dianggap

memiliki potensi dalam menciptakan kekacauan politik (rust en orde).

Deskripsi mengenai pondok pesantren di daerah Jawa Tengah memperlihatkan

bahwa sebagian besar pondok pesantren berada diluar Kota. Keberadaan

mereka secara sosiologis memainkan peran sebagai social control terhadap

kekuasaan. Dalam posisi inilah pondok pesantren berfungsi sebagai agen

perubahan kebudayaan kosmopolit yang sarat dengan penyimpangan agama

kearah kebudayaan agamis yang kemudian dikenal dengan sebutan santri.

Beberapa pesantren memperlihatkan peran ini, ketika menujukkan sikap

non-kooperatif pemerintah dengan kebalikan dari para penghulu umat Islam.

Peran tersebut mengalami dinamika sejalan dengan fenomena yang dihadapi

sepanjang waktu sehingga berfungsi sebagai garda polarisasi budaya (the

marker of culture) bahkan pondok pesantren diakui keberadaanya dan

menunjuk vitalitas untuk tetap berperan sebagai salah satu kekuatan penting

dalam membentuk keberadaan Indonesia (Abdullah, 2006: xvi-xvii).

Dunia pesantren terdapat dua fase yaitu: (1) Fase awal dimana dunia

pesantren terlihat hanya terbangun kebudayaan secara internal sehingga

keluarannya terlihat sebagai sosok agen yang konservatif, (2) Fase kedua atau

berikutnya yaitu mengalami perubahan yang cukup berarti.

Bahwa pesantren mengalami proses transformasi dalam mengatisipasi

dinamika kebudayaan mayarakat dengan mengambil dua bentuk: (1)

Purifikasi terhadap dengan apa dianggapnya menyimpang dari kaidah agama;

(2) Melakukan penyesuaian dalam rangka memenuhi kebutuhan.


88

5. Masjid/ Langgar/ surau

Dengan berdirinya sebuah pusat pemerintahan di Desa Selomanik, yang

berada di Pondok Pesantren Selomanik merupakan wujud dari kewibaan

seorang pemimpin seperti Ki Ageng Selomanik. Masjid/ langgar/ surau adalah

pusat kegiatan keagaman bagi masyarakat yang beragama Islam, khususnya

para santri/ murid di Pondok Pesantren Selomanik. Lebai, modin, amil, atau

kiai/ ulama dipercaya untuk mengurus masjid/ langgar/ surau bahkan pondok

pesantren sebagai pemimpin dalam ibadah keagamaan (Hayati, 2000: 186-

187).

Muhamad Abdullah (2006: 207-216) menyebutkan bahwa sesungguhnya

yang mendirikan masjid/ langgar/ surau yaitu sebagai tempat bagi orang-

orang yang beriman kepada Allah, dimana hari yang akan datang, bermaksud

mendirikan sholat, menunaikan zakat, melakukan kegiatan keagamaan, serta

tidak takut pada siapapun selain kepada Allah SWT. Maka pada orang yang

selalu mendirikan diri ke jalan Allah, merekalah yang telah mendapatkan

petunjuk (QSg: 18). Dan barang siapa yang telah mendirikan masjid/ langgar

untuk mendapatkan Keridhoan Allah SWT, maka Allah akan membangunkan

baginya sebuah rumah indah di surga (Al-hadis Buchori-Muslim).

Dengan didirikannya masjid/ langgar oleh Kiai Ngalwi dan para

pengikutnya yang kemudian diperbaiki kembali oleh Ki Ageng Selomanik

sebagai wujud dari pusat kegiatan keagamaan bagi para santri/ murid, serta

masyarakat yang beragama Islam di Kadipaten Selomanik dan masyarakat

disekitarnya. Sebagai pemimpin dalam sebuah keagamaan yaitu lebai, modin,


89

amil, atau kiai/ ulama yang dipercaya untuk mengurus kegiatan keagamaan

dan mengurus tempat peribadatan, seperti masjid, langgar, dan pondok

pesantren.

Dengan kondisi langgar yang sederhana, alas dari tikar, papan dari kayu,

dinding dari bambu, dan atap dari ilalang/ jerami. Kondisi langgar/ masjid

pada waktu itu sangat sederhana tetapi tidak mengurangi aktivitas kegiatan

para santri/ murid, serta para kiai/ ulama dalam melakukan kegiatan

keagamaan (Wawancara Khaerudin tanggal 13 Febuari 2007). Langgar/

masjid digunakan sebagai tempat beribadah dan menjalankan ajaran Agama

Islam. Langgar/ masjid juga digunakan untuk pertemuan dengan para pemuka

Agama Islam dalam melawan Penjajah (TVRI, 2007. Zazirah. Senin 5 Febuari

2007).

Tokoh-tokoh agama berkumpul masjid/ langgar/ surau untuk

mengadakan acara, kegiatan rutin keagamaan, seperti tahlilan, dsb. Selain itu

juga untuk membahas mengenai perlawanan terhadap pemerintah kolonial

atau musuh baik dari dalam maupun dari luar. Santri sebagai komunitas sosial

yang relative kecil. Para santri/ murid hanya tinggal di pondok, langgar,

masjid. Hal itu tidak menyurutkan para santri/ murid serta para prajurit dalam

belajar ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu beladiri.

Dengan semangat yang tinggi dari para santri/ murid dalam

menyebarkan Agama Islam yaitu dengan cara dakwah. Dakwah keagamaan

dengan cara memperkaya khasanah keislaman yang bersifat mistismisme

melalui institusi keagamaan. Di sinilah pondok pesantren berperan yang


90

merupakan wahana yang digunakan untuk berdakwah, karena efektif dan

dapat diterima oleh semua masyarakat, hal itu bertujuan sebagai instrument

islamisasi (Masroer Ch.Jb, 2004: 41).

Masjid/ langgar merupakan pusat reprentasi dalam wujud penghambaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, umat Islam yang berada di Kadipaten

Selomanik yang dilakukan oleh Ki Ageng Selomanik (Kertawasesa II).

Dimasjid/ langgar lah Kiai Ngalwi dan Ki Ageng Selomanik dalam

memusatkan seluruh perjuangan, dakwah, pembinaan dan kemasyarakatan

dalam rangka menyumbangkan sistem yang selalu menindas seperti

pemerintahan Patih Danurejo yang selalu dibantu oleh pemerintah kolonial.

Para kiai/ ulama menegakkan sistem Islam sebagai salah satu cara dakwah

untuk menyebarkan Agama Islam (Abdullah, 2006: 207).

Dalam keagungan Agama Islam yaitu terpancar dalam masjid/ langgar

yang dijadikan pusat pembinaan. Masjid/ langgar diyakini atau dianggap

sebagai tempat yang suci atau sakral yaitu tempat untuk melakukan ibadah

bagi orang Islam. Sholat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Selomanik

maupun para santri/ ulama berpusat di masjid/ langgar, serta Pondok

Pesantren Selomanik. Selain sebagai pusat kegiatan keagamaan, masjid/

langgar juga digunakan untuk mengadakan pertemuan para kiai/ ulama untuk

membahas mengenai tindakan-tindakan apa saja yang akan dilakukan dalam

mempertahan diri dari serangan musuh. Masjid/ langgar merupakan tempat

yang suci, rumah Allah SWT (Baitullah) yang harus dihormati dan dijaga

kesuciannya.
91

Masjid memberikan solusi dalam berpartisipasi. Masjid/ langgar

dikelola untuk masa depan. Masjid/ langgar bukan bermaksud ikut campur

tangan dalam sebuah pemikiran konstruktif yang berangkat dari gagasan

positif dari umat Islam yang membawa wacana baru, yang secara tulus dalam

memberi andil dalam usaha untuk mengembalikan makna dan fungsi

(Abullah, 2006: 207-209).

Pada masa Nabi SAW, masjid berfungsi sebagai tempat salat (ibadah

mahdhoh), juga sekaligus sebagai tempat bermusyawarah, berdiskusi,

mengatur strategi perang, dan melayani umat dengan memberikan fasilitas

untuk melayani ahlushufa untuk memperdalam Islam di masjid/ langgar.

Masjid/ langgar merupakan umat Islam yang memberikan penganyoman bagi

seluruh lapisan masyarakat muslim, tanpa membedakan status, golongan, dan

organisasi.

Masjid berfungsi mempersatukan umat Islam dari segala perselisihan

dan perpecahan umat. Di masjid/ langgar lah semua aspirasi dan ambisi

pribadi atau golongan yang bertujuan untuk beraktivitas kejalan Allah SWT.

Secara garis besar masjid/ langgar mampu membina jamaah khususnya

Agama Islam.

Oleh karena itu, masjid/ langgar mempunyai fungsi yang optimal, dan di

menej dengan baik, serta mengikuti perubahan (modern), yang

mengedepankan keterbukaan, musyawarah, pembaharuan dan rasa keadilan

bagi jamaah, santri/ murid, kiai/ ulama, dan masyarakat umum serta mampu

menampung aspirasi umat Islam di pedesaan (Abdullah, 2006: 212-213).


92

Fungsi dan cara memakmurkan masjid yang perlu dijaga oleh umat

Islam di seluruh Indonesia maupun di dunia. Melalui contoh, kajian, diskusi,

dan pembahasan-pembahasan intensif dari konsep dan rumusan itu perlu

direalisir. Masjid/ langgar berfungsi, sebagai berikut: Pusat kegiatan

keagamaan dan ibadah khusus bagi umat Islam, Tempat pertemuan umat

Islam, Pusat dakwah dan pendidikan, Pusat kegiatan kemasyarakatan, Tempat

mencari ketenangan, Tempat istirahat bagi musafir, Pusat kajian ( keilmuan)

dan pengembangan umat Islam (Gasalba, 1975: 15).

6. Makam

Ki Ageng Selomanik beserta keluarga dan pengikutnya dimakamkan di

Desa Selomanik, tepatnya di Pondok Pesantren Selomanik yang merupakan

pusat pemerintahannya. Makam berada di depan serambi Langgar/ Masjid

(sekarang). Bagian serambi makam sampai sekarang tetap dijadikan sebagai

tempat sholat atau beribadah, khususnya bagi mereka yang sedang berziarah

ke makam Ki Ageng Selomanik. Selain itu serambi tersebut dijadikan tempat

pertemuan bagi keluarga Ki Ageng Selomanik maupun dari Kraton

Yogyakarta.

Keluarga besar Kiai Ageng Selomanik merupakan para pejabat

pemerintah yang duduk di kursi- kursi penting di Indonesia yaitu yang

menjalankan roda pemerintahan. Banyaknya pejabat pemerintah yang masih

mempunyai ikatan keluarga dengan Ki Ageng Selomanik. Pertemuan keluarga

besar Ki Ageng Selomanik biasanya dilaksanakan bertepatan dengan


93

penangggalan Jawa yaitu di bulan mulud. Pertemuan keluarga besar Ki Ageng

Selomanik biasa dilaksanakan setiap malam Jum’at Kliwon.

Makam Ki Ageng Selomanik mengalami pemugaran sudah beberapa

kali, yaitu: Pemugaran dilakukan pada tanggal 3 April 1975, dilaksanakan

bertepatan dengan Hari Jadi Kota Wonosobo tanggal 24 Juli 1975. Peletakan

batu pertama dilakukan oleh Bupati Wonosobo (Pagi). Kemudian dilakukan

kembali pemugaran yaitu pada tanggal 24 Juli 2005. Pemugaran yang ketiga

rencananya akan dilaksanakan tahun 2007, tetapi masih terhalangi oleh dana.

Dana dalam pemugaran dibiayai oleh keluarga besar Ki Ageng Selomanik dan

dari keraton Yogyakarta. Dalam rencananya makam Ki Ageng Selomanik

akan dibuat seperti makam Imogiri, Yogyakarta. Dengan makam Ki Ageng

Selomanik akan ditinggikan, jadi bagi siapa saja yang akan masuk ke makam

tersebut menggunakan adat kraton, Yogyakarta (berjalan dengan mengendap-

endap). Tetapi untuk bagian depan makam seperti hiasan, ukiran di pintu dan

serambi akan tetap di pertahankan keasliannya. Makam Ki Ageng Selomanik

merupakan makam tertua di Jawa Tengah yaitu pada masa kerajaan Majapahit

masa pemerintahan Prabu Brawidjaya V (Wawancara Khaerudin tanggal 13

Februari 2007).
BAB IV

KADIPATEN SELOMANIK SEBAGAI BASIS KEGIATAN POLITIK

KEAGAMAAN PADA MASA KOLONIAL (1825 – 1830)

Perubahan yang terjadi di Yogyakarta dan Surakarta terjadi sejak zaman

kolonial Belanda hingga sampai sekarang masih mengalami perubahan-perubahan

yang bersifat fundamental. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dari waktu

membawa dampak serius yang meliputi hampir semua aspek atau bidang

kehidupan masyarakat. Seperti yang terjadi dilingkungan kerajaan yaitu dengan

peralihan kekuasaan pemerintahan kolonial diganti kekuasaan Jepang dan

dilanjutkan dengan pemerintahan nasional. Kedudukan golongan Belanda sebagai

opper class diganti dengan golongan golongan militer Jepang sebagai ruling class

dan jatuh karena revolusi nasional.

Pada zaman kolonial di Indonesia golongan kaum politik nasional

ditempatkan sebagai opponent pangreh praja yang mendapatkan kekuasaan dari

pemerintah dengan kedudukan diatas pangreh praja. Sistem sosial berorientasi

pada kewibawaan generasi dewasa dan tua mampu berubah dengan cepat menjadi

sistem sosial yang mengikuti arah perkembangan. Perubahan yang terjadi pada

pusat pemerintahan ternyata mampu mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat

DIY dan sekitarnya bahkan sampai luar wilayah kekuasaannya. Masyarakat

Yogyakarta dibagi menjadi dua golongan yaitu pertama; masyarakat asli

Yogyakarta mempunyai ciri-ciri yaitu sikap dan tradisi yang masih kental, kedua;

masyarakat pendatang yaitu mempunyai ciri-ciri mempunyai semangat revolusi

94
95

yang tinggi, sehingga terjadi pembauran diantara kedua golongan tadi. Proses

perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan negara sebagian

besar sebagai intended change atau perubahan yang disengaja, tetapi pada zaman

pendudukan kolonial di Indonesia perubahannya tidak disengaja, yaitu terjadinya

Perang Jawa (Carey, 2004: 1). Kehidupan masyarakat di dalam keraton berubah

menjadi hidup di pedesaan.

Perubahan sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat yaitu bersifat

unitended change atau perubahan yang terjadi karena tidak di sengaja, tiba-tiba

atau tidak terduga terlebih dahulu (Soemardjan, 1986: vii). Setiap perubahan

sosial pada dasarnya mengikuti proses integrasi yang disusul dengan disintegrasi

dan diteruskan oleh reintegrasi. Itu semua merupakan masa transisi yang terjadi

pada masyarakat di Jawa, DIY.

Situasi sosial yang dianggap berubah dapat menimbulkan anomi yaitu suatu

keadaan dalam sebuah bidang masyarakat dianggap tidak ada dalam suatu norma

sosial pokok yang dapat dihayati, sedangkan situasi itu dapat menimbulkan

dualisme dimana sebagian masarakat masih mengikuti norma sosial yang lama,

sedangkan golongan lain dalam masyarakat sudah meninggalkan norma sosial

yang lama itu dengan menggantikan dengan norma sosial yang baru (Soemardjan,

1986: viii), seperti yang sudah terjadi di Yogyakarta dan daerah Surakarta maupun

daerah yang ada disekitarnya.

Dengan masuknya orang-orang Asing (Eropa) ke lingkungan kraton

menyebabkan perubahan diberbagai bidang seperti pola gaya hidup orang-orang

kraton yang meniru gaya hidup orang Barat, hal itu banyak masyarakat yang
96

kurang senang dengan perubahan tersebut dan mendapat kecaman dari berbagai

pihak, baik di kalangan keluarga kerajaan/ kraton maupun rakyat. Yang menjadi

pendukung dalam gerakan anti penjajah serta menolak perubahan di lingkungan

kerajaan adalah Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya.

Pada masa penjajahan kolonial di Indonesia khususnya di Jawa telah

mengalami perubahan di bidang politik, sosial budaya, ekonomi, agama, dan

sebagainya, yang berkaitan dengan terjadinya pergantian pemerintahan.

Pergantian pemerintah kolonial di Jawa. Hal itu terjadi pergantian ideologi dari

pemerintah kolonial menjadi feodal. Perubahan yang terjadi pada masyarakat di

Jawa sangat jelas dan nyata tetapi tidak direncanakan terlebih dahulu

(unintended).

Perang ini, terjadi karena kurang puas dengan pemerintahan yang selalu

hidup gaya orang-orang Eropa/ Barat yang telah menguasai kerajaan Yogyakarta

dan mempunyai pengaruh cukup kuat didalamnya. pemerintah kolonial pertama

kali datang ke Indonesia ingin berdagang, kemudian mulai bisa menguasai daerah

di pesisir Jawa hingga sampai di kerajaan dan mampu ikut andil didalamnya.

Perang yang terjadi di Jawa biasa disebut dengan Perang Jawa (Sagimun, 1985:

25).

Perang Diponegoro menurut orang Jawa disebut dengan Perang Jawa (1825-

1830) merupakan suatu peristiwa yang menentukan sejarah pulau Jawa. Peristiwa

tersebut memisahkan dua zaman, yaitu zaman ancient regime raja-raja Jawa dan

zaman kolonialisme. Campur tangan pemerintah kolonial dibidang militer dalam

serta urusan dalam kerajaan. Hanya Perang Jawa yang membawa pengaruh cukup
97

besar terhadap setiap kejadian di lingkungan keraton. Selama perang berlangsung,

terjadi penindasan yang cukup berpengaruh terhadap kehidupan rakyat. Dengan

situasi yang kurang nyaman di linkungan keraton maka terjadi pemberontakan

dimana-mana. Pemberontakan tersebut dipelopori oleh Pangeran Diponegoro.

Menurut historiografi kolonial, perang tersebut merupakan suksesi tahta Mataram

yang disebabkan karena perang yang terjadi di dalam (intern) kerajaan-kerajaan

sesuai pandangan pemerintah kolonial yang selalu ikut campur terhadap penguasa

raja yang “sah” untuk memperkuat kedudukan (Sagimun, 1960: 17).

Perang yang terjadi sejak tanggal 20 Juli 1825. Di kerajaan Ngayogyakarta,

teradi perlawanan baik dari keluarga kerajaan maupun dari luar. Hal itu

disebabkan karena adanya campur tangan pemerintah kolonial di dalam

pemerintahan. Terjadi pemberontakan dimana-mana, yang menentang

pemerintahan yang sah (kudeta). Hal itu disebabkan karena beberapa faktor

sebagai berikut:

A. Faktor Ekonomi

Pemerintah kolonial datang ke Indonesia hanya ingin mencari

keuntungan di bidang ekonomi tetapi pada kenyataannya justru ikut campur

dalam dunia politik. Itu semua mempunyai tujuan yaitu untuk mencapai

kepentingan pada bidang ekonomi yang secara langsung justru melibatkan diri

dalam setiap pertikaian di kerajaan-kerajaan Jawa. Sebagai imbalannya

diperoleh kekuasaan didaerah (teritorial) antara lain: adanya kekuasaan atas

daerah Batavia dan sekitarnya, Priangan dan daerah Pantai Sebelah Timur

Cirebon dan daerah di sepanjang Pesisir Pantai Utara Pulau Jawa. Dengan
98

mengambil alih kekuasaan didaerah-daerah itu yang didapat dari raja-raja

Jawa, maka pemerintah kolonial mengadakan hubungan secara langsung

dengan para bupati-bupati diseluruh Jawa (Burger, 1984: 135).

Pada masa Amangkurat IV melakukan perjanjian dangan pemerintah

kolonial. Isi perjanjian (1705), antara lain: Hasil perjanjian 1677 yang masih

meragukan; Batas-batas Kerajaan Mataram dengan Daerah Priangan dilakukan

dengan cara kasar yaitu ditandai dengan garis yang mengikuti Sungai

Citandui dan Sungai Silasari; Daerah kekuasaan Pemerintah Kolonial sampai

Semarang; Pemekasan dan Sumenep diserahkan Pemerintah Kolonial;

Monopoli dan hak-hak istimewa disebar daerah Mataram diperluas; Mataram

mewajibkan penyerahan hasil bumi kepada Pemerintah Kolonial (Soeratman,

2000: 22 dalam Skripsi Suryani, 1998: 57).

Para bupati yang dibentuk pada masa Amangkurat I sebagai penyewa-

penyewa propinsi yaitu sebagai Minister. Pemerintah pusat mengeluarkan

peraturan tentang penyerahan-penyerahan pajak dalam bentuk uang. Sistem

mata uang yang berlaku pada dunia perekonomian yaitu mempunyai tujuan

untuk menikmati hasil pendapatan daerah. Namun peraturan itu kurang

berhasil, pemerintah justru mengadakan dan mengadaikan daerah-daerah

tersebut kepada minister. Dalam jumlah tertentu, beberapa tahun kemudian

mampu menduduki jabatan bupati secara utuh. Hal itu bertujuan agar

keselamatan mereka dapat terjamin dan dijadikan imbangan terhadap

pengaruh dari Kerajaan Mataram (Schrieke, 1974: 31).


99

Kondisi perekonomian semakin buruk sehingga kerajaan tidak

memungkinkan untuk melunasi utang-utangnya kepada pemerintah kolonial.

Bagi Mataram masalah utang merupakan beban yang sangat berat. Contoh:

utang Mataram pada masa Pangeran Amangkurat IV (1718-1725). Utang

tersebut sangat besar yaitu melebihi pendapatan kerajaan pada tiap tahunnya.

Apabila, jika dikumpulkan dengan utang-utang sebelumnya pemerintahannya.

Jumlah utang semakin besar pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono

II.

Pemerintah kolonial dalam perkembangannya mengalami kebangkrutan,

akibatnya pada tanggal 31 Desember 1799 dibubarkan VOC sebagai berikut:

adanya keuangan yang kosong (kas kosong) karena banyak mengeluarkan

biaya untuk menghadapi perlawanan penjajah oleh rakyat Indonesia (biaya

perang). Banyak terjadi kecurangan pada pihak pegawai VOC didalam

pembukuan, kecurangan, korupsi serta adanya pegawai yang lemah dalam

bekerja, terdapatnya sistem monopoli dan sistem paksa yang membawa

kemerosotan moral kepada penguasa dan penderitaan penduduk. 1 Januari

1800 terjadi pergantian politik kemerosotan VOC ke Pemerintah Kolonial

Hindia Belanda (Moedjanto, 1987: 17).

Sementara pihak pemerintah kolonial, tidak mau mengambil resiko

apabila modal yang sudah ditanam di Mataram tidak aman dan tidak kembali.

Oleh karena itu, pemerintah kolonial menagih dan mengamati dengan seksama

dan cermat semua peristiwa yang terjadi dalam kerajaan Mataram yang dinilai

membahayakan hubungan dengan Susuhunan.


100

Pemerintah Kertasura dipimpin oleh Patih Danurejo, tidak berbuat

banyak kecuali mempertahankan kondisi yang ada agar tidak bertambah

buruk. Lebih dari itu, Patih Danurejo juga gigih membela keutuhan wilayah

kerajaan Mataram dari aksi sparatis yang dilakukan oleh Cakraningrat IV.

Secara tidak langsung, sangat diharapkan oleh pemerintah kolonial agar

lingkungan kerajaan terpecah (Kasdi, 2003: 52-53).

Pakubuwono II naik tahta pada umur 16 tahun. Kerajaan sedang dikuasai

oleh ibu dan Patih Danurejo. Pada masa itu sering disebut dengan Carrajaya

sebagai pejabat tertinggi (Rickleft, 1994: 134). Awal pemerintahan

menunjukkan awal yang baik, tetapi lingkungan istana menjadi pusat

persekongkolan diantara orang-orang kuat yang menjadi kekayaan dan

pengaruh sendiri-sendiri. Hal itu, melibatkan pemerintah kolonial daerah pada

waktu itu, merupakan zaman militer bagi kekuasaan pada wangsa itu. Dengan

adanya pemberontakan dan persekongkolan, ini menunjukkan kelemahan

intern Kerajaan Mataram. Banyak kekacauan dimana-mana atas hasutan dari

pemerintah kolonial. Hal itu, bertujuan untuk memunculkan kekacauan di

lingkungan keraton (Graff, 1949: 11).

Krisis yang terjadi didalam Keraton Kartasura, didaerah-daerah luar

kerajaan didalam tubuh kolonial dan kota-kota Batavia pada umumnya

(Ricklefs, 1995: 137-138). Rakyat sangat menghormati dan memuja raja serta

para bangsawan. Rakyat mempunyai kewajiban untuk menyerahkan hasil

bumi kepada raja. Di Jawa sebelum kedatangan pemerintah kolonial masih

menganut sistem feodal. Dengan ciri-ciri khas dalam kehidupan ekonominya


101

yaitu pertanian rumah tangga yang hampir tidak mengenal mata uang (Burger,

1983: 14).

Pada masa yang sama, di negeri Belanda sedang mengalami akibat buru

dari perang untuk menghadapi Inggris dalam merebutkan penguasa-penguasa

dibidang perdagangan. Selain itu negeri Belanda sendiri sedang ada dibawah

pengaruh kekuasaan Kaisar Prancis (Napoleon) akibatnya kekuasaan Hindia

Belanda menganut sistem liberal. Pengaruh faham liberal sebagai akibat dari

Revolusi Prancis yang masuk ke negeri Belanda. Kaum liberal menganjurkan

gagasan-gagasan baru terhadap pemerintahan Belanda untuk mengadakan

perubahan dalam menjalankan praktek kolonialnya di Indonesia. Selain itu

pemerintah di tanah jajahan, yang dulu mengunakan sistem pemerintahan

tidak langsung kini berubah menjadi sistem pemerintahan langsung. Dan

terjadi pergantian sistem paksa dalam pengumpulan produksi tanah jajahan

dengan sistem pajak (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1990: 42-43).

Keadaan desa-desa di Jawa, mengalami kemunduran jika dibandingkan

dengan keadaan desa pada masa sebelumnya. Hanya desa-desa yang berada

didekat dengan wilayah kota, terutama yang dekat dengan pabrik-pabrik

keadaan ekonomi desa relatif lebih baik. Lebih baik dalam artian sumber

panghasilan rakyat desa tidak semata-mata dari tanah pertanian saja yang ada

di desanya, tetapi disamping itu terdapat penghasilan yang lainnya.

Pada masa kolonial di Jawa banyak membawa pengaruh yaitu dalam

kehidupan agraris yaitu perubahan mengenai tanah dan tenaga kerja. Rakyat

harus menyerahkan sebagian tanahnya diberikan kepada pemerintah guna


102

ditanami tanaman ekspor, dan sebagian diserahkan pada memerintah namun

melebihi dengan ketentuan sistem ikatan di desa. Akibatnya terjadi perubahan

serta terjadi pergeseran sistem kepemilikan dan penguasan tanah dari

kepemilikan perseorangan menjadi tanah komunal desa. Pergeseran tahta

milik perseorangan menjadi tanah komunal desa pada dasarnya berbeda-beda

dan bermacam-macam, diantaranya ialah karena terjadi migrasi penduduk

kedaerah lain untuk menghindari tugas berat dari pemerintah karena alasan

keamanan dan peperangan (Perang Diponegoro 1825-1830) maupun

pencabutan hak milik yang dilakukan oleh pemerintah desa kepada mereka

yang tidak dapat memenuhi kewajiban pemerintah (Kartodirdjo dan Djoko

Suryo, 1991: 67).

Kemunduran ekonomi desa, antara lain: Pertama; jumlah penduduk

bertambah, penambahan jumlah penduduk cepat, sehingga penghasilan tidak

seimbang. Khususnya dalam penghasilan dari mata pencaharian yaitu

pertanian. Kurangnya penghasilan penduduk di bidang ekonomi disebabkan

karena luas tanah pertanian tidak bertambah, sedangkan teknik pengolahannya

tidak berubah. Kedua; sistem pemungutan pajak yang tinggi kepada rakyat,

sehingga rakyat menjadi tertindas. Ketiga; nilai mata uang menurun, yang

disebabkan karena salah satu keadaan ekonomi pada umumnya, penghasilan

tidak bertambah sedangkan nilai mata uang menurun, maka penghasilan riil

pun menurun.

Kemunduran keadaan ekonomi di desa-desa, dipengaruhi oleh keadaan

sosial desa pada umumnya, terutama terhadap hak atas tanah dan
103

pengarapannya. Khususnya tanah desa, terhadap peraturan pemerintah. Baik

pemerintah desa dan lembaga-lembaga adat lainnya. Seperti kewajiban-

kewajiban desa (diensten), gotong royong, perkumpulan-perkumpulan desa,

dan sebagainya. Kemunduran keadaan ekonomi merupakan ikatan-ikatan

tradisional menadi kendur, bahkan didalamnya sudah tidak berfungsi lagi.

Untuk mengatasi keadaan ekonomi desa, yang mengalami kemunduran.

Pemerintah kolonial maupun pemerintah lokal mengambil tindakan-tindakan

yang dianggap perlu. Dengan pengunaan tanah desa ditetapkan dengan sistem

yang berstruktur dari pemerintah desa yang pengaturannya sesuai dengan

keadaan desa pada waktu itu. Dengan mendirikn lumbung desa dengan tujuan

untuk mengatisipasi apabila keadaan desa sedang dilanda musim paceklik.

Lumbung desa sangat membantu kondisi ekonomi desa. Beberapa pejabat

pemerintah baik pejabat desa maupun dari petinggi kadipaten seperti bupati

yang aktif melakukan usaha-usaha perbaikan dibidang ekonomi di desa-desa.

Walaupun sudah menetapkan sistem pembuatan lumbung desa, tetapi

pemerintah belum mendapat hasil yang maksimal.

Bahwa desa-desa di Jawa pada waktu itu pada umumnya masih

mempunyai tanah komunal yang sering disebut dengan tanah desa. Tanah desa

mempunyai hak pertuanannya ada ditangan desa. Tanah desa ini tidak meliputi

seluruh tanah yang terdapat dilingkungan desa, sebab ada sebagian yang sudah

menjadi tanah dengan hak milik individu secara turun temurun (tanah yasan).

Perbadingan tanah yasan antara desa yang satu dengan yang lain tidak sama.
104

Masalah-masalah hak tanah yang ada di daerah-daerah yang ada di desa-

desa Jawa masih mempunyai tanah yang cukup luas dan mempunyai sumber

penghidupan bagi masyarakata pribumi. Tanah desa pada umumnya

dipergunakan untuk: sebagai tanah usaha penduduk desa biasanya berupa

tanah persawahan, dan irigasi; sebagi tanah jabatan atau pelungguh, yaitu gaji

untuk kepala desa beserta pembantu-pembantunya; tanah untuk kepentingan

umum, seperti tanah bengkok (Jawa). Istilah-istilah dibeberapa daerah

mengenai tanah desa berbeda-beda, seperti di Cirebon tanah desa disebut

dengan istilah tanah godangan, sedangkan di Jawa Timur disebut tanah

pancen. Tanah godangan atau pancen ialah tanah desa yang disediakan untuk

dikelola dan diusahakan oleh desa dan hasilnya milik desa, hal itu bertujuan

untuk membayar pajak oleh penduduk pribumi desa tersebut. Dengan cara ini

sangat membantu masyarakat desa yang tidak bisa membayar pajak dalam

bentuk uang.

Hak pertuanan atas hak tanah desa dijalankan oleh kepala desa dengan

persetujuan pada rapat desa. Rapat desa yaitu merupakan rapat penduduk

masyarakat pribumi desa. Di desa-desa baru hak pertuanan tanah biasanya

ditangan desa-desa adat yang tergabung dengan desa baru. Hak pertuanan

dijalankan oleh kepala desa adat yang statusnya berubah menjadi kepala

dukuh. Hak yang berlaku pada saat sekarang sudah berbeda dengan hak

pertuaanan pada zaman dulu. Hak tanah pada saat sekarang hanya tinggal

berupa hak tanah desa yang dibagi oleh kepala penduduk pribumi untuk

digarap oleh masyarat pada musim-musim tertentu.


105

Bahwa ekonomi desa yang mengalami kemunduran disebabkan semakin

meningkatnya jumlah penduduk. Hal itu mempengaruhi pembagian tanah desa

dengan sistem pengarapannya. Dengan jumlah penduduk yang semakin

meningkat sedangkan tanah desa tidak bertambah, maka bagian tanah yang

diterima oleh penduduk pribumi makin kecil dan tidak dapat memberi

penghidupan yang layak. Bahkan dibeberapa daerah penggunaan tanah desa

terpaksa digilirkan sehingga pada musim ada penduduk pribumi desa yang

terpaksa tidak mendapatkan bagian tanah.

Penduduk desa yang mendapat bagian tanah desa, baik secara tetap

maupun musiman, sering kemindahkan haknya kepada orang lain karena tanah

yang menjadi bagiannya terlalau sedikit sehingga tidak menguntungkan untuk

digarap sendiri. Atau karena keadaan ekonomi mereka yang lemah, tidak

mampu membiayai kebutuhan sendiri dan biaya pengarapan sehingga para

petani memindahkan haknya kepada orang lain dengan dasar bagi hasil atau

ijon. Keadaan ekonomi penduduk pribumi desa yang demikian itu membuka

jalan bagi terjadinya kosentrasi-kosentrasi ini tidak disertai dengan pemilikan.

Bagi orang-orang dari luar desa dan orang-orang asing juga terbuka jalan

untuk mempergunakan tanah desa, sekalipun hanya musiman.

Pemindahan hak atas tanah desa dari para penduduk pribumi desa, itu

biasanya dilakukan atas dasar sewa menyewa tanah. Sewa tersebut dilakukan

tahunan ataupun musiman. Penyewaan dilakukan bagi mereka yang

mempunyai modal, baik berupa uang ataupun bagi tuan-tuan tanah di desa.
106

Sewa menyewa dilakukan baik penduduk pribumi desa itu sendiri atau orang

yang berasal dari luar desa ataupun orang asing.

Para penguasa melakukan sewa menyewa kepada para petani pribumi

maupun penduduk asing seperti orang-orang Cina. Para penguasa memberikan

harga yang tinggi. Seperti yang terjadi didaerah perusahaan milik pemerintah,

diantaranya di daerah perusahaan tebu di Cirebon yang menerapkan sistem

sewa menyewa tanah. Hal itu pun terjadi di lingkungan kerajaan di

Yogyakarta maupun di Surakarta para penguasa baik pemerintah kolonial

maupun penguasa bangsawan yang menerpakan sistem sewa menyewa tanah.

Banyak mereka yang menerapkan harga yang tinggi kepada mereka yang

menyewa. Bagi masyarakat pribumi pada umumnya meneruskan penanaman

yang biasanya dikerjakan di tanah sewaan terutama penanaman padi atau

palawijaya.

Pengarapan tanah sewaan itu biasanya menggunakan tenaga yang berasal

dari desa itu sendiri. Penghidupan yang sempit menjadikan desa semacam

tempat cadangan tenaga kerja yang dapat dipergunakan dengan upah yang

rendah. berhubung dengan itu daerah yang menyewa tanah banyak yang

menggunakan tenaga upahan, karena ternyata lebih murah dari pada

menggunakan cara bagi hasil atau ijon. Perusahaan-perusahaan perkebunan

tembakau di daerah-daerah seluruh Jawa banyak yang menggunakan tenaga

kerja upahan.

Di bidang ekonomi yaitu adanya penyewaan tanah (sewa tanah) yang

dilakukan oleh kaum bangsawan kepada rakyat serta orang-orang Eropa.


107

Tetapi justru orang-orang Eropa ingin menghapus sistem tersebut di dalam

kerajaan. Hal itu sangat di kwatirkan oleh kaum bangsawan dari keraton baik

dari keraton Yogyakarta maupun dari Surakarta.

Para bangsawan pribumi yang yang menerapkan sistem sewa tanah

menginginkan agar sistem tersebut tetap berjalan dilingkungan kerajaan

maupun bagi masyarat. Hal itu sangat meresahkan masyarakat yang kurang

mampu. Bagi tuan tanah yang memberlakukan sistem itu, mampu

menghasilkan laba yang banyak dengan menancapkan harga tinggi. Mau tidak

mau bagi rakyat kecil/ miskin mereka mau menyewa lahan dari para

bangsawan maupun para tuan tanah pribumi.

Dapat digambarkan seperti yang terjadi di lingkungan keraton maupun

dari masyarakat bahwa pemerintah menerapkan sistem sewa tanah yang

dilakukan oleh asisten residen Yogyakarta yang menyewakan tanah Bedoyo

atas kebaikan Patih Danurejo yang berada di sebelah Selatan lereng gunung

Merapi. Selain itu Patih Danurejo didalam menjalankan roda pemerintahannya

selalu dibantu oleh pemerintah Kolonial. Dengan adanya campur tangan

pemerintah Kolonial didalam pemerintahan kerajaan, membuat rakyat tidak

menyukainya dan terjadi pemberontakan dimana-mana.

Dengan adanya penyewaan tanah dikalangan bangsawan pribumi di

keraton Yogyakarta dan Surakarta kepada orang asing yang ada di keraton

menyebabkan rakyat terikat didalam lapangan ekonomi. Dimana rakyat tetap

bekerja keras untuk mencukupi keluarganya (sendiri), juga untuk membayar

upeti raja ataupun para pejabat pemerintah. Hal itu sangat memprihatinkan.
108

Ketika masa penduduk Kolonial di Jawa, khususnya orang-orang Eropa

dilingkungan kerajaan, tetapi ironisnya justru Patih Danurejo tidak mau

menghentikan terjadinya proses penyewaan tanah tersebut.

Selain menghadapi masalah di atas rakyat juga mendapatkan beban lagi

yaitu dengan berlakunya bea cukai dikalangan masyarakat kecil. Rakyat

merasa tercekik lehernya dengan biaya cukai tersebut. Begitu banyak beban

serta cukai bagi rakyat. Satu hal yang selalu dipertanyakan rakyat kepada

pemerintah mengenai hak pemungutan bea cukai.

Hal itu adalah suatu penindasan dan banyak menimbulkan perasaan yang

kurang puas dari rakyat kepada pemerintah. Apalagi ketika pemerintah

kolonial (Van Der Cappelan) mengeluarkan peraturan baru mengenai

pemberhentian mengenai sewa tanah dan yang mengatur pemerintahan rakyat

adalah pemerintah kolonial bukan dari pemerintah kerajaan Yogyakarta dan

Surakarta.

Paraturan mengenai penyewaan tanah kepada patrikelir, sedangkan tanah

yang sudah disewa harus dikembalikan kembali kepada rakyat ataupun

bangsawan dan para tuan tanah pribumi. Uang dari hasil sewa tanah yang

digunakan oleh kaum bangsawan harus dikembalikan dan bagi yang

meminjam untuk mengembalikannya. Para bangsawan sangat menderita

dengan adanya sikap pemerintah kolonial yang memberlakukan sistem

pemberhentian sewa tanah. Maka terjadi perlawan dari kaum bangsawan

maupun rakyat yang kurang puas dengan pemerintahan dilingkungan kerajaan

yang selalu mementingkan golongan.


109

Struktur pemerintahan desa banyak mengalami perubahan dalam

lembaga-lembaga adat desa atau dukuh mulai luntur. Semua disebabkan

karena faktor sosial dan ekonomi yang timbul di masyarakat desa itu sendiri

maupun tindakan-tindakan pemerintah kolonial yang mempunyai tujuan untuk

mengatasi keadaan ekonomi desa yang semakin mundur.

Karena campurtangan pemerintah kolonial pemerintah desa bersifat

berubah-ubah yang menjadi bagian dari administrasi pemerintahan kolonial,

sekalipun pemerintah kepala dead an pembantu-pembantunya masih diangkat

dan digaji menurut adat. Di desa-desa baru, campurtangan pemerintah kolonial

itu sangat intensif, sehingga kepala desa dan pejabat lainnya sudah bersetatus

sebagai negeri dari pada sebagai kepala rakyat.

Campurtangan pemerintah kolonial dalam urusan-urusan pemerintahan

desa pada umumnya dilakukan dibidang organisasi dan administrasi, seperti

pembentukan dewan-dewan desa, baik secara pemilihan maupun ditunjuk oleh

rakyat secara langsung oleh rakyat. Dewan-dewan tersebut mempunyai

wewenang dalam urusan pembentukan buku-buku urusan desa, khususnya

keuangan desa dan undang-undang mengenai pajak, serta pengaturan

pengumpulan dan penggunaan dana dan penghasilan desa, registrasi-registrasi

penduduk, kelahiran, kematian, dan sebagainya.

Urusan tanah desa yang terjadi dilingkungan kerajaan maupun diluar

kerajaan pada umumnya masih dibawah peraturan pemerintah kolonial yang

dijalankan oleh pemerintah desa dan daerah. Dalam segala bidang pemerintah

kolonial ikut campur didalamnya, dengan menetapkan peraturan yang


110

menekan rakyat, seperti memberi pajak dan beban yang tinggi kepada rakyat.

Campurtangan ini berupa melarang , mengubah, bahan mempertahankan adat

yang berlaku di daerah tersebut. Hukum adat diganti dan dihapus oleh

pemerintah kolonial.

Penduduk desa yang semakin padat dan perbedaan kedudukan-

kedudukan sosial semakin menyebabkan kewibawaan pemerintah menurun.

Kelompok status didesa masih berlaku, meskipun sudah mulai luntur karena

tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya. Pada umumnya penduduk

pribumi desa menurut adat dibagi menjadi empat golongan. Pertama;

golongan pemilik tanah usaha (sawah) dan rumah beserta pekarangannya.

Golongan ini merupakan golongan yang terkemuka dan disebut dengan

berbagai macam istilah, seperti gogol, sikep, baku, kuli, atau kuli kenceng,

pribumi. Kedua; golongan pemilik rumah beserta pekarangannya. Mereka ini

antara lain disebut dengan istilah kuli setengah atau kuli kendo. Ketiga;

golongan yang hanya mempunyai rumah yang didirikan di pekarangan orang

lain dan dinamakan dengan istilah lindung atau indung. Keempat; golongan

numpang, yaitu golongan dari mereka yang ikut bertempat tinggal dirumah

seorang penduduk pribumi desa, misalnya seorang anak menantu yang turut

bertempat tinggal karena tidak mempunyai rumah sendiri atau tidak berumah

tangga sendiri. Kaum priyayi misalnya pegawai pangreh-praja, tidak

termasuk kelompok status desa, sekalipun mereka bertempat tinggal di desa

dan ditempatkan pada martabat yang tinggi. Orang-orang asing dan orang baru
111

yaitu pendatang dari desa lain, di sini dianggap sebagai orang luar desa

mereka walaupun mempunyai rumah dan halaman atau pekarangan sendiri.

B. Faktor Politik

Dengan adanya konsep kekuasaan kerajaan Mataram Islam merupakan

lingkaran yang bersifat konsentris, artinya mengelilingi sultan atau daerah

kerajaan menjadi pusat. Lingkaran yang dekat merupakan lingkaran utama

dalam kraton atau istana. Istana merupakan kediaman raja-raja beserta

keluarganya dan sebagai pusat pemerintahan. Pemerintah pusat sebagai

penghubung antara raja dengan rakyat ataupun pemerintah luar. Sedangkan

ibukota disebut sebagai negara. Negara merupakan lingkaran kearah yang

mengelilingi keraton. Semua bangsawan dan pegawai pemerintah berdiam dan

menetap di keraton/ istana. Negara merupakan pusat pemerintahan luar yang

berada dibawah pengawasan patih. Negara merupakan daerah yang semua

tanahnya merupakan tanah lungguh atau tanah jabaran yang dipercayakan

kepada bekel atau seorang wakil. Sebagian tanah mahkota (George D. Larson,

1990: 13 dalam Skripsi Suryani, 1998: 25).

Sejak pemerintahan Sultan Agung yaitu kerajaan Mataram semakin

mundur, lemah. Melalui Perundingan Giyanti (1755) Kerajaan Mataram pecah

menjadi dua yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Sedangkan pada Perjanjian

Salatiga (1757) kaduanya pecah lagi yaitu menjadi Mangkunegaran (1814)

dan Pakualaman.

Dibidang politik melibatkan banyak kalangan baik dari pejabat kerajaan

maupun dari kalangan kiai/ ulama bahkan dari masyarat itu sendiri. Semua
112

yang ikut didalamnya mempunyai peranan masing-masing. Khususnya pada

Perang Jawa yang terlibat di dalamnya adalah para pemuka agama seperti kiai/

ulama yang ikut di dalam menjalankan roda pemeritahan dengan membentuk

strategi untuk menghadapi musuh apabila sewaktu-waktu datang menyerang.

Para pemuka agama, masyarakat yang ikut perang untuk

mempertahankan diri dari serangan musuh. Mereka tinggal dipedesaan dengan

mendirikan pondok pesantren sebagai tempat basis kegitan politik keagamaan

pada masa kolonial. Daerah pedalaman yang selalu dimanfaatkan oleh

pemimpin untuk mendirikan daerah pertahanan, seperti Kadipaten Selomanik,

sebagai basis kegiatan politik keagamaan pada masa kolonial (tahun 1825-

1830). Daerah ini, merupakan daerah yang dijadikan daerah pertahanan

dibawah pimpinan Pondok Pesanten Selomanik dan Ki Ageng Selomanik

dalam membahas mengenai strategi maupun belajar ilmu keagamaan.

Kadipaten Selomanik juga merupakan daerah yang dijadikan pertahanan baik

di bidang agama, politik, ekonomi dan yang lainnya.

Politik yang digunakan pada masa kolonial yaitu politik keagamaan,

nasionalis, sosialis, yang sama-sama mempunyai tujuan untuk merebut

kekuasaan politik dari pemerintah kolonial dan menjalankan pemerintahan

sendiri. Rakyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali menentang kebijakan

pemerintah kolonial.

C. Faktor Sosial Budaya

Keterlibatan pemerintahan kolonial di kraton Yogyakarta dan Surakarta

sebagai dari perubahan sosial budaya yaitu adanya persebaran Agama Kristen
113

pada masyarakat Jawa (awal abad 18-20). Semua itu merupakan visi dari

penjajahan yang mampu memberikan gambaran mengenai perbenturan

kolonial yang dipengaruhi oleh kekuasaan penjajah seperti Belanda, Prancis,

Inggris, dan lain lain.

Di bidang sosial daerah kerajaan dikuasai oleh kaum priyayi atau

golongan ningrat. Di Jawa struktur feodal bertahan lebih lama dalam

menempati kekuasaan pemerintah pusat dan tertinggi. Pembagian masyarakat

dengan struktur tingkat feodal dan perbedaan antara golongan-golongan dalam

masyarakat lebih besar. Bentuk hidup bangsawan lebih maju, lebih indah

yang harus diakui oleh rakyat dan diterima sebagai sesuatu yang menentukan.

Pola hidup kebangsawanan yang terdapat dan berkembang di kraton-kraton

Jawa lebih meresap ke dalam lapisan masyarakat (Suryani, 1998: 36).

Adanya pengaruh dari pemerintah kolonial yang sangat kuat, sehingga

pada lapisan masyarakat terutama pada cara pergaulan, seperti yang

diterapkan oleh pemerintah kolonial di dalam kerajaan Ngayogyakarta. Sejak

kedatangan pemerintah atau orang-orang Eropa dan Inggris ke Indonsia

khususnya di dalam kerajaan Ngayogyakarta menjadikan banyak kalangan

yang menyayangkan tindakan tersebut. Hal itu tidak sesuai dengan norma

yang ada di dalam lingkungan kerajaan maupun bagi rakyatnya.

Yang pertama memperoleh pengaruh Barat yaitu lapisan atau golongan

atas priyayi atau bangsawan, yang kemudian mampu mempengaruhi

kehidupan pada masyarakat pedesaan. Pada zaman dahulu dalam melakukan

perjanjian mengunakan perantara para pemimpin maupun rakyat kecil,


114

sekarang perjanjian mulai merambah sampai jual beli hasil bumi, kerja upahan

dan sewa tanah dilakukan oleh penduduk sendiri. Masyarakat desa yang

mengunakan sistem ekonominya rumah tangga sekarang sudah mengenal

sistem mata uang. Pada masa tanam paksa rakyat akan menerima upah dari

hasil kerja yang berupa uang. Hal itu merupakan pemindahan kebudayaan dari

Barat ke Timur (Indonesia). Di lingkungan kerajaan sendiri setelah mengenal

sistem mata uang kehidupannya berubah secara dratis dan mengantikan

dengan sistem Barat yang cenderung hidup berfoya-foya dan mementingkan

kesenangan (Burger, 1983: 27).

Dengan pola hidup yang berfoya-foya dan mengantikan adat orang

Timur/ orang Jawa dengan kehidupan yang serba mewah. Cara hidup yang

berubah seperti cara berpakaian dengan meniru gaya pakaian orang Barat,

minum-minuman keras dan tersedia dilingkungan kerajaan. Apabila ada rapat

pertemuan antara keluarga maupun dengan pemerintah dari luar biasanya

dilakukan pada siang hari, namun setelah kedatangan orang-orang Eropa/

pemerintah kolonial, datang dan menetap dikarajaan Rapat/ pertemuan

dilakukan pada malam hari dengan diberi jamuan seperti minum-minuman

keras yang melangar agama.

Pola hidup orang-orang Barat yang mampu mempengaruhi orang Jawa

(Solo, DIY) untuk menggali kembali mengenai jati diri orang-orang Jawa

yang mengikuti mode Barat seperti cara berpakaian di luar jangkauan

kekuasaan kolonial mampu berkembang hingga meluas sebagai artikulasi dari

dunia yang berbeda (adat istiadat, bahasa, sastra, mata pencaharian, suku,
115

budaya, agama) yang mengulas pada kondisi masyarakat Jawa masa kolonial

(Hadikusumo, 2003: 33).

Pola tingkah laku yang kurang sopan, para pejabat kerajaan kurang baik

kepada rakyat maupun pada prajurit serta bertindak semena-mena. Dengan

sikap yang kurang sopan dan tidak mau tahu pada keadaan rakyat yang

tertindas justru pemerintahan/ pejabat karajaan tidak ada tindakan yang

semestinya. Hal itu mendapat reaksi dari pihak kerabat kerajaan, rakyat dan

para pemuka agama yang berada dilingkungan kerajaan.

Pengaruh Barat membawa perubahan pada unsur-unsur kebudayaan

Timur atau terjadi perombakan unsur-unsur kebudayaan lama di Jawa seperti

hilangnya perniagaan lautan dan pelayaran bagi orang Jawa yang

melenyapkan hubungan dengan dunia internasional, sehingga terjadi atomisasi

Jawa. Dengan paham feodal mengakibatkan atomisasi pergaulan hidup di

desa-desa. Hubungan desa-desa dengan pemerintah mulai melemah berarti

atomisasi penduduk desa kekuasaan semakin kuat dan Kekuasaan bupati

menyusut (Burger, 1983: 103).

Pada awal abad 19, strata atas masyarakat Indonesia lebih mendekati

santunan peradaban Eropa Barat yaitu berkaitan dengan cara berfikir,

peradaban yang sangat dipengaruhi oleh orang Barat, pendidikan dan

pengenalan dengan kesusteraan Eropa. Beberapa elemen sosial budaya yang

berasal dari orang Barat yang berkembang di Indonesia mendapat tempat yang

layak dikalangan para bangsawan Indonesia, khususnya bagi generasi muda di

daerah kerajaan dan sekitarnya (Wertheim, 1999: 161-162).


116

Dalam bidang keagamaan, penetrasi Barat di kepulauan ini mempunyai

konsekuensi dengan jelas jauh lebih awal dibandingkan oleh penetrasi dalam

bidang ekonomi dan struktur sosial. Bahwa dalam ekspansi Agama Islam di

kepulauan Indonesia adalah akibat adanya orang Barat. Terutama kedatangan

orang-orang portugis yang mendorong banyak raja-raja diseluruh nusantara

agar menganut Agama Islam sebagai gerakan politik untuk melawan penetrasi

Kristen yang sudah berkembang di nusantara seperti yang terjadi di Jawa

khususnya di lingkungan kraton Yogyakarta maupun Surakarta (Schrieke,

1957 dalam Wertheim, 1999: 153-154).

Pengaruh Agama Kristen dalam kehidupan sosial di lingkungan kerajaan

maupun di luar kerajaan sangat tampak dalam masyarakat, sedangkan

masyarakat atau pun pemerintah kolonial tidak memberikan tanah yang sesuai

bagi aktivitas misionaris. Bagi orang-orang Eropa Agama Kristen sudah

menyesuaikan diri dengan sepenuhya pada struktur sosial yang ada. Gereja

Hindia yang ada di Indonesia mendukung stratifikasi menurut ras, sehingga

telah menghapus upaya keras para misi Protestan untuk menang atas sebagian

besar penduduk Indonesia. Kristen muncul sebagai agama ras yang

mendominasi seluruh masyarakat, walaupun Agama Kristen digunakan untuk

alat dalam mencapai persamaan dengan pemerintah kolonial Belanda. Bagi

orang-orang Indonesia tidak hanya mempunyai skala prestis saja tetapi mampu

menyejajarkan kedudukannya dengan orang-orang Belanda, dalam

pemerintahan. Misi itu tidak mampu meletakkan tempat yang semestinya

untuk berpijak. Ketika terjadi paksaan terhadap kekuasaan kolonial secara

formal, orang-orang Indonesia tidak ingin mengorbankan semangat mereka

dengan masuk Agama Kristen. Di Indonesia telah terjadi kristenisasi oleh


117

orang-orang pendatang, sedangkan di luar Jawa yang mendominasi dalam

kekuasaan pemerintah adalah orang-orang muslim sebagai administrator

orang Indonesia (Wertheim, 1999: 160).

Prestis yang diberikan oleh para pemimpin didalam pemerintahan yang

dikuasai oleh kaum muslim yang mampu menarik perhatian masa untuk

masuk Agama Islam. Cara ini merupakan strategi para pemimpin untuk

melepaskan diri dari pemerintah kolonial di Indonesia. Dalam prakteknya,

aktivitas para pemimpin terfokus pada daerah-daerah di pedalaman seperti

yang terjadi di Jawa dan daerah yang lainnya (Yogyakarta, Surakarta).

Sedangkan daerah pesisiran kurang diperhatikan oleh kaum muslim. Sehingga

Kristenisasi berkembang di daerah pesisiran, karena dengan mudah para

misionaris masuk untuk menyebarkan Agama Kristen kepada penduduk di

daerah tersebut (Wertheim, 1999: 160).

Dengan meniadakan misi misionaris di daerah pedalaman khususnya

daerah kerajaan. Untuk itu banyak yang melakukan pemberontakan dengan

kedok Agama Islam yang dipimpin oleh para kiai/ ulama. Gerakan yang

dipelopori oleh para ulama/ kiai dalam Agama Islam merupakan simbol daya

tahan terhadap sistem kasta kolonial, sebagaimana sebelumnya telah menjadi

simbol bagi daya tahan sistem kasta Hindu. Gerakan yang dilakukan oleh para

kiai/ ulama ini tidak hanya sebatas di kota saja melainkan hingga sampai

daerah pedesaan diseluruh pelosok negeri, seperti yang dilakukan oleh

Pangeran Diponegoro dan diikuti oleh rakyat serta pengikutnya (Wertheim,

1999: 160-161).
BAB V

SIMPULAN

Dari uraian di atas dapat diambil simpulan, yaitu: Desa merupakan suatu

kesatuan hukum yang berada dalam suatu masyarakat, mempunyai kekuasaan

dan mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi karena, merupakan

kediaman masyarakat, terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat

kediaman sebagian dari masyarakat dengan tata cara hukum yang terpisah. Hal

itu, ialah satu kesatuan desa. Desa di Indonesia mempunyai istilah yang

berbeda-beda, seperti: pedukuhan, ampean, kampung, jantilan, empang dan

tambak.

Kadipaten Selomanik merupakan daerah yang dijadikan basis kegiatan

politik keagamaan pada masa kolonial pada tahun 1825-1830 yang ditandai

dengan Perang Jawa di Indonesia. Desa di Jawa sebagai pusat kegiatan politik,

pemerintahan, penyebaran Agama Islam, serta daerah pertahanan dan

keamanan pada masa kolonial di Indonesia. Pusat kegiatan dilakukan di desa-

desa seluruh Jawa. Di desa, terdapat berbagai kegiatan yang dipelopori oleh

pemuka Agama Islam yaitu kiai. Kiai mempunyai peranan tinggi dalam

masyarakat, yaitu sebagai peran elit. Peranan kiai dalam bidang, sosial, politik

agama, ekonomi mampu memberikan sumbangan dalam perubahan yang

terjadi di Jawa.

Perang Jawa dipelopori oleh Pangeran Diponegoro (1825-1830).

Perjungannya merupakan tonggak perjuangan rakyat yang melawan

pemerintahan, dan perjuangan para ulama di Jawa. Perang terjadi, dan

mencapai puncaknya pada tanggal 20 Juli 1825 yaitu sebagai awal dari

perlawanan rakyat untuk melawan pemerintah kolonial.

118
111
119

Perjalanan dimulai oleh Ki Ageng Selomanik (Kertawasesa II) yang

berhasil menyelamatkan diri dari ancaman musuh, hingga sampai di Desa

Selomanik, Wonosobo. Kertawasesa II, keturunan dari kerajaan Mataram di

Yogyakarta, merupakan pengikut Pangeran Diponegoro yang berhasil

meloloskan diri dari serangan pemerintah kolonial dan Patih Danurejo.

Kertawasesa II adalah orang yang setia terhadap tanah air dan bangsanya,

serta tidak mau hidup dalam gengaman penjajah kolonial. Politik dan tindakan

Patih Danurejo ditentang oleh Kertawasesa II, karena sikapnya yang memihak

pemerintah kolonial. Hal itu, sangat membahayakan kerajaan Mataram. Patih

Danurejo mengirim utusanya untuk menemui Kertawasesa II dirumahnya,

bahwa Kerawasesa II untuk segera menemui Patih Danurejo di kepatihan dan

segera menyerahkan diri kepada pemerintah kolonial, tetapi utusan itu

ditolaknya. Marahlah utusan Patih Danurejo, akhirnya terjadi perang. Adanya

peristiwa tersebut menyebabkan Kertawasesa II merasa tidak nyaman lagi

tinggal di Keraton Yogyakarta dan memutuskan untuk meninggalkan kota

tersebut, yang di ikuti oleh istri dan pengikutnya. Perjalanannya sampai di

Desa Selomanik.

Kertawasesa II menetap dan diangkat oleh rakyat untuk menjadi

seseorang yang diberi wewenang dalam menjalankan roda pemerintahan. Desa

Selomanik berkembang pesat dan ramai sebagai pusat Pemerintahan. Selain

menjadi kepala pemerintah, Kertawasesa II, membantu di Pondok Pesantren

Selomanik yang dipimpin oleh Kiai Ngalwi dari Tebuireng, Jawa Timur untuk

menjadi guru yang memberikan ilmu pengetahuan, di bidang ilmu keagamaan

kepada santri/muridnya. Para santri dilatih belajar ilmu keagamaan juga diajari

ilmu beladiri. Ilmu beladiri yang diberikan kepada para santri/muridnya


120

bertujuan untuk menjaga dirinya sendiri dari serangan musuh juga diangkat

menjadi prajurit pemerintah.

Kertawasesa II diangkat menjadi kepala pemerintahan Wonosobo. Pusat

kegiatan dilakukan di Pondok Pesantren Selomanik, kemudian mendirikan

kadipaten yang berpusat di Selomanik. Kertawasesa II dalam menjalankan

roda pemerintahan dibantu oleh Ki Demang yang akhirnya diangkat sebagai

penasehat, dan sebagai senopatinya diangkatlah Ki Butawereng. Kertawasesa

II menyandang gelar Tumenggung. Kertawasesa II kemudian menganti nama

menjadi Ki Ageng Selomanik yang disesuaikan dengan wilayah tempat

tinggalnya yaitu di Desa Selomanik, Wonosobo.

Ki Ageng Selomanik dalam menjalankan roda pemerintahanya

dilakukan di pondok pesantren sebagai pusat kegiatan, baik masalah

pemerintahan hingga sampai masalah politik, keagamaan, dan ekonomi yang

sedang berkembang serta masalah keamanan dan pertahanan. Desa Selomanik

sebagai pusat kegiatan politik yang dilakukan oleh pejabat pemerintah maupun

para pemuka agama untuk membahas tentang kegiatan politik keagamaan dan

menyusun starategi perang dalam menghadapi musuh.

Perkembangan desa sebagai basis kegiatan politik keagamaan membawa

perubahan pada masyarakat Desa Selomanik. Perubahan yang terjadi bersifat

fundamental. Perubahan tersebut membawa dampak diberbagai aspek

kehidupan masyarakat di Jawa, seperti perkembangan di bidang politik yaitu

adanya peranan kiai dalam masyarakat. Peran kiai sangat penting dalam semua

kegiatan yang berada di Kadipaten Selomanik, yaitu berpusat di pondok

pesantren. Kiai mempunyai kedudukan tinggi yaitu sebagai seorang pemimpin

dalam bidang agama. Kiai dalam menjalankan tugasnya untuk membuat

strategi dalam melawan penjajah kolonial. Sebuah organisasi dengan basis


121

komunitas santri, menyebabkan aktivitas yang terlibat dengan kegiatan politik.

Kegiatan yang dilakukan oleh para kiai berkaitan dengan gerakan sosial.

Kenyataannya gerakan sosial tidak bisa terlepas dari dinamika politik. Dengan

adanya tradisi Islam sebagai reverensi sebuah gerakan Islam yang mempunyai

kekuasaan yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Agama Islam sebagai alat

legitimasi terhadap kekuasaan dan sebagai sarana perjuangan untuk

menduduki struktur kekuasaan. Agama Islam sebagai sumber inspirasi kultural

dalam kerangka paradigma dalam pemikiran politik. Semua kegiatan politik,

agama, sosial budaya bahkan ekonomi dilakukan di desa-desa seluruh Jawa,

tetapi yang paling menonjol yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh para

pemimpin untuk melawan penjajah yang bercorak keagamaan Agama Islam

berkembang pesat di Kadipaten Selomanik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Buku:

Abdullah, Muhammad. 2006. Dekonstruksi Sastra Pesantren (Filologi,


Gender, Filsafat Dan Teologi Islam). Semarang: Fasindo.
Adas, Michael. 1988. Ratu Adil “Tokoh Dan Gerakan Millenarian Menentang
Kolonialisme Eropa”. Jakarta: Rajawali Press.

Adeng, dkk. 1995. Peranan Desa Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan:


Studi Kasus Keterlibatan Beberapa Desa Di Daerah Bandung Dan
Sekitarnya Tahun 1945-1949. Jakarta: DEBDIKBUD Direktorat
Jendral Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi Dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Antlov, Hans. 2001. Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan


Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Burger, D.H. 1962. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta: Pustaka


Jaya.

Caray, Peter. 2007. Asal Usul Perang Jawa Pemerontakan Sepoy Dan Lukisan
Raden Saleh. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.

Dellar, Noer.1982. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta:


LP3ES.

Dhofier, Zamachsyari. 1982. Tradisi Pesantren Tentang Pandangan Hidup


Kyai. Jakarta: LP3ES.

Djuliati, Suroyo. 2000. Eksploitasi Kolonial Abad XIX Kerja Wajib Di


Karesidenan Kedu 1800-1900. Yogyakaerta: Yayasan Indonesia.

Effendi, Bahtiar. 2002. Masyarakat Agama Dan Pluralisme Keagamaan”


Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani Dan Etos
Kewirausahaan”. Yogyakarta: Gilang Printika.

Gazalba, Sindu. 1995. Pesantren Sebagai Wahana Komuniasi. Jakarta: PT.


Rineke cipta.

Gazalba, Sidi. 1975. Dalam Masjid Sebagai Temapt Ibadat Dan Kebudayaan
Islam.

Geertz, Clifford. 1964. The Religion Of Java. London.

122
123

-------------------. 1976. Involusi Pertanian Proses Perubahan Ekologi Di


Indonesia. Jakarta: Bhratara.

-------------------. 1989. Abangan Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.


Jakarta: Pustaka Jawa.

-------------------. 2004. Agama Priyayi: Makna Agama Di Tangan Elite


Penguasa. Yogyakarta:-

Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia


Press.

Graff. 1949. De, Geschiedenis Van Indonesie ‘S Gravenhage. Bandung: N. V.


Uitgeverij W. Van Hoeve.

Hadikusumo, Hartono. 2003. Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa

Hayati, Chusnul. 2000. Peristiwa Cimareme Tahun 1919 Perlawanan H


Hasan Terhadap Peraturan Pembelian Padi. Semarang: Mimbar dan
Yayasan Adika.

Horikoshi, Hiroko. 1987. Kiai Dan Perubahan Sosial Terjemahan Umar


Gasalam. Jakarta: P3M.

Kartodirdjo, Sartono. 1981. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES


Anggota IKAPI.

Kartohadi, Hadikoesoemo. 1964. Desa. Bandung: Sumur.

Kasdi, Ammudin. 2003. Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa.


Yogyakarta: Jendela.

Khoerudin. 2005. Politik Kiai Polemik Keterlibatan Kiai Dalam Politik


Praktis. Jakarta: Salemba.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa (Seri Etnografi Indonesia No. 2).


Jakarta: Balai Pustaka.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kostof, Spiro. 1991. The City Assembled. London: Thames and Hutson.

Leiriza. 1981. Sejarah Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bagian Penerbit FIS


UI.
124

Maliki, Zainudin. 2000. Agama Rakyat Agama Penguasa: Konstruksi Tentang


Realita Agama Dan Demokratisasi. Yogyakarta: Yayasan Galang.

Maliki, Zainudin. 2004. Agama Priyayi ”Makna Agama Ditangan Elite


Penguasa”. Yogyakarta: Yayasan Galang.

Mangunsarkoro. 1951. Kebudayaan Rakyat. Jogja: Usaha Penerbitan


Indonesia NU.

Mark, R. Woodward. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normative Versus


Kebatinan. Yogyakarta: JKIS.

Masroer. 2004. The History Of Java Sejarah Perjumpaan Agama-Agama Di


Jawa. Jogyakarta: Ar-Ruzz.

Mawati, Djonet P. 1991. SNI Jilid IV. Jakarta: Depdikbud.

Miftahuzzaman. 2000. Solusi Krisis Islam Politik Atau Jamaah Islam. Solo:
CV. Aneka.

Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Antropologi Studi Agama Dan Pendidikan.


Semarang: Aneka Ilmu.

Moedjanto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa (Penerapan Oleh Raja-Raja


Mataram). Yogyakarta: Penerbit Kanisius Anggota IKAPI

Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara Dan Usaha-Bina Negara Di Jawa Pada


Masa Lampau (Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI-XIX).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, J. Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. 1998. Metode penelitian kualitatif. Yogyakarta: Rake


Sarasin.

Muhtarom, Zaini. 2002. Islam Di Jawa: Dalam Perspektif Santri Dan


Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah.

Muzadi, Muchit Abdul. 2006. NU Dalam Perspektif Sejarah Dan Ajaran


(Refleksi 65 Th Ikut NU). Surabaya: Khalista.

Nata, Abuddin dan Azyumadi Azra. 2001. Sejarah Pertumbuhan Dan


Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia.

Notosusanto, Nugroho. 1975. SNI V. Jakarta: Depdikbud.


125

Nurdiyanto, dkk. 2004. Kerusuhan Di Pekalongan, JATENG. Yogyakarta:


Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Kebudayaan Balai
Kajian Sejarah DIY.
Penadi, Radix. 1993. Menemukan Kembali Jatidiri Bagelen. Purworejo:
Lembaga Studi Dan Pengembangan Sosial Budaya.

Poewokoesoemo, Soedarisman. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Purwadi. 2005. Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro. Yogyakarta:


Tunas Harapan.

Rahardjo, Supratikno. 2005. Religi Dalam Dinamika Masyarakat. Banten:


Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Ranneft, Meyer. 1974. Laporan-Laporan Desa (Desa-Rapporten). Jakarta:


ARNAS RI.

Ricklefs, M. C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Pess.

------------------. 1974. Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, A


History Of The Division Of Java. London: Oxford University Press.

Ridwan. 2004. Paradigma Politik NU Relasi Sunni-NU Dalam Pemikiran


Politik. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.

Sagimun. 1965. Pahlawan Diponegoro Berjuang. Jakarta: Gunung Agung.

----------. 1960. Pahlawan Diponegoro Berjuang (Bara Api Kemerdekaan Nan


Tak Kunjung Padam). Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa/Urusan
Adat-Istiadat Dan Tjeritera Rakyat Djawatan Kebudayaan DCP.P.P.
dan K.

Sajogyo. 1982. Ekologi Pedesaan Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: CV.


Rajawali.

Simuh. 2003. Islam Dan Pergumulan Budaya Jawa. Bandung: TEKAJU.

-------. 1995. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistis Jawa.


Yogjakarta: Benteng Budaya.

-------. 1988. Mistis Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu


Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI Press.

Schricke, B.J.O. 1974. Penguasa-Penguasa Bumi Putra. Jakarta: Bhratara


126

Soemardjan, Selo. 1986. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Suhartono. 1989. Apanage Dan Bekel Perubahan Sosial Di Pedesaan


Surakarta ( 1830-1920). Yogyakarta: Disertasi UGM.

Suseno, Frans Magnis. 2001. Etika Jawa Sebuah Kajian Analisis Filsafati
Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Ummatin, Khoiro. 2002. Perilaku politik kiai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Offset.

Wertheim, 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi: Studi Perubahan


Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Zuhri, syaifudin, KH. 1981. Sejarah Kebangkitan Islam Di Indonesia.


Bandung: PT. Almaarif.

2. Skripsi:

Suryani.1998. Pengaruh Sistem Pemerintahan Kolonial Terhadap Penguasa


Pribumi Di Jawa 1800-1870. Semarang: IKIP Semarang.

3. Majalah, Surat Kabar, Televisi:

Penyebar Semangat tanggal 3 Maret 2007. Sejarah Wonosobo, oleh Siswo


Utomo.

Sejarah Rakyat Jawa Tengah ”Ki Ageng Selomanik”. 1983.

Silsilah Keluarga Ki Ageng Selomanik

Suara Merdeka, Senin 24 Juli 2006.

TVRI. 2007. Zazirah, Senin tanggal 5 Februari 2007

4. Internet:

http:/Dwiiiiii. 2007. Pos Metro Balikpapan online Tokoh-tokoh. 3/4/2007.


127

http:/Dwiiiiii. 2007. Suara Merdeka Kedu& DIY. 3/4/2007.

http:/id.wikipedia.org/wiki/Kadipaten, 2007.

http:/id.wikipedia.org/wiki/Kadipaten Paku Alaman, 2007.

5. Wawancara:

Khaerudin tanggal 24 Mei 2005

------------ tanggal 13 April 2005

------------ tanggal 7 November 2005

------------ tanggal 13 Februari 2007

------------ tanggal 14 Februari 2007

Sastro Diwirdjo tanggal 2 April 2007

Drs. Suroyo tanggal 13 Februari 2007

Ibu. Pramono (istri alm. Pramono) tanggal 5 Maret 2007

Drs. Sutoto tanggal 1 Juli 2007

H. Haryono tanggal 19 Maret 2007

H. Moeh. Supangat tanggal 19 Maret 2007

Yuwono tanggal 14 Februari 2007

You might also like