You are on page 1of 174

Dedikasi

Buku ini dipersembahkan bagi mereka yang terkena dampak gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Bagi mereka,
hidup telah berubah untuk selamanya, dan mereka pantas mendapatkan segala bentuk bantuan dan kasih sayang yang dapat diberikan oleh
masyarakat dunia agar dapat pulih kembali. Buku ini juga dipersembahkan untuk The International Coral Reef Initiative dan semua rekan
kerjanya, salah satunya pemerintah Amerika Serikat, yang bekerja melalui US Coral Reef Task Force. Kami juga ingin berterima kasih untuk
dukungan terhadap GCRMN yang diberikan oleh US Department of State dan US National Oceanographic and Atmospheric Administration.

Catatan: Kesimpulan-kesimpulan dan saran yang diberikan dalam buku ini tidak didukung secara khusus, ataupun mencerminkan,
pandangan dari berbagai organisasi yang telah mendukung produksi dari buku ini, baik dukungan pendanaan maupun isi.

Penelitian yang dilaporkan dalam buku ini berdasarkan analisa awal dari serangakaian data yang kompleks dan kebenarannya tidak bisa
diartikan mutlak untuk beberapa kasus. Institusi atau individu yang tertarik untuk menggunakan data-data dari hasil penelitian AIMS dan
segala konsekuensinya dapat menghubungi Kepala Institusi dengan alamat (Townsville) yang diberikan dibawah ini.

Sampul Depan: Terumbu karang yang terangkat oleh tsunami; Pulau Simeulue, Sumatra; Craig Shuman, Reef Check Foundation, Los
Angeles USA.

Sampul Belakang: Tinggi ombak maksimum dari tsunami 26 Desember 2004, berkisar antara 10-2 m yang ditunjukkan oleh warna
merah gelap, 1 m ditunjukkan oleh warna hijau/kuning, sampai tak berombak (warna biru): Alessio Piatensi, Istituto Nazionale di Geofisica
e Vulcanalogia, Rome, Italy. Peta disediakan oleh Reefbase dan World Fish Center. Kami ingin mengucapkan terima kasih ,khususnya
kepada Teoh Shwu Jiau.

Gambar yang terdapat pada halaman 30 dalam Bab 1 merupakan cetakan ulang, yang telah diizinkan, dari artikel dalam New Scientist pada
3 September 2005 berjudul ‘Tsunami waves shot along mid-ocean ridges’. Diambil dari www.newscientist.com, Ó New Scientist.

Gambar yang terdapat pada halaman 23 dalam Bab 1 merupakan hak cipta Ó dari Commonwealth of Australia, Geoscience Australia. Hak
Cipta Dilindungi. Dicetak ulang seizin CEO, Geoscience Australia, Canberra, ACT. Selain bentuk pemanfaatan yang diizinkan dalam
Copyright Act 1968, sebagian atau seluruh buku ini tidak dapat dicetak ulang dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari Geoscience
Australia. Permohonan dan pertanyaan mengenai hak dan reproduksi dapat dikirimkan kepada Manager Copyright, Geoscience Australia,
GPO Box 378, Canberra ACT 2601, atau melalui email kepada copyright@ga.gov.au.

Dua buah gambar yang terdapat pada halaman 51 dan 52 dalam Bab 3 dicetak ulang seizin dari Current Biology, Volume 15, Baird A,
Campbell SJ, Anggoro AW, Ardiwijaya RL, et al., Acehnese reefs in the wake of the Asian tsunami, halaman 1926-1930, Hak Cipta 2005,
dengan izin dari Elsevier Ltd.

© Australian Institute of Marine Science, 2006


Alamat Kantor:
Townsville, Queensland
PMB No. 3, Townsville MC Qld 4810
Telepon (07) 4753 4444
Fax (07) 4772 5852

Darwin, Northern Territory


PO Box 40197 Casuarina NT 0811
Telepon (08) 8920 9240
Fax (08) 8920 9222

Perth, Western Australia


PO Box 83, Fremantle WA 6959
Telepon (08) 9433 4440
Fax (08) 9433 4443

www.aims.gov.au

ISSN 1447-6185

Edisi Bahasa Indonesia: Penerjemahan, produksi, dan distribusi di Indonesia didukung oleh GCRMN, Yayasan KEHATI, UNESCO
Office Jakarta, Yayasan TERANGI, dan Grey WorldWide Indonesia. Diterjemahkan oleh Ayu Ratri Khairuna Ahza, Wasistini Baitoningsih
(UNESCO Office Jakarta, dan Putu Liza Kusuma Mustika (Praktisi Kelautan). Penyuntingan dalam Bahasa Indonesia oleh Safran Yusri
(Yayasan TERANGI). Pengkaji untuk Status Terumbu Karang Pasca Tsunami di Indonesia : Stuart Campbell (WCS-IP).

ii
DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH v


Co-Sponsor dan Pendukung GCRMN: vii
Pendahuluan 1
Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan, dan Saran 7
1. Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia 19
2. Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan
Sumber Daya Pesisir 33
3. Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004 45
4. Keadaan Terumbu Karang Pasca-Tsunami di Malaysia 61
5. Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand
Pasca-Tsunami 67
6. Keadaan Terumbu Karang di Myanmar: Evaluasi Pasca-Tsunami 83
7. Dampak Tsunami Tahun 2004 Pada Daratan Utama India Serta Kepulauan Andaman
dan Nikobar 89
8. Keadaan Terumbu Karang di Sri Lanka Setelah Tsunami 103
9. Status Terumbu Karang di Kepulauan dan Atol Maladewa Pasca-Tsunami 115
10. Status Terumbu Karang di Seychelles Setelah Tsunami pada Desember 2004 129
11. Status Terumbu Karang di Afrika Timur dan Arabia Selatan Pasca Tsunami 139
LAMPIRAN 1. ANJURAN BACAAN 147
LAMPIRAN 2. DAFTAR AKRONIM 151
Lembaga Sponsor, Program dan Jaringan Pemantauan Terumbu Karang 155

Catatan: Hanya sumber data utama dalam setiap bab disebutkan dalam buku ini; sejumlah laporan yang
tidak dicetak serta situs internet yang turut membentuk buku ini, tidak disebutkan secara
khusus. Informasi utama yang mendasari buku ini dapat diperoleh di lembaga-lembaga yang
turut membantu penyusunan buku ini atau dari Bacaan Anjuran (Lampiran I), terutama bab-
bab terbaru dalam CORDIO (2005) dan GCRMN (2004) pada halaman 151. Data dan informasi
yang didapatkan dari situs internet untuk buku ini diperoleh dalam kurun waktu Oktober
2005 sampai Februari 2006.

Dalam buku ini kata ‘tsunami’ digunakan secara tunggal maupun jamak. Tsunami secara
tunggal (dalam artian harfiah sebagai rangkaian gelombang) diartikan sebagai tsunami yang
disebabkan oleh gempa bumi hebat pada 26 Desember 2004, yang mengakibatkan pergerakan
sepanjang 1.300 kilometer pada garis patahan di sebelah utara Kepulauan Andaman. Kejadian
berantai ini telah menyebabkan munculnya serangkaian ‘ombak’, yang kemudian terpantul
oleh massa daratan dan paparan benua sehingga menciptakan pola gelombang kompleks yang
bertahan sampai beberapa jam. Penggunaan kata ‘tsunami’ secara jamak menjelaskan konsep
bahwa kerusakan yang timbul disebabkan oleh sejumlah ombak yang datang dari berbagai
arah, dan bukan hanya satu ombak yang besar.

iii
UCAPAN TERIMA KASIH

Banyak pihak yang membantu dalam pengumpulan informasi untuk buku ini, terutama ke-60 penulis dan
kontributor untuk ulasan per negara dan para ahli geologi yang menyederhanakan berbagai istilah ilmu
geomorfologi dan pergerakan lempeng tektonis yang kompleks bagi pembaca awam. Ucapan terima kasih
khusus ditujukan kepada Phil Cummins, David Garnett, Viacheslav Gusiakov, dan Kenji Satake.
Kontribusi-kontribusi dari mereka telah mempermudah penyatuan materi ke dalam format “Laporan
Status” (Status Report) GCRMN oleh editor. Pembaca dianjurkan untuk mendapatkan versi asli bahan-
bahan tersebut dan menghubungi para kontributor untuk keterangan selanjutnya. Tidak semua bahan
referensi disertakan; namun bahan referensi utama tercantum dalam setiap bab dan pada Bacaan Anjuran
di halaman 147. Kami mohon maaf jika beberapa referensi dan situs internet yang penting tidak disertakan.
Laporan ini secara resmi dicatat oleh Karenne Tun dan Marco Nordeloos ke dalam Reefbase, pusat data
terumbu karang internasional di The WorldFish Center, www.reefbase.org dan www.gcrmn.org. Kami
ingin mengucapkan terima kasih kepada David Garnett, Joanna Ruxton, Madeleine Nowak, dan Robin
South untuk kontribusi editorial yang sangat teliti yang telah mereka berikan. Kami pantas mengucapkan
banyak terima kasih kepada staf di AIMS, terutama tim Science Communication yang professional dan
ramah, Steve Clarke, Wendy Ellery, dan Tim Simmonds- terima kasih.

Beberapa bagian laporan ini sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Thailand dan untuk itu kami ingin
mengucapkan terima kasih kepada Cherdsak Virapat, yang dibantu oleh Thamasak Yeemin, Maitee
Duangsawadi, Cherchinda Chotiyaputta, dan Yves Henocque dalam memproduksi edisi tersebut.

Rekan kerja GCRMN yang telah membantu dalam laporan ini: Gregor Hodgson, membawa jaringan dan
sukarelawan dari Reef Check; Jamie Oliver, Marco Noordeloos, dan Karenne Tun menyediakan basis
ReefBase yang memastikan bahwa data GCRMN dapat diakses oleh seluruh dunia; dan Olaf Linden,
David Obura, David Souter, dan Jerker Tamerlander mengkoordinir program CORDIO (Coral Reef
Degradation in the Indian Ocean) yang telah menghasilkan dan mengorganisir sebagian besar informasi
mengenai dampak tsunami terhadap terumbu karang di Samudera Hindia. Para co-sponsor dari program
GCRMN telah menyediakan bantuan substansial, nasehat, dan dukungan: The Intergovernmental
Oceanographic Commission of UNESCO; United Nations Environment Programme (UNEP); IUCN – The
World Conservation Union; World Bank; the Convention on Biological Diversity; AIMS; WorldFish Center;
dan ICRI Secretariat, yang diselenggarakan bersama oleh Jepang dan Palau. Pihak–pihak tersebut bertemu
secara spontan, bersamaan dengan pertemuan ICRI agar dapat memberikan arahan kepada GCRMN.
Carl Gustaf Lundin mengepalai Kelompok Manajemen GCRMN dan Bernard Salvat mengepalai Dewan
Penasehat Sains dan Teknis GCRMN. Beliau membantu dalam naskah dan memberikan saran untuk
format dan struktur laporan. Kami mengucapkan terima kasih kepada mereka sekalian.

Dukungan utama untuk GCRMN didapatkan dari Department of State Amerika Serikat, the National
Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA) dan the Australian Institute of Marine Science
(AIMS); UNEP di Cambridge dan Nairobi menjadi administrator pendanaan. Tanpa dukungan dari
mereka tidak akan pernah ada koordinasi secara global ataupun laporan- terima kasih. Dana untuk
mencetak laporan ini berasal dari: Pemerintah Amerika Serikat (Department of State dan NOAA); the
Australian Agency for International Development (AusAID); IUCN - The World Conservation Union; the
United Nations Environment Programme (UNEP); WWF International; IOC - UNESCO; Kementerian

v
Lingkungan Hidup dan Biro Pelestarian Lingkungan Jepang; dan CRC Reef Research Center for the Great
Barrier Reef. Melalui bantuan mereka, kami dapat menyediakan buku ini secara gratis kepada masyarakat
dunia yang bekerja untuk melestarikan terumbu karang, yang sering kali secara sukarela.

vi
CO-SPONSOR DAN PENDUKUNG GCRMN:

Kelompok Manajemen GCRMN


IOC-UNESCO –Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO
UNEP – United Nations Environment Programme
IUCN – The World Conservation Union (Ketua)
The World Bank, Environment Department
Convention on Biological Diversity
AIMS – Australian Institute of Marine Science
WorldFish Center, dan ReefBase
Sekretariat ICRI – Pemerintah Jepang dan Palau
GCRMN Scientific and Technical Advisory Committee.

Rekan Kerja Operasional GCRMN


Reef Check Foundation, Los Angeles
Reef Base, WorldFish Center, Penang
CORDIO – Coral Reef Degradation in the Indian Ocean, Swedia, dan Sri Lanka.
World Resources Institute, Washington DC
NOAA – Socioeconomic Assessment group, Silver Springs.

Pendukung Utama Finansial GCRMN


The Government of the USA, melalui the US Department of State dan
NOAA – National Oceanographic and Atmospheric Administration
AIMS – Australian Institute of Marine Science
UNEP – United Nations Environment Programme via rekanan pendanaan USA.

Pendukung Finansial buku ‘Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak
Tsunami 2005.
US Department of State, Washington DC, USA bekerja sama dengan Sekretariat ICRI – Pemerintah Palau
dan Jepang
NOAA – National Oceanographic and Atmospheric Administration, Silver Springs Maryland USA
AusAID - Australian Agency for International Development
UNEP – Regional Seas, dan GPA Coordination Office, The Hague, The Netherlands
IUCN – the World Conservation Union, Gland Switzerland
WWF – Europe
IOC-UNESCO - Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO;
CRC Reef - Cooperative Research Centre for the Great Barrier Reef, Townsville Australia
Nature Conservation Bureau, Ministry of the Environment, Tokyo, Japan
IOI – International Ocean Institute

Pihak Pengasuh GCRMN


AIMS – Australian Institute of Marine Science
ReefBase di WorldFish Centre, Penang
CRC Reef Research Centre Ltd
IMPAC- International Marine Project Activities Centre Ltd.

vii
PENDAHULUAN

Rangkaian gelombang tsunami yang berlangsung pada 26 Desember 2004 terjadi secara mengejutkan
dan merupakan hal baru bagi kebanyakan masyarakat yang terkena musibah tersebut di wilayah Samudera
Hindia. Kejadian tersebut berlangsung tanpa peringatan pada hari dengan cuaca cerah; sehingga banyak
masyarakat setempat dan wisatawan yang berada di pantai berjalan diatas rataan terumbu pada saat air
laut menyurut agar dapat mengamati alam yang biasanya tersembunyi. Dalam beberapa menit saja,
serangkaian gelombang kuat datang menyapu mereka dan menghempas daratan. Rangkaian tsunami
tersebut mengakibatkan lebih dari 250.000 orang meninggal dunia atau hilang serta rusaknya infrastruktur
dan sumberdaya pesisir. Dalam buku ini, yang menjadi pusat perhatian kami adalah dampak yang menimpa
sumber daya alam pesisir, terutama ekosistem terumbu karang dan yang terkait, serta tanggapan yang
dikeluarkan dunia internasional. Namun demikian, kami tidak dapat memungkiri bahwa dampak yang
jauh lebih membekas terjadi pada kehidupan masyarakat wilayah setempat dan dunia.

Sesungguhnya tsunami bukan merupakan hal baru, karena terdapat sejarah panjang tentang tsunami
dan gempa bumi yang pernah terjadi di Samudera Hindia (seperti yang terangkum dalam Bab 1, halaman
19). Sejarah ini tertanam secara mendalam pada cerita rakyat dan budaya masyarakat adat; yang berlari
ke daratan tinggi sebelum gelombang-gelombang datang; sayangnya, masyarakat yang menjadi korban
jiwa, tidak memiliki pengetahuan megenai dampak gempa bumi dan tsunami.

Kejadian tsunami mengejutkan berbagai institusi nasional, internasional, dan juga media, karena tidak
pernah terjadi tsunami di negara-negara ini dalam catatan sejarah kurun waktu terakhir. Disamping itu,
gempa berlangsung pada hari minggu pagi saat sebagian besar masyarakat dunia sedang memperingati
hari raya Natal. Hal tersebut juga mengakibatkan berita-berita awal mengenai tsunami kurang
menggambarkan dampak dan seluruh kerusakan yang terjadi, dan tertundanya kebanyakan respon baik
nasional maupun internasional. Namun sejalan dengan penyampaian berita mengenai tsunami yang
semakin lengkap, respon dari berbagai pihak mulai menguat dan tidak sedikit orang yang kembali dari
masa libur mereka untuk membantu dalam usaha-usaha pemulihan. Buku ini telah disusun agar dapat
menghimpun dan mensintesa hasil-hasil evaluasi kerusakan terumbu karang yang dilakukan terhadap
wilayah yang terkena tsunami untuk para pembuat kebijakan, dan juga untuk menyimpulkan beberapa
respon yang terjadi. Paragraf-paragraf berikut ini mengangkat beberapa respon terhadap tsunami yang
diberikan oleh lembaga-lembaga dan pemerintahan yang mendukung penulisan laporan ini.

Amerika merespon secara cepat terhadap musibah tersebut melalui upaya pemulihan skala besar dan
program bantuan kemanusiaan (senilai US$ 237 juta) yang dipimpin oleh U.S. Agency for International
Development (USAID) bersamaan dengan angkatan bersenjata Amerika. Selang beberapa minggu setelah
musibah terjadi. Sebuah program pemulihan dan rehabilitasi senilai US$ 630 juta telah dirancang dan
diimplementasikan di India, Indonesia, Maladewa, Thailand, dan Sri Lanka. Di Thailand, contohnya,
USAID Regional Development Mission/Asia mendukung sebuah program bernama Sustainable Coastal
Livelihoods (Mata Pencaharian yang Berkelanjutan di daerah Pesisir) yang membantu masyarakat dalam
memulai kembali serta menciptakan keragaman sumber penghidupan, seiring dengan usahanya
meningkatkan kapasitas lembaga pemerintahan dalam merencanakan dan mengkoordinir upaya
rekonstruksi. Program ini mendemonstrasikan peranan penting lingkungan dan alam dalam pencegahan

1
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

ancaman bencana pesisir di masa depan dan memaksimalkan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk
mendapatkan penghasilan di sepanjang Laut Andaman. Pembelajaran (lessons learned) yang didapatkan
akan dibagi dalam lokakarya regional kepada sesama negara yang terkena dampak tsunami. Disamping
itu, Amerika Serikat mendonasikan US$ 17 juta sebagai suatu bentuk dukungan strategis untuk
pengembangan sistem peringatan dini multi-bencana bersama IOC-UNESCO dan komunitas donor
internasional. USAID memimpin kontribusi ini dan berkolaborasi dengan National Atmospheric
Administration (NOAA), U.S. Geological Survey, U.S. Forest Service, dan U.S. Trade and Development
Authority.

Tsunami Samudera Hindia merupakan tragedi luar biasa yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia
pada wilayah berpenghuni dimana kehidupannya sangat bergantung pada hasil laut. Pemerintah Australia
menanggapi dengan cepat terhadap kebutuhan akan bantuan, dengan mengirimkan regu bantuan beserta
logistik yang amat dibutuhkan pada daerah bencana agar dapat mendukung upaya penanggulangan
darurat dan bantuan kemanusiaan yang dikerahkan lembaga domestik maupun internasional. Lembaga
bantuan luar negeri Australia, AusAID, bertugas mengkoordinir upaya tersebut bersama dengan lembaga
pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Untuk membantu pemulihan masyarakat,
Australia mengkontribusikan lebih dari US$ 750 juta sebagai dana pembangunan tambahan untuk
Indonesia, termasuk US$ 20 juta untuk Aceh; US$ 16 juta kepada Sri Lanka; US$ 12,5 juta kepada
Thailand; dan US$ 2,5 juta kepada Kepulauan Maladewa dan Seychelles. Disamping bantuan dana,
kehadiran tenaga ahli dari Australia terbukti bermanfaat dalam upaya rehabilitasi. Dengan bekal sebagai
pengelola lokasi World Heritage terbesar di dunia, pengetahuan yang dimiliki oleh lembaga seperti
Pengelola Taman Nasional Great Barrier Reef membantu dalam mengevaluasi kesehatan dan pemulihan
kembali ekosistem laut yang vital bagi kehidupan pesisir. Perekonomian pesisir dan perikanan mulai
dibangun kembali, dan wisatawan tertarik untuk menjelajahi keindahan alam wilayah tropis. Hal yang
cukup penting, upaya untuk menjalin kerjasama yang erat dengan pihak terkait dalam satu wilayah terus
dilakukan Australia agar dapat memperkuat sistem peringatan dini tsunami Pasifik dan mengembangkan
sistem peringatan tsunami di Samudera Hindia untuk berjaga-jaga jika terjadi bencana serupa di masa
mendatang.

Pemerintah Jepang mengirimkan regu investigasi ke negara-negara yang terkena tsunami pada bulan
Januari dan Februari 2005 agar dapat mengidentifikasi segala keperluan yang mendesak untuk rekonstruksi
dan bantuan kemanusiaan, termasuk dari segi lingkungan. Kementrian Lingkungan Hidup menerbitkan
buku ‘GCRMN Status of Coral Reefs in East Asia Seas Region: 2004’ yang memasukkan status per negara
secara lengkap di dalamnya, dan menambahkan satu bab mengenai evaluasi cepat pasca-tsunami,
bekerjasama dengan WorldFish Center dan para koordinator masing-masing negara GCRMN di wilayah
tersebut. Jepang dan Palau sebagai tuan rumah gabungan Sekretariat ICRI, mulai Juli 2005 sampai Juni
2007, telah mencetuskan diskusi mengenai pemeriksaan pasca-tsunami dan juga tindakan pencegahan
dan pemulihan bencana mengenai terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya dalam forum ICRI.

Segera setelah terjadi tsunami, UNDP mengirimkan tenaga ahli ke Indonesia, Sri Lanka, Maladewa, dan
Thailand, dan tak lama kemudian ke Seychelles dan Yaman. Dengan sistem pemeriksaan cepat (rapid
assessment), aspek-aspek lingkungan penting yang membutuhkan perhatian segera teridentifikasi serta
diikuti dengan pengamatan kondisi lanjutan yang lebih detil, telah memandu proses pemulihan. Disamping
kegiatan pengamatan kondisi, UNEP menjalin kerjasama erat dengan pemerintah negara-negara yang
terkena tsunami agar dimensi lingkungan dari bencana dapat tercakupi melalui bantuan teknis, konsultasi,
pengembangan kapasitas (capacity building), pembentukan jaringan, dan menjalankan pilot projects.
Pada bulan Februari 2005, UNEP mengorganisir sebuah konferensi di Cairo, Mesir, yang melibatkan para
ahli dari negara yang terkena tsunami dan badan-badan pendukung internasional. Konferensi ini

2
Pendahuluan

membuahkan 12 prinsip panduan untuk rehabilitasi dan pengelolaan zona pesisir yang mendukung
pengembangan pesisir berkelanjutan (www.gpa.unep.org/tsunami/). Setelah itu, pada tahun 2006, World
Conservation Monitoring Center (WCMC) UNEP bekerjasama dengan International Coral Reef Action
Network (ICRAN) dan World Conservatin Union (IUCN) menerbitkan ‘In the front line: Shoreline protection
and other ecosystem services from mangroves and coral reefs’: sebuah laporan yang mengkaji peranan
ekosistem mangrove dan terumbu dalam menyangga dampak dari bencana alam (http://www.unep-
wcmc.org/resources/PDFs/In_the_front_line.pdf). UNEP menjunjung tinggi upaya dalam memperkuat
pengetahuan teknis dan terus bekerjasama dengan rekan-rekan dari berbagai institusi agar dapat
mengidentifikasi dan mengembangkan praktik-praktik yang baik dalam pengelolaan zona pesisir untuk
mitigasi dampak bencana. Upaya tersebut, dan juga buku ini, akan membantu dalam mengukuhkan
pemahaman yang kuat dari aspek lingkungan sebuah bencana, yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
keputusan dalam pengelolaan lingkungan, pemulihan, dan mitigasi dampak bencana.

Lembaga Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) UNESCO memiliki 134 negara anggota
dan ikut terlibat dalam hal tsunami dan terumbu karang dunia. Pusat informasi tsunami international
(International Tsunami Information Center/ITIC) milik IOC memelihara dan mengembangkan hubungan
kerja dengan lembaga penelitian dan ilmu pengetahuan, lembaga pertahanan sipil, dan juga dengan
khalayak ramai dengan misi agar dapat memitigasi bahaya yang dapat terjadi akibat tsunami dengan
memperbaiki kesiapan masyarakat. Berpijak dari pengalamannya dalam mengembangkan sistem peringatan
dini tsunami untuk wilayah Samudera Pasifik, IOC kini memimpin dalam upaya pengembangan sistem-
sistem peringatan tsunami international bagi ke-28 negara yang tergabung dalam Intergovernmental
Coordination Group untuk Samudera Hindia (ICG/IOTWS), juga untuk laut di Karibia dan sekitarnya,
Laut Atlantik bagian timur laut, Laut Mediterania dan sekitarnya. Di tahun 2005, IOC telah membuat
penilaian kapasitas per negara untuk membangun sistem peringatan dini dan persyaratan yang belum
dipenuhi bagi wilayah Samudera Hindia, serta sedang membuat rancangan rencana implementasi
berdasarkan temuan tesebut. Sementara itu, Pusat Peringatan Tsunami Pasifik di Honolulu, Hawaii dari
NOAA menyediakan data untuk cakupan Samudera Hindia sampai akhir tahun 2007. Buku ini diluncurkan
dalam pertemuan IOC/WESTPAC di Phuket, Thailand, pada Februari 2006 untuk mengumpulkan
perhatian terhadap pentingnya sistem peringatan dini tsunami tingkat dunia, yang menjadi salah satu
tugas utama dari IOC.

Lembaga Dunia Pemantau Bumi dan Mitigasi Ancaman Gempa Bumi (The World Agency of Planetary
Monitoring and Earthquake Risk Reduction) langsung meluncurkan penelitian untuk memprakirakan
tinggi gelombang tsunami di seluruh dunia, disamping perhitungan waktu tempuh yang telah dihitung
pada saat tsunami berlangsung. Penelitian yang diselenggarakan atas kerjasama dengan Akademi Ilmu
Pengetahuan Rusia (Russian Academy of Sciences) tersebut dilakukan untuk mendata tingkat kerusakan
di wilayah Samudera Hindia dan mendukung pengembangan sistem peringatan dini yang tepat guna.
Model-model yang didapatkan digunakan untuk memperkirakan dampak tsunami di masa yang akan
datang.

IUCN, atau Persatuan Konservasi Dunia, menanggapi bencana tsunami dengan kegiatan jangka pendek
dan jangka panjang. Sebagai tanggapan langsung, IUCN berkolaborasi dengan organisasi-organisasi
internasional dalam pendistribusian bantuan, dan mendirikan program-program pembersihan terumbu
dan pantai pasca-tsunami. Anggota IUCN dan rekan kerja institusional dalam wilayah tersebut, bersama
dengan program CORDIO (Coral Reef Degradation in the Indian Ocean) yang didanai Swedia, memberikan
informasi dan data pengamatan aktual tentang kerusakan lingkungan daratan dan ekosistem pesisir serta
lautan, begitu juga informasi mengenai dampak tsunami terhadap ekonomi dan kehidupan masyarakat
lokal di wilayah Samudera Hindia. Sebagai suatu bentuk dukungan, IUCN mendirikan kantong dana

3
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

pemulihan, dan secara cepat mengirimkan regu-regu untuk melakukan pengamatan kondisi bawah air ke
negara-negara yang terkena tsunami. Kini IUCN terus menjalani peranan kunci dalam pemulihan dan
restorasi jangka panjang, dengan mendata kerusakan ekologis, dan mengutamakan tindakan dan
mengimplementasikan program-program rehabilitasi untuk sumber daya alam dan ekosistem yang terkana
dampak di wilayah tersebut. Upaya pengembangan suatu rencana respon strategis menunjukkan komitmen
IUCN dalam mendukung proses-proses pasca-tsunami. Cara terbaik untuk membuat suatu perubahan
adalah dengan memastikan bahwa pelajaran-pelajaran yang ada telah diserap dan diterapkan dalam
proses rehabilitasi dan rekonstruksi agar perkembangan di masa mendatang mengurangi kerentanan
terhadap bencana alam. Pelajaran-pelajaran tersebut dapat diterapkan untuk bencana alam lainnya
(seperti badai, banjir, gempa bumi) sehingga mengurangi kerusakan dan penderitaan masyarakat.

Setelah terjadi tsunami di Samudera Hindia, Jaringan WWF, dengan bantuan dari donor-donor setia,
bekerja untuk mendata kerusakan lingkungan, merehabilitasi perlindungan pesisir alami seperti terumbu
karang dan mangrove, dan memperkenalkan teknik budidaya udang yang terkini dan ramah lingkungan
di Indonesia, yang berpotensi untuk menyebar ke negara-negara lainnya yang terkena dampak tsunami.
WWF merespon terhadap tsunami dengan memfasilitasi perkembangan program ‘Green Reconstruction
Giudelines’, atau ‘Panduan Rekonstruksi Hijau’, di Indonesia. Berdasarakan panduan ini dan bantuan
teknis pada tingkatan nasional, WWF menyediakan pengarahan dalam bidang lingkungan terhadap
kantor Utusan Khusus PBB (UN Special Envoy), pemerintahan dan LSM, dan telah mengembangkan
kerjasama internasional dengan sektor bantuan bencana, berperan sebagai pembina khusus lingkungan
bagi Palang Merah Amerika dan World Vision. Dengan peranan tersebut, WWF telah menjawab kebutuhan
pasca-tsunami dan mendukung berdirinya sistem pengelolaan sumber daya alam yang begitu penting
terhadap kesehatan ekologis dan kesejahteraan manusia jangka panjang yang saling terkait.

Rangkaian tsunami yang telah terjadi memang tidak dapat dihindari, namun kita dapat menyadari
bahwa jumlah korban jiwa dan sebagian dari kerusakan bangunan bisa dihindari jika terdapat suatu
sistem peringatan dini yang berfungsi seperti yang terdapat di wilayah Pasifik, dan jika telah terdapat
perencanaan dan pengelolaan zona pesisir yang lebih baik. Buku ini menyoroti dampak yang ditimbulkan
gempa bumi dan tsunami terhadap terumbu karang di Samudera Hindia dan ekosistem lainnya seperti
hutan mangrove dan hamparan lamun. Tak lama setelah berita mengenai tsunami muncul, sejumlah
orang yang terlibat dalam GCRMN, ReefBase, ReefCheck, dan CORDIO mulai mendata terumbu dan
menginisiasi program-program pembersihan puing-puing sampah. Buku ini diproduksi setelah terdapat
permintaan dari International Coral Reef Initiative dan lembaga rekanan agar dapat mengumpulkan data-
data kondisi terumbu karang yang terpencar ini menjadi satu volume. ICRI meminta kepada GCRMN,
ReefBase di WorldFish Center, Reef Check, dan CORDIO untuk menggabungkan sumber daya mereka
agar menghasilkan buku ini sehingga dapat diluncurkan di Phuket pada Februari 2006.

Kita pantas memberikan tepuk tangan untuk kerja keras dan dedikasi dari berbagai pihak diatas dalam
mengumpulkan rekaman data yang berharga dari tsunami-tsunami 26 Desember 2004. Dari sebuah
bencana, datanglah kesempatan untuk membangun kembali kehidupan manusia, harapan, dan masa
depan yang lebih baik dengan bekerjasama dengan individu-individu di seluruh wilayah Samudera
Hindia.

4
Pendahuluan

Kami mempersembahkan buku ini untuk Anda.

Teresa Gambaro, Sekretaris Parlemen untuk Menteri Luar Negeri, Australia

Veerle Vanderwerd, Kepala, Regional Seas, Coral Reefs & Small Island Developing States Programmes, UN
Environment Programme

Carl Gustaf Lundin, Kepala, Global Marine Programme, IUCN- The World Conservation Union & Chair,
GCRMN Management Group

Chris Hails, Direktur Program, WWF International

Patricio Bernal, Sekretaris Eksekutif, Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO

Munehiro Abe & Youlsau Bells


Jepang- Palau, Ketua bersama, International Coral Reef Initiative Joint Secretariat.

5
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

6
RINGKASAN EKSEKUTIF, KESIMPULAN,
DAN SARAN

CLIVE WILKINSON, DAVID SOUTER, DAN JEREMY GOLDBERG

ABSTRAK
Penemuan-penemuan utama dari ke-60 penulis dan kontributor untuk buku “Status Terumbu Karang di
Negara-negara yang Terkena Tsunami: 2005” sebagai berikut:

Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar di lepas Sumatra dan serangkaian gempa
berikutnya di Kepulauan Andaman dan Nikobar mengakibatkan gelombang-gelombang tsunami
yang terjadi secara simultan dan menyebar ke berbagai penjuru Samudera Hindia;
Gelombang-gelombang tsunami tersebut datang dengan kekuatan yang dahsyat melewati terumbu
karang dan menghantam daratan, yang mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan yang amat
banyak;
Kerusakan pada terumbu karang di Samudera Hindia tidak merata, bergantung pada lokasinya dan
kondisi lingkungan setempat seperti bathimetri pesisir dan kerusakan pada daratan dan;
Sebagian besar kerusakan yang terjadi pada terumbu karang merupakan akibat dari terlemparnya
sedimen dan patahan karang oleh ombak, dan penyelimutan dari puing-puing yang tersapu dari
daratan;
Kerusakan terumbu karang yang paling tinggi terjadi di Indonesia, Thailand, Kepulauan Andaman
dan Nikobar, dan Sri Lanka, sementara kerusakan paling ringan terjadi di negara-negara yang terletak
lebih jauh dari sumber tsunami karena energi dari gelombang telah redam;
Namun demikian, sebagian besar terumbu karang pada wilayah ini luput dari kerusakan parah dan
akan pulih secara alami dalam kurun waktu 5-10 tahun jika pengelolaan yang tepat guna
diimplementasikan agar mengurangi kerusakan antropologis;
Sejumlah kecil terumbu karang mengalami kerusakan parah dan mungkin membutuhkan waktu
lebih dari 20 tahun agar dapat pulih kembali; dan mungkin yang tumbuh tidak seperti bentuk
semula;
Ancaman utama terhadap terumbu karang Samudera Hindia sampai saat ini masih berasal dari
kegiatan manusia, seperti penangkapan berlebih, penebangan hutan, dan perubahan iklim. Hal-hal
tersebut jauh lebih merusak terumbu karang daripada tsunami;
Setelah tsunami terjadi, masyarakat setempat melakukan pembersihan pantai secara terorganisir
dan kegiatan pembersihan lainnya, agar dapat memperkecil kerusakan pada terumbu karang dari
puing-puing;
Terumbu karang telah berhasil menyerap energi dari tsunami, sehingga daratandibelakangnya
kemungkinan terlindungi, namun demikian, mangrove dan vegetasi pantai menyediakan
perlindungan terbesar bagi infrastruktur daratan dan kemungkinan mengurangi korban jiwa di wilayah-
wilayah ini;

7
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Kerusakan hutan mangrove berkisar dari kerusakan ringan, dibanyak tempat, hingga kerusakan
hutan menyeluruh di tempat lain, seperti di Propinsi Aceh;
Padang lamun secara umum tidak terpengaruh, namun terdapat beberapa wilayah yang terangkat
atau terselimuti oleh sedimen; dan
Saran utama yang diajukan adalah: pendirian sistem peringatan dini; peningkatan kapasitas dalam
pengelolaan pesisir terpadu; memperbaiki pengelolaan perikanan dan pemantauan terumbu karang;
penetapan lebih banyak kawasan perlindungan; perbaikan dan rehabilitasi kerusakan akibat tsunami
secara seksama; dan pengembangan kebijakan kelautan yang lebih kokoh.

SUMBER LAPORAN
Laporan dampak tsunami 26 Desember 2004 terhadap terumbu karang Samudera Hindia ini
mengumpulkan dan meringkas berbagai laporan dan pendataan kerusakan terumbu karang menjadi satu
volume dan juga menjadikan temuan-temuannya, terutama saran-saranya, tersedia bagi para pembuat
kebijakan dan masyarakat setempat. Tsunami terjadi 16 hari setelah laporan berjudul Status of Coral
Reefs of the World: 2004 (Keadaan Terumbu Karang Dunia: 2004) diterbitkan di Washington D.C. Para
pihak yang bekerjasama dalam International Coral Reef Inintiative meminta kepada Global Coral Reef
Monitoring Network yang bekerjasama dengan Reef Check, ReefBase, dan program CORDIO (Coral Reef
Degradation in the Indian Ocean) agar memperbaharui laporan tersebut dengan menitikberatkan pada
negara-negara yang terkena tsunami, dan menyusun saran-saran untuk memitigasi bencana yang serupa
di masa mendatang.

Gempa bumi primer yang terjadi merupakan gempa terbesar dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.
Gempa bumi ini, yang berkekuatan antara 9,15 sampai 9,3, bersumber sekitar 30 km dibawah kerak
bumi, di lepas pantai Sumatra, Indonesia. Gempa ini melepaskan sebuah reaksi berantai dengan patahan
sepanjang 1.200 km pada garis lempeng yang menuju arah utara melalui Kepulauan Andaman dan
Nikobar sehingga mengakibatkan rangkaian gempa sekunder. Keseluruhan energi yang dilepaskan setara
dengan sebuah bom berkekuatan 100-gigaton, 1.500 kali lebih kuat dari bom nuklir yang pernah dledakkan,
dan 100 kali lebih kuat dari gempa bumi di San Francisco pada 1906. Gempa-gempa ini mengakibatkan
penurunan dan kenaikkan dasaran laut yang amat besar dan memindahkan lebih dari 30 kilometer kubik
air laut. Ombak-ombak tsunami yang mengikutinya merupakan yang paling parah dalam sejarah: antara
229.000 sampai 289.000 manusia kehilangan nyawa, dan perkiraan kerusakan infrastruktur wilayah
melebihi beberapa trilliun dolar. Dampak bencana ini tidak ada tandingannya dalam era modern ini, dan
menyebabkan gangguan perekonomian pada negara-negara di wilayah Samudera Hindia dan gangguan
yang parah namun bersifat jangka pendek untuk industri pariwisata, sektor industri primer dan sekunder.

Menyusul bencana ini, terdapat kekhawatiran di masyarakat, ilmuwan, pemerintah, dan LSM lokal serta
internasional akan dampak tsunami terhadap terumbu karang. Hal ini menjadi sangat penting karena
peranan yang dimiliki oleh terumbu karang dalam menyediakan sumber makanan dan pendapatan bagi
jutaan orang. Terjadi reaksi yang cukup cepat di kebanyakan negara, yang dibantu oleh lembaga PBB,
LSM, dan oleh mitra-mitra ICRI dan GCRMN untuk mendata kerusakan dan juga membersihkan puing-
puing dari terumbu, sehingga mencegah kerusakan lebih lanjut. Pendataan-pendataan tersebut tergabung
dalam laporan ini.

Ringkasan Eksekutif memberikan kajian singkat mengenai:

rangkaian peristiwa yang mengakibatkan gempa bumi dan tsunami;


bagaimana perbandingan dampak tsunami terhadap faktor tekanan alami dan antropologis lainnya;

8
Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

dampak dari tsunami Samudera Hindia pada terumbu karang dan ekosistem lainnya (di bab per
negara); dan
saran-saran untuk pembuatan kebijakan dan kegiatan rekonstruksi untuk memastikan pemulihan
yang berkelanjutan dari ekosistem alamiah.

RANGKAIAN GEMPA BUMI DAN TSUNAMI SAMUDERA HINDIA


Tidak terdapat satu pun belahan dunia yang tidak tersentuh akibat rangkaian gempa bumi dan tsunami
yang terjadi pada 26 Desember 2004. Asal-usul tsunami ini dapat dilacak sejauh pemisahan benua super
Gondwanaland beberapa juta tahun yang lalu. Lempeng tektonik Hindia dan Australia yang sangat besar
bergerak ke utara tepatnya dengan kecepatan 6 cm per tahunnya dan menabrak kontinen super Eurasia,
sehingga mengakibatkan titik-titik bertekanan dimana lempeng ini bergesekan turun dibawah lempeng
Eurasia. Jumlah energi yang luar biasa terakumulasi sepanjang puluhan sampai ratusan tahun,
mengakibatkan lempeng tersebut tertekan dan mengalami perubahan bentuk. Energi ini dilepaskan
dalam bentuk gempa bumi ketika ikatan friksi terlepas; gempa bumi yang lebih besar dapat merubah
bentuk dasar laut secara vertikal dan menimbulkan gelombang tsunami.

Sebuah tsunami diartikan sebagai ‘fenomena alam yang terdiri atas serangkaian gelombang yang dipicu
ketika massa air dipindahkan dalam waktu singkat dalam jumlah yang sangat besar’. Tsunami termasuk
salah satu bencana alam yang sangat mengerikan karena dapat berasal dari kejadian yang letaknya
sangat jauh dan terjadi tanpa peringatan. Tsunami memiliki panjang gelombang yang tergolong panjang
dan bergerak sangat cepat menempuh jarak yang jauh, sementara energi yang hilang hanya sedikit. Oleh
sebab itu, sulit untuk mendeteksi tsunami dari kapal laut atau udara, meski radar satelit dapat mendeteksi
perubahan-perubahan kecil dalam ketinggian laut yang menandakan tsunami. Saat tsunami mendekati
perairan dangkal, kecepatan gelombang menurun tetapi enerinya hanya berkurang sedikit, sehingga
tinggi gelombang meningkat, dan gelombang dapat menerobos jauh ke daratan serta menimbulkan
kerusakan infrastruktur dan vegetasi pesisir yang parah.

Gempa bumi pada 26 Desember membebaskan tekanan sangat besar yang telah terakumulasi di lepas
Sumatera bagian utara, dimana Lempeng Hindia dan Australia terdorong ke atas dan kemudian meluncur
ke bawah Lempeng Eurasia.. Episentrum permukaan terletak di dekat Pulau Simeulue yang kini terlihat
jelas akibat daratan yang terangkat setinggi 2-3 meter pada bagian utara pulau, sementara bagian selatan
pulau tersebut menurun dengan jumlah yang serupa. Tekanan yang terbebaskan saat terjadi gempa bumi
primer, mentransfer energi sepanjang garis patahan ke arah timur laut antara lempeng Hindia dan Eurasia,
sehingga mengakibatkan serangkaian gempa bumi yang mencapai kekuatan 7,5 melalui Kepulauan
Andaman dan Nikobar selama 8 menit berikutnya. Gempa-gempa ini melepaskan tekanan yang terdapat
pada sub-lempeng Burma dan mengangkat bagian utara Kepulauan Andaman sebanyak 1-3 m, sementara
bagian selatan Kepulauan Nikobar menurun dengan jumlah yang setara.

Oleh sebab itu, kerusakan yang diakibatkan pada 26 Desember tidak disebabkan oleh satu rangkaian
gempa bumi-tsunami, melainkan karena serangkaian tsunami yang terbentuk ketika bagian-bagian besar
sub-lempeng Sumatra dan Burma (dari Lempeng Eurasia) terangkat atau menurun. Tsunami ini kemudian
menyebar mengelilingi Sumatra, ke arah timur menuju Thailand dan Malaysia, dan ke arah barat menuju
India, Sri Lanka dan kemudian ke arah Samudera Hindia. Pola pembentukan tsunami yang muncul di
lokasi-lokasi berbeda yang terjadi sepanjang periode 8 menit, memberikan sedikit penjelasan kenapa
gelombang besar menimpa wilayah tertentu, sementara lokasi yang masih berdekatan hanya sedikit
mengalami kerusakan. Jika 2 gelombang tsunami datang ke tempat yang sama pada saat yang bersamaan,
akan terjadi efek magnifikasi, sehingga ombak yang muncul lebih besar; sementara jika gelombang tersebut

9
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

tidak searah, akan saling meredam, sehingga mengurangi ukuran dan energi gelombang. Pola ini terlihat
sepanjang pesisir Thailand, dimana pada beberapa lokasi seperti Khao Lak terhantam serangkaian ombak
setinggi 10 m, sementara lokasi yang terletak di selatan dan utaranya menerima gelombang setinggi 1-3
m dengan kerusakan yang timbul lebih sedikit.

Sebuah gempa berkekuatan 8,7 kembali menimpa pada 28 Maret 2005 tepatnya 200 km ke arah tenggara
dari gempa sebelumnya, di sepanjang pesisir Sumatra, dekat Pulau Nias. Meskipun gempa ini
mengakibatkan korban jiwa yang cukup tinggi dan kerusakan pada daratan, gempa ini tidak menimbulkan
tsunami.

DAMPAK TSUNAMI DAN FAKTOR TEKANAN LAINNYA PADA TERUMBU KARANG


Gempa bumi pada 26 Desember mengakibatkan kerusakan yang parah namun terpusat pada beberapa
terumbu karang, seperti yang terdapat pada sampul laporan ini. Kerusakan terjadi ketika gempa bumi
mematahkan terumbu dan memecahkan karang yang rapuh atau menyebabkan terumbu karang terangkat
dari laut (Pulau Simeulue, Sumatra dan Kepulauan Andaman). Gelombang-gelombang tsunami yang
mengikuti gempa, merusak terumbu karang melalui 3 mekanisme: gerakan ombak yang mencabut,
menghantam, dan memindahkan karang dan patahan karang; penyelimutan karang karena meningkatnya
pergerakan sedimen; dan kerusakan dan penyelimutan secara mekanis oleh puing-puing dari daratan.
Dampak yang ditimbulkan cukup terpusat dimana beberapa lokasi rusak parah, sementara lokasi terumbu
karang yang berdekatan hanya sedikit atau tidak rusak sama sekali.

Di kebanyakan negara, tsunami melintas langsung diatas terumbu karang, sehingga kemungkinan telah
sedikit melindungi daratan di belakangnya. Terdapat beberapa klaim yang mengatakan bahwa terjadi
kerusakan lebih tinggi pada daratan yang berada di belakang terumbu yang telah mengalami penambangan,
seperti di Sri Lanka, daripada di wilayah-wilayah dengan terumbu karang yang utuh. Namun, perlindungan
yang diberikan menjadi kecil di lokasi yang menerima gelombang relatif tinggi. Sebaliknya, mangrove dan
tumbuhan pantai lainnya cukup efektif dalam mengurangi dampak merusak ombak di daratan dan juga
menahan puing-puing berukuran besar.

Tsunami dan gempa bumi merupakan faktor tekanan alami yang merusak terumbu karang dan telah
mempengaruhi terumbu karang selama jutaan tahun. Terumbu karang telah berevolusi bersamaan dengan
faktor-faktor ini, dan juga gunung berapi, badai tropis, pemasukan air tawar, wabah predator, dan penyakit.
Biasanya terumbu akan pulih kembali jika faktor tekanan tersebut tidak terlalu parah, tidak berulang, atau
diperparah oleh faktor lainnya.

Di semua negara di Samudera Hindia, tsunami telah menyebabkan lebih sedikit kerusakan terhadap
terumbu karang dibandingkan pengaruh kumulatif langsung tekanan antropogenik seperti penangkapan
berlebih, praktik perikanan yang merusak, pencemaran sedimen dan nutrien, dan pembangunan yang
tidak berkelanjutan di lokasi atau dekat lokasi terumbu karang. Disamping itu, kebanyakan terumbu
karang ini mengalami kerusakan parah ketika terjadi fenomena perubahan iklim global El Niño tahun
1998, dimana sekitar 90% dari terumbu karang dunia mati karena pemutihan. Tsunami telah meneruskan
kerusakan tahun 1998 dengan membunuh karang baru yang telah menetap dan melempar-lempar
sejumlah besar patahan karang yang terbentuk setelah karang mati karena pemutihan. Faktor perubahan
iklim dunia potensial lainnya, seperti peningkatan kekuatan dan frekuensi badai, serta peningkatan kadar
keasaman air laut, menjadi ancaman yang lebih besar terhadap terumbu daripada gangguan alami.

Kesimpulan terpenting dari sebagian besar negara yang terkena tsunami adalah bahwa kesadaran akan
pentingnya nilai barang dan jasa lingkungan, serta kemampuan pengelolaan untuk mengkonservasi

10
Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

terumbu karang dan mangrove dari perusakan antropogenis yang berlanjut, masih kurang. Jika tsunami
menimbulkan beberapa dampak yang parah, tekanan antropologis yang terus terjadi sebelum tsunami,
seperti perusakan hutan dan praktik perikanan yang buruk, sudah menimbulkan kerusakan lebih parah
dari tsunami. Semua negara menyarankan upaya konservasi dan perlindungan yang lebih tinggi terhadap
terumbu karang dan sumber daya pesisir lainnya untuk menjamin penyediaan barang dan jasa yang
berkelanjutan dan juga meningkatkan ketahanan dan daya pulih sumber daya tersebut terhadap gangguan
alami.

KEADAAN TERUMBU KARANG BERDASARKAN NEGARA


Indonesia (Bab 3): Gempa bumi primer di lepas pantai Sumatra menimbulkan tsunami dahsyat dengan
serangkaian ombak yang tingginya mencapai 30 m, menghantam pesisir yang terdekat dan mengakibatkan
kerusakan luar biasa pada kehidupan dan infrastruktur masyarakat Aceh. Perkiraan jumlah kematian
berkisar antara 170.000 sampai 220.000. Kerusakan yang paling parah menimpa Propinsi Aceh terjadi di
Meulaboh sampai Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Jaya. Hampir separuh dari nelayan Aceh meninggal
dan sekitar 40.000 rumah lenyap. Sekitar 65-70% dari kapal nelayan hilang, dan bisa dikatakan seluruh
wilayah budidaya hancur. Pemerintah Indonesia telah mendata bahwa terdapat kerusakan terhadap
30% dari 97.250 hektar terumbu karang dan kerugian bersih mencapai US$ 332.4 juta, namun demikian,
hanya terdapat sedikit informasi dasar mengenai keadaan terumbu karang di Sumatra bagian utara.
Terumbu yang terletak berdekatan dengan pusat gempa di Pulau Simeulue terangkat keluar dari air dan
mati, sementara terumbu berdekatan yang terletak di laut dalam tidak terpengaruhi. Pada terumbu
lainnya terjadi kerusakan fisik yang cukup parah, yang sebagian besar disebabkan oleh puing-puing dan
sedimen yang tersapu dari daratan. Kerusakan tsunami menambah kerusakan yang sebelumnya
disebabkan oleh kegiatan manusia, seperti praktik penangkapan merusak seperti pengeboman ikan. Di
sebagian besar wilayah tersebut, dampak manusia telah melebihi kerusakan yang ditimbulkan akibat
tsunami. Diperkirakan 600 hektar padang lamun ikut rusak, bersamaan dengan mangrove yang luas,
yang mungkin mencapai 85.000 hektar. Diduga kebanyakan dari terumbu dan padang lamun akan pulih
dalam kurun waktu 10 tahun dengan catatan kegiatan manusia ditekan dan mangrove ditanam kembali.

Malaysia (Bab 4): Malaysia berhasil luput dari sebagian besar kerusakan akibat tsunami karena terlindungi
oleh Sumatra dan hanya menerima ombak-ombak sekunder. Namun terdapat 68 korban jiwa, dan terjadi
kerusakan material di bidang perikanan dan di desa-desa yang memberikan dampak terhadap 232 nelayan.
Hanya sedikit kerusakan struktural terhadap terumbu karang dan sebagian wilayah tidak menerima
dampak. Erosi terjadi di beberapa lokasi tepi terumbu dan lereng terumbu bagian atas, dengan sedikit
sedimen yang teraduk dan kerusakan fisik terhadap karang; terumbu yang terletak di perairan dalam
tidak mengalami kerusakan. Tsunami telah menggarisbawahi kurangnya sumber informasi keadaan
terumbu karang Malaysia.

Thailand (Bab 5): Pesisir Laut Andaman terletak berhadapan dengan lokasi gempa sekunder di Kepulauan
Andaman dan Nikobar, sehingga mengalami kerusakan yang amat berat akibat rangkaian gelombang
tsunami. Angka kematian resmi sebanyak 5.395 korban jiwa dengan 2.932 tercatat hilang. Kerusakan
pada terumbu karang sangat beragam. Tepat 13% dari terumbu karang mengalami kerusakan berat,
sementara 61% tidak mengalami kerusakan atau hanya sedikit rusak. Kerusakan terumbu disebabkan
oleh ombak yang mencabuti, mematahkan atau memindahkan terumbu, dan karena penyelimutan serta
abrasi oleh sedimen dan puing-puing yang tersapu dari daratan. Diperkirakan sebagian besar dari terumbu
karang akan pulih kembali secara alami atau relatif cepat karena masih terdapat areal-areal besar karang
sehat. Sebagian besar puing-puing yang berasal dari daratan telah diangkat, tak lama setelah tsunami

11
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

berkat upaya dari pemerintahan Thailand. Industri pariwisata cukup terpengaruh oleh tsunami dan
terjadi kerusakan yang besar terhadap infrastruktur perikanan. Hanya terdapat sedikit kerusakan terhadap
mangrove dan kurang dari 5% padang lamun mengalami kerusakan.

Myanmar/Burma (Bab 6): Tsunami menimbulkan sedikit kerusakan terhadap Myanmar, meskipun
terdapat 61 korban jiwa. Tidak ada laporan mengenai kerusakan terumbu karang di kepulauan Myeik
(Mergui), dengan sebagian besar laporan berasal dari operator selam yang berada di lokasi saat tsunami
terjadi. Sebuah ekspedisi oleh Reef Check memastikan bahwa kerusakan terhadap terumbu karang hanya
sedikit.

India (Bab 7): Terjadi kerusakan yang cukup parah terhadap wilayah pesisir India bagian tenggara,
terutama Kepulauan Andaman dan Nikobar. Gempa bumi sekunder yang terjadi di sepanjang kepulauan
ini mengakibatkan terangkatnya terumbu-terumbu secara utuh ke atas air laut (di Andaman bagian
utara), sementara terumbu yang lainnya terperosok ke bawah sedalam beberapa meter (di Andaman dan
Nikobar Selatan). Terumbu karang di daratan utama India secara umum tidak terpengaruh dan tanpa
degradasi tinggi; kerusakan bersifat terpusat dan tidak terlalu berpengaruh terhadap karang di sekitarnya.
Erosi tinggi terjadi pada daratan dan sejumlah terumbu mengalami kerusakan oleh sedimen dan puing-
puing; namun data mengenai ini hanya sedikit. Banyak pantai yang mengalami erosi tinggi sehingga
dapat mempengaruhi aktivitas peneluran penyu. Diperkirakan sebagian besar terumbu karang yang
mengalami kerusakan akan dapat pulih dalam kurun waktu 5 tahun, dengan asumsi ancamana
antropogenik dapat ditekan dengan pengelolaan berkelanjutan dan penegakan hukum.

Sri Lanka (Bab 8): Tsunami yang mempengaruhi Sri Lanka berasal baik dari Pulau Sumatra maupun
Andaman dan Nikobar. Ombak-ombak ini pertama mengenai pesisir timur laut dekat Trincomalee dan
kemudian menggulung pulau tersebut sehingga mencapai pesisir barat daya. Hal ini mengakibatkan
korban jiwa yang sangat banyak (31.000) dan kerusakan struktural yang cukup parah. Kerusakan terhadap
terumbu karang di Sri Lanka cukup beragam. Terumbu di daerah pesisir timur laut rusak parah, sementara
terumbu di pesisir barat laut secara umum tidak tersentuh. Karang mengalami kerusakan pada semua
lokasi di terumbu Tangalle, Kudawella, Kapparatota/Weligama, Polhena, Unawatuna, dan Hikkaduwa.
Namun demikian, kerusakannya tidak merata dan seringkali menyebabkan perpindahan patahan karang
yang berasal dari karang mati akibat pemutihan tahun 1998. Di wilayah lainnya, koloni-koloni bercabang
yang masih hidup (sampai 50 cm) terbalik, sementara yang lainnya terselimuti oleh sedimen yang
tersuspensi kembali. Terjadi erosi pantai yang cukup parah, namun tidak merata, pada sejumlah pantai
yang diperparah oleh tingginya penambangan karang ilegal. Karang yang menghadap laut terbuka menderita
kerusakan yang lebih parah dibandingkan terumbu yang terletak di laguna.

Kepulauan Maladewa (Bab 9): Tsunami datang dalam bentuk aliran-aliran air kuat yang melintas di
atas rataan terumbu yang rendah di Maladewa, yang menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur
dan industri pariwisata. Korban jiwa dilaporkan mencapai 82 orang, dengan 26 orang dinyatakan hilang,
dan kerugian ekonomi yang mencapai US$ 480 juta; lebih dari 35% PDB nasional. Dampak langsung
terhadap terumbu karang terlihat sedikit, namun informasi dasar mengenai keadaan ekosistem dan
keanekaragaman hayati sebelum bencana sangatlah kurang. Akibat terbesar dari tsunami adalah
peningkatan penambangan karang untuk keperluan rekonstruksi dan penurunan dalam pendapatan
pariwisata.

Seychelles (Bab 10): Tsunami telah kehilangan sebagian besar energinya ketika mencapai Seychelles;
korban jiwa sebanyak 3 orang dan perkiraan kerugian ekonomi mencapai US$ 30 juta dalam bentuk
kerusakan rumah, pantai, vegetasi pantai, jalanan, dan jembatan. Hujan deras yang turun menyusul
terjadinya tsunami memperparah kerusakan dan mengakibatkan banjir yang meluas pada daratan rendah

12
Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

Mahé, Praslin, dan La Digue. Kerusakan tsunami pada sebagian besar terumbu karang Seychelles dapat
diabaikan, namun terdapat beberapa lokasi dengan kerusakan yang berarti. Tingkat kerusakan bergantung
pada derajat keterbukaan terhadap laut lepas, bentuk bathimetri setempat, dan komposisi geologis serta
kondisi terumbu karang. Terumbu karang yang terletak tepat di jalur tsunami, atau yang tumbuh di atas
patahan karang mati yang terbentuk akibat pemutihan tahun 1998, mengalami kerusakan. Hanya sedikit
kerusakan yang terjadi pada terumbu karbonat padat atau pulau-pulau bergranit. Terumbu di sekitar
Mahé sedikit terlindungi dengan adanya beberapa pulau terluar di bagian utara.

Afrika Timur dan Yaman (Bab 11): Terdapat dampak yang beragam pada negara di wilayah ini dengan
korban jiwa dilaporkan di Somalia (298), Yaman dan Socotra (1), Tanzania (3) dan Kenya (1). Kerusakan
terumbu karang di Tanzania dan Kenya hanya sedikit, satu karang besar terbalik di Suaka Laut Nasional
Kiunga dan tidak satupun dari 300 koloni, yang ditandai secara terpisah di laguna dangkal Mombasa,
mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang di perairan Somalia diasumsikan tidak jauh berbeda
dengan wilayah yang berdekatan, dan hanya terjadi kerusakan ringan di Socotra. Terumbu dan wilayah
pesisir Afrika Timur dan pulau-pulaunya luput dari kerusakan karena jarak yang jauh dari sumbernya,
perlindungan yang diberikan oleh Seychelles, Cargados Carajas, dan daratan Saya de Malha di perairan
Samudera Hindia, dan karena ombak tsunami datang pada saat air laut surut.

HARAPAN UNTUK MASA DEPAN YANG BERKELANJUTAN: KESIMPULAN DAN


SARAN
Para penulis dan penyumbang data untuk laporan ini telah menyusun permohonan dan saran kepada
pemerintahan lokal dan lembaga internasional agar tercipta pengelolaan sumber daya pesisir berdasarkan
pembelajaran yang diperoleh setelah tsunami.

Sistem Peringatan Dini: Banyak nyawa yang seharusnya bisa selamat pada 26 Desember 2004 jika
telah ada sistem peringatan dini pada negara-negara Samudera Hindia seperti yang beroperasi di Samudera
Pasifik. Pada saat itu masih cukup waktu untuk mengeluarkan peringatan, namun tidak terdapat
mekanisme untuk menyebarluaskan peringatan tersebut ke masyarakat. Disamping itu masyarakat di
negara-negara tersebut belum mendapatkan penyuluhan mengenai bahaya tsunami yang dapat menyusul
gempa bumi, meski terdapat sejarah panjang gempa bumi yang terjadi di zona subduksi, lepas pantai
Sumatra. Terdapat banyak cerita tentang masyarakat yang merasakan gempa bumi kemudian berjalan ke
rataan terumbu saat air surut; yang seharusnya menjadi pertanda jelas akan datangnya tsunami.

Saran 1: pihak pemerintah dan lembaga-lembaga internasional diberi dukungan dalam pengembangan
sistem peringatan dini yang interaktif bagi semua negara di Samudera Hindia yang menerapkan
teknologi terbaru dan menyebarkan peringatan melalui jaringan telepon seluler, sistem pengumuman
kepada masyarakat, radio dan televisi;
Saran 2: pihak pemerintah diberikan dorongan untuk mengembangkan pendataan kerentanan dan
pemetaan pesisir agar memastikan bahwa pengembangan hanya terjadi di wilayah yang tepat,
dengan wilayah eksklusif yang ditetapkan untuk melindungi masyarakat dan perekonomiannya dari
tsunami, badai tropis, dan kerusakan akibat naikknya permukaan laut di masa yang akan datang;
Saran 3: bahwa pemerintah dan lembaga internasional mengembangkan program dasar pemantauan
dan penelitian pesisir agar dapat mengangkat pemahaman tentang kecenderungan perpindahan
sedimen musiman dan jangka panjang serta erosi, juga peran yang dipegang oleh ekosistem dalam
menyediakan perlindungan pesisir;

13
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Saran 4: bahwa pemerintahan melindungi terumbu karang, bakau, hutan pantai, dan hamparan
pasir, dengan memastikan pembuangan sampah padat, limbah minyak, dan pestisida yang tepat.

Peningkatan Kapasitas dan Kesadaran: Masyarakat pesisir di Indonesia, Thailand, serta Kepulauan
Andaman dan Nikobar yang menyimpan pengetahuan dasar tentang ancaman bahaya tsunami berhasil
menyelamatkan diri dari ombak yang mematikan. Mereka mengartikan pertanda bahaya dari gempa
bumi dan menyusutnya air laut dan bergerak ke daratan tinggi. Diketahui juga contoh masyarakat
terpencil yang telah mempelajari tentang bahaya yang mengancam sehingga memperingati yang lainnya;
namun sejumlah besar masyarakat tidak menyadari bahaya yang ada dan akibatnya meninggal.

Saran 5: bahwa pemerintah mengembangkan program penyadaran masyarakat dan pendidikan


pesisir untuk mempersiapkan dan melibatkan masyarakat dalam kesigapan dan tindak darurat
bencana pesisir;
Saran 6: bahwa pengetahuan tradisional di dukung kembali dengan mengintegrasikannya dalam
kurikulum sekolah, dengan titik berat pada ancaman terhadap sumber daya pesisir dan perlunya
pengelolaan yang proaktif;
Saran 7: bahwa pemerintahan dan lembaga internasional mengembangkan program pelatihan
untuk membangun kapasitas masyarakat setempat dalam pengelolaan ekosistem, termasuk
pengelolaan perikanan, pemantauan sosial ekonomi, dan pengembangan sumber pendapatan
alternatif.

Rehabilitasi Terumbu Karang dan Mangrove: Syukurlah, kerusakan terhadap sumber daya terumbu
karang pada kebanyakan negara masih minim dengan kerusakan parah pada beberapa lokasi saja. Sebagian
besar terumbu akan pulih secara alami dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun dengan catatan tekanan
perusak lainnya dihentikan. Permasalahan yang paling genting adalah pengangkatan puing-puing dan
kebanyakan negara telah menjalankan operasi pembersihan darurat. Sama halnya dengan mangrove,
kerusakan yang timbul hanya sedikit dan bakau akan kembali menghasilkan anakan dan pulih dengan
sendirinya. Namun demikian, kemungkinan terdapat beberapa wilayah yang memerlukan penanaman
ulang karena telah ditebang atau rusak berat akibat tsunami. Tawaran terhadap beberapa negara telah
diajukan untuk memperbaiki terumbu karang dengan teknologi ‘listrik’ atau penempatan balok beton.
Internasional Coral Reef Initiative telah menyarankan agar berhati-hati sebelum tindakan ini dijalankan
karena skalanya yang kecil, belum terbuktikan, mahal, dan kemungkinan bersifat merusak dalam jangka
waktu panjang.

Saran 8: bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga internasional meneruskan upaya pembersihan


pantai, terumbu karang, dan mangrove dari puing-puing, untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
dan memfasilitasi pemulihan ekosistem yang lebih cepat. Prosedur-prosedur ini seharusnya
diintegrasikan ke dalam pembuangan limbah yang efektif (lihat Saran 4):
Saran 9: bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga internasional mengurangi tekanan antropologis
terhadap terumbu karang, sehingga membantu terbentuknya kondisi yang tepat untuk pemulihan
terumbu karang serta berhati-hati dalam memperkenalkan teknologi baru untuk pemulihan terumbu
karang yang belum terbukti keberhasilannya dan mahal yang diciptakan untuk memperbaiki terumbu
karang. Penanaman kembali pohon mangrove mungkin diperlukan pada beberapa wilayah yang
rusak.

Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pesisir yang Berkelanjutan: Tingkat kerusakan akibat tsunami di
negara-negara Samudera Hindia telah melahirkan kebutuhan tindakan rekonstruksi dan penetapan ulang

14
Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

kehidupan masyarakat; namun demikian, telah terjadi beberapa contoh yang tidak tepat. Pada beberapa
negara, kayu yang digunakan untuk membangun rumah berasal dari hutan terdekat, termasuk beberapa
yang sebelumnya dilindungi. Pasir dan bebatuan telah dikumpulkan dari terumbu karang untuk bahan
bangunan; meski pun hal ini ilegal. Telah terdapat upaya yang luar biasa dari lembaga donor untuk
menyediakan penggantian alat tangkap dan kapal, namun terdapat ancaman bahwa rehabilitasi yang
tidak bijak akan menimbulkan hasil yang tidak berkelanjutan di masa yang akan datang, seperti: tanah
longsor dari lahan yang sebelumnya hutan dan membanjirnya sedimen ke terumbu; terumbu yang telah
ditambang sehingga potensinya dalam melindungi daerah pesisir dari badai berkurang; dan penangkapan
ikan berlebih karena penggunaan kapal yang lebih besar dan cepat serta alat tangkap yang lebih efisien
sehingga stok ikan anjlok.

Saran 10: bahwa bahan rekonstruksi seharusnya diambil dari sumber daya berkelanjutan dan
bukan dari wilayah terlindungi atau hutan pada lereng curam; dan pasir serta batuan seharusnya
tidak dikeruk atau ditambang dari rataan terumbu karang; dan penggantian alat tangkap seharusnya
setara dengan alat tangkap yang telah hilang, dengan pengalihan tenaga penangkap ini ke sumber
penghidupan alternatif;
Saran 11: bahwa rekonstruksi bangunan seharusnya dilakukan di belakang hutan pantai dan
hamparan pasir, dimanapun hal ini dimungkinkan, untuk menciptakan wilayah penyangga yang
melindungi dari hempasan badai, tsunami, dan kenaikkan permukaan laut, dan bahwa bangunan
yang direkonstruksi memiliki standar tahan terhadap badai.

Pengelolaan Pesisir dan Tangkapan Terpadu: Terumbu karang akan pulih jika kegiatan antropologis yang
terus berlangsung tidak berlebihan. Namun demikian, struktur komunitas dari terumbu karang yang
mengalami kerusakan parah mungkin akan berbeda dari bentuk semula. Pengelolaan yang tepat guna
dapat mengurangi tekanan dari kegiatan antropologis, tapi tekanan alam diluar kendali manusia. Oleh
karena itu, pengelolaan pesisir dan tangkapan terpadu akan memberikan kondisi yang terbaik untuk
pemulihan terumbu karang yang juga akan memberikan terumbu karang kesempatan untuk berkembang
dengan daya tahan dan daya pulih melawan tekanan di masa yang akan datang, seperti tsunami Samudera
Hindia. Pengelolaan tepat guna juga akan membantu negara-negara ini memastikan terumbu karang
mereka dapat terus menyediakan sumber daya dan tangkapan yang berlanjut bagi masyarakat dan
perekonomiannya.

Saran 12: bahwa pemerintah mengembangkan ikatan kerjasama yang lebih erat dengan pihak
pemangku, lembaga pemerintahan dan LSM terkait, dan terutama dengan masyarakat lokal melalui
komunikasi yang lebih kuat, pertukaran pembelajaran yang telah diperoleh, bentuk-bentuk pelebaran
wewenang kepada pengelola wilayah, penegakan peraturan untuk pengelolaan terpadu, dan
pengendalian praktik-praktik merusak;
Saran 13: bahwa pemerintah melibatkan masyarakat dalam pembuatan keputusan tentang
rehabilitasi pesisir dan kelautan, dan pengembangan kebijakan dan peraturan untuk mengurangi
dampak bencana yang serupa di masa yang akan datang;
Saran 14: bahwa pemerintah menerapkan pengelolaan pesisir dan tangkapan yang terpadu agar
dapat memperkecil kerusakan yang timbul akibat kegiatan dari daratan yang menyebabkan
sedimentasi, pencemaran nutrien, dan penangkapan yang berlebih, terutama pada tahap rekonstruksi
tinggi;
Saran 15: bahwa pemerintah meningkatkan upaya dalam penegakkan serta pemantauan peraturan
dan hukum yang bertujuan untuk pemanfaatan sumber daya lingkungan yang berkelanjutan, seperti
mengendalikan ekstraksi sumber daya, khususnaya pengeboman ikan dan penambangan karang;

15
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Saran 16: bahwa pengembangan pariwisata dikelola untuk menjamin pemanfaatan jangka panjang
yang berkelanjutan bagi pemerintahan dan masyarakat melalui penetapan batas daya dukung,
penegakkan hukum yang mengatur pencemaran, dan dengan memastikan bahwa masyarakat
setempat mendapatkan manfaat dari kegiatan dan sumber pendapatan yang berarti serta mendukung
perekonomian.

Perikanan dan Rehabilitasi yang Berkelanjutan: Sebelum tsunami, kebanyakan negara melaporkan
ekspliotasi sumber daya laut yang melebihi daya dukung dan penerapan praktik-praktik perikanan yang
buruk (pengeboman dan racun ikan, penggunaan pukat dan jaring tekan di dekat dasar terumbu karang,
dan jaring serta bubu) sehingga stok ikan hampir anjlok di sejumlah wilayah. Dampak merusak dari
tsunami telah mengurangi daya dukung perikanan tangkap, menghancurkan kapal dan alat tangkap, dan
mempengaruhi kehidupan ribuan orang. Oleh karena itu, kegiatan penyeimbang diperlukan guna
menetapkan kembali sumber penghidupan bagi para nelayan, dan pada saat yang bersamaan
memperkenalkan praktik perikanan yang baik dan insentif ekonomi untuk mengendalikan praktik buruk
sehingga masyarakat mendapatkan manfaat perikanan yang berlanjut. Kebanyakan kapal dan alat tangkap
pengganti yang disediakan oleh donor menggunakan teknologi berbeda dan lebih efisien dari yang
digunakan sebelumnya, yang juga berarti sebagian masyarakat yang bekerja dalam pembuatan dan
perbaikan kapal atau mesin telah kehilangan pekerjaan atau tidak memiliki keterampilan dan peralatan
yang cukup untuk menjalankan profesi yang lama.

BANTUAN BAGI KORBAN TSUNAMI YANG SETARA SECARA GENDER?


Pada negara-negara berkembang di Samudera Hindia, tsunami pada 26 Desember 2004 sebagian
besar memberikan dampak pada masyarakat miskin di pesisir dan patriarki, dimana perempuan
biasanya lebih lemah secara ekonomi dan memiliki kedudukan yang lebih rendah menurut
budayanya. Dikarenakan peranan wanita dan pria yang berbeda dalam ekonomi perikanan
dan dalam rumah tangga, bencana telah mempengaruhi mereka dengan cara yang berbeda,
karena kerentanan perempuan terletak pada status sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam
masyarakat seperti ini, peranan tradisional dari wanita adalah untuk membesarkan dan mengasihi
mereka yang tua, muda, maupun terluka. Setelah tsunami menimpa, sebagian besar perempuan
yang berhasil selamat dari bencana mendapatkan beban pekerjaan yang lebih tinggi karena
jumlah orang yang terluka dan sakit. Disamping itu, perempuan juga menderita luar biasa
dengan adanya dampak pada kehidupan pribadi maupun kehidupan umum, karena bencana
ini yang ikut mempengaruhi kehidupan ekonomi, politik, dan keluarga. Selain tugas-tugas utama
mereka, para istri dan anak perempuan juga harus membantu keluarga dalam mendukung
pekerjaan para suami dan ayah. Dalam hal ini, mereka ikut menurunkan hasil tangkapan,
membersihkan dan memperbaiki jaring, menjual dan mengolah ikan, serta mengurus hewan
ternak, ikan budidaya, dan tanaman di kebun. Dalam hampir semua kasus, pekerjaan wanita
yang tanpa bayaran ini sangat membantu mencegah keluarga-keluarga mereka jatuh miskin.
Meskipun demikian, rencana tanggapan yang dicanangkan pemerintah untuk daerah yang terkena
dampak menitikberatkan pada membangun ulang perikanan, dengan sedikit bantuan yang
menjangkau perempuan dalam membangun kembali kehidupan mereka. Untuk mendukung
pemulihan ekonomi jangka panjang, baik pria maupun wanita memerlukan bantuan dana dalam
membangun kembali pekerjaan. Di saat pekerjaan wanita ini hilang, pemberian bantuan hanya
pada nelayan (pria) dapat menjadikan rumah tangga menjadi lebih miskin. Pemberian bantuan
kepada wanita akan dapat meningkatkan daya pulihnya dan mengurangi kerentanan mereka
terhadap bencana di masa yang akan datang. Membantu wanita menumbuhkan rasa percaya
diri akan membantu mereka untuk mengendalikan kehidupannya, dan mengurangi kerentanan
mereka pada masa krisis (dari Choo Poh Sze, WorldFish Center, p.choo@cgiar.org).

16
Ringkasan Eksekutif, Kesimpulan dan Saran

Saran 17: bahwa pemerintah memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai praktik
perikanan yang berkelanjutan dan menyediakan insentif ekonomi untuk mengurangi kegiatan yang
dilarang atau merusak, dan membantu dalam pengembangan sumber penghidupan alternatif untuk
mengurangi tekanan pada terumbu;
Saran 18: bahwa lembaga donor diberikan peringatan akan potensi berbahaya dari perkenalan
teknologi yang tidak tepat dan kemampuan penangkapan tinggi ke dalam sektor perikanan yang
sudah terancam. Lembaga-lembaga ini disarankan untuk mencari pendapat dari pengelola perikanan
atau lingkungan yang berpengalaman;
Saran 19: bahwa pemerintah mendata informasi stok serta kecenderungan ikan karang dan pelagis
yang cukup penting, dalam membantu perikanan yang berkelanjutan, dan mengembangkan atau
memperkuat peraturan sehingga memastikan kelestarian, contohnya dengan memperkenalkan skema-
skema sertifikasi. Pendataan seperti ini sebaiknya mengikutsertakan identifikasi sumber penghidupan
yang dapat diterima secara sosial dan berkelanjutan bagi masyarakat pesisir.

Peningkatan Jumlah Daerah Perlindungan Laut dalam Jaringan: Daerah Perlindungan Laut (MPA)
dianggap sebagai ‘asuransi ekologis’ melawan gangguan yang parah dan buruk. Mekanisme pelestarian
sumber daya pesisir yang paling efektif dan sudah terbukti adalah melalui pengembangan jaringan MPA
yang mengikutsertakan wilayah khusus ‘dilarang mengambil’ dan menghubungkan wilayah-wilayah ini
agar persediaan larva dikonservasi untuk wilayah hilir. Banyak negara Samudera Hindia telah menetapkan
MPA untuk mengkonservasi terumbu karang; namun demikian hanya sedikit yang memiliki rencana
pengelolaan efektif dan penegakkan hukum, sehingga sumber daya ini terus menurun.

Saran 20: bahwa pemerintah terus mengembangkan dan memperbaiki rancangan dan perundang-
undangan bagi MPA untuk memastikan perlindungan terumbu karang yang lebih baik dalam jaringan
MPA yang berkembang;
Saran 21: bahwa pemerintah mengembangkan peraturan lintas sektoral khusus MPA yang ditetapkan
oleh departemen yang terlatih dengan sumber daya manusia yang berkualitas, dukungan pendanaan
dan logistik;
Saran 22: bahwa pemerintah mengikutsertakan pulau dan wilayah pesisir yang berdekatan ke
dalam MPA sebagai wilayah penyangga dengan peraturan yang ditegakkan untuk mengurangi
kerusakan dari kegiatan ilegal dan merusak serta pencemaran yang berasal dari daratan;
Saran 23: pemerintah dihimbau untuk memastikan adanya dukungan terhadap partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan, terutama perencanaan dan pemantauan MPA, dan diberikan
wewenang tertentu dalam kepemilikan dan pengendalian sumber daya;
Saran 24: bahwa pemerintah dan lembaga-lembaga internasional diminta untuk memperbaiki fasilitas
dalam MPA yang sudah ada dengan mengganti penambat kapal dan alat pemantauan, dan
memperkuat patroli penegakan hukum untuk mengurangi kegiatan yang merusak.

Pemantauan dan Basis Data Terumbu Karang: Negara-negara Samudera Hindia memiliki kemampuan
yang terbatas dalam menjalankan pendataan ilmiah yang tepat mengenai kerusakan yang timbul akibat
tsunami, karena kurangnya data perbandingan untuk wilayah yang terkena dampak atau data-data
tersebut tersebar antar lembaga pemerintah, lembaga penelitian, dan universitas. Oleh karena itu
kebanyakan informasi yang terdapat dalam laporan ini berdasarkan pendataan cepat tentang kerusakan
atau laporan pribadi dari para operator selam wisata dan penyelam profesional.

17
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Saran 25: bahwa pemerintah mengembangkan dan mempertahankan pemantauan ekologis dan
sosio-ekonomis terumbu karang, dan bekerjasama dengan universitas dan LSM agar dapat memastikan
bahwa semua data yang didapat dikumpulkan ke dalam satu basis data terpusat sehingga dapat
membantu dalam konservasi dan pengelolaan terumbu karang, dan untuk mendata potensi pemulihan
jangka panjang;
Saran 26: bahwa pemerintah mengembangkan ikatan kerjasama antar masyarakat dengan
pemerintah yang lebih kuat untuk memperbaiki pemantauan terumbu karang, sistem data, dan
pertukaran informasi untuk dapat memastikan kecenderungan kesehatan terumbu karang jangka
panjang dan memperbaiki pengelolaan aspek sosial dan ekologis.

Pengembangan Penata kelolaan dan Kebijakan Kelautan: Tsunami telah memperingati pemerintahan
di wilayah Samudera Hindia tentang betapa penting dan berharganya sumber daya pesisir mereka,
terutama terumbu karang dan mangrove. Bahkan tsunami sedikit mendemonstrasikan upaya penegakan
peraturan dan pemantauan yang masih lemah dan terpecah antara berbagai departemen dan lembaga
pengelola. Sebagian besar negara tidak memiliki kebijakan laut nasional yang sudah berkembang baik
untuk mengelola sumber daya pesisir mereka secara berkelanjutan. Banyak pihak yang telah meminta
agar kesempatan yang telah didatangkan oleh tsunami dipergunakan untuk memperkuat kebijakan dan
hukum nasional, dan melibatkan masyarakat dalam upaya pelestarian dan pengelolaan sumber daya
pesisirnya.

Saran 27: bahwa pemerintah mengembangkan kebijakan laut nasional agar semua sektor
pemerintahan dan masyarkat memiliki tujuan yang sejalan dalam melestarikan sumber daya pesisir
dan lautan untuk generasi yang akan datang;
Saran 28: bahwa pemerintah mengembangkan hukum yang lebih kuat melalui lembaga pengelola
tunggal dan meningkatkan pemantauan, terutama untuk memantau dan mendata keefektifan
pengelolaan sumber daya alam;
Saran 29: bahwa pemerintah negara-negara Samudera Hindia dan lembaga-lembaga internasional
mengembangkan jaringan regional untuk bertukar informasi dan berbagi keahlian untuk memperbaiki
kerjasama dan koordinasi regional bagi pelestarian terumbu karang di masa yang akan datang.

Para penulis laporan ini menghimbau agar saran-saran ini dipertimbangkan secara matang dan
diimplementasikan, sehingga dapat merangkul sepenuhnya kesempatan yang telah didatangkan bencana
tsunami 26 Desember 2004, untuk memusatkan perhatian global pada pengelolaan dan pelestarian
terumbu karang dan sumber daya lainnya yang sangat diperlukan.

18
1. GEMPA BUMI, LEMPENG TEKTONIK,
DAN TSUNAMI SAMUDERA HINDIA

CLIVE WILKINSON, DAVID SOUTER, DAN JEREMY GOLDBERG

RINGKASAN
Tsunami Samudera Hindia berawal dari gempa bumi skala 9,15 – 9,3 di Sumatra yang melepaskan
tekanan yang telah terbentuk selama lebih dari 200 tahun di sepanjang patahan di antara dua buah
lempeng tektonik;
Sepuluh menit setelah patahan di lepas barat laut Sumatra terbuka, retakan menjalar ke utara
sepanjang 1.300 km garis celah menuju Kepulauan Andaman dan Nikobar;
Tsunami menimbulkan banyak gelombang karena gempa menyebabkan perpindahan sebagian besar
dasaran laut secara mendadak, memindahkan massa air laut secara besar-besaran;
Tsunami melintasi laut dalam sehingga susah untuk dideteksi, dapat mencapai kecepatan 600 km/
jam dan tiba di pesisir ribuan kilometer dari sumber gempa sebagai energi yang besar dan gelombang
tinggi;
Gelombang melambat saat memasuki paparan benua, teluk, pulau, atau estuaria dan meningkat
tingginya; sehingga menyebabkan kerusakan parah saat mencapai garis pantai;
Tsunami Samudera Hindia bukan satu-satunya tipe di kawasan ini dan lebih banyak lagi akan timbul
di masa yang akan datang; dan
Analisa resiko bencana alam harus dilakukan dan sistem peringatan dini diimplementasikan untuk
menyiapkan masyarakat pesisir terhadap ancaman lingkungan di masa depan.

PENDAHULUAN
Gempa bumi 26 Desember 2004 di lepas barat laut Sumatra, Indonesia merupakan peristiwa seismik
terbesar di bumi selama lebih dari 40 tahun terakhir. Gempa berasal dari 30 km di bawah dasar laut lepas
pantai Sumatra dan memicu retakan pada segmen garis patahan antara Lempeng Hindia dan Eurasia
sepanjang 1.300 km dan meluas sampai ke Kepulauan Andaman dan Nikobar. Energi yang dilepaskan
setara dengan bom berkekuatan 11 giga ton, 1.500 kali lebih besar dari bom nuklir terbesar yang pernah
diledakkan dan 100 kali lebih besar dari energi gempa bumi San Fransisco tahun 1906. Gempa di dasar
laut ini memindahkan lebih dari 30 kilometer kubik air laut dan membuat tsunami yang paling
menyengsarakan dalam sejarah; lebih dari 230.000 orang mati, dan lebih dari 1 juta orang telah
terpindahkan di negara-negara yang terkena dampak tsunami di Asia Tenggara dan Asia Selatan serta
Afrika Timur. Tsunami telah menyebabkan kerugian besar ekonomi di negara-negara Samudera Hindia,
menyengsarakan industri primer dan sekunder, serta mengacaukan perekonomian pariwisata. Dampak

19
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

peristiwa ini mendunia; tsunami diamati di seluruh samudera di dunia dan seluruh dunia terus ‘terkait’
dengan keterkejutan gempa bumi tersebut sampai berbulan-bulan. Bab ini memberikan ringkasan singkat
tentang asal gempa bumi dan tsunami yang mengikutinya.

Detil teknis awal Gempa Bumi Dahsyat Sumatra - Andaman. Skala yang ada termasuk keseluruhan kegiatan 10
menit berikutnya, dimana gempa menuju arah barat laut sampai 1.300 km di utara Kepulauan Andaman
(sumber www.earthquake.usgs.gov)

Skala 9,15 – 9,3

Tanggal 26 Desember 2004

Waktu 00:58:53 (UTC) Waktu Koordinat Universal


(7:58:53 pagi, waktu lokal di episentrum)

Lokasi 3,307o LU, 95,947o BT

Kedalaman 30 km (18,75 mil)

Kawasan Lepas pantai barat Sumatra Utara, Indonesia

Jarak terhadap 255 km (155 mil) Barat Daya Banda Aceh, Sumatra, Indonesia
pusat populasi utama 310 km (195 mil) Barat Medan, Sumatra, Indonesia
1.260 km (780 mil) Barat Daya Bangkok, Thailand
1.605 km (990 mil) Barat Laut Jakarta, Jawa, Indonesia

APAKAH TSUNAMI ITU?


Tsunami berasal dari kata dalam Bahasa Jepang – tsu, artinya pelabuhan dan nami, artinya gelombang –
yang sekarang digunakan di seluruh dunia untuk menyebut gelombang laut besar yang terjadi akibat
perpindahan permukaan laut secara mendadak. Perpindahan air bisa disebabkan oleh gempa bawah laut,
longsor, letusan gunung berapi, atau dampak hantaman meteor yang besar. Saat sejumlah besar lautan
terpindahkan secara vertikal, gangguan menyebar luas dalam bentuk tsunami karena laut mencoba
untuk kembali pada keseimbangan gravitasinya. Saat skala horisontal gangguan jauh lebih besar
dibandingkan kedalaman air, seluruh kolom air dari permukaan sampai ke dasar laut bergerak koheren
dalam arah horisontal. Biasanya, tsunami besar akan melintasi laut dalam sebagai gelombang kecil,
bahkan sering kurang dari satu meter, tetapi kecepatannya 600 km/ jam atau lebih. Sehingga dapat
melewati kapal tanpa diketahui, karena itu para nelayan Jepang menamainya tsunami untuk
menggambarkan gelombang yang dapat menghancurkan rumah mereka di darat, tanpa dapat diketahui
kedatangannya saat di laut. Saat tsunami mendekati perairan dangkal, gelombang melambat dan
ukurannya meningkat secara dramatis, kadang mencapai ketinggian sepuluh meter.

Fisika tsunami adalah sama seperti gelombang perairan dangkal, karena memiliki periode yang panjang
(waktu antara dua gelombang yang berurutan) dan panjang gelombang yang besar (jarak antara dua
gelombang yang berurutan). Namun, mereka sangat berbeda dengan gelombang yang disebabkan oleh
angin, yang merupakan gelombang normal di laut. Gelombang yang disebabkan oleh angin hanya
mengakibatkan pergerakan air di dekat permukaan laut dengan periode 10 – 20 detik dan panjang
gelombang 100 – 200 m pada umumnya. Secara kontras, tsunami melibatkan pergerakan air sampai ke
dasar laut (kedalaman 3 – 4 kilometer di laut dalam) dengan periode 10 – 60 menit dan panjang
gelombang 100 km atau lebih, berarti mereka melibatkan pergerakan massa air yang jauh lebih besar.

20
Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

Kekuatan merusak timbul saat energi yang terkandung dalam gelombang berkedalaman ribuan meter,
terkonsentrasi di perairan dangkal paparan benua dan terutama di estuaria dangkal.

Walaupun tsunami cukup besar untuk mempengaruhi keseluruhan cekungan laut, pada kenyataannya
sangatlah jarang terjadi satu kali dalam satu generasi; tsunami besar hampir selalu menyebabkan
kerusakan karena dapat mengangkat energi ke jarak yang jauh dengan kecepatan tinggi secara efisien.
Tsunami adalah salah satu bencana alam yang menakutkan di dunia karena dapat berasal dari jauh, tak
terlihat, dan dari sumber yang tak terasakan, sehingga dapat terjadi tanpa ada pertanda jelas. Beberapa
tsunami di masa lampau telah menyebabkan kerugian jiwa dan properti. Sehingga, tsunami terkait erat
dengan cerita rakyat dan diperkirakan menjadi penyebab utama kehancuran beberapa peradaban, seperti
lenyapnya peradaban Minoan yang kemungkinan berhubungan dengan meletusnya Gunung Santorini
dan menyebabkan tsunami sekitar tahun 1500 SM. Walaupun Samudera Pasifik memiliki frekuensi
tsunami tertinggi diantara seluruh samudera di bumi, tsunami juga menyebabkan kerusakan berarti di
Laut Mediterania dan Samudera Hindia serta Atlantik.

TSUNAMI DAN ZONA SUBDUKSI GEMPA


Gempa bumi dan tsunami tanggal 26 Desember terjadi di sepanjang fitur khas di lempeng tektonik utama
pada permukaan bumi yang disebut sebagai zona subduksi. Zona ini terbentuk akibat permukaan bumi
yang terus bergerak, dimana lapisan terluar batuan yang disebut litosfer terbentuk dan terhancurkan.
Lapisan terluar ini terdiri dari sejumlah lempengan kaku yang terbentuk di sepanjang jalur pertengahan
samudera yang kemudian hancur di zona subduksi, dimana lempeng-lempeng tersebut bertumbukan
dan saling tumpuk-menumpuk. Proses tumbukan dan hancurnya bagian lempeng-lempeng ini disebut
subduksi, yang kemudian membentuk batasan lempeng baru tempat proses ini terjadi yang disebut zona
subduksi.

Zona subduksi yang timbul saat gempa 26 Desember 2004, terbentuk akibat pergerakan lempeng Hindia
dan Australia ke arah utara, yang terus bergerak sejak patahnya ‘benua-super’ Gondwana sekitar 50
sampai 150 juta tahun yang lalu. Karena lempengan-lempengan ini bergerak dengan kecepatan 6 sampai
7 sentimeter per tahun (serupa dengan pertumbuhan kuku jari), tepian litosfer samudera bergeser menuju
ke bagian dalam bumi di bawah Lempeng Eurasia di sepanjang Busur Sunda (Sunda Arc). Busur ini
terbentang dari Timor di sisi timurnya, terus ke selatan Indonesia sampai ke Kepulauan Andaman di barat
laut. Walaupun pengukuran pergerakan permukaan tanah menunjukkan bahwa lempeng Hindia dan
Australia merupakan satu kesatuan yang terpisah, batas diantara keduanya amat samar dan cenderung
menyatu, sehingga tidak jelas lempeng mana yang meluncur ke dalam bagian utara Sumatra. Namun
demikian, diketahui bahwa lempeng Hindia meluncur ke bawah Kepulauan Andaman dan Nikobar.
Struktur tektonik dari lempeng yang menindihnya juga rumit. Tidak hanya blok Sunda (sub-lempengan),
dimana Sumatra terletak, terpisah dari lempeng Eurasia di bagian utara, tetapi juga tepi barat daya blok
Sunda terpisah dari lempeng Hindia dan Australia oleh lempeng mikro yang sering disebut sebagai
Lempeng Mikro Burma atau Potongan Andaman. Terlepas dari segala kerumitan ini, gempa bumi tersebut
berasal dari gabungan tekanan 2 buah lempeng (seringkali disalahpahami sebagai ‘Lempeng Indo-
Australia’) yang mensubduksi di bawah Sumatra.

Zona subduksi umumnya dicirikan oleh intensitas kegiatan geologi. Proses subduksi menarik lempeng
yang tersubduksi dan lempeng yang menindihnya ke arah bawah di sepanjang sumbu zona subduksi
sehingga menciptakan palung yang dalam. Palung ini merupakan bagian terdalam dari lautan, berkisar
mulai kedalaman 4 km pada palung yang dangkal sampai kedalaman 10 km pada Palung Mariana di

21
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Eropa tengah

Arabia

Afrika

India

Amerika Selatan Australia


Antartika

Saat ‘benua super’ Gondwana terpecah belah sekitar 150 juta tahun yang lalu, 2 lempeng tektonik besar
Hindia dan Australia terpisah dan bergeser ke arah utara dengan kecepatan yang amat sangat lambat
namun konsisten dan kuat. Mereka bergabung dengan benua super Eurasia, sehingga membentuk kondisi
gempa bumi 26 Desember

timur Phillipina. Elemen yang rapuh terseret ke bagian dalam bumi yang panas di zona subduksi dan
melelehkan material sub-kerak di atas lempeng yang tersubduksi, dan seringkali mengarah pada
pembentukan rantai gunung api aktif di lempeng yang menindih secara parallel terhadap sumbu zona
subduksi. Krakatau adalah contoh sebuah gunung berapi diantara lebih dari 100 gunung berapi aktif di
sepanjang nusantara Indonesia (lihat peta di Bab 2, halaman 38).

Gunung-gunung berapi ini merupakan sumber utama tsunami. Sebelum tahun 2004, satu-satunya tsunami
di Samudera Hindia yang terdokumentasi adalah saat letusan Krakatau tahun 1883. Tsunami ini menelan
36.000 korban di Indonesia dan menyebabkan kerusakan yang cukup nyata di sepanjang Samudera
Hindia, termasuk Seychelles: “Pukul 4:00 sore tanggal 27 Agustus, gelombang pasang tiba-tiba datang
menyerbu dengan kecepatan 4 mil per jam, dan mencapai ketinggian sekitar 2,5 kaki di atas pasang
tertinggi pada umumnya. Gelombang tertarik kembali setelah seperempat jam, meninggalkan kapal-kapal
yang terdampar ke daratan. Gelombang kemudian kembali lagi, dan hal yang sama terjadi lagi, …” (H.W.
Estridge, Pengutip Bea Cukai di Mahe, Seychelles, 1993). Tsunami besar lainnya di Laut Arabia, Teluk
Bengal, dan di Samudera Hindia antara Jawa dan Australia (lihat Tabel halaman 27), seperti juga tsunami
tahun 2004, disebabkan oleh gempa bumi di zona subduksi.

22
Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

Samudera Hindia Sumatera


a.

Sebelum Gempabumi

b.

Gempa Bumi

c.

10 menit setelah gempa bumi

Ketiga diagram ini mengilustrasikan runutan peristiwa gempa bumi akibat subduksi. Pada (a) lempeng
tektonik di sebelah kiri mencoba untuk subduksi di bawah lempeng sebelah kanan. Namun, karena
adanya kekuatan friksional, lempeng menyatu dengan lempeng atasnya selama beberapa waktu yang
menyebabkan kedua lempeng terdeformasi, terutama lempeng bagian atas yang membengkok ke arah
dua buah panah merah; saat ikatan friksi (garis bergelombang) terputus saat gempa bumi (b), lempeng
di sebelah kanan terpental kembali ke posisi aslinya (panah merah kini berlawanan arah), sehingga
memindahkan sejumlah besar volume air. Air yang dipindahkan ini kemudian menyebar ke segala arah
sebagai tsunami (c).

Zona subduksi adalah sumber dari 90% gempa bumi yang ada di seluruh dunia. Gempa bumi timbul jika
terdapat pergerakan yang hampir instan, baik di sepanjang batas pertemuan dua lempeng atau pada
lempeng yang tersubduksi, yaitu yang membengkok dan menyusup ke dalam bumi. Di kedalaman kurang
dari 30 km, batuannya rapuh sehingga bila ada tekanan ke atas, baik antar lempengan atau pada perbatasan
diantaranya, terdapat kemungkinan adanya retakan instan yang menghasilkan gempa bumi. Gempa
bumi antar-lempeng adalah hasil dari pergerakan di kedalaman dangkal ini, dimana kontak antar lempeng
memperlihatkan friksi stick-slip, yang berarti bahwa friksi menarik lempeng di atasnya menuju ke bawah
sehingga menyebabkan tekanan besar terakumulasi di sekitar titik kontak. Gempa bumi timbul saat
tekanan melebihi kekuatan friksional, titik penyatuan sementara terputus, dan lempeng sebelah atas
meletup ke atas. Interaksi dangkal di sepanjang lempeng zona kontak ini dinamakan sesar sungkup
(thrust fault), istilah geologi untuk kontak antara dua buah massa batuan yang saling mendorong. Zona
subduksi sesar sungkup ini jauh lebih besar dari sesar sungkup pada umumnya dan disebut sebagai ‘mega
sungkup’ (megathrust). Gempa bumi besar yang timbul saat terpisahnya batasan antar lempeng zona
subduksi disebut sebagai ‘gempa bumi mega sungkup’ (megathrust earthquakes). Karena mega sungkup
yang terus-menerus dapat meluas sampai ribuan kilometer di sepanjang sumbu zona subduksi, sesar ini
menghasilkan gempa bumi terbesar. Dari 12 gempa bumi terbesar sejak tahun 1900, 11 diantaranya
merupakan gempa bumi mega sungkup.

Sebagian besar zona mega sungkup terdapat di palung laut yang dalam, sehingga pantulan vertikal dari
lempeng yang menindih pada titik retakan sesar memindahkan sejumlah besar volume air, sehingga
menyebabkan tsunami. Mega sungkup dan (pada beberapa kasus perkecualian) gempa bumi dasar laut
lainnya, 75% menghasilkan tsunami.

23
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

KARANG SEBAGAI PENCATAT GEMPA BUMI ZONA SUBDUKSI


Kerusakan pada terumbu karang akibat tsunami tahun 2004 dan fungsi terumbu sebagai pelindung
pesisir didiskusikan di beberapa bab berikut. Bagaimanapun juga, karang sangat berharga dalam mencatat
jumlah dasaran yang terangkat dan yang menyusup sehubungan dengan zona subduksi gempa bumi.
Charles Darwin memperhatikan bahwa karang merekam pergerakan vertikal, dari fakta bahwa terumbu
penghalang terbentuk pada pesisir yang menyusup, sedangkan teras/paparan laut terbentuk dari pesisir
yang terangkat. Waktu terbentuknya paparan laut sebagai hasil dari pengangkatan saat gempa bumi,
seringkali menyediakan info berharga tentang ukuran dan frekuensi gempa bumi besar zona subduksi.
Info ini sangat penting khususnya di Samudera Hindia, dimana waktu pemunculan kembali gempa bumi
zona subduksi cukup panjang bila dibandingkan dengan rekaman sejarah.

Koloni karang tunggal juga dapat digunakan untuk mengukur pergerakan vertikal. ‘Atol mikro’ Porites,
koloni besar yang tumbuh di perairan dangkal, dapat digunakan untuk mengukur pengangkatan dan
penyusupan sampai ke skala sentimeter. Teknik ini telah disempurnakan selama 20 tahun terakhir,
sehingga dimungkinkan untuk memperkirakan pengangkatan dan penyusupan yang terjadi dengan tiba-
tiba yang berhubungan dengan gempa bumi, dan juga pergerakan lambat vertikal yang timbul akibat
akumulasi kehancuran di lapisan kerak sebelum terjadinya gempa bumi. Ilmuwan menggunakan teknik
ini untuk memperkirakan penyusupan yang terjadi sebelum gempa bumi Sumatra, dan mereka sangat
waspada terhadap hasil pengukuran akumulasi kehancuran (sebagaimana pula ukuran gempa bumi di
masa lampau yang terekam pada struktur pertumbuhan karang), sehingga mereka segera menyebarkan
pamflet kepada masyarakat pesisir Sumatra untuk mewaspadai ancaman yang ada. Studi tersebut juga
memperkirakan bahwa nilai kehancuran yang tinggi, terakumulasi sampai ke tenggara dimana terjadi
gempa Simeulue tahun 2004 dan Nias tahun 2005, dekat dengan lokasi gempa dahsyat tahun 1883;
gempa besar lain yang diperkirakan akan terjadi. Sejak gempa Sumatra tahun 2004 dan 2005, studi
karang telah menyediakan data berharga tentang pergerakan vertikal yang timbul sebelum dan sesudah
gempa.

GEMPA DAHSYAT SUMATRA-ANDAMAN PADA 26 DESEMBER 2004


Gempa dahsyat ini memisahkan 1.300 km segmen mega sungkup Busur Sunda yang membentang dari
Sumatra (kira-kira 3oLU) sampai Kepulauan Andaman (kira-kira 14oLU). Gempa dimulai di lepas barat
laut Sumatra di dekat Pulau Simeulue pukul 7:59 pagi, saat pemisahan awal timbul jauh di dalam kerak
bumi. Pergerakan sesar sampai pada titik maksimumnya di 15-20 meter dekat pucuk utara Sumatra saat
pemisahan menjalar ke arah utara di sepanjang tepi lempeng pada kecepatan 2,4 kilometer per detik
(8.640 kilometer per jam). Saat pemisahan menjalar ke arah utara menuju Kepulauan Andaman, ternyata
kecepatannya berkurang dan pergerakan sesar pun berkurang, kira-kira 8 menit setelah pemisahan awal,
pergerakan maksimum sesar sebesar 10 meter di Kepulauan Andaman. Keseluruhan proses pemisahan
berlangsung selama sekitar 10 menit. Gempa pertama adalah gempa terbesar sejak gempa Alaska tahun
1964. Gempa menyebabkan guncangan hebat di Sumatra dan Kepulauan Nikobar, dan dapat dirasakan
sampai berkilo-kilometer jauhnya di Sri Lanka, utara Thailand, dan Maladewa. Gempa juga menyebabkan
gelombang seismik yang mengitari bumi berulang kali, dan menstimulasi getaran harmonis di seluruh
bumi yang masih dapat dideteksi oleh peralatan seismometrik berbulan-bulan setelah gempa. Sejumlah
gempa susulan masih terus terjadi di sepanjang dangkalan tepi lempeng yang terpisah karena gempa; ini
merupakan kelompok gempa paling aktif yang pernah teramati.

Gempa menyebabkan pergerakan permanen yang meluas di permukaan bumi. Terdapat lebih dari 6
meter pergeseran horizontal di sebagian Kepulauan Andaman dan Nikobar, dan ada juga pengangkatan

24
Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

Sub-lempeng
Burma
Kepulauan
Andaman

Kepulauan
Nicobar

Sub-lempeng
Sunda
Palung Sunda

Lempeng India

Lempeng
Australia

Peta daerah yang terkena dampak memperlihatkan dua buah lempeng tektonik utama (Hindia dan Australia)
mendorong Lempeng Sunda dan Lempeng Mikro Burma yang lebih kecil. Gempa 26 Desember dimulai
30 km di bawah episentrum , dan kemudian pemisahan tepi lempeng menyebar ke arah barat laut ke utara
Kepulauan Andaman. Gempa pertema segera diikuti dengan kelompok gempa sepanjang 1.300 km pada
3 tingkatan (elips), yang melemah di utara. Tsunami dipicu oleh pergerakan dasar laut di sepanjang zona
pemisahan, terutama di bagian yang lebih selatan, dimana pemisahan sesar meluas sampai kedalaman
yang dangkal.

dan penyusupan: sisi barat terangkat sekitar 1 m (pengangkatan maksimum sebesar 1,5 m di Nikobar
Besar), sementara sisi timur menyusup sejauh nilai yang sama, sehingga secara permanen menenggelamkan
beberapa bagian kepulauan ini. Terdapat fakta visual yang luar biasa tentang perubahan ini: beberapa
pantai terangkat, terumbu karang mencuat keluar dari air (lihat foto di sampul), dan hutan mangrove
serta bangunan terangkat dan hancur. Pergerakan kecil bumi sebesar beberapa sentimeter, terdeteksi dari
jarak ribuan kilometer dengan menggunakan observasi GPS.

Terdapat beberapa contoh pergeseran lahan yang disebabkan oleh gempa:

Sisi barat laut Pulau Simeulue terangkat 1,5 m (foto di sampul);


Ujung tenggara Kepulauan Nikobar turun sekitar 2 m, menggenangi Mercu Suar Campbell secara
permanen di Pulau Nikobar Besar;

25
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Pulau Car Nikobar bergeser lebih dari 6 m secara horizontal dari arah barat ke tenggara;
Pulau Langkawi di Malaysia terus meluncur ke arah barat daya sampai 80 hari setelah pergeseran
cepat pertama, dan menjauhkannya 6 cm dari peluncuran awal; dan
Singapura bergeser 2 cm ke arah barat.
Timbul perdebatan mengenai kekuatan aktual gempa (biasanya dicerminkan oleh kekuatan gelombang
seismik yang ditimbulkan). Namun, gempa besar seperti peristiwa Sumatra-Andaman menimbulkan pola
gelombang yang rumit dimana analisa rutin mungkin tak dapat dilakukan. Pengukuran awal kekuatan
gempa pada jam pertama setelah gempa adalah sebesar 8,0 – 8,5, tetapi ini merupakan perkiraan kasar.
Analisa yang lebih mendalam dikemudian hari menunjukkan skala 9,0, yang menjadi besar kekuatan

Kedua foto dari Kepulauan Andaman dan Nikobar menggambarkan kemiringan Lempeng Mikro Burma.
Beberapa bagian dari Kepulauan Andaman terangkat keluar dari air, di sini tampak rataan terumbu
karang yang terpajan secara permanen (foto atas); sedangkan di barat daya Kepulauan Nikobar, beberapa
pulau tenggelam secara permanen, menggenangi bangunan dan lahan (foto bawah). Foto-foto merupakan
kontribusi dari Profesor Sudhir K. Jain dan Javed Malik, Institut Teknologi India, Kanpur.

26
Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

yang dipilih oleh Badan Survey Geologi AS. Bahkan analisa yang lebih maju yang dilakukan berbulan-
bulan setelah gempa menghasilkan skala 9,15 – 9,30, yang mungkin mencerminkan kekuatan gempa
yang sebenarnya.

Pergerakan sesar yang berhubungan dengan Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman telah merubah bidang
tekanan di kawasan yang mengelilingi daerah yang terpisah, memindahkan tekanan ke sesaran
didekatnya. Perubahan kondisi tekanan lokal ini diramalkan akan menyebabkan gempa mega sungkup
besar lain di sepanjang zona subduksi Sumatra. Ramalan ini terbukti benar pada tanggal 28 Maret 2005,
saat gempa besar lain (kekuatan 8,7) terjadi sekitar 200 km tenggara garis sesar tersebut. Gempa ini
menghancurkan 300 bangunan dan menewaskan 1.000 jiwa di Pulau Nias. Terjadi kepanikan bahwa
gempa ini akan kembali menimbulkan tsunami; sebagai contoh, 20 orang tewas di Sri Lanka saat mengungsi
dari daerah pesisir yang rendah. Sementara tsunami lokal setinggi 3 m timbul akibat gempa ini di sekitar
Pulau Simeulue, terdapat dampak yang bisa diabaikan di garis pantai yang lebih jauh. Salah satu
penyebabnya adalah, tidak seperti gempa Desember 2004, kebanyakan gelinciran sesar awal pada gempa
Maret 2005 terkonsentrasi di dekat 30 km di dalam permukaan bumi. Ini menghasilkan pergerakan
vertikal yang lebih sedikit pada dasar laut, dan sebagian besar pergerakan vertikal ini terjadi di Pulau Nias
dan Simeulue. Sehingga, air yang dipindahkan lebih sedikit dibandingkan dengan perkiraan untuk kekuatan
gempa mega sungkup sebesar ini.

Terdapat sejarah panjang gempa besar dan tsunami di Samudera Hindia yang menyebabkan kerusakan parah
dan kehilangan jiwa.

Tahun Tanggal Lokasi Sumber Kekuatan Ketinggian Korban


Maksimum (m) Jiwa

1762 2 April Pesisir Arakan (Myanmar)


1797 10 – 11 Februari Sumatra Barat 8,4 >300
1818 18 Maret Sumatra Selatan
1819 16 Juni Dekat Cutch 7,7
1833 24 November Sumatra Barat 8,7 – 9,2
1843 5 – 6 Januari Sumatra Utara 7,2
1861 16 Februari Sumatra Utara 8,3 – 8,5 7 > 900
1881 31 Desember Kepulauan Nikobar 7,9 1
1883 27 Agustus Selat Sunda (Krakatau) 35 > 36.000
1907 4 Januari Sumatra Barat 7,6 > 400
1921 11 September Jawa 7,5
1941 26 Juni Kepulauan Andaman 7,7
1945 27 November Makran 8,1 15
1977 19 Agustus Jawa 8,3 30
1994 2 Juni Jawa 7,6 13 200
2004 26 Desember Sumatra Barat – Kep. Andaman 9,3 48 > 230.000

27
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

TSUNAMI SAMUDERA HINDIA 26 DESEMBER 2004


Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman menyebabkan dasar laut terangkat dan menyusup, menghasilkan
pergeseran sekitar 30 kilometer kubik air laut secara langsung di atas sesaran. Ini menyebabkan gelombang
yang menyebar ke seluruh penjuru Samudera Hindia dan dikenal sebagai Tsunami Samudera Hindia
atau Boxing Day Tsunami.

Efek bencana tsunami hampir segera dirasakan di sepanjang pesisir barat laut Sumatra, terdekat dengan
episentrum gempa. Tsunami datang dalam waktu 30 – 40 menit, dengan ketinggian melebihi 30 m.
Seluruh desa diratakan dan hanya ada sedikit waktu untuk melarikan diri. Ketinggian tsunami juga
dipengaruhi oleh kondisi geografis; gelombang yang memasuki teluk seringkali bertambah tingginya
sebagaimana sisi teluk mengurangi pergerakan air sehingga memperbesar tinggi gelombang. Lebih jauh
lagi, gelombang bertambah tinggi saat menjelajahi lembah sempit, dengan ketinggian gelombang 48 m
tercatat di Indonesia. Gelombang setinggi 5 – 10 m menerjang Thailand dan Sri Lanka sekitar 1,5 – 2 jam
setelah gempa. Karena adanya geometri dalam pergerakan dasar laut, dimana terjadi pengangkatan pada
tepi barat lempengan yang telah terangkat dan kemudian menyusup di timur jauh, gelombang awal
tsunami yang menuju ke timur menghasilkan peristiwa surut di laut, sementara gelombang awal yang
menuju ke barat menghasilkan penggenangan. Sehingga, orang yang pertama kali melihat gelombang di
Thailand mendapatkan pertanda yang jelas dengan adanya peristiwa surut mendadak di laut; di beberapa
kasus banyak orang yang selamat saat menyadari pertanda ini dan mereka menyelamatkan diri. Namun
demikian, tanda-tanda alam ini tidak dipahami, dan banyak orang menuju ke rataan terumbu. Gelombang
berikutnya menelan banyak korban. Di Sri Lanka, efek pertama gelombang adalah berupa penggenangan,
dan masyarakat hanya mendapatkan sedikit pertanda atau bahkan tidak sama sekali.

Walaupun tinggi tsunami yang menyebar ke seluruh Samudera Hindia tidak lebih dari 1 m (seperti yang
terukur oleh radar satelit yang mengukur ketinggian laut di daerah tempat tsunami terjadi), tetap saja
tingginya mencapai 1 – 2 meter saat memasuki perairan dangkal yang jauhnya ribuan kilometer dari
gempa. Sebagai contoh, gelombang setinggi 1,5 m teramati di Afrika Selatan, 8.500 km dari tsunami.
Energi yang dihasilkan tegak lurus dari garis sesar, lebih besar bila dibandingkan dengan yang mendatar;
ini merupakan ciri umum gempa yang menghasilkan tsunami. Sehingga, sebagian besar energi tsunami
dihasilkan dari arah timur-barat setelah Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman, yang timbul di sepanjang
garis sesar utara-selatan. Ini menjelaskan mengapa Thailand dan Sri Lanka terkena hantaman gelombang
besar, dan Myanmar serta Bangladesh tidak.

Penggenangan

Sesar
Penyebaran

Pembangkitan

Diagram ini menggambarkan bagaimana tsunami terbentuk melalui gempa di sesar subduksi, bertambah
tinggi saat mendekati pesisir dan tiba sebagai gelombang besar (sumber: Viacheslaw Guslakov, Institut
Komputasi Matematika dan Matematika Geofisik, Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia)

28
Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

Gempa Sumatera 600 km_sesar 50 menit Gempa Sumatera 600 km_sesar 100 menit

Gempa Sumatera 600 km_sesar 150 menit Gempa Sumatera 600 km_sesar 200 menit

Tsunami Samudera Hindia terbentuk saat gempa memisahkan sebagian dari sesar/patahan tepi
lempeng yang membentang dari Pulau Simeulue, lepas barat laut Sumatra, sampai ke Kepulauan
Andaman di utara. Gambar-gambar ini memperlihatkan simulasi numerik proses tsunami pada
menit ke 50, 100, 150, dan 200 setelah gempa, menunjukkan interaksi kompleks gelombang awal
tsunami. Saat tsunami mendekati pesisir Thailand, gelombang melemah sebagai akibat terhalang
oleh paparan benua, sementara tsunami bergerak lebih cepat ke arah barat melalui Samudera Hindia
dan menerjang Sri Lanka serta menyebabakan kerugian berupa korban jiwa di sepanjang barat daya
pulau (Sumber: Kenji Satake, Survey Geologi Jepang dan Institut Nasional Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Industri Maju, Tsukuba, Jepang)

29
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 sangatlah luar biasa dimana gelombangnya
menjelajahi seluruh dunia. Peta ini menunjukkan bahwa gelombang mengikuti jalur mid-samudera dibawah
Samudera Hindia yang memecah di dinding es Antartika serta di sekitar Afrika Selatan dan di sepanjang
Jalur Mid-Atlantik yang memecah di Rio de Janeiro (dicetak ulang seizin New Scientist, ©2005).

MEMANDANG KE MASA DEPAN


Gempa Sumatra-Andaman 26 Desember adalah gempa berukuran besar pertama yang tercatat sejak
kehadiran instrumen seismik modern. Alat tersebut menghimpun data yang akan digunakan untuk
mempelajari gempa dan struktur bagian dalam bumi bertahun-tahun ke depan. Tsunami tersebut merupakan
yang pertama dicatat dan diselidiki dengan pengukur pasang berkualitas tinggi di seluruh dunia, serta
satelit yang terus-menerus melewati tinggi gelombang di samudera terbuka. Lama setelah tsunami
menerjang Samudera Hindia, para ilmuwan yang memantau tinggi permukaan laut dapat melihat
gelombang menyebar menuju Samudera Atlantik dan Pasifik. Instrumen-instrumen tersebut mencatat
lintasan tsunami sampai jauh ke utara di Kamchatka, Rusia di Samudera Pasifik, Nova Scotia, Kanada di
Samudera Atlantik, dan sampai ke Antartika. Ini adalah tsunami pertama yang dipantau secara terus-
menerus ke seluruh samudera, dan sekarang disebut serta diakui sebagai ‘tsunami global’ pertama.

Peristiwa bencana Desember 2004 bukanlah peristiwa terisolasi di Samudera Hindia saja. Lempeng-
lempeng tektonik akan terus bergerak dan menekan lempeng lain, dan beberapa gempa serta tsunami
akan terjadi di masa depan pada skala yang sama atau bahkan lebih. Tingkat kerusakan dari Gempa
Dahsyat Sumatra-Andaman dan tsunami Samudera Hindia memanglah besar, dilihat dari skala gempa
dan jumlah korban jiwa yang direnggutnya. Sebagaimana populasi manusia terus bertambah dan terus
mengembangkan daerah pesisir dengan cara menebangi hutan di pesisir dan mereklamasi lahan, ancaman
terhadap tsunami semakin meningkat, dan berpotensi untuk menghasilkan kerugian besar terhadap jiwa
dan kerusakan properti. Mudah-mudahan saja, gempa dan segala hal yang terkait dengan tsunami akan
menjadi peringatan bagi pemerintah dan lembaga internasional untuk menyediakan sistem peringatan
dini yang lebih efektif dan mengadakan penilaian resiko bencana alam untuk memastikan desa-desa,
kelurahan, dan kota tidak dibangun di daerah yang paling rentan serta jauh dari tepi perairan. Kerusakan
yang disebabkan oleh tsunami juga menggarisbawahi kebutuhan akan perlindungan pelindung alami
pesisir, yaitu mangrove dan terumbu karang. Terdapat beberapa bukti di beberapa bab berikut yang

30
Gempa Bumi, Lempeng Tektonik, dan Tsunami Samudera Hindia

menunjukkan bahwa mangrove meredam energi tsunami dan menyediakan naungan langsung terhadap
populasi manusia dari puing yang terbawa oleh gelombang seperti pecahan kapal, dan mencegah orang
terseret ke laut. Terdapat juga bukti yang serupa bahwa terumbu karang lepas pantai dapat mengurangi
tekanan tsunami dan perlahan mengurangi kerusakan akibat gelombang.

Gempa Dahsyat Sumatra-Andaman dan Gempa Nias 28 Maret 2005 melepaskan akumulasi tekanan
energi di sepanjang 1.500 km Busur Sunda-Andaman. Karena itu, kecenderungan gempa besar lain yang
timbul di masa depan, di sepanjang bagian zona subduksi ini, adalah kecil. Namun, peristiwa gempa-
gempa ini mungkin meningkatkan kecenderungan munculnya gempa besar lain baik di sebelah utara
atau timur dari segmen ini. Zona subduksi sampai ke tenggara (dekat Sumatra tengah), menyebabkan
gempa besar tahun 1833 dan sejak itu mengakumulasikan energi tekanan yang cukup signifikan. Walaupun
struktur tektonik dan sejarah gempa dari perpanjangan Palung Andaman di daerah utara tidak cukup
diketahui, gempa besar lain yang serupa tahun 1762 di sepanjang pesisir Arakan, Myanmar mungkin saja
terjadi.

Usaha internasional yang lebih besar diperlukan untuk menyempurnakan pemahaman kita tentang
ancaman bahaya tsunami serta untuk mengembangkan kapabilitas peringatan tsunami di Samudera
Hindia sehubungan dengan penanganan yang lebih baik terhadap perkiraan gempa di masa depan. Tidak
terdapat sistem peringatan dini di Samudera Hindia sebelum tsunami Desember. Keberadaan sistem
yang efektif dapat menyelamatkan ribuan nyawa dengan menyediakan peringatan akan adanya tsunami
sehingga tersedia waktu untuk mengevakuasi diri ke tempat yang lebih tinggi. Sebagai contoh, tsunami
membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai ke Thailand dan Sri Lanka, dan lebih dari 4 jam untuk sampai
ke Australia. Pada Konferensi Dunia tentang Pengurangan Resiko Bencana di awal 2005, Persatuan
Bangsa-Bangsa mulai merencanakan untuk membangun sistem peringatan global untuk mengurangi
ancaman bencana alam yang mematikan sebagaimana sejarah telah menunjukkan bahwa peristiwa
serupa tidak dapat dihindari.

KONTAK PENULIS
Phil Cummins, Geoscience Australia, Canberra, Australia, Phil.Cummins@ga.gov.au; Jeremy Goldberg,
International Marine Project Activities Centre, Townsville, Australia, Jeremy.Goldberg@impac.org.au.

PENINJAU
David Garnett, Sarah Gotheil, Viacheslav Gusiakov, Bernard Salvat, Kenji Satake, Kerry Sieh, David
Tappin, dan Kristian Teleki.

ACUAN
Dua ringkasan utama telah diterbitkan dalam jurnal Science dan Nature:
Science, 308: 1126-1146 (2005) artikel oleh CJ Ammon et al., R Bilham, T Lay et al., J Park et al., and M
West et al.
Nature, 434: 573-582 (2005) artikel oleh K Sieh, S Stein, and EA Okal.
Cummins P, Leonard M (2005) The Boxing Day 2004 tsunami – a repeat of 1833? Geoscience Australia,
AUSGEO news, Issue 77.
Hilman Natawidjaja D, Sieh K, Ward S, Edwards RL, et al. (2004) Paleogeodetic records of seismic and
aseismic subduction from central Sumatran microatolls. Journal of Geophysical Research, 109: B4,
B04306, doi:10.1029/2003JB002398.

31
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Kious WJ, Tilling RI (2005) This dynamic earth: the story of plate tectonics, Edisi Online, http://
pubs.usgs.gov/publications/text/dynamic.html.
Titov V, et al. (2005) The global reach of the 26 December 2004 Sumatra tsunami. Science, 309: 2045-
2048.

SITUS-SITUS TERKAIT DI INTERNET


United States Geological Survey, www.earthquake.usgs.gov;
National Earthquake Information Center, http://neic.usgs.gov;
National Environment Research Council, www.nerc-bas.ac.uk/tsunami-risks; http://geology.com;
Wikipedia, www.en.wikipedia.org/wiki/Tsunami.

Gempa meluluhlantakan barisan karang Heliopora sepanjang 7 km ini di Sumatra (Annelise Hagan)

32
2. GEMPA BUMI, TSUNAMI, DAN TEKANAN-
TEKANAN LAIN TERHADAP TERUMBU KARANG DAN
SUMBER DAYA PESISIR

CLIVE WILKINSON

Serangkaian peristiwa tsunami yang melanda negara-negara di Samudera Hindia pada 26 Desember
2004 yang lalu merupakan salah satu bencana alam terbesar dalam sejarah manusia. Korban meninggal
atau hilang mencapai sekitar 250,000 orang, lebih dari satu juta manusia diperkirakan kehilangan rumah,
dan kerugian material yang diderita mencapai milyaran dolar. Media massa memperkirakan bahwa
tsunami tersebut telah menyebabkan kerusakan serius pada terumbu karang dan ekosistem pesisir lain di
Samudera Hindia.

Namun pada kenyataannya, kerusakan karang dan mangrove akibat tsunami ternyata tidak terlalu parah.
Gelombang tsunami tersebut menyebabkan kerusakan karang yang jauh lebih ringan dibandingkan
akibat perubahan iklim El Niño/La Niña 1998. Pemutihan dan kematian karang di tahun 1998 telah
mengakibatkan hilangnya 16% terumbu karang dunia. Tsunami pada bulan Desember 2004 memang
mengakibatkan kerusakan parah pada sebagian kecil kawasan terumbu karang. Namun, kebanyakan
kawasan terumbu karang di kawasan bencana tetap dalam kondisi baik. Adanya kantong-kantong karang
produktif di sekitar kawasan merupakan pertanda tingginya potensi pemulihan terumbu karang di daerah
tersebut.

Pada kenyataannya, tekanan lingkungan akibat kegiatan manusia secara langsung dan tidak langsung
telah menyebabkan lebih banyak kerusakan karang dibandingkan tsunami. Namun tambahan tekanan
dari tsunami memang menghambat proses pemulihan karang dari tekanan-tekanan antropogenik yang
telah disebutkan. Kebanyakan terumbu karang di Samudera Hindia akan pulih dari dampak tsunami
dalam 5 hingga 10 tahun dengan syarat diterapkannya pengelolaan yang efektif untuk mengendalikan
tekanan antropogenik serta tidak terjadi banyak bencana alam di masa depan.

Bab ini mengetengahkan dua pertanyaan spesifik:

Apakah fungsi perlindungan (jika ada) dari terumbu karang dan hutan mangrove dapat menghilangkan
sebagian besar energi tsunami?
Bagaimana perbandingan akibat gempa bumi dan tsunami terhadap terumbu karang dan hutan
mangrove dibandingkan dengan akibat dari tekanan antropogenik maupun bencana alam lainnya?

33
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

APAKAH KEBERADAAN TERUMBU KARANG PENTING UNTUK MENGURANGI


KERUSAKAN TSUNAMI?
Terumbu karang memainkan peranan penting dalam perlindungan garis pantai dari abrasi gelombang,
terutama mengurangi dampak gelombang dan gelombang badai tropis. Hal ini sangat jelas terlihat pada
pulau-pulau tropis dengan pantai berpasir, hamparan rumput laut, dan hutan mangrove di belakang
terumbu karang. Fungsi perlindungan ini menjadi penting terutama di masa depan karena adanya perkiraan
bahwa perubahan iklim akan mengakibatkan naiknya permukaan laut serta meningkatnya frekuensi dan
tingkat kedahsyatan badai tropis. Fungsi perlindungan dari terumbu karang ini akan menjadi penting bagi
keberlangsungan hidup masyarakat yang hidup di kawasan atol karang (seperti Maladewa, Kiribati, dan
Tuvalu). Kawasan-kawasan tersebut terdiri dari pulau-pulau karang yang tingginya jarang yang lebih dari
2 m di atas permukaan laut saat pasang.

Bukti-bukti yang dikumpulkan pasca tsunami Desember 2004 menunjukkan bahwa gelombang besar,
biasanya lebih tinggi dari 10 m, lewat begitu saja di daerah terumbu karang tanpa mengalami penurunan
kecepatan. Analisis awal dari ilmuwan-ilmuwan UNEP GRID menunjukkan minimnya perlindungan
daratan yang langsung berada di balik terumbu-terumbu karang di Indonesia, Thailand, dan Sri Lanka.
Namun, kerusakan yang lebih besar terjadi pada kawasan dengan terumbu karang yang telah mengalami
kerusakan akibat penambangan karang (misal: Sri Lanka dan kemungkinan Maladewa) dibandingkan
pada kawasan yang terumbu karangnya tidak ditambang. Bukti ini kebanyakan masih berupa indikasi
dan mungkin tidak akan pernah dapat diverifikasi lebih lanjut, karena tsunami merupakan kejadian yang
cukup langka (dari Arjan Rajasuriya).

Beberapa daerah terumbu karang ternyata mengalami kerusakan, terutama di celah-celah antar pulau
dan antar terumbu karang. Energi tsunami di daerah ini terfokuskan akibat topografi pulau sehingga
menyebabkan gelombang dan arus yang kuat. Banyak karang di kawasan-kawasan tersebut mengalami
kerusakan yang cukup parah. Karang-karang besar yang berat, karang bercabang, dan karang-karang
meja terbalik atau hancur. Pada gilirannya, karang-karang ini juga menyerap sebagian dari energi gelombang
tsunami.

Nampaknya, terumbu karang sangat penting dalam perlindungan garis pantai dari gelombang badai.
Fungsi ini akan menjadi lebih penting di masa depan. Gelombang yang terjadi pada tanggal 26 Desember
2004 tersebut jauh lebih tinggi dari kebanyakan badai tropis yang pernah terjadi. Hal ini menyebabkan
beban terumbu karang dalam melindungi daratan juga menjadi jauh lebih berat.

APAKAH MANGROVE DAN HUTAN PANTAI MENGURANGI KERUSAKAN


TSUNAMI?
Terdapat bukti kuat bahwa hutan mangrove memainkan peran perlindungan dalam mengurangi energi
tsunami. Beberapa kawasan mangrove di Sumatra (Indonesia) hampir hancur total akibat menyerap
terlalu banyak energi tsunami. Beberapa desa di sepanjang pantai India dan Sri Lanka selamat dari
kehancuran total akibat tsunami karena dilindungi oleh mangrove dan hutan-hutan pantai. Kapal-kapal
ikan dan puing-puing lain tersangkut pepohonan sehingga tidak menabrak rumah-rumah di belakang
hutan. Orang-orang juga dapat memanjat pohon sehingga tidak hanyut ke laut.

Bukti-bukti yang dikumpulkan oleh UNEP GRID menyebutkan bahwa walaupun mangrove cenderung
tumbuh di perairan yang lebih terlindung seperti daerah muara, hutan mangrove juga menyerap banyak
gelombang tsunami hingga ke sungai-sungai. Hal ini seperti halnya hutan waru dan cemara laut yang

34
Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

tumbuh di gumuk atau bukit pasir pesisir yang juga menyerap banyak energi gelombang, sehingga
melindungi infrastruktur pesisir di sekitarnya. Bukti-bukti ini nampak jelas di kebanyakan negara yang
dilanda tsunami. Pada gilirannya, hutan-hutan pesisir juga mengalami kerusakan parah karena menyerap
energi gelombang tsunami.

DAPATKAH TERUMBU KARANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN


TERHADAP TSUNAMI?
Terdapat indikasi bahwa terumbu karang yang utuh dan sehat mengurangi dampak tsunami
terhadap masyarakat di daerah pesisir. Beberapa laporan juga menyatakan bahwa perubahan
lingkungan laut dan pesisir yang dilakukan oleh manusia telah menyebabkan meningkatnya
kerusakan di darat. Sebuah makalah oleh Lui et al. (2005) di jurnal Science melaporkan tentang
tergelincirnya sebuah kereta penumpang di Sri Lanka akibat penambangan karang di kawasan
sekitar. Namun, tidak ada perbandingan kuantitatif antara tinggi gelombang atau jarak genangan
dengan keberadaan terumbu karang di kawasan tersebut. Tanpa perbandingan tersebut, tidaklah
mungkin untuk menyelidiki keabsahan pernyataan tersebut. Sebagai perbandingan, pengukuran
oleh Unit Penelitian Geologi Amerika Serikat (the United States Geological Survey) sepanjang
pesisir Aceh (http://walrus.wr.usgs.gov/news/reports.html) melaporkan bahwa gelombang di
pesisir yang memiliki karang lebih tinggi secara signifikan, dibandingkan gelombang di kawasan
tanpa terumbu karang (Karang: rata-rata tinggi gelombang dalam meter ± standard error = 28.6
± 3.65, n = 4. Tanpa karang: 22.06 ± 1.23, n = 12, t (0.05), 14 = -2.232, p = 0.043). Penelitian
lapangan saya memberikan indikasi bahwa batas penggenangan air laut pada setiap lokasi
biasanya ditentukan oleh kombinasi tinggi gelombang dan topografi pesisir. Tsunami hanya
akan berhenti saat mencapai kontur daratan yang tingginya sama dengan tinggi gelombang
tsunami tersebut. Hal ini sangat penting, karena memerlukan analisis yang menyeluruh dan
bukannya informasi indikatif yang diulang-ulang. Adalah suatu hal yang berbahaya untuk membesar-
besarkan peran perlindungan yang diberikan oleh terumbu karang secara berlebihan, karena
hal ini akan menimbulkan perasaan aman yang tidak benar. Ditakutkan, tsunami yang berikutnya
dapat menyebabkan menurunnya kredibilitas keilmuan. Ada sebuah konsekuensi lain yang tidak
terduga saat menghubungkan kerusakan tsunami dengan kegiatan manusia, yaitu beban yang
tidak adil terhadap para nelayan, petani, dan bisnis-bisnis di kawasan yang dilanda tsunami.
Terumbu karang yang sehat mampu memberikan barang dan jasa yang berharga terhadap
masyarakat pesisir, termasuk juga perlindungan dari gelombang. Namun, terlalu berlebihan
dan tidak realistik untuk berharap agar ekosistem-ekosistem tersebut memberikan perlindungan
dari bencana tsunami besar (dari Andrew Baird).

Referensi: Baird AH, dan sembilan narasumber (2005). Terumbu karang Aceh setelah tsunami
Asia. Current Biology, 15: 1926-1930; Liu PL-F, dan delapan narasumber lain (2005). Pengamatan-
pengamatan Tim Survei Internasional di Sri Lanka. Science, 308: 1595.

Sebuah penelitian oleh para peneliti dari Denmark dan India menyimpulkan bahwa hutan-hutan pesisir
memberikan fungsi perlindungan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa desa-desa dan daratan di belakang
sabuk pepohonan di Distrik Cuddalore, Tamil Nadu, India mengalami kerusakan yang jauh lebih ringan
dari desa-desa yang langsung terlanda tsunami. Kawasan mangrove yang luas di utara tetap utuh dan
tiga desa di belakang mangrove tersebut relatif tidak rusak, dibandingkan dengan dua desa yang tidak
terlindungi yang hancur rata. Lima desa ke arah selatan yang berada di belakang perkebunan cemara laut
mengalami kehancuran sebagian. Sementara itu, desa-desa pesisir di utara dan selatan hutan, hancur
total. Perkebunan cemara laut tersebut relatif aman, walaupun 5 hingga 10 pepohonan di baris-baris
pertama tercabut akarnya. Antara tahun 1980 hingga 2000, kegiatan manusia telah mengurangi luasan
mangrove hingga 26% (dari 5.7 hingga 4.2 juta hektar). Tsunami yang terjadi telah menggambarkan
betapa kerusakan hutan telah meningkatkan resiko erosi garis pantai, selain juga menyebabkan hilangnya

35
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

fungsi mangrove sebagai kawasan pemijahan perikanan dan kehutanan (dari Danielsen F dan 11
narasumber lain (2005) Science, 310: 643).

ANCAMAN DAN TEKANAN TERHADAP TERUMBU KARANG


Ancaman dan tekanan terhadap terumbu karang telah lama dikelompokkan menjadi dua kategori umum:
alami dan antropogenik. Kejadian akhir-akhir ini seperti pemutihan karang dan tsunami yang baru terjadi,
membuat perlunya ditambahkan kategori lainnya yaitu tekanan alami yang diperparah oleh kegiatan
manusia.

Ancaman-Ancaman Alami
Terumbu karang telah berevolusi selama jutaan tahun di bawah ‘tekanan-tekanan alami sejati’ yang telah
membentuk evolusi terumbu karang. Hal ini termasuk kejadian-kejadian utama seperti abad es yang
membawa perubahan iklim, kenaikan dan penurunan permukaan air laut, dan hantaman meteor. Selama
8,000 tahun sejak abad es yang terakhir, terumbu karang telah bergulat di bawah kondisi-kondisi yang
relatif aman, serta menghadapi badai-badai tropis, pemasukan air tawar, gempa bumi, gunung-gunung
api, dan penyakit-penyakit tingkat rendah. Pemulihan kepada kondisi awal biasanya cepat, walaupun
kadang memakan waktu beberapa dekade. Terumbu karang biasanya cepat pulih dari stress, dengan
syarat bahwa kejadian-kejadian tersebut tidak terjadi secara rutin maupun diperparah oleh stress
antropogenik tambahan. Ancaman-ancaman alamiah tersebut dapat digolongkan menjadi: kejadian-
kejadian geologis, fenomena-fenomena iklim dan cuaca, serta tekanan-tekanan biologis.

KARENA USAHA UNTUK MEMECAHKAN REKOR DUNIA, SEBUAH DESA


DI INDIA SELAMAT DARI TSUNAMI
Dalam usaha mereka untuk memecahkan rekor dunia (Guinness Book of Record), pada tahun
2002 masyarakat desa Naluvedapathy di distrik Vedaranyam, Tamil Nadu, India menanam
80,244 anakan pohon. Mereka menciptakan jalur selebar satu kilometer berupa hutan mini
yang berisi cemara laut, pohon kelapa, dan pohon-pohon lain. Jadi, ketika penduduk desa
berjalan ke Teluk Bengal, mereka dapat mendengar deburan gelombang, namun tidak dapat
melihatnya. Usaha menanam pohon ini memberikan hasil pada tanggal 26 Desember 2004,
ketika banyak desa dan kota di Tamil Nadu yang hancur saat gelombang raksasa menyapu
pantai-pantai yang terbuka. Saat air laut melanda kawasan tersebut dan gelombang besar
membanjiri rumah, jalan, dan peternakan, Desa Naluvedapathy dengan sekitar 600 rumah
mengalami kehancuran minimum dan sedikit korban jiwa karena ribuan pohon telah meredam
dampak tsunami. Seorang petani tua bernama Nagappan berkata bahwa desa mereka memang
selalu memiliki pepohonan. Namun jumlah pohon mereka meningkat tajam saat tiga tahun lalu
seorang pejabat setempat menawarkan ide untuk memecahkan rekor dunia. “Kami terselamatkan
oleh pohon-pohon ini. Desa-desa pesisir lainnya harus juga membuat benteng pohon untuk
keselamatan mereka,” kata bapak tersebut. Marimathu, nenek berusia 70 tahun gemetar saat
dia mengingat peristiwa itu. “Saya sedang berada di atas bukit dan melihat gelombang raksasa
yang menghantam pantai... Saya berhasil lari ke tempat aman, tapi tempat tersebut juga
tergenangi air. Pohon-pohon di sini ditanam oleh kakek-nenek saya dan orang-orang lainnya
sejak beberapa waktu lalu. Saya telah tinggal di desa ini selama hidup saya, tapi benteng
pepohonan kami baru tumbuh sejak 15 tahun yang lalu. Tolong beritahu yang lain untuk juga
menanam pohon!” Gumuk (bukit pasir) dan mangrove di sepanjang pesisir dekat Kanyakumari
dan Pondicherry juga melindungi beberapa desa lain dari amukan tsunami. Namun hutan
Naluvedapathy memberikan cukup perlindungan bagi seluruh desa Naluvedapathy. Jadi
semboyannya adalah: “Guinness is good for you!” (dari BBC NEWS: http://news.bbc.co.uk/
go/pr/fr/-/1/hi/world/south_asia/4269847.stm).

36
Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

Kejadian-kejadian geologis: selama jutaan tahun, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami
telah menyebabkan terumbu karang mengalami kerusakan episodik yang bersifat lokal, walaupun sering
juga parah. Gempa bumi cukup sering terjadi di sepanjang lingkar Kaledonia Baru, Vanuatu, Kep. Solomon,
Papua Nugini, hingga ke Phillipina dan Jepang. Lingkar ini juga bersambung ke selatan Indonesia serta
Kepulauan Andaman dan Nikobar, yang juga merupakan tempat awal terjadinya bencana Desember
2004.

Sampul laporan ini memberikan contoh jelas atas kerusakan parah yang terlokalisir akibat gempa bumi, di
mana terumbu karang di Pulau Simeulue, Indonesia terangkat keluar dari laut selama gempa bumi.
Semenanjung Huon di Papua Nugini merupakan contoh yang mirip, di mana teras-teras karang telah
terangkat sejak 300,000 hingga 600,000 tahun yang lalu. Di sana, teras-teras karang baru juga terbentuk
setiap 2,000 hingga 12,000 tahun. Terumbu karang yang terletak sangat dekat dengan sumber gempa
mengalami patahan. Karang-karang besar maupun karang-karang rapuh seperti jenis-jenis dari marga
Acropora yang bercabang, hancur dan jatuh ke bawah tubir. Sebagaimana yang terlihat selama gempa
bumi pada tanggal 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005, sering terumbu karang yang berdekatan
dengan karang yang rusak maupun terangkat malah tidak terpengaruh, dan hanya ada sedikit akibat
yang dapat dilihat pada terumbu karang di perairan yang lebih dalam. Pemulihan karang dalam keadaan
tersebut biasanya cepat, karena larva karang sudah tersedia dari terumbu karang yang berada di dekatnya.

Kerusakan karena letusan gunung api umumnya terjadi akibat banyaknya abu yang tersembur. Sebagai
contoh, letusan Pinatubo pada tahun 1991 telah mengakibatkan tertutupnya karang-karang di arah
tengah barat Pulau Luzon di Phillipina. Letusan-letusan Gunung Montserrat di Karibia pada tahun 1995
dan Rabaul di Papua Nugini pada tahun 1994 telah melepaskan sejumlah besar abu yang menutupi
terumbu karang di sekitarnya. Gunung-gunung api yang melepaskan lava, misalnya Hawaii, Reunion,
dan Indonesia menyebabkan kerusakan terumbu karang di kawasan-kawasan sekitarnya. Namun, lava
tersebut juga menyediakan substrat baru untuk karang yang dengan cepat membentuk koloni di bebatuan
yang baru tersebut.

STUDI DI HAWAII MENEMUKAN BAHWA PEPOHONAN TELAH


MEREDAM DAMPAK TSUNAMI
Sebuah laporan dari para peneliti Universitas Hawaii menyimpulkan bahwa pepohonan dan
semak-semak di antara jajaran bangunan dan laut telah membantu mengurangi dampak gelombang
tsunami di Maladewa. Pohon-pohon pandan (hala) dan perdu seperti kembang sepatu (hibiscus)
tidak memiliki efek redam sebesar pohon mangrove, tapi masih tetap mengurangi energi
gelombang. Pepohonan tersebut dengan efektif memerangkap bebatuan dan meredam laju air.
Dinding-dinding beton dan kaca-kaca pengaman di hotel-hotel juga telah mengurangi korban.
Para peneliti tersebut pergi ke Maladewa sekitar 6 minggu setelah tsunami sebagai bagian dari
penelitian untuk membuat hotel dan bangunan lain di Hawaii lebih aman. Hal ini menggambarkan
betapa bencana seperti tsunami dapat menyebabkan masalah yang sama di seluruh samudera
di dunia. Orang-orang Maladewa yang tidak terlibat dalam dunia wisata biasanya miskin.
Sekarang telah terjadi penurunan jumlah turis di negara tersebut akibat kerusakan-kerusakan di
berbagai hotel. Hal yang sama terjadi setelah Topan Iniki menghantam Kauai, menghentikan
mesin ekonomi untuk pulau tersebut. Diperlukan beberapa tahun sebelum ekonomi kawasan
tersebut pulih kembali. Seperti halnya Maladewa, walaupun tidak banyak korban jiwa setelah
Topan Iniki, namun kehilangan besar dalam ‘jalan hidup’ manusia tetap terjadi (dari Barbara
Keating dan Charles Helsley, dilaporkan dalam Associated Press, www.newsday.com).

37
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Peta ini memperlihatkan zona-zona kegiatan seismik utama untuk gempa bumi dan gunung api yang
dapat menyebabkan tsunami. Gempa bumi tanggal 26 Desember 2004 terjadi kira-kira di pertengahan
garis patahan dari Timor di daerah timur hingga Kep. Nikobar di utara (dari Viacheslav Gusiakov).

Kerusakan akibat tsunami sering menyerupai kerusakan akibat badai tropis, sebagaimana telah diamati
dari tsunami Samudera Hindia. Kebanyakan terumbu karang mengalami kerusakan minimal dengan
kerusakan maksimum 10% di kebanyakan kawasan. Hal ini merupakan indikasi bahwa terumbu karang
memang menyerap sebagian energi tsunami, sehingga secara sebagian mengurangi dampak tsunami
terhadap daratan. Namun, tinggi gelombang tsunami jauh lebih tinggi dari gelombang karena badai
tropis. Sebuah badai tropis dapat mengirimkan gelombang yang menghancurkan terumbu karang selama
beberapa hari, di mana setiap gelombang menambahkan dampak yang telah dibuat oleh gelombang
sebelumnya. Kebanyakan gelombang yang terjadi tanggal 26 Desember melanda karang dan menghempas
di pantai-pantai, sementara gelombang badai biasanya pecah di terumbu karang.

Hantaman meteor telah menyebabkan kerusakan hebat terhadap terumbu karang pada beberapa kejadian
kepunahan utama. Namun, tak ada kejadian serupa itu yang menghancurkan ekosistem bahari akhir-
akhir ini.

Iklim dan cuaca: Badai tropis (siklon, taifun, hurikan) adalah hal yang umum terjadi di lautan tropis;
biasanya terjadi di luar 7o Lintang Utara maupun 7o Lintang Selatan. Kebanyakan terumbu karang di luar
lintang tersebut telah mengalami badai tropis dan biasanya pulih dari kerusakan yang dialami. Kerusakan
biasanya terlokalisir, di mana kawasan sekitarnya hanya rusak sebagian atau malah tidak tersentuh
badai. Kawasan sekitar tersebut akhirnya berfungsi sebagai penyedia larva terumbu karang untuk
memulihkan terumbu karang yang rusak. Terumbu karang yang mengalami banyak badai tropis, seperti di
Guam dan atol-atol Pasifik, telah mengembangkan komunitas karang yang rendah dan tahan gelombang.

Karang juga dapat mati karena pemasukan air tawar selama badai tropis. Kejadian-kejadian tersebut
biasanya terlokalisir dan memberikan dampak utama pada terumbu karang di paparan yang dangkal.
Sekali lagi, terumbu karang tersebut biasanya cepat pulih dari tekanan tersebut. Cuaca yang tidak biasanya

38
Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

hangat dan tenang dapat juga mengakibatkan pemutihan karang yang merusak terumbu karang (lihat di
bawah).

Tekanan-tekanan biologis: Karang dan organisme lain yang hidup di terumbu dapat terpapar oleh
tekanan-tekanan biologis seperti predator dan penyakit. Dalam dekade terakhir, wabah predator seperti
bintang laut duri (Acanthaster planci) dan gastropoda pemakan karang Drupella telah menimbulkan
kerusakan besar terhadap terumbu karang, dan sering menghancurkan kawasan karang yang luas.
Walaupun kedua binatang tersebut mengalami evolusi di terumbu karang, masih terjadi diskusi hangat
tentang apakah kejadian-kejadian tersebut adalah alami, atau disebabkan, atau diperparah, oleh kegiatan
manusia. Saat ini ada gunungan bukti bahwa timbulnya wabah predator yang parah tersebut berkorelasi
dengan gangguan manusia terhadap ekosistem atau perubahan iklim global.

Penyakit-penyakit yang dialami oleh karang dan biota terumbu karang yang lain juga merupakan tekanan
alami yang kemungkinan telah berevolusi bersama dengan organisme-organisme tersebut selama jutaan
tahun. Namun terdapat semakin banyak bukti akan meningkatnya penyakit-penyakit karang dalam
beberapa dekade terakhir yang juga sangat berkaitan dengan kegiatan manusia yang mengganggu
ekosistem. Kebanyakan bukti tersebut diperoleh dari peristiwa-peristiwa di Karibia dan sekitarnya selama
tahun 1980-an dan 1990-an.

ILMUWAN MENEMUKAN ‘ZONA MATI’ DI EPISENTRUM TSUNAMI


Pada ekspedisi ilmiah ke episentrum tsunami yang terjadi pada Desember 2004 yang lalu, para
ahli biologi menemukan sedikit atau bahkan tidak adanya dampak tsunami terhadap fauna laut
dalam, kecuali pada satu tempat di lepas pantai Sumatra, kedalaman sekitar 4,000 m. Lima
bulan setelah kejadian tsunami 2004, para ilmuwan yang terlibat dalam survei bahari global
tersebut melakukan penyelaman selama 11 jam di episentrum tsunami tersebut. Mereka sangat
terkejut ketika menemukan sebuah ‘zona mati’, di mana tak satu pun mahluk hidup terlihat.
Tidak ada apapun kecuali keheningan yang menakutkan. Lampu terang kapal selam ilmiah
mereka menyoroti kegelapan, namun tidak menemukan satu pun tanda-tanda kehidupan. Ron
O’Dor dari Dalhousie University di Canada yang bekerja untuk proyek Sensus Hidupan Laut
berkata, “Orang pasti mengira tempat seperti ini akan cepat dikolonisasi lagi. Namun hal itu
tidak terjadi. Belum pernah ada preseden seperti ini. Biasanya jika seseorang pergi ke dasar
laut di mana pun dan mengambil sampel atau melihat ke sekitar, mereka akan menemukan suatu
bentuk kehidupan.” Profesor O’Dor melanjutkan, “Tapi, lima bulan setelah gempa bumi, kawasan
yang terbentuk akibat runtuhnya jurang bawah laut ini tetap kosong, tanpa kehidupan.” Kelompok
tersebut sempat berharap untuk menemukan beberapa jenis ikan dan cephalopoda, teripang,
bintang mengular, karang, spons, krustasea, dan cacing. Profesor O’Dor berpikir bahwa jurang
yang runtuh telah mengubur sumber makanan ikan-ikan pemakan serasah di dasar laut (bottom
feeders), yang pada gilirannya mempengaruhi predator-predator besar. “Belum pernah ada
yang pergi ke tempat seperti ini dalam waktu sedini ini,” ujarnya. “Sepertinya diperlukan waktu
beberapa lama sebelum tempat ini menjadi normal kembali. Di kedalaman ini, laut sangat
dingin. Pada umumnya, kecepatan tumbuh kehidupan adalah proporsional dengan suhu. Tidak
ada yang tumbuh dengan sangat cepat pada suhu 4° C.” Penemuan dan pelaporan temuan di
episentrum tsunami ini menandai separuh capaian dari sebuah proyek ambisius untuk membuat
katalog seluruh kehidupan di laut pada tahun 2010. Proyek 10 tahun tersebut dimulai pada
tahun 2000 dengan sekitar 250 kolaborator. Dalam lima tahun berikutnya, angka tersebut telah
berlipat hampir tujuh kalinya dengan lebih dari 1.700 ahli dari 73 negara bekerja untuk
menghasilkan sensus pertama pada tahun 2010. Kebanyakan jenis baru telah ditemukan di
sudut-sudut terdalam dan terpencil dari lautan. Para ilmuwan percaya bahwa semua hidupan
laut yang sudah dikenali saat ini mungkin hanya merupakan 10% dari seluruh hidupan laut yang
ada (dari Sensus Hidupan Laut – the Census of Marine Life, www.coml.org).

39
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Tekanan-tekanan Antropogenik
Walaupun terumbu karang telah mengalami tekanan-tekanan alami selama proses evolusi dan
perkembangannya, tekanan antropogenik adalah fenomena baru yang sekarang paling banyak
menyebabkan kerusakan terumbu karang. Buku ‘Kondisi Terumbu Karang Dunia: 2004’ (‘Status of Coral
Reefs of the World: 2004’) telah melaporkan 10 tekanan antropogenik spesifik yang terbagi dalam tiga
kategori: tekanan manusia secara langsung; ancaman perubahan global; serta kesadaran pemerintah dan
kemauan politik yang rendah. Tekanan-tekanan ini banyak menyebabkan krisis global terumbu karang.
Perkiraan saat ini adalah 20% dari terumbu karang sedunia telah hancur sedemikian rupa, sehingga
mekanisme pemulihan alami tidak lagi efektif. Kebanyakan kehancuran tersebut proporsional dengan
tingkat aktivitas manusia di dekat kawasan tersebut, terutama jika beberapa tekanan terjadi bersamaan
pada satu kawasan terumbu karang. Namun kehancuran yang diderita ternyata cukup bervariasi sehingga
tidaklah mungkin untuk membuat peringkat faktor penyebab kerusakan berdasarkan tingkat keparahan
yang dihasilkan. Karang-karang di dekat daratan besar dengan populasi tinggi, lebih rawan terkena polusi
zat hara dan sedimentasi. Di lain pihak, kegiatan perikanan yang merusak dapat menjadi ancaman
utama karang-karang terpencil. Perubahan iklim global semakin menjadi ancaman dengan kerusakan
yang terjadi akibat meningkatnya suhu dan keasaman lautan. Seluruh ancaman ini merupakan perwujudan
dari kesadaran dan pemahaman yang rendah akan masalah-masalah yang dihadapi oleh terumbu karang,
serta tidak cukupnya tindakan pemulihan yang diakibatkan oleh rendahnya kemauan politik oleh para
pembuat kebijakan nasional dan internasional.

Tekanan manusia secara langsung


Polusi sedimen: sedimen secara langsung memberi tekanan pada karang dengan mengurangi sediaan
energi cahaya. Hal ini menghambat pertumbuhan karang, menutupi luasan karang, dan juga menambah
penyakit karang. Polusi sedimentasi biasanya terjadi karena tata guna lahan yang buruk, penebangan
hutan di daerah resapan air, pembangunan kawasan pesisir, dan penggalian untuk saluran dan pelabuhan.

Polusi hara dan kimia: kebanyakan terumbu karang berevolusi di lingkungan yang rendah kadar
haranya. Hal ini menyebabkan polusi hara dan kimia (yaitu zat hara organik dan non-organik, senyawa
organik kompleks, dan logam berat) adalah penyebab utama rusaknya terumbu karang. Polutan-polutan
ini tiba di kawasan terumbu karang dalam bentuk sedimen, limbah yang tidak mengalami perlakuan,
sampah-sampah pertanian dan peternakan, serta limbah industri. Hal-hal tersebut memberikan tekanan
kepada karang dengan cara memupuk pertumbuhan plankton yang pada gilirannya mengurangi cahaya
yang masuk; merangsang pertumbuhan pesaing-pesaing karang; dan mempercepat perkembangan penyakit
karang.

Penangkapan ikan yang merusak dan berlebihan: kegiatan ini memberikan tekanan paling banyak
pada terumbu karang sebagai akibat meningkatnya populasi manusia, pertumbuhan ekonomi regional
dan permintaan global untuk makanan laut. Di masa lalu, kapal-kapal nelayan kecil hanya dapat
menjangkau beberapa terumbu karang. Namun sekarang, kapal-kapal ikan besar bermotor yang terbuat
dari aluminium dan fiberglass menyebabkan penangkapan berlebih di kawasan terumbu karang yang
terpencil. Pada awalnya, target tangkapan para nelayan tersebut adalah ikan-ikan yang sangat dekat
kehidupannya dengan karang, seperti kerapu, kakap, dan ikan kakatua (wrasse) besar. Ketika hasil
tangkapan mulai menurun, para nelayan mulai menggunakan perangkap-perangkap yang lebih efektif,
rawai dengan jaring yang kecil, serta tombak untuk menangkap ikan. Saat teknik-teknik tersebut gagal
memberikan hasil tangkapan yang memadai, nelayan dapat saja memilih menggunakan bom untuk
menambah hasil tangkapan. Penangkapan ikan yang merunut rantai makanan dari paling atas yaitu
tingkat predator, ke omnivora, ke herbivora, dan akhirnya ke jenis-jenis pemakan plankton inilah yang

40
Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

akhirnya dapat mengganggu ekologi alami terumbu karang. Sebagai contoh, hilangnya ikan-ikan pemakan
alga telah menyebabkan pertumbuhan makroalga yang berlebih. Hilangnya ikan-ikan predator dan omnivora
juga menyebabkan meningkatnya predator terumbu karang itu sendiri. Sebuah contoh lain untuk
penangkapan ikan yang berlebihan adalah adanya bukti bahwa ikan-ikan hiu makin sulit dijumpai di
banyak terumbu karang, akibat pemanenan hiu untuk pasar sirip hiu di Asia.

Pemboman ikan dan peletakan jangkar kapal juga dapat menyebabkan kerusakan fisik secara langsung
terhadap hamparan karang, yang akhirnya mengurangi habitat ikan. Sulit sekarang untuk melihat ikan
lebih panjang dari 10 cm di banyak terumbu karang di Afrika Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara, serta
Karibia. Penggunaan sianida untuk memabukkan ikan-ikan di balik karang merupakan sebuah teknik
perikanan yang merusak karang yang akhir-akhir ini marak berkembang. Sianida digunakan untuk
memasok kebutuhan perdagangan ikan hias dan ikan pangan hidup untuk restoran-restoran di Asia.
Perikanan sianida ini umumnya bersifat berpindah-pindah dari satu terumbu ke terumbu lain. Pasaran ini
tercipta karena kebutuhan yang sangat tinggi akan ikan-ikan bermutu tinggi di pasaran di Hong Kong dan
kawasan-kawasan sekitar di dataran Cina.

Pembangunan wilayah pesisir: Dengan meningkatnya populasi manusia dan pertumbuhan ekonomi,
pembangunan pesisir pun meningkat. Modifikasi garis pantai yang tidak sesuai, dapat merusak ekosistem-
ekosistem alami dengan cara mengubah pola arus dan meningkatkan jumlah sedimen yang tersuspensi.
Pembangunan pelabuhan, hotel, jetty, dan bandara di atas hamparan terumbu karang, serta pembuatan
dinding-dinding penahan abrasi garis pantai juga dapat mengakibatkan kerusakan karang. Penambangan
karang dan pasir yang berlebihan juga merupakan kegiatan yang sangat merusak. Walaupun tidak sah,
akhir-akhir ini kegiatan tersebut telah meningkat karena merupakan bagian dari upaya yang terburu-buru
untuk kembali membangun kawasan pasca tsunami.

Ancaman Perubahan Global


Walaupun tekanan langsung akibat kegiatan manusia telah merusak terumbu karang sejak beberapa
dekade, dan tetaplah menjadi ancaman yang paling signifikan saat ini, kini perubahan iklim global menjadi
ancaman yang lebih besar bagi kesehatan terumbu karang dalam waktu dekat. Diperkirakan perubahan
iklim akan menyebabkan kenaikan suhu air laut dan permukaan air laut, meningkatnya frekuensi dan
intensitas badai tropis, dan bertambahnya konsentrasi CO2 terlarut. Walaupun kenaikan permukaan air
laut bukanlah masalah bagi terumbu karang, hal ini akan mengancam populasi manusia yang menempati
pulau-pulau karang yang berkontur rendah. Sebaliknya, meningkatnya suhu air laut menyebabkan lebih
banyak terjadinya badai-badai tropis dan kadar keasaman laut, yang kini merupakan ancaman-ancaman
utama bagi terumbu karang. Pemutihan karang dan badai-badai yang parah di Karibia dan sekitarnya di
tahun 2005 terjadi karena meningkatnya suhu permukaan air laut.

Pemutihan karang: Hal ini umumnya terjadi karena suhu laut yang lebih tinggi dari kisaran normal.
Meningkatnya kejadian pemutihan karang akhir-akhir ini berhubungan langsung dengan perubahan
iklim global. Peristiwa El Niño - La Niña di tahun 1997-98 telah menyebabkan banyak kematian karang
di seluruh Samudera Hindia, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat. Diperkirakan 16% terumbu karang dunia
secara praktis hancur pada tahun 1998 (walau beberapa telah pulih setelah itu). Pada tahun-tahun
belakangan ini, El Nino makin sering terjadi, dengan interval yang makin berkurang dari 12 tahun ke
kurang dari 7 tahun sekali, walaupun catatan sejarah memang masih terlalu sedikit untuk mengkonfirmasi
kecenderungan ini. Walaupun tidak sampai menyamai kejadian tahun 1998, beberapa kejadian pemutihan
karang yang signifikan juga terjadi pada tahun 2000, 2002, 2003, dan 2005 di berbagai belahan dunia.
Namun pada tahun 2002, Great Barrier Reef di Australia juga mengalami kejadian pemutihan karang
dengan skala yang menyamai tahun 1998.

41
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Badai tropis: Kenaikan frekuensi dan intensitas badai tropis juga diperkirakan merupakan dampak dari
perubahan iklim global. Badai-badai semacam itu akan mengancam terumbu karang dan mengurangi
proses pemulihan karang yang rusak karena akibat lain. Dengan meningkatnya permukaan laut, ombak
badai yang timbul saat badai tropis akan membahayakan pulau-pulau karang berkontur rendah, terutama
negara-negara atol (Maladewa, Tuvalu, Kepulauan Marshall, dan Kiribati).

Meningkatnya konsentrasi CO2: Meningkatnya jumlah CO2 di atmosfir yang disebabkan oleh
peningkatan emisi gas rumah kaca akan memperbesar konsentrasi CO2 terlarut dalam air laut. Pada
gilirannya, hal ini akan menyebabkan lebih tingginya kadar keasaman air laut, yang mengurangi laju
pengapuran karang dan biota laut lainnya, seperti alga pengapur, moluska, dan foraminifera.

Penyakit, wabah, dan jenis invasif: Hal-hal tersebut nampaknya meningkat. Ada korelasi yang kuat
antara timbulnya penyakit utama karang, merebaknya wabah serta timbulnya jenis invasif dengan
gangguan yang diberikan manusia kepada lingkungan alami. Penyakit-penyakit karang telah sering diamati
untuk menindaklanjuti kejadian polusi atau pemutihan karang. Implikasi pengamatan tersebut adalah
bahwa karang yang mengalami stress juga menjadi kurang mampu menolak infeksi. Saat ini, 29 penyakit
karang sudah ditemukan di lebih dari 150 jenis karang di Karibia dan Indo-Pasifik. Akibatnya, Karibia dan
sekitarnya mengalami kerusakan karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan karang-karang di Indo-
Pasifik.

Pada saat yang sama, terjadi ledakan wabah predator karang, seperti bintang laut berduri/bulu seribu
(Acanthaster planci). Semakin banyak laporan tentang timbulnya wabah semacam itu di dekat pemukiman
manusia, terutama jika ada bukti penangkapan ikan yang berlebihan dan/atau peningkatan pasokan zat
hara dari daratan. Kedua situasi tersebut mendukung kelangsungan hidup bintang laut berduri pada fase
planktonik dan juwana. Laporan juga masuk mengenai kerusakan karang akibat predasi dari moluska
gastropoda Drupella. Selain itu, kematian masal bulu babi pemakan alga, Diadema antillarum, di Karibia
pada awal 1980-an telah menyebabkan perubahan besar pada terumbu karang di kawasan tersebut
dengan adanya ledakan pertumbuhan alga.

Kini jenis invasif dikenal sebagai ancaman potensial utama terhadap keseimbangan ekologis terumbu
karang. Penyakit yang membunuh Diadema antillarum kemungkinan masuk ke Karibia dari Kanal Panama.
Jenis invasif yang telah merusak karang-karang di Hawaii dan Karibia juga dicurigai masuk melalui air
balas (ballast) kapal-kapal kargo, atau dari pelepasan spesimen akuarium yang tidak dilaporkan dengan
baik.

Kepemimpinan, kesadaran, dan kemauan politik


Jumlah penduduk dan kemiskinan: Tekanan-tekanan antropogenik meningkat karena bertambahnya
jumlah penduduk dan interaksi mereka dengan terumbu karang. Tekanan tersebut berkaitan dengan
kemiskinan dan meningkatnya kebutuhan manusia untuk pindah ke kawasan pesisir yang jauh dari
lahan pertanian yang tidak produktif. Hal ini memperbesar eksploitasi sumber daya terumbu karang
melebihi batas-batas lestari. Tekanan semacam ini akan tetap berlangsung di kawasan terumbu karang,
kecuali dilakukan tindakan pencegahan.

Kemampuan dan sumber daya yang tidak memadai: Kebanyakan negara yang memiliki terumbu
karang tidaklah memiliki sumber daya logistik dan pendanaan yang memungkinkan untuk pengelolaan
terumbu karang yang efektif. Kebanyakan negara tersebut adalah negara berkembang berbentuk pulau
kecil (SIDS – Small Island Developing States) atau negara berkembang tropis pesisir yang dimintai bantuan
oleh masyarakat dunia untuk melindungi sumber daya terumbu karang mereka yang kaya akan pangan
dan keanekaragaman hayati. Hal ini hanya mungkin terjadi jika masyarakat dunia memberikan bantuan

42
Gempa Bumi, Tsunami, dan Tekanan-tekanan Lain terhadap Terumbu Karang dan Sumber Daya Pesisir

pelatihan, dana, dan sumber daya kepada negara-negara tersebut, sehingga mereka mampu menerapkan
kegiatan konservasi secara terus menerus. Sebagai contoh, banyak pemerintah negara berkembang yang
telah mendeklarasikan Daerah Perlindungan Laut (Marine Protected Area – MPA) untuk melindungi
terumbu karang mereka, namun tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk menegakkan peraturan-
peraturan konservasi.

Kemauan politik yang rendah dan kapasitas kepemimpinan: Hal ini sering terjadi akibat kurangnya
informasi yang berkaitan dengan pentingnya terumbu karang dan masalah-masalah yang dihadapi
ekosistem ini dalam setiap lapisan masyarakat, dari masyarakat kecil hingga pejabat-pejabat pemerintah.
Pemerintah sering menghadapi masalah penyediaan pangan dan papan dengan dana yang terbatas
untuk penduduk yang makin bertambah. Hal ini dapat membuat mereka beranggapan bahwa isu-isu
lingkungan dapat dipecahkan di lain waktu. Masyarakat dunia dapat membantu dengan cara membuat
kegiatan yang bertujuan untuk mengelola kerusakan terumbu karang pada tingkat akar rumput. Selain
itu, bantuan juga dapat diberikan untuk menerapkan kepemerintahan yang efektif yang akan memberantas
korupsi.

KESIMPULAN: TSUNAMI DAN TERUMBU KARANG


Tidak ada bukti bahwa kerusakan parah di daratan akibat tsunami juga terjadi pada terumbu karang dan
ekosistem pesisir lain di Samudera Hindia. Walaupun ada beberapa contoh tentang kerusakan parah di
beberapa tempat, kebanyakan terumbu karang dan mangrove mengalami kerusakan sedang, yang dapat
dibandingkan dengan kerusakan akibat badai tropis yang ganas. Sehingga, dari sudut pandang terumbu
karang, tsunami harus dipandang sebagai salah satu tekanan alami yang tidak dapat dihindari, yang
memang terjadi secara tidak rutin. Namun, kerusakan di darat akibat tsunami dapat dikurangi melalui
pengelolaan yang efektif yang akan melindungi terumbu karang dari penambangan karang dan kegiatan
merusak lainnya. Selain itu perlindungan mangrove dan hutan-hutan pesisir harus dilakukan, seraya
memastikan bahwa kegiatan pembangunan fisik dilakukan di balik jajaran gundukan utama pasir pantai.

Pengelolaan sumber daya alam harus terus dititikberatkan pada tekanan-tekanan utama yang
menghasilkan kerusakan utama pada terumbu karang, yaitu: tekanan dari kegiatan manusia secara
langsung; ancaman perubahan global; serta tidak memadainya kepemimpinan, kesadaran, dan kemauan
politik. Diramalkan bahwa terumbu karang di Samudera Hindia akan pulih dari kerusakan akibat tsunami
yang lalu dalam waktu 5 hingga 10 tahun, dengan syarat bahwa tekanan-tekanan antropogenik juga
dikurangi. Sekiranya pengelolaan yang efektif terjadi, maka terumbu karang akan memiliki kelentingan
dan ketahanan yang lebih tinggi terhadap bencana-bencana alam. Seperti halnya pengelolaan yang
efektif juga akan memberikan perlindungan bagi garis pantai kawasan tropis dari serangan ombak badai
yang diperkirakan akan sering terjadi bersamaan dengan perubahan iklim global.

PENINJAU
Glenn Dolcemascolo, Nicola Doss, Helen Fox, Bernard Salvat, dan Kristian Teleki.

ACUAN
Bab ini memperoleh bahan dari pustaka-pustaka berikut ini, yang di dalamnya masing-masing juga memuat
lebih banyak lagi informasi pustaka:

43
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Chatenoux B, Peduzzi P (2006) Impacts from the 2004 Indian Ocean Tsunami: analysing the potential
protecting role of environmental features. Natural Hazards, dalam persiapan, (disusun oleh UNEP
GRID).
Wilkinson C (2004) Executive Summary. Dalam: Wilkinson C (ed.) Status of coral reefs of the World:
2004, Global Coral Reef Monitoring Network and Australian Institute of Marine Science, Townsville,
Queensland, Australia, pp. 7-50.
Wilkinson C (2006) Finding the balance in coral reef conservation: lessons from the global report and the
Indian Ocean tsunami. Makalah dipresentasikan pada sesi ‘Reefs of the World’ pada World Maritime
Technology
Conference, 07 Maret 2006 dan dipublikasikan dalam prosiding.

44
3. STATUS TERUMBU KARANG DI INDONESIA
PASCA TSUNAMI DESEMBER 2004

CIPTO AJI GUNAWAN, GERRY ALLEN, GIORGIO BAVESTRELLO, CARLO


CERRANO, AYU DESTARI, BOB FOSTER, ANNELISE HAGAN, IBNU HAZAM,
ZEEHAN JAAFAR, YAN MANUPUTTY, NISHAN PERERA, SILVIA PINCA,
IVAN SILABAN, DAN YUNALDI YAHYA

RINGKASAN
Tsunami tahun 2004 adalah bencana alam terburuk dalam sejarah Indonesia. Lebih dari 120.000
orang meninggal atau hilang, lebih dari 500.000 orang kehilangan rumah mereka; dan lebih dari
250.000 rumah hancur atau rusak; total kerugian melebihi US$ 4,5 milyar (sekitar 97% dari pemasukan
daerah Aceh);
Pemecah ombak, tanggul-tanggul pencegah banjir, saluran-saluran irigasi, dan dermaga-dermaga
mengalami kerusakan parah dengan perkiraan kerusakan di Aceh mencapai US$ 72,1 milyar;
Sektor-sektor pertanian, budidaya air, perikanan, dan pariwisata mengalami kehancuran yang parah,
sehingga mengancam ketersediaan pangan dan mata pencaharian masyarakat. Karena perikanan
merupakan kegiatan yang paling penting di kawasan yang terlanda tsunami, maka 42.000 hingga
58.000 nelayan dan keluarganya merasakan dampak tsunami, dengan total kerugian diperkirakan
mencapai US$ 52 milyar;
Kerusakan terumbu karang diperkirakan mencapai 30% dari total 97.250 hektar terumbu karang di
tempat tersebut; namun terdapat perbedaan mencolok antara kerusakan di satu tempat dengan
tempat lainnya. Terumbu karang di beberapa lokasi mengalami kerusakan struktur karena gempa
bumi, sementara terumbu lain di dekatnya hanya mengalami kerusakan kecil; sebagian besar
mengalami kerusakan sedang akibat tsunami, walau sebagian lagi rusak total; serta
Ancaman terparah yang terus menimpa terumbu karang adalah puing-puing yang terbawa ke lautan,
serta tekanan wilayah pesisir seperti penangkapan ikan yang berlebih, polusi, dan pembangunan
yang tidak lestari. Pada akhirnya, kebanyakan terumbu karang akan pulih kembali jika tidak mengalami
stress lanjutan.

PENGANTAR
Tsunami tahun 2004 telah menimbulkan kerusakan parah di Propinsi Aceh, di bagian utara Sumatra,
serta menelan korban jiwa dan kerusakan fasilitas lebih banyak dari kejadian-kejadian lain yang tercatat

45
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

dalam sejarah Indonesia. Gelombang tsunami pertama menghantam Pulau Simeulue, 40 km dari
episentrum, hanya beberapa menit setelah gempa terjadi. Kerusakan terparah di daratan terjadi di kawasan
Propinsi Aceh yang terdekat, menimbulkan dampak yang parah dan meluas mulai dari Meulaboh hingga
Banda Aceh, Aceh Besar, dan Aceh Jaya. Gelombang setinggi 30 m menghantam pesisir barat dan timur
Sumatra, menimbulkan kerusakan luar biasa terhadap garis pantai dan penduduk di sana. Tsunami
tersebut membungkus tepian pulau, gelombangnya membanjiri desa-desa pesisir utara Sumatra hingga
500 m ke arah daratan. Di bagian barat pulau Sumatra, gelombang tsunami membanjiri kawasan tersebut
hingga setidaknya 2 km ke arah daratan, dengan intrusi air laut melanda sungai dan muara hingga 6 km
jauhnya.

Kerusakan yang diderita Indonesia sangatlah parah: korban jiwa atau orang hilang lebih dari 120.000
jiwa; lebih dari 500.000 manusia kehilangan rumah tinggal, dan lebih dari 250.000 rumah hancur atau
rusak. Sekitar 750.000 jiwa terkena dampak langsung tsunami, walaupun banyak juga yang menderita
secara tidak langsung akibat hilangnya sanak keluarga, teman, mata pencaharian, atau mengalami trauma
lainnya. Kerugian yang diderita diperkirakan mencapai US$ 4,45 milyar (sekitar 97% dari pemasukan
daerah Aceh). Kegiatan ekonomi di kawasan-kawasan yang dilanda tsunami diperkirakan berkurang
hingga 14%, termasuk kehilangan produktivitas sebesar US$ 1 milyar.

Citra satelit kawasan tersebut menunjukkan perubahan drastis pada garis pantai dan dasar laut sekitarnya.
Pemecah ombak, banjir kanal, dan dermaga mengalami kerusakan parah. Diperkirakan kerusakan sistem
pengendalian banjir dan pemecah ombak di daerah Aceh saja mencapai US$ 72,1 juta. Hilangnya
banyak pantai di pesisir barat dapat mengurangi potensi reproduksi penyu hijau, penyu sisik, dan penyu
belimbing yang memerlukan pantai-pantai tersebut untuk bertelur. Dua cagar alam laut yaitu Cagar Alam

46
Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

Laut Pulau Weh (3,900 ha) dan Taman Wisata Laut Kapulauan Banyak (227,500 ha) berada dalam
kawasan bencana, sekalipun studi yang rinci tentang dampak tsunami terhadap Daerah Perlindungan
Laut (MPA) di Indonesia belum dilakukan.

Terumbu karang dan hutan mangrove juga hancur oleh tsunami. Kawasan pesisir mengalami kerusakan
langsung dan tidak langsung, termasuk diantaranya pasokan limbah padat yang mengandung logam
berat dalam konsentrasi tinggi, kontaminasi air tanah, serta infrastruktur pesisir yang tidak stabil.

Ancaman paling serius terhadap terumbu karang berasal dari sampah alami dan sampah buatan manusia,
seperti kendaraan, sedimen, pepohonan, infrastruktur pesisir, dan bermacam-macam benda lain yang
tersapu ke dalam lautan. Sekitar 5-7 juta m3 sampah terakumulasi di kawasan bencana. Menjelang
pertengahan tahun 2005, diperkirakan sekitar 500.000 m3 lumpur dan sampah masih menyelimuti kota
Banda Aceh. Banyaknya sisa sampah dan sedimen akan terus menggerus dan menutupi karang, dan
menghambat pertumbuhan larva karang baru.

STATUS TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI


Dari 17.500 pulau di Kepulauan Nusantara, banyak di antaranya dikelilingi oleh terumbu karang. Lebih
dari 590 jenis karang keras telah dicatat sebelum tsunami. Banyak terumbu karang di Indonesia memiliki
lebih dari 140 jenis karang keras. Sejak 1994, pemantauan terumbu karang telah dilakukan di bawah
koordinasi Coral Reef Rehabilitation and Management Programme (COREMAP). Dengan 340 situs
pemantauan awal, kini mereka telah memiliki 648 situs pemantauan permanen di seluruh Indonesia,
hampir dua kali lipat kondisi awal. Bersama dengan lembaga-lembaga internasional seperti Reef Check

SEBUAH KESAKSIAN
“Kami tinggal di belokan sungai di desa Lhoknga, Aceh. Dari teras rumah, melalui pepohonan,
kami dapat melihat ombak memecah di terumbu karang lepas pantai. Hari Minggu tanggal 26
Desember 2004 adalah hari yang cerah, dengan cahaya di lepas pantai dan ombak setinggi
kepala. Pada pukul 8 pagi kami merasakan getaran awal gempa, kemudian lari ke rerumputan,
jauh dari pepohonan. Kami merunduk begitu gempa semakin parah. Para wanita berdoa kepada
Allah, dan zikir mereka bertambah keras seiring dengan bertambahnya kekuatan getaran yang
terasa. Getaran gempa itu kemudian menjadi makin keras. Tanah tempat kami berpijak naik
dan turun seperti piston. Setelah sekitar 4 menit, gempa mereda. Saya langsung berpikir untuk
mengambil apapun yang kami perlukan dari rumah dalam waktu jeda antar getaran, sebelum
gempa yang lebih besar mengambrukkan rumah saya. Getaran itu kembali lagi secara periodik.
Kami keluar masuk rumah, menghitung waktu di antara getaran. Setelah sekitar 20 menit, kami
mendengar tiga ledakan besar yang teredam, dari laut, diikuti suara menggelegar seperti halnya
pesawat jet bernada tinggi. Kami berlari ke sungai untuk mengintip di antara pepohonan, lalu
melihat gelombang berwarna hijau setinggi 12 meter dengan bibir busa berwarna kuning
menghampiri terumbu dekat mulut sungai. Saya sadar, gelombang seperti itu pasti dengan
mudah menyapu rumah kami. Para wanita mulai berteriak saat lautan mulai mendorong sungai
ke pedalaman, dengan jalur-jalur busa warna kuning dan putih yang dengan cepat membanjiri
pinggir sungai kami setinggi 3 m. Kami melompat ke dalam mobil. Sementara perhatian saya
terfokus ke depan, Nurma istri saya menengok ke belakang dan melihat Bebe, ahli tumbuhan
berumur 65 tahun yang berusaha menanjaki jalan dengan anak-anak dan cucunya. Kami tidak
dapat melakukan apapun. Gelombang air hanya berjarak sekitar beberapa meter dari mereka,
mereka sudah sangat dekat dengan maut. Hampir 80% penduduk Kampung Monikuen dan
Weuraya meninggal, hampir semua rumah hancur. Tak satupun tertinggal, kecuali beberapa
pohon cemara laut yang terhempas sejauh 10 m. Istri saya kehilangan ibunya, dua orang
saudaranya, serta 30 sanak keluarga (dari David Lines, wavelines@hotmail.com; laporan
menyeluruh di www.sifr.jcu.edu.au/ahb/dave.php)

47
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Perkiraan kerusakan dan kehilangan yang diderita perekonomian Indonesia, yang menggambarkan parahnya
gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 (dalam US$ juta, dari BAPPENAS 2005).

Dampak total Fasilitas


Kerusakan Kehilangan Total Pribadi Umum
Sektor sosial 1.674,9 65,8 1.740,7 1.440,6 300,1
Perumahan 1.398,3 38,8 1.437,1 1.408,4 28,7
Pendidikan 110,8 17,6 128,4 9,0 119,4
Kesehatan 82,5 9,4 91,9 23,2 68,6
Budaya/agama 83,4 - 83,4 - 83,4
Infrastruktur 636,0 240,8 876,8 325,9 550,8
Transportasi 390,5 145,4 535,9 165,8 370,1
Komunikasi 18,9 2,9 21,8 8,6 13,2
Energi 67,8 0,1 67,9 1,1 66,9
Air/sanitasi 26,6 3,2 29,8 18,3 11,4
Kendali banjir 132,1 89,1 221,2 132,1 89,1
Sektor produktif 351,9 830,2 1.182,1 1.132,0 50,1
Pertanian 83,9 140,9 224,8 194,7 29,9
Perikanan 101,5 409,4 510,9 508,5 2,5
Jasa 166,6 280,0 446,6 428,9 17,7
Lintas sektor 257,6 394,4 652,0 562,9 89,1
Lingkungan hidup 154,5 - 154,5 548,9 -
Kepemerintahan 89,1 - 89,1 - 89,1
Perbankan/keuangan 14,0 - 14,0 - 14,0
Total dampak 2.920,4 1.531,2 4.451,6 3.461,4 990,1

Indonesia, Project Wallacea di Wakatobi, The Nature Conservancy di Komodo, serta WWF di Bali dan
Karimunjawa, COREMAP telah menstimulir pelatihan lokal dan koordinasi di seluruh Kepulauan
Nusantara.

Kegiatan manusia adalah penyebab utama penurunan kondisi terumbu karang di Indonesia. Penduduk
dan pembangunan di kawasan pesisir telah meningkatkan polusi dan penebangan hutan, yang berakibat
pada masuknya sedimentasi dan polusi ke terumbu karang. Penangkapan ikan yang merusak, terutama
pemboman dan peracunan dengan sianida yang marak di seluruh Indonesia, juga telah menghancurkan
terumbu karang. Penangkapan ikan segar untuk pangan dan akuarium telah menimbulkan dampak yang
buruk, yang jelas teramati sebelum tsunami.

Beberapa lembaga yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan terumbu karang di Indonesia
adalah: Menteri Lingkungan Hidup yang memperhatikan isu-isu lingkungan; Direktorat Jendral PHKA
(Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Kementrian Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan,
dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Saat ini, Indonesia menerapkan Program Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam yang terdesentralisasi untuk menimbulkan rasa tanggung
jawab akan sumber daya alam pada pemerintahan daerah.

48
Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

STATUS TERUMBU KARANG PASCA TSUNAMI


Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional) diperkirakan bahwa 30% dari 97.250 ha terumbu karang menderita kerusakan senilai US$
332,4 juta. Hasil dari survei singkat menunjukkan bahwa kerusakan bervariasi antar lokasi, walaupun
informasimengenai kondisi terumbu karang di Sumatra bagian utara sebelum tsunami masih terbatas.
Sekalipun beberapa terumbu yang langsung terimbas oleh gempa bumi menunjukkan kerusakan mekanis
yang substansial, namun terumbu-terumbu di sekitarnya hanya mengalami kerusakan ringan. Sebagian
besar terumbu mengalami kerusakan sedang, sementara sebagian kecil terumbu hancur total (lihat foto
sampul buku).

Pulau Weh: Terumbu karang yang mengelilingi Pulau Weh di lepas pantai Banda Aceh berada kurang
dari 300 km dari episentrum gempa. Jika dibandingkan dengan survey tahun 2003, tidak ada perubahan
signifikan terhadap karang keras di tempat tersebut 100 hari setelah tsunami. Rata-rata tutupan karang
pada tiga situs dangkal (< 2 meter) adalah sekitar 43% pada bulan Maret 2003 dan 47% pada bulan
Maret 2005. Kerusakan yang berkaitan dengan tsunami di tempat-tempat lain, bersifat tidak merata dan
berkaitan langsung dengan topografi bawah laut serta bentuk dan struktur terumbu. Karang-karang yang
tumbuh pada dasar yang kuat kebanyakan tidak terpengaruh tsunami, walaupun ada sedikit cabang-
cabang yang patah. Karang-karang yang tumbuh pada pecahan karang atau dasaran pasir yang tidak
padat, mengalami lebih banyak kerusakan. Banyak koloninya yang terbalik, terkubur, atau terlempar ke
bagian lain terumbu. Meningkatnya sedimentasi di beberapa wilayah telah memicu pemutihan karang,
kemungkinan karena berkurangnya pasokan cahaya matahari. Namun, karang- dari marga Acropora
masih mampu bereproduksi. Di kawasan semacam ini, karang diharapkan dapat pulih kembali dalam
waktu beberapa tahun.

Survei lanjutan pada 15 titik di sekitar Pulau Weh di tahun 2005 menunjukkan kerusakan yang berkisar
dari patahan yang hampir tidak kentara hingga kerusakan yang parah. Terumbu karang pada Laguna
Gapang (juga dikenal sebagai Teluk Lhok Weng) secara praktis hancur, berubah menjadi pecahan karang,
bebatuan, dan sisa pohon-pohon mangrove. Tsunami juga menyebabkan pasir di laguna tersedot total ke
perairan yang lebih dalam. Namun demikian, beberapa penyelam berpendapat bahwa kerusakan yang
ada telah terjadi sejak sebelum tsunami, yang kemungkinan besar disebabkan oleh limpasan dari darat
akibat berkurangnya vegetasi di daerah pesisir. Sekitar 14 ha (60%) hutan mangrove yang mengelilingi
teluk juga hancur. Hampir 75% dari terumbu di dekat desa Iboih rusak parah. Pola kehancurannya dapat
diperkirakan. Paparan terumbu dangkal di teluk atau saluran-saluran yang sempit, mengalami kehancuran
yang paling parah, sedangkan situs-situs dengan garis pantai curam yang menjorok ke laut dalam biasanya
selamat. Lebih dari 90% kerusakan timbul pada kedalaman antara 3 - 10 m, sedangkan terumbu yang
tidak langsung terpapar oleh lautan bebas biasanya tidak terlalu terpengaruh tsunami.

Kuala Jambu Air: Muara di pesisir utara Sumatra seluas 10.000 ha ini mengalami kerusakan relatif kecil.
Hutan mangrovenya mendukung kehidupan udang, kepiting, ikan, serta banyak jenis burung. Hutan-
hutannya dieksploitasi untuk batubara.

Blok Kluet: Lahan basah seluas 200 ha di Blok Kluet, 20 km di selatan Tapak Tuan, hanya mengalami
kerusakan kecil. Lahan basah ini meliputi rawa-rawa air tawar dan hutan gambut, dan ditinggali oleh
binatang-binatang yang terancam punah seperti harimau Sumatra, buaya muara, serta penyu sisik dan
penyu belimbing.

Pulau Simeulue: Sekalipun pulau ini mengalami kerusakan parah, masyarakat lokalnya tetap memelihara
kearifan tradisional dengan mengungsi secepatnya ke dataran yang lebih tinggi begitu gempa bumi
terjadi. Sebelum tsunami, ekosistem lahan basah di pesisir pulau ini berada dalam kondisi yang relatif

49
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

baik, sehingga menambah sistem perlindungan pesisir. Terumbu karang, padang lamun, dan hutan
mangrove di pulau ini didiami oleh banyak jenis yang terancam punah, termasuk tiga jenis penyu,
duyung, dan banyak pohon. Bagian pesisir Barat Laut Pulau Simeuleu mengalami kerusakan parah,
walaupun pesisir timur dan selatan pulau Simeulue tidak mengalami kerusakan parah. Akibat gempa
tersebut, sepetak besar karang terangkat setinggi 1-2 m di atas permukaan laut, sehingga membunuh
karang-karang di sana (lihat sampul depan). Seluruh biota pada terumbu yang terangkat ini masih tetap
utuh, namun menjadi putih karena terpapar sinar matahari. Beberapa koloni besar Porites patah dan
terguling ke pantai. Situasi ini mirip dengan situasi di pulau Salaut Kecil di utara, di mana satu petak
batuan dasar laut terangkat dan terpapar matahari, dengan celah-celah di petak tersebut yang terjadi
akibat gempa. Bagian terumbu karang yang terendam air masih bertahan hidup, walaupun banyak
karangnya yang menunjukkan kerusakan mekanis dan gejala-gejala penyakit. Karang bercabang Acropora
adalah karang yang paling terimbas, sementara bentukan karang keras dan karang mengerak seperti
Porites dan Goniastrea tampak utuh. Banyak koloni karang yang terkubur sebagian oleh sedimen sehingga
ada bagian yang mati. Hal ini tampak jelas pada terumbu-terumbu di depan sawah, di mana gelombang
tsunami masuk sejauh 1 km ke darat, dan gelombang baliknya membawa lumpur ke laut sehingga
menutupi karang dan membuat air menjadi keruh.

Kepulauan Pulo Aceh: Kegiatan pemboman ikan yang dilakukan sebelum tsunami telah menyebabkan
kerusakan parah pada terumbu karang di daerah ini (Pulau Breueh, Pulau Nasi, Pulau Teunom, Pulau
Batee, dan beberapa pulau kecil), yang kemudian menyebabkan pemerintah mencanangkan Kecamatan
Aceh Besar sebagai kawasan konservasi. Tsunami telah menyebabkan kerusakan serius di Kepulauan
Pulo Aceh, seperti pepohonan kelapa tercerabut dari akarnya dan pantai-pantai peneluran penyu menjadi
hancur total.

Dampak terhadap komunitas ikan: Rasio ikan pemakan karang dan ikan pemakan alga di Pulau
Simeulue berubah akibat sedimentasi yang parah dan kerusakan mekanis terhadap karang (misal di Teluk
Langi). Jarangnya ikan pemakan karang (Chaetodon trifasciatus, C. trifascialis, C. triangulum, C.
ornatissimus, C. meyeri) kemungkinan merupakan dampak langsung dari hilangnya karang. Kini banyak
ikan pemakan alga (Acanthuridae, Scaridae and Siganidae) memakan alga hijau yang tumbuh pada
pecahan karang dan karang mati. Namun banyaknya ikan juwana (70% dari ikan pemakan alga dan 80%
dari ikan pemakan karang adalah juwana) di tempat-tempat yang mengalami sedimentasi tersebut
merupakan pertanda baik untuk masa mendatang.

Kerusakan padang lamun: Beberapa penyelam dan ilmuwan dari berbagai organisasi konservasi
menyatakan bahwa mereka tidak pernah menemukan padang lamun di Kepulauan Pulo Aceh maupun
di sekitar Pulau Weh. Namun demikian, telah dilakukan pengamatan oleh BAPPENAS yang memperkirakan
kerusakan padang lamun seluas 600 ha, yang setara dengan kerugian bersih ekonomi sebesar US$ 2,3
juta akibat tsunami. Hanya ada sedikit data tentang status padang lamun Indonesia baik sebelum maupun
sesudah tsunami. Kebanyakan kerusakan padang lamun di Indonesia terjadi akibat arus balik yang
membawa sejumlah besar sampah dan sedimen ke laut, hingga menutupi atau melibas kawasan-kawasan
padang lamun yang penting.

Kerusakan mangrove: hanya 10% dari 345.000 ha hutan mangrove di Aceh (terutama di Pulau Simeulue)
yang masih berada dalam kondisi baik. Kebanyakan kawasan mangrove di sekitar Aceh sudah terdegradasi
sebelum tsunami 2004. Perkiraan tahun 2000 menunjukkan bahwa lebih dari 25,000 ha mangrove
telah rusak, kebanyakan karena meningkatnya pembangunan pesisir. Saat ini hanya ada sedikit data
dampak tsunami terhadap mangrove Indonesia. Sekalipun demikian, laporan-laporan dari penduduk
lokal dan organisasi-organisasi kemanusiaan memperkirakan bahwa kerusakan terlokalisir hanya di
beberapa tempat.

50
Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

APAKAH DAMPAK MANUSIA LEBIH BURUK DARI TSUNAMI?


Sekalipun tsunami Sumatra-Andaman adalah salah satu bencana alam terburuk dalam catatan
sejarah manusia, kerusakan terumbu karang di pesisir barat laut Aceh di Indonesia ternyata
cukup terbatas, walaupun ada sebagian kecil kawasan yang hancur total. Kondisi terumbu
karang sebelum tsunami di kawasan ini bervariasi di berbagai tempat dan berkorelasi dengan
kegiatan manusia. Dimana kegiatan perikanan terkendali, tutupan karang hidupnya pun tinggi.
Sementara itu, tutupan karang yang rendah dengan tutupan alga yang tinggi di terumbu terjadi
jika ada kegiatan perikanan yang merusak (seperti bom ikan) di tempat itu. Bergesernya sistem
terumbu dari yang diliputi oleh karang menjadi yang diliputi oleh alga dapat diperparah oleh
tsunami, yang membawa pasokan sedimen dan zat hara. Namun, nampaknya kegiatan manusia
yang tidak lestari membawa dampak lebih parah terhadap terumbu karang di Aceh dibandingkan
dengan gangguan alami yang jarang terjadi seperti tsunami. Sedemikian kuat dan tingginya
gelombang tsunami menyapu terumbu karang sehingga kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia
terhadap karang sebelum tsunami tidaklah mempengaruhi kerusakan parah yang diderita oleh
daratan (dari Andrew Baird, andrew.baird@jcu.edu.au).
Tutupan karang (%)

Akses terbuka Cagar alam Sistem tradisional


laut masyarakat Aceh

Pengaruh kegiatan manusia terhadap tutupan karang keras digambarkan dengan jelas pada tempat-
tempat di atas (diukur melalui 8 kali pengulangan dengan transek garis sepanjang 10 m dari 0,5 hingga
2 m pada 15 titik di Pulau Weh dan Pulau Aceh di awal 2005). Dibandingkan dengan ‘cagar alam laut’,
sistem ‘akses terbuka’ telah secara signifikan menurunkan tutupan karang akibat perikanan yang merusak.
Tutupan karang tertinggi terdapat di titik-titik yang dikelola berdasarkan tradisional masyarakat Aceh.

51
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Tutupan karang (%)

Taksa
Tsunami tidak menyebabkan perubahan secara signifikan pada komunitas karang keras di perairan
dangkal di Aceh. Diagram batang di atas menjelaskan tutupan karang rata-rata dari 5 kategori morfologis
Acropora (1 = meja; 2 = menjari; 3 = bercabang; 4 = meja bercabang; 8 = corymbose) serta 5 kelompok
taksonomi dari karang keras lainnya (5 = Montipora; 6 = Faviidae; 7 = Porites; 9 = Scleractinia lain; 10
= Pocilloporidae) yang diperoleh dari 8 kali ulangan untuk transek garis sepanjang 10 m yang dicatat
pada kedalaman kurang dari 2 meter (dari Andrew Baird).

Status karang di Indonesia bagian barat


Sangat bagus Bagus Cukup Buruk
Persentase terumbu (%)

Data status terumbu karang Indonesia bagian barat dari Proyek COREMAP menggambarkan adanya
sedikit perbaikan pada tutupan karang selama dekade terakhir, di mana kategori ‘Baik sekali’ dan ‘Baik’
mengalami peningkatan (yaitu untuk tutupan karang tinggi dan sedang). Sekalipun demikian, kebanyakan
terumbu tetap mengalami degradasi parah (dari www.coremap.or.id/)

52
Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

Berikut ini adalah perkiraan kerusakan mangrove Indonesia akibat tsunami yang menggambarkan bahwa
hutan mangrove tersebut menyerap sebagian besar energi gelombang, sehingga kemungkinan melindungi
infrastruktur dan masyarakat pesisir (dari WIIP 2005).

Daerah Kerusakan mangrove (%) Luasan mangrove yang rusak (ha)


Aceh Besar 100 26.823
Banda Aceh 100 < 500
Pidie 75 17.000
Aceh Utara/Bireun 30 26.000
Aceh Barat 50 14.000

KERUGIAN SOSIO-EKONOMI
Seluruh desa dan kehidupan masyarakat sepanjang pesisir barat Sumatra hancur, termasuk sistem sosial
dan ekonomi mereka. Penelitian terdahulu terhadap kawasan-kawasan terpencil sulit dilakukan, namun
kini dampak sosio-ekonomi pasca tsunami sudah diteliti dengan baik. Para korban yang selamat, lembaga-
lembaga pemerintahan, serta LSM internasional telah bekerja untuk menangani dan merehabilitasi sistem
sosial dan ekologis yang rusak akibat tsunami. Sektor ekonomi yang paling terpengaruh oleh tsunami
adalah budidaya air, perikanan tangkap, dan industri kecil, seperti pertanian. Budidaya air dan pertanian
mengalami kerusakan parah karena rusaknya sistem irigasi, bendungan, adanya kontaminasi dan
penggenangan air laut. Kebanyakan kerusakan infrastruktur perikanan berupa hilang dan rusaknya kapal-
kapal ikan serta fasilitas dan perlengkapan pelabuhan.

Pertanian: Selama beberapa bulan setelah tsunami, sejumlah besar lahan pertanian dataran rendah
tetap terendam air laut, merusak lebih dari 40.000 hektar padi dan tanaman pertanian irigasi lainnya.
Lebih dari 80.000 sumur perlu diperbaiki atau diganti. Kerusakan infrastruktur irigasi di Propinsi Aceh
mencapai US$ 37,9 juta. Dalam rangka memulihkan keamanan pangan dan mata pencaharian untuk
para petani korban tsunami dan kelompok-kelompok rentan lainnya, FAO memasok benih, pupuk, dan
traktor untuk 8.900 orang.

Budidaya air: Sebelum tsunami, budidaya ikan di Propinsi Aceh menghasilkan 20.000 ton udang dan
ikan tiap tahunnya. Kerusakan akibat tsunami pada sektor ini diperkirakan mencapai US$ 51 juta, dengan
tambahan kerusakan US$ 8 juta untuk tambak ikan dan fasilitas pemerintah. Sebanyak sekitar 1.000
keramba ikan di Sumatra Utara hancur dan 27.000 – 48.000 ha tambak ikan di Aceh mengalami
kerusakan serius. Kerusakan paling besar terjadi di Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Aceh Barat, Aceh
Jaya, Nagan Raya and Simeulue. Akumulasi sedimen menyebabkan kedalaman tambak-tambak yang
tersisa menjadi berkurang. Aceh memberikan sumbangan substansial untuk larva udang liar (Penaeus
monodon) untuk tambak udang. Tidaklah jelas dampak kerusakan tersebut terhadap budidaya udang di
Indonesia. Diperlukan sekitar 6-12 bulan untuk memperbaiki tambak, dan produksi kemungkinan baru
lagi terjadi dua tahun kemudian.

Perikanan Tangkap: Total kerusakan sektor perikanan tangkap diperkirakan sekitar US$ 52 juta akibat hancurnya
sekitar 65-70% armada perikanan skala kecil Aceh. Perikanan adalah kegiatan ekonomi utama di kawasan
bencana, melibatkan sekitar 42.000 – 58.000 nelayan dan keluarganya. Aceh juga memiliki industri besar
pembuatan perahu untuk nelayan. Perancis telah mendanai program perbaikan pukat udang, sementara
USAID memberikan hibah untuk membangun pabrik-pabrik es. Walaupun bantuan tersebut sukses, kebanyakan
nelayan belum kembali ke pekerjaan semula. Hal ini terjadi karena mereka masih kekurangan perahu atau
mereka masih tinggal di kantong-kantong pengungsian yang terlalu jauh dari lautan.

53
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Wisata: Industri wisata di Aceh tidaklah besar. Sektor perhotelan dan restoran hanya menyumbang 6.3%
pendapatan daerah. Namun, sektor bisnis di kawasan bencana telah hancur sehingga sangat diperlukan
bantuan untuk merehabilitasi industri wisata di Propinsi ini.

UPAYA-UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Kehancuran total di Propinsi Aceh telah mengundang tanggapan dari dunia internasional. Lebih dari
100 LSM dan lembaga donor internasional, 430 LSM lokal, serta berbagai lembaga pemerintah dan antar-
pemerintahan telah mulai melakukan rehabilitasi dan pemulihan. Sebagai contoh, pemerintah Australia
telah menjanjikan US$ 800 juta untuk membantu rehabilitasi Indonesia.

Kegiatan pemerintah: BAPPENAS telah membentuk sebuah unit Aceh untuk mengkoordinasi sejumlah
besar bantuan skala nasional dan internasional untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Kementrian
Lingkungan Hidup sedang menganalisis masalah-masalah yang berkaitan dengan polusi, kualitas air,
serta kerusakan pada sumber daya pesisir. Departemen Kehutanan sedang melakukan rehabilitasi hutan
pesisir serta melindungi hutan-hutan yang tersisa dari kegiatan manusia yang merusak serta penebangan
hutan untuk bahan-bahan bangunan.

Kegiatan non-pemerintah: WWF sedang mengembangkan Panduan Rekonstruksi Hijau untuk Aceh
dan juga bekerja sama dengan LSM-LSM lain untuk mengirim gelondongan kayu hasil hutan yang
dipelihara secara lestari ke kawasan-kawasan yang memerlukan kayu untuk bangunan. USAID kini
berfokus pada upaya pengembalian masyarakat ke desa-desa asal mereka dengan cara membangun dan
menyediakan bantuan teknis untuk kepemerintahan dan rekonsiliasi. Proyek-proyek besar tersebut meliputi
pembangunan lebih dari 240 km jalan, 110 jembatan, berbagai sekolah, sebuah pusat pelatihan guru di
Universitas Banda Aceh, pasar-pasar, serta sistem sanitasi. Pinjaman bisnis dan program kerja-untuk-
pangan juga akan merangsang perekonomian lokal sehingga dapat membantu sekitar 200.000 orang.

Sebelum tsunami (1999)


Sesudah tsunami (1999)
Tutupan Karang (%)

Titik Pulau Laguna Pantai Pulau


Teupinpineung Rubiah Gapang Ibioh Seulako

Terdapat perbedaan besar tutupan karang sebelum dan sesudah tsunami di berbagai titik di Pulau Weh.
Terumbu karang di teluk atau selat antar pulau mengalami kerusakan paling parah (dari Allen and
Erdmann 2005).
Catatan: Perlu diketahui bahwa kerusakan terumbu karang antara kurun waktu di atas tidak hanya
disebabkan oleh tsunami.

54
Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

ORGANISASI-ORGANISASI KONSERVASI BEKERJA SAMA UNTUK


MENELITI TERUMBU KARANG
Selama dua minggu, Khaled bin Sultan Living Oceans Foundation, Reef Check, dan IUCN – The
World Conservation Union melakukan survey di pesisir barat daya Aceh sepanjang lebih dari
660 kilometer. Survei tersebut menghasilkan perkiraan bahwa sedimentasi (yang diperparah
oleh tsunami), penangkapan ikan yang berlebih, serta penggunaan metode-metode perikanan
yang merusak akan lebih mengancam ekosistem terumbu karang Aceh dibandingkan dampak
langsung dari gempa bumi dan tsunami. Sebuah tim multibangsa yang terdiri dari 7 ilmuwan
dan 3 kru pendukung mensurvei kawasan yang dilanda gempa bumi dan tsunami. Dengan
menggunakan protokol standar global Reef Check, tim mencatat ukuran dan kelimpahan ikan
konsumsi, serta avertebrata bergerak maupun menetap termasuk karang. Sebuah survei khusus
dilakukan untuk mendeteksi adanya karang yang baru tumbuh sebagai tanda-tanda kepulihan
ekosistem. Secara relatif, terumbu karang menderita kerusakan fisik yang minimum dibandingkan
dengan kehancuran yang diderita daratan. Kerusakan akibat tsunami meliputi karang yang
terbalik serta daerah-daerah karang yang hancur dengan banyak cabang dan batang pohon
besar yang menabrak terumbu karena terhempas gelombang tsunami. Bahkan di kawasan
dengan kerusakan tsunami yang parah sekalipun, tim mencatat adanya kawasan terumbu karang
yang masih utuh dan hidup di dekatnya. Kawasan-kawasan ini dapat berperan sebagai sumber
larva yang penting untuk rekolonisasi terumbu yang rusak. Namun, dari 5.280 kuadrat yang
disurvei untuk karang muda, hanya 18 karang muda yang berhasil dideteksi, dengan 15 di
antaranya terdapat di kelompok Pulau Banyak. Rendahnya densitas karang baru ini menunjukkan
bahwa proses pemulihan berjalan sangat lambat. Kerusakan karang yang tak kentara namun
juga berbahaya dapat terjadi jika turbiditas dan sedimentasi terus berlangsung, sebagaimana
teramati dalam survei. Selain menghambat tumbuhnya karang baru, sedimentasi dapat secara
langsung merusak dan membunuh karang dewasa. Sebanyak 10 suku ikan konsumsi terdeteksi
di Aceh dalam kelimpahan yang rendah dan ukuran rata-rata yang kecil, yang menandakan
bahwa stok ikan-ikan tersebut telah dipanen secara berlebihan. Ada banyak juwana, namun
ikan besar dewasa hanya sedikit sekali terlihat. Di mana-mana terlihat bukti kegiatan perikanan
yang merusak. Lebih dari sebelumnya, gempa bumi dan tsunami telah membuat masyarakat
Aceh jauh lebih bergantung pada sumber daya bahari untuk keberlangsungan hidupnya. Terumbu
karang dapat pulih dengan relatif cepat jika ada pengurangan tekanan terhadap kegiatan
perikanan. Kini terdapat kesempatan untuk berinvestasi dalam strategi jangka panjang untuk
merehabilitasi sumber daya bahari Aceh melalui pendidikan, pengelolaan wilayah pesisir,
pemantauan yang terus menerus, serta penetapan dan pemeliharaan daerah perlindungan laut
(dari Craig Shuman dan Greg Hodgson, rcinfo@reefcheck.org; Foster et al. 2006).

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Satu tahun setelah tsunami, Indonesia masih berada dalam proses transisi dari upaya-upaya penyelamatan
jangka pendek menuju pemulihan jangka panjang mata pencaharian, kemasyarakatan, serta perekonomian.
Namun, ancaman-ancaman terhadap lingkungan pesisir masih sama seperti sebelum tsunami, sehingga
perlu ditangani untuk mempercepat proses pemulihan. Tekanan antropogenik dalam jumlah besar yang
sebelumnya telah merusak terumbu karang dan sumber daya terkait di Indonesia, masih ada setelah
tsunami berakhir. Dukungan internasional yang diperoleh telah memberikan kesempatan untuk
mengurangi tekanan pesisir yang terus berlangsung, seperti penangkapan ikan yang berlebihan, kualitas
air yang rendah, serta pembangunan yang tidak pada tempatnya, sehingga pada akhirnya mampu
meningkatkan kesehatan dan daya lenting terumbu karang di Indonesia. Sumber daya keuangan yang
ada harus dititikberatkan untuk menangani akar masalah yang menyebabkan degradasi terumbu karang
Indonesia yang terus terjadi, daripada dipakai untuk membuat proyek-proyek jangka pendek. Fokus
keuangan harus disalurkan untuk rehabilitasi terumbu karang jangka panjang dan skala besar untuk
menjamin bahwa sumber daya tersebut, berikut masyarakat yang tergantung padanya, dapat terus hidup

55
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

melintasi waktu. Rekomendasi-rekomendasi berikut ini diberikan untuk menangani ancaman-ancaman


di bawah ini dan menstimulir pemulihan pasca bencana tsunami:

Bahan-bahan bangunan seperti kayu, batu, dan pasir harus diambil dari sumber-sumber yang lestari,
dan tidak dari hutan lindung maupun kawasan terumbu setempat;
Kegiatan pemantauan dan pencegahan perikanan yang merusak harus ditingkatkan untuk membantu
proses pemulihan terumbu karang;
Diperlukan pemetaan kawasan pesisir yang rawan untuk membantu para pengelola menentukan
kawasan-kawasan mana yang paling berbahaya, sehingga kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai
kawasan yang bebas dari pembangunan;
Untuk membantu suksesnya proses pemulihan sumber daya pesisir, masyarakat harus dilibatkan
dalam pembuatan keputusan rehabilitasi serta penetapan peraturan dan kebijakan;
Masyarakat nelayan harus dipandu dalam melaksanakan kegiatan perikanan yang lestari. Mereka
juga harus diberikan insentif ekonomi untuk mengurangi kegiatan yang merusak maupun ilegal;

Juwana
Dewasa
2
Ikan per 500m

Herbivora Chaetodontidae Herbivora Chaetodontidae Herbivora Chaetodontidae

Pulau Lakon Teluk Langi Salaut Kecil

Jumlah ikan herbivora (Acanthuridae, Scaridae, Siganidae) dan ikan pemakan karang (Chaetodontidae)
per 500 m2 (rata-rata ± SE) pada dua titik di utara Pulau Simeulue dan di Salaut Kecil menunjukkan
bahwa kebanyakan situs memiliki lebih banyak ikan juwana (batang putih) dibandingkan ikan dewasa
(batang hitam) (dari Giorgio Bavestrello).

Harus lebih banyak upaya untuk perbaikan peraturan perlindungan terumbu karang serta perbaikan
desain daerah perlindungan laut (MPA – Marine Protected Areas) untuk lebih menjamin perlindungan
terumbu karang, terutama jika hal tersebut dilakukan di dalam jaringan kerja MPA; dan
Semakin kuatnya kemitraan antara masyarakat dengan pemerintah akan meningkatkan pula upaya
pemantauan terumbu karang, sistem pengelolaan data, serta konservasi terumbu karang. Hal ini
dilakukan melalui upaya berbagi informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya konservasi sumber daya alam.

56
Status Terumbu Karang di Indonesia Pasca Tsunami Desember 2004

PENINJAU
Karenne Tun, Kristian Teleki, Joanna Ruxton, dan Stuart Campbell.

UCAPAN TERIMA KASIH


Data dan informasi untuk laporan ini diperoleh dari berbagai halaman internet seperti:
The New England Aquarium (2005), (www.neaq.org/temp/tsunami_report.pdf); FAO (2005),
(www.fao.org/tsunami/); USAID (2005), (www.usaid.gov/id/); UNEP (2005), (www.unep.org/
tsunami/tsunami_rpt.asp); Wetlands International-Indonesia Programme (2005), (www.wetlands.or.id/
tsunami/tsu-index.htm); Wildlife Conservation Society - Indonesia Program (2005), (www.reefbase.org/
tsunami.asp).

APAKAH TSUNAMI MEMBANTU TANAMAN PANGAN DI INDONESIA?


Dari pucuk pohon kelapa tempatnya melarikan diri dari air bah, Muhammad Yacob melihat
betapa tsunami mengubah sawahnya menjadi rawa-rawa air asin dengan banyak sampah.
Namun, sembilan bulan kemudian sawahnya memberikan hasil panen terbaik yang pernah
dinikmatinya. Pada awalnya, para petani khawatir bahwa air asin telah meracuni lahan mereka.
“Ternyata air asin tersebut malah menjadi pupuk yang sangat hebat, dan hasil panen kami
berlipat ganda dibanding tahun lalu,” ujar Yacob, 66. Padi adalah tanaman pangan pokok di
Aceh. Namun bukan hanya tanaman padi yang tumbuh subur di lahan Aceh yang sempat
dilanda tsunami. Para petani berkata bahwa sayur-mayur, kacang-kacangan, serta buah-buahan
juga tumbuh dengan baik. Hal ini memberikan harapan bahwa sektor pertanian akan pulih
lebih cepat dari dugaan. Namun, panen yang melimpah ini bisa menjadi salah kaprah. Survei
PBB memberikan indikasi bahwa 81% dari lahan pertanian di Indonesia, Sri Lanka, Maladewa,
India, dan Thailand yang hancur karena tsunami memang sudah dapat ditanami kembali. Namun,
kebanyakan lahan subur masih terkontaminasi air laut atau pasir laut. Proses pemulihan di
wilayah-wilayah terparah mungkin memerlukan waktu 3-5 tahun. Tsunami dan lumpur telah merusak
atau menyumbat begitu banyak sistem drainasi, sementara hanya sedikit orang yang tertinggal
untuk membersihkan lahan dan menanam kembali. Sebagai ayah dari 8 anak, Yacob tidak
menerima satu pun bantuan tsunami dari pemerintah. Jarinya menunjuk pada mesin perontok
padi yang sudah karatan, rusak karena tsunami. Petani tua ini kehilangan 1.000 tanaman
coklat, namun tidak memiliki dana untuk pembenihan. Pada awalnya, bapak ini memperkirakan
bahwa dia akan kehilangan setengah dari lahannya. Namun kini, hamparan padi menghijau di
depan mata telah memberikan janji masa depan yang lebih optimis. Curah hujan yang tinggi di
kebanyakan negara Samudera Hindia telah mencuci air asin lebih cepat dari perkiraan semula.
Hasil panen yang melimpah saat ini bisa disebabkan oleh adanya lapisan humus dan kompos
baru yang ‘dihadiahkan’ oleh tsunami. Panen padi berlimpah ini telah membantu proses pemulihan
irama kehidupan pedesaan seperti sebelum tsunami, walaupun masih banyak terlihat bangunan
rusak dan tenda-tenda pengungsi yang menampung ribuan korban yang selamat. Program Pangan
Dunia PBB berharap dapat memberikan pangan bagi 750.000 jiwa korban tsunami hingga
2006. Hidup masihlah sulit, bahkan bagi para petani yang mendapatkan hasil panen berlimpah.
Sur Salami tidak pernah mendapatkan tanaman jagung setinggi yang dia panen sekarang.
Namun hujan lebat dan air pasang tinggi dapat saja membanjiri setengah dari lahannya.
Gempa bumi telah menyebabkan lahannya menjorok ke laut, hingga hanya berjarak 50 m dari
pantai. “Tapi kita tidak boleh patah semangat. Lagipula, kepada siapa saya dapat mengeluh?”
(dari Chris Brummitt, Associated Press).

57
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

SUAKA PERLINDUNGAN DI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT


250000
Aug-04

Apr-05

Kelimpahan ikan karang


200000
Feb-06

150000

100000

50000

0
Lhong Angen1 Gapang Benteng Kanal Rubiah Taman Laut
Rubiah
Pulau Weh Pulau Weh Pulau Weh (Kawasan Wisata)
(Panglima Laut)
Akses Bebas Daerah Perlindungan Laut

Rata-rata (+SE) kelimpahan ikan karang di 5 situs di Pulau Weh sebelum (Agustus 2004) dan sesudah
(April 2005 dan Februari 2006) tsunami. Data dikumpulkan oleh Fisheries Diving Club – Institut Pertanian
Bogor, Universitas Syiah Kuala, dan Wildlife Conservation Society – Program Kelautan Indonesia).

Sebagai bagian dari proses kerjasama antara WCS dengan pihak-pihak universitas, pemantauan
terumbu karang di Pulau Weh dan gugusan kepulauan Pulau Aceh di Utara Sumatra telah
mengevaluasi dampak tsunami serta proses pemulihannya yang masih berjalan. Perubahan
dalam kelimpahan ikan karang antara bulan Agustus 2004 dan April 2005 di 5 situs di Pulau
Weh tak dapat hanya dihubungkan dengan dampak tsunami. Tingginya kelimpahan ikan karang
disebabkan oleh berkurangnya tekanan perikanan, yang memperlihatkan bahwa praktik
pengelolaan akan mempengaruhi populasi ikan karang.

Survei tahun 2006, 14 bulan setelah tsunami, menunjukkan bahwa keseluruhan nilai rata-rata
kelimpahan ikan karang jauh lebih besar dibandingkan pada bulan April 2005, peningkatan
terjadi di dua kelompok tempat yaitu di wilayah Panglima Laot dan Kawasan Wisata. Peningkatan
kelimpahan ikan sepanjang periode ini sebagian besar terdiri atas juwana (5-10 cm)
Pomacentridae, Acanthuridae, dan Chaetodontidae; keluarga ikan karang yang sangat
bergantung pada habitat terumbu karang. Ketidakhadiran keluarga Chaetodontidae di lokasi
akses bebas kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tutupan karang di daerah tersebut, serta
mengindikasikan bahwa kerusakan karang telah terjadi sebelum tsunami. Peningkatan besar
populasi ikan karang di kawasan lindung sangat bergantung pada banyak faktor yang saling
terkait termasuk ukuran terumbu, struktur populasi ikan karang, kedekatan jarak dengan terumbu
lain, variabilitas laju kemunculan karang muda per tahun, ketersediaan habitat, perlindungan
terhadap penangkapan, serta hidrodinamika lokal. Penemuan ini sejalan dengan laporan yang
menyatakan bahwa terumbu karang di utara Aceh tidak hancur parah oleh tsunami (Baird et al.
2005) serta praktik perikanan dan pengelolaan sebelumnya mempengaruhi kesehatan kawasan
terumbu karang.

Terlepas dari kerusakan parah terumbu karang akibat perikanan yang merusak dan tingginya
sedimentasi setelah tsunami, jumlah rata-rata karang muda yang ditemukan (8,0 karang muda/
m2) pada terumbu yang rusak di Pulo Aceh besarnya hampir dua kali lipat dari di Pulau Weh
(4,9 karang muda/ m2), menunjukkan tingginya tingkat pemulihan terumbu karang di pulau-
pulau tersebut. Hasil tersebut menggarisbawahi pentingnya peran kawasan lindung dalam
menyediakan suaka bagi ikan-ikan serta mempertajam daya tahan ekosistem terumbu karang
dalam menghadapi berbagai gangguan. Kualitas terumbu di daerah perlindungan laut, dimana
perikanan yang merusak telah dibatasi, menyediakan beberapa pelajaran tentang pengelolaan
sumber daya yang berhasil di Indonesia, baik dengan menggunakan sistem tradisional maupun
cagar alam laut. (Sumber: Campbell et al. 2006 dalam persiapan. Hubungi:
s.campbell@wcsip.org).

58
KONTAK PENULIS
Cipto Aji Gunawan, Ibnu Hazam, Yan Manuputty, Ivan Silaban, dan Yunaldi Yahya, Reef Check Indonesia,
JI. Pengembak no. 1, Sanur, Bali, Indonesia, 80228, Telepon: +62 361 285 297, Fax: +62 361 286 383,
nanengsetiasih@yahoo.com; Gerry Allen, tropical_reef@bigpond.com; Giorgio Bavestrello, Università
Politecnica delle Marche, g.bavestrello@univpm.it; Carlo Cerrano, Università di Genova, Corso,
cerrano@dipteris.unige.it; Ayu Destari, Fisheries Diving Club, Bogor Agricultural University, Indonesia,
ayudestari@yahoo.com; Bob Foster, Reef Check Foundation, bob@reefcheck.org; Annelise Hagan, Khaled
bin Sultan Living Oceans Foundation, abh28@cam.ac.uk; Zeehan Jaafar, National University of Singapore,
scip1157@nus.edu.sg; Nishan Perera, IUCN - The World Conservation Union, nsh@iucnsl.org; Silvia
Pinca, College of Marshall Islands, milviapin@yahoo.com; Jan Henning Steffen, Wasistini Baitoningsih,
Anisa Budiayu, UNESCO Office Jakarta, Jl. Galuh (II) No.5, Kebayoran Baru, Jakarta 12110, Indonesia,
Telepon: +62 21 7399 818, Fax: +62 21 7279 6489, e-mail: jakarta@unesco.org. (Daftar penulis menurut
abjad.)

ACUAN
Allen GR, Erdmann MV (2005) Post-Tsunami Coral Reef Assessment Survey, Pulau Weh, Aceh Province,
Sumatra. Laporan untuk Conservation International-Indonesia.
Baird AH, Campbell SJ, Anggoro AW, Ardiwijaya RL, et al. (2005) Acehnese Reefs in the Wake of the Asian
Tsunami, Current Biology, 15: 1926-1930.
BAPPENAS and the International Donor Agency (2005) Indonesia: Preliminary Damage and Loss
Assessment, the December 26, 2004 Natural Disaster. Consultative Group on Indonesia, 99 pp.
(www.bappenas.go.id).
Foster R, Hagan A, Perera N, Gunawan CA, et al. (2006) Tsunami and earthquake damage to coral reefs
of Aceh, Indonesia. Reef Check Foundation, Pacific Palisades, California, USA, 32 pp.
Samek JH, Skole DL, Chomentowski W (2004) Assessment of impact of the December 26, 2004 tsunami
in Aceh Province Indonesia. Center for Global Change and Earth Observations, 16 pp.
Tun K, Oliver J, Kimura T (2005) Summary of Preliminary Rapid Assessments of Coral Reefs in Affected
Southeast Asian Countries following the Asian Tsunami Event on December 26 2004. WorldFish
Center, GCRMN, the Government of Japan and the Japan Wildlife Research Center.

59
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

60
4. KEADAAN TERUMBU KARANG PASCA-TSUNAMI
DI MALAYSIA

KARENNE TUN, YUSRI YUSUF DAN AFFENDI YANG AMRI

RINGKASAN
Malaysia tidak menderita kerusakan yang terlalu besar akibat tsunami karena terlindungi oleh Pulau
Sumatra, dan hanya menerima gelombang-gelombang sekunder;
Propinsi Perlis, Kedah Perak, dan Selangor yang terletak di pesisir barat daratan Tanjung Malaysia
dan pulau-pulau terluar Penang dan Langkawi mengalami kerusakan;
Sebuah sistem peringatan ‘bendera merah’ pada beberapa pantai berhasil mencegah jumlah kematian
yang tinggi, namun terdapat 68 korban jiwa yang sebagian besar berupa wisatawan dan anak-anak;
Sebagian besar kerusakan terjadi pada sektor perikanan: 7.721 nelayan terkena dampak secara
langsung; 3.626 kapal nelayan (setara US$ 7,5 juta) hilang atau rusak; desa nelayan di pesisir,
tempat tinggal sementara, jetty, jembatan, dan pertokoan rusak; dan hasil tangkap perikanan perairan
pesisir menurun lebih dari setengahnya. Kerusakan pada industri budidaya mempengaruhi 232
petani tambak dengan kerugian ekonomi mencapai lebih dari US$ 7,24 juta. Hanya terjadi sedikti
kerusakan pada sektor pariwisata, namun demikian kedatangan wisatawan menurun akibat
kekhawatiran datangnya tsunami berikutnya;
Kerusakan pada terumbu karang hanya sedikit dan sebagian wilayah tidak terkena dampak. Erosi
terjadi pada beberapa lereng terumbu bagian atas dan tepi, dengan sedikit sedimen tersuspensi
kembali serta karang patah pada perairan dangkal; dan
Pendataan yang dilakukan menggarisbawahi keadaan terumbu yang buruk sebelum tsunami
menimpa, dengan muatan sedimen yang tinggi merusak terumbu karang; pendataan keadaan terumbu
karang Malaysia sebelum tsunami terjadi juga kurang terekam dengan baik.

PENDAHULUAN
Gelombang tsunami yang dipicu oleh gempa bumi, yang terjadi 30 km di bawah permukaan pesisir
Sumatra dan sepanjang lempeng yang terletak sepanjang Kepulauan Andaman dan Nikobar, pertama kali
mencapai daerah-daerah pada Peninsula Malaysia bagian barat laut dan pulau-pulau bagian terluar
sekitar 3 jam berikutnya pada pukul 12.15 siang tanggal 26 Desember 2004. Gelombang-gelombang ini
merupakan gelombang-gelombang sekunder (bayangan) dengan kecepatan sekitar 160 km/jam,
dibandingkan dengan gelombang-gelombang primer (800 km/jam) yang menimpa wilayah lainnya.
Amplitudo di dekat pantai mencapai kisaran kurang dari 1 m sampai nilai maksimum 3 m di daerah pesisir
Perlis, Kedah, Perak, dan Selangor, dan pada pulau-pulau terluar dari wilayah Langkawi dan Penang.

61
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Sebanyak 68 korban jiwa dilaporkan di Malaysia; 52 di Penang, 12 di Kedah, 3 di Perak dan 1 di Selangor.
Di antara korban jiwa tersebut termasuk banyak wisatawan dan anak-anak yang bertamasya di pantai
umum ketika ombak datang, terutama di Pantai Pasir Panjang (27 korban) dan Pantai Miami (23 korban).
Mereka yang menjadi korban tidak bisa menyelamatkan diri karena adanya penghalang, seperti batas
beton yang terdapat di Pasir Panjang dan sebuah jalan tol di belakang Pantai Miami, yang mencegah
evakuasi cepat. Angka kematian ini bisa saja lebih tinggi, jika bukan karena sistem peringatan bendera
merah yang diterapkan oleh penjaga pantai pada beberapa pantai resor di Penang.

Meski sebagian besar korban jiwa terdapat di Penang, terjadi kerusakan struktural yang parah di Kuala
Muda, Kedah. Ombak-ombak sekunder tidak memasuki daratan lebih dari 200 meter pada sebagian
besar wilayah, dengan jarak tembusan paling jauh berkisar antara 500 m sampai 3 km di sepanjang
sejumlah sungai. Oleh karena itu, sedikit kerusakan pada infrastruktur dan tidak terjadi kerusakan sama
sekali pada jaringan listrik, persediaan air, sektor telekomunikasi, dan transportasi. Rel kereta api, saluran
air, jalanan, dan bandar udara tidak terpengaruh, dan tidak terdapat laporan adanya wabah penyakit.

62
Keadaan Terumbu Karrang Pasca Tsunami di Malaysia

BAGAIMANA BAKAU MENYELAMATKAN NELAYAN PENANG


Selama lebih dari satu dekade, para nelayan perairan lepas pantai Penang berjuang untuk
melesatarikan rawa bakau dekat desa mereka. Pada 26 Desember, mereka menerima balasan
yang sangat setimpal untuk upaya keras mereka; rawa-rawa tersebut menjadi penyangga melawan
tsunami, menyelamatkan nyawa sejumlah nelayan dan mencegah kerusakan yang lebih parah
pada rumah-rumah mereka. Penasihat Asosiasi Kesejahteraan Nelayan Lepas Pesisir Penang, P.
Balan, berterima kasih bahwa upaya penanaman anakan bakau di wilayah Pulau Betong, Balik
Pulau, Batu Kawan, dan Kuala Sungai Pingang terbukti bermanfaat. “Ketika ombak pasang
yang pertama datang di pertengahan hari pada 26 Desember, para nelayan sedang kembali
dari laut. Lalu ketika mereka menyadari kekuatan ombak tersebut, mereka berpegangan pada
pohon bakau dan berhasil selamat dari tsunami. Bahkan harta mereka di daratan berhasil
selamat karena hutan bakau telah menjadi penyangga,” katanya. Rousli Ibrahim dari Sungai
Chenaam mengatakan bahwa 3 orang kawannya berlindung dalam hutan bakau dan selamat
dari ombak kencang. “Terima kasih kepada Tuhan, pohon-pohon ini menyelamatkan mereka,”
ungkap nelayan berumur 57 tahun tersebut. “Hutan bakau telah hadir di sekitar desa saya sejak
awal tahun 1970 dan banyak dari kami yang menangkap kepiting disana. Meski banyak
pohon yang tumbang, kami telah berhasil menanam kembali lebih banyak anakan dan sebagian
besar dari masyarakat kami berterima kasih sekarang.” Ketua Asosiasi Saidin Hussein
mempercayai bahwa jika terdapat lebih banyak pohon bakau di Pulau Betong, korban jiwa
dan kerusakan yang parah terhadap kapal nelayan di wilayah tersebut dapat diperkecil. “Sewaktu
saya menunjukkan kurangnya pohon bakau dalam wilayah ini, saya dicap sebagai orang tua
bodoh,” kata Bapak berumur 73 tahun ini, yang hingga kini pergi melaut setiap hari (dari The
New Straits Times, 7 Januari 2005).

Sebagian besar kerusakan menimpa sektor perikanan; lebih dari 25% nelayan terdaftar menjadi korban,
dengan hilangnya 3.500 buah kapal senilai RM$ 28 juta (US$ 7,5 juta). Banyak jetty dan jembatan milik
swasta maupun pemerintah mengalami hancur atau rusak berat, begitu juga sejumlah kapal layar yang
terdapat di dermaga milik pribadi di Pulau Rebak dan Teluk Burau, Lengkawi.

KEADAAN TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI


Terumbu karang Malaysia menutupi wilayah seluas 4.000 km2 yang sebagian besar (85%) ada di Sabah
dan Serawak. Kebanyakan terumbu karang di Tanjung Malaysia berada di sepanjang pesisir timur dan
pulau-pulau lepas pantai pesisir barat. Terumbu ini terletak di tepian pulau-pulau lepas pantai bagian utara
dari Pulau Langkawi, Pulau Payar, dan Pulau Perak di negara bagian Kedah; dan Pulau Pangkor, Pulau
Jarak, dan Pulau Sembilan di negara bagian Perak. Terumbu-terumbu kecil, yang mengalami pengembangan
buruk dan terdegradasi berat terdapat di negara bagian di selatan Negeri Sembilan, tepatnya di Port
Dickson dan Tanjung Tuan.

Hanya terdapat beberapa laporan yang diterbitkan mengenai keadaan terumbu karang di sepanjang
pesisir barat Tanjung Malaysia, dan tidak terdapat program pemantauan terumbu karang jangka panjang,
namun sejumlah LSM membantu pihak berwajib Taman Laut dalam survei terumbu karang di Pulau
Langkawi dan Pulau Payar.

Sebelum tsunami terjadi, penutupan karang hidup pada bagian Pulau Langkawi dengan tingkat
pengembangan pariwisata tinggi mencapai 20-50%, sementara bagian utara dan timur laut yang belum
berkembang memiliki penutupan karang yang baik (antara 50,5% sampai 58,3%). Namun, penutupan
karang hidup di Taman Laut Pulau Payar mengalami penurunan, walaupun dilindungi. Pada tahun
1982, penutupan karang hidup sebesar 43,25%, namun pada tahun 2002 telah menurun menjadi 33%.
Penurunan tutupan karang hidup ikut disebabkan oleh peningkatan jumlah wisatawan ke Taman Nasional
yang tidak diregulasi.

63
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

KEADAAN TERUMBU KARANG SETELAH TSUNAMI


Para ilmuwan mengkhawatirkan terumbu karang Pulau Langkawi, Pulau Payar, dan Pulau Perak
mengalami kerusakan sewaku tsunami, dan pengamatan cepat (rapid assessment) dilakukan pada Januari
2005 di Pulau Payar oleh Coral Cay Conservation (CCC) dan Institut Penelitian Perikanan, sedangkan di
Pulau Langkawi dan Pulau Perak oleh beberapa lembaga, termasuk WWF – Malaysia, Universiti Malaya,
Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysian Society of Marine Sciences and the WorldFish Center.

Kepulauan Langkawi: Hanya sedikit atau tidak ada kerusakan yang ditemukan dalam pengamatan
cepat (rapid assessment) serta survei oleh Reef Check. Beberapa koloni karang terjungkirkan atau
mengalami patah, namun kerusakan ini bisa ditimbulkan oleh jangkar kapal. Jumlah karang yang belum
lama mati, patah, atau terjungkirkan hanya sedikit. Karang yang tertutupi lapisan pasir halus ditemukan
di semua lokasi, namun ini dapat disebabkan oleh sebab yang baru terjadi dan bukan karena tsunami.
Keragamanan dan kelimpahan ikan serta avertebrata terumbu karang rendah; yang kemungkinan besar
disebabakan oleh kondisi lingkungan yang sudah ada sebelumnya.

Taman Laut Pulau Payar: Ketika tsunami terjadi, CCC sedang melakukan penelitian dengan Departemen
Taman Laut. Pihak mereka melaporkan tidak ada kerusakan atau hanya kerusakan yang dapat diabaikan
pada terumbu karang di Pulau Payar; hal ini disetujui oleh lembaga lainnya yang melalukan penelitian
disana.

Pulau Perak: Terumbu di sini berupa tembok karang yang membentang sampai kedalaman lebih dari 30
m. Kerusakan yang ditemukan dalam survei oleh Reef Check hanya minimal dan tidak mempengaruhi
struktur terumbu; tidak terdapat kerusakan pada tembok karang ataupun dasar terumbu. Air laut pada
lokasi ini cukup jernih dan pasir tidak melapisi terumbu karang. Terumbu ini memiliki keanekaragaman
dan kelimpahan ikan dan invertebrata karang yang sangat tinggi.

Pulau Jarak dan Pulau Sembilan: Meski belum ada pengamatan khusus di wilayah ini, penyelam lepas
melaporkan tidak adanya kerusakan fisik pada terumbu karang ini yang disebabkan tsunami.

Kerusakan Mangrove: Pengamatan hutan mangrove setelah tsunami di daerah Penang dan Kedah
(kedua negara bagian dengan kerusakan tertinggi) menunjukkan kerusakan yang kecil terhadap mangrove
oleh tsunami. Institut Penelitian Perikanan melaporkan adanya kerusakan fisik minim terhadap hutan
mangrove di Kuala Teriang, Pulau Langkawi, dan di muara Sungai Merbok.

Kerusakan Lamun: Lamun yang terdapat pada pesisir timur Penang yang terlindungi, dan pada pesisir
utara Langkawi tidak mengalami kerusakan.

DAMPAK SOSIAL-EKONOMI
Dampak Perikanan: Laporan resmi memprakirakan bahwa 7.721 nelayan terkena dampak tsunami
secara langsung dan 3.626 kapal dengan nilai total RM$ 28 juta (US$ 7,5 juta) hilang atau rusak. Desa-
desa pesisir, rumah-rumah liar, jetty, jembatan, dan toko-toko juga mengalami kerusakan; dan pendaratan
ikan setelah tsunami dilaporkan menurun lebih dari setengahnya.

Dampak Budidaya: Industri budidaya Malaysia menderita kerugian yang parah akibat tsunami dan 232
peternak ikan kehilangan pendapatan setara RM$ 27,1 juta (US$ 7,24 juta). Biopsi pada ikan mati yang
berasal dari jaring apung di satu lokasi di Sungai Udang, Penang, menunjukkan bahwa kematian disebabkan
oleh luka fisik dan infeksi oleh parasit. Insang dan sebagian organ dalam ikan telah mengalami pendarahan,
kemungkinan karena adanya infeksi bakteri atau virus sekunder.

64
Keadaan Terumbu Karrang Pasca Tsunami di Malaysia

SEBUAH KESAKSIAN
Saya tidak merasakan gempa susulannya, namun saya berdiri untuk melihat ke arah laut dan
terkejut ketika melihat adanya pusaran air di depan apartemen saya. Di sebelah kanan, saya
bisa melihat gelombang tsunami menuju sudut timur laut Penang. Saat ombak-ombak itu mencapai
wilayah dangkal, saya dapat melihat ombak bertambah tinggi dan menghempas pantai.
Semuanya tampak seperti mesin cuci raksasa di luar apartemen saya. Kami beruntung karena
berada jauh dari pantai di wilayah bukit. Tidak ada peringatan sama sekali” (Dari Reuben
Walters, Penang, Malaysia).

Dampak Pariwisata: Badan Promosi Pariwisata Malaysia melaporkan bahwa pulau-pulau wisata di
Langkawi dan Penang bisa luput dari dampak sepenuhnya tsunami karena terlindung oleh Sumatra.
Tidak ada korban jiwa warga asing, dan hanya sedikit kerusakan terhadap infrastruktur, kapal, darmaga,
dan hotel pantai (seperti masuknya air laut dan lumpur ke kolam renang). Puing-puing dibersihkan tidak
lama setelah tsunami dan usaha pariwisata kembali berjalan dalam beberapa hari. Namun, jumlah
wisatawan yang datang mengalami penurunan karena adanya kekhawatiran tsunami akan terjadi kembali.

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Pemerintahan Malaysia segera mengalirkan bantuan dana bagi semua korban bencana yang berhak
menerimanya. Terdapat pula bantuan finansial tambahan seperti pinjaman lunak kepada para nelayan
dari Lembaga Pengembangan Perikanan Malaysia dan pinjaman bank, yaitu dari Bank Pertanian Malaysia
(detil-detil bantuan dana dapat dilihat secara langsung di www.streaminitiative.org/pdf/
MalaysiaMarch.pdf).

KESIMPULAN DAN SARAN


Pengamatan pasca tsunami menunjukkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami pada terumbu
karang yang teramati, tidak berarti. Namun pengamatan ini telah mengetengahkan betapa buruknya
kondisi terumbu karang sebelum tsunami terjadi, dengan tingkat sedimentasi yang tinggi merusak
komunitas terumbu. Malaysia termasuk beruntung karena hanya ombak-ombak sekunder dengan
amplitudo 3 m yang mencapai pesisir di sebagian besar wilayah yang terkena. Dampak yang paling parah
menimpa masyarakat perikanan dan sektor budidaya, dan banyak masyarakat yang masih dalam proses
membangun kembali, setahun setelah bencana menimpa. Dampak terhadap infratruktur pariwisata kecil
sekali, dan jumlah wisatawan kini mulai pulih.

Bencana tsunami telah menggarisbawahi adanya kekurangan informasi dan data dasar untuk pengelolaan
dan pelestarian terumbu karang. Hasil pengamatan terumbu karang pasca tsunami tidak dapat
dibandingkan dengan data kondisi terumbu karang sebelum tsunami akibat langkanya data pembanding
tersebut, atau data tersebut tidak dapat diakses karena tersebar antara berbagai lembaga sebagai data
yang tidak diterbitkan, laporan, atau data mentah. Malaysia memiliki potensi tenaga ahli dan infrastruktur
yang cukup baik untuk menjalankan penelitian dan pemantauan terumbu karang yang lebih mendalam,
namun dana dan sumber daya yang dialokasikan untuk upaya tersebut saat ini belum mencukupi;
sehingga saran yang ingin kami kemukakan:

Bahwa sebuah sistem manajemen dan basis data terumbu karang nasional didirikan guna
menggabungkan, memperkuat, dan menjadi pusat data dan informasi terumbu karang (dan juga
data ekosistem laut lainnya) yang pernah atau sedang dijalankan di Malaysia. Hal ini akan
mempermudah akses cepat terhadap informasi di waktu darurat seperti ketika tsunami, dan membantu

65
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

pengelolaan terumbu karang. Informasi akan tersedia bagi masyarakat melalui internet atau
kesepakatan penggunaan informasi lainnya;
Bahwa sebuah program pemantauan terumbu karang nasional yang terintegrasi didirikan oleh lembaga
pusat yang bekerjasama dengan universitas setempat, lembaga pemerintah, dan LSM dalam
mengamati dan memantau terumbu karang di Malaysia;
Bahwa dikembangkan legislasi Wilayah Perlindungan Laut antar sektor khusus yang penerapannya
dipantau oleh sebuah departemen yang memiliki dedikasi dan sumber daya manusia, dana dan
logistik yang tepat untuk melestarikan terumbu karang Malaysia; dan
Bahwa perbatasan taman laut diperluas sehingga mengikutserakan pulau-pulau di sekitar taman
nasional yang ikut terkena dampak dari daratan (seperti sedimen), untuk memperbaiki pengelolaan
pulau-pulau dan wilayah pesisir.

UCAPAN TERIMA KASIH


Data dan informasi diambil dari sumber-sumber berikut ini, dan para penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
CONSRN,www.streaminitiative.org/pdf/MalaysiaMarch.pdf;
Coral Cay Conservation, www.reefbase.org/Tsunami.asp.

ALAMAT KONTAK PENULIS


Karenne Tun dan Yusri Yusuf, WorldFish Center, PO Box 500 GPO, 10670 Penang, Malaysia,
k.tun@cgiar.org dan y.yusuf@cgiar.org; Affendi Yang Amri, Universiti Malaya Maritime Research Institute,
University of Malaya, 50603 Kuala Lumpur, Malaysia, affendi@um.edu.my.

PENINJAU
Choo Poh Sze, David Garnett, Kevin Hiew, Lee Yoke Lee, Mohd Nizam Basiron, Joanna Ruxton, dan
Kristian Teleki.

REFERENSI
Chee PE, Siow R, Ali M (Eds.). Interim report of impact of tsunami on fisheries and coastal areas. Fisheries
Research Institute, Penang, Malaysia; isi makalah oleh: Alias AH, Latun AR, Arshad MA, Ali M,
Harith H (2005) and Kua BC, Bakar P, Abdul Latif F, Ramly R, Abdullah SZ, Abdullah A, Veloo P
(2005).
Khor HT, Lim WS (2005). Impact of the tsunami on Penang’s economy. Penang Economic Monthly,
Volume 7, Issue 1: 1-10, (www.seri.com.my/EconBrief/EconBrief2005-01.pdf).
Lee YL, Affendi YA, Tajuddin BH, Yusuf YB, et al. (2005). A post-tsunami assessment of coastal living
resources of Langkawi Archipelago, Peninsular Malaysia. NAGA, WorldFish Center Newsletter Vol.
28 No. 1 & 2: 17-22.
WorldFish Center (2005). Result of preliminary studies on the impact of the tsunami on fisheries and
coastal areas of Penang and Kedah in Malaysia. NAGA, WorldFish Center Newsletter Vol. 28 No. 1
& 2: 23-25.
Yalciner AC, Ghazali NH, Abd Wahab AK (2005). Report on December 26, 2004, Indian Ocean Tsunami,
Field Survey on July 09-10, 2005 North West of Malaysia, Penang and Langkawi Islands. (http://
yalciner.ce.metu.edu.tr/malaysia-survey/yalciner-etal-malaysia-surveysep-22-2005.pdf).

66
5. KEADAAN TERUMBU KARANG DAN EKOSISTEM
PESISIR LAINNYA DI LAUT ANDAMAN, THAILAND
PASCA-TSUNAMI

NIPHON PHONGSUWAN, THAMASAK YEEMIN, SUCHAI WORACHANANANT,


MAITREE DUANGSAWASDI, CHERDCHINDA CHOTIYAPUTTA, DAN JAMES
COMLEY

RINGKASAN
Jumlah korban jiwa mencapai 5.395 dengan 2.932 lainnya dinyatakan hilang; lebih dari 8.000
terluka; 407 desa, 4.800 bangunan rumah dan sekolah rusak atau hancur;
Terjadi kerugian maha besar terhadap industri perikanan dan budidaya; lebih dari 5.000 kapal
nelayan hilang, beserta alat tangkap, tambak, keramba, dan penetasan benur; 8 dermaga rusak
parah; 150 kapal pariwisata besar dan 776 kapal pariwisata kecil rusak atau hilang;
Lebih dari 1.500 hektar lahan pertanian terendam air laut; dan lebih dari 2.000 ekor babi dan 7.600
unggas ternak hilang;
Kerugian ekonomi ditaksir mencapai US$ 321 juta untuk sektor pariwisata dan US$ 43 juta untuk
sektor perikanan;
Secara umum, terumbu karang tidak rusak parah; 13% rusak parah; 47% menderita kerusakan
rendah sampai sedang; dan 40% tidak menunjukkan dampak yang berarti akibat tsunami. Kerusakan
yang ada bergantung pada lokasi, dengan perbedaan yang cukup tinggi antar lokasi dan dalam
masing-masing lokasi itu sendiri;
Hutan mangrove dan padang lamun tidak rusak parah;
Warga Thailand membersihkan sebagian besar dari puing-puing akibat tsunami dari daratan, tidak
lama setelah tsunami menimpa;
Sebagian besar terumbu karang akan pulih secara alami dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun,
karena terdapat wilayah besar dengan terumbu karang sehat di wilayah yang di dekatnya. Namun,
pemulihan bergantung kepada kerusakan dari manusia yang dapat membatasinya; dan
Tsunami telah meyediakan sebuah kesempatan untuk menerapkan pengelolaan pesisir terpadu yang
tepat guna, sehingga dapat menjadikan pariwisata dan perikanan yang berkelanjutan, mengendalikan
kerusakan dari perbuatan manusia, dan untuk memperkuat kekebalan terumbu karang dan habitat
pesisir terhadap ancaman alam.

67
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

PENDAHULUAN
Pesisir Thailand di Laut Andaman terletak 460 km ke arah timur dari sumber gelombang tsunami yang
menerjang pada 26 Desember 2004, tepat 1,5 jam setelah terjadi gempa bumi di perairan Kepulauan
Andaman dan Nikobar. Serangkaian gelombang menimpa pesisir timur antara pukul 9.40 dan 10.30 pagi
waktu setempat. Gelombang-gelombang pertama berlalu hampir tanpa sepengetahuan penduduk di
beberapa wilayah (meski beberapa wilayah mendapatkan gelombang setinggi 4 sampai 10 meter). Namun,
rangkaian gelombang yang kedua tingginya berkisar antara 2 sampai 16 meter dan menimbulkan kerusakan
yang parah pada sumber daya pesisir yang terdapat di sepanjang 6 propinsi di Laut Andaman: Ranong;
Phang Nga; Phuket; Krabi; Trang; dan Satun. Phang Nga merupakan propinsi yang paling parah
kerusakannya, namun Phuket dan Krabi juga mengalami kerusakan yang berat. Tingkat kerusakan
bervariasi, bergantung pada beberapa hal seperti bentuk pesisir, topografi, batimetri dasar laut di perairan
lepas, kemiringan, ketinggian dan ada atau tidaknya rintangan alami, dan juga faktor-faktor buatan
manusia, seperti pemanfaatan daratan dan pengembangan pesisir. Laporan resmi mencatat 5.395 korban
jiwa, 2.932 orang masih hilang, dan lebih dari 8.000 terluka, namun perkiraan angka-angka tersebut
berkisar cukup besar. Korban jiwa wisatawan banyak sekali, terutama mereka yang berasal dari Eropa,
dengan 543 orang dari Swedia dipastikan meninggal atau hilang. Banyak masyarakat lokal dan wisatawan
yang tidak mengetahui bahaya tsunami yang dapat mengikuti sebuah gempa bumi, karena mereka tidak

68
Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

memiliki pengetahuan tradisional. Jumlah korban jiwa pasti, mungkin tidak akan pernah diketahui
mengingat banyak dari masyarakat etnis Moken (sea gypsies) dan asal Burma tidak tercatat; banyak
masyarakat Moken yang berhasil lolos dari tsunami karena pengetahuan tradisional tentang tsunami
telah diceritakan secara turun temurun. Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 3.000 orang Burma
kemungkinan tewas dalam tsunami di Thailand.

Pemerintahan Kerajaan Thailand langsung menyiapkan dana bencana sebesar US$ 2,5 juta (100 juta
Baht) untuk pendataan sumber daya sebagai bagian dari program pemulihan dan rehabilitasi sumber
daya alam dan lingkungan. Dari dana ini, sebanyak US$ 123.000 (4.950.000 Baht) ditetapkan untuk
terumbu karang, lamun, dan biota laut yang terancam punah. Setelah upaya-upaya kemanusiaan bergulir,
prioritas pemulihan bergeser ke bidang lingkungan, kebutuhan psikologis dan sosial, perawatan untuk
kelompok-kelompok yang rentan dan pemulihan sumber penghidupan. Departemen Sumber Daya Kelautan
dan Pesisir (DMCR) dari Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (MONRE), bekerjasama
dengan 9 perguruan tinggi di Thailand dan sektor swasta, segera menjalankan pendataan cepat pada
terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove dibawah koordinasi Pusat Biologi Kelautan Phuket
(PMBC). Dalam kurun waktu 2 minggu sejak tsunami, 220 orang telah mensurvei lebih dari 300 lokasi
dalam 174 kawasan terumbu karang. Para ilmuwan yang ikut serta termasuk mereka yang mengetahui
status ekosistem-ekosistem tersebut secara rinci sebelum terjadi tsunami. Departemen Taman Nasional,
Konservasi Satwa dan Tumbuhan mendata dampak terhadap infrastruktur dan fasilitas yang terdapat di
dalam kawasan lindung, kapal-kapal dan infrastruktur budidaya air. Pemerintahan Thailand juga
membentuk sub-komisi untuk menangani rehabilitasi lingkungan dan sumber penghidupan dan sejumlah
gugus tugas yang khusus menangani habitat terumbu karang, ancaman daratan, dan kehidupan
masyarakat.

Secara besamaan, sejumlah pemerintahan negara, lembaga dan LSM internasional datang untuk
membantu dalam pendataan dan menawarkan bantuan kemanusiaan. Contohnya, sebuah utusan polisi
Perancis membawa alat-alat berat untuk mengangkat benda-benda besar seperti kapal nelayan dari
perairan di sekitar Ko Phi Phi.

KEADAAN TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI


Thailand memiliki kurang lebih 153 km2 terumbu karang, 300 pulau, dan garis pantai yang melebihi
2.600 km. Terumbu karang Thailand ditemukan pada 4 lokasi yang khusus: bagian dalam dari Teluk
Thailand (Chonburi); pantai timur dari Teluk Thailand (Rayong, Chanthaburi dan Trad); pantai barat dari
Teluk Thailand (Prachuab Kirikhan, Chumporn, Surathani, Nakhon Si Thammarat, Songkhla, Pattani dan
Narathiwat); dan sepanjang pesisir pada 6 propinsi di Laut Andaman. Sebelumnya terdapat lebih dari
250 jenis karang keras, namun hanya terumbu karang di sepanjang Laut Andaman yang terkena dampak
tsunami. Terumbu pada pesisir Laut Andaman memiliki tingkat keanekaragaman karang tertinggi di
Samudera Hindia dan secara umum tidak terpengaruh oleh fenomena pemutihan karang yang terjadi
tahun 1998.

Sebelum tsunami, pendataan terumbu secara rutin dilakukan oleh Departmen Perikanan pada lebih dari
250 situs di Teluk Thailand dan 169 situs pada Laut Andaman menggunakan survei manta tow antara
tahun 1995 sampai 1998. Di Laut Andaman, 4% terumbu karang yang didata ditemukan berada dalam
kondisi yang sangat baik, 13% dalam kondisi baik, 33% dalam kondisi sedang, namun 50% ditemukan
dalam kondisi buruk. Pendataan ini berdasarkan proporsi penutupan karang hidup terhadap karang mati.
Sebagian data pemantauan tersedia untuk tahun 2003-2004, namun tidak untuk semua lokasi survei.

69
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Perkiraan ‘kesehatan’ terumbu karang Laut Andaman pada tahun 2002-2003 sebelum tsunami menggambarkan
bahwa hanya sedikit (17.5%) dari terumbu karang yang disurvei berada dalam keadaan baik sampai sangat
baik, meskipun terumbu merupakan dasar dari industri selam pariwisata (nilai yang ditampilkan menunjukkan
persentase karang dalam tiap kategori).

Propinsi Sangat Baik Baik Sedang Rusak Sangat Rusak

Ranong 1,5 7,6 36,4 37,9 16,6


Phang Nga 1,8 5,4 28,2 29,9 34,7
Phuket 2,0 7,7 23,6 35,0 31,7
Krabi 3,5 13,5 49,6 23,2 10,2
Trang 5,0 26,9 28,1 16,9 23,1
Satun 10,7 19,2 36,2 18,8 15,1
Rata-rata 4,1% 13,4% 33,7% 26,9% 21,9%

Sejak rekonstruksi pemerintahan Thailand pada tahun 2002, DMCR yang baru terbentuk telah mengambil
alih peran sebagai koordinator pelestarian dan pemantauan terumbu karang di Thailand, namun tidak
memiliki sumber daya yang mecukupi untuk menyatukan data eksternal yang dimiliki oleh para perguruan
tinggi dan lembaga lainnya. Data pemantauan terumbu karang telah dikompilasi ke dalam satu basis data
di Universitas Chulalongkorn pada pertengahan 1990, namun basis data tersebut tidak dikelola. DMCR,
Departemen Perikanan dan pihak Taman Nasional Laut kesemuanya memiliki mandatnya masing-masing
di bawah peraturan yang berbeda untuk melindungi terumbu karang, namun koordinasi kegiatan antar
lembaga nasional, pemerintahan wilayah, dan sektor swasta dalam pengelolaan terumbu karang sedikit
sekali. Penegakan hukum lemah karena wilayah pengelolaan yang tumpang tindih dan kesalahpahaman
dalam tanggung jawab. Fokus utama dari taman nasional adalah mendukung ekonomi pariwisata dan
bukan kepada konservasi dan penegakan peraturan. Hal-hal di atas telah menyebabkan kegagalan
pengendalian terhadap praktik perikanan merusak yang terus menyebar dan praktik buruk lainnya di
wilayah terumbu karang, yang menyebabkan terumbu karang Thailand terdegradasi.

KEADAAN TERUMBU KARANG SETELAH TSUNAMI


Survei pada 174 lokasi yang segera dilakukan setelah tsunami menunjukkan bahwa 13% dari lokasi-
lokasi tersebut berada dalam keadaan rusak parah, 47% mengalami dampak rendah sampai sedang, dan
40% tidak menunjukkan tanda dampak tsunami. Secara keseluruhan, dampak yang ditimbulkan
tergantung pada lokasi, dengan perbedaan tingkat kerusakan yang cukup tinggi di antara lokasi-lokasi
dan di dalam setiap lokasi.

Terumbu karang perairan dangkal dan terumbu yang tumbuh dalam selat antara pulau mendapatkan
pengaruh paling besar dan mengalami kerusakan yang lebih besar, sebagian besar disebabkan oleh bentuk
pesisir yang memusatkan kekuatan gelombang ke wilayah-wilayah sempit. Terumbu karang perairan dalam
dan yang terdapat di sekitar Phuket mengalami sedikit kerusakan. Pada 23 lokasi, termasuk 4 lokasi di
dalam Taman Nasional Mo Ko Surin, lebih dari 50% terumbu karang rusak parah. Lokasi-lokasi tersebut
kemungkinan akan tertutup bagi wisatawan di waktu yang akan datang untuk memfasilitasi pemulihan.
Sebagian besar dampak yang ditimbulkan bervariasi, bergantung pada masing-masing lokasi dan mayoritas
dari kerusakan akibat tsunami pada terumbu karang Thailand dapat diklasifikasikan menjadi 3:

70
Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

1. Gerakan gelombang yang mencabut, mematahkan, dan memindahkan karang hidup dan karang
mati;
2. Penyelimutan karang karena sedimentasi yang meningkat; dan
3. Deposisi puing-puing dari daratan dan kerusakan mekanis yang ditimbulkan.

Perkiraan kerusakan akibat tsunami terhadap terumbu karang Thailand yang dikumpulkan oleh DMCR,
dikembangkan dari 320 pendataan spot check pada 174 lokasi tereumbu karang di sepanjang pesisir Laut
Andaman. Pendataan kerusakan terhadap karang (patah, penyelimutan, pencabutan) rampung dalam waktu 2
minggu setelah tsunami. Mayoritas dari terumbu karang tidak mengalami kerusakan, namun pada beberapa
propinsi (terutama Phang Nga) terdapat kerusakan parah yang diakibatkan ombak yang terpusat di antara
pulau-pulau. Angka-angka di dalam kurung menunjukkan lokasi khusus dalam setiap propinsi.

Propinsi Tidak ada Dampak Dampak Dampak Dampak


Dampak Minimal Rendah Sedang Tinggi
(0%) (1-10%) (11-30%) (31-50%) (>50)

Ranong 0 2 2 1 7
Phang Nga 21 12 16 10 13
Kepulauan Surin (0 dari 21) (5 dari 12) (7 dari 16) (5 dari 10) (4 dari 13)
Kepulauan Similan (11 dari 21) (7 dari 12) (8 dari 16) (5 dari 10) (7 dari 13)
Phuket 12 5 3 1 0
Krabi 12 8 4 4 2
Kepulauan Phi Phi (5 dari 12) (4 dari 8) (2 dari 4) (3 dari 4) (1 dari 2)
Trang 2 4 2 0 0
Satun 22 5 3 0 1
Jumlah 69 (39,7%) 36 (20,7%) 30 (17,2%) 16 (9,2%) 23 (13,2%)

Pendataan cepat yang dilakukan secara pribadi pada 70 lokasi selam yang sangat dikenal oleh Klub
Operator Selam Thailand, Phuket di kepulauan Surin dan Similan menemukan bahwa 73% dari lokasi-
lokasi selam tersebut hanya mengalami kerusakan ringan, 8% mengalami kerusakan sedang, dan 19%
mengalami kerusakan yang berat akibat tsunami. Pendataan lainnya pada 56 lokasi oleh regu yang
dibentuk oleh New England Aquarium, Amerika Serikat menemukan bahwa 14% dari terumbu karang
mengalami kerusakan atau hancur; sekitar 50% mengalami kerusakan sedang; dan pada 36% hanya
terdapat sedikit atau tidak ada kerusakan. Terumbu karang pada perairan dangkal mengalami kerusakan
yang lebih tinggi daripada terumbu karang yang terdapat pada perarian dalam. Penyelam-penyelam
tersebut menemukan bahwa kegiatan manusia, terutama penangkapan yang berlebih serta pemanasan
global menimbulkan kerusakan yang lebih banyak daripada tsunami. Kedua rangkaian data ini memiliki
kesamaan dengan data yang ada pada DMCR.

Propinsi Ranong: Ranong memiliki jumlah terumbu karang paling sedikit pada wilayah di sepanjang
Laut Andaman, dengan mayoritas terumbu terdapat pada perairan dangkal yang keruh di sisi timur
pulau-pulau lepas pantai. Tidak terdapat terumbu tepi pada daratan utama. Separuh dari keseluruhan
terumbu karang di Ranong menunjukkan tingkat kerusakan tinggi, yang sebagian besar diakibatkan oleh
hempasan ombak atau penyelimutan oleh pasir. Lokasi lainnya juga menunjukkan kerusakan. Kerusakan
terumbu karang yang paling parah terjadi pada pulau-pulau di Taman Nasional Laem Son, terutama Pulau
Khang Khao, Kam Yai, Kam Nui, dan Larn.

71
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Propinsi Phang Nga: Terumbu karang tepi (fringing reef) paling besar dan berkembang paling baik di
Thailand terdapat pada propinsi Phang Nga. Ini termasuk terumbu perairan dangkal pasang-surut dan
terumbu yang terdapat pada perairan lebih dalam pada pulau-pulau lepas pantai. Terumbu yang terdapat
pada perairan dangkal di daratan utama mengalami imbas besar akibat tsunami, dengan 80% terumbu
yang mengalami kerusakan berat. Pulau Ka, Tanjung Krung Noi, dan Tanjung Krang Yai rusak parah
dengan banyak batu karang terguling dan penyelimutan serta penguburan karang. Kerusakan ini terjadi
di samping degradasi yang terjadi sejak 1970-an akibat penambangan timah lepas pantai dan peningkatan
sedimen yang terbawa. Lokasi-lokasi penyelaman terkenal di Pulau Khai Nok, Khai Nai, Dok Mai, dan
Batu Mu Sang tidak menunjukkan dampak tsunami, dan secara relatif tidak terkena pengaruh. Kerusakan
karang yang paling parah terjadi pada kanal timur-barat di antara pulau. Karang pada lereng yang curam
juga mengalami kerusakan akibat tergelincirnya substrat dan puing-puing, sementara terumbu gundukan
dekat dengan substrat pasir paling rentan terhadap penyelimutan.

Kepulauan Surin: Terumbu karang mengalami tingkat kerusakan yang berbeda-beda bergantung pada
topografi dasar laut setempat, tipe karang yang mendominasi, dan arah terjangan ombak. Terumbu pada
kanal antara Pulau North Surin dan Pulau South Surin dan juga antar Pulau South Surin dan Pulau
Torinla mengalami kerusakan yang paling parah. Dimana wilayah terumbu utama menerima dampak
rendah sampai sedang: individu-individu dari koloni patah; karang masif terbalik; dan banyak koloni
tertutup oleh pasir. Terumbu yang terdapat pada sisi timur Pulau Tachai menunjukkan dampak yang
rendah sampai sedang dan tidak terdapat kerusakan di Batu Richelieu, sebuah lokasi selam yang terkenal.
Kerusakan yang paling parah terjadi di Ao Chong Kad (pantai selatan Pulau Surin) dan beberapa lokasi
yang berdekatan pada jalur air antar pulau. Terjadi kerusakan yang sedang di Ao Pak Kaad dan pada
terumbu perairan dangkal di Pulau Torinla, sementara terumbu tepi yang mengelilingi kepulauan tersebut
hanya sedikit terkena dampak. Namun keadaan secara umum adalah kerusakan karang ringan.
Permasalahan utama yang dihadapi saat ini adalah menghadirkan kembali pengelolaan taman untuk
mengendalikan penangkapan ilegal dan memfasilitasi pemulihan karang pasca tsunami.

Pendataan di Taman Nasional Mu Koh Surin oleh Coral Cay Conservation (CCC) menyimpulkan bahwa
terumbu karang di sana dalam keadaan bagus; lebih dari 270 jenis ikan karang dan 70 jenis karang keras
berhasil teridentifikasi dan penutupan karang sangat tinggi (~75%) pada pesisir timur laut Pulau North
Surin. Namun demikian, tsunami telah menghancurkan sekitar 8% dari penutupan karang hidup.
Kerusakan terkait tsunami yang terbesar terjadi pada wilayah yang tidak memiliki cukup banyak penutupan
karang keras hidup sebelum diterjang tsunami. Telah ada tanda-tanda pemulihan karang dan taman ini
diharapkan dapat pulih dalam beberapa tahun, dengan anggapan bahwa faktor stres lainnya dikelola
dengan tepat.

Kepulauan Similan: Terumbu karang yang terdapat di sepanjang pulau-pulau selatan menerima dampak
kecil, kecuali Pulau Miang, yang mengalami kerusakan tinggi. Bagian barat laut dari Pulau Payu dan
Tanjung Beacon di bagian selatan menunjukkan kerusakan sedang akibat tsunami. Lokasi-lokasi
penyelaman yang sangat ternama, Sunset Point, Deep Six, West of Eden, Pusa Rock, dan Breakfast Bent,
kesemuanya hampir tidak terpengaruh oleh tsunami. Namun demikian, terjadi kerusakan yang cukup
parah terhadap China Wall dan Snapper Alley di Similan 9. Di Snapper Alley Point, ditemukan kerusakan
yang cukup berarti sampai kedalaman 30 m, dimana 40% dari karang rusak akibat tsunami, khususnya
antara kedalaman 10 sampai 20 meter. Karang-karang meja berukuran besar terjungkirkan atau patah;
sejumlah besar pasir, seringkali ketebalannya mencapai 2 meter, terpindahkan; dan terdapat ledakan
jenis diatom yang tidak diketahui pada permukaan batuan yang baru tersingkap.

72
Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

KEMATIAN IKAN YANG ANEH DI SNAPPER ALLEY


Pada pukul 9:26 pagi tanggal 26 Desember 2004, sementara kapal khusus penyelaman Philkade
mengapung di atas perairan Snapper Alley di kepulauan Similan, 4 orang wisatawan yang
sedang menyelam dan seorang guru selam bernama Anaknan Kirklit tiba-tiba menyadari bahwa
air mulai berputar dan mereka terhisap ke kedalaman 20 m dan terdorong kembali ke atas.
Gelembung udara mereka terhembus ke arah samping dan kapal Philkade sepanjang 30 meter
terombang-ambing bagaikan kapal mainan dalam bak mandi; terdorong ke satu arah, berputar
di dalam pusaran air. Para penyelam muncul kembali ke permukaan dan dikelilingi oleh ratusan
ikan kerapu warna putih-merah yang mengapung, dengan gelembung renang yang muncul
membengkak dari mulut mereka; mereka sekarat karena dipaksa naik ke permukaan terlalu
cepat. Kapal tersebut kembali ke Snapper Alley pada April 2005 bersama 7 orang ahli biologi
kelautan yang didukung oleh National Geographic Society dan diketuai oleh Greg Stone dari
New England Aquarium untuk mengamati kerusakan yang ada. Pemandangan yang mereka
temukan sangat memilukan; ratusan karang Acropora meja terserak patah seperti piring makan
berukuran raksasa. Namun sebagian besar kerusakan yang ada hanya pada petakan-petakan
wilayah tertentu; karena beberapa tempat telah ditekan oleh ombak sementara yang lain tidak
tersentuh. Pada sebuah jalur antara dua pulau Surin, ombak telah memahat dinding-dinding
pasir bawah air yang luar biasa indah, setinggi 3 meter. Ahli ekologi karang, Emre Turak
menemukan gundukan karang gorgonia dan Acropora yang telah patah, terpenggal dan terselimuti
oleh sedimen. Kebanyakan karang patah dapat beregenerasi dalam waktu 3 sampai 10 tahun,
namun, banyak dari karang-karang ini terkubur dalam pasir dan telah mati. Di dekat Pulau
Tachai, kepulauan Surin, Gerry Allen, seorang ahli ikan dari Western Australian Museum,
melaporkan bahwa karang Porites berukuran besar telah terangkat secara paksa, dan tergulingkan
seperti patung-patung di Easter Island. Di dekat pesisir Teluk Patong, terdapat karang mati,
namun juga ditemukan tanda-tanda pengaruh manusia yang tidak diragukan. Tsunami hanya
menambah kerusakan yang sebelumnya disebabkan oleh limbah perkotaan dan perusakan
karang oleh jangkar kapal. Di Kepulauan Phi Phi, dimana lebih dari 1.000 orang meninggal,
terumbu karang juga mengalami kerusakan. Keadaan terburuk ditemukan di Teluk Lanah dimana
80 sampai 90% dari karang terjungkirkan dan mati karena terkubur sedimen, termasuk koloni
Porites yang berumur 500-700 tahun. Namun angka-angka terakhir menunjukkan sedikit harapan:
36% lokasi pengamatan mengalami kerusakan ringan atau tidak sama sekali; 50% mengalami
kerusakan sedang; dan hanya 14% mengalami kerusakan parah. Ikan karang secara umum
tidak terpengaruh, kecuali kematian pada lokasi tertentu di Snapper Alley. Gerry Allen mengatakan
terumbu yang rusak bagaikan “kota mati”, namun hamparan patahan karang di perairan yang
lebih dalam seperti kemah pengungsi bagi ikan, dengan konsentrasi ikan yang sangat tinggi”.
Terumbu karang yang rusak ini seharusnya pulih dengan cepat, kecuali pada wilayah yang
terkubur oleh pasir; namun pemulihan akan bergantung kepada seberapa besar pengaruh
antropogenik terhadap terumbu. Ilmuwan karang Australia, Charlie Veron mengatakan “Bagi
terumbu, ...tsunami ini hanya merupakan hari buruk biasa.” Terumbu telah mengalami badai
angin, tsunami dan gempa bumi selama jutaan tahun, dan selalu pulih. Namun berbeda dari
bencana alam, pengaruh antropogenik tidak pernah berlalu; sang ilmuwan mendapati bukti-
bukti jelas penangkapan yang berlebih, pengembangan pesisir dan pemanasan global.
Kesemuanya ini terjadi sebelum tsunami, dan akan terus berlanjut saat kerusakan akibat gelombang
tersebut telah pulih (sebagian telah dicetak di majalah National Geographic, Desember 2005).

Propinsi Phuket: Tsunami menyebabkan sedikit kerusakan pada kebanyakan terumbu karang di sekitar
Phuket, dengan pengecualian pada lengkung selatan Teluk Patong, dimana 10-30% dari karang rusak.
Kerusakan terbatas pada komunitas karang perairan dangkal di sepanjang rataan terumbu dan pada
dasarnya disebabkan oleh terseretnya puing-puing diatas terumbu. Tidak terdapat kerusakan yang berart
pada dataran terumbu di sekitar ujung tenggara Phuket, dimana terumbu karang telah dipantau secara
reguler selama 27 tahun terakhir. Penutupan karang pada awal tahun 2005 lebih tinggi dari yang pernah
terukur sebelumnya. Ketinggian ombak tsunami maksimum sebesar 3 meter dan mengangkat sejumlah
besar batuan Acropora (yang mati akibat anomali permukaan air laut surut pada tahun 1997-98) sehingga

73
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

patahan karang kini menutupi karang hidup pada bagian-bagian tertentu di rataan terumbu. Karang yang
terletak di perairan lebih dalam sepanjang Pulau Waeo, Pulau Pu, Teluk Kata, Pulau Hae, dan Pulau
Racha Noi hanya sedikit terpengaruh.

Pemulihan terumbu karang yang berada dan mengelilingi Phuket telah diperkirakan akan berjalan relatif
cepat, dengan wilayah dengan tingkat kerusakan paling tinggi memerlukan 5-10 tahun, dengan catatan
tidak ada faktor penekan lainnya (seperti pemutihan karang dan kematian akibat peningkatan suhu air
laut yang terjadi secara anomali). Perkiraan optimis ini berdasarkan: tingkat pemulihan yang cepat sewaktu
terjadi kerusakan akibat badai; laju pertumbuhan karang yang tinggi; dan keadaan terumbu yang baik
dalam wilayah yang berdekatan.

Propinsi Krabi: Kebanyakan terumbu karang di sepanjang Pulau Hong dan Pulau Dam Hok-Dam Kwan
yang terletak dekat pantai mengalami hanya sedikit kerusakan akibat tsunami. Namun demikian, tepatnya
30% dari jumlah karang di jalur air antara Dam Hok dan Dam Khwan dan di Tanjung Hang Nak mengalami
kerusakan berupa karang yang terguling oleh ombak atau hancur karena tertimpa oleh benda-benda
berukuran besar.

Kepulauan Phi Phi: Terdapat sedikit kerusakan terhadap 20% terumbu karang (0-33% koloni karang
yang rusak atau mati), pada sisi timur Phi Phi Leh (terletak 6 km ke arah selatan Phi Phi Don) dan Pulau
Koh Bida, dan 20% mengalami kerusakan sedang (34-66% karang rusak/mati), dan terjadi kerusakan
yang tinggi pada 60% terumbu (67%-100% karang yang rusak/mati). Karang lunak dan gorgonia
merupakan yang paling rentan terhadap sedimen dari luar dengan beberapa karang tersebut terfragmentasi.
Hilangnya karang sebagian besar disebabkan oleh limpahan sedimen dari daratan, dan sejumlah besar
puing yang berasal dari rumah penduduk dan resor wisata yang terbawa ke Phi Phi Ley dari wilayah Phi
Phi Don yang memiliki kepadatan penduduk tinggi. Puing-puing masih ditemukan menyelimuti beberapa
bagian karang 6 bulan setelah tsunami. Sejumlah karang lunak telah pulih, namun pemuilihan karang
keras akan memakan waktu beberapa tahun. Telah dijalankan operasi pembersihan secara besar-besaran
di Phi Phi oleh ratusan sukarelawan. Dampak merusak lainnya dari tsunami termasuk berkurangnya
jumlah penyu, kuda laut, dan ikan berukuran kecil (seperti Blenniidae) dalam jumlah yang cukup tinggi,
dimana beberapa makhluk tersebut bergantung pada terumbu untuk habitatnya (dari Universitas
Plymouth).

Ditemukan kerusakan yang tinggi pada Pulau Mai Phai, Teluk Lolana, dan Pulau Phi Phi Leh bagian
utara. Terumbu karang yang terdapat pada kanal antara Pulau Rok Nai dan Rok Nok mengalami kerusakan
yang tinggi. Namun demikian, lokasi penyelaman terkenal yang terletak dekat Pulau Bida, Teluk Maya,
Pulau Ngai, dan formasi batu Hin Muang-Hin Daeng berada dalam kondisi yang cukup baik dan masih
dibuka untuk penyelaman.

Propinsi Trang: Hanya sedikit atau tidak ada kerusakan pada kebanyakan (75%) terumbu karang di
Propinsi Trang. Beberapa karang tergulingkan pada terumbu perairan dangkal di sekitar Pulau Muk dan
Takeang, dan dampak secara keseluruhan pada terumbu karang di propinsi ini termasuk kecil dan
seharusnya tidak menyebabkan gangguan terhadap kegiatan penyelaman dan wisata.

Propinsi Satun: Sebanyak 87% dari terumbu yang disurvei tidak terkena dampak tsunami, seperti terumbu
di sekitar Pulau Bulon dan Pulau Tarutao yang tidak menunjukkan sedikit pun kerusakan. Terdapat
kerusakan yang cukup parah pada beberapa karang di Kata dan sisi selatan serta barat Pulau Adang di
kepulauan Adang-Rawi, namun kerusakan ini merupakan pengecualian di propinsi tersebut.

74
Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

KESAKSIAN DARI PROPINSI KRABI


26 Desember 2004: Sebelum ombak-ombak tsunami datang, laut tenang, jarak pandang
tergolong bagus (30 m) dan kondisi penyelaman terlihat sempurna. Malam sebelumnya bulan
dalam keadaan purnama, dan kami sudah memprakirakan arus laut akan kuat, namun semuanya
tampak baik-baik saja. Saya dan kelima penyelam yang belum berpengalaman turun memasuki
kedalaman 2 m di mulut Teluk Bidah Nok. Arus terkuat yang pernah saya alami mendorong
kami 500 m ke arah barat dan laut lepas. Saya mengembangkan pelampung para penyelam
dan kami melewati bebatuan dangkal di perbatasan teluk. Semua itu memakan waktu 1 menit,
namun kami telah berpindah 500 m. Beberapa penyelam tersapu sampai beberapa ratus meter
ke selatan, sementara yang lain terhisap ke dalam air, meski telah melepas pemberat dan
mengembangkan pelampung mereka. Beberapa penyelam melihat pasir terangkat dari dasar
laut dalam pusaran. Kebanyakan penyelam menyaksikan pusaran, baik yang kecil maupun
besar, dimana-mana. Beberapa pusaran tersebut tampak seperti angin puyuh yang tipis dan
tinggi di dalam air, sementara yang lain memiliki diamter 100 m dan menangkap para penyelam
dan kapal. Sebuah pusaran yang sangat besar di luar Teluk Bidah Nok begitu kuat sehingga
kapal-kapal tercabut dari penambat apung, atau tali jangkar mencabuti karang-karang besar
dari dasarnya. Arus tersebut perlahan reda dan para penyelam beserta kapal terbawa ke laut
lepas dengan aman. Dari kapal, laut seakan berubah menjadi warna putih, kemungkinan karena
pasir yang terangkat, laut begitu bingung dengan ombak yang terbentuk dari segala arah,
pusaran-pusaran air dan keadaan rusuh. Para penyelam melaporkan melihat jumlah ikan hiu
dan tuna lebih banyak dari biasanya, yang semuanya berenang dengan cepat ke arah laut
lepas. Tidak satu pun penyelam yang menyadari bahwa tsunami telah terjadi, dan menganggap
bahwa semua kejadian aneh tersebut berkaitan dengan bulan purnama malam sebelumnya.
Kemudian kami menyelam di sisi pulau yang terlindungi dalam kondisi yang lebih tenang, meski
arus yang ada tidak seperti biasa dan terus berganti arah. Jumlah ikan juga lebih sedikit dari
biasanya. Waktu kedua penyelaman secara keseluruhan sekitar 1 jam, dan pusaran air yang
sangat besar terus berlangsung. Laporan adanya ombak-ombak besar menghempas di daratan
mulai bergulir dari radio kapal, maka kami memutuskan untuk kembali ke daratan meski kami
tidak menyadari apa yang terjadi. Lalu kami melihat sejumlah besar puing-puing yang mengapung
ke arah laut sejauh 500-600 m dari Lanta.

30 Desember 2004: Kami melakukan penyelaman kembali, yang pertama dekat Ko Phi Phi
untuk mencari mayat-mayat yang mungkin tersangkut. Teluk Ton Sai dipenuhi rongsokan kapal,
bungalow, bongkahan gedung, dan puing-puing yang sangat banyak. Pantai pada sisi barat
tertutupi oleh puing-puing dan pulau tersebut dalam keadaan hancur berantakan. Dua buah
hotel yang dibangun dari beton masih berdiri namun dikelilingi oleh tumpukan puing-puing
setinggi 1-2 m. Terumbu di Teluk Toran Sai mengalami kerusakan yang cukup parah dan tersangkuti
oleh mebel, pakaian, kabel listrik, dan lainnya. Terdapat rongsokan lebih dari 150 buah kapal
di daerah ini. Penyelam lainnya melaporkan bahwa sedikit sekali kerusakan karang di Bidah
Nok dan Nai, walau terdapat lapisan pasir di atas sebagian besar terumbu; ikan-ikan tampaknya
membersihkan pasir dari atas karang.

15 Januari 2005: Saya kembali ke lokasi-lokasi penyelaman yang sebelumnya di Ko Haa dan
hanya melihat sedikit kerusakan, meski beberapa karang patah dan patahan karang tersebar di
wilayah itu. Kuda laut dan ikan pipefish berada dalam habitat alami mereka dan kehidupan laut
tampaknya lebih melimpah. Sotong terlihat sedang bereproduksi, ikan kodok yang langka dan
kerondong yang aneh hadir, dan beberapa hiu paus terlihat. Pendapat umum mengemukakan
bahwa kegiatan penyelaman lebih memuaskan dari biasanya, meski masih terjadi beberapa
kejadian dan jarak pandang masih lemah (dari Saffron Kiddy, Narima Diving Thailand,
saffronkiddy@hotmail.com).

75
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Kerusakan pada Bakau dan Tumbuhan Pesisir: Hanya terdapat sedikit kerusakan pada 181.347
hektar mangrove yang terdapat di sepanjang pesisir Laut Andaman. Mangrove ini menstabilkan tepian
perairan, berperan sebagai daerah asuhan bagi ikan karang, dan melindungi terumbu karang dari limpasan
air darat dan sedimen; namun hutan ini terancam karena pengembangan infrastruktur yang meningkat,
budidaya di pesisir dan penggunaan wilayah bakau sebagai tempat pembuangan (sampah) akhir. Menurut
DCMR, hanya 306 hektar hutan bakau (0.2% dari wilayah nasional) mengalami kerusakan akibat tsunami,
sebagian besar di Propinsi Phang Nga. Hanya terdapat 1,6 hektar hutan bakau yang mengalami kerusakan
di Propinsi Satun.

Hutan pesisir dan rawa gambut yang bersumber air tawar mengalami kerusakan akibat peningkatan
salinitas dan kekuatan ombak. Lebih dari 700 hektar pepohonan terpatahkan atau rusak berat dan harus
ditanam kembali, dan 14.000 hektar pohon lainnya yang kehilangan daunnya akibat peningkatan kadar
garam dapat pulih kembali dalam waktu beberapa bulan. Namun demikian, dampak merusak yang
ditimbulkan oleh garam di rawa gambut mungkin berlangsung untuk beberapa bulan, karena kebanyakan
rawa tersebut belum terisi atau terlewati oleh air tawar secara penuh. Telah direkomendasikan bahwa
sebuah program pemantauan jangka panjang pada beberapa jenis khusus, seperti rotifera dan plankton
lainnya, sebaiknya dilakukan.

Kerusakan lamun: Hanya 3.5% dari lebih dari 7.900 hektar padang lamun sepanjang pesisir Andaman
terkena dampak dari tsunami, dengan kerusakan yang ada sebagian besar disebabkan oleh sedimentasi.
Kerusakan total hanya menimpa 1.5% dari padang lamun. Namun demikian, padang lamun di Thailand
berada dibawah ancaman yang lebih besar dari pencemaran dan sedimentasi dari perkembangan industri,
perumahan, dan pariwisata, pengaruh dari budidaya udang, praktik penangkapan ikan yang merusak,
dan siltasi dari penambangan timah. Padang lamun ini berperan sebagai dasar produktifitas yang penting
untuk perikanan, membantu dalam stabilisasi pesisir, dan merupakan sumber makanan yang baik untuk
biota langka seperti dugong dan penyu hijau. Wilayah yang paling terkena dampak adalah Pulau Yao Yai
di propinsi Phang Nga, yang kehilangan 10% dari habitat lamunnya. Lamun yang tumbuh pada wilayah
pasang surut di Kuraburi, Propinsi Phang Nga mungkin telah mengurangi erosi pantai saat tsunami.
Hanya sedikit kerusakan atau kehilangan habitat di Pulau Talibog, Propinsi Trang, yang memiliki padang
lamun terbesar yang berfungsi sebagai daerah pencarian makan dugong. Sekitar 10% wilayah tersebut
terkena dampak dari siltasi dan erosi permukaan dasar laut; lamun ini diperkirakan pulih dalam waktu
satu tahun, meski lamun yang terkubur dalam pasir yang lebih tebal mungkin akan membutuhkan waktu
lebih lama untuk pulih.

DAMPAK SOSIAL DAN EKONOMI


Tsunami telah mengakibatkan kerugian besar terhadap dua sektor ekonomi utama Thailand: diperkirakan
US$ 321 juta di sektor pariwisata dan US$ 43 juta di perikanan. Lebih dari 300 hotel/resor rusak dengan
40% dari 53.000 kamar rusak atau hancur. Disamping itu, 200 rumah makan dan 4.300 toko yang
bergantung pada pariwisata rusak total atau sebagian. Kerusakan nyata dan yang diperkirakan terjadi
terhadap prasarana pendukung, akan membuat kebanyakan dari fasilitas wisata yang bertahan harus
menderita (dan terus merugi) akibat penurunan jumlah wisatawan. Penurunan jumlah wisatawan berarti
bahwa mereka yang sebelumnya bekerja dalam industri tersebut atau menyediakan produk, telah
kehilangan sumber pencaharian. Tsunami telah memberikan dampak bagi 58.000 orang karena
menghancurkan 407 desa, 4.800 rumah, dan 24 sekolah.

Jumlah tangkapan ikan total pada tahun 2000 diperkirakan 3,7 juta ton metrik senilai US$ 1,1 miliar,
namun tsunami telah mengakibatkan kerugian besar-besaran terhadap industri perikanan dan budidaya

76
Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

dengan hancurnya kapal nelayan, alat tangkap, tambak, keramba, dan penetasan benur. Delapan dermaga
rusak berat dan tepatnya 150 kapal wisata besar dan 776 kapal wisata kecil rusak atau hilang.

Sektor pertanian juga terkena dampak tsunami: lebih dari 1.500 hektar lahan pertanian terendam oleh air
asin dan lebih dari 2.000 ekor babi serta 7.600 ekor unggas ternak hilang.

Masalah hak dan kepemilikan tanah kemungkinan merupakan alasan terpenting timbulnya masalah
sosial setelah tsunami. Berakumulasinya masalah ketidakjelasan dokumentasi dan kurangnya kepercayaan
terhadap sistem laporan kepemilikan, telah diperparah oleh tsunami sehingga permasalahan tanah dan
perumahan menjadi sangat sulit. Saat ini terdapat banyak konflik atas tanah untuk konservasi dan
penggunaan pribadi.

KESAKSIAN DARI WWF


Sejumlah besar korban yang terkena dampak tsunami merupakan wisatawan asing yang sedang
berlibur di pantai-pantai popular seperti Phuket, Khao Lak, dan Pulau Phi Phi. Di antara korban
jiwa terdapat 3 jagawana Taman Nasional Laut yang bekerja di proyek Konservasi Penyu
Naucrates di Pulau Phra Thong. Enam jagawana lainnya terluka parah. “Saya baru saja
mengunjungi Pulau Surin. Infrastruktur pada pulau tersebut hancur sampai rata, namun staf
Taman Nasional dan 180 masyarakat Moken yang tinggal disana dalam kondisi aman. Mereka
melihat tanda-tanda peringatan ketika air surut dengan cepat dan mengingat cerita rakyat
setempat, sehingga mereka sudah mengetahui apa yang akan datang dan secepatnya menuju
dataran tinggi. Ini merupakan satu lagi pelajaran yang dapat kita petik mengenai pentingnya
pengetahuan lokal. Tsunami telah menjadi tragedi buruk bagi semua yang terlibat, dan sebuah
tamparan bagi masyarakat dunia. Di saat kita mulai membangun kembali, kita harus belajar
dari pengalaman dan memastikan bahwa dunia pariwisata pesisir Thailand dibentuk dengan
cara yang lebih sensitif dan adil, yang dalam jangka panjangnya menyediakan kualitas hidup
dan kehidupan berbasis perikanan dan wisata yang berkelanjutan bagi masyarakat setempat,
dan pengalaman wisata yang lebih baik bagi generasi berikutnya termasuk dari keluarga yang
berhasil selamat dari tsunami”. WWF Thailand sedang mendirikan sebuah program penelitian
dan pemantauan pemulihan terumbu karang di Kepulauan Surin. Survei menunjukkan 2-10%
dari seluruh terumbu karang di Kepulauan Andaman telah rusak, patah, atau tertutupi sedimen
dan puing-puing. Di Koh Phi Phi, seperempat dilaporkan rusak. Sementara itu, WWF Thailand
menyediakan informasi bagi penyelam asing yang berkeinginan untuk membantu upaya
pembersihan terumbu karang (dari Robert Mather, Direktur, WWF Thailand).

Tabel ini menampilkan daftar kerugian yang dialami usaha perikanan Thailand akibat tsunami.

Peralatan Perikanan Jumlah kerusakan/kehilangan

Kapal besar 1.137 buah


Kapal kecil 4.228 buah
Jaring lempar 3.313 nelayan terkena dampak
Stake traps 683 nelayan terkena dampak
Bubu bambu 2.537 nelayan terkena dampak
Tambak 11 tambak
Karamba 5.977 nelayan terkena dampak
Penetasan Benur 277 rusak

77
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Salah satu hasil yang diakibatkan tsunami adalah sejumlah besar benda asing yang tersapu dari daratan,
yang menjadi sebuah permasalahan langsung bagi sumber daya pesisir. Upaya pembersihan terumbu
karang, pantai, dan hamparan lamun merupakan salah satu prioritas utama pemerintah Thailand dan
lembaga yang memberikan bantuan, dan aktivitas ini segera dijalankan setelah kejadian tsunami. Misalnya,
UNDP menyalurkan untuk pembelian kapal, peralatan selam, dan karung plastik khusus selang beberapa
minggu setelah tsunami dan juga memulai sebuah program pembersihan jangka panjang yang lebih
besar. Kegiatan-kegiatan ini dikoordinir oleh MONRE dengan dukungan dari sektor swasta, pihak-pihak
yang memegang peranan kunci, dan lembaga internasional sepert UNEP.

PERKEMAHAN SELAM TSUNAMI PHI PHI


Perkemahan Selam Phi Phi merupakan proyek swasta yang didirikan untuk mengelola kerusakan
yang ditimbulkan oleh tsunami dan mengurangi dampak jangka panjang terhadap terumbu
karang akibat keberadaan jumlah puing di perairan sekitar kepulauan Phi Phi yang berada
dalam jumlah sangat besar. Pantai-pantai dan atraksi lain di lokasi tersebut membutuhkan
pembersihan sangat cepat agar keadaan Taman Nasional itu dapat kembali indah seperti
semula. Pendanaan dari Piers Simon Appeal Fund, Pacific Asia Travel Association (PATA) dan
sumbangan dana pribadi lainnya, turut membantu mendirikan perkemahan selam ini untuk lebih
dari 4.000 sukarelawan dan 25 pegawai asal Thailand. Penyelam-penyelam dengan pengalaman
sedikitnya 100 kali penyelaman bekerja 6 hari setiap minggu selama 6 bulan dan tercatat
melakukan penyelaman lebih dari 7.500 kali. Jumlah orang yang bekerja di atas air dua kali
lipat, termasuk para perenang snorkel, regu-regu pembersih pantai, dukungan kapal, dan staf
registrasi. Segala rupa peralatan rumah tangga yang dapat dibayangkan berhasil terangkat,
termasuk televisi, stereo, kulkas, mesin cuci, kabel-kabel listrik, dan ratusan kasur yang beratnya
berlipat-lipat dalam keadaan basah. Barang-barang pribadi seperti baju, sepatu, mainan, kartu
identitas, dan paspor berada diantara temuan yang paling mengejutkan. Benda-benda berukuran
besar, seperti rumah bungalow utuh, gedung, bongkahan atap, tembok dan bongkahan semen
diangkat dengan bantuan kantong khusus; 280 ton puing dipindahkan dengan tangan. Operasi
pembersihan ini telah berjalan dengan cukup menyeluruh dan kini penyelaman untuk pembersihan
hanya dijadwalkan sebulan sekali, dan regu-regu relawan pembersih pantai bekerja membersihkan
pantai seiring ombak yang terus membawa masuk rongsokan. Lokasi Kepulauan Phi Phi cukup
baik untuk didirikan sistem pemantauan perlindungan sumber daya alam, namun suatu hal
penting yang harus diingat adalah kesalahan pembangunan masa lalu agar tidak diulang (dari
Andrew Hewett, Koordinator Proyek, andrew@hidef.com)

Para peneliti dari Universitas Ramkhamhaeng dan 35 penyelam relawan dari ‘Save Whaleshark’-Thai Sea
Conservation Club, membantu dalam restorasi Propinsi Krabi dengan membalikkan karang yang terbalik
kembali ke dalam keadaan semula dan menempelkan patahan karang ke substrat keras untuk mencegahnya
tergerus oleh bahan sedimen. Setelah 3 bulan, 40% dari karang yang dibiarkan terbalik telah mati,
sementara hanya 4.5% dari karang yang telah direhabilitasi dengan pembalikkan kembali telah mati, dan
hanya 19% dari karang yang dibalikkan kehilangan jaringan karang. Mayoritas (95%) dari fragmen karang
Acropora yang ditempel kembali dengan kawat plastik berhasil hidup, dan 70% menunjukkan peningkatan
jumlah jaringan hidup dengan cabang baru setelah 5 bulan. Sisi pengelolaan lingkungan dan konservasi
juga mendapatkan keuntungan setelah masyarakat mulai tertarik dengan hasil yang dicapai oleh para
peneliti dan relawan tersebut.

Segera setelah tsunami, pemerintahan Thailand mengajukan permohonan dukungan teknis dalam bentuk
tenaga ahli, peralatan, peningkatan kapasitas, rehabilitasi lingkungan, dan pemulihan kehidupan
masyarakat. Permohonan susulan mencakup dukungan PBB untuk pendataan lingkungan cepat (rapid

78
Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

environmental assessment), rencana cepat tanggap, dan sistem peringatan dini. PBB merespon dengan
menyusun tiga misi yang melibatkan kerjasama antar lembaga:

antara 28 Desember sampai 12 Januari 2005, kantor koordinasi kegiatan kemanusiaan (OCHA)
mengirimkan regu pendataan dan koordinasi bencana PBB (UNDAC) agar mendata kebutuhan
darurat;
antara 4-8 Januari 2005, sebuah misi UNDP/World Bank/FAO mendata kerusakan jangka menengah
dan jangka panjang dan kerjasama potensial untuk membantu pemulihan kehidupan dan lingkungan;
antara 10-13 Januari 2005, sebuah misi PBB/ILO/IOM mendata kebutuhan lembaga-lembaga
pemerintah dan individual yang bekerja di lapangan, termasuk pekerja imigran dan masyarakat
setempat.

Menyusul pembicaraan dengan perwakilan pemerintah, Australian Agency for International Development
(AusAID) menyediakan AU$ 400.000 untuk mendanai sebuah program berjangka 18 bulan yang bertujuan
untuk memperbaiki kapasitas Thailand dalam mengelola zona-zona pesisir secara berkelanjutan, baik
untuk budidaya maupun pariwisata. Program tersebut akan mengembangkan panduan untuk pengelolaan
pesisir yang lebih baik dengan memfokuskan pada Taman Nasional dan termasuk di dalamnya tindakan
dalam perbaikan kualitas air, pengelolaan limbah, pengoperasian kegiatan budidaya dan pariwisata.

WWF telah mencanangkan program untuk para penyelenggara penyelaman dan para penyelam individual
agar: mengembangkan standar ‘best practice’; mencegah perdagangan barang yang bersumber dari laut
yang ilegal; melaporkan kegiatan ilegal yang terjadi di dalam taman nasional; dan mendukung perubahan
kebijakan yang sah agar mendukung pengelolaan dan perlindungan terumbu karang.

Lebih dari 45 rekan kerja internasional telah memberikan bantuan senilai US$ 61 juta dalam hampir 200
proyek yang mendukung berbagai lembaga pemerintah dan masyarakat, untuk membantu mereka yang
berada dalam daerah yang terkena dampak tsunami di Thailand.

KESIMPULAN DAN SARAN


Konservasi dan pengelolaan terumbu karang merupakan prioritas bagi Thailand. Meskipun terdapat
peningkatan kesiapan dan implimentasi tindakan pertahanan untuk bencana, masih lebih banyak yang
dapat dilakukan untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya pesisir. Saran-saran yang diajukan dibawah
ini dimaksudkan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dari kehidupan dan sumber daya
pesisir:

memulai program-program peningkatan kapasitas yang terintegrasi dan termasuk di dalamnya


pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (MPA);
mendirikan koordinasi dan kerjasama yang lebih baik antar para pemangku melalui Pengelolaan
Pesisir Terintegrasi dan mengukuhkan program-program kolaboratif dengan pertukaran pelajaran
terpetik yang lebih banyak;
melanjutkan kegiatan menuju keefektifan MPA dalam perlindungan terumbu karang dan pelebaran
serta perluasan jaringan MPA;
daerah terumbu yang terkena dampak besar tsunami seharusnya ditutup dari kegiatan pariwisata
agar membantu penyembuhan alami tanpa gangguan manusia;
mendorong DMCR untuk meminta upaya legislatif dan pemantauan yang lebih kuat dalam melindungi
terumbu karang dan untuk memantau pemulihan jangka panjang;

79
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

mengembangkan indeks universal yang kuat dan efektif dalam mendata keadaan terumbu karang;
memperkenalkan praktik-praktik perikanan yang berkelanjutan dan insentif ekonomi untuk
memastikan cara-cara ilegal tidak lagi digunakan dalam pemulihan kehidupan masyarakat pelaku
perikanan;
mengembangkan sistem peringatan dini yang efektif dan memberikan penekanan terhadap kesiapan
masyarakat pesisir dalam menghadapi bencana;
memanfaatkan pengetahuan lokal dari masyarakat pesisir setempat dalam kurikulum pelajaran,
dengan memusatkan perhatian pada ancaman terhadap sumber daya pesisir;
mengembangkan sistem pengelolaan data informasi terumbu karang skala nasional dan untuk akses
per wilayah; dan
meningkatkan kesadaran masyarakat dan program-program pendidikan agar memastikan bahwa
masyarakat secara umum lebih terinformasi mengenai terumbu karang dan permasalahan zona
pesisir.

Ekosistem-ekosistem pesisir di Thailand akan pulih secara alami dari dampak tsunami; namun pendataan
sistematis dibutuhkan untuk mengikuti perkembangannya dan mengetahui keefektifan dari tindakan
pengelolaan yang menerapkan rehabilitasi. Perlu ada peningkatan keahlian teknis, peralatan, kapasitas
pemantauan, dan penelitian sistem informasi geografis (GIS) agar dapat memantau secara ketat keadaan
sumber daya pesisir yang terkena dampak dan menyediakan bahan pertimbangan untuk pengelolaan
sumber daya. Tsunami telah membawa sebuah kesempatan untuk mengimplimentasikan pengelolaan
pesisir terintegrasi yang efektif, sehingga dapat menjadi penghubung antara datangnya bencana alam
dengan pemulihan kehidupan masyarakat, terumbu karang, dan habitat-habitat pesisir.

PENYELAM RELAWAN MEMBERSIHKAN PUING-PUING TSUNAMI:


DARI KURSI TERAS SAMPAI WASTAFEL
Sebuah misi gabungan yang dilakukan oleh UNDP, World Bank, dan FAO telah mendorong
UNDP untuk menyediakan peralatan bersih-bersih untuk membantu merehabilitasi terumbu karang
Thailand yang terkena dampak tsunami 26 Desember 2004. Barang rongsokan berukuran besar,
dari kursi teras sampai wastafel, merusak terumbu karang. “Kita sudah melihat kopor, wastafel,
kursi teras, dan seprai tempat tidur diam di atas terumbu,” kata Hakan Bjorkman, Perwakilan
Deputi Wilayah dari UNDP di Thailand. “Barang rongsok yang tidak biasa seperti ini membutuhkan
perhatian khusus. Kami bekerja dengan cepat agar Departmen Kelautan dan Sumber Daya
Pesisir (DMCR) bisa memperoleh peralatan yang dibutuhkan untuk membersihkan terumbu karang
di sini. Terumbu karang di sepanjang pesisir Andaman bukan hanya habitat bagi kehidupan
bawah laut yang penting bagi pendapatan nelayan setempat, tapi juga merupakan sumber
pendapatan yang penting untuk dunia pariwisata Thailand,” kata Mr. Bjorkman. DMCR
mengharapkan bantuan dari penyelam relawan untuk membantu membersihkan barang-barang
yang tersapu ombak dari terumbu karang sepanjang pantai, dan dengan hati-hati menempelkan
kembali patahan karang. Misi Pendataan Bencana PBB yang berlangsung selama 3 hari,
menemukan bahwa rata-rata 5% dari terumbu karang di sepanjang pesisir dan sekitar pulau
utama telah rusak. Namun, Kepulauan Similan mengalami sedimentasi yang amat parah dari
pasir yang terlempar ke atas terumbu karang. Tim pendata ini menyimpulkan bahwa perkembangan
ekoturisme yang berkelanjutan di masa mendatang dan pemulihan serta diversifikasi dari sumber
pendapatan di dalam komunitas pelaku perikanan akan bergantung pada terumbu karang (dari
Cherie Hart, UNDP, cherie.hart@undp.org).

80
Keadaan Terumbu Karang dan Ekosistem Pesisir Lainnya di Laut Andaman, Thailand Pasca-Tsunami

UCAPAN TERIMA KASIH


Laporan ini disusun dengan kontribusi tambahan dari: Australian Government AusAID Report; Coastal
Habitats and Resources Management (CHARM); Department of Marine and Coastal Resources; Dive
Operators Club Thailand – Phuket; FAO; Hollie Bailey, Tadashi Kimura; Robert Mather; Phuket Marine
Biological Center, WWF – Thailand; dan Cherdsak Virapat.

KONTAK PENULIS
Niphon Phongsuwan, Phuket Marine Biological Center, Phuket, niphonph@gmail.com; Thamasak Yeemin,
Ramkhamhaeng University, Bangkok, thamasakyeemin@hotmail.com; James Comley, Coral Cay
Conservation, London, jc@coralcayconservation.com; Suchai Worachananant, Kasetsart University,
Bangkok, Thailand, Suchai@talaythai.com; Maitree Duangsawasdi and Cherdchinda Chotiyaputta, Dept
of Marine and Coastal Resources, Bangkok

PENINJAU
Barbara Brown, Suchana Chavanich, Yves Henocque, Anond Snidwongs, Kristian Teleki, Songpol
Tippayawong, dan Alphons van Lieshout.

ACUAN
Phongsuwan N, Brown BE (in press) The influence of the Indian Ocean tsunami on coral reefsof western
Thailand, Andaman Sea, Indian Ocean. Atoll Res Bull (Theme Issue on the Indian Ocean Tsunami).
Rigg J, Law L, Tan-Mullins M, Warr CG (in press) The Indian Ocean tsunami – socio-economic impacts in
Thailand. Journal of Geography.
Satapoomin U, Phongsuwan N, Brown BE (in press) A preliminary synopsis of the effects of the Indian
Ocean tsunami on the coral reefs of western Thailand. Phuket Marine Biological Center Research
Bulletin.

Sejumlah laporan online digunakan, termasuk:

Australian Government: AusAID (2005), (www.ausaid.gov.au);


Coral Cay Conservation (2005), (www.coralcay.org/science/download_reports.php);
Chulalongkorn University (2005), serta Department of Marine and Coastal Resources dan Phuket
Marine Biological Center (2005), laporan mengenai dampak tsunami terhadap sumber daya pesisir;
Mather R (2005), (www.wwfthai.org/eng/resources/publication/publication.asp);
UNDP (2005), (www.undp.or.th/focus/tsunami.html);
UNDP/World Bank/FAO (2005), (www.un.or.th/tsunamiinthailand/assesmentreps.html);
UNEP (2005), (www.unep.org/tsunami/tsunami_rpt.asp);
USAID (2005), (www.usaid.gov/pubs/cbj2003/ane/th/);
WWF (2005), (www.wwf.org.au/news/n187).

81
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

82
6. KEADAAN TERUMBU KARANG DI MYANMAR:
EVALUASI PASCA-TSUNAMI

KARENNE TUN DAN GEORG HEISS

RINGKASAN
Sebanyak 61 - 65 korban tsunami dilaporkan dari Burma/Myanmar, namun sejumlah warga Burma
yang bekerja di Thailand dilaporkan hilang;
Walaupun kerusakan yang terjadi relatif kecil, namun 32 desa dari 12 wilayah yang terletak di
daerah pesisir terkena imbasan, dengan 1.000 - 1.300 buah rumah hancur atau rusak, dan kerusakan
terhadap bangunan sekolah, pagoda, jembatan, serta penggilingan padi;
Sebanyak 144 kapal nelayan berukuran kecil dilaporkan hilang atau rusak, dengan kerugian finansial
yang ditaksir mencapai US$ 250.000;
Tsunami yang terjadi tidak menimbulkan kerusakan.

PENDAHULUAN
Sebagian besar pesisir Myanmar/Burma didominasi oleh sungai-sungai utama, kesatuan-kesatuan muara
dan delta yang besar, hutan mangrove yang luas, lingkungan bersedimen lembut. Kebanyakan terumbu
karang ditemukan di sekitar 800 pulau pada kepulauan Myeik di bagian selatan negara.

Gelombang tsunami berhasil mencapai pulau-pulau terluar dari kepulauan Myeik 2-4 jam setelah gempa
bumi yang pertama terjadi, dan mencapai pantai utara Myanmar 3 - 5,5 jam setelahnya. Pendataan resmi
dari 22 lokasi pemukiman di kepulauan Myeik, Divisi Taninthayi dan Muara Ayeyarwaddy mengindikasikan
bahwa tinggi gelombang sepanjang pesisir Myanmar mencapai 0,5 sampai 2,9 meter, yang dikatakan
warga setempat menyerupai ‘pasang tinggi musim hujan’.

Meski Myanmar terletak lebih dekat dengan pusat gempa daripada Sri Lanka, India, atau Kepulauan
Maladewa, namun kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami relatif lebih sedikit. Menurut pemerintahan
Myanmar, lembaga PBB, dan LSM, sebanyak 32 desa pesisir dari 12 wilayah terkena dampak dengan 61-
65 korban meninggal, 1.000-1.300 rumah hancur atau rusak, 144 kapal nelayan hancur atau rusak, dan
terdapat sejumlah kerusakan terhadap bangunan sekolah, pagoda, jembatan, serta penggilingan padi.
Masih terdapat kemungkinan korban meninggal di Thailand merupakan orang Burma yang bekerja disana,
karena banyak yang dilaporkan hilang.

83
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

KEADAAN TERUMBU SEBELUM TSUNAMI


Terumbu karang di Myanmar bisa jadi merupakan terumbu karang yang paling sedikit dipelajari di dunia,
dimana kurang dari 8 laporan yang menyajikan keadaan terumbu karang bisa diperoleh. Beberapa survei
telah dilakukan oleh Reef Check Eropa, namun kebanyakan sumber informasinya sekunder.

Kepulauan/Nusantara Myeik memiliki lahan seluas 12.500 km2 dan terumbu karang seluas 1.700 km2,
termasuk terumbu tepi (fringing), hamparan bukit bawah laut, gua kapur, tebing batu yang terjal maupun
tegak, dan hamparan pasir bercampur batuan besar dengan sejumlah jenis karang yang belum diketahui
spesiesnya (perkiraan yang ada berkisar antar 65-97 jenis karang batu). Sebelum terjadi tsunami, informasi

84
Keadaan Terumbu Karang di Myanmar: Evaluasi Pasca-Tsunami

TIDAK ADA DAMPAK TSUNAMI-‘LEMPENG BURMA AMAN!’


“Ketika tsunami menerjang wilayah pesisir Asia lain, saya berada di Pantai Ngapali, Myanmar,
di depan Penginapan Laguna. Pukul 7:45 di pagi hari, laut masih tenang dan matahari keluar.
Hari ini tampak seperti biasa, dan kami tidak memiliki komunikasi telepon maupun televisi.
Kami baru mendengar beritanya keesokan hari ketika kembali ke Yangon, dan semua
membicarakan betapa beruntungnya kami. Tapi itu bukan keberuntungan – karakteristik alami
‘Lempengan Burma’-lah yang menyelamatkan pesisir Myanmar. Para tetua di wilayah pesisir
Myanmar sudah mengetahui bahwa ini bukan keberuntungan, namun berkat desain alami dunia
bawah laut di Teluk Bengal. Di negara bagian Rakhine, karakteristik ‘Lempeng Burma’ menjelaskan
kenapa pesisir barat laut Myanmar aman dari tsunami. Sampai sejauh 30-35 kilometer dari
pantai ke arah laut lepas, kedalaman air hanya sampai 3-10 meter, dikuti terumbu yang bertepi
tembok tegak, yang masuk ke laut dalam sejauh 30-80 m dan berfungsi sebagai perlindungan
alami. Gelombang-gelombang tsunami menabrak tembok tersebut dan terhenti secara efektif.
Tidak terdapat, dan tidak pernah akan terjadi dampak di masa mendatang dari bencana yang
serupa terhadap pesisir negara bagian Rakhine. Bagi para nelayan sesepuh, ini juga merupakan
alasan kenapa pantai bagian ini bebas dari ikan hiu berukuran besar, yang cenderung berputar
saat mendekati tembok bawah laut tersebut” (dari Mrauk Oo, Ngwe Saung,
www.exploremyanmar.com)

mengenai terumbu terbaik berasal dari kesaksian para penyelam yang berekreasi, mengunjungi pantai
Burma dan kepulauan Myeik di atas kapal wisata selam yang beroperasi dari Thailand. Informasi-informasi
ini relatif sama: mayoritas terumbu karang berada dalam kondisi baik sampai sempurna, dengan penutupan
karang yang tinggi di sebagian besar wilayahnya; ikan berukuran besar yang melimpah, terdapat ikan hiu,
pari, dan ikan kue yang sering dijumpai menggerombol, terutama pada pulau-pulau terluar dan tepian
paparan benua. Namun, terdapat bukti-bukti kerusakan yang ditimbulkan manusia, laporan-laporan
mengenai pengeboman ikan, bekas-bekas bom ikan terlihat pada beberapa terumbu, dan rongsokan
kegiatan penangkapan seperti jaring yang kusut. Pemanenan teripang untuk keperluan konsumsi dan
ekspor termasuk intensif, begitu juga pengumpulan invertebrata bawah laut lainnya sebagai hiasan dan
perdagangan biota ornamental.

Data-data terumbu karang pertama kali dikumpulkan oleh Reef Check Eropa pada tahun 2001, ketika
berlangsung ekspidisi “The Quicksilver Crossing”. Survei-survei berikutnya diadakan pada tahun 2003,
2004, dan 2005 atas kerjasama dengan ‘Europe Conservation Switzerland’ (www.reefcheck.de). Survei-
survei tersebut dilakukan dengan mengambil 9 titik contoh di wilayah pertengahan sampai selatan
kepulauan Myeik, di sekitar pulau-pulau yang terletak dekat Pulau Lampi (Kyunn Tann Shey), yang
merupakan Taman Nasional. Penutupan karang batu berkisar antara 32,5% sampai 82,5%. Indeks ‘Kartu
nilai’ tentang dampak, milik Reef Check, menunjukkan tingkat dampak yang berkisar antara sedang
sampai tinggi akibat pemanenan ikan yang berlebih, dan dampak yang sedang sampai tinggi akibat
pemanenan invertebrata.

KEADAAN TERUMBU KARANG PASCA-TSUNAMI


Informasi mengenai Myanmar pasca-tsunami cukup terbatas, meski daerah pesisir yang diduga terkena
dampak tsunami pada awalnya cukup luas. Pernyataan resmi dari pemerintah hanya menyebutkan
bahwa dampak yang ditimbulkan tsunami ringan, dan pendataan lanjut dari sejumlah LSM serta laporan
tidak resmi dari pengoperasi tur wisata dan para wisatawan membenarkan pernyataan tersebut.

Pendataan terumbu karang yang pertama dilakukan pada tujuh lokasi contoh antara bulan Februari
sampai Maret 2005 di sekitar wilayah selatan kepulauan Myeik, sedikit di atas wilayah Thailand, oleh

85
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

PESISIR BERBATU MEMBANTU MYANMAR


14 Januari 2005 – Negara Myanmar yang letaknya tersembunyi termasuk ‘sangat beruntung’
hanya sedikit merugi dari tsunami, kata Joanna MacLean dari International Federation of the
Red Cross (IFRC). Menurut laporan-laporan dari PBB, lembaga-lembaga setempat, dan IFRC,
jumlah korban meninggal diduga tidak melebihi 100. “Ini benar-benar luar biasa. Pada saat
[tsunami] itu saya sedang berada di Thailand dan pulang dengan segera, membayangkan yang
terburuk.” Pemerintahan militer Myanmar sejauh ini sangat kooperatif dalam upaya pemulihan
setelah tsunami, namun MacLean mensyukuri keberadaan pantai berbatu Myanmar dan sudut
pantai tersebut sebagai pencegah kerusakan dari gelombang yang menewaskan ribuan orang
di Thailand dan masih banyak lagi di Kepulauan Andaman, yang terletak 320 km dari Myanmar.
Delta Irrawaddy yang terletak di selatan Yangon terkena dampak paling parah, namun, korban
jiwa masih dapat diselamatkan, karena mereka yang selamat dari gelombang pertama langsung
berlari menuju dataran yang lebih tinggi. Terdapat tiga gelombang yang datangnya berselang
setengah jam, sehingga mereka yang berkesempatan menyaksikan gelombang pertama, bahkan
yang kedua, masih memiliki waktu untuk menuju biara-biara, yang selalu terletak pada dataran
tinggi, dan bangunan sekolah. Antara 5.000-6.000 orang kehilangan tempat tinggal, namun
banyak yang sudah kembali ke desa mereka (dari Joanna MacLean, International Federation of
the Red Cross).

Reef Check Eropa yang bekerjasama dengan WorldFish Center dan GCRMN. Kerusakan yang ditemukan
sedikit sekali, dengan beberapa karang patah atau terbalik, dan beberapa yang tertutup lapisan tipis pasir
pada tiga lokasi paling selatan. Tidak ditemukan akumulasi patahan karang atau penguburan oleh pasir.
Terumbu di kepulauan Myeik relatif selamat dari tsunami, meski terletak cukup dekat dengan terumbu di
Thailand, yang mengalami kerusakan. Gelombang tsunami telah mengecil sampai 0,5 m ketika sampai di
bagian selatan Kepulauan Myeik dan pesisir Myanmar. Beberapa penyelam juga mengindikasikan bahwa
terumbu karang yang terdapat di wilayah Pulau Lampi tidak terpengaruh oleh tsunami.

DAMPAK SOSIO-EKONOMI
Dampak Terhadap Perikanan: Mayoritas desa yang terkena dampak tsunami merupakan desa yang
bergerak di bidang perikanan. Perkiraan awal kerugian dari kapal dan peralatan perikanan yang hilang
ditaksir mencapai US$ 185.000. Laporan terkini menyebutkan sekitar 144 kapal yang hilang, dan kerugian
finansial mencapai US$ 250.000.

Dampak Terhadap Budidaya: Dampak terhadap kegiatan budidaya sepanjang pesisir tidak terlalu banyak,
namun terdapat sedikit kerusakan pada karamba budidaya kerapu.

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Upaya rehabilitasi dan pemulihan terumbu karang di Myanmar tidak diperlukan, mengingat kerusakan
yang sangat sedikit dari tsunami.

SARAN, KESIMPULAN DAN PREDIKSI


Myanmar merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak memiliki program pemantauan
terumbu karang yang didukung lembaga pemerintah maupun LSM. Pemerintah Myanmar telah
menyatakan ketertarikannya untuk memulai program pemantauan terumbu karang, namun masih
kekurangan kapasitas atau tenaga ahli untuk mewujudkannya.

86
Keadaan Terumbu Karang di Myanmar: Evaluasi Pasca-Tsunami

Myanmar memiliki sejumlah terumbu paling indah di wilayah Asia Tenggara, namun keadaan terumbu
sulit ditentukan akibat kurangnya informasi dasar. Dari hasil konsensus saat ini, secara umum keadaan
terumbu karang di Myanmar dalam keadaan baik sampai sangat baik. Namun, terdapat kekhawatiran
akan meningkatnya praktik perikanan yang merusak, termasuk penggunaan pukat dan pancing rawai
(long-line) di sekitar terumbu karang, dan pengeboman. Terdapat banyak laporan adanya praktik perikanan
ilegal dan merusak oleh nelayan asing, dan pengumpulan hewan invertebrata dari terumbu untuk
perdagangan biota dan akuarium hias semakin meningkat. Terumbu karang di Myanmar saat ini sedang
terancam sebab: kurangnya hukum dan peraturan; kapasitas pengetahuan dan penegakan hukum oleh
pemerintahan yang lemah; banyak LSM yang tidak dapat menjalankan program pemantauan terumbu di
Myanmar; dan penangkapan ikan berlebih serta pertumbuhan pengembangan pesisir yang semakin
meningkat. Diperlukan tindakan yang segera untuk mencegah terumbu karang Myanmar sampai pada
taraf tak berkelanjutan.

Seharusnya konservasi dan pengelolaan terumbu karang di Myanmar menjadi isu utama, dan sudah
seharusnya dimulai proses penggarapan program yang komprehensif dan mencakup berbagai tingkatan.
Tetapi karena saat ini belum terdapat program yang menyangkut terumbu karang di Myanmar, akan
sangat tepat jika diformulasikan program konservasi yang meliputi:

sebuah pendataan biodiversitas ekosistem terumbu karang yang komprehensif;


program pemantauan ekosistem, dengan penekanan khusus terhadap terumbu karang dan hutan
mangrove;
program pelatihan untuk membangun kapasitas masyarakat setempat dalam pengelolaan ekosistem
mangrove;
keikutsertaan Myanmar dalam berbagai program regional dan sub-regional untuk memfasilitasi
kerjasama dan koordinasi wilayah, dan untuk saling bertukar pengalaman;
identifikasi wilayah-wilayah kunci untuk perlindungan, dan peresmian wilayah tersebut sebagai
taman nasional laut di masa mendatang; dan
inisiasi program-program pendidikan dan kesadaran masyarakat.

PENINJAU
Barbara Brown, Sekolah Biologi, Universitas Newcastle upon Tyne, Inggris; Chou Loke Ming, Universitas
Nasional Singapura; Niphon Phongsuwan, Phuket Marine Biological Center, Joanna Ruxton, Perpusatakaan
AIMS.

KONTAK PENULIS
Karenne Tun, WorldFish Centre, PO Box 500 GPO, 10670 Penang, Malaysia, k.tun@cgiar.org; Georg
Heiss, Reef Check Eropa, Center for Tropical Marine Ecology (ZMT), Fahrenheitstr. 6, 28359 Bremen
Germany, georg.heiss@reefcheck.de.

ACUAN
CONSRN (2005) Impacts of the tsunami on fisheries, aquaculture and coastal living livelihoods in Myanmar
(www.streaminitiative.org/pdf/050203Myanmar.pdf).
ReliefWeb (February 2005) Impact of the tsunami on the lives and livelihood of people in Myanmar with
special focus on

87
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Labutta township, Ayeyarwaddy division (www. reliefweb.int/rw/rwb.nsf/db900SID/EVIU-


6AKDE8?OpenDocument).
Satake Y, et al. (June 2005) Report on Post Tsunami Survey along the Myanmar Coast for the December
2004
Sumatra-Andaman Earthquake. Active Fault Research Center. National Institute of Advanced Industrial
Science and Technology, (www.unit.aist. go.jp/actfault/english/topics/Myanmar/index.html).
WHOSEA (January 2005) Myanmar tsunami situation report,
( w w w. w 3 . w h o s e a . o r g / E N / S e c t i o n 2 3 / S e c t i o n 1 1 0 8 / S e c t i o n 1 8 3 5 / S e c t i o n 1 8 5 1 /
Section1869_8657.htm).

KETAKUTAN TSUNAMI MYANMAR REDA


01 April 2005- Teramatinya ratusan lumba-lumba, paus, dan porpoise di lepas pesisir selatan
Myanmar telah meredakan ketakutan berbagai pihak akan terpengaruhnya mamalia laut akibat
tsunami bulan Desember, tulis sebuah harian semi-resmi. Ahli konservasi Myanmar dan asing
telah mengadakan pengamatan sewaktu melakukan survei pesisir Tanintharyi dan secara khusus
di perairan Kepulauan Myeik, yang kaya akan biodiversitas laut. Survei tersebut telah
menghilangkan kekhawatiran tentang rusaknya habitat (lumba-lumba dan paus) karena tsunami,
kata Mya Than Tun, seorang peniliti dari Departemen Perikanan, dalam laporannya. Myanmar
menderita kerugian dan korban jiwa yang relatif sedikit akibat tsunami. Sebuah survei yang
berdurasi 2 minggu oleh Wildlife Conservation Society, Whales and Dolphin Conservation
Society dan Convention on Migratory Species di Jerman diikuti ilmuwan dari Myanmar,
Bangladesh, India, dan Sri Lanka, yang dipimpin oleh Brian Smith, seorang ahli zoololgi
konservasi. Ini merupakan pertama kali sebuah survei seperti ini dilakukan di Myanmar dan Tint
Tun, kata seorang ahli biologi Myanmar dari Wildlife Conservation Society, dan survei ini akan
digunakan untuk memastikan populasi mamalia laut di perairan pesisir (dari The China Post).

88
7. DAMPAK TSUNAMI TAHUN 2004
PADA DARATAN UTAMA INDIA SERTA
KEPULAUAN ANDAMAN DAN NIKOBAR

JK PATTERSON EDWARD, SARANG KULKANRI, R. JEYABASKARAN, SRI LAZARUS,


ANITA MARY, K. VENKATARAMAN, SWAYAM PRABHA DAS,
JERKER TAMELANDER, ARJAN RAJASURIYA, K. JAYAKUMAR,
A.K. KUMARAGURU, N. MARIMUTHU, ROBERT SLUKA,
DAN J. JERALD WILSON

RINGKASAN
Tingkat kematian akibat tsunami termasuk tinggi, lebih dari 7.000 korban jiwa di Kepulauan Nikobar
saja (angka pasti kemungkinan tidak akan pernah diketahui karena sejumlah masyarakat adat pada
pulau-pulau terpencil mungkin menjadi korban). Pada daratan utama, terdapat jumlah kematian
serupa;
Kerugian terbesar terjadi pada masyarakat nelayan walaupun gelombang tsunami ikut
menghancurkan jalan-jalan, jetty, infrastruktur dasar lainnya serta desa-desa secara keseluruhan;
Terjadi kerusakan yang sangat parah terhadap sumber daya pesisir India bagian tenggara, khususnya
terhadap hutan mangrove dan pesisir. Pada Kepulauan Andaman dan Nikobar terjadi kerusakan
yang cukup parah terhadap terumbu karang dan pantai, begitu juga pada hutan-hutan;
Gempa bumi telah mengubah bentuk daratan dari terumbu karang dan pesisir Andaman dan Nikobar:
terumbu karang pada Andaman bagian selatan sampai Nikobar menurun 1-3 meter; dengan sejumlah
terumbu pada Andaman bagian utara terangkat keluar air dan mati; dan beberapa pantai hampir
hilang sama sekali, sementara pantai-pantai baru telah terbentuk;
Terdapat kerusakan yang parah pada sebagian besar terumbu karang di Andaman dan Nikobar,
khususnya dikarenakan benda-benda yang tersapu dari daratan dan penyelimutan oleh material
sedimen;
Terumbu karang pada daratan utama di Teluk Myanmar dan tempat lainnya hanya sedikit rusak,
dengan kerusakan yang terpusat. Kebanyakan pantai daratan utama mengalami erosi; dan
Wilayah-wilayah yang terkena dampak diperkirakan akan pulih dalam waktu 5-10 tahun, jika terdapat
pengelolaan sumber daya yang efektif dan penegakan hukum yang mengendalikan praktik
penangkapan yang merusak, penambangan terumbu, penangkapan berlebih akan sumber daya
terumbu, pengembangan pesisir, sedimentasi, dan pencemaran.

89
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

PENDAHULUAN
Gempa bumi pertama pada 26 Desember 2004 mencetuskan sebuah reaksi gempa bumi berantai dibawah
Kepulauan Andaman dan Nikobar yang mengguncang seluruh wilayah Laut Andaman. Pada akhirnya,
lempengan Burma, yang menopang kepulauan tersebut, bergerak miring setelah rentetan gempa yang
berlangsung selama 8 menit mengikuti gempa utama yang berlangsung di lepas Sumatra. Sehingga,
pulau-pulau ini menjadi sebuah sumber tsunami yang menyebar di Samudera Hindia dan juga terkena
dampak dari tsunami akibat pergerakan-pergerakan lempeng bumi yang berlangsung pagi itu. Dampak
yang timbul cukup berbeda antara daratan utama India dan Kepulauan Andaman dan Nikobar. Karena
inilah kedua wilayah tersebut dibahas secara terpisah dalam bab ini.

90
Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

Kepulauan Andaman dan Nikobar: Kerusakan di kepulauan ini disebabkan dua hal: rangkaian gempa
bumi dan gelombang-gelombang tsunami. Dalam kurun waktu 10 menit dari gempa, gelombang laut
setinggi 15 meter pada kepulauan Nikobar dan 4 meter pada kepulauan Andaman menyapu diatas
daratan pulau. Gedung-gedung di pulau Great Nicobar, Car Nicobar, dan Little Andaman tersapu bersih,
sementara yang lain, seperti gedung terminal penumpang di Teluk Phoenix, Port Blair, runtuh akibat
goncangan. Gelombang-gelombang menelan korban jiwa lebih dari 7.000 di Kepulauan Nikobar sendiri
dan menghancurkan jalan-jalan, jetty, dan bangunan infrastruktur lainnya. Jumlah keseluruhan korban
jiwa kemungkinan tidak akan pernah diketahui karena korban dari masyarakat adat yang tinggal pada
pulau terpencil tidak diketahui secara pasti. Upaya pemulihan berupa pengiriman berbagai persediaan
serta bantuan medis ke pulau-pulau tersebut terhambat karena jarak yang jauh dari daratan utama serta
dermaga, bandara, atau jalan menuju lokasi masyarakat yang sangat sulit, terbatas dan tidak mudah
dijangkau.

Gerakan subduksi Lempeng Hindia yang terletak di bawah Lempeng Burma, yang menyangga pulau-
pulau Andaman dan Nikobar, telah mengubah topografi terumbu karang dan pesisir setempat. Keseluruhan
Lempeng Burma bergerak miring sehingga hamparan terumbu dangkal yang terdapat pada bagian selatan
Andaman sampai Nikobar menurun 1-2 meter, sehingga rataan terumbunya kini berada beberapa meter
dibawah permukaan air laut. Namun, di bagian utara Andaman, hamparan pasang-surut yang luas kini
terangkat sedemikian rupa sehingga beberapa terumbu muncul di atas permukaan secara permanen, dan
mengakibatkan banyak terumbu di wilayah ini mati. Perubahan lainnya yang terjadi adalah hilangnya

91
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

beberapa pantai akibat erosi besar-besaran, sementara beberapa pantai lainnya terbentuk. Sejak 26
Desember, telah terjadi lebih dari 400 gempa susulan, yang mengakibatkan beberapa pulau di selatan
Andaman sampai Nikobar terangkat 20-25 cm lebih lanjut. Hampir 6,8% daratan dari kelompok pulau
Nancrowy kini telah tenggelam.

Daratan utama India: Gelombang-gelombang tsunami mencapai daratan utama India tepat 2 jam setelah
Gempa Sumatra-Andaman yang dahsyat, dan mencapai pesisir pantai barat India setelah 3 jam. Meskipun
pesisir timur Sri Lanka menyerap sebagian besar dari energi gelombang, gelombang-gelombang tersebut
masih terpantul di sekitar Sri Lanka dan melewati bagian pesisir lainnya yang telah tenggelam. Pesisir
Tamil Nadu yang terdapat di tenggara India merupakan wilayah yang paling parah terkena dampak pada
daratan utama India, dengan kerusakan parah pada wilayah kabupaten Chennai, Cuddalore, dan
Nagapatinam Kaniyakumari dan gelombang setinggi 2,5-5 meter. Wilayah yang luas pada pesisir Chennai
terendam sampai sejauh 590 meter mengintrusi daratan. Pada beberapa dermaga, arus tsunami yang
luar biasa menyeret kapal-kapal keluar dari laut.

Perairan sungai Adyar dan Cooum yang sangat tercemar, terhempas ke laut setelah gelombang tsunami
membuka lebar-lebar mulut sungai-sungai tersebut, yang biasanya terhambat oleh endapan pasir. Air
sungai ini mencemari lingkungan pesisir dengan bakteri E. coli dan Salmonella, yang ditemukan lebih
dari 10 km dari lepas pantai. Lebih lanjut lagi, masuknya kandungan nutrien yang melimpah mengakibatkan
ledakan fitoplankton dan mikrobial di lepas pantai Chennai.

KEADAAN TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI


Terumbu karang di India menutupi areal seluas 5.790 km2 yang dibagi menjadi tiga zona utama: Pulau-
pulau Andaman dan Nikobar; terumbu karang pada daratan utama; dan pulau-pulau Lakshadweep.
Struktur terumbu dan diversitas jenis berbeda antara lokasi-lokasi di atas karena terdapat perbedaan
ukuran wilayah dan kondisi lingkungan yang mendominasi. Lebih dari 260 jenis karang batu, 145 jenis
karang lunak, dan 1.200 jenis ikan telah tercatat dari terumbu karang India.

EYEWITNESS ACCOUNT FROM WWF-INDIA


Kepulauan Andaman dan Nikobar terkena hantaman keras tsunami, dengan jumlah korban lebih
dari 10.000 jiwa. Kebanyakan dari 356.000 penduduk di rantai pulau terpencil, termasuk
mayoritas yang tinggal di ibu kota Port Blair, terkena dampaknya dan ribuan orang menjadi tuna
wisma. Beberapa cukup beruntung karena dapat meninggalkan rumahnya dan mencapai tempat
yang lebih tinggi saat pasang besar menyapu sepanjang daerah dataran rendah. “Saat itu pagi
tanggal 26 Desember, saat gempa bumi pertama datang. Kira-kira satu jam kemudian, kami
mendengar orang-orang berteriak dari segala penjuru, mengatakan bahwa ‘air datang, air datang’.
Rumah kami dikelilingi oleh anak sungai, dan mendadak tinggi air meningkat lalu meluber melewati
bantaran dan memasuki rumah. Pada saat itu aku dan istriku serta kedua anjing kami menuju ke
bagian belakang rumah, memanjat sebuah bukit kecil dan duduk di sana sampai satu jam sebelum
akhirnya air surut. Kemudian kami turun untuk melihat kerusakan; rumah kami rusak parah akibat
gempa bumi dan air laut. Secara umum, suasana hati sangatlah gundah. Masyarakat sangatlah
menderita. Aku telah kehilangan segalanya yang kukumpulkan dari seluruh dunia selama 29
tahun mengabdi di Angkatan Laut India dan Pengawas Pantai. Ini merupakan kerugian pribadi
bagiku, tetapi hidup berjalan terus. Pada saat ini, pikiran dan tindakan kami bersama orang-
orang yang telah menderita atas tragedi yang terjadi. Namun bisa dipastikan bahwa masyarakat
yang hidup dan penghidupannya di laut, akan kembali lagi. Lagipula, tak ada yang dapat
mengharapkan bahwa nelayan dapat tinggal diam di bukit. Kehidupan harus terus berjalan”
(dari Debesh Banerjee, Sekretaris Kehormatan, WWF-India, Kepulauan Andaman dan Nikobar).

92
Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

Penurunan jumlah jenis dan marga karang keras di wilayah Kepualuan Andaman, Nikobar sampai
pantai barat India

Wilayah Jumlah Marga Jumlah Jenis

Kepulauan Andaman dan Nikobar 43 134


Teluk Mannar 36 128
Kepulauan Lakshadweep 37 103
Teluk Kachchh 24 37
Gundukan terumbu di pantai barat 17 29

Sebelum tsunami terjadi, terumbu karang di sepanjang pesisir India mengalami eksploitasi tinggi dan
terancam kerusakan yang terus-menerus dari praktik penangkapan ikan yang merusak, penambangan
karang, pemanenan sumber daya terumbu yang berlebih, pengembangan pesisir, sedimentasi, dan
pencemaran. Ancaman-ancaman tersebut tidak terlalu besar pada Kepulauan Andaman dan Nikobar,
dimana sedimentasi dan penangkapan ikan berlebih merupakan ancaman utama, mempengaruhi 55%
dari terumbu. India telah mengembangkan Rencana Tindak Lanjut Strategi Biodiversitas Nasional pada
tahun 2004, yang mencakup strategi konservasi terumbu karang, walaupun sudah terlindungi dibawah
Akta Perlindungan Lingkungan 1972. Walaupun telah hadir sejumlah daerah perlindungan laut, terumbu
di wilayah tersebut semakin rusak akibat meningkatnya kemiskinan diantara masyarakat pesisir, praktik
pengelolaan yang buruk, dan kegiatan pemantauan yang tidak konsisten.

Kepulauan Andaman dan Nikobar merupakan gugusan 530 pulau terpencil, yang letaknya lebih dekat
terhadap Thailand daripada India daratan, dan memisahkan Teluk Bengal dari Laut Andaman. Meskipun
hanya 38 pulau yang berpenghuni, namun pertumbuhan jumlah penduduk cukup pesat, meningkat dari
279.000 pada tahun 1991 menjadi 405.000 pada 2001. Sebelum tsunami, sebagian besar pulau-pulau
tersebut berada dalam kondisi alami, dengan terumbu karang tepi yang melimpah, dalam kondisi baik.
Biodiversitas terumbu karang pada Kepulauan Andaman dan Nikobar lebih menyerupai yang terdapat di
Asia Tenggara daripada biodiversitas terumbu karang Asia selatan, dikarenakan arus yang ada memfasilitasi
perpindahan larva yang lebih tinggi dengan terumbu yang terdapat di arah timur. Lebih dari 1.000 jenis
ikan dan 200 jenis karang telah teridentifikasi. Marga Porites ditemukan mendominasi di sebelah utara

TSUNAMI MENAMPAKKAN KUIL-KUIL INDIA

Walaupun tsunami menyebabkan kerugian nyata, namun juga menampakkan beberapa harta
karun: peninggalan leluhur berupa kuil-kuil yang telah lama terlupakan di pesisir India. Gelombang
tsunami mengerosi pasir di sekitar 3 batuan besar yang menampilkan ukiran binatang, termasuk
juga jejak dari 2 buah kuil di dekat kota pesisir Mahabalipuram di Tamil Nadu. Mahabalipuram
dikenal dengan kuil-kuil batu kuno berukiran rumit di sepanjang pantai, dan peninggalan yang
belum pernah diketahui ini tampaknya berasal dari kota pelabuhan yang dibangun pada abad
ke 7. Menurut pemaparan para penulis dari Eropa yang pertama, daerah ini merupakan
tempat bagi 7 kuil, 6 diantaranya dianggap tenggelam. Batuan berukuran 2 meter yang kini
muncul diatas permukaan memuat pahatan kepala gajah yang jelas, seekor kuda yang sedang
terbang, seekor singa sedang istirahat, dan sebuah cekungan yang terdapat ukiran dewa di
tengahnya. Menurut para pakar arkeologi, binatang singa, gajah, dan burung merak menghiasi
candi-candi pada periode Pallava di abad ke 7 dan 8. Para arkeolog dari Archaeological
Survey of India terus melakukan penggalian. Alok Tripathi, yang memimpin penggalian ini,
mengatakan tidak ada keraguan bahwa temuan-temuan tersebut merupakan peninggalan strkutur-
struktur abad ke-8 agama Hindu (dari Science, Volume 308, Isu 5720).

93
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

NELAYAN INDIA YANG TERKENA TSUNAMI MEMILIH TINGGAL


DI PESISIR
Meski sudah diperintahkan pemerintahan Tamil Nadu, India Selatan agar membangun rumah
berjarak 200 meter dari pantai, para nelayan lebih memilih untuk tinggal dekat dengan laut.
Mereka mengatakan tak punya pilihan, karena kehidupan mereka yang menjadi terancam.
Keputusan Pemerintah No. 172 yang baru, berisi panduan untuk pembangunan rumah, yang
menyebutkan rumah-rumah yang telah hancur dan terletak dalam wilayah 200 meter dari pantai
harus dibangun kembali di luar wilayah 200 meter dari pantai tersebut. Jika tidak, pemerintah
menolak membantu pembangunannya. Para nelayan telah menyatakan kekecewaan yang sangat
mendalam akibat putusan tersebut, “Kami tidak takut jika akan ada tsunami berikutnya. Kami
perlu berada dekat laut, karena hal kecil seperti perubahan warna air laut atau arah dan
perubahan angin sepanjang pesisir membantu kami mengetahui ikan seperti apa yang akan
kami tangkap hari itu. Kehidupan kami bergantung pada laut”, ungkap Vanaja, seorang nelayan
wanita dan pekerja sosial. Para LSM kini membangun rumah-rumah di sepanjang pesisir, karena
pemerintah telah menolak bantuan untuk rumah yang berada dalam wilayah 200 meter tersebut.
“Pelanggaran dari bangunan wisata dan industri banyak sekali di wilayah pesisir. Mengapa
pemerintah tidak menindak hal tersebut? Jika kita pergi dari sini, mungkin [wilayah ini] akan
diserahkan ke pihak swasta. Keadaan seperti ini sangat mengecewakan, bahwa pemerintah
wilayah belum menangani masalah tersebut”, ungkap Jesuratnam, seorang pekerja sosial.
Pemerintah telah menyita 520 lokasi agar dijadikan wilayah perumahan tetap yang berjarak
500 meter dari pantai (dari www.newindpress.com dan International Collective in Support of
Fishworkers, icsf@icsf.net).

dan selatan kepulauan Andaman, sementara marga Acropora yang paling sering dijumpai pada
pertengahan Andaman dan kepulauan Nikobar. Pemutihan karang yang terjadi pada 1998 sedikit

Terumbu karang India daratan ditemukan pada 2 wilayah umum: Teluk Mannar dan Teluk Kachchh.
Terumbu tepi juga terdapat mengelilingi pulau-pulau lepas pantai di wilayah tengah pesisir barat. Wilayah
laut di Teluk Mannar, India Tenggara telah diresmikan sebagai Cagar Biosfer Laut India yang pertama.
Sebelum terjadi tsunami, 530 jenis ikan dan lebih dari 100 jenis karang batu telah diidentifikasi. Terumbu
karang ditemukan di sekitar 21 pulau antara wilayah Rameshwaram dan Tuticorin, namun dua pulau
telah tenggelam akibat penambangan karang. Penutupan karang diperkirakan mencapai 41% pada tahun
2004, dengan penutupan tertinggi pada pulau Keezhakkarai dan Tuticorn, dan didominasi oleh jenis
Acropora dan Montipora, dan terdapat juga jenis Favia, Hydnophora, Goniastrea dan Goniopora yang
masif. Terumbu pada pulau Thalayari dan Upputhani didominasi oleh karang padat, sementara di pulau
Kariyachalli dan Anaipar didominasi oleh karang meja (Acropora cythera dan Acropora corymbosa).
Kelompok pulau Tuticorn mengalami degradasi yang cukup parah akibat penambangan karang sehingga
diversitasnya rendah. Terumbu karang pada kelompok Pulau Vembar sebagian besar hanya berupa batuan
karang mati berukuran besar dan komunitas makro-alga.

Terdapat terumbu gundukan (patch reefs) dangkal yang tumbuh pada substrat batuan paras di sekitar 34
pulau pada Teluk Kachchh. Terumbu ini memiliki diversitas yang rendah akibat tingkat salinitas yang
tinggi, fluktuasi suhu yang besar, dan sedimentasi yang tinggi, dengan penutupan karang sebesar 20%.

Kepulauan Lakshadweep: Kepulauan ini terdiri atas 12 atol yang terletak di ujung utara tebing Laccadive-
Chagos, dimana pada tahun 1998 terjadi pemutihan karang yang menyebabkan kematian karang yang
cukup parah. Penutupan karang hidup pada laguna-laguna terumbu menurun sampai 10% pada tahun
2002, namun kembali meningkat sampai 20% pada tahun 2004, yang ditunjukkan oleh pemulihan yang
baik pada atol Kadmat dan Agatti. Pulau Kadmat diresmikan sebagai daerah perlindungan laut karena
pentingnya terumbu tersebut, padang lamun, serta sebagai wilayah peneluran penyu.

94
Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

APAKAH SUKU-SUKU DI PULAU MENGGUNAKAN ILMU KUNO


UNTUK MENGHINDARI TSUNAMI?
Kepulauan Andaman dan Nikobar berada di bawah pemerintahan India dan merupakan tempat
tinggal bagi sejumlah suku pemburu-pengumpul yang hanya sedikit sekali memiliki kontak dengan
dunia luar sampai baru-baru ini. Pada awalnya, para ahli arkeologi mengkhawatirkan suku-
suku tersebut lenyap disapu tsunami. Namun pilot-pilot Angkatan Udara India yang melakukan
pemantauan melalui satu pesawat di atas pulau-pulau tersebut melaporkan adanya penembakan
panah-panah terhadap helikopter mereka. Sejak itu terdapat laporan bahwa para penduduk
pulau menggunakan ilmu kuno yang mereka miliki tentang alam dalam menghindari tsunami.
Laporan-laporan terpercaya yang pertama kali datang tentang nasib suku-suku Andaman
mengindikasikan bahwa sebagian besar berhasil selamat. Kesadaran mereka mengenai laut,
bumi, dan pergerakan hewan-hewan telah terakumulasi dalam waktu 60.000 tahun menghuni
pulau-pulau tersebut. Pengajaran sejarah secara lisan dan gaya hidup pemburu-pengumpul
yang mereka miliki kemungkinan telah mempersiapkan mereka untuk berpindah ke dalam hutan
setelah merasakan getaran gempa yang pertama. Suku-suku ini membawa suatu misteri kepada
para antropolog. Empat suku Andaman: Andaman Besar; Onge; Jarawa; serta Sentinel, dikenal
sebagai suku Negrito yang berketurunan Afrika. Mereka adalah pemburu-pengumpul yang
hidupnya terisolasi sampai 50 tahun yang lalu, dengan sedikit interaksi dengan dunia luar.
Suku ini terpaksa mengungsi lebih dalam ke hutan-hutan di pulau akibat datangnya penghuni
dan pembangunan baru ke wilayah mereka. Mayoritas suku tersebut terancam punah; terancam
oleh penyakit, populasi yang berlebih, dan kekurangan sumber daya, dan populasi mereka
telah menyusut menjadi beberapa ratus (dari Bernice Notenboom, National Geographic News).

KEADAAN TERUMBU KARANG PASCA-TSUNAMI


Pada awalnya terdapat kekhawatiran akan terjadi kerusakan jangka panjang terhadap terumbu karang
India, termasuk hilangnya habitat dan daerah asuhan. Namun, pendataan di wilayah India menunjukkan
bahwa kecil kemungkinan terjadi kerusakan jangka panjang.

Kepulauan Andaman dan Nikobar: Dampak yang ditimbulkan oleh tsunami tahun 2004 terhadap
terumbu karang di Kepulauan Andaman dan Nikobar bervariasi, dari kerusakan ringan sampai parah
dengan luas terumbu rusak sebesar 40.000 hektar. Kerusakan yang paling umum terjadi adalah akibat
masuknya benda-benda yang terseret tsunami, seperti batang pohon, yang mengabrasi dan menyelimuti
karang. Namun, dampak yang paling terlihat terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik di wilayah
tersebut sehingga sebagian terumbu menjadi terangkat keluar air. Gelombang tsunami yang terjadi lebih
kuat pada wilayah utara dan pertengahan Kepulauan Andaman, dan pada seluruh Kepulauan Andaman
bagian selatan serta Kepulauan Ritchie. Mayoritas kematian karang terjadi pada jalur-jalur sempit dimana
kekuatan tsunami menjadi terpusat.

Pulau-pulau tersebut berada diatas Lempeng Burma, yang terangkat di bagian barat daya dan tenggelam
di wilayah tenggara, sehingga menaikkan rata-rata nilai kedalaman terumbu pada Andaman bagian
selatan dan kepulauan Nikobar sebanyak 1-3 meter. Sebelum tsunami terjadi, pertumbuhan karang di
rataan terumbu yang luas (kedalaman <2 m), terbatas karena radiasi sinar UV dan sinar matahari. Kini
terumbu tersebut tertutup oleh air dengan kedalaman beberapa meter, yang akan mendorong pertumbuhan
karang, dan perkembangan karang yang lebih baik pada beberapa wilayah, seperti di Taman Nasional
Laut Mahatma Gandhi.

Terumbu karang pada bagian selatan Kepulauan Andaman telah tenggelam sejauh 1 meter, dan upaya
lanjut dalam pembangunan pembatas air laut untuk melindungi rumah-rumah, sawah, dan infrastruktur
lainnya telah menyebabkan lepasnya tanah ke air, yang akan merusak terumbu di sekitarnya. Hutan

95
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

mangrove di sekitar Andaman mengalami kematian yang cukup besar dimana ketinggian air telah naik.
Namun, hutan mangrove pada bagian utara dimana telah terangkat dan ketinggian airnya telah menurun,
masih dapat hidup, tetapi kematian masih dapat terjadi. Di sejumlah wilayah, terdapat dampak yang
cukup serius pada padang lamun, namun dampak yang ditimbulkan terhadap dugong yang terancam
punah belum diketahui.

Pulau-pulau yang terdapat sepanjang bagian utara dan pertengahan kepulauan Andaman mengalami
fenomena sebaliknya. Terumbu karang terangkat setinggi 1-3 meter, sehingga terpapar secara telak dan
membunuh karang yang terdapat pada terumbu tepi dan rataan terumbu. Karang yang tumbuh pada laut
yang lebih dalam kini lebih terpapar terhadap arus dan gelombang yang lebih kencang, peningkatan
suhu, dan radiasi sinar UV; tetapi mereka akan beradaptasi terhadap kondisi yang lebih terbuka tersebut
dalam beberapa tahun ke depan.

Kepulauan Andaman: Kondisi terumbu karang telah didata pada awal tahun 2005: pertama di kepulauan
Andaman bagian selatan dan berikutnya di kepulauan Nikobar dan Andaman bagian utara. Pendataan
cepat ini menggunakan metode scuba dan snorkel untuk memastikan keadaan dan kerusakan akibat
tsunami.

Pulau Jolly Buoys: Terumbu karang mengalami kerusakan parah, dimana sedimen menyelimuti karang
di rataan terumbu. Sejumlah besar puing tersebar di sebagian besar terumbu. Sejumlah koloni terumbu
karang besar (diameter >2m) terangkat dan tersebar di terumbu. Patahan Acropora spp. dan Hydnophora
rigida seringkali terlihat di sepanjang tepi terumbu. Kelimpahan populasi ikan menurun dan keragaman
ikan pun turut berkurang.

Redskin: Terumbu karang, termasuk Porites lutea yang mendominasi, rusak parah. Meskipun kerusakan
pada rataan terumbu hanya sedikit, koloni karang pada lereng terumbu rusak parah, dengan beberapa
koloni berukuran besar patah dan terbawa arus sampai pada kedalaman 15 meter. Jarak pandang telah
menurun dan topografi pantai telah berubah. Pantai telah berubah ukuran dan kemiringannya telah
bertambah.

Sebelum tsunami (2002-2004)


Sesudah tsunami (2005)
Tutupan substrata (%)

Karang Karang hidup Batu karang Alga


hidup beralga terbuka

Data dari 11 lokasi pada pulau-pulau di Teluk Mannar di atas, sebelum dan sesudah tsunami, tidak
menunjukkan perubahan yang berarti terhadap tutupan karang akibat tsunami (dari Patterson Edward)

96
Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

Alexandra: Kerusakan karangnya mirip dengan yang menimpa pulau Jolly Buoy dan Redskin, namun
lebih ringan. Karang yang terletak lebih dalam dari 15 m tertutupi sedimen. Jenis Acropora paling besar
dampaknya, dan beberapa koloni Porites lutea tercabut. Jarak pandang di bawah air berkurang secara
signifikan karena input sedimen yang besar.

Grub: Dampak yang ditimbulkan tsunami pada wilayah ini tidak terlalu besar, hanya beberapa koloni
Acropora, Porites, Echnipora, dan Psammacora yang patah atau terguling. Koloni-koloni Acropora besar
bertahan dalam keadaan sangat baik dan kini tampak lebih melimpah, sebelumnya terjadi dominasi oleh
Porites dan Echinopora lamellosa.

Teluk Utara: Wilayah ini lebih dekat dengan Port Blair dan sedikit menunjukkan dampak tsunami.
Terumbu ini didominasi oleh Porites lutea, Porites nigrescens, dan Acropora spp. dan jarang terdapat
laporan adanya koloni patah. Namun demikian, topografi dan komposisi pantai telah berubah.

Terumbu Utara, Interview, dan Terumbu Selatan: Terdapat lokasi peneluran penyu penting, namun
erosi dari gelombang-gelombang tsunami telah menyapu pergi sarang-sarang penyu dan menaikkan
terumbu karang, sehingga menciptakan rintangan yang menyulitkan jalan penyu ke lokasi peneluran.

Kepulauan Nikobar: Kerusakan akibat tsunami pada kepulauan Nikobar lebih parah daripada di Kepulauan
Andaman. Ombak raksasa setinggi 10-15 m menewaskan ribuan orang (mayoritas masyarakat suku di
Nicobar), mengahancurkan hutan pesisir dan meratakan sebagian besar infrastruktur daratan di pulau
tersebut.

Terjadi peralihan habitat yang besar dan sejumlah habitat terumbu baru di sepanjang kepulauan telah
tenggelam, termasuk di Car Nicobar, Tarasa, Comorta, Trinkat, Nancowry, Katchal, dan Great Nicobar
(Nikobar Besar). Meningkatnya sedimentasi telah menyebabkan stres sehingga terjadi pemutihan dan
kematian karang secara masal; dengan lebih dari 70% karang yang sebagian besar berupa Acropora
tercabuti dan tersebar di wilayah Teluk Sawai pada Pulau Car Nicobar. Pulau Trinkat hampir terbelah
menjadi dua dan pasir telah terpindahkan ke wilayah terumbu luas di pesisir barat, menyebabkan matinya
jenis-jenis dari marga Acropora dan Porites yang pernah mendominasi. Kerusakan fisik juga ditemukan
pada jalur di antara Camorta dan Nancowry, yang sebelumnnya didominasi oleh jenis Millepora, Acropora,
dan Porites. Koloni-koloni besar terangkat, dan terdorong ke laut dangkal atau tersapu ke laut dalam.
Terumbu yang terdapat pada wilayah timur laut Nancowry yang dikenal memiliki koloni Acropora yang

Sebelum tsunami
Sebelum tsunami (1 minggu)
Sebelum tsunami (5 bulan)
Jumlah jenis ikan

Tuticorin Vembar Keezhakkarai Mandapam

Tidak terdapat perbedaan yang berarti pada keragaman ikan di sepanjang 4 kelompok pulau di Teluk
Mannar sebelum atau sesudah tsunami (dari Patterson Edward)

97
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

melimpah, nyaris hilang. Lokasi peneluran penyu belimbing terluas pada pantai Galathea, Pulau Great
Nicobar, telah hilang.

India Daratan: Terumbu pada Teluk Mannar merupakan satu-satunya terumbu pada India daratan yang
terpengaruh tsunami. Sejumlah karang mengalami pemutihan, sementara yang lain terpengaruh karena
meningkatnya siltasi akibat masuknya puing-puing yang mematahkan dan menyebabkan tergulingnya
beberapa koloni. Namun dampak yang ditimbulkan sangat kecil terhadap karang, habitat terumbu karang
dan sumber daya perikanan yang terkait. Pendataan pada 11 lokasi yang dipilih secara acak (Pulau Vaan,
Kariyachalli, Upputhanni, Pulvinichalli, Yaanipar, Vali Munai, Thalaiyari, Mulli, Poomarichan, Kurusadai,
dan Shingle) menunjukkan bahwa kerusakan fisik, dampak terhadap keanekaragaman bentik dan deposisi
puing, pasir, tanah serta patahan karang tidak jauh berbeda dengan hasil survei-survei sebelum tsunami.
Namun demikian, beberapa kerusakan yang terlihat: 1-2% dari karang meja dan karang bercabang
menunjukkan tanda-tanda kerusakan fisik, dengan sejumlah karang meja (Acropora cynthera) terbalik
dan sejumlah jenis bercabang dengan cabang-cabang yang patah. Dampak lainnya termasuk
tersangkutnya lamun dan rumput laut pada cabang-cabang karang, deposisi pasir dalam 25% dari jumlah
karang cawan (Turbinaria spp.) dan pohon yang tercabuti dari akarnya disertai erosi tanah pada 2 lokasi,
yaitu Pulau Thalayari dari kelompok Pulau Keezhakkarai dan Pulau Krusadai dari kelompok Mandapam.

Pusat Pengkajian Pesisir dan Laut Universitas Madurai Kamaraj mengamatai kecenderungan yang serupa
di Teluk Mannar dan Teluk Palk. Karang batu, alga, serta padang lamun tidak terpengaruh oleh ombak
meskipun terjadi peningkatan sedimentasi di Teluk Palk dari 32,5 mg/hari pada bulan November 2004
menjadi 53,4 mg/hari setelah tsunami. Institut Penelitian Kelautan Suganthi Devadason menemukan
bahwa kisaran sedimentasi sebesar 50-110 mg/cm2/hari pada pesisir Tuticorin sejak Februari 2003, dan
nilai ini tidak memengaruhi karang. Pada bulan Januari 2005, setelah tsunami terjadi, laju sedimentasi
menjadi sebesar 56 mg/cm2/hari dan ini juga tidak merusak karang. Pada bulan Mei 2005, terjadi
pemutihan karang di Teluk Mannar, terutama di bagian Pulau Keelakarai dan Tuticorin dimana 34% dari
karang yang terdapat di wilayah pasang surut mengalami pemutihan. Kebanyakan karang masif
terpengaruh ketika suhu air laut di permukaan mencapai 31,7°C dan arus permukaan menyimpang dari
yang biasa. Penutupan karang hidup di Pulau Tuticorin menurun dari 42% sebelum tsunami menjadi
31% seperti yang ditunjukkan survei pasca-tsunami pada Januari 2005. Sejumlah besar karang terselimuti
oleh tanah, yang megakibatkan kematian.

Tidak terdapat laporan kerusakan pada terumbu karang di pada Pulau Lakwadsheep, Teluk Kachchh,
dan Pulau Grand yang terletak di lepas wilayah Goa (dimana penutupan karang sebesar 31% pada tahun
2002 dan 36% pada 2005).

Tidak ada pengaruh tsunami yang besar terhadap kelimpahan dan penyebaran ikan karang, setelah
dilakukan survei di sekitar wilayah Teluk Mannar 1 minggu dan 5 bulan setelah tsunami, dan tidak
menunjukkan tanda-tanda perubahan komposisi jenis. Ikan karang yang kerap ditemukan seperti kakap
(Lethrinus), baronang (Siganus), kue (Carangoides malabaricus), dan ikan soldierfish (Sargocetron)
kesemuanya melimpah. Tidak ada dampak pada krustasea maupun moluska.

Kerusakan pada Mangrove: Pengamatan melalui satelit menunjukkan bahwa telah terjadi erosi yang
tinggi terhadap wilayah pertumbuhan mangrove di sepanjang sisi timur kepulauan Andaman dan Nikobar.
Mangrove pada utara Andaman secara umum tidak terpengaruh, sementara mangrove yang terdapat di
wilayah tengah Andaman yaitu pulau Long, North Passage, dan Porlob hampir rusak sepenuhnya.
Mangrove pada Andaman Selatan hanya sedikit mengalami kerusakan, sementara terumbu di Pulau
Andaman Kecil mengalami kerusakan berat. Kerusakan mangrove pada Kepulauan Nikobar bergantung
pada pulau; dengan hampir semua mangrove pada Pulau Car Nicobar dan Katchal hancur, sementara

98
Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

PEMERINTAH MENCABUT LARANGAN PENEBANGAN POHON GUNA


MENDUKUNG UPAYA PEMBANGUNAN KEMBALI
Sebagai upaya rekonstruksi awal dan perlunya penyediaan rumah bagi mereka yang kini
tanpa rumah, pemerintah kepulauan Andaman dan Nikobar telah mencabut larangan penebangan
pohon. Pencabutan larangan ini akan berlangsung selama 6 bulan, namun pelarangan masih
berlaku untuk pohon yang terletak dalam jarak 1.000 m dari laut, pohon yang berada dalam
wilayah taman nasional, suaka, dan hutan bakau pesisir. Walau WWF menyadari mendesaknya
keperluan kayu untuk membangun perumahan dalam keadaan darurat, mereka menghimbau
dengan keras agar kayu yang digunakan untuk upaya rekonstruksi jangka-panjang sebaiknya
berasal dari hutan yang dikelola secara bertanggung-jawab. Penebangan yang tidak disertai
peraturan dapat memberikan kontribusi terhadap bencana lainnya dimasa yang akan datang,
seperti tanah longsor dan banjir (dari Mark Schulman, WWF International).

80% hutan mangrove pada Pulau Comorta dan Trinkat hilang. Hutan mangrove di Tamil Nadu pada India
daratan tidak mengalami kerusakan berat akibat tsunami.

Sistem Ekologi lainnya: Pasir dan sedimen lain dari daratan terpindahkan ke padang lamun dan
memiliki potensi untuk mengakibatkan stres jangka panjang terhadap popolasi dugong yang bergantung
kepada lamun. Krustasea seperti ketam kelapa raksasa juga terpengaruh, dan pantai peneluran penyu
pulau Andaman Selatan, Andaman Kecil, dan Kepulauan Nikobar hampir hilang sepenuhnya. Kehilangan
ini dapat menurunkan peneluran oleh penyu belimbing, penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang, namun
terbentuknya pantai baru di wilayah sekitarnya dapat menyediakan lokasi pengganti yang tepat. Kelimpahan
kerang penempel menurun dari 42% menjadi 0% dari tahun 2002 sampai 2005 pada terumbu berbatu di
lepas pantai Mutton, Tamil Nadu dan kerang tersebut telah tergantikan oleh alga berfilamen, patahan
karang serta spong.

Kerusakan terhadap Pertanian: Instrusi air laut lebih rendah di wilayah yang memiliki vegetasi lebat
daripada di wilayah yang tidak memiliki tumbuhan. Deposisi pasir merusak tanaman bakal panen pada
wilayah muara dan menurunkan kesuburan tanah, namun pengaruh potensial terhadap produksi pertanian
belum diketahui.

Kerusakan terhadap Perikanan: Masyarakat nelayan di sepanjang pesisir mengalami kerugian yang
paling besar, dengan desa-desa yang hancur secara keseluruhan, korban jiwa dalam jumlah tinggi dan
rusaknya sejumlah besar rumah, kapal, serta peralatan perikanan. Sejumlah kapal terlepas dari dermaga
dan pelabuhan, mengakibatkan kerusakan pada kapal lainnya dan infrastruktur.

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Stasiun penelitian Reef Watch Marine Conservation di Wandoor, Pulau Andaman Selatan rusak cukup
parah karena tsunami, namun mereka bisa berpartisipasi dalam upaya pemulihan dengan mendistribusikan
pakaian, makanan, dan obat-obatan kepada mereka yang terkena dampak. Regu Penelitian Terumbu dari
Institut Penelitian Lingkungan dan Pendidikan Sosial (IERSE) berencana melakukan penelitian pada
terumbu dan sumber dayanya demi kemaslahatan masyakarat perikanan yang terkena dampak tsunami.

Sejak tahun 2001, SDMRI menjalankan upaya resotrasi terumbu karang dengan tranplantasi karang.
Sejauh ini, lebih dari 100m2 terumbu telah direstorasi.

United States Agency for International Development (USAID) membantu rehabilitasi kegiatan perikanan
dan pertanian di India dengan menyediakan bantuan untuk mengembangkan kembali pelabuhan lokal

99
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

dan infrastruktur lainnya. USAID juga akan membantu pemerintah wilayah dalam administrasi dan
rencana pengelolaan dana, dan menciptakan jaringan di antara perwakilan dinas pada kota-kota yang
terkena tsunami dengan kota lainnya agar dapat membahas pengalaman yang telah lalu dan best practices.
Lebih dari 170 kapal telah diperbaiki dan 232 mesin kapal serta 200 jaring telah disediakan melalui
program ‘dana untuk kerja’; sehingga 300 nelayan dari 4 desa pada wilayah sekitar Tirumallivasal telah
kembali beraktivitas.

SARAN DAN KESIMPULAN


Terumbu karang pada kepulauan Andaman dan Nikobar yang telah rusak parah oleh gempa bumi dan
tsunami tahun 2004 kemungkinan besar akan pulih dalam jangka waktu 5 sampai 10 tahun. Dampak
jangka panjang yang mungkin terjadi meliputi kegiatan manusia seperti perikanan, pertanian, dan
kehutanan. Rusaknya terumbu serta hilangnya sejumlah pantai dapat mengakibatkan menurunnya
kegiatan wisata pada kepulauan tersebut, terutama penyelaman dan aktifitas pantai.

Gelombang-gelombang tsunami tahun 2004 menyebabkan sedikit kerusakan terhadap terumbu karang
pada India daratan, namun, terumbu ini tetap berada dibawah ancaman dari kegiatan manusia. Jika
proses ekstraksi sumber daya yang merusak serta penangkapan berlebih tidak diregulasi lebih baik, maka
terumbu ini akan terus mengalami degradasi. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan dan pemantauan
yang lebih baik. Terumbu-terumbu India yang terisolasi pada pulau-pulau terus diancam oleh perubahan
iklim dunia. Saran untuk pengelolaan yang berkelanjutan dan konservasi jangka panjang pada semua
terumbu yang terkena dampak dan semua industri terkait adalah:

Mendirikan sebuah jaringan regional dari wilayah-wilayah perlindungan laut agar memastikan
kesinambungan ekologis dan penegakan hukum yang benar;
Meningkatkan pengaturan dari sumber daya perikanan, yang kemungkinan dapat dilakukan melalui
perkenalan skema sertifikasi, memperbaiki legislasi dan patroli untuk menurunkan pemburuan tanpa
izin, dan menggalakan penegakan hukum yang telah ada untuk memastikan keberlanjutan perikanan;
Memperkenalkan program pemerintahan yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan keadaan
dan pentingnya terumbu karang dan sumber daya pesisir lainnya;
Meningkatkan pendanaan untuk mendukung pemantauan, pengelolaan, dan data terumbu karang
yang lebih baik; termasuk data ekologi dan sosio-ekonomi;
Mengembangkan hubungan kerja sama yang saling menguntungkan di antara setiap pihak yang
berkepentingan utama, instansi pemerintahan, dan LSM;
Lebih memusatkan perhatian pada perkembangan sumber pendapatan alternatif untuk mengurangi
tekanan pada lingkungan terumbu karang;
Melakukan penelitian tentang keadaan konservasi terkini terumbu karang dan fauna yang terkait;
Meningkatkan kegiatan legislatif dan penegakan hukum yang berhubungan dengan perburuan satwa
dan eksploitasi sumber daya laut; dan
Meningkatkan pendanaan kepada institusi kunci dan memastikan pengoperasian institusi tersebut
yang efektif dan transparan.

100
Dampak Tsunami Tahun 2004 pada Daratan Utama India serta Kepulauan Andaman dan Nikobar

PENINJAU
Kristian Teleki

UCAPAN TERIMA KASIH


Bab in mengandung informasi dari laporan yang diberikan oleh: SP Das, Z Islam, T Shumugaraj, dan
Pemerintahan India melalui Departemen Pengemabangan Laut, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
Terintegrasi, Chennai Indian Institute of Technology Kanpur, dan Suganthi Devadason Marine Research
Institute.

KONTAK PENULIS
Jerker Tamelander, IUCN Asia Regional Marine Programme CORDIO and GCRMN, jet@ iucnsl.org; JK
Patterson Edward, Suganthi Devadason Marine Research Institute, jkpatti@sancharnet.in; K Jayakumar,
AK Kumaraguru, N Marimuthu, dan J Jerald Wilson, Madurai Kamaraj University, kjkkumar@yahoo.com,
akkguru@eth.net, marinemari@hotmail.com, dan jjeraldwilson@hotmail.com; R Jeyabaskaran, National
Coral Reef Research Institute, jeybas@hotmail.com; Sarang Kulkanri, Reef Watch Marine Conservation,
sarang@reefwatchindia.org; Sri Lazarus, Institute for Environmental Research and Social Education,
lazarus_lasu@yahoo.com; Anita Mary, WWF-India, marineani@rediffmail.com; Arjan Rajasuriya, National
Aquatic Resources Research & Development Agency, arjan@nara.ac.lk; Robert D Sluka, Millennium Relief
and Development Services, bobsluka@mrds.org; K Venkataraman, National Biodiversity Authority,
nba_india@vsnl.net.

ACUAN
Kulkarni S (2005) Tsunami impact assessment of coral reefs in Andaman and Nicobar Islands: Interim
report. Reef Watch Marine Conservation, Mumbai, India, funded by CORDIO. Space Applications
Centre (ISRO) (2005) Assessment of damages to coastal ecosystems due to the recent tsunami:
summary report. Ministry of Environmental and Forests, Government of India, 36 pp.
Kumaraguru AK, Jayakumar K, Wilson JJ, Ramakritinan CM (2005) Impact of the tsunami of 26th December
2004 on the Coral reef environment of Gulf of Mannar and Palk Bay regions in the southeast coast of
India. Current Science, 89(10): 1729-1741.
Marimuthu N, Wilson JJ, Kumaraguru AK (2005) Teira batfish, Platax teira (Forsskal, 1775) in Pudhumadam
coastal waters, drifted due to the tsunami of 26 December 2004. Current Science, 89(8): 1310-
1312.
Patterson Edward JK(2005) Pre and post tsunami reef status in Gulf of Mannar. Suganthi Devadason
Marine Research Institute – Reef Research Team (SDMRI-RRT).
Wilson, JJ, Marimuthu N, Kumaraguru AK (2005) Sedimentation of silt in the coral reef environment of
Palk Bay. J.Mar.Biol.Ass.India, 47(1): 83-87.

101
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

102
8. KEADAAN TERUMBU KARANG DI SRI LANKA
SETELAH TSUNAMI

ARJAN RAJASURIYA, NISHAN PERERA, CHAMIN DA KARUNARATHNA, MALIK


FERNANDO, DAN JERKER TAMELANDER

RINGKASAN
Antara 31.000 sampai 37.000 orang meninggal dunia di Sri Lanka akibat tsunami; 100.000 rumah
hancur; 90.000 keluarga nelayan kini tanpa tempat tinggal setelah kehilangan rumah mereka; lebih
banyak warga yang terkena dampak di wilayah timur (35% dari Kilinochchi sampai 78% di Ampara
dan 80% di Mullaitivu) daripada di wilayah selatan (20% di Galle, Matara dan Hambantota);
Terjadi kerusakan yang cukup parah sampai elevasi 3 m, sepanjang 1.000 km dari wilayah timur laut
sampai wilayah barat daya pulau tersebut; terjadi gangguan cukup parah terhadap dunia pariwisata
dan perikanan: 60-80% dari armada dan peralatan hancur dan sejumlah besar pelabuhan perikanan
besar rusak;
Kerugian yang timbul akibat kerusakan diestimasi mencapai US$ 1milliar (4,5% dari PDB);
Kerusakan terhadap terumbu karang cukup bervariasi; dengan beberapa terumbu pada wilayah
timur dan timur laut rusak parah; sementara terumbu pada wilayah barat laut tidak rusak; karang
yang menghadap laut terbuka mengalami kerusakan yang lebih tinggi daripada yang terletak di
dalam laguna; terjadi erosi pantai yang parah namun berupa petak-petak, yang diperparah dengan
adanya penambangan karang yang ilegal dan meliputi wilayah yang luas; dan
Menghidupkan kembali sektor perikanan dan pariwisata adalah hal yang vital, namun, jika karang
diinginkan kembali pulih, harus ada penekanan khusus terhadap sumber penghidupan yang berhasil
secara ekonomi, diterima oleh masyarakat, dan berkelanjutan. Rehabilitasi terumbu harus memusatkan
perhatian terhadap penghilangan penyebab-penyebab stres yang ada, sehingga dapat menyediakan
kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan karang yang sehat.

PENDAHULUAN
Gelombang pertama tsunami menghantam pesisir timur Sri Lanka pada pukul 8:40 pagi, sekitar 100
menit setelah setelah gempa bumi pertama. Gelombang-gelombang tsunami secara progresif melengkung
dan mengitari pesisir selatan dan barat daya Sri Lanka. Rangkaian gelombang kedua menghantam pesisir
tersebut 20 menit kemudian. Ketinggian ombak berkisar antara 5 sampai 6,5 meter, sehingga air laut
dapat mengintrusi darat sampai puluhan dan ratusan meter, dan menyebabkan salinasi terjadi pada

103
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

sumur-sumur dan tanah pertanian. Pada kasus-kasus terburuk, air laut mencapai beberapa kilometer ke
daratan. Air tersebut biasanya surut dalam waktu 30 menit, dan membawa sejumlah besar puing-puing
dan sedimen. Dampak yang ditimbulkan tsunami bervariasi, bergantung pada energi gelombang, batimetri,
dan bentuk daratan. Terdapat kerusakan yang cukup parah pada daratan sampai pada ketinggian 3 meter
di atas permukaan laut di sepanjang 1.000 km pesisir dari wilayah timur laut sampai barat daya negara
tersebut.

Gelombang-gelombang tsunami telah menelan korban jiwa sebanyak 31.000 sampai 37.000 orang,
akibat tenggelam atau terhantam puing-puing. Diantara korban jiwa tersebut, terdapat 27.000 nelayan
dan keluarganya dari desa-desa pesisir. Tragisnya, wilayah yang paling parah terkena tsunami merupakan
wilayah timur, yang telah mengalami konflik sosial berabad-abad. Jumlah orang yang terkena dampak
pada wilayah pesisir timur berkisar dari 35% di Kilinochchi, sampai 78% di Amparai, dan 80% di Mullaitivu.
Kehilangan ini merupakan angka yang jauh lebih besar daripada di wilayah selatan di Galle, Matara, dan
Hambantota, dimana 20% dari populasi terkena.

Gelombang-gelombang tsunami telah menghancurkan infrastruktur: hampir 100.000 rumah dan antara
60% sampai 80% dari kapal-kapal perikanan Sri Lanka hancur. Jumlah kerugian yang ditimbulkan ditaksir
mencapai US$ 1 milliar (4,5% dari PDB), yang terjadi karena kerugian sektor pariwisata dan perikanan

104
Keadaan Terumbu Karang di Sri Lanka setelah Tsunami

akibat pendapatan dan produksi yang hilang. Kehilangan-kehilangan ini akan meningkatkan kerentanan
terhadap kemiskinan, khususnya diantara mereka yang memiliki pekerjaan non-formal.

KEADAAN TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI


Terdapat 680 km2 terumbu batuan dan batu kapur berupa terumbu tepi, gundukan, serta meja di Sri
Lanka, dengan sedikitnya 190 jenis karang keras. Terumbu paling luas terdapat di Teluk Mannar, namun
terumbu tepi telah berkembang pada pesisir berbatu, pulau lepas daratan dan formasi bebatuan di lepas
pantai di sepanjang pesisir timur dan pada sisi pantai berbatu yang terlindungi dari angin di wilayah barat
daya, yang juga terlindungi dari muson barat daya.

Kebanyakan terumbu karang di Sri Lanka telah dieksploitasi secara besar-besaran, dan terdegradasi oleh
eksploitasi yang tidak disertai peraturan dan juga oleh praktik perikanan yang merusak, khususnya
pengeboman, jaring dasar yang diperuntukkan lobster dan jaring bermata kecil; termasuk di dalam wilayah-
wilayah perlindungan laut, seperti di Taman Nasional Pulau Merpati, di dekat Trincomalee, dan Suaka
Laut Terumbu Bar serta Rumassala. Disamping itu, telah terjadi penambangan karang yang luas untuk
semen, seperti di Rekawa dan sejumlah lokasi lainnya di wilayah pesisir barat, selatan, dan timur. Degradasi
terumbu karang merupakan akibat dari ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumber daya alam
pesisir dan kegagalan dalam penegakan hukum yang berlaku, meskipun sudah ada daerah perlindungan
laut, dikarenakan kurangnya sumber daya manusia, institusional, serta biaya.

Pada tahun 1998, terumbu karang di Sri Lanka merupakan salah satu terumbu yang paling parah terkena
dampak pemutihan di Samudera Hindia, dengan kebanyakan terumbu di wilayah barat dan timur yang
mengalami kematian karang 90%.

Kerusakan karang yang parah akibat tsunami terlihat jelas di Kirankulam, Sri Lanka timur, dimana
kubah Porites berukuran besar terlempar ke daratan sampai sejauh 150 meter dari garis pantai (Foto
dari Arjan Rajasuriya).

105
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

PEMBERSIHAN TERUMBU PASCA-TSUNAMI DI SRI LANKA


Salah satu dampak dari tsunami yang paling nyata adalah jumlah puing-puing yang tercipta;
terdapat batang ranting pohon, bahan konstruksi, peralatan rumah tangga, tekstil, plastik, dan
peralatan nelayan yang terserak di pantai dan terumbu. Puing-puing ini merupakan ancaman
yang akan terus menimbulkan stres terhadap terumbu karang, sekaligus memperlambat proses
pemulihan industri pariwisata, yang membutuhkan upaya pembersihan agar dapat menarik
wisatawan. IUCN memulai pembersihan terumbu dan pantai di lokasi-lokasi penting di Sri
Lanka, dengan bantuan dana dari Italy Directorate General for Development Cooperation,
International Water Management Institute, Project Aware, dan dari Sustainable Ecosystems Institute.
Klub Sub-Aqua Sri Lanka memobilisasi pihak-pihak kunci sektor swasta dan para penyelam
relawan, termasuk dari Klub St. Thomas College sub-Aqua, Marine Conservation Society of Sri
Lanka, dan Sewalanka Foundation. Panduan pembersihan terumbu dari Coral Reef Alliance
diadaptasi untuk Sri Lanka, misalnya dengan memanfaatkan tempat pembuangan resmi yang
ditunjuk oleh Central Environmental Authority, dan hasil konsultasi dengan Coast Conservation
Department, Department of Wildlife Conservation, dan Marine Pollution Prevention Authority.
Poster-poster dan selebaran dengan tujuan peningkatan kesadaran dan penyebaran informasi,
bahwa dibutuhkan upaya pembersihan, dicetak dalam bahasa Inggris, Sinhala, dan Tamil
untuk menginformasikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat, pekerja medis, dan
wisatawan. Pekerja hotel dan operator penyelaman memberikan dukungan yang tak ternilai,
termasuk subsidi untuk penginapan dan makanan, peralatan selam dan kapal, seperti yang
disediakan oleh Diving The Snake di Sekolah Selam Internasional Nilaveli dan Hikkaduwa.
Daerah Hikkaduwa, Unuwatuna, dan Trincomalee-Nilaveli dibersihkan dari puing-puing dengan
10-50 sukarelawan yang ikut serta dalam setiap pembersihan. Upaya-upaya ini sangat disyukuri
oleh masyarakat, pengelola hotel, dan operator selam, yang merupakan pihak-pihak yang
secara langsung akan mendapatkan untung dari kegiatan tersebut. Kegiatan ini mendapatkan
perhatian dan pujian di dalam dan luar Sri Lanka dan merupakan gambaran bahwa intervensi
yang kecil dapat memusatkan perhatian masyarakat dan juga mendidik secara umum. Namun,
hasil ini juga menggambarkan bahwa kesadaran masyarakat yang rendah akan pentingnya
pembuangan sampah padat yang tepat guna menyusutkan pengaruh dan keberlanjutan dari
upaya pembersihan; dan menjadi prioritas yang utama bagi Sri Lanka (dari Jerker Tamelander
dan Marten Meynell).

Proses pemulihan kerusakan telah berjalan lambat dan tidak merata, seringkali dihadang oleh kompetisi
dengan makro-alga. Misalnya, di Unuwatuna yang terdapat di pesisir barat daya, pemutihan telah
menurunkan penutupan karang hidup dari 47% pada 1997 menjadi <1% pada 1998. Pada 7 tahun
sebelum terjadi tsunami, penutupan karang telah meningkat menjadi 16%. Pemulihan yang terjadi
setelah pemutihan, terjadi secara cepat di dua lokasi: Suaka Laut Terumbu Bar yang terletak di pesisir
barat laut, dimana penutupan karang meningkat dari 0% di 1998 menjadi 19% di 2003 dan 41% pada
2004. Pemulihan yang cepat ini sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan karang bercabang
Pocillopora damicornis dan karang meja Acropora cytherea, yang hingga kini mendominasi bagian
tertentu dari terumbu. Pemutihan di Kapparatota – Weligama menurunkan penutupan karang dari 92%
pada 1997 menjadi 28% pada 1999, tetapi pada tahun 2002 penutupan telah mencapai 54%, sebagian
besar karena pertumbuhan pesat dari karang bercabang Acropora; penutupan karang tetap pada angka
tersebut sampai tsunami merusak terumbu.

Di sisi lain, terumbu di sepanjang pesisir timur laut di dekat Trincomalee tidak mengalami pemutihan,
dan penutupan karang pada sejumlah besar lokasi berada diatas 50%. Sebelum tsunami, penutupan
karang telah mencapai 71% di Pulau Koral dan 74% pada Pulau Merpati yang letaknya berdekatan.
Komunitas karang pada wilayah ini didominasi oleh jenis Acropora bercabang atau meja atau Montipora
mendaun. Terumbu ini telah sangat terpengaruhi oleh aktifitas manusia, dan mengalami deplesi dari

106
Keadaan Terumbu Karang di Sri Lanka setelah Tsunami

sejumlah sumber daya alam terutama ikan, teripang, serta moluska jenis Turbinella pyrum, yang dipanen
secara besar-besaran dalam 5 tahun sebelumnya untuk ekspor. Terumbu di dekat Trincomalee mengalami
degradasi karena pencemaran limbah kota, dan Pulau Merpati, yang terkenal di antara para wisatawan,
menderita akibat penginjakan terumbu, pengumpulan cinderamata yang tak diatur, dan akumulasi dari
sampah padat. Pengeboman ikan juga merupakan hal yang umum, terutama di wilayah utara Teluk
Belanda sekitar 2-5 km di lepas pantai Uppuvaeli sampai bagian utara Nilaveli, termasuk di dalam Taman
Nasional Pulau Merpati, meski sudah terdapat pelarangan dibawah Fisheries Act dan Fauna and Flora
Protection Ordinance.

Akses ke terumbu karang pada pesisir timur Sri Lanka sulit dicapai sampai baru-baru ini, dikarenakan
konflik sosial yang terjadi antara pemerintahan dan LTTE (Liberation Tigers of Tamil Elam). Survei yang
dilakukan pada terumbu Passikudah pada saat terjadi gencatan senjata sementara, menunjukkan terjadi
sejumlah kematian karang akibat pemutihan pada 1998. Bagian timur Sri Lanka belum lama ini terbuka
untuk kegiatan pariwisata, dan akitifitas yang belum memiliki peraturan yang meluas secara cepat ini,
menjadi ancaman yang baru bagi terumbu.

KEADAAN TERUMBU KARANG PASCA-TSUNAMI


Dampak yang ditimbulkan tsunami terhadap terumbu karang di Sri Lanka cukup beragam di setiap
wilayah negara tersebut dan pada setiap lokasi terumbu. Terumbu karang di wilayah timur dan timur laut
rusak berat, sementara terumbu di wilayah pesisir barat laut tidak mengalami kerusakan. Secara umum,
karang yang menghadap ke laut terbuka mengalami kerusakan yang lebih tinggi daripada karang yang
terletak di dalam laguna. Profil batimetri dari dasar laut sekitar terumbu dan tingkat kerumitan struktur
menentukan arah gelombang tsunami pada air di daratan dan proporsi dari energi gelombang tsunami
yang teredam.

Pesisir Timur: Kerusakan yang paling parah terjadi pada karang rapuh yang terpapar di pesisir timur.
Kubah-kubah Porites berukuran besar terlempar sejauh 150 m ke daratan di Kirankulam di kecamatan
Batticoloa. Di Teluk Belanda, di dekat Trincimalee, gelombang-gelombang tsunami mencabut bongkahan
besar karang dan batu karang mati, yang menyebabkan kerusakan dan menurunkan penutupan karang
Tutupan karang (%)

Pulau Koral Teluk Belanda Pulau Merpati

Data yang berasal dari pesisir timur laut Sri Lanka ini menggambarkan keragaman tingkat kerusakan
akibat tsunami. Penutupan karang hidup telah meningkat di Pulau Koral dan Merpati, sementara terjadi
penurunan penutupan karang hidup sebesar 25% di Teluk Belanda akibat tsunami.

107
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

hidup dari 52% menjadi 38%. Kelompok-kelompok besar karang mendaun Montipora hancur secara
keseluruhan. Hampir semua karang lainnya mengalami abrasi yang parah, dan di beberapa wilayah
koloni karang hidup terpindahkan, sehingga memperlihatkan fondasi karang berupa batu pasir, seperti
yang terjadi di batas terumbu selatan. Sejumlah besar koloni terumbu Acropora tercabut dari dasarnya
dan mayoritas dari kelompok-kelompok yang berdiri tegak, patah dan ikut bergerak bersama massa air dan
puing yang terus tumbuh. Sejumlah besar karang masif terjatuhkan, termasuk beberapa koloni Porites
yang memiliki diameter lebih dari 2 m, sementara kebanyakan koloni berukuran kecil terpindahkan
dalam jarak yang jauh. Proporsi dari dasar laut yang tertutupi oleh patahan karang meningkat dari 20%
menjadi 40% dimana sejumlah besar koloni utuh terkubur di bawah patahan karang lainnya. Tanda-
tanda peristiwa pemutihan dulu masih terlihat pada koloni karang masif yang masih berdiri, terutama
marga Goniastrea, Porites, dan Favia, yang kemungkinan disebabkan oleh stres akibat sedimen dan
abrasi. Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa tanah, puing-puing, dan sampah tersapu kembali
ke laut oleh ombak. Namun, terdapat batang pohon dan tumbuhan lainnya yang tersapu ke terumbu yang
terletak di dekat pantai.

RENCANA STRATEGIS UNTUK REKONSTRUKSI SRI LANKA


YANG BERKELANJUTAN
Lebih dari 15.000 sumur tidak bisa digunakan lagi dan dihasilkan 500 juta kg puing di Sri
Lanka akibat tsunami Samudera Hindia. Pada beberapa wilayah, termasuk dalam beberapa
taman nasional yang penting, gelombang-gelombang tsunami telah memicu penyebaran
penjajahan jenis-jenis asing, seperti gulma yang tahan air asin dan jenis prickly pear. Ini merupakan
salah satu diantara beberapa temuan dalam laporan berisi dampak lingkungan akibat tsunami
yang ditulis oleh United Nations Environment Program (UNEP) dan Kementrian Lingkungan dan
Sumber Daya Alam Hidup Sri Lanka. Laporan ini memperkuat pendapat bahwa pada lokasi
yang terdapat hutan mangrove dan terumbu karang yang sehat, dampak yang ditimbulkan oleh
tsunami 2004 menurun secara signifikan. Klaus Toepfer, Direktur Eksekutif UNEP, menyebutkan:
“Tsunami yang terjadi di Samudera Hindia mengajarkan pada dunia beberapa pelajaran keras,
mengejutkan, namun sangat penting, yang terkadang kita abaikan dengan taruhan nyawa. Kita
telah mempelajari dengan detil-detil yang yang menyeramkan dan rinci bahwa ekosistem-
ekosistem, seperti terumbu karang, hutan mangrove, serta padang lamun, yang selama ini kita
hancurkan dengan mudah, bukanlah suatu kemewahan. Ekosistem tersebut merupakan penyelamat
nyawa yang mampu melindungi rumah kita, orang-orang yang kita cintai, dan kehidupan kita
dari tindakan alam yang agresif”. Segera setelah tsunami Samudera Hindia terjadi, UNEP
menugaskan sebuah gugus tugas, merespon permohonan darurat untuk bantuan teknis dari
negara-negara yang terkena dampak tsunami, termasuk Sri Lanka. Pendataan yang diperoleh
menunjukkan bahwa tsunami telah merusak parah lingkungan Sri Lanka, di semua daratan
yang dimasukinya. Tingkat kerusakan ini beragam, sejalan dengan melengkungnya gelombang
tsunami mengitari Sri Lanka, pertama-tama menghantam paling kuat di pesisir selatan dan barat
daya. Pelaksanaan survei di atas memusatkan perhatian kepada pengumpulan data yang rinci
pada setiap situs dan bekerjasama dengan universitas-universitas setempat. Pencatatan yang
detil mengenai kondisi fisik dan ekologis berhasil dibuat dari 800 situs yang berjarak 1 km satu
sama lainnya di sepanjang sebagian besar pesisir yang terkena dampak tsunami, yang
mendukung pembuatan sebuah Atlas Digital Kerusakan Tsunami di Sri Lanka. Pada tempat-
tempat dimana terumbu masih bertahan, meskipun setelah bertahun-tahun mengalami
penambangan karang, terumbu tersebut berperan sebagai penyangga melawan gelombang.
Di pantai, lapisan pertama mangrove rusak parah, namun mangrove yang terletak lebih dalam
tetap berdiri dan menyerap sepenuhnya kekuatan tsunami (dari Nick Nuttal, nick.nuttal@unep.org
dan Elisabeth Waechter, elisabeth.waechtar@unep.org, UNEP Nairobi).

108
Keadaan Terumbu Karang di Sri Lanka setelah Tsunami

Tutupan karang (%)

Pulau Koral Teluk Belanda Pulau Merpati

Hilangnya tutupan karang hidup akibat tsunami pada pesisir wilayah barat daya bertepatan dengan
peningkatan penutupan oleh patahan karang mati. Jika patahan-patahan karang ini tidak dikukuhkan, ia
akan menjadi hambatan bagi penempelan larvae karang yang baru.

Di Pulau Koral, Nilaveli, kerusakan yang ada terbatas pada wilayah kecil dimana bagian-bagian lereng
terumbu terabrasi oleh peningkatan patahan karang. Namun, tidak terlihat kerusakan pada wilayah
terumbu di lepas pantai Pulau Merpati yang letaknya berdekatan, yang terlindungi dari gelombang. Pada
wilayah yang terletak lebih selatan di Kalmunai, Kalkudah, dan Sallithivu di kecamatan Batticoloa,
kerusakan yang sedang sampai parah terjadi pada terumbu yang letaknya dekat pantai, dengan sejumlah
besar patahan karang tersebar kembali di Teluk Passikudah.

Pesisir Selatan dan Barat Daya: Karang mengalami kerusakan pada semua lokasi terumbu di Tangalle,
Kudawella, Kapparotota/Weligama, Polhena, Unawatuna, dan Hikkaduwa. Namun, kerusakan yang
ditimbulkan sangat tidak merata dan disebabkan karena terangkatnya koloni karang yang mati akibat
peristiwa pemutihan karang pada 1998, atau karena abrasi dan penyelimutan oleh patahan karang. Di
wilayah lainnya, koloni-koloni hidup yang bercabang dan besar (sampai 50 cm) terjungkirkan; sementara
yang lainnya terselimuti oleh sedimen laut yang tersuspensi kembali. Terumbu yang terdapat di Rumassala,
Teluk Galle tidak terpengaruh.

Di Kapparatota – Weligama, terjadi penurunan penutupan karang hidup dari 50% menjadi 32% setelah
tsunami menimpa, yang sebagian besar disebabkan oleh hancurnya kelompok-kelompok Acropora
bercabang oleh patahan karang yang berpindah, yang terbentuk setelah tahun 1998. Penutupan patahan
karang meningkat dari 14% menjadi 48% dan tumpukan-tumpukan yang terakumulasi menyelimuti
karang hidup dan padang lamun di beberapa area. Kebanyakan kerusakan pada terumbu Polhena yang
letaknya berdekatan disebabkan oleh abrasi dan penyelimutan oleh patahan karang yang terdistribusi
kembali.

Hikkudawa berhasil luput dari kerusakan yang parah, dengan penutupan karang hidup yang menurun
dari 15,5% menjadi 12%. Jumlah patahan karang hampir menjadi dua kali lipat, dari 17% menjadi 30%.
Sampah dan puing-puing, sebagian besar tekstil, batang dan ranting pohon, bagian-bagian kapal, serta
peralatan rumah tangga berlimpah, dan sebuah upaya pembersihan terumbu, yang dikoordinir oleh Klub
Sub-Aqua Sri Lanka dan berbagai organisasi lainnya berhasil membersihkan sebagian besar puing tersebut
dari Hikkaduwa dan Unawatuna.

109
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Di Unawatuna, gelombang tsunami memindahkan bagian-bagian besar dari karang mati dan patahan
karang, mengakibatkan kerusakan yang tinggi pada lereng terumbu. Lebih jauh ke selatan di Tangalle,
terdapat wilayah terumbu yang secara keseluruhan terselimuti oleh patahan karang. Di Kudawella, yang
terletak di sebelah barat Tangalle, terdapat beberapa karang hidup yang tidak rusak, namun sejumlah
besar patahan karang terdistribusi kembali.

Penambangan karang besar-besaran di Rekawa telah menggoyahkan struktur terumbu, sehingga gelombang
tsunami mengangkat sejumlah besar bongkahan karang yang mengakibatkan kerusakan yang cukup
parah pada karang yang masih bertahan, terutama sebuah gundukan Montipora acquituberculata yang
terletak dekat pantai. Terumbu di Tangalle, Ussangoda, dan Lunama pada wilayah tenggara juga mengalami
kerusakan oleh pergerakan pasir dan patahan karang yang menyelimuti sejumlah karang hidup.

Komunitas Ikan: Sebelum tsunami terjadi, populasi ikan telah terdeplesi oleh penangkapan yang berlebih
dan perusakkan habitat sebagai akibat pemutihan karang, penambangan karang, dan praktik-praktik
penangkapan yang buruk. Dampak yang ditimbulkan tsunami terhadap populasi ikan, beragam bergantung
lokasinya, dan secara umum berkorelasi dengan tingkat kerusakan pada habitat ikan. Dampak yang
paling besar diamati terjadi pada ikan-ikan kecil yang berasosiasi dengan karang, terutama ikan damsel
(Pomacentridae), ikan gobi (Gobiidae), ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), dan ikan maming (Labridae),
pada terumbu yang koloni-koloni karangnya mengalami kerusakan parah (seperti di Teluk Belanda). Di
Polhena, Weligana, dan Unawatuna, kelimpahan ikan, terutama ikan yang disukai para aquaris juga
mengalami penurunan. Hal ini berakibat kerugian bagi mereka yang bergerak di bidang perdagangan
biota hias.

Jenis-jenis ikan terumbu yang berukuran besar, seperti kerapu (Serranidae), ikan kakap (Lutjanidae), ikan
sweetlips (Haemulidae), dan ikan emperor (Lethrinidae), kurang terpengaruh. Kelimpahan ikan-ikan
tersebut di Hikkaduwa tidak terpengaruh oleh tsunami dan tetap relatif tinggi. Namun, terdapat
kekhawatiran yang meningkat akibat kegiatan nelayan pengebom yang kini beroperasi di sekitar wilayah
cagar laut.

Erosi Pantai: Terjadi erosi pantai yang parah namun tidak merata, di sepanjang pesisir timur dan barat
daya, yang terutama disebabkan oleh penambangan karang yang ilegal dan besar-besaran. Di tempat-
tempat dimana mangrove dan vegetasi pantai berada dalam keadaan utuh, energi dari tsunami teredam,
sehingga kerusakan yang timbul relatif lebih sedikit terhadap infrastruktur pesisir.

110
Keadaan Terumbu Karang di Sri Lanka setelah Tsunami

MEMBANGUN KEMBALI HARAPAN SETELAH DATANGNYA OMBAK


PEMBUNUH
Masyarakat Desa Wandruppa, sebuah desa kecil yang terletak di sepanjang pesisir selatan Sri
Lanka, mengkoordinir sebuah upacara sederhana dan menyentuh pada 28 April untuk
menghormati hasil kerja IUCN dalam memperbaiki kehidupan yang berkelanjutan setelah terjadi
tsunami. Upacara tersebut sekaligus menandai pemberian dana sebesar US$ 2.000 oleh IUCN,
kepada masing-masing 12 anak yatim piatu, untuk mendukung kebutuhan pendidikan jangka
panjang mereka. Juga dipersembahkan dalam acara tersebut, pemberian dana guna
meningkatkan kualitas hidup kepada sejumlah masyarakat, dan juga kamus, buku-buku pelajaran
tingkat lanjut, dan berkas-berkas model ujian kepada anak sekolah menengah atas. Dukungan
ini merupakan sebagian dari program rehabilitasi dan pemulihan yang diberikan oleh IUCN
setelah tsunami. Para masyarakat secara bangga menunjukkan kepada para pengunjung
bagaimana IUCN dengan rekan-rekan kerjasamanya, MJF Foundation dan Linea Aqua, telah
berhasil membantu mereka mendapatkan kembali kehidupan mereka; tepatnya 40 kapal dan
jaring nelayan telah dibagikan kepada masyarakat bersamaan dengan perbaikan yang diberikan
terhadap 81 rumah. Disamping itu, sebuah program pemulihan kebun rumah memastikan bahwa
hasil kebun dalam waktu dekat tersedia di pasar untuk masyarakat desa sebagai sumber
pendapatan alternatif, yang sumber pendapatan utamanya berasal dari penangkapan ikan.
Segala upaya restorasi dan pemulihan dijalankan mengikuti serangkaian survei-survei sosio-
ekonomi yang dilakukan melalui kerjasama yang erat dengan perwakilan pemerintahan propinsi.
Ibu Shiranee Yasaratne, Perwakilan Sri Lanka untuk IUCN, berjanji bahwa IUCN akan terus
mendukung masyarakat desa tersebut dalam membangun kembali kehidupan mereka dan memulai
lembaran baru dengan tekad yang bulat (dari www.iucnsl.org).

DAMPAK SOSIO-EKONOMI
Perikanan: Sektor perikanan megalami kerugian materi dan ekonomi yang paling besar akibat tsunami.
Sebanyak 27.000 nelayan beserta keluarga mereka meningggal; yang sebagian besar tinggal di sepanjang
pesisir utara dan timur. Disamping itu, sekitar 90.000 keluarga nelayan terpaksa pindah setelah kehilangan
rumah dan harta mereka. Antara 60-80% kapal nelayan di Sri Lanka telah rusak atau hancur, termasuk
594 kapal harian, 7.996 kapal bermesin dan sekitar 10.520 kapal tradisional tanpa mesin. Banyak dari
kapal-kapal ini masih terserak di sepanjang pesisir. Peralatan nelayan, seperti mesin lepas, fasilitas
penyimpanan dingin, alat, dan jaring juga telah hancur, dan mayoritas pelabuhan perikanan yang
berukuran besar dan infrastruktur yang terkait rusak atau hancur. Kerusakan total ditaksir mencapai US$
97 juta, belum termasuk kerusakan pada perumahan dan harta pribadi dari para korban.

Pariwisata: Kerusakan yang terjadi terhadap sektor pariwisata Sri Lanka ditaksir mencapai US$ 250
juta, dengan US$ 200 juta berupa kerusakan terhadap hotel dan US$ 50 terhadap aset-aset yang terkait
pariwisata. Sektor pariwisata menghasilkan lebih dari US$ 350 juta dalam pendapatan kurs asing, sebanyak
2% dari PDB nasional, mempekerjakan sebanyak 50.000 orang secara langsung dan sebanyak 65.000
orang secara tidak langsung. Saat ini, sekitar 26% dari 18.000 kamar dari hotel-hotel berskala sedang
sampai tinggi dan wisma tamu kecil tidak dapat digunakan.

Meskipun dampak tsunami tidak diperkirakan mempengaruhi sektor pariwisata sampai tahun 2006,
namun waktu tsunami terjadi merupakan saat yang merugikan bagi industri tersebut, yang pada saat itu
sedang berkembang menyusul gencatan senjata dan negosiasi perdamaian dengan LTTE tahun 2002.
Jumlah wisatawan mencapai angka rekor 565.000 pada tahun 2004, dan diperkirakan bakal mencapai
600.000 pada tahun 2005. Angka ini direvisi menjadi 425.000, dan kerugian yang ditaksir bakal terjadi
akibat tsunami pada tahun 2005 dan 2006 mencapai US$ 131 juta.

111
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

UPAYA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Pesisir timur merupakan wilayah yang mengalami kerusakan paling parah akibat tsunami, dan
membutuhkan lebih dari 40% dana rehabilitasi nasional untuk membantu keluarga-keluarga, kehidupan
masyarakat, dan industri. Kecamatan Galle di pesisir selatan juga mengalami kerusakan yang parah dan
membutuhkan sekitar 30% dari alokasi dana. Diperkirakan propinsi-propinsi di wilayah utara membutuhkan
sekitar 20% dari dana bantuan.

Sebuah upaya nasional yang terkoordinasi akan dibutuhkan untuk membangun kembali sektor perikanan,
dengan tugas-tugas pertama berupa pembangunan kembali dan renovasi infrastruktur esensial. Keluarga
nelayan yang sangat terpengaruh tsunami membutuhkan bantuan untuk memastikan tergantinya segala
kehilangan. Sebuah pendataan yang dilakukan oleh Asian Development Bank, Japanese Bank for
International Cooperation, dan World Bank menyarankan para nelayan dan keluarga mereka sebaiknya
diberikan pinjaman mikro-kredit melalui dana bergulir yang berbasis masyarakat. Diperkirakan sebanyak
US$ 118 juta akan dibutuhkan untuk merehabilitasi sektor perikanan.

USAID telah memberikan kontribusi sebesar US$ 33 juta kepada proyek-proyek infrastruktur termasuk
konstruksi sebuah jembatan sepanjang 700 m, sekolah-sekolah kejuruan, dan 3 pelabuhan perikanan.
Australia memberikan US$ 16 juta, termasuk US$ 550.000 melalui UNDP untuk rehabilitasi sektor
perikanan dengan pembelian truk-truk pendingin dan konstruksi pabrik es. Sumbangan ini juga
diperuntukkan membantu para nelayan dalam mendirikan kembali kehidupan mereka dengan memfasilitasi
pembelian kapal fiberglass, jaring, peralatan penangkapan, dan pelatihan. Perempuan juga akan diberikan
bantuan agar dapat kembali beraktifitas seperti di pengeringan dan pemasaran ikan.

Scuba POP, sebuah kelompok instruktur selam PADI Amerika membantu pengumpul ikan Sri Lanka di
Polhena, Sri Lanka selatan dengan melatih 25 pengumpul ikan hias untuk menjadi ahli selam. Tujuan
yang ingin diperoleh adalah memberikan pendapatan alternatif kepada para mantan pengumpul ikan
tersebut. Penyelam relawan dari Perancis membersihkan puing-puing dari terumbu Kalmunai yang terletak
di pesisir timur agar dapat memfasilitasi kegiatan nelayan dan bekerjasama dengan pengumpul ikan hias
setempat untuk memperluas wilayah pembersihan sampai Trincmalee pada tahun 2006.

SARAN DAN KESIMPULAN


Saran penting berikut ini dapat memperbaiki kelestarian terumbu karang dan kemungkinan pemulihannya:

Rehabilitasi karang yang rusak sebaiknya ditekankan, untuk mengurangi beberapa faktor perusak
yang telah ada agar tercipta kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan ekosistem pesisir yang sehat;
Restorasi terumbu secara langsung belum bisa dijalankan (pada tingkat kerusakan akibat tsunami)
dengan menggunakan metode dan teknologi saat ini, sehingga sangatlah penting untuk mengurangi
faktor pengganggu akibat kegiatan manusia, agar pemulihan alami melalui pertumbuhan dan
reproduksi organisme karang yang berhasil selamat dapat dipercepat;
Pemulihan dapat ditingkatkan dengan cara:
Pencegahan kerusakan lebih lanjut yang disebabkan oleh pemanfaatan sumber daya secara
illegal, terutama penggunaan bom ikan dan penambangan karang, yang sangat umum terjadi di
Sri Lanka. Meskipun sanksi dalam Fisheries Act untuk pengemboman ikan telah diperberat,
namun peraturan tersebut tidak diberlakukan dengan tegas. Keinginan politik yang kuat dapat
membantu menegakkan peraturan perikanan dan pengelolaan kawasan terlindung seperti
Terumbu Bar dan Suaka Laut Rumassala serta Taman Nasional Pulau Merpati dan Hikkaduwa.

112
Keadaan Terumbu Karang di Sri Lanka setelah Tsunami

Keterbatasan sumber daya, tenaga, dan peralatan untuk pengelolaan kawasan lindung perikanan
dan laut, serta penegakan dan pemberian hukuman terhadap para pelanggar hukum harus
dilaksanakan.
Meminimalkan kerusakan akibat aktivitas daratan yang menyebakan sedimentasi, limpasan
nutrien, dan bahan pencemar terutama selama tahap rekontruksi intensif; melakukan aktivitas
pembersihan untuk menghilangkan limbah padat di sepanjang pantai dan mencegah tersapu
kembalinya puing-puing ke arah terumbu karang. Dukungan terhadap upaya pembersihan oleh
para organisasi pelestarian, LSM, dan industri penyelaman harus diupayakan oleh Departemen
Pelestarian Pesisir dan departemen pemerintah lainnya;
Pengelolaan jumlah turis ke dalam kawasan pesisir timur Sri Lanka yang baru dibuka;
Melaksanakan pemantauan secara teratur, dan mengkaji efektivitas pengelolaan yang ada untuk
menentukan kecenderungan kesehatan terumbu karang jangka panjang agar dapat memperbaiki
pengelolaan aspek sosial dan ekologis; dan
Melibatkan seluruh departemen pemerintah yang terkait dan para pemangku kepentingan serta
memperkuat dan meningkatkan efisiensi pengelolaan pesisir yang ada.
Di saat kebergantungan kebutuhan masyarakat pada sumber daya perikanan harus terpenuhi,
pendekatan yang seksama terhadap rekonstruksi perikanan lepas pantai harus diadaptasi untuk
mencegah kembalinya sistem perikanan modal besar dan melebihi daya dukung alam seperti sebelum
tsunami. Hal ini membutuhkan pendataan potensi perikanan lepas pantai dan laut lepas yang
menekankan pada pembangunan terhadap kehidupan masyarakat pesisir yang dapat berhasil secara
ekonomis, diterima secara sosial, dan berkelanjutan.

PENINJAU
Sian Owen, Joanna Ruxton, Bernard Salvat, Kristian Teleki, dan Dan Wilhelmsson.

KONTAK PENULIS
Arjan Rajasuriya dan Chamida Karunarathna, National Aquatic Resources Research & Development
Agency (NARA), arjan@nara.ac.lk dan chaminda@nara.ac.lk; Nishan Perera, IUCN Sri Lanka Country
Office, enp@iucnsl.org; Malik Fernando, Klub Sub Aqua Sri Lanka, Colombo 7, malikfern@eureka.lk;
Jerker Tamelander, IUCN Asia Regional Programme, jet@iucnsl.org.

ACUAN
Sebagian besar bab ini disusun dari berbagai laporan yang diberikan oleh UNEP, CORDIO, ADB/JBIC/
World Bank, AusAID, NARA/CORDIO/IUCN/GCRMN/SLSC, dan Bambaradeniya et al. pada tahun
2005 serta dari tulisan oleh Rajasuriya et al., 2004; Rajasuriya, 2005; Rajasuriya et al., 2005 in Wlikinson
(2004) dan Souter dan Linden (2005) pada halaman 143.
Asian Development Bank, Japan Bank for International Cooperation, and the World Bank (2005) Sri
Lanka 2005 post-tsunami recovery program: preliminary damage and needs assessment. Colombo
Sri Lanka, January 10-28, 2005, (www.adb.org/Tsunami/srilanka-assessment.asp).
AusAID (2005) Australia’s response to the Indian Ocean tsunami: report for the period ending 30 June
2005, Australian
Government, (www.developmentgateway.com.au/jahia/Jahia/pid/2626).

113
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Bambaradeniya C, Sengupta S, Perera A, Tamelander J, et al. (2005) Rapid environmental and socio-
economic assessment of tsunami-damage in terrestrial and marine coastal ecosystems of Ampara
and Batticaloa districts of Eastern Sri Lanka. IUCN – The World Conservation Union, (www. Iucn.org/
tsunami/resources/iucn-reports.htm).
IUCN (2005) Coral reef areas in southwestern Sri Lanka: status after the tsunami and recommendations
on management action, (www.iucn.org/tsuanmi/resources/iucnreports.htm).
NARA, CORDIO, IUCN, GCRMN and SLSAC (2005) Rapid assessment of tsunami damage to coral reefs
in Sri Lanka: interim report No. 1, 20 January 2005, (www.nara.ac.lk/RAP).
UNEP (2005) After the tsunami: rapid environmental assessment, United Nations Environment Programme,
Kenya, (www.unep.org/tsunami/tsunami_rpt.asp).
USAID (2005) Asia and the east tsunami reconstruction, (www.usaid.gov/locations/asia_near_east/).

114
9. STATUS TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN DAN
ATOL MALADEWA PASCA-TSUNAMI

HUSSEIN ZAHIR, WILLIAM ALLISON, GEOFF DEWS, JOHN GUNN, ARJAN


RAJASURIYA, JEAN LUC SOLANDT, HUGH SWEATMAN, JERKER TAMELANDER,
ANGUS THOMPSON, DAN MARY WAKEFORD

RINGKASAN
Bencana tsunami telah meninggalkan kerusakan nyata pada masyarakat Maladewa (yang semuanya
merupakan masyarakat pesisir), 82 orang meninggal dan 26 orang hilang;
Seluruh pulau-pulaunya berada tidak lebih dari 3 meter di atas permukaan air, sehingga 69 dari 199
pulau berpenghuninya rusak; kurang lebih sepertiga dari 300.000 penduduknya kehilangan tempat
tinggal, pekerjaan, ataupun infrastruktur lokal lainnya; banjir menyebabkan matinya listrik, gangguan
pasokan air bersih, kerusakan di beberapa pelabuhan dan jetty, erosi daerah pesisir, dan penetrasi air
laut ke dalam tanah atol; banyak sistem pembuangan yang rusak sehingga menyebabkan
terkontaminasinya pasokan air tanah;
Tsunami menyebabkan hancurnya industri pariwisata (merupakan sektor ekonomi terbesar); tingkat
hunian menurun drastis hingga 40%, tetapi dapat kembali ke angka 75% dalam waktu 1 tahun;
Tsunami merusak atau menghancurkan: 170 armada laut, 374 pabrik kecil pengolahan ikan, jetty,
dinding dermaga (wharf walls), dinding pemecah ombak di pelabuhan (harbour sea walls), jembatan
penghubung selat (causeways), dan memindahkan 375.000 meter kubik pasir ke cekungan galian.
Namun, sektor perikanan telah pulih sebagai akibat dari meningkatnya pendaratan tuna;
Kerugian ekonomi diperkirakan US$ 480 – 1.000 juta termasuk rusaknya infrastruktur, armada
perikanan, rumah tangga dan hilangnya pendapatan dari pariwisata, perikanan, dan pertanian;
Terdapat kerusakan langsung yang kecil terhadap terumbu karang, namun peristiwa memutihnya
karang pada tahun 1998 bahkan menyebabkan kerusakan yang lebih parah; terumbu mengalami
kerusakan dari jatuhnya puing-puing bangunan dan sumber-sumber lain, serta sedimen yang terbawa
ke dalam laut menghancurkan dan menghalangi kemunculan karang muda yang baru; dan
Terumbu karang penting bagi Maladewa sebagai penghalang erosi, sumber pasir dan batu, dan
penarik utama dalam industri pariwisata; tsunami telah memperlambat pemulihan kerusakan
sebelumnya yang disebabkan oleh pemutihan, penambangan dan pengerukan karang yang diperparah
oleh praktik pengembangan daerah pesisir yang tidak sesuai;
Ancaman terbesar bagi pemulihan karang adalah pengambilan pasir dan batu secara ilegal dari
rataan terumbu dan laguna untuk membangun perumahan dan perbaikan jalan.

115
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

116
Status Terumbu Karang di Kepulauan dan Atol Maladewa Pasca-Tsunami

Malé, ibu kota Maladewa, adalah salah satu pulau terpadat di dunia dengan lebih dari 80.000 orang
tinggal dalam 2 kilometer persegi. Tsunami menggenangi beberapa bagian dari pulau dan merusak
dinding laut penahan gelombang (sea wall), bangunan, dan kendaraan yang parkir di jalan (Foto dari
Hussein Zahir).

PENDAHULUAN
Kira-kira 3 jam setelah gempa bumi 26 Desember 2004, dilaporkan gelombang setinggi 1 – 3 meter
menyapu Maladewa. Tsunami menyebabkan naiknya air secara cepat melewati terumbu-terumbu dan
kepulauan, bukan merupakan gelombang besar seperti yang terjadi di Thailand dan Sumatera. Genangan
pertama adalah yang terbesar, berlangsung selama sekitar 20 menit sebelum akhirnya diikuti penyurutan
air dalam jumlah besar. Kekuatan gelombang dan banjir menyebabkan kerusakan pada pulau berpenghuni
ini, 80% dari 25 atol di Maladewa terletak hanya 1 meter di atas permukaan laut. Kurang lebih 69 dari
199 pulau berpenghuni mengalami kerusakan di sana-sini, sementara hampir sepertiga dari 300.000
penduduk kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, atau infrastruktur lokal lainnya. Kerugian total
diperkirakan berkisar antara US$ 480 – 1.000 juta; nilai perkiraan berdasarkan catatan kerusakan pada
infrastruktur, armada perikanan, harta pribadi, pariwisata, dan sedikit kerugian pada pertanian yang
berarti besar bagi produksi lokal. Lebih dari 50% pendapatan kotor Maladewa berasal dari industri pariwisata
terumbu karang dan kepulauan, dan 12% berasal dari perikanan karang. Terdapat keprihatinan bahwa
tsunami semakin memperparah kondisi terumbu karang yang telah menurun akibat adanya fenomena
pemutihan karang di tahun 1998.

Tsunami telah menghancurkan masyarakat Maladewa yang keseluruhannya merupakan masyarakat


pesisir. Banjir telah menyebabkan padamnya listrik, gangguan pasokan air bersih, kerusakan pada pelabuhan
dan dermaga, erosi daerah pesisir, dan penetrasi air laut ke dalam tanah yang menyebabkan hancurnya
pertanian. Gelombang tsunami juga menyebabkan rusaknya sistem pembuangan yang mengarah pada
kontaminasi cadangan air tanah, pasir dan laut di sekeliling kepulauan. Terumbu karang menjadi rusak
akibat terkena hantaman puing infrastruktur yang tersapu ke laut. Kebanyakan masalah-masalah ini
telah ada sebelum tsunami. Namun tsunami telah memaksakan adanya kebutuhan untuk menyelesaikan
masalah yang berkenaan dengan pemanfaatan terumbu karang secara tak berkelanjutan dan lemahnya
pengelolaan daerah pesisir. Tsunami juga menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan adanya sistem
peringatan dini yang efektif dan rencana penanggulangan bencana yang proaktif.

117
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Pariwisata sangat bergantung pada kesehatan terumbu karang, sehingga beberapa hotel telah membantu
pemerintah dalam membangun dan mengelola daerah perlindungan laut (MPA) untuk konservasi terumbu
karang. Sejumlah besar usaha perikanan beroperasi di daerah terumbu karang: ikan segar seperti tuna
ditangkap di laguna terumbu karang sedangkan ikan karang diambil untuk dikonsumsi turis dan diekspor,
terutama kerapu untuk perdagangan ikan segar. Selain itu, teripang, hiu (bagian siripnya), dan ikan hias
diambil untuk diekspor. Kegiatan-kegiatan ini memberikan dampak nyata dimana jumlah kerapu dan hiu
semakin berkurang, yang berpotensi menyebabkan menurunnya kesehatan terumbu karang dalam jangka
waktu yang lama. Walaupun keragaman hayati belum pernah diteliti secara rinci, tercatat lebih dari 250
jenis karang keras dan lebih dari 1.200 jenis biota telah ditemukan, membuat Maladewa termasuk ke
dalam salah satu daerah laut terkaya di kawasannya.

STATUS TERUMBU KARANG SEBELUM TSUNAMI


Republik Maladewa terdiri dari 1.190 pulau yang berada dalam 25 atol yang tersebar sepanjang 900
kilometer di tengah Samudera Hindia. Sebagian besar pulau dikitari oleh terumbu karang yang kondisinya
baik sampai sangat baik sebelum tahun 1998, dimana fenomena perubahan iklim akibat El Niño berdampak
pada memutihnya karang dan kematian pada sekitar 90% karang di sebagian besar terumbu Maladewa,
menyisakan hanya 2% tutupan karang hidup. Sisi utara dan tengah adalah daerah yang paling parah
mengalami kerusakan dan pemulihan berjalan dengan lambat dan bervariasi. Pemutihan tidak terlalu
merusak karang di sepanjang atol selatan, menyisakan sekitar 40-55% tutupan karang hidup.

Terdapat sedikit perkiraan tentang prosentase tutupan karang sebelum tahun 1998. Satu studi mengatakan
37% tutupan di 3 lokasi dan 47% di 7 lokasi, sehingga diperkirakan prosentase tutupan karang di sisi
selatan, tengah, dan utara atol adalah 25 sampai 50% (dengan kisaran antara 5 – 10%) sebelum terjadi
gangguan.

Terumbu Gann
Petak/Gundukan Terumbu Vaavu
Tutupan karang (%)

Pemulihan terumbu karang, sejak fenomena pemutihan karang tahun 1998, yang lambat dan bervariasi
(Sumber: Husein Zahir 2004).

118
Status Terumbu Karang di Kepulauan dan Atol Maladewa Pasca-Tsunami

Fenomena pemutihan tahun 1998 telah menggeser keseimbangan terumbu, dimana karang masif yang
tumbuh lambat menjadi berlebih dibandingkan dengan karang bercabang atau berbentuk piringan yang
dapat tumbuh dengan cepat (merupakan pilihan industri pariwisata). Di tahun 2002, terdapat sejumlah
kemunculan karang muda yang baru dari marga Acropora dan Pocillopora yang memberi harapan akan
adanya pemulihan struktur komunitas karang seperti sebelumnya. Karang-karang ini sangat terkenal di
Malé Utara dan Atol Ari sebelum terjadi tsunami.

Banyak karang meja besar Acropora yang tadinya tampak mati, mulai menunjukkan regenerasi jaringan;
proses pemulihan terbantu dengan rendahnya tingkat penangkapan ikan. Ikan pemakan rumput laut
melimpah dan menghabiskan rumput laut serta memfasilitasi penempatan larva karang baru. Sebaliknya di
Malé Utara dan Atol Ari kehilangan karang masif yang lambat tumbuh yang dapat mengurangi kapasitas
pertumbuhan terumbu dan menambah batuan baru di masa depan. Sebagai tambahan, fenomena pemutihan
karang skala kecil di tahun 2003 dan badai besar pada Mei 2004 semakin memperlambat proses pemulihan.
Terdapat perkiraan yang menyatakan bahwa kondisi terumbu akan berbeda di masa datang dengan adanya
jenis yang lambat tumbuh (seperti Agaricidae dan Favidae) yang terus mendominasi karang bercabang
Acropora dan Pocillopora. Namun, terdapat indikasi kuat adanya kemunculan karang baru dari jenis-jenis
karang yang cepat tumbuh, sehingga struktur terumbu di masa depan adalah tidak pasti.

SELAMATKAN ANAK-ANAK – KESAKSIAN KORBAN


“Gempa bumi ringan mengguncang kamarku di pagi tanggal 26 Desember, tetapi kata ‘tsunami’
tak pernah terlintas dalam benakku. Hari itu adalah hari yang sempurna di Maladewa, cerah
dan hangat. Suasana resor sepi sehabis Natal, sampai terdengar suara gemuruh air dan teriakan
pada jam 11 pagi: “Selamatkan anak-anak! Selamatkan anak-anak”. Air laut masuk melalui
kolong pintu, soket listrik meledak dan memercik kemana-mana, dan aku membanting pintu
untuk melarikan diri. Sungguh mengherankan, laut yang biasanya hijau terang kini coklat kotor,
para staf dan tamu ketakutan, tak tahu apa yang harus dilakukan, saat gelombang menyapu
pulau. Air naik dari setinggi pergelangan kaki ke pinggang dalam hitungan detik. Gelombang
besar pertama menghantamku ke dinding dan melontarkan ponsel serta barang-barang miliku
lainnya. Aku berhenti bernafas, menyadari bahwa tak ada tempat atau bangunan tinggi untuk
melarikan diri. Ini adalah pulau terpencil, 1 meter di atas permukaan laut, dengan perairan
dalam di sekelilingnya. Aku berjuang ke tempat penerima tamu, memanjat meja, komputer, dan
puing-puing lainnya lalu bergabung dengan para staf yang berteriak “Allah! Allah!” saat mereka
bergantungan dengan putus asa di tiang-tiang yang ada. Detik berikutnya, tsunami dengan
kekuatan penuh menghantam, menghancurkan kaca dan merubuhkan dinding. Aku tak sadarkan
diri saat air semakin naik, dan saat aku sadar, air sudah pergi. Lalu aku melihat gelombang
yang lebih besar dan lebih cepat datang, aku berteriak supaya orang-orang berpegangan.
Gelombang ini melesat cepat melintasi pulau dengan membawa puing, kursi, TV, dan diikuti
dengan 2 gelombang berikutnya. Lalu hening. Aku berteriak ke arah para tamu, “Jauhi pantai,
gelombang akan balik lagi, jangan bergerak”.

Air lalu surut dan meninggalkan bongkahan besar karang di pulau serta ikan-ikan karang di
pasir. Para tamu yang cidera bermunculan dengan luka dan memar. Kami menghabiskan siang
itu untuk membantu mereka; namun pada jam 12:45 beredar kabar bahwa gelombang setinggi
50 m akan datang dalam waktu 15 menit. Aku menghadapi situasi sulit untuk memberitahu para
tamu agar bersiap akan adanya gelombang baru. Syukurlah, gelombang yang datang tidak
sampai 50 m tingginya, tetapi kami tetap siaga dengan memanjat pohon. Tiga hari berikutnya
kami lalui dengan: mendatangi para korban cidera, menunggu pertolongan, patroli di pulau,
berjaga-jaga dari penjarah, mengawasi kemungkinan gelombang susulan, dan menenangkan
para staf yang panik dan jiwanya terganggu. Sempat terpikir juga tentang barang-barang yang
hilang walaupun aku sedang dehidrasi dan kelaparan. Saat aku kembali ke Amerika, beratku
turun 12 kg tetapi lebih bijak dalam menyikapi kekuatan samudera dan dielu-elukan karena
masih hidup” (Dari Dave Lowe, theloweroad@gmail.com).

119
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

STATUS TERUMBU KARANG PASCA TSUNAMI


Tim lintas-disiplin dari Australia bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kelautan Maladewa mensurvei
124 situs terumbu di 7 atol sepanjang 177 km di awal tahun 2005. Tujuan utamanya adalah untuk
mendokumentasikan:

Sifat dan tingkat yang berhubungan dengan dampak tsunami terhadap terumbu karang,
Perubahan terhadap geomorfologi pulau, dan
Dampak tsunami terhadap sumber daya yang berhubungan dengan perikanan.

Tsunami hanya memberikan kerusakan kecil terhadap sumber daya terumbu karang di Maladewa.
Kerusakan yang ada adalah tambahan dari kerusakan besar yang diderita sejak fenomena pemutihan
karang tahun 1998. Sayangnya, hanya tersedia sedikit data untuk dibandingkan antara status terumbu
karang pra-1998 dengan kerusakan akibat tsunami. Kurangnya penilaian dan pemantauan berkala
sangatlah tidak menguntungkan mengingat bahwa kegiatan utama ekonomi di Maladewa bergantung
pada terumbu karang.

ATOL BAA – KESAKSIAN


“Gempa bumi membangunkanku di Atol Baa, tetapi itu tidaklah lebih dari sekedar getaran.
Kemudian aku mengetahui bahwa terjadi juga di Malé atau Kolombo – gosip tak jelas. Awalnya
aku agak khawatir kalau Malé akan terkena hempasan, tetapi aku diyakinkan bahwa itu tak
terjadi sehingga aku bersiap-siap untuk bekerja. Aku baru saja mendekati air untuk mengamati,
saat kemudian gelombang datang. Pasang yang sangat tinggi, begitulah yang terpikir, sampai
kemudian aku melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa ketinggian air laut di pantai melebihi
di darat – tidak banyak, tetapi tidak perlu dipikirkan lebih jauh untuk menyadari bahwa sesuatu
yang buruk terjadi. Aku bergegas kembali ke kamarku dan mengambil peralatanku untuk mengejar
berita; lalu aku keluar untuk mensurvei tempat kejadian dengan kamera (dan masker, fin, snorkel,
dan air bila diperlukan). Gelombang terbesar datang dari seberang rataan terumbu dengan
tinggi maksimal 2 m, membuatnya semeter lebih tinggi dari permukaan pantai, dan kemudian
pecah sekitar 15 m sebelum pantai menjadi setinggi lutut. Di tempat-tempat dimana aliran
terhalang dan tak dapat keluar, seperti ruangan dengan pintu masuk terbuka dan pintu keluarnya
tertutup, air mencapai ketinggian satu meter atau lebih – sampai akhirnya memecahkan kaca
jendela. Air mengambil jalur yang paling kecil resistensinya, sehingga mengalir sepanjang jalur
dan jalan, yang umumnya lebih rendah dari tumbuhan lebat di sekitarnya. Di Pulau Goidhoo,
jalanan dari timur ke barat terpotong dan pada saat terjadinya, jalur berbatu (cobble berm) di
ujung timur terangkat. Air mengalir seperti sungai di jalanan itu. Mungkin jalan dapat berfungi
sebagai katup pengaman bila jalur batuannya masih ada, yang merupakan selokan alami,
kurasa tidak akan banyak air yang masuk ke dalam pulau. Di banyak pulau, persediaan air
tawar tercemar oleh air laut. Konsekuensinya bervariasi, tergantung seberapa jauh tumbuhan
tahan terhadap garam, seberapa banyak air laut dapat masuk, dan seberapa banyak persediaan
air yang telah dipompa secara berlebihan” (Dari: William Allison, beliamall@dhivehinet.net.mv).

Atol Raa dan Baa: Dampak tsunami tidak terlalu besar di atol-atol ini, walaupun 45% dari lokasi yang
disurvei terdapat karang rusak. Karang bergelimpangan di sepanjang 22% dari transek dan 17% mempunyai
cabang yang hancur. Tertutupnya karang oleh sedimen adalah stress yang umum, dengan 52% transek
menunjukkan sedimen berdebu ringan yang akan menghambat munculnya karang muda di masa depan.
Tak terdapat kerusakan di terumbu Vaffushi dan Badaveri.

Atol Malé Selatan: Bongkahan Porites yang terlepas dan mati sebagian, diamati di terumbu Finolhu
Fahlu di sisi timur atol. Terdapat variasi jumlah pecahan karang dan pasir di lereng terumbu Guradihoo,

120
Status Terumbu Karang di Kepulauan dan Atol Maladewa Pasca-Tsunami

Gulhee, dan Embudhoo. Di sisi timur atol, terdapat kerusakan di Guraidhoo dan thilla (bommie, terumbu
besar yang letaknya terisolasi) Kandooma, termasuk hilangnya gorgonia (Sumber: Survei Marine
Conservation Society).

Atol Vaavu dan Vattaru: Cadangan besar pasir dan pecahan karang telah diamati sepanjang timur yang
menghadap terusan dekat terumbu Foththeyo, Keyodhoo, dan Devana Kandu. Tidak terdapat bukti
adanya kerusakan akibat tsunami di bagian barat yang menghadap Mas Araa Falhu; namun, terdapat
sejumlah besar sedimen dan pecahan di lereng terusan sampai ke selatan. Tsunami hanya memberikan
dampak kecil bagi pemulihan karang setelah fenomena pemutihan tahun 1998. Namun, cadangan
sedimen menyebabkan kematian karang yang nyata di salah satu situs di Atol Vattaru. Sisi timur situs
penyelaman terusan Fotteyo rusak parah, dengan keseluruhan thilla berubah menjadi bukit pecahan
(Sumber: Survei Marine Conservation Society).

Atol Meemu: Daun-daun palem dan cabang-cabang pohon terlihat di sebagian besar terumbu karang,
walaupun kebanyakan kerusakan akibat tsunami adalah hasil dari penumpukkan pecahan karang dan
pasir. Tak terlihat adanya kerusakan di terumbu Kurali Kandu, Kolhuvaariyaafushi, atau Thuvaru.

Atol Thaa dan Laamu: Penduduk desa di daerah atol ini melaporkan bahwa kerusakan akibat tsunami
lebih banyak terjadi di darat, namun demikian terdapat petakan kerusakan kecil pada terumbu karang di
sekitar yang serupa dengan kerusakan akibat badai. Terumbu berenergi tinggi di tepi terluar atol mengalami
kerusakan yang terbatas (<1% karang yang hancur); kerusakan terbesar terdapat di terusan dengan
sekitar 8% karang hancur, beberapa timbunan pasir, dan pecahan karang yang berserakan. Umumnya, di
terusan dan laguna mengandung sedikit karang sehat yang lebih sensitif terhadap gangguan lingkungan.

Terdapat pemulihan karang yang lambat di Atol Vaavu setelah persentase tutupan karang menurun
sekitar 55 – 60% di tahun 1997 (Sumber: Hussein Zahir).

121
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

MENYELAM SAAT TSUNAMI


“Pagi tanggal 26 Desember cerah dan hangat seperti biasanya di Pulau Fru di Maladewa. Saat
sarapan, seorang teman bertanya apakah kami merasakan gempa bumi beberapa jam
sebelumnya. Kami tidur saat itu terjadi. Sekitar pukul 9 pagi saat kami berangkat menyelam,
kami memperhatikan bahwa air mendesak keluar dari laguna dengan kecepatan tinggi. Air
berputar cepat pada penyelaman pertama, sehingga kapten kapal menyudahi kegiatan untuk
pergi ke tempat yang lebih terlindung dan aman. Terdapat arus kecil sekitar 1 knot saat kami
masuk ke air; tapi dalam hitungan menit kami tersapu dari satu arah ke arah lain dengan arus
yang kecepatannya naik menjadi 5 knot. Kami tetap menjaga posisi dimana dinding terumbu
berada di kiri kami, tetapi tiba-tiba kami terbawa ke arah berlawanan dengan kecepatan
tinggi. Lalu arus berhenti dan berganti arah dengan kecepatan yang lebih tinggi selama kira-
kira 3 menit. Tak tampak ikan berenang saat penyelaman ini, dan semuanya telah menjadi
pengungsi di lubang-lubang terumbu. Tampak seekor hiu berputar di tempat yang sama dengan
sirip pektoral (samping) turun; hewan itu tetap di posisinya setiap kali kami terbawa maju-
mundur. Di kedalaman 18 m, kami mengalami arus ke bawah yang berbahaya, yang menarik
kami 28 m dalam beberapa detik. Kami bisa saja tertarik lebih dalam lagi, tetapi kami dapat
berpegangan di terumbu dan mendorong diri kembali ke 18 m. Hal ini menghabiskan energi
yang berharga dan seharusnya kami bernafas normal sampai permukaan dengan decompression
stop di 4 m dan 3 m (dive computer sudah tak dapat diandalkan lagi di situasi seperti ini).
Kembali ke kapal sangatlah susah, karena ombak sangat liar dan kapal terombang-ambing
kesana-kemari. Di perjalanan pulang ke Fru, kami melihat banyak puing di air, pakaian, sepatu,
kotak es, bagian-bagian kapal, dll. Di resor, keadaan lebih kacau lagi; jetty sudah hancur dan
orang-orang menangis. Tampak seperti adegan di film-film Hollywood. Pada saat itulah kami
baru sadar bahwa kami telah mengalami sesuatu yang tak akan terlupakan: menyelam saat
tsunami. Kamar kami berantakan dan terdapat ikan unicorn di kamar tidur bersama-sama dengan
bagian-bagian dari pohon; semua barang-barang kami hancur. Tak ada listrik, air minum dibatasi,
makanan habis, dan Bandara Internasional Malé terendam air – tetapi kami selamat!” (Sumber:
Greg dan Deirdre Stegman).

Atol Ari, Malé Utara, dan Felidhe: Survei di bulan Juni dan Juli 2005 menunjukkan bahwa persentase
tutupan karang sangatlah rendah (berkisar 10% atau kurang) dan didominasi oleh Pocillopora dan
Acropora. Terdapat kerusakan struktur yang kecil akibat tsunami, baik di luar maupun di dalam kedua
atol ini. Beberapa pemandu selam melaporkan kerusakan pada sisi barat terusan atol Ari (Thundufushi
thilla), dan beberapa thilla dalam terumbu dimana arus semakin kuat sepanjang terusan. Namun, ini
tampaknya hanyalah dampak kecil akibat tsunami (Sumber: Marine Conservation Society dan Maldives
Scuba Tours).

KERUSAKAN SOSIAL-EKONOMI
Pariwisata: Pariwisata adalah kontributor terpenting bagi perekonomian Maladewa dan telah membantu
ekspansi ekonomi saat ini. Sejak tahun 1978 sampai 2004, jumlah resor meningkat dari 17 menjadi 87
dan jumlah wisatawan meningkat dari 30.000 menjadi di atas 615.000. Tsunami tahun 2004
menyebabkan kerusakan yang parah bagi industri pariwisata: 19 resor ditutup; 1.200 tempat tidur hotel
hilang; kedatangan wisatawan menurun; dan resor mengurangi pegawainya karena tingkat hunian
menurun sampai 40%. Hampir setahun kemudian, tingkat hunian telah meningkat menjadi 75%. Perkiraan
untuk membangun kembali resor-resor yang ada mencapai US$ 100 juta dan kerugian usaha di sektor ini
mungkin melebihi US$ 250 juta.

122
Status Terumbu Karang di Kepulauan dan Atol Maladewa Pasca-Tsunami

Gelombang memecah, lebih tinggi


Air laut mematikan
tumbuhan dan panen
Ketinggian tsunami
Mangrove Aliran gelombang yang
Sumur Tumbuhan daerah lebih rendah, tidak pecah
Erosi pesisir
Mangrove yang Pasang
dipindahkan Limbah

Terumbu karang
yang ditambang Air laut mengintrusi cadangan air tawar
Terumbu karang
yang ada

Gambar ini menunjukkan dampak potensial tsunami (atau aliran badai) pada pulau karang.
Pemindahan karang di rataan terumbu dan tumbuhan mangrove membuka pantai terhadap
erosi yang lebih besar dan intrusi air laut dari aliran gelombang. Air laut akan menghancurkan
pertanian di pulau dan memasuki air minum di persediaan air tawar di dasar pulau.

Perikanan: Kapal ikan tuna Maladewa mengalami modernisasi dan ekspansi, melalui penggantian kapal
kecil tradisional (dhonis) dengan kapal komersial yang lebih besar, dan keramba apung, tempat pembekuan,
serta pengalengan yang modern sedang dibuat. Industri pengemasan tuna segar sedang dibangun,
membuat banyak tekanan pada sumber daya perikanan Maladewa. Jenis targetnya adalah cakalang
(Katsuwonis pelamis) dan tuna ekor kuning (Thunnus albacares), yang selalu bermigrasi, terdapat di laut
lepas, dan jumlahnya melimpah; namun terdapat perdebatan dimana ekspansi perikanan ini akan
menurunkan cadangan/stok ikan di tempat lain.

Tsunami menghancurkan 120 kapal ikan, merusak 50 armada laut lainnya, dan menyebabkan hilangnya
peralatan dari 374 pabrik kecil pengolahan ikan, termasuk keramba apung untuk perdagangan kerapu
hidup. Selain dari kerugian tersebut, kegiatan perikanan tampaknya telah pulih sejak peristiwa tsunami,
dimana jumlah tangkapan di kwartal pertama tahun 2005 melebihi tahun 2004, disebabkan oleh
pendaratan besar tuna di bagian selatan negara ini.

Konstruksi dan ekstraksi karang: Lebih dari 6.000 rumah telah hancur karena tsunami, dan banyak
bangunan yang dibuat dari bahan-bahan tradisional (terutama batu karang) runtuh. Pembangunan kembali
sedang berjalan; namun, terdapat kekurangan bahan konstruksi seperti kayu, rendaman kerikil, dan besi
untuk struktur beton. Sehingga, timbul kembali ekstraksi ilegal pasir dan batu dari rataan terumbu dan
laguna untuk membangun perumahan dan memperbaiki jalan-jalan serta jalur-jalur.

Infrastruktur maritim: Tsunami telah merusak atau menghancurkan sekitar 36 dermaga, 4.200 m
dinding dermaga, 15.000 m dinding pelabuhan, 25 lampu pemandu, 65 penanda terumbu, 120 penanda
masuk (penyelaman), dan 300 m jembatan selat; tsunami memindahkan 375.000 meter kubik pasir di
cekungan hasil kerukan kapal. Terdapat kerusakan yang relatif terbatas pada fasilitas maritim sepanjang
bagian dalam yang tak terbuka di atol-atol, walaupun banyak pelabuhan yang rusak, baik akibat
meningkatnya endapan lumpur sampai rusaknya pemecah ombak.

123
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Tutupan karang (%)

Jumlah karang hidup (dalam persentase tutupan) di 8 situs di Maladewa tetap rendah setelah tsunami,
mencerminkan kehilangan besar karang di tahun 1998 (Sumber: Laporan AusAID tahun 2005).

USAHA-USAHA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Terdapat kenaikan permintaan untuk bahan bangunan setelah tsunami sedangkan impor dari India tidak
dapat mencukupi. Sehingga beberapa usaha dilakukan untuk menggabungkan fondasi bangunan dengan
menggunakan fondasi batu karang dan semen. Pemanenan karang dilakukan secara ilegal dan sangat
bervariasi, serta memiliki resiko bahwa jika beberapa terumbu karang rusak atau amblas, pulau dapat
kehilangan penghalang erosi dan sumber pasir untuk memasok pulau.

Banyak lembaga bantuan menawarkan untuk membantu setelah bencana terjadi. AusAID, lembaga dari
Australia mengirimkan 12 orang untuk meninjau kerusakan yang terjadi dan memberikan petunjuk
untuk perbaikan di masa depan. Lembaga bantuan Amerika (USAID) fokus pada bantuan darurat dan
kemanusiaan, dengan menghabiskan US$ 1,3 juta untuk menerbangkan pasokan bantuan, terpal, wadah
air dan air layak minum, serta peralatan kebersihan.

REKOMENDASI, KESIMPULAN, DAN PREDIKSI


Tsunami tidak memberikan kerusakan nyata pada terumbu karang Maladewa; kerusakannya jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh manusia akibat pengambilan batu karang
dan pasir dari rataan terumbu, dan peristiwa kematian karang sepanjang tahun 1998 akibat fenomena
pemutihan. Jadi, tsunami telah memperlambat proses pemulihan dari kerusakan sebelumnya, dan perhatian
difokuskan pada kebutuhan pengelolaan yang lebih baik terutama mengenai tekanan dari manusia dan
pembangunan daerah pesisir yang tidak sesuai. Mengingat pentingnya terumbu karang bagi perekonomian
Maladewa, rekomendasi berikut diberikan untuk mendorong pembangunan berkelanjutan:

Daerah perlindungan laut (MPA): Konservasi keanekaragaman dan kelenturan terumbu karang
akan diperbaharui dengan perluasan serta penguatan jaringan MPA yang lebih baik. Pemerintah
daerah dan pusat dianjurkan untuk meningkatkan sumber daya melalui pelatihan dan pengelolaan
terumbu. Partisipasi aktif dan dukungan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya
adalah kunci menuju kesuksesan. Masyarakat dapat dimotivasi untuk membantu dalam proyek
konservasi melalui kepemilikan sumber daya, pelestarian budaya, penyediaan mata pencaharian
alternatif, dan dengan menyediakan informasi seperti memperlihatkan kepada mereka bahwa sebagian
besar keluarga ikan karang terdapat di dalam MPA dan bukan di luarnya;

124
Status Terumbu Karang di Kepulauan dan Atol Maladewa Pasca-Tsunami

KERUSAKAN TSUNAMI MENGANCAM KEMAJUAN PENCAPAIAN


TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM (MDG)
Menurut laporan yang dikeluarkan UNDP, tsunami mempertajam masalah-masalah yang
berhubungan dengan polusi air tanah dan naiknya permukaan laut di Maladewa. “Disamping
menghancurkan ribuan rumah di Maladewa, tsunami meninggalkan polusi jangka panjang
terhadap persediaan air penduduk pulau,”ujar Kari Blindheim, Koordinator (sementara)
Kependudukan UNDP di Maladewa. Tinjauan kemajuan menuju MDG mengindikasikan bahwa
tsunami telah menghancurkan lebih dari 90% kamar kecil di sejumlah pulau dan mengkontaminasi
pasokan air tanah dengan garam dan kotoran manusia hasil siraman septic tank. Masalah ini
tetap tinggal sampai setahun setelah tsunami dan telah meluas sampai hampir 340.000 meter
kubik limbah dari rumah-rumah yang hancur, yang membusuk di banyak pulau dan menembus
air tanah. “Tsunami memperlihatkan betapa rapuhnya Maladewa terhadap perubahan iklim,
dan betapa diperlukannya keberlanjutan lingkungan sebagai fokus utama negeri ini untuk fondasi
kebijakan dan program pembangunan lokal serta nasional. Bila isu lingkungan tidak diperhatikan,
konsekwensinya akan sangat serius. Sektor perikanan dan pariwisata yang menjadi sumber
ekonomi utama, keduanya bergantung pada keanekaragaman dan lingkungan yang alami.”
Dalam laporan diperkirakan bahwa tsunami menghantam pertumbuhan ekonomi Maladewa
dari 7,5% per tahun menjadi 1% di tahun 2005. Kunjungan wisatawan selama kwartal pertama
tahun 2005, 44% lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2004, yang
mengakibatkan dampak besar pada anggaran negara. Leporan juga menyebutkan bahwa,
secara ekonomi, Maladewa lebih menderita dibandingkan negara-negara lain yang terkena
tsunami (Sumber: www.undp.org/tsunami).

Pemantauan dan pengelolaan terumbu karang: Program pemantauan terumbu karang Maladewa
harus diperluas untuk menyertakan lebih banyak terumbu dalam penyediaan informasi kepada
pengelola terumbu, dan mengikuti pemulihan setelah fenomena pemutihan tahun 1998 dan tsunami
tahun 2004. Terdapat kebutuhan untuk meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan lembaga
internasional, operator wisata, masyarakat, dan LSM dengan membangun kemitraan kerja bersama.
Peraturan untuk melarang penambangan karang dan pasir harus ditegakkan untuk melindungi
fungsi terumbu karang sebagai penghalang;
Pengelolaan perikanan: Data dari pakan segar penting yang bernilai ekonomi dan perikanan ikan
karang harus digabungkan ke dalam sistem data nasional untuk mendeteksi akibat dari pengambilan
berlebih dan gangguan lingkungan lainnya. Menteri Perikanan, Pertanian, dan Sumber Daya Kelautan
didorong untuk meluaskan dan menguatkan kapasitas dalam memonitor, menganalisa, dan
melindungi sumber daya laut Maladewa;
Peningkatan kapasitas: Terdapat kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kapasitas nasional
dalam ilmu terumbu karang dan konservasi (termasuk pengelolaan perikanan dan pemantauan
sosio-ekonomi). Usaha-usaha di bidang lingkungan, pembangunan dan/ atau pengurangan
kemiskinan di daerah pesisir harus diintegrasikan untuk mencerminkan hubungan antar akar
permasalahan dengan solusinya;
Penilaian kerentanan: Penilaian atol dan kerentanan yang berbasis masyarakat menggunakan
gugus tugas tingkat pulau akan menguatkan persiapan, perencanaan, dan tanggapan terhadap
bencana. Penilaian nasional yang lebih besar dapat mengidentifikasi sumber daya alam yang bertindak
sebagai pelindung atas bahaya lingkungan, peralatan, dan organisasi yang diperlukan. Penilaian
terumbu karang harus menyertakan studi spesifik tentang implikasi pemutihan karang dan penyakit
terhadap masyarakat setempat dan perekonomian;

125
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Geomorfologi pulau: Program dasar pemantauan garis pantai pulau di situs-situs yang berbeda
akan memperbaiki pengertian tentang tren perpindahan sedimen dan erosi, baik secara musiman
maupun jangka panjang, termasuk juga dampak dari peristiwa alam besar seperti tsunami dan aliran
badai;
Operasi pengerukan terumbu: Pemantauan yang sedang berjalan diperlukan untuk menilai
dampak meluasnya pengerukan untuk reklamasi pantai, bahan bangunan, perawatan pelabuhan,
dan bahan konstruksi. Pembangunan kebijakan penambangan pasir yang berkelanjutan diperlukan
untuk mengurangi dampak negatif terhadap pentingnya terumbu karang secara ekonomi dan sosial.

KURANGNYA BAHAN BANGUNAN MEMICU PENGAMBILAN KARANG


SECARA ILEGAL
Sebuah misi dari United Nations Environment Programme (UNEP) menemukan bahwa ekstraksi
artisanal (secara manual menggunakan karung) pasir karang dari laguna dilakukan di sebagian
besar pulau. Mereka menyaksikan eksplotitasi pasir karang secara aktif dan tak terkendali,
yang ternyata meningkat sejak tsunami. Pemerintah Maladewa telah menyadari pentingnya
keberadaan terumbu karang terhadap bencana alam dan penyediaan habitat bagi makhluk-
makhluk laut. Pada tahun 1992, pemerintah melarang penambangan karang dangkal ‘rumah
terumbu’ di sekitar pulau, pada terumbu di tepi atol, dan dari terumbu tempat pakan ikan.
Menteri Perikanan, Pertanian, dan Sumber Daya Kelautan mengatur cara mengekstraksi karang,
pasir, dan kepingan karang dari pantai dan terumbu di sekitar pulau yang tak berpenghuni;
dengan masukan dari Menteri Lingkungan dan Konstruksi. Walaupun begitu, terumbu Maladewa
telah dieksploitasi untuk bangunan, meskipun data statistik resmi menunjukkan penurunan drastis
pada total volume pasir dan karang yang diekstraksi. Hal ini rupanya terjadi karena kegiatan
ilegal tak terlaporkan, dan bukan penurunan substansial seperti yang diharapkan. Tinjauan
terhadap peraturan penambangan pasir dari negara lain mengindikasikan bahwa penambangan
pasir harus dibatasi pada kedalaman diatas 10 m dan pada jarak minimum 600 m dari pantai
(www.seafriends.org.nz/oceano/seasand.htm). Pembatasan terhadap penambangan pasir pantai
di Maladewa tidak pernah dievaluasi untuk mengetahui keefektifan perlindungan pulau terhadap
kerentanan aliran badai (Sumber: UNEP, www.unep.org/tsunami).

126
Status Terumbu Karang di Kepulauan dan Atol Maladewa Pasca-Tsunami

PENINJAU
M Shiham Adam, Joanna Ruxton, Kristian Teleki, dan Chris Wood.

KONTAK PENULIS
Hussein Zahir, Marine Research Centre, Malé, Maldives, hzahir@mrc.gov.mv; William Allison,
beliamall@dhivehinet.net.mv; Geoff Dews, John Gunn, Commonwealth Scientific and Industrial Research
Organization, John.Gunn@csiro.au; Arjan Rajasuriya, National Aquatic Resources Research & Development
Agency, Colombo, Sri Lanka, arjan@nara.ac.lk; Jean-Luc Solandt, Marine Conservation Society, UK,
jls@mcsuk.org, Hugh Sweatman, Angus Thompson, dan Mary Wakeford, Australian Institute of Marine
Science (AIMS), h.sweatman@aims.gov.au, a.thompson@aims.gov.au, dan m.wakeford@aims.gov.au;
Jerker Tamelander, IUCN Sri Lanka Country Office, Colombo, Sri Lanka, jet@iucnsl.org.

ACUAN
AusAID (2005) Australia’s response to the Indian Ocean tsunami: report for the period ending 30 June
2005. Australian Government, (www.ausaid.gov.au/publications/ pubout.cfm?Id=8755_
1752_3263_3258_5384).
Australian Government and Maldives Marine Research Centre (including the Commonwealth Scientific
and Industrial Research Organization, Australian Institute of Marine Science, Great Barrier Reef
Marine Park Authority and James Cook University) (2005) An assessment of damage to Maldivian
coral reefs and baitfish populations from the Indian Ocean tsunami. (www.ausaid.gov.au/hottopics/
topic.cfm?Id=3936_3678_9975_7037_8920).
Dews G, Naeem H, Mohamed U, Aishath Hand Aminath L (2002) Elements of a Marine Protected Area
in a Small Island Developing State - Republic of Maldives. World Congress on Aquatic Protected
Areas, August 2002, Cairns.

Data-data juga diambil dari website-website berikut:


Marine Conservation Society (2005), (www.mcsuk.org/marine_world/MCS_Maldives_report.pdf);
UNDP (2005), (www.mv.undp.org and www.mv.undp.org/drtf/);
UNEP (2005), (www.unep.org/tsunami/reports/maldives.pdf).

Sumber-sumber informasi lain diuraikan di Halaman 147, termasuk kontribusi H. Zahir et al. dalam
laporan CORDIO dan kontribusi A. Rajasuriya dkk. dalam laporan GCRMN.

127
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

128
10. STATUS TERUMBU KARANG DI SEYCHELLES
SETELAH TSUNAMI PADA DESEMBER 2004

AMEER ABDULLA, JUDE BIJOUX, UDO ENGELHARDT, DAVID OBURA, ROLPH


PAYET, KATE PIKE, JAN ROBINSON, MARTIN RUSSELL, DAN TIMOTHY SKEWES

RINGKASAN
2 orang kehilangan nyawa: sekitar 310 nelayan (dan tanggungan mereka) terkena dampak nyata
akibat rusaknya rumah, infrastruktur, kapal penangkap ikan, dan peralatan;
Gelombang diperparah dengan hujan yang lebat, membanjiri daerah yang rendah dan menyebabkan
kerusakan yang meluas di pantai, pelabuhan, dinding laut, tumbuhan pesisir, jalan-jalan, dan jembatan-
jembatan;
Sekitar 35% armada kapal artisanal (141 kapal) menderita kerusakan;
Perkiraan kerugian infrastruktur dan armada kapal adalah US$ 30 juta; perusahaan perikanan dan
pariwisata juga menderita kerugian ekonomi dimana nilai tukar mata uang asing berkurang, diversi
mata uang untuk bantuan, dan kehilangan karyawan;
Secara umum, tsunami memberikan dampak minor terhadap terumbu karang di Seychelles, tetapi
terdapat dampak nyata di sejumlah situs. Terumbu karang yang rusak berada di jalur lintasan tsunami
atau yang tumbuh pada pecahan karang setelah peristiwa pemutihan tahun 1998;
Tsunami telah memperlambat pemulihan terumbu karang, dimana karang baru yang menggantikan
peristiwa kehilangan tahun 1998, menjadi mati atau rusak, serta menjadikannya pecahan karang
yang tidak stabil; dan
Mengurangi sumber-sumber degradasi kronis seperti pemanfaatan berlebih, penangkapan ikan yang
merusak, polusi, dan sedimentasi dari reklamasi daratan dan pengembangan daerah pesisir; akan
membantu proses pemulihan.

PENDAHULUAN
Tanda-tanda pertama terjadinya tsunami di Seychelles tampak pada pukul 11:25 pagi di bandara
internasional di Mahé. Bukti pertama tsunami diamati sebagai pergerakan cepat air, dari surut yang
sangat rendah menjadi pasang yang sangat tinggi, yang terjadi di pesisir timur Pulau Praslin dan Mahé
pukul 1:00 siang saat surut. Fluktuasi cepat pada permukaan air berlanjut selama sekitar 30 menit.
Antara 30 menit sampai 1 jam kemudian, pesisir barat Praslin dan Mahé terkena gelombang yang menyebar
ke seluruh bagian pulau. Gelombang kedua lebih kecil, tetapi menghantam saat pasang pukul 5:00 sore
dan memberikan kerusakan yang sama seperti saat gelombang pertama.

129
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Gelombang membanjiri daerah rendah Pulau Mahé, Praslin, dan La Digue dan menyebabkan kerusakan
meluas pada pantai-pantai, tumbuhan pesisir, jalanan, jembatan, perumahan, dan infrastruktur. Banjir
menelan korban 2 jiwa dan berlangsung selama sekitar 6 jam. Dua gelombang lainnya yang lebih kecil
muncul pukul 10:00 malam dan 5:00 pagi keesokan harinya; dimana hanya mengenai pesisir barat Pulau
Praslin.

Seychelles adalah kepulauan besar yang terdiri dari 115 pulau besar, membentang seluas 1.374.000 km2
di bagian barat Samudera Hindia. Tsunami dimulai dari jarak 4.500 km dan hanya mengenai 41 pulau
granit yang besar, (kelompok dalam); yang terletak 50 km dari pulau utama Mahé, tempat sebagian besar
penduduk Seychelles tinggal. 74 pulau karbonat lainnya terletak di rataan luas yang dangkal (45.000
km2) ke arah barat dan selatan dari pulau-pulau bergranit; dimana tak terkena dampak tsunami.

Kerusakan akibat tsunami terhadap infrastruktur, perumahan, dan tumbuhan diperparah dengan adanya
curah hujan sebesar 250 mm, yang dimulai pada tanggal 27 Desember dan berlanjut sampai beberapa

130
Status Terumbu Karang di Seychelles setelah Tsunami pada Desember 2004

hari, menyebabkan sejumlah peristiwa tanah longsor di bagian barat dan pertengahan Mahé serta pulau-
pulau lain. Pemerintah Seychelles membuat perkiraan awal kerugian yang diderita akibat tsunami terhadap
jalanan, perumahan, infrastruktur perikanan, pertanian, sarana publik, sekolah, lahan siap pakai, sarana
olah raga, dan sarana pariwisata sebesar SR 165 juta (US$ 30 juta).

STATUS TERUMBU KARANG PRA-TSUNAMI


Kepulauan bagian dalam: Sebelum peristiwa pemutihan tahun 1998, terumbu di sekitar Mahé berada
dalam ancaman reklamasi daratan untuk memenuhi kekurangan lahan di negara pulau yang kecil ini.
Reklamasi dimulai tahun 1980an dan telah menghasilkan sedimentasi kronis di beberapa situs terdekatnya,
seperti Taman Laut Ste Anne. Sebagai tambahan, terumbu telah mengalami kerusakan langsung akibat
pembuangan jangkar yang sembarangan, snorkeling, dan penyelaman; dan secara tidak langsung saat
ada pekerjaan konstruksi dan operasi hotel. Lebih jauh lagi, sejumlah terumbu menderita kehilangan
karang akibat mewabahnya bulu seribu (Acanthaster planci) yang aktif di terumbu bagian utara Mahé
dari akhir 1996 sampai pertengahan 1998.

Terdapat sedikit data tentang status terumbu karang Seychelles sebelum tahun 1998. Tutupan karang
keras di lereng terumbu pada pulau-pulau bergranit bagian dalam adalah 35-80% dan untuk terumbu
gundukan sebesar 25-40%. Namun di tahun 1998, terumbu Seychelles termasuk ke dalam yang terkena
dampak parah akibat peristiwa pemutihan karang El Niño, yang membunuh hampir 90% tutupan karang
hidup di terumbu-terumbu ini bahkan sampai kedalaman 15 meter di beberapa tempat. Tutupan karang
di sebagian besar terumbu dangkal bergranit menurun sampai kurang dari 10%. Acropora bercabang dan
meja serta Pocillopora bercabang adalah yang paling parah terkena dampak, meninggalkan sisa-sisa
populasi karang yang didominasi oleh marga-marga masif, yang lebih tahan dan lambat tumbuh seperti
Porites, Goniopora, Acanthastrea, Diploastrea, dan Physogyra. Tutupan pecahan karang meningkat
sampai 50-75% di beberapa situs. Pada tahun 2004, kelimpahan dan penyebaran sebagian besar jenis
karang telah menurun, walaupun tak tercatat adanya kepunahan; sedangkan keragaman karang di
pulau-pulau bergranit bagian dalam tetap tinggi.

Terdapat kemajuan pemulihan karang di beberapa situs setelah peristiwa pemutihan tahun 1998, namun
peristiwa pemulihan tetap berjalan lambat akibat peristiwa pemutihan lagi di tahun 2002 dan 2003 yang
mematikan banyak karang muda yang baru. Secara nyata, lebih banyak pemulihan terjadi di terumbu
yang terlindung di dalam daerah perlindungan laut (MPA), serta lebih banyak yang tumbuh di batuan
granit dibandingkan batuan berkarbonat, mungkin karena tingkat stabilitas yang besar pada terumbu ini
dan rendahnya kelimpahan pecahan karang. Rata-rata tutupan karang di terumbu berkarbonat meningkat
dari 3,4% di tahun 2000 menjadi 6,3% di tahun 2004, dengan tingkat pemulihan yang bervariasi di tiap
situs. Tutupan karang di terumbu bergranit meningkat stabil dari 2,5% di tahun 2000 menjadi 14,2% di
tahun 2004, dengan adanya konsistensi di tiap terumbu. Peningkatan tutupan karang kebanyakan
terjadi karena adanya kemunculan karang muda yang baru dan bukan karena pertumbuhan koloni yang
selamat.

Kelimpahan ikan jauh lebih banyak terdapat di terumbu bergranit bagian dalam dibandingkan dengan
terumbu berkarbonat, kemungkinan karena struktur 3 dimensi terumbu bergranit lebih stabil. Terdapat
juga kelimpahan ikan yang besar, terutama ikan kepe-kepe, ikan kakatua, wrasse, kakap, dan kerapu di
dalam MPA. Namun terdapat juga jenis-jenis ikan target seperti kakap, kerapu, kakatua, dan trigger,
sebagaimana pula kepe-kepe, di bagian timur kepulauan di kelompok dalam, yang mencerminkan tekanan
pengambilan ikan yang lebih besar dibandingkan dengan bagian barat kepulauan yang lebih banyak
penduduknya.

131
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Atol Selatan: Sebelum tahun 1998, terumbu karang dan atol di selatan Seychelles memiliki tutupan
karang 40-60% di perairan dangkal, yang didominasi oleh Acropora bercabang, Pocillopora dan Millepora
(karang api). Di perairan yang lebih dalam, Poritidae dan Faviidae masif lebih umum dijumpai. Terdapat
pemutihan karang di seluruh terumbu di bagian selatan Seychelles tahun 1998 dan tutupan karang
menurun dari 95% ke kurang dari 5% di perairan dangkal. Di perairan yang lebih dalam, tutupan karang
tetap lebih tinggi antara 15-20%, dengan tingkat kematian tinggi pada Acropora bercabang, Pocillopora,
Millepora, dan Heliopora (karang biru). Keragaman karang tetap tinggi, walaupun beberapa jenis yang
dulunya umum dijumpai menjadi jarang. Kebanyakan karang mati telah menjadi pecahan karang atau
ditumbuhi jenis lain. Tampaknya, kedalaman 10 m mewakili ‘kedalaman transisi’ di sejumlah atol; perairan
dangkal hampir menderita tingkat kematian yang tinggi di tahun 1998, tetapi tingkat kematian tidak
menjadi bencana di perairan yang lebih dalam. Karang dapat tetap hidup di tempat-tempat yang memiliki
pergerakan air dinamis, seperti di lereng terumbu yang menuju arah angin dan di terusan/kanal. Sehingga,
terdapat pergeseran di selatan Seychelles yang tadinya didominasi oleh Acroporidae menjadi didominasi
Pocillopora bercabang dan Porites. Jenis-jenis dengan bentukan masif lebih umum dijumpai di perairan
yang lebih dalam, terutama faviidae dan jenis yang awalnya tidak umum, yaitu Physogyra dan Pachyseris.

Proses pemulihan berjalan lambat antara tahun 1999 sampai 2001; namun, terdapat kemunculan karang
muda yang substansial setelah tahun 2001, terutama di kedalaman 10 m sampai 20 m dengan lebih
banyak jenis-jenis karang muda baru yang tahan pemutihan. Karang muda Porites dan Fungia mulanya
umum dijumpai di laguna, sementara Acroporidae yang tadinya mendominasi menjadi jarang. Faviidae
dan Pocillopora adalah karang muda yang paling umum terlihat di lereng terumbu.

Populasi ikan secara umum lebih sehat, dimana banyak kakap dan kerapu berukuran besar ditemukan.
Namun, ikan pemakan karang (seperti kepe-kepe) sangatlah jarang karena hilangnya sejumlah karang
hidup. Hiu tidak dijumpai dalam survei ini, kemungkinan karena adanya perdagangan sirip hiu.

STATUS TERUMBU KARANG PASCA TSUNAMI


Tingkat kerusakan terumbu karang di Seychelles sebagian besar tergantung pada derajat keterbukaan
terhadap tsunami, batimetri lokal dan geologi, serta kondisi terumbu karang. Sisi utara dan timur Pulau
Praslin dan La Digue adalah yang paling mudah terkena dampak tsunami, sedangkan pulau-pulau lain
terlindung dari pecahan energi gelombang saat tsunami berjalan di sepanjang Bantaran Seychelles yang
dangkal. Terumbu karang yang berada di luar jalur tsunami, contohnya Anse Copre, menderita kerusakan
sedikit atau tidak sama sekali. Terdapat pula kerusakan yang dapat diabaikan (<1%) pada terumbu
bergranit, seperti Grand Rocher, Pointe Police, Port Launay, dan West Rocks, karena granit menahan
gelombang dan terdapat sedikit pecahan karang serta pasir yang menyebabkan abrasi karang. Terumbu-
terumbu ini termasuk ke dalam terumbu-terumbu dangkal terbaik di kepulauan bergranit sebelum tahun
1998.

Jumlah kerusakan pada terumbu berkarbonat secara umum dapat diperkirakan dari derajat konsolidasi
kerangka terumbu. Umumnya, terjadi kerusakan lebih besar pada terumbu berkarbonat yang terdegradasi,
dimana terdapat sejumlah besar pecahan tak terkonsolidasi yang berasal dari karang mati akibat peristiwa
pemutihan tahun 1998.

Sebagian besar kerusakan disebabkan oleh disintegrasi lepasnya kerangka terumbu dan abrasi oleh pecahan
karang. Terumbu berkarbonat yang terkonsolidasi, seperti yang terdapat di Moyenne, Airport, Anse Royal,
dan Baie Ternay, tidak terkena dampak, dimana kurang dari 1% koloni karang, dan jarang yang sampai
10%, rusak.

132
Status Terumbu Karang di Seychelles setelah Tsunami pada Desember 2004

Berikut adalah ringkasan kerusakan akibat tsunami terhadap terumbu karang bergranit dan berkarbonat di Seychelles,
dimana karang yang tumbuh di dasar berkarbonat (K) lebih menderita kerusakan dibandingkan dengan yang
tumbuh di dasar bergranit (G), karena adanya jumlah pecahan karang yang lebih besar di terumbu berkarang.

Situs Substrat Kerusakan

Mahé
Baie Ternay C <1% area
Anse Cemetiere, Ste Anne C 27% karang, tutupan menurun dari 25% ke 5%
Anse Royal C Dapat diabaikan
Anse la Mouche C 18% koloni di perairan dangkal, 12% di perairan yang lebih dalam
Pointe Police G Dapat diabaikan
Port Launay, West Rocks G Dapat diabaikan
Anse Copra G Tidak ada
Airport C 10% karang
Grand Rocher G 1% karang
Terumbu Corsaire C <1% area
Terumbu Aquarium C Tidak ada
L’ilot Rocks G <1% area
Moyenne C 8% karang
Terumbu Pulau Cousine C Tidak ada
Praslin/ Curieuse
Kebun Karang C 1% - 16% karang
Anse Petit Cour C <1% area
St. Piere G/C Bergranit: dapat diabaikan; Berkarbonat: >50% pada substrat, 25%
karang
La Digue/ Felicité
Ilê Coco G/C Bergranit: dapat diabaikan; Berkarbonat: >50% pada substrat, 25%
karang
La Digue C <1% area
Terumbu Pulau Marianne C <1% area
Terumbu Pulau Petite Soeur C <1% area

Terdapat kerusakan berarti pada beberapa terumbu berkarbonat yang disurvei, seperti Isle Coco, St. Pierre,
Anse Cemetiere di antara Taman Laut Ste Anne dan Kebun Karang di Curieuse. Isle Coco adalah terumbu
paling timur, dari arah kedatangan tsunami, yang disurvei. Di banyak situs, terdapat sedikit kerusakan
akibat tsunami di lereng bergranit yang menuju ke laut, tetapi terdapat kerusakan nyata pada terumbu
dangkal berkarbonat di tempat yang searah jalur angin. Kumpulan karang bercabang Acropora mati
menjadi hancur, meninggalkan sejumlah besar pecahan karang yang mengabrasi karang lain yang sedang
dalam proses pemulihan akibat kematian besar-besaran di tahun 1998. Potongan-potongan berat pecahan
karang mengerosi, dengan tekanan melingkar, di kerangka terumbu dan parit-parit dimana pecahan
tersapu menuju perairan yang lebih dalam. Kerusakan pada kerangka terumbu di beberapa lokasi, sangatlah
parah dan memperlambat pemulihan kerusakan tahun 1998.

Pengaruh batimetri lokal, terhadap tsunami dan hasil kerusakan, sangat jelas tergambar di beberapa area.

133
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Kerusakan terbesar di darat, timbul di kanal dalam yang menembus ke terumbu tepi di dekat pesisir yang
mengarahkan gelombang menuju pantai, contohnya Anse Petit Cours (Praslin), di dekat jembatan selat
di Taman Laut Curieuse, Anse Royale (Mahé), dan Anse la Mouche (Mahé). Banyak kota-kota pesisir dan
hotel dibangun dekat perairan terlindung dan pantai di belakang terumbu-terumbu tepi ini, karena
kemudahan akses menuju laut lepas melalui kaloran dan kanal. Namun, gelombang melewati kanal-
kanal ini sambil menimbulkan kerusakan di darat. Walaupun terumbu tepi dapat menyerap luapan normal
laut dan melindungi pesisir, terumbu tidak dapat menahan energi tsunami yang lebih besar.

Kerusakan pada karang hidup di Anse Cemetiere dalam Taman Laut Ste Anne umumnya dikarenakan
oleh abrasi pecahan karang sampai 27% dari koloni karang, dan tutupan karang hidup menurun dari 25%
menjadi 5%. Di Kebun Karang di Taman Laut Curieuse, tsunami menjungkalkan banyak karang masif
dan mengabrasikannya dengan lepasan pecahan karang, sehingga merusak 16% karang. Di Anse La
Mouche, 18% karang di perairan dangkal dan 12% karang di perairan lebih dalam menjadi rusak, dimana
beberapa karang masif dan bercabang patah serta terhanyut, dan karang mengerak tertutup sedimen. Di
La Reserve, Anse Petit Cours, banyak kumpulan Acropora bercabang yang hancur dan beberapa karang
masif rusak karena abrasi. Koloni Porites besar di perairan yang lebih dalam (>6m) terjungkal, kemungkinan
karena erosi sedimen dari dasarnya.

Di Taman Laut Curieuse, terdapat kerusakan besar pada jembatan selat yang menutupi teluk yang
terlindung, membuka salah satu hutan mangrove terbesar dan paling beragam di Seychelles terhadap
terjangan angin muson. Pasir diantara pepohonan mangrove sekarang lebih putih dan lebih kasar serta
terdapat parit besar di dalam hutan, diperkirakan bahwa pergerakan air telah meningkat di hutan, yang
telah tumbuh selama 100 tahun di perairan yang dilindungi oleh jembatan selat. Hutan tersebut adalah
daya tarik utama bagi para pengunjung taman laut; sehingga tiap kerusakan dapat secara nyata mengurangi
pendapatan taman nasional, sebagaimana biaya masuk digunakan untuk mendanai daerah perlindungan
laut lainnya.

Kerusakan sedimen terbesar disebabkan oleh sapuan dari darat akibat hujan muson yang dimulai segera
setelah tsunami. Sedimen laut yang tersuspensi ulang tidak menyebabkan kerusakan nyata pada karang,
walaupun surut yang parah serta pencucian (backwash) dari tsunami mengerosi kanal kecil, dari garis
pantai keluar menuju teluk di Baie Ternay; beberapa karang dan lamun mati akibat gangguan pernafasan.

Tsunami tidak menyebabkan kerusakan pada pulau-pulau berkarbonat di bagian selatan. Hanya kenaikan
dan penurunan kecil pada tingkat perairan yang dilaporkan di D’Arros, 240 km tenggara Mahé. Tak
terdapat keanehan di Providence, 700 km dari Mahé. Ekspedisi Seychelles Selatan melaporkan tak
adanya tanda-tanda tsunami pada bulan Januari 2005 di sekitar kepulauan Amirantes dan Bantaran
Providence-Cerf. Terumbu-terumbu ini berada di perairan samudera dan kemungkinan terlindung oleh
perairan dangkal sampai ke timur laut yang menyerap sebagian besar energi tsunami.

Secara keseluruhan, kerusakan akibat tsunami pada terumbu karang di Seychelles umumnya kecil dan
setengah-setengah. Kerusakan terbesar terjadi di terumbu yang menghadap timur di utara dan selatan
pulau-pulau bergranit, dimana kerusakan kecil terjadi di sekitar pusat pulau-pulau bergranit seperti Mahé;
dan dapat diabaikan di seluruh selatan dan barat pulau-pulau berkarbonat. Terdapat kerusakan yang
dapat diabaikan pada terumbu bergranit di kepulauan bagian dalam, dan kerusakan rendah sampai parah
pada terumbu berkarbonat, tergantung dari jumlah keterpajanan dan kondisi kerangka terumbu setelah
lenyapnya karang tahun 1998. Terdapat kerusakan sampai kurang dari 5% koloni karang dan umumnya
kurang dari 1% tutupan karang pada mayoritas situs-situs yang ada. Namun, tutupan karang sangatlah
rendah di kebanyakan situs di bagian dalam Seychelles akibat kematian saat pemutihan tahun 1998.

134
Status Terumbu Karang di Seychelles setelah Tsunami pada Desember 2004

Tidak terdapat kerusakan nyata pada dasar terumbu bergranit dan terumbu berkarbonat yang
terkonsolidasi. Lebih jelas lagi, tsunami memperlambat pemulihan akibat pemutihan tahun 1998 dengan
melemahkan substrat di terumbu-terumbu yang paling terkena dampak.

KERUSAKAN SOSIO-EKONOMI
Kebanyakan kerusakan infrastruktur di darat berupa kerusakan pelabuhan dan dinding laut di daerah
Pelabuhan Victoria, dengan perkiraan biaya SR$ 14,3 juta (US$ 2,7 juta). Kurang lebih 35% armada
perikanan artisanal (141 armada perikanan) menderita tingkat kerusakan yang beragam, dimana 15
angkutan tenggelam; sebagian besar sekarang telah diangkat. Sekitar 310 nelayan terkena dampak dan
bila tanggungan mereka dihitung juga, jumlahnya melebihi 1.200 orang. Kerugian pada armada perikanan,
termasuk peralatan memancing, diperkirakan sebesar SR$ 4,0 sampai 4,5 juta (US$ 760.000 sampai
855.000). Selain kerusakan fisik, terdapat kerugian ekonomi bagi perusahaan perikanan dan pariwisata,
termasuk menurunnya arus mata uang asing, diversi anggaran untuk bantuan serta hilangnya karyawan
untuk beberapa waktu. Terdapat pula kekurangan ikan segar di pasar lokal. Otoritas Perikanan Seychelles,
Divisi Keamanan Sosial, Kantor Administrasi Kabupaten, Kantor Kepresidenan, Kementrian Keuangan,
dan Komisi Dana Darurat Nasional berkolaborasi untuk membantu dalam pemulihan penghidupan nelayan
dan pemilik kapal yang terkena dampak tsunami, dengan cara menyediakan bantuan keuangan untuk
memperbaiki kerusakan. Beberapa negara donor dan organisasi internasional telah berjanji untuk membantu
pemulihan penghidupan para nelayan, memperbaiki armada, dan mengganti kerusakan infrastruktur.

Kerusakan Perikanan: Penilaian terhadap 2 sektor penting perikanan artisanal setelah tsunami
menunjukkan tidak adanya penurunan pada kelimpahan jenis apapun yang ditangkap dalam perikanan
artisanal, termasuk perikanan artisanal menggunakan perangkap, atau perikanan dangkal (umumnya
berhubungan dengan terumbu) yang menangkap teripang. Pada kenyataannya, kepadatan teripang
meningkat 38% dan tangkapan baronang (Siganus spp.) per unit usaha meningkat 68%. Beberapa
perubahan di habitat dangkal dekat pantai telah terdeteksi, tetapi ini tampaknya hanya kerusakan kecil
dan harus dikembalikan seiring waktu melalui pergerakan alami sedimen lunak oleh arus. Hasil ini sesuai
dengan yang diperoleh Otoritas Perikanan Seychelles dan lembaga internasional.

USAHA-USAHA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Pemerintah Australia memberikan kontribusi sebesar US$ 80.000 dalam bentuk pengiriman tim Australia
untuk bekerja sama dengan pemerintah Seychelles dalam merumuskan strategi pemantauanpemantauan
terumbu karang, mengembangkan strategi rehabilitasi bagi terumbu karang yang rusak, dan menilai
dampak terhadap perikanan dekat pantai. Palang Merah Seychelles menerima US$ 50.000 dari USAID
untuk program darurat pemulihan. UNEP dan IUCN bergabung untuk mengirim misi penilaian ke
Seychelles pada Januari 2005. FAO mensponsori penanaman mangrove di depan hutan di Curieuse
untuk menghentikan hilangnya sedimen saat muson, dan untuk meredam gelombang sebelum sampai
ke hutan lama yang berkeanekaragaman.

REKOMENDASI
Rekomendasi berikut disarankan untuk memastikan pemulihan terumbu karang kembali ke kondisi sebelum
tahun 1998:

Sumber kerusakan kronis, seperti eksploitasi berlebihan dan perikanan yang merusak (perangkap),
polusi, dan sedimentasi dari reklamasi daratan serta pengembangan daerah pesisir harus dikurangi,

135
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

dengan menitikberatkan pada Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu (ICM). Pengurangan tekanan
kegiatan manusia akan mempercepat pemulihan alami terumbu dan memberikan daya lenting yang
besar terhadap perubahan di masa depan;
Rencana ICM harus dikembangkan dan diimplementasikan di tiap pulau untuk menyertakan proses
dan ekosistem pesisir, pola pemanfaatan pesisir untuk menghubungkan ekosistem lautan dan daratan
di dalam rencana pengelolaan MPA, dan mekanisme legal serta operasional yang efektif. Jaringan
MPA harus diperluas untuk menyertakan contoh perwakilan habitat;
Pemetaan habitat laut dekat pantai harus diperkuat untuk mengidentifikasi daerah yang paling
terkena dampak, membantu pemantauanpemantauan pemulihan, memeriksa pola keragaman diantara
habitat-habitat yang ada, dan menilai peran serta ekosistem pesisir dalam pencegahan kerusakan
garis pantai;
Infrastruktur di taman-taman laut (penambat kapal, peralatan patroli, dan pemantauanpemantauan)
harus disimpan untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut akibat kegiatan wisatawan di dalam MPA;
Kepedulian akan nilai terumbu karang dan dampaknya pada kegiatan manusia harus ditingkatkan.
Kepedulian dapat ditingkatkan bila lebih banyak masyarakat terdorong untuk menjadi relawan
dalam pemantauanpemantauan dan pengelolaan terumbu;
Informasi sosio-ekonomi tentang pengelolaan terumbu karang dan MPA harus diintegrasikan ke
dalam rencana pengelolaan;
Lebih banyak kolaborasi program di tingkat lokal, regional, dan global seperti program Sensus
Kehidupan Laut dan Program Global Spesies Penjelajah harus semakin ditingkatkan; dan
Tambahan dana sangat diperlukan untuk melanjutkan program pemantauanpemantauan terumbu
karang regional saat proyek GEF dihentikan tahun 2005.

PENINJAU
Kristian Teleki and David Garnett.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis hendak menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang
telah berkontribusi dalam penyediaan data serta informasi untuk bab ini, baik yang berasal dari laporan-
laporan yang tak terpublikasi maupun dari pihak-pihak yang ikut serta dalam debat langsung tentang
kerusakan lebih lanjut pada terumbu karang di Seychelles.

KONTAK PENULIS
Ameer Abdulla, Global Marine Program, IUCN, Ameer.Abdulla@iucn.org; Jude Bijoux, Seychelles Centre
for Marine Research and Technology, j.bijoux@scmrt-mpa.sc; Udo Engelhardt, Reefcare International Pty
Ltd, reefcare@ozemail.com.au; David Obura, CORDIO East Africa, Mombasa, Kenya, dobura@cordioea.org;
Rolph Payet, Department of Environment, Seychelles, ps@env.gov.sc; Kate Pike, Seychelles Centre for
Marine Research and Technology, k.pike@scmrt-mpa. sc; Jan Robinson, Seychelles Fishing Authority,
jrobinson@sfa.sc; Martin Russell, Great Barrier Reef Marine Park Authority, Australia,
martinr@gbrmpa.gov.au; Timothy Skewes, CSIRO, Australia, Timothy.Skewes@csiro.au. (Susunan penulis
berdasarkan abjad.)

136
Status Terumbu Karang di Seychelles setelah Tsunami pada Desember 2004

ACUAN
Bab ini sebagian besar disarikan dari laporan yang disiapkan oleh Pemerintah Seychelles, UNEP, CORDIO,
IUCN, AusAID, Pike (tak dipublikasi, 2005) dan makalah oleh Engelhardt et al. (2002), Payet et al.
(2005), Souter et al. (2005), Stobart et al. (2002), Teleki et al. (2000), Teleki dan Spencer (2000), dan
Turner et al. (2000) dalam laporan CORDIO dan GCRMN (p. ##).

Australian Government: AusAID Report (2005) Australia’s response to the Indian Ocean tsunami: report
for the period ending 30 June 2005, (www.ausaid.gov.au/publications/ pubout.cfm?Id=8755
1752_3263_3258_5384).
Obura D, Abdulla A (2005) Assessment of tsunami impacts on the marine environment of the Seychelles,
IUCN/CORDIO, (www.iucn.org/info_and_news/press/seychelles-tsunami-22-02-05.pdf).
Seychelles Fishing Authority (SFA) (2005) Seychelles Fishing Authority Annual Report 2004, (www.sfa.sc).
Skewes T, Ye Y, Burridge C (2005) Australian government assistance to the Seychelles tsunami relief
effort: Assessing impacts to near-shore fisheries. CSIRO Marine and Atmospheric Research. Report to
AusAID, 54pp.
UNEP (2005) After the tsunami: rapid environmental assessment. United Nations Environment Programme,
Nairobi, Kenya, (www.unep.org/tsunami/tsunami_rpt.asp).

137
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

138
11. STATUS TERUMBU KARANG DI AFRIKA TIMUR
DAN ARABIA SELATAN PASCA TSUNAMI

DAVID OBURA DAN LYNDON DEVANTIER

RINGKASAN
Terdapat beragam dampak di negara-negara dalam satu wilayah; 289 kejadian fatal tercatat di
Somalia, 1 di Yaman (Sokotra), 11 di Tanzania, dan 1 di Kenya; negara-negara lain di Afrika Timur
dan Arab Selatan hanya sedikit menderita atau bahkan tak terkena dampak sama sekali;
Di Somalia, 4.500 orang mengungsi, 18.000 terkena dampak langsung, dan 22.000 nelayan
kehilangan kapal dan peralatan, sebagian besar kerusakan berada di kota dan desa di bagian utara.
Sumur-sumur pesisir, sumber air tanah, dan lahan subur terkontaminasi oleh air laut, dan tsunami
kemungkinan telah menyebarkan limbah beracun;
Di Yaman, 2.000 keluarga terkena dampak dan kerusakan berupa: 204 rumah; salinisasi sumur; erosi
pantai lokal; kapal, peralatan pancing, kerugian infrastruktur perikanan; dan total kerugian diperkirakan
US$ 2 juta;
Di Kenya dan Tanzania, arus yang kuat menghancurkan banyak kapal;
Terdapat kerusakan minimal terumbu karang di negara-negara yang kami nilai;
Rehabilitasi di Somalia difokuskan pada pengentasan kerugian diantara 1,2 juta penduduk, yang
sudah menderita karena adanya konflik sosial, kekeringan, dan kekurangan pangan selama berdekade-
dekade;
Rekomendasi regional difokuskan pada pengembangan sistem peringatan dini; dan
Pusat perhatian tsunami pada status terumbu karang serta ekosistem pesisir dan laut lainnya; dan
menitikberatkan pada pentingnya pemeliharaan kesehatan terumbu.

PENDAHULUAN
Gelombang tsunami pertama menyerang Yaman pukul 11:40 pagi, sekitar 6 jam setelah gempa bumi.
Permukaan laut mulai naik pukul 11:00 pagi dan kemudian bergerak cepat, memperlihatkan rataan
pasang sepanjang 2 km sebelum akhirnya menggenanginya kembali. Saat gelombang mencapai Yaman,
tingginya telah berkurang sekitar 3 m, yang berarti sedikit lebih tinggi dari kisaran pasang normal. Walaupun
demikian, tsunami dapat menembus sampai 500 m ke arah daratan di beberapa tempat. Dampak terbesar

139
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

dirasakan di sepanjang garis pantai Al Mahra Governorate, terutama antara Saihut dan Wadi Hauf, dan
Kepulauan Sokotra, yang terletak di luar ‘Tanduk Afrika’. Tak ada kerusakan nyata yang tercatat di
sepanjang daerah pesisir lain di Yaman, kemungkinan karena adanya perlindungan dari India dan Tanduk
Afrika. Hanya terdapat satu kejadian fatal di Yaman, yaitu di Qalansiya di Pulau Sokotra, dimana seorang
anak laki-laki tenggelam saat mencoba mengambil ikan-ikan yang terdampar sebelum gelombang datang
kembali. Derajat penggenangan terbesar terjadi sekitar pukul 5:00 sore hari minggu, dimana pasang
menembus pantai dengan cara yang tidak biasa di sepanjang pantai utara. Tsunami menyebabkan salinisasi
sumur-sumur, erosi pantai lokal, dan kerusakan pada 27 kapal, 60 kapal motor tempel, alat pancing,
infrastruktur perikanan, 204 rumah, dan 44 rumah penyimpanan, dengan kerugian finansial terbesar di
pesisir selatan Sokotra. Total kerusakan di Yaman diperkirakan sebesar US$ 2 juta.

140
Status Terumbu Karang di Afrika Timur dan Arabia Selatan Pasca Tsunami

Tinggi gelombang tanggal 26 Desember menurun secara eksponensial sejalan dengan jarak,
dimana gelombang bergerak melintasi Samudera Hindia dari pusat gempa (Sumber: Laporan
UNEP tahun 2005 tentang tsunami dan sumber-sumber media)

Di Somalia, gelombang setinggi 3 m berdampak pada sekitar 650 km garis pantai antara Hafun dan
Garacad, menggenangi daerah pesisir yang terbentang rendah serta menyebabkan kerusakan parah pada
perumahan, kapal ikan, dan peralatan, terutama di dekat Hafun; 289 orang meninggal, 4.500 orang
mengungsi, dan 18.000 orang terkena dampak langsung bencana. Sekitar 22.000 orang (Kebanyakan
keluarga nelayan yang kehilangan kapal dan peralatannya) membutuhkan bantuan kemanusiaan untuk
memulihkan penghidupannya. Sebagai tambahan, sumur-sumur pesisir, sumber-sumber air tanah, dan
lahan subur terkontaminasi oleh air laut. Tsunami kemungkinan telah menyebarkan limbah beracun,
termasuk uranium radioaktif, timah, kadmium, dan merkuri sebagaimana juga limbah industri, rumah
sakit, dan kimiawi lainnya, yang telah tersimpan dalam wadah bocor di pantai-pantai Somalia sejak awal
1980an. Terdapat laporan kontaminasi yang mempengaruhi populasi ikan dan sumber daya air tanah di
Hobyo dan Warsheik. Sebagai tambahan, banyak orang yang mengeluhkan masalah kesehatan yang
tidak biasa, termasuk penyakit pernafasan akut, batuk kering yang berat, perdarahan mulut, perdarahan
perut, iritasi kulit yang tidak biasa, dan beberapa kematian yang mungkin disebabkan karena menghirup
bahan-bahan beracun.

Tsunami sampai ke pesisir Kenya dan Tanzania sekitar 8 jam setelah gempa bumi; pada saat itu gelombang
telah berkurang menjadi tinggi 1 m dan masih termasuk ke dalam kisaran pasang normal. Kenya dan
Tanzania mengalami aliran pasang yang kuat, dan bukan gelombang kuat yang pecah seperti yang terjadi
di negara-negara Samudera Hindia lainnya. Di Kenya, tsunami hadir sebagai surut yang mengalir cepat
selama 10 menit, tetapi menyebabkan fluktuasi ketinggian pasang setinggi 1,5 m. Dilaporkan bahwa
terdapat 8 – 10 siklus acak anatara pukul 12:30 dan 20:30, dimana siraman pasang pertama adalah yang
terkuat dan kemudian menghilang seiring waktu. Permukaan air kembali ke tinggi pasang normal diantara
siraman-siraman pasang. Siklus pasang yang cepat ini menyebarkan kembali sejumlah pasir di sepanjang
terusan dekat Lamu di utara Kenya dan pantai-pantai yang tererosi di Malindi. Arus yang kuat menyebabkan
banyak kapal, yang ditambatkan di laguna yang terlindung, terseret jangkarnya; membuat kapal-kapal itu
terdorong ke pantai atau ke kapal di sebelahnya. Arusnya sangat kuat sekali sehingga dapat menarik
perenang yang tidak handal ke tengah laut, menghasilkan kematian satu orang di Kenya dan 11 lainnya
di Dar es Salaam, Tanzania.

141
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Lepas pantai Rodrigues (Mauritius), 7 gelombang menerpa pulau tersebut antara pukul 10:00 pagi sampai
pukul 5:00 sore. Gelombang ini menggenangi daerah pesisir dekat kota utama Port Mathurin dan pantai-
pantai yang tererosi di sepanjang pesisir tenggara, dan sepanjang pulau buatan yang dibangun dari bahan
pengerukan. Di tempat lain di Mauritius, rentang pasang hanya 56 cm karena energi tsunami telah
berkurang, sehingga tak ada kerusakan luas.

Komoros, Madagaskar, Mozambik, dan Reunion terlindung di balik dangkalan Seychelles, Saya de Malha,
dan Cargados Carajos Banks di tengah-tengah Samudera Hindia. Hanya gelombang kecil dan aliran
pasang yang tercatat dan tak ada kerusakan yang dilaporkan, baik di darat maupun di laut.
Tinggi gelombang (m)

Jarak (km)

Grafik ini memperlihatkan fluktuasi pasang aktual tanggal 26 Desember di beberapa negara Afrika
Timur. Tiap garis memperlihatkan rentang pasang tanggal 25 Desember dan ramalan tinggi-rendah
pasang untuk hari itu. Terdapat perbedaan nyata dimana pesisir yang berada dekat dengan sumber
tsunami mengalami fluktuasi permukaan air yang lebih besar serta kerusakan yang lebih parah
dibandingkan dengan tempat-tempat yang lebih jauh. Data diperoleh dari Pusat Permukaan Air Laut
University of Hawaii (http://ilikai.soest.hawaii.edu/uhslc/iotd/).

142
Status Terumbu Karang di Afrika Timur dan Arabia Selatan Pasca Tsunami

STATUS TERUMBU KARANG PRA-TSUNAMI


Kondisi terumbu karang pra-tsunami di Afrika Timur dipengaruhi oleh tekanan manusia dan parahnya
pemutihan karang serta kematian saat peristiwa perubahan iklim akibat El Niño tahun 1998. Kerusakan
dari kedua stres tersebut berbeda nyata; beberapa terumbu yang tak terpengaruh oleh kegiatan manusia,
memutih dengan dahsyat dan begitu pula kebalikannya. Sebelum 1998, tutupan karang keras hidup, di
terumbu yang tak dapat diakses, nilainya tinggi (>40%) dan stabil. Tutupan karang, di terumbu yang
mudah diakses, nilainya lebih rendah akibat adanya praktik penangkapan ikan yang merusak
(menggunakan peledak dan jaring pukat), sedimentasi, dan polusi.

Terumbu tersehat di wilayah ini adalah yang letaknya terpencil dan tak dapat diakses, yang telah selamat
dari kerusakan fatal peristiwa pemutihan selama tahun 1998. Sebelum tsunami, tutupan karang keras
hidup di terumbu-terumbu ini berkisar mulai 20% di Tanzania sampai 80% di terumbu-terumbu yang
lebih dalam di Mozambik. Terumbu yang mengalami pemutihan dan kematian ringan berada pada kondisi
yang lebih baik serta tutupan karangnya mendekati 20% di akhir tahun 2004. Pada sebagian besar
terumbu yang mengalami tingkat kematian karang yang tinggi (>80% pengurangan terhadap tutupan
karang), tutupan karang tetap sangat rendah (<10%); komunitas-komunitas karang ini didominasi oleh
koloni-koloni kecil (<15 cm) yang telah menetap sejak 1998. Kemunculan karang muda jumlahnya
bervariasi, berkisar dari level tertinggi 2-6 karang muda/m2 sampai terendah yaitu 0,5-2 karang muda/
m2 atau kurang, di bagian utara Kenya dan Afrika Selatan. Pemulihan diperlambat oleh adanya tekanan
dari manusia seperti penambangan karang, penangkapan yang merusak, polusi, dan sedimentasi.

Komposisi jenis karang di banyak terumbu Afrika Timur tampaknya akan berubah akibat adanya kehilangan
besar selama peristiwa pemutihan tahun 1998 serta perbedaan dalam kemunculan karang muda. Sebagai
contoh, karang Acropora saat ini tak dapat dijumpai di banyak terumbu di sekeliling wilayah (contohnya
bagian utara Kenya) dimana mereka ditemukan melimpah sebelum 1998. Millepora juga jarang, tetapi
pernah mendominasi komunitas dangkal. Karang-karang tersebut digantikan oleh karang yang lebih
tahan terhadap pemutihan, seperti Porites dan beberapa jenis Faviidae serta Siderastreidae. Sebelum
tahun 1998, sebagian besar karang muda yang baru adalah Acropora, tetapi sekarang yang paling umum
adalah Pocillopora dan Faviidae serta Poritidae yang lambat tumbuh. Di bagian utara Kenya, Coscinaraea
adalah karang baru yang paling umum. Perubahan ini memberi kesan bahwa terumbu karang di masa
depan akan terlihat berbeda dari sebelum tahun 1998.

Sokotra (Yaman): Terumbu karang Sokotra berada dalam kondisi yang baik sebelum tahun 1998 dan
dampak pemutihan pada terumbu-terumbu ini hanyalah sedikit. Terumbu di luar kepulauan selamat dari
kerusakan serius, dan tutupan karang keras hidup tetap tinggi nilainya (~45%). Namun demikian, terumbu
di sekitar Pulau Sokotra sangat terpengaruh oleh kematian akibat pemutihan; dimana kerugian mencapai
lebih dari separuh tutupan karang. Pemulihan sejak tahun 1998 cukup menjanjikan, terutama di dalam
MPA-MPA, dimana tutupan karang daerah dangkal meningkat dari 20% menjadi lebih dari 30% antara
tahun 2002 dan 2003. Pada terumbu yang lebih dalam, tutupan karang telah meningkat dari 28% di
tahun 2000 menjadi 41% di tahun 2003.

Somalia: Terumbu tepi (fringing reefs) yang berkembang baik dan tersebar, terdapat di sepanjang pesisir
Somalia di Teluk Aden, terutama di selatan dekat perbatasan dengan Kenya. Namun demikian, status
terumbu karang tidaklah diketahui karena tidak adanya institusi yang berfungsi serta tidak adanya
pemantauanpemantauan di tempat ini. Begitu pula dengan status perikanan pesisir dan laut lepas di
Somalia yang tak diketahui, walaupun upwelling dingin yang kaya nutrien pada Arus Pesisir Somalia
mengindikasikan bahwa potensi perikanannya sangat tinggi; kapal asing dilaporkan banyak yang bekerja
secara ilegal di daerah tersebut.

143
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

MISI KE YAMAN MENGUNGKAP KERUSAKAN YANG LEBIH LUAS


AKIBAT TSUNAMI
Misi pencari fakta oleh FAO dan pemerintah Yaman melaporkan bahwa masyarakat nelayan di
Yaman terkena dampak tsunami Desember 2004 yang lebih serius dari yang diperkirakan,
dimana lebih dari 2.000 keluarga terkena dengan kerusakan mencapai US$ 2,2 juta. Misi
tersebut mensurvei 34 masyarakat nelayan di kabupaten Al Mahara serta Kepulauan Sokotra.
Pakar FAO, Hans Båge, menemukan bahwa “sementara kerusakannya lebih sedikit dari negara-
negara di dekat episenter gempa bumi, terdapat dampak nyata pada penghidupan masyarakat
lokal, terutama nelayan”. Gelombang besar merusak kapal, mesin, dan peralatan pancing
sebagaimana pula merusak infrastruktur yang vital untuk sektor perikanan seperti pabrik es,
gudang penyimpanan, dan dermaga. Tercatat 653 kapal, 569 mesin, 1.625 jaring, dan 16.980
perangkap ikan yang rusak ataupun hancur total. Kerugian ini telah mempengaruhi penghidupan
banyak rumah tangga nelayan, sehingga meninggalkan mereka dalam kemiskinan. Sebagian
besar belum menerima bantuan yang dapat menolong mereka memulai kembali kegiatan perikanan
atau lainnya, sehingga menyebabkan dampak ekonomi terhadap pembeli, penjual, pengolah,
dan lainnya yang hidup dari kegiatan perikanan. Kurangnya keahlian finansial dan teknis,
kurangnya koordinasi serta kesulitan untuk mencapai desa terpencil telah membuat perkiraan
awal dampak tsunami tak menggambarkan keseluruhan kerusakan, sementara pihak berwenang
tidak segera mengidentifikasi kebutuhan akan bantuan internasional. FAO mendesak donor
untuk segera mendukung proyek rehabilitasi perikanan pasca-tsunami bagi Yaman. “Banyak
nelayan yang tidak melaut selama 6 bulan terakhir” jelas Båge. “Mereka hanya dapat memulai
lagi di bulan September saat angin muson berhenti dan mereka menerima bantuan yang tepat.”
Proyek tersebut akan menyediakan pemberian dasar di sektor perikanan seperti jaring, kait,
pancing, suku cadang mesin serta perbaikan atau penggantian kapal, mesin, dan peralatan
penangkapan ikan. FAO juga mengajukan pelaksanaan penilaian terhadap kelayakan dalam
memperbaiki pantai-pantai yang tererosi serta pelabuhan alam yang sudah menjadi bagian
dari nelayan Yaman (Sumber: George Kourous, Petugas Informasi, UNFAO,
george.kurous@fao.org).

Kenya: Terdapat dua daerah utama: terumbu tepi yang hampir menyambung sepanjang 200 km di
daerah selatan mulai dari Malindi sampai Shimoni; dan kompleks petakan/ gundukan serta lereng terumbu
di Bajuni Archipelago mulai dari Lamu sampai perbatasan Somalia. Sebelum tahun 1998, tutupan karang
keras hidup berkisar 30% dimana keragaman dan kerumitan terumbu meningkat dari utara ke selatan.
Terumbu karang di sepanjang pesisir Kenya memutih di tahun 1998, dimana tutupan hidup menurun
50%-90%. Karang bercabang di kedalaman 2-3 m paling terpengaruh, namun ada juga koloni yang mati
di kedalaman 20 m. Tingkat keselamatan karang paling tinggi terdapat di daerah yang pergerakan airnya
terbesar. Pemulihan hanya terjadi setengah-setengah sejak 1998, dimana pemulihan terbaik terdapat di
terusan dangkal dan terumbu bagian luar yang memiliki pergerakan air dinamis serta terdapat pasokan
larva karang baru secara reguler. Kemunculan karang muda di bagian selatan terumbu telah membaik
sejak 1998; namun, pemulihan di bagian utara Kenya terbentur oleh sedikitnya pasokan larva karang dari
terumbu-terumbu yang jauh jaraknya, terutama jenis Acropora bercabang yang pernah sangat
mendominasi. Pemulihan juga terhambat oleh: penangkapan ikan yang berlebih; meledaknya populasi
alga yang berbahaya di akhir tahun 2001 dan di awal 2002; wabah penyakit karang tahun 2002;
peristiwa pemutihan lagi di tahun 2003 yang membunuh 10% karang; dan kompetisi dengan alga.

Tanzania: Sebelum tahun 1998, tutupan karang hidup di terumbu Tanzania berkisar antara 43% sampai
73%, walaupun terdapat bukti nyata adanya penangkapan ikan yang merusak, penangkapan yang berlebih,
sedimentasi, dan polusi. Dampak peristiwa pemutihan karang bervariasi, dimana beberapa daerah terumbu
dangkal menderita tingkat kematian sebesar 75% sampai 85%. Tutupan karang keras hidup di 2 situs

144
Status Terumbu Karang di Afrika Timur dan Arabia Selatan Pasca Tsunami

sekitar Pulau Misali, menurun dari 74% menjadi 17% dan dari 51% ke 7%; sementara di Pulau Mafia,
tutupan karang hidup menurun dari 80% ke 15%. Tutupan karang hidup berkisar dari 25% sampai 55%
di terumbu sekitar Unguja (Zanzibar), Tanga, Dar es Salaam, Songo Songo, dan Mtwara, namun pemulihan
berjalan lambat di terumbu-terumbu yang rusak parah. Peristiwa pemutihan di tahun 2003, penangkapan
yang berlebih, dan mewabahnya bulu seribu (Acanthaster planci) telah memperlambat pemulihan, dan
Terumbu Tutia tampaknya akan menjadi terumbu alga karena adanya polusi nutrien.

STATUS TERUMBU KARANG PASCA TSUNAMI


Terdapat kerusakan minim pada terumbu karang dan pantai di Yaman daratan dan lepas pantai Kepulauan
Sokotra. Kemungkinan terdapat kerusakan di terumbu-terumbu Somalia, termasuk polusi bahan kimia
beracun yang tersapu dari darat, tetapi tak ada penilain yang telah dilakukan. Tak terdapat laporan
kerusakan fisik di terumbu karang Tanzania. Di Kenya, hanya sebuah kepala karang yang terjungkal
akibat tsunami di Cagar Nasional Laut Kiunga, dan tak ada yang rusak di 300 individu, pada koloni yang
telah diberi tanda, di laguna dangkal Mombasa. Beberapa karang telah tertutup sedimen di Rodrigues,
tetapi tak ada kerusakan fisik yang dilaporkan.

Terumbu, pesisir, dan pulau-pulau di Afrika Timur serta Samudera Hindia (yaitu Komoros, Madagaskar,
Mayotte, Reunion) dapat selamat dari kerusakan kemungkinan karena:

berjarak jauh dari sumber tsunami, yang berarti energi serta ukuran gelombang telah jauh menurun
saat mencapai Afrika;
Seychelles, Cargados Carajas, dan Saya de Malha Banks di tengah-tengah Samudera Hindia
menghilangkan banyak energi tsunami saat menyeberangi daerah-daerah dangkal ini; dan
kedatangan gelombang pertama dan terbesar, terjadi saat surut.

USAHA-USAHA REHABILITASI DAN PEMULIHAN


Rehabilitasi di Somalia telah difokuskan pada masyarakat, dimana lebih dari 1,2 juta penduduk telah
menderita akibat konflik sosial, kekeringan, dan kekurangan pangan. Kantor Bantuan Asing untuk Bencana
(Foreign Disaster Assistance) USAID menyediakan US$ 1,03 juta kepada badan-badan PBB dan LSM-
LSM bagi pengadaan darurat untuk tempat berlindung, makanan, peralatan rumah tangga, pasokan
medis, dan air minum. Lembaga USAID Food for Peace menyediakan 50% lebih banyak dari UN World
Food Programme di Somalia bagi 30.000 penduduk.

REKOMENDASI DAN KESIMPULAN


Sebagian besar Afrika Timur (kecuali Somalia) sangat beruntung karena letaknya terpencil dan terlindung
dari tsunami, sehingga pelajaran utama adalah mengambil manfaat dari keuntungan tersebut. Tidak
terdapat adanya sistem peringatan dini serta sistem penanggapan; sehingga rekomendasi difokuskan
pada peningkatan arus informasi antar institusi-institusi terkait, meningkatkan kapasitas mereka dalam
menanggapi secara efektif dan efisien, dan menjamin bahwa jaringan penanggapan terhubung pada
sistem peringatan internasional, nasional, dan lokal. Tsunami telah memberikan perhatian pada status
terumbu karang dan ekosistem pesisir serta laut lainnya, dan menggarisbawahi pentingnya pemeliharaan
kesehatan terumbu. Rekomendasi yang kritis adalah sebagai berikut:

Sistem peringatan dini dibangun dan dirawat dengan komponen berikut: mekanisme sederhana dan
biaya yang efektif dengan menggunakan kegiatan reguler yang telah ada dan interaksi antar institusi,
dan menghindari birokrasi yang berlebihan serta pengulangan usaha; komponen media swasta dan

145
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

global (yakni radio, televisi, internet); teknologi yang dapat mencapai individu secara cepat (yakni
ponsel dan SMS); termasuk para pemangku di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, departemen-
departemen pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat; struktur pengambilan keputusan yang jelas
dengan pertemuan-pertemuan reguler dan tanggung jawab yang jelas; terhubung dengan institusi
internasional dan media pemberitaan untuk mendapatkan informasi ancaman terkini; dan rencana
pengelolaan bencana; panduan, serta latihan uji skenario;
Memperbaiki pelaksanaan pemantauanpemantauan dan pengelolaan terumbu, dan memfokuskan
pada pengurangan dampak manusia, mengenali kelentingan terumbu serta manfaatnya dalam barang
dan jasa yang terbarukan, dan memastikan perlindungan pesisir dari bencana tak terduga seperti
tsunami; dan
Pembangunan dan perluasan MPA berlanjut sebagai ‘asuransi ekologi’ terhadap gangguan akut dan
kronis.

PENINJAU
David Garnett, Joanna Ruxton, Bernard Salvat, dan Kristian Teleki.

UCAPAN TERIMA KASIH


Sebagai tambahan informasi tentang dampak tsunami di Sokotra, kami mengucapkan terima kasih kepada
Malek Abdul-Aziz, Miranda Morris, Socotra Conservation Fund, dan Friends of Soqotra.

KONTAK PENULIS
David Obura, CORDIO East Africa, P.O. Box 10135 Mombasa, Kenya, dobura@cordioea.org; Lyndon
DeVantier, Ldevantier@aol.com.

ACUAN
Bab ini telah diambil dari laporan yang dibuat oleh UNEP, FAO, dan USAID; serta makalah oleh Mohammed
et al. (2005), Obura (2005), dan Souter (2005) dalam Souter dan Linden (2005), juga Kotb et al. (2004),
Obura et al. (2004), dan Ahamada et al. (2004) dalam Wilkinson (2004) yang terdaftar di Anjuran
Bacaan pada halaman 147.

Misi FAO (2005) ke Yaman mengungkap kerusakan yang lebih luas akibat tsunami. (www.fao.org/
newsroom/en/news/2005/107210/).
Friends of Soqotra/ Socotra Conservation Fund (2005) Asian tsunami impacts on Soqotra. 2 (July 2005):
1.
UNEP (2005) After the tsunami: rapid environmental assessment, United Nations Environment Programme.
Nairobi, Kenya, (www.unep.org/tsunami/tsunami_rpt.asp).
USAID: Somalia (2005), (www.usaid.gov/locations/ asia_near_east/tsunami/countries/so.html).

146
LAMPIRAN 1. ANJURAN BACAAN

Adger WN, Hughes TP, Folke C, Carpenter SR, Rockström J (2005) Social-ecological resilience to coastal
disasters. Science, 309: 1036-1039.
Ahamada S, Bijoux J, Bigot L, Cauvin B, et al. (2004) Status of the coral reefs of the South West Indian
Ocean states. In: Wilkinson C (ed.) Status of coral reefs of the World: 2004, Australian Institute of
Marine Science, Townsville, Queensland, Australia, pp. 189-211.
Ammon C, Ji C, Thio HK, Robinson D, et al. (2005) Rupture process of the 2004 Sumatra- Andaman
earthquake. Science, 308: 1133-1139.
Australian Government: AusAID Report (2005) Australia’s response to the Indian Ocean tsunami: report
for the period ending 30 June 2005.
Baird AH, Campbell SJ, Anggoro AW, Ardiwijaya RL, et al. (2005) Acehnese reefs in the wake of the Asian
tsunami. Current Biology, 15: 1926-1930.
Bilham R (2005) A flying start, then a slow slip. Science, 308: 1126-1127.
Burke L, Selig L, Spalding M (2002) Reefs at risk in Southeast Asia. UNEP-WCMC, Cambridge, UK.
CBD (2005) Facilitating recovery of marine and coastal biodiversity after the asian tsunami, UNEP/CBD/
SBSTTA.
Chatenoux B, Peduzzi P (2005) Analysis of the role of bathymetry and other environmental parameters
in the impacts from the 2004 Indian Ocean tsunami. Report for the UNEP Asian Tsunami Disaster
Task Force. UNEP/DEWA/GRID-Europe, Switzerland.
Chavanich S, Siripong A, Sojisuporn P, Menasveta P (2005) Impact of tsunami on the seafloor and corals
in Thailand. Coral Reefs, 24(4): 535.
CORDIO/IUCN (2005) First preliminary report of the damage to coral reefs and related ecosystems of the
western and central Indian Ocean caused by the tsunami of December 26.
CORDIO (2005) Assessment of tsunami damage in the Indian Ocean, Second Report.
Cummins P, Leonard M (2005) The Boxing Day 2004 tsunami – a repeat of 1833? Geoscience Australia,
AUSGEO news, Issue 77.
Cyranoski D (2005) Preparations get under way for tsunami warning system. Nature, 436: 759.
Dahdouh-Guebas F, Jayatissa LP, Di Nitto D, Bosire JO, et al. (2005) How effective were mangroves as a
defence against the recent tsunami? Current Biology, 15(12): 443-447. Status of Coral Reefs in
Tsunami Affected Countries: 2005
Danielsen F, Sørensen MK, Olwig MF, Selvam V, et al. (2005) The Asian tsunami: a protective role for
coastal vegetation. Science, 310: 643.

147
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

Fernando HJS, Mendis SG, McCulley JL, Perera K (2005) Coral poaching worsens tsunami destruction in
Sri Lanka. Eos Transactions. AGU, 86: 301-304.
Foster R, Hagan A, Perera N, Gunawan CA, et al. (2005) Tsunami and earthquake damage to coral reefs
of Aceh, Indonesia. Reef Check Foundation, Pacific Palisades, California, USA, 85 pp.
ICRI/ISRS (2005) Tsunami damage to coral reefs: guidelines for rapid assessment and
pemantauanpemantauan. January 2005. Seychelles.
Ishii M, Shearer PM, Houston H, Vidale JE (2005) Extent, duration and speed of the 2004 Sumatra-
Andaman earthquake imaged by the Hi-Net array. Nature, 435: 933-936.
Lay T, Kanamori H, Ammon CJ, Nettles M, et al. (2005) The great Sumatra-Andaman earthquake of 26
December 2004. Science, 308: 1127-1133.
Liu PL-F, Lynett P, Fernando H, Jaffe BE, et al. (2005) Observations by the international Tsunami survey
team in Sri Lanka. Science, 308: 1595.
Marris E (2005) Tsunami damage was enhanced by coral theft. Nature, 436: 1071.
Obura D, Church J, Daniels C, Kalombo H, et al. (2004) Status of coral reefs in East Africa: Kenya,
Tanzania, Mozambique and South Africa. In: Wilkinson C (ed.) Status of coral reefs of the World:
2004, Australian Institute of Marine Science, Townsville, Queensland, Australia, pp. 171-188.
Park J, Song TRA, Tromp J, Okal E, et al. (2005) Earth’s free oscillations excited by the 26 December 2004
Sumatra-Andaman earthquake. Science, 308: 1139-1143.
Pennisi E (2005) Powerful tsunami’s impact on coral reefs was hit and miss. Science, 307: 657.
Phongsuwan N, Brown BE (in press) The influence of the Indian Ocean tsunami on coral Reefs of western
Thailand, Andaman Sea, Indian Ocean. Atoll Research Bulletin (Theme Issue on the Indian Ocean
Tsunami).
Rajasuriya A, Zahir H, Venkataraman K, Islam Z, Tamelander J (2004) Status of coral reefs in South Asia:
Bangladesh, Chagos, India, Maldives and Sri Lanka. In: Wilkinson C.(ed.) Status of coral reefs of the
World: 2004, Australian Institute of Marine Science, Townsville, Queensland, Australia, pp. 213-
231.
Rice A (2005) Post-tsunami reconstruction and tourism: a second disaster? Tourism Concern,
(www.tourismconcern.org.uk/pdfs/Final%20report.pdf).
Schiermeier Q (2005) On the trail of destruction. Nature, 433: 350-353.
Searle M (2005) Co-seismic uplift of coral reefs along the western Andaman Islands during the December
26th 2004 earthquake. Coral Reefs, 171: 372.
Sieh K (2005) What happened and what’s next? Nature, 434: 573-574.
Souter D, Linden O (eds.) (2005) Coral Reef Degradation in the Indian Ocean Status Report2005.
University of Kalmar, Sweden.
Spalding M, Ravilious C, Green EP (2001) World atlas of coral reefs. University of California Press, California,
USA.
Stein S, Okal EA (2005) Speed and size of the Sumatra earthquake. Nature, 434: 581-582.
Titov V, Rabinovich AB, Mofjeld HO, Thomson RE, González FI (2005) The global reach of The 26
December 2004 Sumatra tsunami. Science, 309: 2045-2048.
Tun K, Chou LM, Cabanban A, Tuan VS, et al. (2004) Status of coral reefs, coral reef monitoring and
management in Southeast Asia. In: Wilkinson C (ed.) Status of coral reefs of the World: 2004,
Australian Institute of Marine Science, Townsville, Queensland, Australia, pp. 235-275.

148
Lampiran 1. Anjuran Bacaan

Tun K, Oliver J, Kimura T (2005) Summary of preliminary rapid assessments of coral reefs in affected
southeast asian countries following the Asian tsunami event on December 26 2004, Worldfish
Center/GCRMN/Government of Japan.
UNEP (2005) After the tsunami: rapid environmental assessment, United Nations Environment Programme,
Kenya (www.unep.org/tsunami/tsunami_rpt.asp).
UNEP/WCMC/ICRI/ICRAN/IUCN (in press) Breaking the waves: shoreline protection and other
ecosystem services from mangroves and coral reefs.
Wilkinson C (ed.) (2004) Status of coral reefs of the world: 2004. Australian Institute of Marine Science,
and Global Coral Reef Monitoring Network, Townsville, Australia, 557 pp.

149
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

150
LAMPIRAN 2. DAFTAR AKRONIM

ADB Asian Development Bank


Bank Pembangunan Asia
AIMS Australian Institute of Marine Science
Institut Ilmu Kelautan Australia
ASEAN Association of South East Asian Nations
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
CBD Convention on Biological Diversity
Konvensi Keanekaragaman Hayati
CCC Coral Cay Conservation
CDD Community Driven Development
Pembangunan yang Bertumpu pada Masyarakat
CI Conservation International
CHARM Community Hazard and Risk Management programme, Thailand
Program Pengelolaan Ancaman dan Bahaya bagi Masyarakat, Thailand
CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora
CONSRN Consortium to Restore Shattered Livelihoods in Tsunami-Devastated
Nations
Konsorsium Pemulihan Sumber Penghidupan di Negara-negara Terimbas
Tsunami
CORAL Coral Reef Alliance
Aliansi Terumbu Karang
CORDIO Coral Reef Degradation in the Indian Ocean
Degradasi Terumbu Karang di Samudera Hindia
COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Programme
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang
COTS Crown-of-thorns starfish (Acanthaster planci)
CRC REEF Cooperative Research Centre for the Great Barrier Reef, Australia
Pusat Pengkajian Bersama Great Barrier Reef, Australia
CSD Convention for Sustainable Development
Konvensi Pembangunan Berkelanjutan

151
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

CSIRO Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (of


Australia)
Organisasi Persemakmuran Penelitian Ilmiah dan Industri Australia
DMCR Department of Marine and Coastal Resources (of Thailand)
Departemen Sumber Daya Laut dan Pesisir (Thailand)
EIA Environmental Impact Assessment
Pendataan Dampak Lingkungan
GBRMPA Great Barrier Reef Marine Park Authority
Otorita Taman Laut Great Barrier Reef
GCRMN Global Coral Reef Monitoring Network
Jaringan Pemantauan Terumbu Karang Dunia
GDP Gross Domestic Product
Pendapatan Domestik Bruto
GEF Global Environment Facility
GIS Geographic Information System
Sistem Informasi Geografis
GPS Global Positioning System
ICAM Integrated Coastal Area Management
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
ICLARM International Center for Living Aquatic Resources Management
Pusat Pengelolaan Sumberdaya Perairan Hayati Internasional
ICM Integrated Coastal Management
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu
ICRAN International Coral Reef Action Network
Jaringan Kegiatan Terumbu Karang Internasional
ICRI International Coral Reef Initiative
Inisiatif Terumbu Karang Internasional
ICZM Integrated Coastal Zone Management
Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu
IDP Internally Displaced Person
Pengungsi Internal
IERSE Institute for Environmental Research and Social Education
Institut Penelitian Lingkungan dan Pendidikan Sosial
IFRC The International Federation of Red Cross and Crescent Societies
Federasi Internasional Lembaga Palang Merah dan Sabit Merah
ILO International Labour Organization
Organisasi Buruh Internasional
IMO International Maritime Organisation
Organisasi Kelautan Internasional
IMPAC International Marine Project Activities Centre
Pusat Proyek Kegiatan Kelautan Internasional
IOC Intergovernmental Oceanographic Commission (of UNESCO)
Komisi Oseanografi Antar Pemerintah – UNESCO

152
Lampiran 2. Daftar Akronim

IOI International Ocean Institute


Institut Kelautan Internasional
IOM International Organization for Migration
Organisasi Migrasi Internasional
IUCN World Conservation Union
Serikat Konservasi Dunia
ISRS International Society for Reef Studies
Masyarakat Pengkaji Terumbu Dunia
JBIC Japanese Bank for International Cooperation
Bank Kerjasama Internasional Jepang
JICA Japan International Cooperation Agency
Lembaga Kerjasama Internasional Jepang
KEHATI, Yayasan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia
MONRE Ministry of Natural Resources and Environment (of Thailand)
Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Thailand)
MPA Marine Protected Area
Daerah Perlindungan Laut
NARA Natural Aquatic Resources and Research Agency
Lembaga Penelitian dan Sumber Daya Perairan
NGO Non-Governmental Organisation
Organisasi Non-Pemerintah
NOAA National Oceanic and Atmospheric Administration (of USA)
Badan Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat
OCHA Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (of UN)
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB
RAP Rapid Assessment Protocol
Protokol Penilaian Secara Cepat
RC Reef Check
REA Rapid Ecological Assessment
Penilaian Ekologi Secara Cepat
ROPME Regional Organisation for the Protection of the Marine Environment
Organisasi Perlindungan Kelautan Regional
RWMC Reef Watch Marine Conservation
Konservasi Kelautan Pengamat Terumbu (Karang)
SAREC SIDA Department for Research Cooperation
Departemen Kerjasama Penelitian SIDA
SCUBA Self-Contained Underwater Breathing Apparatus
SDMRI Suganthi Devadason Marine Research Institute (of India)
Institusi Penelitian Kelautan Suganthi Devadason (India)
SEAFDEC Southeast Asian Fisheries Development Center
Pusat Pengembangan Perikanan Asia Tenggara
SIDA Swedish International Development Agency
Lembaga Bantuan Internasional Swedia

153
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

SLSAC Sri Lanka Sub-Aqua Club


SUMUT Sumatra Utara
TERANGI, Yayasan Yayasan Terumbu Karang Indonesia
TNC The Nature Conservancy
UN United Nations
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
UNCED United Nations Conference on Environment and Development
Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan
UNDAC United Nations Disaster Assessment and Coordination
Pendataan Dampak dan Koordinasi Bencana PBB
UNDP United Nations Development Programme
Program Pembangunan PBB
UNEP United Nations Environment Programme
Program Lingkungan PBB
UNEP GRID United Nations Environment Programme Global Resource Information
Database
Basis Data Informasi Sumber Daya Global UNEP
UNESCO United Nations Educational Scientific and Cultural Organisation
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB
UNICEF United Nations Children’s Fund
Dana Bantuan Anak-anak PBB
UNOCHA United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB
USAID United States Agency for International Development
Badan Pembangunan Internasional Pemerintah Amerika Serikat
UV Ultraviolet radiation
Radiasi ultraviolet
WCMC World Conservation Monitoring Centre
Pusat Pemantauan Konservasi Dunia
WHO World Health Organisation
Organisasi Kesehatan Dunia
WHOSEA World Health Organisation regional office for Southeast Asia
Organisasi Kesehatan Dunia - Kantor Kawasan Asia Tenggara
WRI World Resources Institute
Institut Sumber Daya Dunia
WWF World Wildlife Fund (of USA)
WWF World Wide Fund for Nature (elsewhere)

154
LEMBAGA SPONSOR, PROGRAM DAN JARINGAN
PEMANTAUAN TERUMBU KARANG

AIMS
AIMS merupakan salah satu lembaga penelitian utama Australia dengan bidang kajian berupa penelitian
kelautan di wilayah tropis. AIMS melakukan penelitian dan pengembangan guna menghasilkan
pengetahuan baru dalam ilmu dan teknologi kelautan, dan mempromosikan kegunaannya dalam kalangan
industri, pemerintah, dan pengelolaan lingkungan. Program penelitiannya mencakup kurun waktu jangka
menengah sampai jangka panjang yang dijalankan guna mendapatkan pemahaman mengenai sistem-
sistem yang terjadi di laut, dan pengembangan kemampuan dalam memprakirakan sifat-sifat dari sistem-
sistem laut tropis yang kompleks. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, institusi ini telah mengukir
reputasi yang kokoh dalam menjalankan berbagai penelitian berkualitas tinggi mengenai ekosistem terumbu
karang dan hutan mangrove, dan siklus perputaran air di sekitar pesisir dan paparan benua kita. Para
peneliti tidak hanya sering menerbitkan tulisan dalam jurnal-jurnal ilmiah, tapi juga telah menulis beberapa
panduan lapangan, buku, dan monograf untuk penggunaan skala regional. Salah satu kegiatan utama
mereka adalah mengembangkan dan menerapkan metoda-metoda pemantauan yang membantu
pengelolaan berkelanjutan untuk sumber daya laut tropis. AIMS mendukung beragam penelitian guna
mencapai pengelolaan terumbu karang yang efektif. Alamat Kontak: AIMS, PMB #3, Townsville 4810
Australia; www.aims.gov.au

AUSAID
AusAID merupakan lembaga pemerintahan Australia yang bertanggungjawab dalam mengelola program
bantuan dana luar negeri pemerintahan Australia. Tujuan dari program bantuan ini adalah untuk
memajukan kepentingan negara Australia dengan membantu negara-negara berkembang dalam
mengurangi kemiskinan dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan. AusAID memberikan konsultasi
dan dukungan dalam pengembangan kebijakan kepada Menteri Sekretariat (Negara) dan Parlemen,
serta ikut merencanakan dan mengkoordinir kegiatan pengentasan kemiskinan bersamaan dengan negara
berkembang. Kantor pusat AusAID terdapat di Canberra. AusAID juga memiliki 25 kantor perwakilan di
negara-negara dimana kerjasama terjalin. Alamat kontak: email: infoausaid@ausaid.gov.au. Website:
www.ausaid.go.au

CBD – CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI KERAGAMAN


HAYATI)
Keragaman hayati, keragaman yang terdapat antara setiap makhluk hidup dan ekosistem pendukungnya,
merupakan fondasi dasar bagi kehidupan manusia yang selama ini dibangun. Mempertahankan keragaman

155
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

tersebut, dengan adanya berbagai ancaman dari kegiatan manusia, merupakan salah satu tantangan
yang dihadapi di era modern saat ini. Pembentukan CBD berawal dari Earth Summit yang diselenggarakkan
di Rio de Janeiro pada tahun 1992 dan memiliki 188 negara anggota yang terikat secara hukum dalam
perjanjian in dengan partisipasi yang bisa dikatakan universal. Tujuan dari CBD adalah: pelestarian
keragaman hayati; penggunaan komponennya yang berlanjut; dan pembagian keuntungan dari
pemanfaatan sumber daya genetis yang adil. Konvensi ini memiliki komitmen-komitmen luas yang
dicanangkan oleh pihak-pihak pemerintahan yang akan melakukan tindakan konservasi dan penggunaan
keragaman hayati secara berkelanjutan di tingkat nasional. Sejak dimulai, pihak-pihak pemangku telah
mengembangkan hasil Konvensi ini menjadi program-program kerja, termasuk salah satu di antara program
tersebut mengenai keragaman hayati laut dan pesisir, yang menanggapi isu-isu terumbu karang melalui
rencana kerja tentang pemutihan karang, dan degradasi fisik dari terumbu karang. Alamat kontak: Marjo
Vierros, CBD Secretariat Montreal, Canada, marjo.vierros@biodiv.org atau www.biodiv.org

CORDIO – CORAL REEF DDEGRADATION IN THE INDIAN OCEAN


(DEGRADASI TERUMBU KARANG DI SAMUDERA HINDIA)
Program yang bersifat regional dan multi-disiplin ini dikembangkan agar dapat mengkaji dampak ekologis
dan sosio-ekonomis dari fenomena pemutihan karang massal yang terjadi pada tahun 1998 dan degradasi
yang berlanjut dari terumbu karang di bagian tengah dan barat Samudera Hindia. CORDIO merupakan
unit operasi dari ICRI, dengan tujuan agar dapat mengetahui dampak biologis dan fisik dari pemutihan
dan kematian karang serta kemungkinan pemulihan dalam jangka panjang; dampak sosio-ekonomi dari
kematian karang dan kemungkinan penanggulangannya melalui pengelolaan dan pengembangan sumber
kehidupan alternatif bagi mereka yang bergantung pada terumbu karang; serta kemungkinan restorasi
dan rehabilitasi karang guna mempercepat pemulihan secara ekologis dan ekonomis. CORDIO membantu
dan bekerjasama dengan GCRMN di wilayah Samudera Hindia dalam menjalankan dan memantau
program yang mencakup Afrika Timur, pulau-pulau di Samudera Hindia dan Asia Selatan. Negara-negara
yang ikut berpartisipasi adalah: Kenya, Tanzania, Mozambik, Madagaskar, Seychelles, India, Maladewa,
Sri Lanka, Reunion, Komoros, Mauritius, dan Chagos. Alamat kontak penyelenggara program: Olof Lindén,
World Maritime University, Malmo, Sweden, olof.linden@cordio.org; David Souter, University of Kalmar,
david.souter@cordio.org; Asia Selatan: Jerker Tamelander, IUCN South Asia, 53 Horton Place, Colombo 7,
Sri Lanka, jet@iucnsl.org; Afrika Timur: David Obura, CORDIO Afrika Timur, P.O. Box, 10135, Bamburi,
Kenya, dobura@africaonline.co.ke; Negara-negara kepulauan: Rolph Payet, Ministry of Environment,
Seychelles, ps@env.gov.sc

CRC REEF – COOPERATIVE RESEARCH CENTRE FOR THE GREAT BARRIER REEF
(PUSAT PENELITIAN KERJASAMA UNTUK GREAT BARRIER REEF)
Pusat Penelitian CRC Reef merupakan kerjasama para pengelola, peneliti, dan pelaku industri terumbu
karang yang berbasis pengetahuan, yang menyediakan solusi hasil penelitian guna melindungi,
melestarikan, dan memulihkan terumbu karang dunia dengan memastikan bahwa para industri dan
pengelola bekerja secara berkelanjutan dan kualitas ekosistem dipertahankan. Keperluan-keperluan pihak
pengimplementasi hasil penelitian diintegrasikan ke dalam desain, permulaan dan kemajuan penelitian
yang dilakukan. Pusat Penelitian CRC Reef terletak di Townsville, Australia dan rekan kerja mereka
memiliki keahlian dalam ilmu dan teknologi terumbu karang yang diakui secara internasional, dan
menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi industri pariwisata dan perikanan, serta bagi pengelola
terumbu karang. Pusat penelitian ini meupakan kerjasama antara para peneliti (Australian Institute of
Marine Science; James Cook Uniersity, Queensland Department of Primary Industries and Fisheries),

156
Lembaga Sponsor, Program dan Jaringan Pemantauan Terumbu Karang

industri pariwisata (Association of Marine Park Tourism Operators), industri perikanan komersial dan
rekreasi (Sunfish Queensland, Queensland Seafood industry Association), para pengelola (Great Barrier
Reef Marine Park Authority), dan LSM (Great Barrier Reef Research Foundation). Alamat kontak: Russel
Reichelt, CRC Reef Research Centre, PO Box 772, Townsville 4810 Australia; info@crcreef.com or
www.reef.crc.org.au

GCRMN – GLOBAL CORAL REEF MONITORING NETWORK (JARINGAN


PEMANTAUAN TERUMBU KARANG GLOBAL)
GCRMN dibentuk pada tahun 1995 sebagai suatu unit operasional dari ICRI. GCRMN bekerjasama
dengan ReefBase, Reef Check, CORDIO, dan NOAA, yang menyediakan arahan utama dari jaringan ini.
GCRMN disponsori oleh IOCUNESCO, UNEP, IUCN, CBD, World Bank, AIMS, WorldFish Center, Sekretariat
ICRI, dan koordinasi pusat didukung oleh Kementrian Dalam Negeri Amerika Serikat dan NOAA melalui
kontribusinya kepada UNEP. Saat ini IUCN mengepalai Kelompok Pengelola dari GCRMN, dan Koordinator
Global terdapat di AIMS dan IMPAC dan berinteraksi erat dengan WorldFish Center. GCRMN berupaya
mendorong dan mengkoordinir tiga lapis pemantauan yang bersilangan:

Masyarakat – pemantauan oleh masyarkat, nelayan, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, para operator,
dan wisatawan yang mencakup wilayah luas dengan perincian yang rendah, guna menyediakan
informasi keadaan terumbu karang dan penyebab kerusakan dengan menggunakan metoda dan
pendekatan dari Reef Check;
Pengelolaan – pemantauan yang sebagian besar dilakukan oleh pegawai yang terlatih secara tersier
dari departemen lingkungan atau perikanan dalam pemerintahan setempat, dan perguruan tinggi
guna mendapatkan informasi yang mencakup wilayah yang moderat dalam tingkat perincian yang
lebih tinggi dengan menggunakan metoda-metoda yang lebih berkembang di Asia Tenggara atau
yang setara; dan
Penelitian – pemantauan dengan perincian yang tinggi di wilayah skala kecil oleh para ahli dan
institusi yang memantau terumbu dalam penelitiannya.
Alamat kontak Koordinasi Pusat: Clive Wilkinson Global Coordinator at the Australian Institute of Marine
Science, di Townsville, c.wilkinson@aims.gov.au; atau Jamie Oliver di WorldFish Center di Penang
Malaysia (j.oliver@cgiar.org); atau Gregor Hodgson, Reef Check Los Angeles, rcheck@ucla.edu; atau Olof
Linden, olof.linden@wmu.se; homepage: www.gcrmn.org

ICRAN – INTERNATIONAL CORAL REEF ACTION NETWORK (JARINGAN AKSI


TERUMBU KARANG INTERNASIONAL)
ICRAN merupakan respon kerjasama negeri/swasta terhadap Seruan Aksi (Call for Action) dari International
Coral Reef Initiative (ICRI) untuk melestarikan dan mengelola terumbu karang di seluruh dunia. Bermula
dari dukungan yang sangat besar dari United Nations Foundation, pendekatan aliansi strategis ICRAN
telah dikembangkan guna memastikan masa depan dari terumbu karang dan ekosistem terkait serta
masa depan dari komunitas yang didukung olehnya. Strategi ini termasuk didalamnya sumber pendapatan
alternatif, pelatihan, pengembangan kapasitas, dan pertukaran serta penerapan pengetahuan setempat,
dan informasi ilmiah, ekonomi, dan sosial terkini. Contoh kegiatan-kegiatan ICRAN dapat dilihat pada
‘lokasi khusus’ di bagian akhir bab-bab per negara dalam laporan ini. Rekanan kerja ICRAN adalah:
CORAL, GCRMN, ICRI, MAC, Reef Check, SPREP, UNEP, UNEP-WCMC, TNC, UNF, WorldFish Center,
WRI, dan WWF. E-mail: Kristian Teleki, kteleki@icran.org; www.icran.org

157
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

ICRI – INTERNATIONAL CORAL REEF INITIATIVE (INISIATIF TERUMBU KARANG


INTERNASIONAL)
ICRI merupakan tanggapan dari degradasi terumbu karang dan ekosistem terkait yang terjadi secara
global. Ia merupakan kerjasama dari negara-negara, organisasi internasional, para LSM dan program-
program regional, yang dibentuk pada tahun 1994 untuk menjawab seruan yang dikeluarkan pada 1992
oleh UNCED dan Small Island Developing States (Negara Kepulauan Kecil yang sedang Berkembang) di
acara Earth Summit yang diadakan di Rio de Janeiro. Rekan kerja pada awalnya terdiri atas Australia,
Perancis, Jamaika, Jepang, Filipina, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat, bersamaan dengan CORAL,
IOCUNESCO, IUCN, UNDP, UNEP, dan World Bank. Fungsi utama dari ICRI adalah untuk menerapkan
saran dari UNCED, dan pertemuan serta persetujuan internasional lainnya, peningkatkan kesadaran
akan degradasi terumbu karang, dan memicu tindakan oleh pemerintahan serta pihak pemangku lainnya.
ICRI bekerja melalui anggota-anggotanya dan jaringan operasional, ICRAN, CORDIO, dan GCRMN agar
dapat: mengangkat konservasi terumbu karang ke dalam panggung dunia; memfasilitasi tindakan dan
pertukaran informasi yang kolaboratif; meningkatkan pendanaan untuk terumbu karang; memperbaiki
praktik-praktik pengelolaan; dan meningkatkan kapasitas dan dukungan politik. ICRI, dengan bimbingan
dari Komite Koordinasi dan Perencanaan (sebuah konsensus kelompok rekan kerja), membantu dalam
produksi buku-buku laporan Keadaan Terumbu Karang Dunia dan menggunakannya untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat dunia. ‘Agenda’ ICRI yang diformulasikan di Dumaguete City, Filipina pada tahun
1995 dengan sebutan ‘Seruan Aksi’ ICRI dan ‘Kerangka Kerja Aksi’, diperbaharui pada Simposium
Pengelolaan Ekosistem Laut Tropis Internasional (ITMEMS) di Townsville, Australia pada 1998 (Seruan
Aksi Terbaru ICRI) dan di ITMEMS2 di Manila pada 2003. Sekretariat ICRI mengimplementasikan ‘Agenda’
ini melalui tuan rumah yang ditunjuk secara bergilir (Pemerintahan Amerika Serikat, Australia, Perancis,
Swedia dan Filipina secara bersamaan, dan Inggris serta Seychelles secara bersamaan). Jepang dan Palau
merupakan tuan rumah Sekretariat sejak Juli 2005. www.ICRIForum.org

IOC/UNESCO – INTERGOVERNMENTAL OCEANOGRAPHIC COMMISSION


IOC/UNESCO merupakan pusat kegiatan PBB untuk ilmu, penelitian dan pengamatan kelautan, untuk
menyediakan informasi yang lebih baik mengenai sumber daya laut, sifat-sifatnya dan keberlanjutan
untuk pengelolaan dan pengembangan kebijakan kelautan. Prioritas-prioritas utamanya mencakup
pembangunan kapasitas-kapasitas nasional dalam menanggapi World Summit mengenai Rencana
Implementasi Pembangunan yang Berkelanjutan, peran dari Negara Kecil Kepulauan yang Berkembang,
dan Millenium Development Goals. IOC/UNESCO membantu dalam pemantauan dan pengelolaan data
terumbu karang, dengan penekanan yang sama besarnya pada informasi ekologi sosio-ekonomi. Salah
satu fokusnya adalah memahami peran masyarakat miskin yang bergantung pada terumbu dalam upaya
pelestarian dan pengembangan. IOC, bersama dengan UNEP, IUCN, dan Organisasi Meteorologi Dunia
membentuk Regu Tugas Global (Global Task Team) mengenai Terumbu Karang pada tahun 1991 agar
dapat mengembangkan pemantauan terumbu karang dunia, yang merupakan pendahulu GCRMN, dengan
IOC, UNEP, IUCN, World Bank, dan CBD kini sebagai sponsor. GCRMN mengkontribusi data mengenai
kesehatan dan sumber daya terumbu karang kepada Global Ocean Observing System. Alamat kontak:
IOC/UNESCO, 1 Rue Miollis, 75015 Paris, www.ioc.unesco.org

IUCN – THE WORLD CONSERVATION UNION


Dibentuk pada tahun 1948, IUCN menyatukan 1035 perwakilan wilayah, lembaga pemerintahan, dan
LSM dari 181 negara dalam sebuah kerjasama global yang unik agar dapat mempengaruhi, mendorong,
dan membantu berbagai lapisan masyarakat dalam melestarikan dan mementingkan keanekaragaman

158
Lembaga Sponsor, Program dan Jaringan Pemantauan Terumbu Karang

alami dan memastikan pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan berlanjut secara ekologis. Kontribusi
yang sudah diberikan IUCN termasuk mengembangkan pengetahuan ilmu pelestarian, memasang standar,
mengembangkan, dan menerapkan alat-alat konservasi, membangun kapasitas, dan memperbaiki kebijakan
dan pengaturan secara global. Sekretariatnya terletak di Gland, Switzerland, dan terdapat 42 kantor
regional dan negara serta 10.000 tenaga ahli sukarelawan di dalam 6 Komisi, termasuk Komisi Dunia
Wilayah Perlindungan (WCPA) dan Komisi Pelestarian Spesies (SSC), yang memusatkan perhatian pada
beberapa jenis, pelestarian keanekaragaman hayati dan pengelolaan habitat dan sumber daya alam.
Program Kelautan Global IUCN menghubungkan para anggotanya dengan semua kegiatan kelautan
IUCN, termasuk proyek dan inisiatif kantor-kantor regional dan Komisi. Program ini dikomando dari
kantor pusat IUCN, dengan sebagian besar staf pelaksana teknis di lapangan menangani permasalahan
dan kondisi hukum kelautan. IUCN merupakan salah satu pihak pendiri GCRMN dan Kepala dari Program
Kelautan mengepalai Kelompok Pengelola. Alamat kontak: Carl Gustaf Lundin, Global Marine Program
IUCN – The World Conservation Union, Rue Mauverney 28, CH-1196 Gland, Switezerland,
Marine@iucn.org

JEPANG – KEMENTRIAN LINGKUNGAN HIDUP


Kementrian Lingkungan Hidup bertanggung jawab atas kebijakan-kebijakan lingkungan yang mencakup
pengelolaan limbah sampai pelestarian alam di Jepang. Biro Pelestarian Lingkungan dan Kementrian ini
bertanggung jawab dalam pelestarian lingkungan alami termasuk terumbu karang beserta ekosistem
yang terkait. Biro ini telah melakukan survei nasional mengenai terumbu karang Jepang dan telah
menghasilkan peta distribusi karang. Disamping itu, Biro ini telah mengawali proyek-proyek rehabilitasi
terumbu karang sejak tahun 2002. Pusat Penelitian dan Pemantauan Terumbu Karang Internasional,
yang didirikan di Pulau Ishigaki, merupakan pusat GCRMN di wilayah laut Asia Timur dalam
mempromosikan pemantauan internasional dan lokal. Kementrian Lingkungan Hidup, atas nama
Pemerintahan Jepang, menjadi tuan rumah Sekretariat ICRI (Juli 2005 sampai Juni 2007) bekerjasama
dengan Republik Palau. Alamat kontak: Biodiversity Planning Division, Nature Conservation Bureau.
Ministry of the Environment, 1-2-2 Kasumigaseki, Chiyoda-ku, Tokyo 100-8975, Japan; coral@env.go.jp;
www.env.go.jp/ dan www.coremoc.go.jp/

YAYASAN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA (KEHATI)


Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) adalah organisasi nirlaba pengelola dana hibah
mandiri yang dibentuk untuk memfasilitasi berbagai upaya pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman
hayati secara berkelanjutan.di Indonesia. KEHATI bertindak sebagai katalisator untuk menemukan
cara-cara inovatif dalam mengelola dan memanfaatkan keanekaragaman hayati Indonesia secara
berkelanjutan. Berbagai bentuk kerjasama terus dijalin dengan lembaga-lembaga yang dapat mendukung
visi organisasi seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, perguruan tinggi, pemerintah daerah, asosiasi
profesi, komunitas bisnis. maupun media massa. Upaya-upaya tersebut diimplementasikan oleh KEHATI
melalui mitra-mitranya di seluruh Indonesia. Ada empat program utama yang dikembangkan, yaitu:
informasi, edukasi dan riset, konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan, advokasi kebijakan publik, dan
komunikasi dan pengembangan sumberdaya. Alamat kontak: Jl. Bangka VIII no. 3B, Pela Mampang
Jakarta 12720 – Indonesia, kehati@kehati.or.id ; www.kehati.or.id

159
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

NOAA – NATIONAL OCEANIC AND ATMOSPHERIC ADMINISTRATION USA


NOAA merupakan lembaga dari Departemen Perdagangan Amerika Serikat yang memiliki dedikasi untuk
meningkatkan kesehatan dan keamanan masyarakat dan mendukung kepentingan ekonomi dengan
meneliti dan memprediksi kejadian yang terkait iklim dan cuaca untuk melindungi sumber daya pesisir
dan kelautan Amerika Serikat. NOAA merupakan pemantau sumber daya laut Amerika Serikat dan
merupakan salah satu ketua U.S. Coral Reef Task Force, yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasi
upaya Pemerintahan Amerika Serikat dalam melestarikan terumbu karang. Program Pelestarian Terumbu
Karang (CRCP) NOAA menjalankan prioritas yang ada dalam National Action Plan to Conserve Coral
Reefs dan National Coral Reef Action Strategy seperti pemetaan, pemantauan, penelitian, pendidikan,
dan pengelolaan sumber daya karang. CRCP memfasilitasi dan mendukung kerjasama dengan pihak
ilmuwan, swasta, pemerinta,h dan LSM pada tingakatan lokal, daerah, nasional, dan internasional.
Tujuannya adalah agar dapat mendukung pengelolaan yang tepat guna dan ilmu yang benar dalam
melestarikan, menjadikan berlanjut, dan memulihkan ekosistem terumbu karang yang berharga. Alamat
kontak: NOAA Coral Reef Conservation Program, 1305 East-West Highway. N/ORR, Silver Spring, MD,
20910 USA; coralreef@noaa.gov; www.coralreef.noaa.gov.

REEFBASE
ReefBase mengumpulkan informasi yang dapat diperoleh mengenai terumbu karang ke dalam suatu
sumber. Hal ini dimaksudkan agar dapat memfasilitasi analisa dan pemantauan kesehatan terumbu
karang dan kualitas hidup pada masyarakat yang bergantung pada terumbu karang, dan untuk mendukung
pembuatan keputusan yang terdidik mengenai pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang. ReefBase
merupakan basis data resmi dari GCRMN, dan juga bagi bagi ICRAN. Kegiatan ReefBase berpusat dari
WorldFish Center di Penang, Malaysia, dengan pendanaan dari United Nations Foundation (UNF).
Tujuan utama dari ReefBase adalah sebagai berikut:

Mengembangkan sebuah basis data antar instansi dan sistem informasi untuk informasi terumbu
karang dan sumber dayanya yang terstruktur, sehingga dapat menjadi sebuah ensiklopedi
terkomputerisasi dan alat analisa yang dapat digunakan dalam pengelolaan, konservasi, dan penelitian
terumbu karang.
Menyediakan informasi penting yang mendukung pembuatan keputusan oleh pengelola perikanan
dan lingkungan di negara-negara berkembang, terutama mereka yang peduli dengan meningkatkan
sumber pendapatan nelayan miskin.
Berkolaborasi dengan basis data nasional, regional, dan internasional lainnya, dan fasilitas GIS yang
berkaitan dengan karang, dan menyediakan informasi pada tingkatan global.
Mengembangkan dan mendistribusikan prosedur analitik untuk ReefBase sehingga si penganalisa
dapat memanfaatkan informasinya secara keseluruhan dan memastikan interpretasi dan sintesa
yang tepat.
Berfungsi sebagai pusat pemasukkan data bagi GCRMN dan ICRAN.
Memperjelas kriteria untuk kesehatan terumbu dan memanfaatkannya untuk memperbaiki prosedur-
prosedur dalam pendataan terumbu karang dan memastikan keadaan terumbu karang di tingkat
regional dan dunia.
Mengetahui hubungan antara kesehatan terumbu karang, produksi perikanan, dan kualitas hidup
mereka yang bergantung pada terumbu.
Jika Anda memiliki pertanyaan, kritik atau yang lainnya mengenai kegiatan Reefbase, silahkan kunjungi
www.reefbase.org.

160
Lembaga Sponsor, Program dan Jaringan Pemantauan Terumbu Karang

REEF CHECK FOUNDATION


Reef Check merupakan kelompok lingkungan dunia yang didirikan untuk memfasilitasi pendidikan
masyarakat, pemantauan, dan pengelolaan terumbu karang. Reef Check memiliki kegiatan di lebih dari
70 negara dan wilayah terumbu karang, dimana ia memiliki tujuan untuk: mendidik masyarakat tentang
permasalahan terumbu karang dan pencegahannya; menciptakan sebuah jaringan global regu-regu
sukarelawan yang secara regular memantau dan melaporkan kondisi kesehatan terumbu karang dibawah
bimbingan para ahli; menginvestigasi secara ilmiah proses-proses terumbu karang; memfasilitasi kerjasama
antar para akademisi, LSM, pemerintah, dan sektor swasta untuk menanggulangi permasalahan terumbu
karang; dan memicu tindakan dari masyarakat untuk untuk melindungi terumbu asli yang masih ada
dan merehabilitasi terumbu yang rusak di seluruh dunia menggunakan solusi yang berlanjut secara
ekonomi dan ramah lingkungan. Di bawah kerangka kerja ICRI, Reef Check merupakan rekan kerja
utama GCRMN dan ikut mengkoordinir program pelatihan GCRMN mengenai pemantauan ekologis dan
sosio-ekonomi, dan pengelolaan terumbu karang di seluruh dunia. Alamat kontak: Chris Knight, PO Box
8533, Calabasas, CA 91372; rcinfo@reefcheck.org; www.ReefCheck.org.

YAYASAN TERUMBU KARANG INDONESIA (TERANGI)


Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) didirikan pada bulan September 1999. Terangi merupakan
yayasan nirlaba yang bertujuan mendukung konservasi dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang
Indonesia secara berkelanjutan. Visi TERANGI adalah “Terbentuknya masyarakat yang dapat mengelola
sumberdaya terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan untuk menghindarkan terjadinya
kerusakan, pemborosan, dan hilangnya sumberdaya terumbu karang yang disebabkan oleh pengambilan
yang berlebihan, penggunaan yang merusak, dan ketidak pedulian”. TERANGI bekerja melalui 6 program
yaitu program penelitian terumbu karang, program kebijakan terumbu karang, program pusat data dan
informasi terumbu karang, program pendidikan dan pelatihan, program penyadaran masyarakat, dan
program pengelolaan sumber daya terumbu karang. Alamat kontak: Kompleks Liga Mas Blok E2 NO. 11,
Jakarta 12760, Indonesia. Silvianita Timotius, terangi@cbn.net.id ; www.terangi.or.id.

UNEP – UNITED NATIONS ENVIRONMENT PROGRAMME (PROGRAM


LINGKUNGAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA)
Misi dari UNEP adalah menyediakan dan mendorong adanya kerjasama dalam pemeliharaan lingkungan
dengan cara menginspirasikan, menginformasikan, dan membantu setiap negara dan masyarakat untuk
memperbaiki kualitas hidup mereka tanpa mengancam kehidupan di masa depan. UNEP melakukan
upaya yang tertuju kepada memupuk kerangka kerja dan inisiatif pada tingkatan lokal, nasional, regional,
dan global yang meningkatkan keikutsertaan pihak pemerintah dan masyarakat sipil, sektor swasta,
komunitas ilmiah, para LSM, dan kawula muda, dalam bekerjasama dalam mewujudkan pemanfaatan
sumber daya alam yang berkelanjutan. Tantangan yang dihadapi oleh UNEP adalah menjalankan sebuah
agenda lingkungan yang secara strategis terintegrasi dengan tujuan pengembangan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat; sebuah agenda yang menuju pembangunan berkelanjutan. UNEP ikut
mendanai laporan ini melalui kontribusi dari Pemerintahan Finalandia. Alamat kontak: UNEP, PO Box
30552. Nairobi, Kenya; cpiinfo@unep.org; www.unep.org

161
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

UNEP – CORAL REEF UNIT (CRU) (UNIT TERUMBU KARANG)


CRU merupakan lembaga pusat dalam UNEP dan sistem PBB yang membimbing dan menggerakkan
kebijakan serta tindakan dalam mendukung upaya pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari
terumbu karang, sehingga dapat melindungi fungsi biologi dan keanekaragaman hayatinya, yang
menyediakan bahan dan jasa bagi masyarakat dan pembangunan berkelanjutan bagi mereka yang
bergantung pada terumbu karang. CRU memiliki lokasi yang bersamaan dengan sumber daya terumbu
karang lainnya di UNEP-WCMC, dan bekerjasama erat dengan divisi/program di UNEP dan rekan
kerjasama internasional seperti Inisiatif Terumbu Karang Internasional (ICRI) dan Jaringan Operasional-
nya. Kegiatan CRU mencakup: mendukung kerjasama internasional untuk membalikkan degradasi terumbu
karang; bekerjasama untuk mempromosikan pemahaman politik akan pentingnya terumbu karang;
meninjau kembali dan mengintegrasikan informasi mengenai kebijakan internasional yang berkaitan
dengan terumbu karang; dan mendukung kerjasama-kerjasama untuk menanggulangi permasalahan
terumbu karang yang ada maupun yang berkembang, seperti terumbu karang yang tahan pada suhu
dingin. Alamat kontak: Stefan Hain, UNEP Coral Reef Unit; stefan.hain@unep-wcmc.org;
www.corals.unep.org, dan www.coral.unep.ch

DEPARTEMEN DALAM NEGERI AMERIKA SERIKAT


Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat merupakan kepanjangan tangan Pemerintahan Amerika
Serikat dalam urusan kebijakan luar negeri. Departemen ini memiliki dedikasi dalam menciptakan dunia
yang lebih aman, menjunjung demokrasi, dan kesejahteraan untuk keuntungan masyarakat Amerika
dan dunia. Di dalam Departemen ini, Biro Kelautan dan Lingkungan Internasional dan Ilmu Pengetahuan
bertanggungjawab dalam memajukan pembangunan berkelanjutan dan pelestarian sumber daya alam,
termasuk aspek yang terkait dengan terumbu karang dan ekosistem terumbu karang, melalui kerjasama
yang luas dalam perjanjian, lembaga, inisiatif internasional, dan antar pihak swasta dan negeri. Alamat
kontak: Office of Ecology and Terrestrial Conservation, Bureau of Oceans and International Affairs, U.S.
Department of State, Room 4333, 2201 C. Street N.W., Washington D.C., 20520; www.sdp.gov/sdp/
initiative/icri.

WAPMERR – WORLD AGENCY OF PLANETARY MONITORING AND


EARTHQUAKE RISK REDUCTION (LEMBAGA DUNIA PEMANTAU BUMI DAN
MITIGASI ANCAMAN GEMPA BUMI)
Tujuan WAPMERR adalah mengurangi ancaman dari bencana, dan perencanaan upaya penyelamatan
saat terjadi bencana. Tujuan-tujuan ini dicapai dengan mengembangkan metode-metode estimasi kerugian,
tepat setelah gempa bumi berlangsung (real-time) melalui pemantauan dengan gambar satelit, perhitungan
waktu tempuh gelombang tsunami, dan dengan penelitian peramalan gempa bumi. Dalam upaya di atas,
WAPMERR bekerjasama dengan ilmuwan dari berbagi negara, yaitu Rusia, Amerika Serikat, Jepang,
India, negara-negara Asia, Timur Tengah, Amerika Selatan, dan Afrika. WAPMERR telah meluncurkan
sebuah proyek guna memperkirakan ketinggian gelombang tsunami yang mungkin terjadi di seluruh
dunia, disamping perhitungan waktu tempuh gelombang tsunami yang dilakukan pada saat berlangsung
bencana. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerjasama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia (Russian
Academy of Sciences). Alamat kontak: WAPMERR, Route de Jaronnant 2, CH-1207 Geneva Switzerland;
Kartlos Edilashvili, k_edilatvishli@wapmerr.org, www.wapmerr.org.

162
Lembaga Sponsor, Program dan Jaringan Pemantauan Terumbu Karang

WORLD BANK – ENVIRONMENT DEPARTMENT (DEPARTEMEN LINGKUNGAN –


BANK DUNIA)
Bank Dunia merupakan institusi pendanaan internasional yang memiliki dedikasi untuk memberantas
kemiskinan. Lingkungan memiliki peran yang tak tergantikan dalam menentukan kesejahteraan fisik dan
sosial suatu masyarakat. Di saat kemiskinan terus diperparah oleh keadaan darat, air, dan kualitas udara
yang semakin buruk, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan manusia di sebagian besar negara
berkembang terus bergantung kepada kekayaan sumber daya alam dan barang serta jasa yang berasal
dari lingkungan. Sebagai akibatnya, Bank ini memiliki komitmen untuk mengintegrasikan keberlanjutan
lingkungan ke dalam programnya, mencakup berbagai sektor dan wilayah melalui jalur-jalur
pendanaannya. Mengurangi kerentanan terhadap kerusakan lingkungan, memperbaiki kesehatan
masyarakat, dan meningkatkan pendapatan dengan melindungi lingkungan merupakan ciri khas dari
Strategi Lingkungan Bank Dunia. Dukungan untuk pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan dari
terumbu karang sesuai dengan tema tersebut, karena terumbu karang memiliki potensi untuk
mempengaruhi jutaan orang diseluruh dunia. Tantangan yang dihadapi oleh Bank Dunia, beserta berbagai
rekan kerjanya, seperti ICRI dan GCRMN, adalah untuk membantu masyarakat memahami keuntungan
yang dapat diperoleh dari pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan daripada memenuhi kebutuhan
secara langsung, dan di saat yang bersamaan memastikan keberlanjutan dari kesatuan sistem-sistem
penting ini untuk generasi yang akan datang. Untuk informasi lebih lanjut mengenai Departemen
Lingkungan, silahkan menghubungi: Marea Hatziolos, Environment Department, The World Bank, 1818
H St. NW, Washington, DC. 20433 USA, Mhatziolos@worldbank.org; www.worldbank.org/icm;
www.gefcoral.org

WORLDFISH CENTER
Organisasi yang sebelumnya dikenal sebagai ICLARM ini, memiliki dedikasi untuk menjalankan peran
aktif dalam mewujudkan ketahanan pangan dan pemberantasan kemiskinan di negara-negara berkembang.
Kegiatan yang dilakukan berupa upaya menguntungkan masyarakat miskin, serta pelestarian lingkungan
dan sumber daya air. Organisasi ini memiliki visi untuk pemberantasan kemiskinan, kesehatan masyarakat
yang lebih baik dan berkecukupan gizi, mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam yang rentan,
dan kebijakan-kebijakan yang berdasarkan kepada rakyat untuk pembangunan yang berkelanjutan.
WorldFish Center merupakan suatu badan otonomi swasta yang non-profit, dan adalah badan internasional
yang berdiri sejak 1977, dengan kantor pusat di Penang, Malaysia. WorldFish Center memiliki fokus
untuk menanggulangi permasalahan perairan dunia besar yang mempengaruhi negara-negara berkembang
dan untuk mendemonstrasikan solusi-solusi kepada para pengelola di seluruh dunia. Alamat kontak: PO
Box 500 GPO, 10670 Penang, Malaysia. Jamie Oliver, l.oliver@cgiar.org; www.cgiar.org/iclarm/

WWF – WORLD WILDLIFE FUND


WWF adalah organsasi pelestarian independen dan paling berpengalaman dan terbesar di dunia, dengan
lebih dari 4,7 juta anggota dan jaringan dunia yang mencakup 96 negara. Misi yang dimiliki adalah
menghentikan degradasi lingkungan alami dunia dan membangun masa depan dimana manusia hidup
selaras dengan alam dengan melestarikan keanekaragaman hayati. WWF memimpin upaya-upaya
perlindungan ekosistem kelautan dunia dengan cara: melestarikan terumbu karang tropis dan perairan
dingin; membantu masyarakat pesisir dalam mengelola daerah perlindungan laut secara efektif; dan
menghentikan praktik-praktik perikanan yang merusak. Kegiatan-kegiatannya terdapat di sepanjang
wilayah-wilayah utama tropis sehingga dapat menciptakan jaringan wilayah perlindungan laut yang
melindungi kesatuan ekologis dari sistem terumbu yang besar. WWF telah menjadi lembaga penting

163
Status Terumbu Karang di Negara-negara yang Terkena Dampak Tsunami 2005

dalam mempromosikan insentif perdagangan inovatif yang memberikan imbalan kepada praktik perikanan
yang baik. WWF juga bekerja dalam memperbaiki pengelolaan perikanan, mengurangi mortalitas akibat
tangkapan samping dari jenis-jenis rentan (seperti paus dan penyu), menghentikan perdagangan ilegal
satwa laut dan mengubah kebijakan pemerintah yang tidak mengindahkan jaringan kehidupan laut.
Alamat kontak: Anita Van Breda, anita.vanbreda@wwfus.org; or Helen Fox, Helen.fox@wwfus.org, WWF,
1250 Twenty-Fourth Street, NW, Washington. DC 20037; www.worldwildlife.org dan WWF di Belanda
melalui Sian Owen, SOwen@wwf.nl.

164

You might also like