Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
I. Pengertian
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun
(peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada
juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip
umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
3. Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
• Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan
dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
• Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri
sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
II. Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan
buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin
mendalami masalah Qawaidul Fiqhiyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca
sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.
DAFTAR PUSTAKA
Pendahuluan
Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan al-
qawaid al-fiqhiyyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah
persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu al-qawaid al-fiqhiyyah. Apabila ada masalah
fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah
kaidah fiqh tersebut.
Melalui al-qawaid al-fiqhiyyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan
peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh
dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama. Dengan menguasai al-
qawaid al-fiqhiyyah secara baik tidak perlu dalam setiap persoalan merujuk kepada
uraian yang terdapat dalam berbagai kitab fiqh. Upaya merujuk terhadap kitab-kitab fiqh
menjadi penting untuk menguasai seluk beluk suatu persoalan ketika memang dibutuhkan
untuk mengetahui landasan filosofis dan rincian masalah agar pemahaman tentangnya
menjadi komprehensif.
Meskipun demikian, yang menjadi persoalan apakah al-qawaid al-fiqhiyyah dapat dipakai
sebagai dalil dalam mengistinbath hukum. Tulisan ini mencoba menjelaskan persoalan
tersebut dengan berupaya mencari terobosan baru terhadap pendapat ulama yang pernah
ada dalam memfungsikan al-qawaid fiqhiyyah dalam penetapan hukum.
مّنا
ِ ل ْ ّ ل َرب َّنا ت ََقب
ُ عيِ ماَ س ِ ْ ن ال ْب َي
ْ ِ ت وَإ َ م
ِ َ عد َ م ال َْق
ِ وا ِ وَإ ِذ ْ ي َْرفَعُ إ ِب َْرا
ُ هي
َ َ إن
ُ ميعُ ال ْعَِلي
م ِ سّ ت ال َ ْ ك أن ِّ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. 2: 127).
Dalam ayat ini ditegaskan bahwa Ibrahim dan Ismail diberi amanah oleh Allah untuk
meninggikan dan membina dasar-dasar (al-qawaid) atau pondasi baitullah.
Musthafâ Ahmad Zarqa’, dengan mengutip pendapat para ahli nahwu menegaskan bahwa
qawaid secara bahasa mengandung pengertian hukum yang dapat diterapkan pada semua
bagian-bagiannya.
Sementara kata fiqh secara etimologi berasal dari kata fiqhan ( )فقهاyang merupakan
masdar dari fi’il madhi faqiha ( )فقهdan fi’il mudhori’nya yafqahu ()يفقه, berarti
paham. Ada ulama yang berpendapat bahwa kata fiqh berarti paham mendalam untuk
sampai kepadanya perlu mengerahkan pemikiran secara sungguh-sungguh. Kedua arti
fiqh ini dipakai para ulama dan masing-masingnya mempunyai alasan yang kuat. Kata
fiqh dengan arti paham atau memahami didukung firman Allah surat Hud, 11:91.
Kata fiqh juga digunakan untuk menunjukkan pemahaman terhadap sesuatu dengan baik
secara lahir maupun batin. Makna ini sejalan dengan firman Allah berikut:
“Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti
agar mereka memahaminya.” (QS.6:65)
Kata fiqh yang berkembang di kalangan ulama secara khusus berarti paham secara
mendalam. Orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang fiqh disebut faqîh. Kata
faqaha atau yang seakar dengannya muncul dalam Qur’an sebanyak 20 kali yang
sebagian besarnya mengacu kepada makna pemahaman mendalam.
Pada periode awal Islam, para ulama (kalangan sahabat dan tabi’in) memahami fiqh
dengan pengetahuan atau pemahaman tentang agama Islam yang terdapat dalam Qur’an
dan Hadis. Pada masa selanjutnya, para ulama memahami fiqh sebagai pengetahuan
tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Dalam pengertian terakhir ini, Abd
al-Wahhab al-Khallaf mendefinisikan fiqh, yaitu mengetahui tentang hukum-hukum
syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil terperinci. Definisi ini
menggambarkan bahwa fiqh merupakan hasil ijtihad para ulama melalui pengkajian
terhadap dalil-dalil tentang suatu persoalan hukum yang terdapat dalam Qur’an dan
Sunnah. Ini mengisyaratkan fiqh bukan dihasilkan para ulama melalui taqlîd.
Dari pendekatan bahasa terhadap kata qaidah dan fiqh, dapat mempermudah dalam
memahami definisi al-qawaid fiqhiyyah secara terminologi. Dalam kaitan ini, ada
beberapa definisi kaidah fiqh secara terminologi yang dikemukakan para ulama. Ibn
Subki mengemukakan definisi kaidah fiqh seperti dikutip al-Nadawi yaitu:
المر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كههثيرة تفهههم احكامههها
منها
Suatu kaidah kulli (bersifat umum) yang sesuai dengan juz’iyyah (bagian-bagian) yang
banyak, yang melaluinya diketahui hukum-hukum juz’iyyah.
Definisi ini menggambarkan ada beberapa unsur penting dalam definisi al-qawaid
fiqhiyyah, yaitu kaidahnya bersifat umum, kaidah umum itu dapat diterapkan pada
bagian-bagiannya, dan melalui kaidah umum itu dapat diketahui hukum-hukum
juz’iyyah.
Setelah mempelajari definisi al-qawaid fiqhiyyah yang dikemukakan para ahli fiqh,
Zarqa’ merumuskan definisi al-qawaid fiqhiyyah, yaitu kaidah fiqh yang bersifat umum,
tersusun dalam teks-teks (nash) yang singkat lagi mendasar mengandung hukum-hukum
syara’ yang bersifat umum tentang sejumlah peristiwa yang masuk dalam objeknya.
Melalui definisi itu Zarqa’ mengemukakan sejumlah unsur yang terdapat pada al-qawaid
fiqhiyyah yaitu, kaidahnya bersifat umum, tersusun dalam teks-teks singkat dan meliputi
sejumlah masalah fiqh yang menjadi objeknya atau berada di bawah lingkupnya.
Dengan demikian, al-qawaid fiqhiyyah adalah suatu kaidah yang bersifat umum meliputi
sejumlah masalah fiqh dan melaluinya dapat diketahui hukum sejumlah masalah yang
berada dalam lingkupnya.
Kaidah ini menegaskan sesuatu yang meyakinkan tidak dapat dikalahkan oleh sesuatu
yang meragukan, kecuali yang meragukan meningkat menjadi meyakinkan. Ini
menunjukkan semua tindakan mesti berdasarkan pada yang diyakini. Yakin adalah
puncak pemahaman yang disertai dengan tetapnya hukum. Dalam penilaian Alî al-
Nadawî, yakin adalah ketetapan dan ketenangan tentang hakikat sesuatu sehingga tiada
lagi keragu-raguan. Menurut ibn Manzûr, yakin adalah mengetahui dengan pasti tentang
suatu persoalan sehingga menghilangkan adanya keraguan. Sedangkan syak secara
bahasa berarti sikap ragu antara ada atau tidak ada sesuatu dan ia merupakan lawan dari
yakin. Menurut ahli fiqh, syak adalah sikap ragu antara ada atau tidak adanya sesuatu,
baik sikap ragu itu sama atau ada salah satu dari keduanya yang lebih kuat. Sementara
ahli ushul fiqh mendefinisikan syak adalah adanya dua kemungkinan yang sama, apabila
ada salah satu yang lebih kuat disebut zhan (praduga) dan yang lain disebut wahm
(dugaan yang kurang kuat).
Kaidah fiqh di atas menghimpun sejumlah masalah fiqh. Melalui kaidah ini juga
tergambar kemudahan dan kelapangan dalam hukum Islam. Kaidah ini mendorong untuk
menghilangkan kesulitan selama didasarkan atas keyakinan. Ini penting karena keraguan
banyak muncul akibat penyakit was-was (bisikan setan), yang biasa terjadi dalam
masalah bersuci dan sholat. Kaidah fiqh tersebut didasarkan pada dalil yang kuat,
diantaranya hadis berikut:
مَ ّ س هل
َ َه عَل َي ْههِ وُ صّلى الل ّه َ ِل َالل ّه
ُ سو ُ ل َر َ ل َقا َ ن أ َِبي هَُري َْرةَ َقا ْ َع
َ
َ ل عَل َي ْهِ أَ َ شك َ ِم ِفي ب َط ْن ِه َ
ٌيء ْ شه َ هُ ْ من
ِ ج َ خَر ْ شي ًْئا فَأ ْ ُ حد ُكَ جد َ أ
َ َذا و َ ِإ
َ َ
حاً جد َ ِري
ِ َ صوًْتا أوْ ي َ َ مع َ سْ َ حّتى يَ ِجدِ س ْ مَ ْ ن ال
ْ م ِ نّ ج َ خُر ْ َ م َل فََل ي ْ أ
Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: apabila seorang dari kamu
mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, kemudian ia ragu apakah telah keluar sesuatu
dari perutnya ataukah belum, maka janganlah ia keluar masjid sehingga mendengar suara
atau mendapatkan bau (memperoleh bukti telah batal wudhunya) (H.R. Muslim).
Hadis ini menginformasikan kepada muslim, apabila merasakan sesuatu dalam perutnya
sehingga ia ragu apakah telah keluar sesuatu dari perut yang menyebabkan batal wudhu
atau tidak ada yang keluar, ia tidak perlu keluar masjid untuk berwudhu sampai
mendengar secara pasti suara (kentut) atau merasakan bau.
Kaidah fiqh di atas juga didasarkan pada hadis Nabi berikut:
Hadis ini mengisyaratkan orang yang ragu tentang bilangan rakaat sholat, antara dua dan
tiga, maka hendaklah yang bersangkutan memilih bilangan rakat sholat yang paling
sedikit karena itulah yang yakin atau pasti, sementara bilangan yang tertinggi dari rakaat
sholat itu yang dikeragui. Dalam kasus, ini orang yang ragu tentang bilangan rakaat
sholat diperintahkan (sunat) untuk melakukan sujud sahwi sebelum ia salam sebagai
penutup sholatnya.
Mengingat kaidah fiqh tentang “sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan oleh
keraguan” langsung didasarkan pada nash, ia dapat dijadikan sebagai dalil dalam
menetapkan hukum.
Kedua, kaidah fiqh yang menegaskan kemudharatan harus dihilangkan dari kehidupan
manusia. Kaidah fiqh itu berbunyi: :
الضرر يزال
Kemudharatan itu harus dihilangkan
Kaidah ini mengisyaratkan bahwa kemudharatan selalu ada dan terjadi dalam kehidupan
manusia, baik pada saat sekarang maupun akan datang. Islam menginginkan agar
kemudharatan itu dihilangkan dari kehidupan manusia.
Kaidah ini dibangun atas dasar dan dalil yang cukup kuat, diantaranya firman Allah
berikut:
Ayat ini melarang muslim berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah
memperbaikinya. Kemampuan mentaati ketentuan ini sebagai bukti kebenaran iman
seorang mukmin. Disamping itu, Allah menegaskan bahwa Ia tidak mencintai orang-
orang yang berbuat kerusakan, seperti pada firman-Nya berikut:
َ
مَ ّ سههلَ َه عَل َي ْهِ و
ُ ّ صّلى اللَ ِل الل ّه
َ سو
ُ ن َر
ّ تأِ م
ِ صا
ّ ن ال
ِ ْ ن عَُباد َةَ ب
ْ َع
َ
ضَراَر ِ ضَرَر وََل َ ن َل ْ ضى أَ َق
Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah SAW. menetapkan tidak boleh membuat
kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan pada orang lain (H.R. Ibn
Majah)
Kaidah fiqh ini mencakup banyak masalah fiqh dan dapat dijadikan sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, baik bidang muamalat, munakahat, maupun jinayat. Dalam bidang
muamalat, kaidah fiqh ini dapat dijadikan dalil untuk mengembalikan barang yang dibeli
karena ada cacat dan memberlakukan khiyar dengan berbagai macamnya dalam suatu
transaksi jual beli karena terdapat beberapa sifat yang tidak sesuai dengan yang telah
disepakati. Begitu pula dapat dijadikan sebagai dalil untuk melarang mahjur alaih
membelanjakan harta kekayaannya, membatasi melakukan tindakan hukum bagi muflis
(orang yang jatuh pailit), safih (orang dungu) untuk melakukan transaksi dan hak syuf’ah.
Pertimbangan utama diberlakukan ketentuan-ketentuan ini untuk menghindarkan
semaksimal mungkin kemudharatan yang merugikan pihak-pihak yang terkait dengan
transaksi tersebut.
Selain itu, kaidah fiqh ini menjadi dalil pula dalam menetapkan hukum masalah jinayah.
Misalnya, Islam menetapkan adanya hukum qishash, hudud, kaffarat, mengganti rugi
kerusakan, mengangkat para penguasa untuk membasmi pemberontak dan memberikan
sanksi hukum terhadap pelaku kriminal. Disamping itu, kaidah fiqh tersebut meliputi
persoalan munakahah. Diantaranya, Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan
kondisi kehidupan rumah tangga yang tidak berjalan mulus dan serasi, agar suami-istri
tidak selalu berada dalam tekanan batin, penderitaan dan tidak mungkin dapat
mewujudkan rumah tangga bahagia.
Ketiga, kaidah fiqh yang menegaskan bahwa adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.
Kaidah itu berbunyi:
العادة محكمة
Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum
Dalam penilaian al-Râghib kata ‘urf yang seakar dengan kata ma’rûf merupakan nama
bagi suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama. Makna ini dapat ditemukan
dalam diantaranya dalam Q.S. 3: 104. Kata ‘urf dan ma’rûf dalam Qur’an dipandang
sebagai bagian dari sikap ihsan. Isyarat ini dapat ditemukan dalam Q.S. 7:199. Menurut
Ibn al-Najar kata al-‘urf yang terdapat dalam ayat ini meliputi segala sesuatu yang
disenangi oleh jiwa manusia dan sejalan dengan nilai-nilai syarî’ah.
Secara istilah, menurut Al-Jurjânî ‘urf adalah semua yang telah tetap dalam jiwa,
didukung akal, dan dapat diterima tabiat. Sementara adat merupakan segala yang
dipraktekkan manusia secara terus menerus yang sejalan dengan akal sehat dan telah
menjadi kebiasaan mereka. Al-Jurjânî membedakan antara ‘urf dan adat. Sesuatu yang
disebut ‘urf bukan semata karena dapat diterima tabiat, tetapi juga harus sejalan dengan
akal manusia. Sementara sesuatu yang disebut adat bukan semata-mata sejalan dengan
akal sehat, tetapi juga telah dipraktekkan manusia secara terus menerus sehingga menjadi
tradisi di kalangan mereka.
Abû Zahrah membatasi ‘urf menyangkut kebiasaan manusia dalam kegiatan muamalah
mereka. Muamalah yang dimaksud ulama ini sebagai bandingan dari bagian hukum Islam
yang lain, yaitu aspek ibadah. Pembatasan ini tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa
umumnya ‘urf terkait dengan kegiatan muamalah. Sebab, masalah muamalah cukup
banyak diatur dalan bentuk prinsip-prinsip dasar dalam Qur’an dan Hadis sehingga
berpeluang dimasuki unsur ‘urf di mana umat Islam berada. Sebaliknya, masalah ibadah
yang sudah dijelaskan secara rinci kecil kemungkinan dimasuki unsur ‘urf setelah sumber
hukum Islam, Qur’an dan Hadis lengkap diturunkan.
Mushthafâ Ahmad Zarqâ’ menyimpulkan bahwa ‘urf bersumber dari adat kebanyakan
kaum dalam bentuk perkataan atau perbuatan. Ia tampaknya tidak mensyaratkan sesuatu
yang disebut ‘urf dilakukan oleh semua orang, tetapi cukup dilakukan oleh mayoritas
kaum atau masyarakat. Dalam hal ini, ‘urf tidak hanya cukup dalam bentuk perbuatan,
dapat pula berupa perkataan.
Makna adat dalam kaidah fiqh di atas meliputi ‘urf dalam bentuk perkataan dan
perbuatan atau bersifat umum maupun khusus. Kaidah ini mengisyaratkan adat dapat
dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam ketika nash tidak ada. Adat atau
‘urf berbentuk umum dapat berlaku dari masa sahabat hingga masa kini yang diterima
oleh para mujtahid dan mereka beramal dengannya. Sementara ‘urf khusus hanya berlaku
pada lingkungan masyarakat tertentu yang terkait dengan ‘urf itu.
Menurut al-Suyûthî, banyak sekali masalah hukum Islam yang didasarkan pada kaidah
ini, diantaranya penentuan usia haid, lama masa suci dan haid, usia baligh, lama masa
nifas, batasan sedikit najis yang dapat dimaafkan, batasan berturut-turut (muwalat) dalam
wudhu, jarak waktu ijâb dan qabûl, jual beli salam, jual beli mu’âthah, merawat bumi
yang tidak bertuan (ihyâ’ al-mawât), masalah titipan, memanfaatkan harta sewaan,
masalah hidangan yang boleh dimakan ketika bertamu, keterpeliharaan harta di tempat
penyimpanan dalam masalah pencurian, dan menerima hadiah bagi hakim.
Kaidah fiqh tentang urf’ atau adat di atas dapat dijadikan sebagai dalil yang
mengkhususkan keumuman nash. Dalam nash dijelaskan tentang larangan melakukan
jual beli yang diiringi dengan syarat seperti yang ditegaskan Hadis berikut:
ِه عَل َي ْههُ صّلى الل ّه َ ِل الل ّه ُ سو ُ ل َر َ ل َقا َ رو َقا ٍ م
ْ َن ع ّ
ِ ْ ن عَب ْدِ اللهِ ب ْ َع
مْ مهها َلههَ ح ُ ْ ن ِفي ب َي ٍْع وََل رِب ِ طاَ شْر َ ف وَب َي ْعٌ وََل ٌ َ سل
َ ل ّ ح ِ َ م َل ي
َ ّ سلَ َو
)رواه احمد.ك َ َ عن ْد
ِ س َ ْ ما ل َيَ ُن وََل ب َي ْعْ مَ ضْ ُ )ي
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: tidak halal jual beli
salam, dua syarat dalam satu akad jual beli, mengambil keuntungan yang tidak disertai
jaminan, dan jual beli sesuatu yang tidak ada padamu. (H.R. Ahmad)
Larangan melakukan jual beli yang diiringi dengan syarat dalam Hadis ini bersifat umum
yang kemudian ditakhsis oleh ‘urf. Atas dasar ini, bay’ al-wafâ’, dimana merupakan jual
beli yang diiringi dengan syarat dibolehkan hukum Islam. Bagi mayoritas ulama mazhab
Hanafi pembolehan bay’ al-wafâ’ karena membawa manfaat yang banyak bagi kehidupan
masyarakat dalam kegiatan muamalah mereka. Jual beli ini sebagai jalan keluar
menghindarkan diri dari riba.
Praktek bay’ al-wafâ’ berasal dari tradisi masyarakat Bukhâra dan Balkh pada
pertengahan abad ke 5 H. Hal ini muncul karena para pemilik modal tidak mau memberi
hutang kepada mereka yang membutuhkan dana, apabila mereka tidak mendapat imbalan.
Situasi ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan dana. Untuk itu, mereka
menciptakan transaksi sehingga kebutuhan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang
kaya pun tercapai. Ini alasan mereka membolehkan bay’ al-wafâ’.
Sejalan dengan penjelasan terdahulu, hakim dan mufti tidak boleh menetapkan putusan
dan fatwanya dengan semata-mata berpegang pada al-qawaid al-fiqhiyyah. Hakim dan
mufti tersebut boleh menggunakan al-qawaid al-fiqhiyyah dalam menjalankan tugasnya
apabila menemukan dalil (nash) fiqh yang dapat dijadikan sebagai sandaran dalam
menyelesaikan kasus yang dihadapinya.
Apabila suatu kasus tidak ditemukan nash fiqh sebagai dasarnya karena tidak diketahui
bahasan fuqaha tentang hal itu, tetapi ada kaidah fiqh yang dapat mencakup peristiwa
atau kasus itu, dalam situasi demikian dibenarkan melandaskan fatwa dan putusan hakim
di pengadilan menggunakan kaidah fiqh. Penerapan hal ini dapat diamati secara seksama
dari contoh kasus yang dikemukakan di bawah ini.
Dalam sebuah kaidah fiqh yang cukup populer ditegaskan bahwa situasi yang sulit
memberikan peluang bagi muslim memperoleh kelapangan dan kemudahan dalam
menjalankan urusannya. Hal itu diungkapkan kaidah fiqh berikut:
اذا ضاق المر اتسع
Suatu urusan apabila telah sempit ia akan lapang.
Dengan berpegang pada kaidah fiqh ini, imam Syafi’i memberikan solusi terbaik
terhadap persoalan yang dihadapi seorang wanita, dimana ketika tidak ada wali wanita
yang sedang melakukan perjalanan bersamanya, ia boleh mewakilkan walinya kepada
laki-laki yang dipercayai dan dipandangnya memiliki sifat amanah. Ketika imam Syafi’i
ditanya orang kenapa ia memberikan solusi yang demikian. Ulama ini menegaskan
bahwa apabila suatu urusan sempit, maka ia akan lapang.
Imam Abd al-Aziz bin Ahmad al-Kalawani, membolehkan praktek jual beli buah-buahan
yang sebagiannya telah tampak, sementara yang lain belum tampak. Dengan telah tampak
sebagian buah-buahan itu semakin mendekatkan kepada hasil buah-buahan itu apabila
telah matang nanti. Disamping itu, didasarkan pula pada pertimbangan berupa aturan
main seperti itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat.
Secara faktual terbukti sebagian kaidah fiqh yang terdapat dalam al-qawaid al-fiqhiyyah
dipakai para ulama dalam menetapkan hukum dan melahirkan berbagai fatwa untuk
menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang terjadi di masyarakat. Misalnya, para
ulama tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) dalam menetapkan hukum
terhadap sejumlah kasus yang diajukan masyarakat seringkali merujuk pada kaidah fiqh
sebagai penguat pendapat mereka setelah mengemukakan sejumlah ayat Qur’an dan
hadis.
Kesimpulan
Al-qawaid al-fiqhiyyah merupakan kaidah bersifat umum meliputi sejumlah masalah fiqh
dan melaluinya dapat diketahui hukum masalah fiqh yang berada dalam lingkupnya. Al-
qawaid al-fiqhiyyah yang dirumuskan para ulama yang tidak langsung terambil dan
berdasarkan nash tidak dapat dipakai sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Sebab, tidak logis menjadikan sesuatu yang merupakan himpunan dari sejumlah
persoalan furû’ (fiqh) sebagai dalil dari dalil syara’. Namun, apabila kaidah fiqh itu
langsung didasarkan dan disandarkan pada dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah (nash), ia
dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum.
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Tentang LPPBI :
LPPBI
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya Islam (LPPBI) merupakan lembaga
non struktural yang menjadi perpanjangan tangan fakultas Ilmu Budaya-Adab dalam
rangka pengembangan keilmuan, penelitian dan pengabdian masyarakat. LPPBI
bertujuan untuk melaksanakan berbagai kegiatan ilmiah seperti penelitian, diskusi, dan
seminar ilmiah bidang kebudayaan Islam serta mewadahi berbagai kegiatan seni dan
budaya Islam dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya Islam di tengah-
tengah masyarakat. LPPBI sekaligus menjadi wadah pengembangan konsorsium budaya
sastra, sejarah, seni dan informasi.
* Fiba's Site
Makalah-Makalah
* ► 2010 (55)
o ► Desember (1)
+ Efektifitas Pelaksanaan Undang-undang No. 4 Tahun ...
o ► November (7)
+ Wanita dan Kemiskinan dalam Perspektif Sejarah Gen...
+ Surau Sebagai Skriptorium Naskah Minangkabau : St...
+ Membangun Citra Perpustakaan Perguruan Tinggi
+ Failure in Intercultural Communication : Pragmatic...
+ Mata Uang dalam Tinjauan Arkeologi : Upaya Rekonst...
+ Dinasti Muwahhidun (524-667 H./1130-1269 M.)
+ Kritikus Menurun, Sastrawan Mendaki
o ► Oktober (7)
+ Panggil Aku Kartini Saja
+ PERS BUMIPUTERA MASA PERGERAKAN NASIONAL 1927-1930...
+ Pengaruh Arsitektur Rumah Gadang Terhadap Masjid K...
+ Pemindahan Jambul Dalam Bintang Empat
+ Indrapura dan Brunei Darussalam
+ Islam Minangkabau Dalam Lingkaran Peradaban Dunia ...
+ Perkembangan Ilmu Geografi Dalam Tradisi Intelektu...
o ► September (3)
+ Pola Keberagamaan Pengikut Front Pembela Islam Dal...
+ Naskah Fakih Saghir ‘Alamiyah Tuanku Saming Syekh ...
+ "Mencurigai" Soeharto di Balik Gerakan 30 Septembe...
o ► Agustus (3)
+ Dasar Historis Lahirnya Kerajaan Mughal
+ Tuanku Rao @ Pongki Nangolngolan Sinambela : "Gene...
+ Kaligrafi Islam Kontemporer : Antara ‘Ijtihad’ dan...
o ► Juli (6)
+ The Taliban, Burqa and Fundamentalism
+ Ras, Etnik dan Sejarah
+ Modern Arab and Swahili Poetry : A Brief Compariso...
+ Digitalisasi dan Transliterasi Naskah Islam Mesjid...
+ Tuanku Nan Tuo dan Gerakan Keagamaan Islam Minangk...
+ Syekh Djalaluddin (lahir : 1882) : "Sang Apologeti...
o ► Juni (5)
+ Kontribusi Islam Dalam Sejarah
+ Dinasti Muwahhidun
+ Sains dan Teknologi di Era Dinasti Umaiyyah
+ Teori Sosial dan Epistimologi Keilmuan Islam
+ Teori Motivasi Dalam Pendekatan Sejarah Budaya
o ► Mei (10)
+ Menakar Nasionalisme BO dan SDI
+ Ruqyah sebagai Media Pengobatan Gangguan Jin Menu...
+ Epistimologi Sebuah Pendekatan Islam
+ Perkembangan Arsitektur Masjid di Dunia Islam
+ Khawarij : Fundamentalisme Awal Islam
+ Orisinalitas Al-Qur'an
+ Kitab Sifat Dua Puluh : Telaah Filologis Naskah Mi...
+ Dinasti-Dinasti Kecil Era Dinasti Abbasiyah
+ Surau Bintungan Tinggi : Tokoh, Tradisi dan Naskah...
+ Dinamika Kaligrafi di Sumatera Barat (Sebuah Penga...
o ► April (3)
+ Keadilan Hukum Waris Islam (Bagian Pertama)
+ Akar Kesadaran Nasionalisme Indonesia
+ Muslim Sebagai Penemu Amerika : Perspektif Sumber ...
o ► Maret (3)
+ Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerinta...
+ Snouck Hourgronje : Kolonialisme yang Berlindung D...
+ Islam dan Kebangsaan : Ideologi Politik PERMI
o ► Februari (5)
+ Kaligrafi Kontemporer Indonesia : Fenomena dan Rea...
+ Perkembangan Kaligrafi di Sumatera Barat
o ► Januari (2)
* ▼ 2009 (154)
o ► Desember (8)
o ► November (4)
o ► Oktober (13)
o ► September (1)
o ► Agustus (5)
o ► Juli (3)
o ► Juni (6)
o ► Mei (6)
o ► April (19)
o ► Maret (32)
o ▼ Februari (15)
+ Islam dan Kebudayaan
+ Agama Bangsa Arab Jahiliyah dalam Syiir
+ Hikayat Kalilah wa Dimnah
+ Koleksi dan Konservasi Naskah Pada Museum Daerah S...
+ Al-Nida' dalam Ayat-Ayat Do'a
+ Dampak Wirid Remaja Terhadap Perubahan Nilai-nilai...
+ Analisis Pemikiran Politik Islam dan Implementasin...
+ Lebanon : Kuntum Mawar dari Tuhan
+ Perang Salib dan Implikasinya Terhadap Budaya Timu...
+ Terorisme Islam di Indonesia : Sebuah Konspirasi B...
+ Kedudukan al-Qawa'id al-Fiqhiyyah dalam Penetapan ...
+ Kenalkan : Nama Saya Zainal bin Khaidir, Pekerjaan...
+ Membangun Pemerintahan yang Bersih : Perspektif Sy...
+ Hukum Pemanfaatan dan Jual Beli Jarahan
+ Hukum Etika Berpakaian Menurut Al-Qur'an
o ► Januari (42)
KATEGORI TULISAN
* Al-Qur'an-Hadits (3)
* Antropologi (14)
* Arkeologi (5)
* Bahasa Arab (6)
* Dokumentasi (1)
* Esei (2)
* Filologi (10)
* Filsafat Sejarah (1)
* Fiqh (2)
* Hukum Islam (1)
* Ilmu Informasi (5)
* Ilmu Kalam (2)
* Ilmu Komunikasi (4)
* Ilmu Tasauf (2)
* Kaligrafi (5)
* Lingkungan Hidup (1)
* Linguistik (7)
* Metode Penelitian (2)
* Minangkabau (17)
* Perpustakaan (11)
* Politik (10)
* Sastra Arab (9)
* Sastra Indonesia (6)
* Sejarah (42)
* Sejarah Islam (32)
* Sosio-Linguistik (4)
* Sosiologi (13)
* Tafsir (1)
* Tarbiyah (3)
Irhash's Cluster
* BSA (S.1)
* SKI (S.1)
* BSI (S.1)
* IIP (S.1)
* PAD (D.3)
* SIK (D.2)
Irhash A. Shamad
Irhash A. Shamad
Ahmad Busyrowi
Ahmad Busyrowi
Ahmad Busyrowi
H. Bakri Dusar
Firdaus
Firdaus
Firdaus
Firdaus
Herman/Mhd. Ilham
Chairusdi
A. Syafwan Nawawi
Muhapril Musri
Gusnar Zen
Herman/Mhd. Ilham
Saifullah SA
Tafiati
Saifullah SA
Yulizal Yunus
Tafiati
Yasmadi
Syafrinal
Yulizal Yunus
Yulizal Yunus
Yulizal Yunus
Yulizal Yunus
Rusydi Ramli
Yulizal Yunus
Gusnar Zen
A. Shafwan Nawawi
Gusnar Zen
Sismarni
Maksum
Yulizal Yunus
Lukmaul Hakim
Syamsir
Yulizal Yunus
Suhefri
Saharman
Syamsir Roust
Yulizal Yunus
Nurhayati Zein
Nurhayati Zein
Syamsir Roust
Desmaniar
Pengikut
Contact
Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Budaya Islam (LPPBI)
Fakultas Ilmu Budaya-Adab, IAIN Imam Bonjol,
Kampus Lubuk Lintah,
Padang, INDONESIA
Phone/Fax : (0751) 30071
e-mail : lppbi.fiba@gmail.com