You are on page 1of 12

TATA GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI

DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

oleh Bayu A. Wibawa

Kemacetan (congestion), keterlambatan (delay), polusi udara, polusi suara, dan pemborosan energi
merupakan sebagian dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi suatu kota berkaitan dengan
masalah transportasi. Permasalahan ini berkaitan erat dengan pola tata guna lahan, karena sektor
ini sangat berperan dalam menentukan kegiatan dan aktivitas pergerakan yang terjadi.
Permasalahan ini bila tidak segera ditangani dengan suatu sistem dan solusi yang tepat, akan dapat
memperbesar dampak dan permasalahan yang ditimbulkan serta pemborosan penggunaan energi
yang sia-sia. Untuk memberikan alternatif pemecahan yang tepat, maka diperlukan suatu sistem
pendekatan yang tepat pula yang mencakup seluruh aspek yang terkait.

mencakup beberapa sub sistem (mikro) yang berkaitan


Terdapat kecenderungan bahwa berkembangnya suatu (lihat diagram 1).
kota bersamaan pula dengan berkembangnya masalah
transportasi yang terjadi, sehingga masalah ini akan TATA GUNA DAMPAK LINGKUNGAN DAN PENGGUNAAN
selalu membayangi perkembangan suatu wilayah LAHAN ENERGI
perkotaan. Permasalahan ini bukan saja menyangkut
pada kenyamanan sistem transportasi yang terganggu
SISTEM SISTEM
(kepadatan, kemacetan, keterlambatan, parkir dll.), namun KEGIATAN JARINGAN
juga dapat meningkatkan pencemaran lingkungan melalui
meningkatnya gas buang dari kendaraan bermotor serta
SISTEM
merupakan suatu bentuk pemborosan energi yang sia-sia. PERGERAKAN
Jadi dapat dilhat, bahwa permasalahan transportasi ini
merupakan suatu permasalahan kompleks yang
melibatkan banyak aspek, pihak dan sistem yang terkait SISTEM
KELEMBAGAAN
sehingga dalam pemecahan permasalahan tersebut
memerlukan suatu pemecahan yang comprehensive dan Diagram 1 : Pendekatan Sistem Transportasi berkaitan dengan tata guna
terpadu yang melibatkan semua unsur dan aktor dalam lahan, lingkungan dan energi.
pembangunan kota.
Sub sistem kegiatan merupakan sistem kegiatan tertentu
yang ‘membangkitkan’ pergerakan (traffic generation) dan
1. Pendekatan Sistem
dapat ‘menarik’ pergerakan (traffiic attraction). Sistem ini
berkaitan erat dengan pengaturan pola tata guna lahan
Untuk memperoleh alternatif pemecahan masalah sebagai suatu unsur penting pembentuk pola kegiatan
transportasi yang berkaitan dengan aspek tata guna tanah dalam kota atau daerah. Sistem tersebut dapat
dan pembangunan berkelanjutan secara ang tepat dan merupakan suatu gabungan dari berbagai sistem pola
efisien, maka terlebih dulu harus dipahami mengenai kegiatan tata guna tanah (land use) seperti kegiatan
sistem transportasi secara menyeluruh (makro), peran sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Kegiatan yang
tata guna lahan terhadap timbulnya permasalahan serta timbul dalam sistem ini membutuhkan pergerakan sebagai
alat pemenuhan kebutuhan yang perlu dilakukan setiap
hari, yang tidak dapat dipenuhi oleh tata guna tanah
bersangkutan. Besarnya pergerakan yang ditimbulkan
tersebut sangat berkaitan dengan jenis/tipe dan intensitas
kegiatan yang dilakukan.
Pergerakan tersebut, baik berupa pergerakan manusia
dan/atau barang membutuhkan moda transportasi
(sarana) dan media (prasarana) tempat moda transportasi
tersebut dapat bergerak. Prasarana yang diperlukan
merupakan sistem mikro kedua yang biasa dikenal
sebagai sistem jaringan, meliputi jaringan jalan raya,
kereta api, terminal bus, stasiun kereta api, bandara dan
pelabuhan laut.
Interaksi antara sistem kegiatan dan sistem jaringan akan
menghasilkan suatu pergerakan manusia dan/atau barang
dampak permasalahan terhadap lingkungan. Sistem ini dalam bentuk pergerakan kendaraan dan/atau orang
(pejalan kaki). Suatu sistem pergerakan yang aman, sebagainya. Hal ini dimungkinkan dengan pembangunan
cepat, nyaman, murah dan sesuai dengan lingkungannya unit permukiman yang tidak saja dilengkapi dengan
akan dapat tercipta jika pergerakan tersebut diatur oleh berbagai fasilitas sosial seperti pendidikan, perbelanjaan,
suatu sistem rekayasa dan manajemen lalu-lintas yang kesehatan, rekreasi dan sebagainya, tetapi juga
baik. berdekatan dengan lokasi tempat kerja (lokasi
Permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota perkantoran, industri, dan lain-lain). Konsep ini akan
besar biasanya ditimbulkan karena kebutuhan transportasi memberikan suatu bentuk unit-unit permukiman yang
lebih besar dibandingkan prasarana transportasi yang mandiri.
tersedia atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam skala kota, unit-unit mandiri tersebut akan
Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan menimbulkan kota dengan pusat majemuk. Kota dengan
mempengaruhi sistem jaringan melalui suatu perubahan pusat-pusat yang majemuk ini memungkinkan
tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga pengurangan perjalanan jarak jauh, dimana penghuni unit
perubahan pada sistem jaringan dapat mempengaruhi mandiri telah tercukupi dengan fasilitas sosial ekonomi
sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan dalam jarak jangkauan yang dekat. Kota-kota dengan
aksesbilitas dari sistem pergerakan tersebut. multi pusat tersebut juga memungkinkan pelayanan
Dari ketiga sub sistem tersebut, masih diperlukan sistem angkutan umum serta pelayanan umum lainnya lebih
kelembagaan. Sistem ini terdiri atas individu, kelompok, efisien. Konsep-konsep ini sebenarnya telah diterapkan
lembaga, instansi pemerintah serta swasta yang terlibat dalam perencanaan kota-kota di Indonesia yang tertuang
dalam masing-masing sistem mikro. Di Indonesia sistem dalam bentuk RTRW, RUTRK, RDTRK, RTRK dan lain-
kelembagaan yang berkaitan dengan transportasi adalah : lain, mulai dari tingkat SWP,BWK, Blok, sub blok, sampai
1. Sistem kegiatan: Bappenas, Bangdes, Pemda. hirarki pelayanan yang lebih kecil. Perencanaan ini telah
2. Sistem Jarigan : Dep. Perhubungan, Bina Marga. memperhatikan hirarki pelayanan umum yang tentunya
3. Sistem Pergerakan : DLLAJR, Organda, Polantas. dengan memperhatikan faktor kegiatan pergerakan
Seluruh kebijaksanaan yang diambil oleh masing-masing penduduknya secara minimal pula.
kelembagaan harus terkait dan terkoordinasi dengan baik Untuk meninjau sistem kegiatan yang ada dalan suatu
dan tentunya dapat dilaksanaakan dengan melalui kota seperti Jakarta, maka harus ditinjau dalam skala
penegakan peraturan (low inforcement) secara baik pula. yang lebih luas, dalam hal ini Jabotabek. Jakarta sebagai
Secara umum dapat disebutkan, bahwa Pemerintah, kota terbesar di Indonesia memiliki luas mencapai 651
Swasta dan Masyarakat harus ikut berperan dalam km2 dengan penduduk 8,2 juta, serta Jabotabek dengan
mengatasi masalah transportasi, karena hal ini luas wilayah 6.812 km2 dan penduduk 17,1 juta jiwa. Pada
merupakan masalah bersama yang memerlukan tahun 2015, jumlah penduduk diperkirakan mencapai 12,1
penanganan dan keterlibatan semua pihak. juta jiwa untuk Jakarta dan 32 juta untuk wilayah
Selain semua sistem di atas, terdapat suatu aspek yang Jabotabek (lihat tabel 1).
selalu harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam Tabel 1
Penduduk Wilayah Jabotabek
menentukan policy masalah transportasi. Aspek tersebut
adalah dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkan
terhadap lingkungan serta efisiensi dalam penggunaan Wilayah 1990 2015
energi sebagai pendukung konsep pembangunan yang Penduduk (juta jiwa)
berkelanjutan. • Jakarta 8,2 12,1
• Botabek 8,9 20,1
17,1 32,2
2. Pendekatan Sistem Kegiatan • Jabotabek

Pekerja (juta jiwa)


Transportasi selalu dikaitan dengan tujuan dari kegiatan • Jakarta
2,8 4,6
perpindahan tersebut, misalnya perjalanan dari rumah ke • Botabek
• Jabotabek 2,7 7,1
tempat kerja, ke pasar, ke tempat rekreasi atau untuk 5,5 11,7
mengangkut barang dari lokasi industri ke pelabuhan, Sumber: BPPT-GTZ, JMTSS (1993)
toko, dsb. Makin jauh lokasi satu dengan lokasi lain, maka
semakin panjang pula trasportasi yang harus dilakukan. Pada tahun 1990, jumlah tenaga kerja di Jakarta masih
Sebaliknya, makin dekat lokasi satu kegiatan dengan lebih besar dibandingkan di Botabek (2,8 juta atau 51% di
kegiatan lain, makin pendek pula transportasi yang harus Jakarta dan 2,7 juta atau 49% di Botabek). Akan tetapi,
dilakukan. pada tahun 2015, Botabek diperkirakan akan
Pendekatan terhadap sistem kegiatan ini sebenarnya menyediakan tenaga kerja lebih besar dibandingkan
sangat banyak macam dan faktornya, namun pada Jakarta; 60% tenaga kerja akan berada di Botabek (7,1
pembahasan ini ditekankan pada aspek pola tata guna juta), lihat Tabel 1. Tenaga kerja akan berjumlah sekitar
tanah dalam suatu kota. Dengan konsep di atas, maka 4,6 juta di Jakarta dan 11,7 juta untuk Jabotabek. Pada
transportasi penduduk dapat diperpendek melalui suatu tahun 2015, Jakarta akan memiliki 79,5% tenaga kerja
penataan tata guna lahan yang memungkinkan yang bekerja di sektor tersier, 20,1 % di sektor sekunder,
percampuran, sehingga masyarakat tidak harus dan 0,4% di sektor primer. Di lain pihak, di wilayah
melakukan perjalanan jarak jauh untuk berbagai maksud Botabek, tenaga kerja di sektor primer masih ada dengan
dan tujuan seperti bekerja, belajar, belanja, rekreasi, dan
persentase 15%, sedangkan sektor sekunder 30% dan Konsep pembangunan yang terpadu antara hunian,
tersier 55%. tempat bekerja, fasilitas kebutuhan skala lokal ini bila
Dengan melihat pada beberapa data di atas, maka peran dapat diterapkan dengan baik juga akan mampu
kota-kota di luar Jakarta (Botabek) sangat menentukan mengurangi jumlah pergerakan penduduk, karena untuk
kondisi transportasi di Jakarta karena akan adanya arus kegiatan-kegiatan dalam skala kebutuhan lokal akan
yang sangat besar dari wilayah-wilayah itu ke pusat kota dapat di penuhi di lokasi setempat. Konsep ini diarahkan
Jakarta pada tahun 2005. Pusat kota (Central Bussines untuk dapat mengurangi arus pergerakan penduduk
District) akan menjadi tempat yang kurang tidak nyaman keluar dari blok. Namun dalam implementation banyak
lagi untuk tempat tinggal karena faktor mahal, bising dan kendala dan fungsi yang tidak dapat bekerja seperti yang
lain-lain, sehingga banyak penduduk yang tinggal luar diharapkan. Banyak superblok tersebut hanya
kota (sub urban) dan menjadi commuter. Banyaknya menyediakan sarana hunian untuk kelas atas atau (middle
penduduk yang berperilaku seperti ini (commuter) di up) sehingga penduduk yang berpenghasilan rendah dan
Jakarta, mengakibatkan beban arus lalu-lintas jalan raya bekerja di lokasi tersebut tidak mampu menjangkau.
sebagai alternatif utama (disamping kereta api yang Selain itu karena konsep ini masih bersifat partial, maka
jumlahnya relatif kecil) menjadi sangat padat dan panjang. fasilitas-fasilitas yang seharusnya hanya diarahkan untuk
Sebenarnya secara teoritis hal ini bisa dikurangi bila penduduk setempat ternyata mempunyai power attraction
implementation rencana-rencana kota yang telah ada yang kuat bagi penduduk sekitanya. Hal ini tentunya
dapat dilaksanakan dengan baik, namun hal ini memang menjadikan pergerakan antar atau keluar masuk ke blok
tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi kota yang ada tersebut menjadi sangat besar dan padat dan tidak sesuai
memang telah rumit sehingga rencana-rencana kota dengan konsep awalnya.
tersebut seringkali terbentur pada permasalahan sosial, Pengaturan tata guna lahan di Jakarta ini memang
budaya, low inforcement, pendanaan dan lain-lain. menjadi suatu permasalahan yang sangat sulit dan rumit
Kebijaksanaan yang diambil pada prinsipnya harus mengingat pertumbuhan dan perkembangan nilai lahan
mengacu pada pengurangan jarak pergerakan penduduk yang sedemikian tinggi serta kepadatan bangunan yang
baik ke tempat kerja maupun dalam pemenuhuan sangat tinggi pula. Pengaturan ini sudah diarahkan, baik
kebutuhan hidupnya. Kebijaksanaan ini dapat berupa dalam Jakarta 1965-1985 Master Plan, maupun Jakarta
pengembangan kota-kota satelit sebagai kota yang benar- 1985-2005 Structure Plan, namun implementasi-nya
benar mandiri (tidak bergantung pada Jakarta) yang masih seringkali berubah dan tidak sesuai karena adanya
dilengkapi hinian dengan berbagai sarana dan fasilitas berbagai kebutuhan dan kendala.
bagi penduduknya serta mampu menyediakan lapangan Sebagai contoh adalah kasus di Kuningan, pada awalnya
dan tempat kerja bagi penduduknya. Konsep ini memang wilayah ini dalan Jakarta Structure Plan 2005 diarahkan
telah cukup baik, namun dalam implementation masih untuk pengembangan kawasan campuran, dengan
banyak kekurangan karena pusat-pusat pertumbuhan sebagiab untuk permukiman klas atas yang disediakan
baru seperti ini masih terpaku penyediaan sarana tempat untuk para diplomat serta perkantoran. Tetapi sekarang
tinggal serta penyediaan fasilitas yang lengkap tanpa kawasan ini tumbuh menjadi kawasan perkantoran kelas
memperhatikan penyediaan lapangan kerja bagi para satu termasuk kantor-kantor komersial. Hal ini terjadi
penghuninya. Hal ini tentunya menjadikan kota-kota satelit karena lokasi yang sangat strategis dibandingkan lokasi
ini hanya sebagai tempat tinggal para pekerja di Central lain. Dari aspek accessibilty kawasan ini mudah dicapai
Bussiness Dictrict di Jakarta. Kondisi ini menjadikan dari segala arah, tetapi pelayanan transportasi tidak cukup
sebagian besar kota-kota (disebut) mandiri ternyata masih baik. Jalur lalu lintas sangat padat terutama pada jam-jam
memberikan kontribusi yang besar terhadap kepadatan sibuk. Dengan kondisi ini maka kebijaksanaan tata guna
lahan di kawasan ini dirumuskan kembali dengan konsep
superblock system dan high rise building. Sebagai
dampaknya kebutuhan transportasi meningkat pesat
sedangkan sarananya sangat terbatas, akibatnya
kemacetan dan kepadatan lalu lintas tidak dapat
dihindarkan. Dengan luas area 325 ha dan lebih dari
setengan juta pekerja, maka kawasan ini sangat
memerlukan alat dan sarana transportasi baru. Namun
dalam realitanya, walau terjadi perubahan fungsi kegiatan
(tata guna lahan), kebijaksanaan transportasi masih
mengacu pada Jakarta Structure Plan 2005, yang jelas-
jelas sudah tidah sesuai lagi dengan kondisi
perkembangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa
kebijaksanaan penggunaan lahan belum didukung dengan
kebijaksanaan pengembangan transportasi.
lalu-lintas. Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa kebijaksanaan tata
Konsep lain yang cukup menarik dalam kaitan dengan guna lahan yang baik belum tentu dapat mendukung
sistem kegiatan ini adalah intensification dan mix use pemecahan masalah transportasi, karena masih
planning dalam penggunaan lahan seperti konsep ditentukan oleh implementasi-nya yang banyak
superblock, redevelopment, urban renewal dan lain-lain.
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang dianggap lebih Jumlah Kendaraan Bermotor dan Motorisasi
di Wilayah Jabotabek
penting dan mendesak dari penataan guna lahan itu
sendiri. Selain itu, pemecahan tata guna lahan ini Wilayah 1990 2015
sebenarnya bersifat preventive dalam mencegah Jumlah Mobil (juta)
kemacetan atau kepadatan lalu lintas. Pemecahan • Jakarta 0,56 1,6
masalah transportasi melalui penataan ini memerlukan • Jabotabek 0,67 2,5
jangka waktu yang lama dan melibatkan peran serta aktif Jumlah Sepeda Motor
masyarakat luas, sehingga tidak dapat secara langsung • Jakarta 0,78 1,2
mengatasi persoalan kemacetan atau kepadatan yang • Jabotabek 0,87 2,0
telah terjadi.
Konsep dalam sistem kegiatan ini sebenarnya bukan Motorisasi (per 1000 jiwa)
• Jakarta 68,10 133,2
hanya terbatas pada konsep kedekatan pergerakan 39,20 78,3
• Jabotabek
melalui pengaturan tata guna lahan saja, namun dapat Sumber: BPPPT-GTZ, JMTSS (1993)
pula dikembangkan melalui penggunaan kemajuan sistem
teknologi yang mampu mengurangi kebutuhan pergerakan Perbedaan prosentase kenaikan tersebut
manusia seperti alat-alat telekomunikasi atau internet menggambarkan sistem penyediaan (supply) dengan
yang memungkinkan sesorang berbelanja hanya dari sistem permintaan (demand) masih terdapat ketimpangan
rumah atau pengiriman uang atau pelayanan banking yang besar. Sebagai gambaran, kota-kota di Indonesia
tanpa harus datang ke kantornya. Dengan konsep ini mempunyai panjang jalan 5% dari luas kota secara
maka kebutuhan dari manusia juga akan berkurang, keseluruhan. Kota-kota di negara maju memiliki luas jalan
sehingga kepadatan lalu lintas juga dapat dikurangi. 15-20% dari luas kotanya, bahakan di Amerika yang
berorientasi pada mobil pribadi memiliki luas jalan 20-40%
3. Pendekatan Sistem Jaringan dari luas kota. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menuju
kondisi yang dianggap memadai, maka jaringan jalan
P ada tahun 1990, tercatat 0,56 juta kendaraan pribadi kota-kota di Indonesia harus dilipatgandakan sebesar
terdapat di Kota Jakarta dan 0,67 juta kendaraan di 300-400% dari kondisi yang ada atau 400-800% bila akan
Jabotabek. Pada tahun 2015, diperkirakan akan terdapat berorientasi pada kendaraan pribadi seperti di amerika.
1,6 juta kendaraan di Jakarta dan 2,5 juta di Jabotabek Indonesia juga mengalami kenaikan penduduk perkotaan
(lihat tabel 2). yang sangat pesat, dimana diperkirakan proporsi
Peranan kendaraan bermotor di Kota Jakarta sangat penduduk perkotaan akan naik dari kondisi awal PJP-II
penting. Hal ini dapat terlihat dari data tahun 1990 yang sekitar 30% menjadi 60% pada akhir PJP-II. Hal ini berarti
menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di dalam PJP-II mendatang, dengan asumsi tingkat
Jakarta mencapai 0,78 juta kendaraan dan 0,87 juta di pelayanan yang sama, maka dibutuhkan prasarana dan
Jabotabek. Pada tahun 2015, diperkiraakan terdapat 1,2 sarana sebesar 200% dari kondisi sekarang.
juta untuk Kota Jakarta dan 2 juta untuk Jabotabek, lihat Berdasar skenario di atas untuk menuju kondisi yang
tabel 2. memadai, jaringan jalan perlu ditingkatkan dari 5%
Motorisasi di Jakarta masih relatif rendah. Pada tahun menjadi 20% dari luas areal kota, atau 400% dari kondisi
1990, tingkat motorisasi untuk Kota Jakarta adalah 68,1 sekarang. Selanjutnya dibutuhkan pembangunan jaringan
kendaraan per 1000 penduduk, 12,4 untuk Botabek, dan jalan untuk mengantisipasi peningkatan penduduk
39,2 untuk keseluruhan Jabotabek (sebagai perkotaan dari 30% menjadi 60% atau 200% dari kondisi
perbandingan, di Amerika setiap pekerja memiliki rata-rata sekarang. Maka selama 25 tahun PJP II tersebut jaringan
1,5 kendaraan, serta lebih dari 50% jumlah rumah jalan yang ada harus ditingkatkan sebesar 400% dan
tanggga memiliki sedikitnya 2 kendaraan). Dengan 200% atau 800% dari kondisi sekarang. Hal ini berarti
menggunakan skenario motorisasi yang rendah , yaitu dibutuhkan tingkat pembangunan jalan sebesar 32% per
pertumbuhan 3% pertahun untuk Jakarta dan 4,4% untuk tahun selama PJP II.
Jabotabek, diperkirakan tingkat motorisasi pada tahun Selama ini laju pembangunan jaringan jalan hanya 4,9%
2015 akan mencapai 133,2 kendaraan per 1.000 pertahun, berarti untuk mencapai tingkat pembangunan
pendududk Jakarta, 45,3 untuk Botabek dan 78,3 untuk sebesar 32% pertahun tersebut dibutuhkan dana lebih
Jabotabek (lihat tabel 2). dari 650% dari dana untuk pembangunan jaringan jalan
Kondisi yang memburuk akibat meningkatnya motorisasi selama ini. Anggaran untuk pembangunan jalan serta
tersebut makin diperparah akibat lebih tingginya perhubungan darat adalah sekitar 13% dari keseluruhan
kenaikkan jumlah kendaraan bermotor dibanding APBN dalam Pelita V, serta sekitar 15% dalam PJP II.
kecepatan pembangunan jalan, misalnya di Jakarta Dengan anggapan proporsi ini juga berlaku untuk
pertambahan jaringan hanya 4,9% pertahun berbanding pembangunan jaringan jalan kota, maka dapat
peningkatan jumlah kendaraan bermotor sebesar 7,5% disimpulkan bahwa pembangunan jaringan jalan sebesar
pertahun (Balitbang Dephub, 1994), sumber lain 4,9% per tahun tesebut dihasilkan proporsi anggaran
memberikan angka kenaikan sebesar 2,8% untuk jalan sebesar 13-15%. Berdasarkan asumsi ini, maka untuk
dan 5,1% untuk kendaraan. mencapai tingkat pembangunan jaringan jalan sebesar
32% per tahun tersebut, dibutuhkan sekitar 83-96% dari
Tabel 2 keseluruhan anggaran. Hal ini jelas tidak mungkin
dilaksanakan tanpa mengganggu pembangunan pada selanjutnya dapat diduga bahwa pada ruas jalan tersebut
sektor-sektor lainnya. akan muncul masalah transportasi serta masalah-masalah
Dari skenario di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan.
pendekatan yang hanya berorientasi pada pembangunan Dampak lain sebagai akibat pengembangan sub-pusat
jaringan jalan (supply side) tidak mungkin memecahkan kegiatan perkotaan dengan strategi peningkatan
masalah transportasi yang ada. aksesbilitas jalan raya seringkali mengabaikan aspek
Strategi pengembangan suatu bagian wilayah kota jarak. Penempatan sub-pusat kegiatan yang terlalu dekat
dengan mengadopsi secara langsung konsep pusat dengan pusat utama dengan mengabaikan faktor
pertumbuhan hampir selalu didapatkan pada dokumen- pertumbuhan kegiatan yang pesat, pada akhirnya justru
dokumen perencanaan kota di Indonesia, baik itu RUTR menjadikan kawasan kota menjadi semakin besar tanpa
Kota RTDR suatu bagian atau wilayah kota serta diimbangi oleh adanya pengembangan prasarana
dokumen lainnya. transportasi yang memadai. Keadaan selanjutnya adalah
Untuk maksud pemerataan perkembangan perkotaan, inefisiensi dalam pertumbuhan kota yang menimbulkan
pengembangan sub-pusat kegiatan kota sering dilakukan masalah serta dampak ikutan lainnya seperti kebisingan,
dengan memberikan program peningkatan aksesbilitas kelestarian lingkungan perkotaan, aspek estetika kota,
antar kawasan pusat kota dengan sub-pusatnya. Alternatif peningkatan budaya dan masalah lainnya.
program peningkatan yang banyak diterapkan pada kota- Strategi pengembangan sistem transportasi di Jakarta
kota di Indonesia (termasuk Jakarta) lebih dipilih dengan memberikan titik berat terhadap pengembangan
pengembangan jaringan jalan raya. Hal ini dilakukan transportasi jalan raya mungkin merupakan strategi yang
dengan pertimbangan murah (perbatasan biaya) mudah dapat dikatakan tergesa-gesa atau masih terlalu dini.
(penguasaan teknologi konstruksi) dan cepat Barangkali yang menjadi pertimbangan utama adalah
(penyelesaian konstruksi) dibandingkan dengan semakin mendesaknya kebutuhan layanan angkutan,
pengembangan jalan baja atau rel. mengingat captive demand memang tinggi serta adanya
J. Michael Thompson mengistilahkan pendekatan tersebut gejala yang membudaya pada sebagian masyarakat yang
sebagai low cost strategy (lihat diagram 2), yaitu mengarah pada penggunaan angkutan jalan raya.
peningkatan aksesbilitas kawasan perkotan dengan titik Pengembangan alternaif sarana transportasi lain
berat pada pengembangan jalan raya yang relatif murah khususnya jalan baja atau rel justru seolah-olah
dan mudah dibandingkan dengan pengembangan jalan dianaktirikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditutupnya
baja atau rel. jalan kereta api khususnya di wilayah perkotaan yang
Di Indonesia (Jakarta) strategi seperti ini perlu berdasarkan sejarahnya memiliki sarana angkutan kereta
dipertimbangkan lagi karena strategi seperti ini justru api seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang,
sudah mulai dirasakan banyak menimbulkan sisi negatif. Surabaya dan lain-lain.
Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi yang Strategi pengembangan transportasi di beberapa kota di
mempunyai daya rangsang tertinggi terhadap tumbuhnya luar negeri justru memperlihatkan strategi yang berimbang
kegiatan lain di sekitarnya dibandingkan jalan baja atau rel terhadap berbagai jenis moda angkutan umum,
kereta api. Peningkatan aksesbilitas yang sebelumnya khususnya pengembangan angkutan jalan baja atau rel
dimaksudkan untuk mengembangkan kawasan di sekitar (lihat diagram 3). Hal terpenting yang terjadi di Jakarta

sub-pusat seringkali tidak optimal. Perkembnagan yang adalah hubungan antar pusat kegiatan dan antara pusat
ada justru terjadi pada sekitar jaringan jalan tersebut,

Diagram 2 Diagram 3
kegiatan dengan sub-pusat lainnya serta kawasan Masalah utama dalam pengembangan strategi ini di
pemukiman tidak dititikberatkan pada angkutan kereta api. Jakarta adalah besarnya biaya investasi yang harus
Hubungan antar kota-kota satelit atau mandiri dilakukan ditanamkan serta aspek teknologi tinggi yang diperlukan.
dengan jalur rel kereta api sedangkan untuk pergerakan Namun dengan melihat besarnya peran strategi ini yang
internal dapat menggunakan pergerakan jalan raya dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah
dengan beberapa konsep pendukung seperti konsep transportasi tentunya menjadi alternatif terbaik yang harus
terminal terpadu dimana beberapa bentuk sistem jaringan ditempuh. Masalah pendanaan pembangunan dapat
mempunyai terminal yang terpadu dalan suatu atap, dipecahkan dengan melibatkan pihak investor dan dan
sehingga perpindangan penumpang dapat lebih mudah bila perlu dengan penggunaan sistem subsidi atau
dan cepat. Kunci utama dari strategi ini adalah kompensasi sebagai usaha mengatasi kendala ini.
pemanfaatan angkutan kereta api baik jaringan bawah
tanah (subway) maupun melayang diatas tanah 4. Pendekatan Sistem Pergerakan
(elevated). Sistem bawah tanah diterapkan pada pusat-
pusat kota dengan harga tanah yang sudah sangat tinggi,
biaya konstruksi untuk subway ini dapat dianggap layak
P ada tahun 1990, jumlah pergerakan kendaraan setiap
hari adalah 9,6 juta, termasuk 1,8 pergerakan ulang-alik
bila sama dengan harga tanah yang harus dibebaskan
antara jakarta dan Botabek. Pada tahun 2015, jumlah
untuk jalur di atas tanah. Untuk daerah-daerah di luar
pergerakan kendaraan diperkirakan akan mencapai 23,6
CBD, alternatif kereta layang atau di atas permukaan
juta per hari 17,8 juta di Jakarta dan 5,8 juta Jakarta-
tanah masih dinilai lebih layak bila dikaitkan dengan harga
Botabek. Pergerakan ulang-alik diperkirakan akan
lahannya.
meningkat dengan tingkat pertumbuhan 213,8% dalam 25
tahun (1995-2015), sedangkan pergerakan internal
127,2% (lihat tabel 3).
Tingkat pengisian penumpang untuk kendaraan pribadi
sangat rendah (1,65 pada tahun 1985); 45% dari
pergerakan kendaraan hanya berisi satu penumpang dan
35 % dengan dua penumpang. Pelayanan angkutan
umum mengalami penurunan dari 57% tahun 1985
menjadi 49,1 % tahun 1990. Dengan adaya rencana
pengembangan angkutan umum masal (massa transit
development plan), pelayanan angkutan umum
diiharapkan akan meningkat lagi menjadi 58,7% pada
Pertimbangan utama mengacu pada sifat dari angkutan tahun 2015 (lihat tabel 3).
jalan baja yang relatif tidak merangsang pertumbuhan lain Tabel 3
Transportasi Wilayah Jabotabek 2015
di sekitarnya. Melalui strategi ini pengembangan kota
dapat diarahkan serta pola pergerakan yang terjadi dapat 1990 2015 P-25 P/thn
dilayani angkutan kereta api. Arahan pengembangan di Penduduk (juta)
Jakarta lebih ditekankan pada pembangunan jaringan • Jakarta 8,2 12,1 +49,6 1,55
jalan raya (tol) yang sebenarnya dari analisis yang telah • Botabek 8,9 20,1 +126,6 3,32
• Total 17,1 32,2 +88,3 2,56
dilakukan di atas tidak akan mampu mengikuti
perkembangan kebutuhan sarana transportasi bila tidak Juml trip/hari (juta)
didukung dengan sistem jaringan yang lain, terutama • Internal Jakarta 7,8 17,8 +127,2 3,34
jaringan kereta api. • Jakarta- 1,8 5,8 +213,8 4,68
Sebenarnya straregi ini telah mulai dirintis untuk Botabek 9,6 23,6 +143,7 3,63
• Total
dikembangkan di Jakarta melalui penggunaan kereta api
Jml trip angkutan
cepat dengan pilot project jalur Blok M - Kota. Bahkan umum/hari (juta)
saat ini telah mulai dirintis kereta api melayang di atas • Internal Jakarta 3,8 10,4 +171,7 4,08
tanah tanah (light railway transportation). • Jakarta- 1,2 3,5 +180,6 4,21
Botabek 5,0 13,9 +173,8 4,11
• Total
Jml trip angkutan
pribadi/hari (juta)
• Internal Jakarta 4,0 7,3 +84,4 2,48
• Jakarta- 0,6 2,3 +281,5 5,50
Botabek 4,6 9,6 +110,5 3,02
• Total
Modal plit (%
angkutan umum)
• Internal Jakarta 49,1 58,7
• Jakarta- 67,1 60,0
Botabek 52,5 59,0
• Total
Sumber:BPPT-GTZ, JMTSS (1993)
Keterangan: P-25: Pertumbuhan dalam 25 tahun (%) menipisnya lapisan ozon yang selanjutnya mengakibatkan
P/thn: Pertumbhan per tahun (%)
sesak napas, batuk, sakit kepala, penyakit paru-paru,
Dengan melihat pada data pertambahan trip kendaraan penyakit jantung dan kanker. Tingkah laku agresif dan
pribadi antara Jakarta-Jakarta dalam tahun 1995-2015 reaksi psikologis juga berhubungan dengan kondisi
mencapai 281,5% (pertumbuhan 5,50%), maka hal ini kemacetan lalu lintas (GAO dalam Gordon, 1993).
menunjkkan akan adanya peningkatan kepadatan lalu Pada bagian berikut, untuk memberikan gambaran yang
lintas yang tinggi dan harus diantisipasi. Untuk melayani lebih baik mengenai transportasi di Jakarta dan
jalur ini sangat diperlukan suatu sistem angkutan masal dampaknya pada lingkungan, akan disampaikan secara
cepat (mass rapid tranportation) yang nyaman, sehingga singkat suatu gambaran mengenai konsumsi energi
dapat menjadi alternatif terbaik bagi para pemakai antar transportasi di Indonesia, diikuti oleh beberapa data
pusat kota dengan kota-kota di sekitarnya. Tingkat mengenai tingkat polusi udara dan suara di Jakarta.
pelayanan transportasi umum yang masih kecil (terjadi Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada 1.636
penurunan (tahun 1985 sebesar 57% dan tahun 1990 rumah tangga di 9 kota (Jakarta, Bogor, Bandung,
sebesar 49,1%), merupakan gejala yang cukup Semarang, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Ujung
memprihatinkan, karena sebenarnya peranan angkutan Pandang dan Medan), bensin merupakan bahan bakar
umum ini harus makin ditingkatkan, baik daeri aspek terbanyak yang dikonsumsi rumah tangga (94% dari total
kuantitas maupun kualitas. rumah tangga), yaitu dengan rata-rata 0,43 BOE per
Dari analisis tersebut, maka peningkatan angkutan yang kapita. Mobil dan sepeda motor adalah moda yang
bersifat masal harus lebih intensive dan nyaman. Salah terbanyak mengkonsumsi bahan bakar tersebut., yaitu
satu alternatif terbaik untuk menjawab permasalahan ini 47% dan 48%. Selain itu, rumah tangga dengan
adalah dengan penggunaan jalur transportasi kereta api, penghasilan tinggi (21% dari total rumah tangga)
karena sistem angkutan ini dinilai mempunyai beberapa mengkonsumsi 72% dari konsumsi energi transport rumah
kelebihan terutama dalam jumlah pengangkutan. Seperti tangga, khususnya untuk sepeda motor dan mobil (IDEA,
dibuktikan kereta api Jabotabek, satu rangkaian dengan INC. Et al, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa
empat buah gerbong bisa mengangkut sekitar 1.250 bertambahnya pendapatan per kapita dan tingkat
penumpang dalam waktu sekitar satu jam antara Bogor- motorisasi, rata-rata konsumsi bahan bakar transportasi
Jakarta. Jika jumlah penumpang ini diangkut dengan bus per kapita di Jakarta juga meningkat.
yang berkapasitas 75 orang (termasuk berdiri) maka akan Tingkat kemcetan mempengaruhi efisiensi energi.
dibutuhkan sekitar 17 buah bus dengan waktu perjalanan Kecepatan dibawah 30 mph akan mengurangi efisiensi
dua kali lipat. Dengan melihat ilustrasi ini maka jenis jalan dan kendaraan (menggunakan energi lebih banyak).
angkutan darat lainnya tak akan menandingi keandalan Di Amerika, waktu untuk perjalanan ulang-alik pekerja
kereta api. yang merupakan hampir 15% dari total waktu perjalanan,
mengkonsumsi lebih dari 30% energi yang digunakan
untuk perjalanan penumpang. Dengan bertambahnya
5. Transportasi dan Dampak Lingkungan proporsi perjalanan ulang-alik di Jakarta pada masa yang
akan datang (lihat tabel 3), setiap penambahan tingkat
K emacetan, polusi, konservasi energi dan penurunan kemacetan akan memberikan pengaruh yang berarti pada
kesehatan masyarakat adalah beberapa dampak pemborosan energi, khususnya karena peran yang besar
lingkungan yang diakibatkan oleh pergerakan kendaraan dari lalu lintas transportasi jalan raya dalan penggunaan
bermotor. energi. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1985 energi yang
Seperti disebutkan di atas, kemacetan akan semakin dikonsumsi Indonesia adalah 102,8 MMBOE (Million
memburuk karena kecepatan kendaraan rata-rata di Barrel of Oil Equivqlent); 57,5% untuk sektor transportasi
bawah 20 km/jam terjadi hampir di seluruh jalan arteri di dan 42,5% untuk sektor industri. Di sektor transportasi,
Jakarta. Kemacetan tidak hanya mengurangi efisiensi transportasi jalan raya mengkonsumsi 79,6% dari energi
pengoperasian transportasi, tetapi juga membuang waktu yang digunakan. Konsumsi energi transportasi jalan raya
dan energi, menimbulkan polusi yang berlebihan, adalah 46,1 MMBOE (1985) dan diproyeksikan menjadi
membahayakan kesehatan masyarakat, dan 104,0 MMBOE (2005) (lihat LEMIGAS, 1989).
mempengaruhi ekonomi masyarakat. Di Jakarta, lalu lintas kendaraan telah memberikan
Kemacetan akan merusak lingkungan, sebagai contoh, di sumbangan terbesar pada polusi udara, secara khusus
Amerika, emisi Karbon dioksida akan berlipat ganda dapat diuraikan CO (99%), HC (89%), dan NOx (73%).
ketika kecepatan rata-rata kendaraan turun dari 30 Kondisi yang sama juga ditemui di wilayah metropolitan
menjadi 10 mph, dan emisi Hidro karbon dan Karbon lainnya, seperti Surabaya, Bandung dan Semarang (lihat
monoksida akan menjadi tiga kali lipat pada kecepatan tabel 4 dan 5). Tingkat kualitas udara dari beberapa jalan
kurang dari 35 mph, dibandingkan dengan kecepatan utama di Jakarta sudah melebihi batas ambang standar
konstan 55 mph. kualitas udara, khususnya untuk Nox dan TSP/debu (lihat
Kemacetan lalu lintas juga akan membahayakan tabel 6).
kesehatan. Konsentrasi Karbon monoksida yang tinggi Suatu studi telah dilakukan yang didasarkan pada
pada jalan yang padat akan menghalangi aliran oksigen pembahasan mengenai komposisi lalu lintas, kondisi
untuk para pengemudi, sehingga akan mempengaruhi geografis, lokalisasi industri, guna lahan dan faktor-faktor
kinerja mengemudi. Hal ini akan berakibat pada meteorologi yang berkaitan untuk mengidentifikasikan
wilayah kritis dan karakterisitik polusi udara di Jakarta. Perum, Tol Tomang 85,0 65 + 20,0 55 + 30,0
Studi tersebut mengidentifikasi beberapa wilayah kritis Standar tingkat kebisingan:
- St sesuai RPP
dengan tingkat polusi yang tinggi. Tingkat konsentrasi - Std sesuai dengan ketentuan Gubernur No. 587 / 1980
polutan di wilayah kritis tersebut melebihi batas standar Sumber : Laporan penelitian (1991), Soedomo (1992)
kualitas udara hampir secara terus-menerus selama
setahun. Konsentrasi maksimum terjadi selama musim Dari tinjauan masalahan transportasi dan dampaknya
hujan, terutama pada Januari dan Februari. pada lingkungan, maka dapat dilihat kontribusi yang
Selain polusi udara, Jakarta juga mengalami polusi sangat besar dari masalah transportasi terhadap
kebisingan. Secara umum, kebisingan lalu lintas adalah kenyaman dan kelestarian lingkungan. Untuk mengatasi
konstan dan menyebar secara luas dibandingakan permasalahan ini sedikitnya terdapat tiga konsep yang
dengan kebisingan lainnya (misalnya kebisingan dari dapat diberikan. Konsep yang pertama adalah usaha
industri), karenanya menimbulkan masalah lebih serius untuk mengurangi jumlah kendaraan bermotor yang ada,
untuk mempengaruhi kerusakan fisik dan psikologis. Hasil hal ini dapat dilakukan dengan penyedian sarana
pengukuran kebisingan di Jakarta oleh LIPI menunjukkan transportasi yang bersifat masal yang nyaman, sehingga
bahwa tingkat kebisingan telah melebihi batas amabng dapat menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat dan
kriteria kebisingan (lihat tabel 7). dapat mengurangi jumlah kendaraan pribadi. Konsep
kedua adalah perbaikan mutu gas buang dari kendaraan
Tabel 4 bermotor, baik dari segi desain, perawatan maupun
Sumber Polusi di Jakarta
pemakaian bahan bakar yang seminimal mungkin dapat
Polutan Total Indu Peru Limb Kend memberikan pencemaran terhadap lingkungan. Konsep
(ton/th) stri maha ah araa yang ke tiga adalah usaha mengurangi kemacetan lalu
(%) n (%) (%) n (%) lingtas di jalan sehingga pemborosan energi dan
Karbon Monoksida 325,578 0,1 0,1 1,0 98,8 pencemaran lingkungan dapat dikurangi.
Hidro Karbon 14,593 1,2 2,2 7,7 88,9 Mengkaji pada usulan dalam pembahasan sistem jaringan
Nitrogen Oksida 20,465 15,9 9,6 1,1 73,4 maupun sisten pergerakan untuk meberikan suatu sistem
Partikel-Partikel 7,071 14,6 33,0 8,4 44,1 angkutan masal yang cepat dan nyaman dalam bentuk
Sulfur dioksida 24,710 62,7 10,7 0,2 26,5 kereta api, tentunya hal ini sangat mendukung konsep
Sumber : Laporan penelitian (1991), Soedomo (1992) pembangunan yang berkelanjutan karena dapat
Tabel 5 mengurangi jumlah kendaraan bermotor.
Kontribusi sektor transportasi pada emisi polusi udara
6. Kesimpulan
Polutan Persentase (%)
Jakarta Surabaya Bandung Semarang
CO 98,8 96,8 97,4 98,8
Dengan melihat pada beberapa uraian diatas maka
HC 88,9 71,0 78,5 87,6
pengaturan tata guna lahan memiliki peran yang penting
Nox 73,4 33,6 56,8 82,6 dalam pembentukan sistem pergerakan (transportasi)
SOx 26,5 1,7 11,3 63,6 penduduknya. Kondisi yang ada di Jakarta, konsep
TSP 44,1 12,6 27,7 41,3 pengaturan tata guna lahan telah tertuang dalam rencana-
Sumber : Bapedal, 1992 (Poernomosidhi) rencana kota, namun dalam pelaksanaannya masih
banyak kekurangan dan kendala. Sistem pengaturan tata
Tabel 6
Tingkat polusi udara pada beberapa jalan besar di Jakarta (1991-1992) guna lahan membutuhkan peran serta langsung
masyarakat dan memerlukan jangka waktu yang sangat
Jalan CO NOx TSP/DEBU lama. Hal terpenting yang berkaitan dengan pengaturan
Hasil Stdart Hasil Stdart Hasil Stdart tata guna lahan (pembagian pusat-pusat pertumbuhan)
Sudirman 11,943 20 0,125 0,05 556,31 260 adalah pemakaian sistem transportasi yang
Gatot S 8,061 20 0,058 0,05 384,54 260 menghubungkan antar pusat-pusat atau antara pusat
S Parman 8,133 20 0,056 0,05 581,42 260 dengan sub-pusat pertumbuhan yang masih
Kramat R 10,145 20 0,061 0,05 951,06 260 mengandalkan pada sistem transportasi jalan raya.
Casblanc 10,344 20 0,053 0,05 259,57 260
Kondisi ini mengakibatkan tingginya permasalahan
Hasil dalam ppm / 8 jam
Standart dalam ppm / 8 jam, standart batas ambang polusi udara
transportasi seperti kepadatan, kemacetan, perpakiran
Sumber : Bappedal dan KP2L DKI Jakarta (Poernomosidhi) dan lain-lain.
Sebagai alternatif dari aspek sistem pergerakan yang
Tabel 7 dapat diajukan dalam usaha mengatasi permasalahan ini
Tingkat kebisingan di Jakarta (dB.A)
adalah dengan pengembangan suatu sistem angkutan
umum masal (mass rapid transportation) yang efektif dan
Guna Lahan 1992 St Perbe Std Perbe
daan daan efisien. Sebagai pilihan terbaik dari sistem jaringan adalah
moda angkutan kereta api, karena beberapa
Perum. Kalibata 73,5 65 + 8,5 55 + 18,5 pertimbangan seperti daya angkut, kecepatan, dampak
RS Fatmawati 65,4 60 + 5,4 55 + 10,4
petumbuhan sepanjang jalur lintasan dan lain-lain. Sistem
Terminal Pulogadung 85,3 70 + 15,3 . + .
Industri Pulogadung 72,3 70 + 2,3 70 + 2,3 ini hendaknya terpadu dengan sistem moda angkutan
lainnya dengan fungsi dan hirarki yang jelas.
Sistem jaringan kereta api diterapkan untuk ______________, (1992), Kebijaksanaan KPP, Majalah
menghubungkan pusat kota dengan pusat-pusat Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Nomor 4 Juni
pertumbuhan di sekitanrnya (kota satelit), sedangkan 1992, IAP, Jur. Tek. Planologi, FTSP dan LPP-ITB,
pada pergerakan internal pusat kota dan masing-masing Bandung.
sub pusat kota menggunakan sistem angkutan masal
yang fleksibel seperti bus. Untuk pusat-pusat kota dimana Kusumantoro, Iwan P.,(1994), Mengamati Sistem
harga tanah sudaha sangat tinggi dapat diterapkan sistem Transportasi di Jerman, Majalah Jurnal
subway, sedangkan di daerah pinggiran dapat Perencanaan Wilayah dan Kota Nomor 13 Juni
menggunakan sistem eleveted. Penerapan sistem 1994, P3WK-ITB, IAP, dan Yayasan LPP, Bandung.
terminal yang terpadu antar beberapa macam moda Poenomosidhi, I.F., (1993), Urban Travel
angkutan merupakan suatu prasarana yang penting untuk Characteristics, dalam J.D. Edwards, Jr., P.E. ed
memudahkan pencapaian dan kenyamanan. Hal yang Tranportation Planning Handbook, Institute of
terpenting pula adalah koordinasi antar sistem Transportation Engineers, Printice Hall.
kelembagaan yang terkait, sehingga masing-masing Soedomo, M (1993), Transportasi Hemat Energi dan
kebijaksanaan yang diambil berkaitan dengan masalah Berwawasan Lingkungan, paper presented at
transportasi dapat dilakukan secara terpadu dan terarah. Worshop on National Transportation System,
Aspek pencemaran lingkungan sebagai dampat dari Jakarta
permasalahan transportasi adalah sangat besar, sehingga Tamin, Ofyar Z., (1992), Pemecahan Kemacetan Lalu
pemecahan masalah ini harus segera dilakukan sehingga Lintas Kota Besar, Majalah Jurnal Perencanaan
keselamatan lingkungan segera dapat dilakukan. Usulan Wilayah dan Kota Nomor 4 Juni 1992, IAP, Jur. Tek.
pemanfaatan sistem jaringan kereta api dan bus yang Planologi, FTSP dan LPP-ITB, Bandung.
terpadu merupak salah satu usaha yang tepat dalam
mengatasi masalah transportasi yang pada akhirnya akan
dapat pula mengurangi pencemaran yang ditimbulkan
terhadap lingkungan.
Disusun oleh:

Bayu Arie Wibawa


L 4B0 96 005

PROGRAM PASCA SARJANA


7. Daftar Pustaka MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Baxchrun, R.K., M. Soedomo, and D.W. Samhudi (1991),
Simulation Model for Jakarta Air Polution Station
Network, paper presented at Work Shop on Higway
Graduated Program, Institute of Technology
Bandung, Bandung.
Balitbang-Dephub, (1994), Dukungan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi dalam Penyelenggaraan Angkutan
darat, Background Paper, Rakornas Ristek XII,
Jakarta 22-24 Mei 1994.
BPPT-GTZ (1992), Jakarta Mass Transit Syatem Study
(JMTSS).
Kusbiantoro, BS., (1994), Menuju Kota Bebas
Transportasi, Majalah Jurnal Perencanaan Wilayah
dan Kota Nomor 13 Juni 1994, P3WK-ITB, IAP, dan
Yayasan LPP, Bandung.
______________, (1994), Jakarta: Transportasi dan
Pembangunan Berkelanjutan, Majalah Jurnal
Perencanaan Wilayah dan Kota Nomor 13 Juni
1994, P3WK-ITB, IAP, dan Yayasan LPP, Bandung.
______________, (1993), Sistem Angkutan Umum
Masal Jakarta, Diskusi Panel KOMPAS, 19 Agustus
1993, Jakarta.
Tugas II Mata Kuliah
Manusia dan Lingkungan TAU 603
Semester I

TATA GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI


DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DI JAKARTA

Disusun oleh :

BAYU ARIE WIBAWA


L 4B0 96 005

PROGRAM PASCA SARJANA


MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS DIPONEGORO
1996

You might also like