You are on page 1of 21

TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR FILSAFAT DAN

PEMIKIRAN MODERN

“SECARA SINGKAT TENTANG ZEN BUDHISME”

Disusun Oleh:
Crystal Susiana, 0906523731
Firdha Widyantari, 0906635904
Yusuf Budianto, 0906636075
Zulfian Prasetyo, 0906559315

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2011
Secara Singkat Tentang Zen Budhisme

Zen adalah salah satu aliran dari Buddha Mahayana. Kata ‘Zen’ berasal dari
kata ‘Chan’ dalam bahasa Cina, yang berarti ‘meditasi’. Tidak banyak yang
mengetahui asal usul aliran Zen, namun dipercaya bahwa perjalanan perdagangan
Jalur Sutra dari India ke Cina adalah cara utama perkembangan Zen. Ada juga
berbagai teori lain yang berkembang tentang perkembangan Zen, salah satunya
adalah teori bahwa Zen merupakan campuran antara Buddha Mahayana dan
Taoisme1, namun ada juga yang mengatakan bahwa Zen berakar dari praktek
yoga.

Salah satu teori permulaan Zen Buddhisme adalah cerita rakyat The Flower
Sermon (‘Khotbah Bunga’) yang merupakan salah satu teori Zen tertua, tercatat
pada abad ke-14 Masehi2. Diceritakan pada suatu masa, Buddha Gautama sedang
mengumpulkan murid-muridnya untuk mendengarkan khotbah Dharma, namun
Buddha tidak berkata sepatah katapun. Alih-alih, dia malah mengambil sebuah
bunga. Salah seorang muridnya yang bernama Kashyapa dapat menyimpulkan
aktivitas Buddha, bahwa Buddha menginginkan pengikutnya untuk dapat
mengerti ajarannya walaupun dia tidak menyampaikannya secara langsung3.
Kebijaksanaan diberikan bukan lewat dialog, namun lewat pemikiran langsung
dari guru kepada murid.

Secara tradisional, pemikiran Zen dapat dikreditkan kepada Bodhidharma.


Bodhidharma adalah seorang pangeran India yang menjadi biksu yang datang ke
Cina untuk mengajarkan “pengajaran diluar kitab suci” yang “tidak berdasarkan
kata-kata”4. Bodhidharma tinggal di Kerajaan Wei, dan sebelum dia meninggal
dia menunjuk seorang muridnya yang bernama Huike untuk menjadi penerusnya

1
Maspero, Henri. Taoism and Chinese Religion. 1981. Massachusetts:
University of Massachusetts, p. 46.
2
Ibid, p. 46.
3
Carter, Robert Edgar. The Japanese Arts and Self-cultivation. 2008. New
York: State University of New York, p. 98.
4
Buswell, Robert E., ed. Encyclopedia of Buddhism. 1. Macmillan. pp. 57, 130.
dalam menyebarkan aliran Zen, membuat Huike menjadi orang Cina pertama
yang menjadi leluhur Zen di Cina. Lambat laun, Zen mulai disebarkan di Cina
pada masa kekaisaran Tang. Di Cina, pada masa itu Zen mempunyai lima sekolah,
yaitu Guiyang, Linji, Caodong, Yunmen dan Fayan5. Kemudian
perkembangannya berkembang sampai ke Vietnam (dengan nama Thien), Korea
(dengan nama Seon), Jepang (dengan nama Zen), dan ke dunia barat.

Tokoh-Tokoh Zen Budhisme

1. Dōgen Zenji (19 Januari 1200 - 22 September 1253)

Zenji merupakan seorang guru Zen yang terkenal di Jepang. Ia pernah lama
belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China.6 Ia juga mendirikan kuil
Eihei-ji di prefektur Fukui di Jepang. Kuil itu didirikan pada tahun 1244 dan
terletak di atas tanah dengan luas sekitar 330.000 m². Kuil itu menawarkan
pelatihan dan pendidikan untuk biksu.

2. Wang Wei (lahir tahun 701 – meninggal tahun 761)


Wang Wei lahir di Yongji Provinsi Shanxi, nama pelajarnya adalah Mo Jie.
Ia lulus sarjana pada usia 20 tahun, lalu mendapat jabatan di pusat. Tapi karena
terkena kasus, ia sempat dimutasi ke markas militer. Di kemudian hari, ia juga
5
Cleary, Thomas. Classics of Buddhism and Zen: Volume One. 2005. Boston, MA:
Shambhala publications. p. 250.
6
Agama Buddha di Jepang, kepercayaan, budaya atau tempat wisata?.
http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama_buddha.html (diakses pada
21 April 2011 pukul 12:05 WIB)
sempat menjadi Menteri Kanan, salah satu menteri utama, ia dipanggil “Menteri
Kanan Wang”. Wang mulai mendalami Zen Budhisme di usia tengah baya, ia pun
sempat berpikir untuk menjadi pendeta. Ia sendiri melukiskan warna Zen
Budhisme dengan cara berpuisi. Dengan kata-kata yang efektif dan efisien, dia
mampu menghadirkan gambar pemandangan alam yang sangat hidup, lengkap
dengan warna, suara, dan suasana.7

3. Boddhidharma

Bodhidharma adalah seorang biksu legendaris beragama Buddha. Menurut


mitologi Shaolin, Bodhidharma dianggap sebagai pendiri mazhab Zen agama
Buddha. Ia berasal dari India dan merupakan murid generasi ke-28
setelah Mahakassapa. Pada sekitar tahun 520 dia pergi ke Tiongkok Selatan di
kerajaan Liang. Dia kemudian bermeditasi selama 9 tahun menghadap dinding
batu di vihara di Luoyang. Di sinilah juga dipercayai berdirinya vihara Shaolin
(少林寺). Aliran Zen asli diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng. Setelah
itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang.

4. Dazu Huike (慧可) lahir tahun 484 – meninggal tahun 590.8

7
Fuyuan Zhou. Purnama Di Bukit Langit. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm.
339.
Gambar 1. Ilustrasi pelukis tentang Huike yang sedang berpikir
Dia bertemu gurunya Bodhidharma di Biara Shaolin pada tahun 528 dan
belajar dengan Bodhidharma selama enam tahun. Legenda mengatakan bahwa
pada awalnya Bodhidharma menolak mengajari Huike dan Huike “ngambek” di
luar gua Bodhidharma yang bersalju sepanjang malam sampai pagi. Di pagi hari
Bodhidharma melihatnya masih berada di depan gua dan bertanya mengapa dia
masih ada di sana. Huike menjawab bahwa ia menginginkan seorang guru untuk
membuka pintu gerbang obat mujarab atau belas kasih universal untuk
membebaskan semua makhluk. Bodhidharma menolak dan berkata, "Bagaimana
kamu bisa berharap untuk agama yang benar dengan sedikit kebajikan, sedikit
kebijaksanaan, hati yang dangkal, dan pikiran yang sombong? Itu hanya akan
membuang-buang usaha".9
Akhirnya, untuk membuktikan tekadnya, Huike memotong lengan kirinya
dan diberikan sebagai tanda ketulusan dan akhirnya Bodhidharma menerimanya
sebagai murid dan juga mengubah namanya dari Shenguang ke Huike yang berarti
Kebijaksanaan dan Kapasitas.10 11

8
Heinrich Dumoulin. Zen Buddhism: A History: India and China With a New
Supplement on the Northern School of Chinese Zen. (MacMillan Publishing Company, 1994),
hlm. 94.
9
Thomas Clearly. Transmission of Light: Zen in the Art of Enlightenment by Zen Master
Keizan. North Point Press, 1999. hlm. 126.
10
McRae, John. The Northern School and the Formation of Early Ch’an Buddhism.
(Hawaii: University of Hawaii Press, 1986), hlm. 24.
11
Ada versi lain, di: Dumoulin, op. cit, hlm. 88 disebutkan bahwa lengan Huike dipotong
oleh seorang bandit, bukan dipotong sendiri olehnya.
5. Jianzhi Sengcan (僧燦), meninggal tahun 606
Catatan sejarah dari Sengcan sangatlah terbatas. Dari semua patriark Chan,
Keberadaan Sengcan tidaklah jelas dan paling sedikit diketahui. Sebagian besar
dari apa yang diketahui tentang hidupnya berasal dari Huiyuan Wudeng
(Kompendium Lima Lampu), yang dibuat pada awal abad ketigabelas. Bagian
pertama dari lima catatan dalam Kompendium adalah sebuah naskah yang sering
disebut sebagai ‘Transmisi dari Lampu’12 dan dari naskah inilah sebagian besar
informasi tentang Sengcan dikumpulkan.

Sengcan berusia empat puluh tahun ketika ia pertama kali bertemu Huike
pada tahun 536 dan bahwa ia tinggal dengan gurunya selama enam tahun.13 Saat
itu Huike yang memberinya nama Sengcan. Naskah Transmisi dari Lampu
mencatat bahwa dia tinggal bersama Huike selama dua tahun,14 yakni setelah
Huike lulus dan menerima jubah dari Bodhidharma dan dharma Bodhidharma
(umumnya dianggap Sutra Lankavatara) yang membuatnya menjadi Patriark
Ketiga Chan. Pada tahun 574, beberapa catatan mengatakan bahwa ia melarikan
diri dengan Huike ke pegunungan karena penganiayaan umat Buddha sedang
terjadi pada saat itu. Namun, naskah Transmisi Lampu mencatat bahwa setelah
meneruskan Dharma kepada Sengcan, Huike memperingatkan Sengcan untuk
hidup di pegunungan dan "Tunggulah saatnya hingga kamu dapat meneruskan
Dharma kepada orang lain"15 sebagaimana perkiraan yang diberikan kepada
Bodhidharma (guru Huike) oleh Prajnadhara, nenek moyang ke-27 Chan di India,
yang meramalkan bahwa sebuah bencana akan datang, bencana itu ialah
penganiayaan Buddhis pada tahun 574-577.

Setelah menerima penerusan, Sengcan tinggal bersembunyi di Gunung


Wangong Yixian dan kemudian pada Gunung Sikong di barat daya Anhui. Dan

12
Andrew Ferguson. Zen's Chinese Heritage - The Masters & Their Teachings.
(Wisdom Publications, 2000), hlm. 10-11.
13
Heinrich Dumoulin, op.cit., hlm. 97.
14
Thomas Clearly, op.cit., hlm. 129.
15
Andrew Ferguson, op.cit., hlm. 22.
selama sepuluh tahun ia mengembara tanpa tempat tinggal yang tetap, alias
nomaden.16

6. Dayi Daoxin (道信) lahir tahun 580 - meninggal tahun 651

Daoxin, yang disebut juga Ssu-Ma, lahir di atau dekat Huai-ning, Anhwei,
utara Sungai Kuning. Ia mulai belajar agama Buddha pada usia tujuh tahun dan
meskipun gurunya adalah bukan orang yang melakukan moral murni, Daoxin
mempertahankan moralitas Buddhis sendiri tanpa sepengetahuan gurunya selama
lima atau enam tahun. Menurut catatan Jianzhi Sengcan, Daoxin bertemu Sengcan
ketika ia berusia empat belas tahun. Ia belajar kepada Sengcan selama sembilan
tahun. Daoxin menerima pentahbisan sebagai bhikkhu pada tahun 607.

Pada tahun 617, Daoxin dan beberapa murid-muridnya melakukan


perjalanan ke Propinsi Ji (modern Kota Ji'an di Provinsi Jiangxi) dan memasuki
kota yang dikepung oleh bandit. Daoxin mengajari penduduk tentang Sutra
Mahaprajnaparamita (Kesempurnaan Kebijaksanaan), yang menyebabkan bandit
melepaskan pengepungan mereka.

Daoxin akhirnya menetap di Kuil Gunung Timur di Shuangfeng di mana ia


mengajar Buddhisme Chan selama tiga puluh tahun dan menarik sejumlah besar
praktisi, beberapa catatan mengatakan lima ratus orang awam dan bhikkhu.17 Pada
16
Andrew Ferguson, op.cit., hlm. 23.
17
John R McRae. Seeing through Zen: encounter, transformation, and genealogy in
Chinese Chan Buddhism. (University of California Press, 2003), hlm. 32.
tahun 643 kaisar Tai Zong mengundang Daoxin ke ibukota, tetapi Daoxin
menolak untuk datang. Tiga kali kaisar mengirim utusan-utusan dan tiga kali
Daoxin menolak undangan. Pada saat utusan yang ketiga, Kaisar
menginstruksikan untuk membawa kembali Daoxin atau kepalanya. Ketika utusan
terkait menjalankan instruksi ini untuk Daoxin, Daoxin menyerahkan diri seraya
menjulurkan lehernya untuk mengizinkan utusan untuk memenggal kepalanya.
Utusan tersebut sangat terkejut, lalu ia melaporkan peristiwa ini kepada kaisar,
yang kemudian memutuskan bahwa Daoxin dihormati sebagai seorang bhikkhu
Buddha yang teladan.18

Pada bulan Agustus, pada tahun 651, Daoxin memerintahkan murid-


muridnya untuk membangun stupa menyerupai dirinya karena ia segera
meninggal dunia. Menurut Hsü kao-seng chuan, ketika ditanya oleh murid-
muridnya untuk mengangkat seorang penerus, Daoxin menjawab, "Aku telah
membuat banyak penerus selama hidupku" Ia kemudian meninggal dan dihormati
dengan nama anumerta "Dayi" (Penyembuh Agung).19

18
Andrew Ferguson, op.cit., hlm. 28.
19
John R McRae, op. cit., hlm. 263.
7. Hui Neng (慧能) lahir tahun 638 - meninggal tahun 713

Huineng lahir dalam keluarga Lu pada tahun 638 M di kota Xing di


provinsi Guangdong. Ayahnya meninggal ketika ia masih muda dan dalam
keluarga miskin, sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk belajar membaca
ataupun menulis. Suatu hari, ketika ia mengantarkan kayu bakar ke penginapan, ia
mendengar seorang tamu membacakan Sutra Intan dan ia mengalami kesadaran.
Dia segera memutuskan untuk mencari jalan kebuddhaan. Tamu tersebut
memberinya sepuluh keping perak untuk kebutuhan bagi ibunya, dan Huineng
memulai perjalanannya. Setelah melakukan perjalanan selama tiga puluh hari
dengan berjalan kaki, Huineng tiba di Gunung Huang Mei, di mana Patriark
Kelima Hongren tinggal.20

20
Isabel Stirling. Zen Pioneer: The Life & Works of Ruth Fuller Sasaki. (Shoemaker &
Hoard, 2006), hlm. ix.
8. Myōan Eisai (明菴栄西)

Myōan Eisai ( 明 菴 栄 西 ) lahir pada 20 April 1141 di provinsi


Bitchū (sekarang Okayama) dan meninggal pada 5 Juli 1215, adalah
seorang bhikkhu Buddhisme di Jepang, yang dihargai karena
memperkenalkan ajaran Rinzai dan teh hijau dari Cina ke Jepang. Ia lebih
dikenal dengan nama Eisai Zenji (栄西禅師), yang berarti "Guru Zen –
Eisai", Eisai menjadi seorang biarawan di sekte Tendai. Tidak puas
dengan keadaan agama Buddha pada waktu itu, pada 1168 ia berangkat ke
Mt. Tiantai di Cina, asal dari sekte, di mana dia belajar di sekolah Chan
(kemudian dikenal di Jepang sebagai Zen) dalam Buddhisme Cina saat itu.
Setelah resmi sebagai guru Zen, akhirnya Eisai kembali ke Jepang pada
tahun 1191, dan bersamanya dibawa kitab suci Zen dan bibit teh. Dia juga
mendirikan kuil Hoonji di daerah terpencil Kyushu, yang dinobatkan
sebagai kuil Zen pertama Jepang. Eisai juga mendirikan kuil Kennin-ji di
Kyoto pada tahun 1202. Pada 5 Juli 1215 ia meninggal dan dibakar di
halaman kuil Kennin-ji.21

21
William M Bodiford. Soto Zen in Medieval Japan (Studies in East Asian Buddhism),
(Hawaii: University of Hawaii Press, 2008), hlm. 22-36.
Ajaran Zen Budhisme

Zen Buddhisme yang termasuk dalam ajaran Mahayana Buddha secara


umum ini memiliki ciri tersendiri menyangkut ajarannya sesuai dengan sekte yang
dianut. Sebelum dijelaskan lebih lanjut mengenai sekte-sekte dalam Zen di
Jepang, saya akan menyinggung sedikit tetang pengajaran Zen pada masa
Tokugawa, karena pada masa ini masih digunakan lukisan sebagai metode
pengajaran diluar dari sekte yang dianut atau secara umum.

Pada masa Tokugawa; sekitar abad ke 17, Zen Budhisme yang pada periode
ini disebut sebagai Tokugawa Zen banyak menekankan tentang perenungan atau
meditasi. Meditasi yang digambarkan pada periode Tokugawa dikembangkan
oleh Dokuan Genko (1630-1698). Ia melukiskan bagaimana cara seseorang
merenungkan tentang dirinya sendiri. Perenungan ini disebut sebagai
complatation of foulness, metode ini bertujuan untuk mengingatkan manusia
tentang ketidakabadian di dunia ini. Berikut adalah contoh dari lukisan yang
dibuat oleh Genko mengenai visualisasi manusia terhadap kematian;
Dari gambar-gambar tersebut terlihat bahwa proses visualisasi menurut
Genko terdiri dari Sembilan tahapan. Pertama adalah proses visualisasi tentang
orang mati, lalu tubuh mati itu mulai hancur, setelah itu darah mayat tersebut
mengering, keempat adalah visualisasi saat mayat tersebut membiru dan
membusuk, gambar kelima merupakan visualisasi saat mayat menjadi tengkorak,
gambar keenam merupakan visualisasi terhadap proses saat mayat tersebut mulai
dimakan oleh binatang-binatang; dibaris yang terakhir, gambar ketujuh adalah
visualisasi saat tubuh mati tersebut mulai menghilang karena pengaruh musim,
gambar kedelapan adalah visualisasi saat tubuh mati yang hanya tulang belulang
dan proses visualisasi yang terakhir adalah proses kremasi mayat tersebut22.
Pengajaran cara meditasi menggunakan lukisan seperti ini sangat marak pada
masa Tokugawa di Jepang namun perlahan-lahan hal ini menjadi berkurang
bahkan menghilang pada era selanjutnya. Penyebab utama dari hilangnya tradisi
ini kemungkinan besar karena pada era Meiji; era setelah Tokugawa, pendeta-
pendeta Buddha yang sebelumnya tidak pernah menikah mulai banyak yang
menikah pada era ini dan gambaran mengenai tubuh orang mati tersebut yang
memang sering digambarkan sebagai tubuh wanita mati, merupakan hasrat
seksual terpendam dari para pendeta tersebut23.

Selain mengenai Tokugawa ini, pengajaran tentang Zen sendiri telah


didominasi oleh tiga sekte tertentu di Jepang, yaitu Sȏtȏ, Renzai dan Obaku Zen.

Sȏtȏ Zen adalah sekte pertama mengenai Zen di Jepang yang diajarkan oleh
master pertamanya Dȏgen Kigen (1200-1253). Ia pertama kali menyebarkan sekte
ini pada abad ke 13 dan sampai saat ini Sȏtȏ Zen merupakan aliran terbesar yang
mendominasi di Jepang. Kigen sendiri mempelajari Zen ini langsung dari pendeta
Cina Zen yang diketahui bernama Ts’ao-tung. Dalam sekte ini diajarkan
mengenai meditasi murni atau benar-benar berfokus pada meditasi duduk dan
tidak menggunakan system koan atau pembelajaran menggunakan tekateki yang
diberikan oleh master kepada muridnya yang harus memecahkannya melalui
meditasi. Pengajaran dari sekte Sȏtȏ ini dalam bahasa Jepang dikenal sebagai
shikan taza.

1 seorang pendeta sedang melakukan seated meditation

22
Heine, Steven dan Dale S. Wright, ed. Zen Classics: Formative Texts in the History of
Zen Buddhism. New York: Oxford University Press. 2005. Hal. 226.
23
Ibid, hal. 228
Yang kedua terbesar merupakan sekte Renzai Zen ;berbeda dari sekte
sebelumnya, master dari Renzai Zen tidak diketahui secara pasti ada yang
menganggap bahwa sekte ini dibentuk oleh seorang Cina dari garis keturunan Lin-
chi yang melibatkan beberapa pendeta dari Cina dan Jepang. Namun ada pula
yang menganggap, terutama kelompok tradisional, bahwa pembentuk sekte ini
adalah Eisai yang tak lain merupakan guru dari Kigen. Berbeda dengan Sȏtȏ yang
berfokus pada meditasi saja, Renzai selain menggunakan meditasi juga
menambahkan koan dalam metode pengajarannya. Dalam metode ini juga mater
biasanya memukul atau membentak muridnya demi mempercepat datangnya
pencerahan.

2 Contoh ilustrasi humor yang menggambarkan metode pengajaran


sekte Renzai Zen

Sekte yang terakhir tapi juga sangat berpengaruh adalah sekte Obaku Zen.
Seorang pendeta Cina bernama Yin-yüan Lung-ch’i lah yang pertama kali
membentuk sekte ini pada abad ke 17. Yin-yüan menganggap dirinya masih
dalam garis keturunan Renzai sehingga pengajaran antara sekte Obaku dan Renzai
sangat mirip24.

Selain ketiga sekte dan ajarannya tersebut, Zen Budhisme di Jepang juga
dilaksanakan dalam berbagai praktek seperti berziarah. Ziarah adalah hal yang
lumrah dilaksanakan dalam ajaran Buddha. Biasanya ziarah ini dilakukan pada
musim-musim tertentu dan dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat suci.
Bagi para pendeta Zen sendiri, ziarah dilakukan dengan mengunjungi candi Zen
dan menyebutnya sebagai wisata hati dan pikiran25. Di Jepang sendiri, wilayah-
wilayah atau jalur ziarah biasa disebut sebagai jurei dan jurei yang paling
terkenal adalah candi delapan puluh delapan yang dibangun untuk Kôbô Daishi
yang berada di Pulau Shikoku dan tiga puluh tiga Kannon candi di Pulau Saikoku.

Perkembangan Zen

Zen mengalami perkembangan selama berabad-abad di Asia Timur,


terutama di Cina, Vietnam, Jepang, dan Korea. Perkembangan Zen di Asia Timur
diawali di Cina, khususnya pada masa dinasti Tang. Perkembangannya dibagi
dalam lima sekte utama berdasarkan nama guru pengembang ajarannya, yaitu
Guiyang, Linji, Caodong, Yunmen, dan Fayan.26 Nantinya, kelima sekte/cabang
utama ini akan memberikan pengaruh lebih lanjut terhadap perkembangan ajaran
Zen di Asia Timur.

Di Cina, Zen (yang dikenal dengan istilah Chan) merupakan aliran Buddha
yang paling banyak dianut. Meski Zen yang tergolong sebagai bagian Buddha
Mahayana ini nantinya terbagi lagi menjadi beberapa subsekte, metode utamanya
tetap sama, yakni praktik meditasi. D.T.Suzuki berpendapat bahwa kebangkitan
spiritual selalu menjadi tujuan dari pelatihan Zen. Ia juga mengemukakan bahwa
Buddhisme Cina berbeda dengan Buddhisme India. Perbedaannya terletak pada
produktivitas penganut Buddhisme Cina yang lebih baik. Di Cina, mereka lebih
menyatu dengan kehidupan sosial masyarakat dengan cara berkebun/bertani,
24
Baroni, Helen J.. The Illustrated Encyclopedia of Zen Buddhism. New York: The
Rosen Publishing Group. 2002
25
Borup, Jørn. Japanese Rinzai Zen Buddhism: Myoshinji, a living religion. Leiden:
Brill. 2008. Hal. 222
26
Thomas Cleary, Classics of Buddhism and Zen: Volume One, Boston MA(Shambhala
publications:2005), hlm.250
mengerjakan pertukangan, arsitektur, hingga membuat obat tradisional. Hal-hal
semacam inilah yang dianggap menunjang eksistensi Zen secara lebih baik di
Cina. Meski begitu, kelak perkembangan Zen di Cina akan mengalami tekanan
khususnya pada masa awal terbentuknya Republik Rakyat Cina, namun
mengalami ‘kebangkitan’ kembali di Taiwan dan Hongkong.

Di Vietnam, Zen dikenal dengan sebutan Thien. Perkembangan Zen di


Vietnam dibawa oleh seorang bhiksu bernama Vinitaruci yang sebelumnya
berguru kepada Sengcan, kepala keluarga/keturunan ketiga dari Zen Cina. Setelah
beberapa waktu, kelompok Vinitaruci akan menjadi kelompok Buddha paling
berpengaruh di Vietnam pada abad 10 masehi.

Zen secara bertahap tersebar di Korea selama periode Silla (abad 7-8
masehi). Pada masa itu, bhiksu Korea yang bernama Hwaeom memulai perjalanan
ke Cina untuk mempelajari tradisi yang baru berkembang di sana. Setelah itu,
berturut-turut datang orang-orang Korea untuk belajar kepada guru-guru Zen di
Cina. Sejak itu, Zen dikenal di Korea sebagai Seon.

Di Jepang, cabang Zen terbagi menjadi tiga, yaitu Soto, Rinzai, dan Obaku.
Soto Zen memiliki pengikut paling banyak, sementara itu Obaku pengikutnya
paling sedikit. Rinzai sendiri terbagi menjadi beberapa subcabang, yaitu Myoshin-
ji, Nanzen-ji, Tenryū-ji, Daitoku-ji, dan Tofuku-ji, berdasarkan pada afiliasi
dalam kuil-kuilnya. Meski begitu, pada awalnya Zen tidak terbagi bercabang-
cabang seperti ini, setidaknya sampai abad ke-12. Pembagian baru terlihat ketika
seorang penganut Zen yang bernama Myoan Eisai pergi ke Cina dan pulang
dengan menerapkan garis keturunan Linji, yang dikenal kemudian sebagai Rinzai.

Beberapa dekade setelahnya, Nanpo Shomyo (1235-1308) juga mempelajari


aliran Linji di Cina sebelum mendirikan aliran Otokan Jepang, cabang Rinzai
yang paling berpengaruh. Sementara itu, Dogen, sedikit lebih muda dari era Eisai,
melakukan perjalanan ke Cina untuk berguru pada Guru Caodong. Setelah
kembali ke Jepang, ia mendirikan aliran Soto. Dengan demikian, aliran Soto Zen
bisa dikatakan berasal dari Caodong. Aliran Obaku baru diperkenalkan pada abad
ke-17 oleh bhiksu Cina yang bernama Ingen (berasal dari cabang Linji) yang pergi
ke Jepang karena kejatuhan Dinasi Ming. Nama Obaku sendiri dipilih berkaitan
dengan Gunung Obaku, tempat tinggal Ingen sewaktu masih di Cina.

Ajaran Zen juga mengalami perkembangan pada bidang seni. Pada tahun
1410, seorang pendeta Buddha Zen dari Nanzen-ji di Kyoto menulis sebuah puisi
lanskap dan melukis berdasarkan penggambaran dalam puisi tersebut. Setelah itu,
ia meminta pendapat dari berbagai kalangan, di antaranya, sesame
bhiksu/biarawan dan pejabat pemerintah, mengenai hasil karyanya. Hasilnya
adalah sebuah puisi shigajiku dan lukisan gulir. Hal ini menjadi ciri kebudayaan
Zen.

Meski begitu, bukan berarti ajaran ini bebas kritik. Beberapa guru
kontemporer Zen Jepang, seperti Daiun Harada dan Shunryu Suzuki mengkritik
Zen Jepang sebagai sebuah sistem formal dengan ritual yang dianggap kosong.
Hal ini didasarkan pada adanya sebuah eksklusivitas keluarga dengan cara
menurunkan kepemilikan kuil Jepang dari ayah ke anak. Selainitu, fungsi
pemimpin spiritual Zen telah dikurangi secara signifikan hanya sebatas pada
upacara pemakaman.

Selain itu, Zen Jepang juga dikritik karena keterlibatannya dalam


militerisme Jepang dan nasionalisme selama Perang Dunia II. Hal ini ditandai
oleh karya Brian Victoria, seorang penganut Soto Zen kelahiran Amerika, yang
berjudul Zen at War (1998). Salah satu penemuannya adalah bahwa beberapa guru
Zen dikenal memiliki paham internasionalis pascaperang serta mempromosikan
perdamaian dunia sehingga hal ini dianggap membuka kemungkinan perang
saudara. Haku’un Yasutani, pendiri aliran Sanbo Kyodan, bahkan menyuarakan
kampanye anti-Semit dan pendapat-pendapat yang bersifat nasionalis
pascaperang. Mengenai hal ini, ia berkomentar bahwa hal ini tidak terbatas hanya
pada aliran Zen, tetapi juga pada aliran Buddhisme lain yang mendukung adanya
negara militer.

Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut terjadi pada
kesenian Zen, terutama setelah Dogen dan Eisai pulang dari Tiongkok. Seni Zen
sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi
(khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati
dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik".
Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting
lain sastra derivatif seperti Chanoyu (upacara minum teh) atau Ikebana; seni
merangkai bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap
kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual
dan estetika, terutama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik
pertempuran (seni beladiri).

Kesimpulan

Zen adalah salah satu aliran dari Buddha Mahayana. Kata ‘Zen’ berasal dari
kata ‘Chan’ dalam bahasa Cina, yang berarti ‘meditasi’. Tidak banyak yang
mengetahui asal usul aliran Zen, namun dipercaya bahwa perjalanan perdagangan
Jalur Sutra dari India ke Cina adalah cara utama perkembangan Zen. Tokoh-tokoh
Zen sendiri banyak yang berasal dari Cina dan hanya sedikit yang berasal dari
Jepang, karena memang seperti yang dijelaskan diatas, Zen berasal dari Cina
dengan nama asli Chan. Di Jepang, Zen terbagi menjadi tiga sekte utama yaitu
Sôtô, Renzai dan Obaku Zen.Sôtô Zen memiliki dominasi yang paling besar di
Jepang dengan system pengajarannya yang murni berfokus pada meditasi.
Sedangkan Renzai dan Obaku tidak hanya pada meditasi tetapi juga
menambahkan unsure koan dalam meditasi tersebut yang dianggap dapat
mempercepat proses pencerahan terhadap diri seseorang. Selain ketiga sekte
tersebut, pengajaran mengenai Zen memiliki cirri tersendiri pada era Tokugawa.
Pada era tersebut cara-cara tentang meditasi banyak dilukiskan oleh para master
sehingga muridnya dan orang lain bisa mendapatkan gambaran secara jelas
mengenai proses meditasi. Gaya melukis meditasi ini semakin lama semakin
langka pada era selanjutnya, yitu era Meiji. Banyak yang berpendapat bahwa ini
karena banyaknya pendeta yang menikah, berbeda dengan era sebelumnya.
Selama masa eksistensinya, Zen pernah mendapat kritikan karena keterlibatannya
dalam Perang Dunia II dan banyak masternya yang menjadi militant dan
menyuarakan paham internasionalis yang dianggap dapat memicu perang saudara
pada saat itu. Selain hal ini, Zen tetaplah menjadi suatu ajaran Buddha yang
menekankan tentang pencerahan terhadap diri manusia, ketenangan dan
ketidakabadian. Ajaran-ajaran pokok inilah yang dapat membantu siapapun yang
mempelajarinya untuk dapat mengendalikan emosi dan berbuat baik sehingga
akan tercapai suatu keselarasan hidup dan pencerahan. Mungkin ajaran-ajaran
seperti ini lah yang harus tetap dijaga eksistensinya untuk menyokong agama-
agama mayoritas yang telah ada di dunia. Ditambah dengan jaran ini niscaya
setiap orang dapat melangkah lurus dan seperti tujuan utama Zen, mendapat
pencerahan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Baroni, Helen J.. The Illustrated Encyclopedia of Zen Buddhism. New York: The
Rosen Publishing Group. 2002
Bodiford, William M. Soto Zen in Medieval Japan (Studies in East Asian
Buddhism), Hawaii: University of Hawaii Press, 2008
Borup, Jørn. Japanese Rinzai Zen Buddhism: Myoshinji, a living religion. Leiden:
Brill. 2008.

Carter, Robert Edgar. The Japanese Arts and Self-cultivation.


2008. New York: State University of New York.
Cleary, Thomas. Transmission of Light: Zen in the Art of Enlightenment by Zen
Master Keizan. North Point Press, 1999.

D.T. Suzuki. Zen and Japanese Culture. New York: Bollingen/Princeton


University Press. 1970.
Dumoulin, Heinrich. Zen Buddhism: A History: India and China With a New
Supplement on the Northern School of Chinese Zen. MacMillan Publishing
Company, 1994.
Ferguson, Andrew. Zen's Chinese Heritage - The Masters & Their Teachings.
Wisdom Publications, 2000.
Heine, Steven dan Dale S. Wright, ed. Zen Classics: Formative Texts in the
History of Zen Buddhism. New York: Oxford University Press. 2005

Huaijin, Nan. Basic Buddhism: Exploring Buddhism and Zen. York Beach:
Samuel Weiser. 1997.

Maspero, Henri. Taoism and Chinese Religion. 1981.


Massachusetts: University of Massachusetts.
McRae, John R. Seeing through Zen: encounter, transformation, and genealogy
in Chinese Chan Buddhism. California: University of California Press,
2003.
Stirling, Isabel. Zen Pioneer: The Life & Works of Ruth Fuller Sasaki. Shoemaker
& Hoard, 2006.
Zhou, Fuyuan. Purnama Di Bukit Langit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2007.

Agama Buddha di Jepang, kepercayaan, budaya atau tempat wisata?.


http://www.eonet.ne.jp/~limadaki/budaya/jepang/artikel/utama/agama_buddh
a.html (diakses pada 21 April 2011 pukul 12:05 WIB)
Heng-Ching Shih. "Women in Zen Buddhism: Chinese Bhiksunis in the Ch'an
Tradition". Digital Library & Museum of Buddhist Studies.
http://ccbs.ntu.edu.tw/FULLTEXT/JR-NX020/15_09.htm.
Jalon, Allan (2003-01-11). "Meditating On War And Guilt, Zen Says It's Sorry".
New York Times. http://query.nytimes.com/gst/fullpage.html?
res=9905EED91F3EF932A25752C0A9659C8B63

You might also like