Professional Documents
Culture Documents
PEMIKIRAN MODERN
Disusun Oleh:
Crystal Susiana, 0906523731
Firdha Widyantari, 0906635904
Yusuf Budianto, 0906636075
Zulfian Prasetyo, 0906559315
Zen adalah salah satu aliran dari Buddha Mahayana. Kata ‘Zen’ berasal dari
kata ‘Chan’ dalam bahasa Cina, yang berarti ‘meditasi’. Tidak banyak yang
mengetahui asal usul aliran Zen, namun dipercaya bahwa perjalanan perdagangan
Jalur Sutra dari India ke Cina adalah cara utama perkembangan Zen. Ada juga
berbagai teori lain yang berkembang tentang perkembangan Zen, salah satunya
adalah teori bahwa Zen merupakan campuran antara Buddha Mahayana dan
Taoisme1, namun ada juga yang mengatakan bahwa Zen berakar dari praktek
yoga.
Salah satu teori permulaan Zen Buddhisme adalah cerita rakyat The Flower
Sermon (‘Khotbah Bunga’) yang merupakan salah satu teori Zen tertua, tercatat
pada abad ke-14 Masehi2. Diceritakan pada suatu masa, Buddha Gautama sedang
mengumpulkan murid-muridnya untuk mendengarkan khotbah Dharma, namun
Buddha tidak berkata sepatah katapun. Alih-alih, dia malah mengambil sebuah
bunga. Salah seorang muridnya yang bernama Kashyapa dapat menyimpulkan
aktivitas Buddha, bahwa Buddha menginginkan pengikutnya untuk dapat
mengerti ajarannya walaupun dia tidak menyampaikannya secara langsung3.
Kebijaksanaan diberikan bukan lewat dialog, namun lewat pemikiran langsung
dari guru kepada murid.
1
Maspero, Henri. Taoism and Chinese Religion. 1981. Massachusetts:
University of Massachusetts, p. 46.
2
Ibid, p. 46.
3
Carter, Robert Edgar. The Japanese Arts and Self-cultivation. 2008. New
York: State University of New York, p. 98.
4
Buswell, Robert E., ed. Encyclopedia of Buddhism. 1. Macmillan. pp. 57, 130.
dalam menyebarkan aliran Zen, membuat Huike menjadi orang Cina pertama
yang menjadi leluhur Zen di Cina. Lambat laun, Zen mulai disebarkan di Cina
pada masa kekaisaran Tang. Di Cina, pada masa itu Zen mempunyai lima sekolah,
yaitu Guiyang, Linji, Caodong, Yunmen dan Fayan5. Kemudian
perkembangannya berkembang sampai ke Vietnam (dengan nama Thien), Korea
(dengan nama Seon), Jepang (dengan nama Zen), dan ke dunia barat.
Zenji merupakan seorang guru Zen yang terkenal di Jepang. Ia pernah lama
belajar dan memperdalam ilmunya di negeri China.6 Ia juga mendirikan kuil
Eihei-ji di prefektur Fukui di Jepang. Kuil itu didirikan pada tahun 1244 dan
terletak di atas tanah dengan luas sekitar 330.000 m². Kuil itu menawarkan
pelatihan dan pendidikan untuk biksu.
3. Boddhidharma
7
Fuyuan Zhou. Purnama Di Bukit Langit. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm.
339.
Gambar 1. Ilustrasi pelukis tentang Huike yang sedang berpikir
Dia bertemu gurunya Bodhidharma di Biara Shaolin pada tahun 528 dan
belajar dengan Bodhidharma selama enam tahun. Legenda mengatakan bahwa
pada awalnya Bodhidharma menolak mengajari Huike dan Huike “ngambek” di
luar gua Bodhidharma yang bersalju sepanjang malam sampai pagi. Di pagi hari
Bodhidharma melihatnya masih berada di depan gua dan bertanya mengapa dia
masih ada di sana. Huike menjawab bahwa ia menginginkan seorang guru untuk
membuka pintu gerbang obat mujarab atau belas kasih universal untuk
membebaskan semua makhluk. Bodhidharma menolak dan berkata, "Bagaimana
kamu bisa berharap untuk agama yang benar dengan sedikit kebajikan, sedikit
kebijaksanaan, hati yang dangkal, dan pikiran yang sombong? Itu hanya akan
membuang-buang usaha".9
Akhirnya, untuk membuktikan tekadnya, Huike memotong lengan kirinya
dan diberikan sebagai tanda ketulusan dan akhirnya Bodhidharma menerimanya
sebagai murid dan juga mengubah namanya dari Shenguang ke Huike yang berarti
Kebijaksanaan dan Kapasitas.10 11
8
Heinrich Dumoulin. Zen Buddhism: A History: India and China With a New
Supplement on the Northern School of Chinese Zen. (MacMillan Publishing Company, 1994),
hlm. 94.
9
Thomas Clearly. Transmission of Light: Zen in the Art of Enlightenment by Zen Master
Keizan. North Point Press, 1999. hlm. 126.
10
McRae, John. The Northern School and the Formation of Early Ch’an Buddhism.
(Hawaii: University of Hawaii Press, 1986), hlm. 24.
11
Ada versi lain, di: Dumoulin, op. cit, hlm. 88 disebutkan bahwa lengan Huike dipotong
oleh seorang bandit, bukan dipotong sendiri olehnya.
5. Jianzhi Sengcan (僧燦), meninggal tahun 606
Catatan sejarah dari Sengcan sangatlah terbatas. Dari semua patriark Chan,
Keberadaan Sengcan tidaklah jelas dan paling sedikit diketahui. Sebagian besar
dari apa yang diketahui tentang hidupnya berasal dari Huiyuan Wudeng
(Kompendium Lima Lampu), yang dibuat pada awal abad ketigabelas. Bagian
pertama dari lima catatan dalam Kompendium adalah sebuah naskah yang sering
disebut sebagai ‘Transmisi dari Lampu’12 dan dari naskah inilah sebagian besar
informasi tentang Sengcan dikumpulkan.
Sengcan berusia empat puluh tahun ketika ia pertama kali bertemu Huike
pada tahun 536 dan bahwa ia tinggal dengan gurunya selama enam tahun.13 Saat
itu Huike yang memberinya nama Sengcan. Naskah Transmisi dari Lampu
mencatat bahwa dia tinggal bersama Huike selama dua tahun,14 yakni setelah
Huike lulus dan menerima jubah dari Bodhidharma dan dharma Bodhidharma
(umumnya dianggap Sutra Lankavatara) yang membuatnya menjadi Patriark
Ketiga Chan. Pada tahun 574, beberapa catatan mengatakan bahwa ia melarikan
diri dengan Huike ke pegunungan karena penganiayaan umat Buddha sedang
terjadi pada saat itu. Namun, naskah Transmisi Lampu mencatat bahwa setelah
meneruskan Dharma kepada Sengcan, Huike memperingatkan Sengcan untuk
hidup di pegunungan dan "Tunggulah saatnya hingga kamu dapat meneruskan
Dharma kepada orang lain"15 sebagaimana perkiraan yang diberikan kepada
Bodhidharma (guru Huike) oleh Prajnadhara, nenek moyang ke-27 Chan di India,
yang meramalkan bahwa sebuah bencana akan datang, bencana itu ialah
penganiayaan Buddhis pada tahun 574-577.
12
Andrew Ferguson. Zen's Chinese Heritage - The Masters & Their Teachings.
(Wisdom Publications, 2000), hlm. 10-11.
13
Heinrich Dumoulin, op.cit., hlm. 97.
14
Thomas Clearly, op.cit., hlm. 129.
15
Andrew Ferguson, op.cit., hlm. 22.
selama sepuluh tahun ia mengembara tanpa tempat tinggal yang tetap, alias
nomaden.16
Daoxin, yang disebut juga Ssu-Ma, lahir di atau dekat Huai-ning, Anhwei,
utara Sungai Kuning. Ia mulai belajar agama Buddha pada usia tujuh tahun dan
meskipun gurunya adalah bukan orang yang melakukan moral murni, Daoxin
mempertahankan moralitas Buddhis sendiri tanpa sepengetahuan gurunya selama
lima atau enam tahun. Menurut catatan Jianzhi Sengcan, Daoxin bertemu Sengcan
ketika ia berusia empat belas tahun. Ia belajar kepada Sengcan selama sembilan
tahun. Daoxin menerima pentahbisan sebagai bhikkhu pada tahun 607.
18
Andrew Ferguson, op.cit., hlm. 28.
19
John R McRae, op. cit., hlm. 263.
7. Hui Neng (慧能) lahir tahun 638 - meninggal tahun 713
20
Isabel Stirling. Zen Pioneer: The Life & Works of Ruth Fuller Sasaki. (Shoemaker &
Hoard, 2006), hlm. ix.
8. Myōan Eisai (明菴栄西)
21
William M Bodiford. Soto Zen in Medieval Japan (Studies in East Asian Buddhism),
(Hawaii: University of Hawaii Press, 2008), hlm. 22-36.
Ajaran Zen Budhisme
Pada masa Tokugawa; sekitar abad ke 17, Zen Budhisme yang pada periode
ini disebut sebagai Tokugawa Zen banyak menekankan tentang perenungan atau
meditasi. Meditasi yang digambarkan pada periode Tokugawa dikembangkan
oleh Dokuan Genko (1630-1698). Ia melukiskan bagaimana cara seseorang
merenungkan tentang dirinya sendiri. Perenungan ini disebut sebagai
complatation of foulness, metode ini bertujuan untuk mengingatkan manusia
tentang ketidakabadian di dunia ini. Berikut adalah contoh dari lukisan yang
dibuat oleh Genko mengenai visualisasi manusia terhadap kematian;
Dari gambar-gambar tersebut terlihat bahwa proses visualisasi menurut
Genko terdiri dari Sembilan tahapan. Pertama adalah proses visualisasi tentang
orang mati, lalu tubuh mati itu mulai hancur, setelah itu darah mayat tersebut
mengering, keempat adalah visualisasi saat mayat tersebut membiru dan
membusuk, gambar kelima merupakan visualisasi saat mayat menjadi tengkorak,
gambar keenam merupakan visualisasi terhadap proses saat mayat tersebut mulai
dimakan oleh binatang-binatang; dibaris yang terakhir, gambar ketujuh adalah
visualisasi saat tubuh mati tersebut mulai menghilang karena pengaruh musim,
gambar kedelapan adalah visualisasi saat tubuh mati yang hanya tulang belulang
dan proses visualisasi yang terakhir adalah proses kremasi mayat tersebut22.
Pengajaran cara meditasi menggunakan lukisan seperti ini sangat marak pada
masa Tokugawa di Jepang namun perlahan-lahan hal ini menjadi berkurang
bahkan menghilang pada era selanjutnya. Penyebab utama dari hilangnya tradisi
ini kemungkinan besar karena pada era Meiji; era setelah Tokugawa, pendeta-
pendeta Buddha yang sebelumnya tidak pernah menikah mulai banyak yang
menikah pada era ini dan gambaran mengenai tubuh orang mati tersebut yang
memang sering digambarkan sebagai tubuh wanita mati, merupakan hasrat
seksual terpendam dari para pendeta tersebut23.
Sȏtȏ Zen adalah sekte pertama mengenai Zen di Jepang yang diajarkan oleh
master pertamanya Dȏgen Kigen (1200-1253). Ia pertama kali menyebarkan sekte
ini pada abad ke 13 dan sampai saat ini Sȏtȏ Zen merupakan aliran terbesar yang
mendominasi di Jepang. Kigen sendiri mempelajari Zen ini langsung dari pendeta
Cina Zen yang diketahui bernama Ts’ao-tung. Dalam sekte ini diajarkan
mengenai meditasi murni atau benar-benar berfokus pada meditasi duduk dan
tidak menggunakan system koan atau pembelajaran menggunakan tekateki yang
diberikan oleh master kepada muridnya yang harus memecahkannya melalui
meditasi. Pengajaran dari sekte Sȏtȏ ini dalam bahasa Jepang dikenal sebagai
shikan taza.
22
Heine, Steven dan Dale S. Wright, ed. Zen Classics: Formative Texts in the History of
Zen Buddhism. New York: Oxford University Press. 2005. Hal. 226.
23
Ibid, hal. 228
Yang kedua terbesar merupakan sekte Renzai Zen ;berbeda dari sekte
sebelumnya, master dari Renzai Zen tidak diketahui secara pasti ada yang
menganggap bahwa sekte ini dibentuk oleh seorang Cina dari garis keturunan Lin-
chi yang melibatkan beberapa pendeta dari Cina dan Jepang. Namun ada pula
yang menganggap, terutama kelompok tradisional, bahwa pembentuk sekte ini
adalah Eisai yang tak lain merupakan guru dari Kigen. Berbeda dengan Sȏtȏ yang
berfokus pada meditasi saja, Renzai selain menggunakan meditasi juga
menambahkan koan dalam metode pengajarannya. Dalam metode ini juga mater
biasanya memukul atau membentak muridnya demi mempercepat datangnya
pencerahan.
Sekte yang terakhir tapi juga sangat berpengaruh adalah sekte Obaku Zen.
Seorang pendeta Cina bernama Yin-yüan Lung-ch’i lah yang pertama kali
membentuk sekte ini pada abad ke 17. Yin-yüan menganggap dirinya masih
dalam garis keturunan Renzai sehingga pengajaran antara sekte Obaku dan Renzai
sangat mirip24.
Selain ketiga sekte dan ajarannya tersebut, Zen Budhisme di Jepang juga
dilaksanakan dalam berbagai praktek seperti berziarah. Ziarah adalah hal yang
lumrah dilaksanakan dalam ajaran Buddha. Biasanya ziarah ini dilakukan pada
musim-musim tertentu dan dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat suci.
Bagi para pendeta Zen sendiri, ziarah dilakukan dengan mengunjungi candi Zen
dan menyebutnya sebagai wisata hati dan pikiran25. Di Jepang sendiri, wilayah-
wilayah atau jalur ziarah biasa disebut sebagai jurei dan jurei yang paling
terkenal adalah candi delapan puluh delapan yang dibangun untuk Kôbô Daishi
yang berada di Pulau Shikoku dan tiga puluh tiga Kannon candi di Pulau Saikoku.
Perkembangan Zen
Di Cina, Zen (yang dikenal dengan istilah Chan) merupakan aliran Buddha
yang paling banyak dianut. Meski Zen yang tergolong sebagai bagian Buddha
Mahayana ini nantinya terbagi lagi menjadi beberapa subsekte, metode utamanya
tetap sama, yakni praktik meditasi. D.T.Suzuki berpendapat bahwa kebangkitan
spiritual selalu menjadi tujuan dari pelatihan Zen. Ia juga mengemukakan bahwa
Buddhisme Cina berbeda dengan Buddhisme India. Perbedaannya terletak pada
produktivitas penganut Buddhisme Cina yang lebih baik. Di Cina, mereka lebih
menyatu dengan kehidupan sosial masyarakat dengan cara berkebun/bertani,
24
Baroni, Helen J.. The Illustrated Encyclopedia of Zen Buddhism. New York: The
Rosen Publishing Group. 2002
25
Borup, Jørn. Japanese Rinzai Zen Buddhism: Myoshinji, a living religion. Leiden:
Brill. 2008. Hal. 222
26
Thomas Cleary, Classics of Buddhism and Zen: Volume One, Boston MA(Shambhala
publications:2005), hlm.250
mengerjakan pertukangan, arsitektur, hingga membuat obat tradisional. Hal-hal
semacam inilah yang dianggap menunjang eksistensi Zen secara lebih baik di
Cina. Meski begitu, kelak perkembangan Zen di Cina akan mengalami tekanan
khususnya pada masa awal terbentuknya Republik Rakyat Cina, namun
mengalami ‘kebangkitan’ kembali di Taiwan dan Hongkong.
Zen secara bertahap tersebar di Korea selama periode Silla (abad 7-8
masehi). Pada masa itu, bhiksu Korea yang bernama Hwaeom memulai perjalanan
ke Cina untuk mempelajari tradisi yang baru berkembang di sana. Setelah itu,
berturut-turut datang orang-orang Korea untuk belajar kepada guru-guru Zen di
Cina. Sejak itu, Zen dikenal di Korea sebagai Seon.
Di Jepang, cabang Zen terbagi menjadi tiga, yaitu Soto, Rinzai, dan Obaku.
Soto Zen memiliki pengikut paling banyak, sementara itu Obaku pengikutnya
paling sedikit. Rinzai sendiri terbagi menjadi beberapa subcabang, yaitu Myoshin-
ji, Nanzen-ji, Tenryū-ji, Daitoku-ji, dan Tofuku-ji, berdasarkan pada afiliasi
dalam kuil-kuilnya. Meski begitu, pada awalnya Zen tidak terbagi bercabang-
cabang seperti ini, setidaknya sampai abad ke-12. Pembagian baru terlihat ketika
seorang penganut Zen yang bernama Myoan Eisai pergi ke Cina dan pulang
dengan menerapkan garis keturunan Linji, yang dikenal kemudian sebagai Rinzai.
Ajaran Zen juga mengalami perkembangan pada bidang seni. Pada tahun
1410, seorang pendeta Buddha Zen dari Nanzen-ji di Kyoto menulis sebuah puisi
lanskap dan melukis berdasarkan penggambaran dalam puisi tersebut. Setelah itu,
ia meminta pendapat dari berbagai kalangan, di antaranya, sesame
bhiksu/biarawan dan pejabat pemerintah, mengenai hasil karyanya. Hasilnya
adalah sebuah puisi shigajiku dan lukisan gulir. Hal ini menjadi ciri kebudayaan
Zen.
Meski begitu, bukan berarti ajaran ini bebas kritik. Beberapa guru
kontemporer Zen Jepang, seperti Daiun Harada dan Shunryu Suzuki mengkritik
Zen Jepang sebagai sebuah sistem formal dengan ritual yang dianggap kosong.
Hal ini didasarkan pada adanya sebuah eksklusivitas keluarga dengan cara
menurunkan kepemilikan kuil Jepang dari ayah ke anak. Selainitu, fungsi
pemimpin spiritual Zen telah dikurangi secara signifikan hanya sebatas pada
upacara pemakaman.
Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut terjadi pada
kesenian Zen, terutama setelah Dogen dan Eisai pulang dari Tiongkok. Seni Zen
sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi
(khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati
dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik".
Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting
lain sastra derivatif seperti Chanoyu (upacara minum teh) atau Ikebana; seni
merangkai bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap
kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual
dan estetika, terutama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik
pertempuran (seni beladiri).
Kesimpulan
Zen adalah salah satu aliran dari Buddha Mahayana. Kata ‘Zen’ berasal dari
kata ‘Chan’ dalam bahasa Cina, yang berarti ‘meditasi’. Tidak banyak yang
mengetahui asal usul aliran Zen, namun dipercaya bahwa perjalanan perdagangan
Jalur Sutra dari India ke Cina adalah cara utama perkembangan Zen. Tokoh-tokoh
Zen sendiri banyak yang berasal dari Cina dan hanya sedikit yang berasal dari
Jepang, karena memang seperti yang dijelaskan diatas, Zen berasal dari Cina
dengan nama asli Chan. Di Jepang, Zen terbagi menjadi tiga sekte utama yaitu
Sôtô, Renzai dan Obaku Zen.Sôtô Zen memiliki dominasi yang paling besar di
Jepang dengan system pengajarannya yang murni berfokus pada meditasi.
Sedangkan Renzai dan Obaku tidak hanya pada meditasi tetapi juga
menambahkan unsure koan dalam meditasi tersebut yang dianggap dapat
mempercepat proses pencerahan terhadap diri seseorang. Selain ketiga sekte
tersebut, pengajaran mengenai Zen memiliki cirri tersendiri pada era Tokugawa.
Pada era tersebut cara-cara tentang meditasi banyak dilukiskan oleh para master
sehingga muridnya dan orang lain bisa mendapatkan gambaran secara jelas
mengenai proses meditasi. Gaya melukis meditasi ini semakin lama semakin
langka pada era selanjutnya, yitu era Meiji. Banyak yang berpendapat bahwa ini
karena banyaknya pendeta yang menikah, berbeda dengan era sebelumnya.
Selama masa eksistensinya, Zen pernah mendapat kritikan karena keterlibatannya
dalam Perang Dunia II dan banyak masternya yang menjadi militant dan
menyuarakan paham internasionalis yang dianggap dapat memicu perang saudara
pada saat itu. Selain hal ini, Zen tetaplah menjadi suatu ajaran Buddha yang
menekankan tentang pencerahan terhadap diri manusia, ketenangan dan
ketidakabadian. Ajaran-ajaran pokok inilah yang dapat membantu siapapun yang
mempelajarinya untuk dapat mengendalikan emosi dan berbuat baik sehingga
akan tercapai suatu keselarasan hidup dan pencerahan. Mungkin ajaran-ajaran
seperti ini lah yang harus tetap dijaga eksistensinya untuk menyokong agama-
agama mayoritas yang telah ada di dunia. Ditambah dengan jaran ini niscaya
setiap orang dapat melangkah lurus dan seperti tujuan utama Zen, mendapat
pencerahan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Baroni, Helen J.. The Illustrated Encyclopedia of Zen Buddhism. New York: The
Rosen Publishing Group. 2002
Bodiford, William M. Soto Zen in Medieval Japan (Studies in East Asian
Buddhism), Hawaii: University of Hawaii Press, 2008
Borup, Jørn. Japanese Rinzai Zen Buddhism: Myoshinji, a living religion. Leiden:
Brill. 2008.
Huaijin, Nan. Basic Buddhism: Exploring Buddhism and Zen. York Beach:
Samuel Weiser. 1997.