You are on page 1of 10

Akhirat kekal

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang menjanjikan kebahagiaan di surga bagi orang-
orang yang bertakwa dan kesengsaraan di neraka bagi orang-orang yang kufur lagi durhaka.
Shalawat dan salam kepada Nabi akhir zaman, sebagai penutup para Nabi dan panutan dalam
meniti jalan yang lurus, begitu pula kepada keluarga dan para sahabatnya.

Allah Ta’ala berfirman,

‫ات َواأْل َرْ ضُ إِاَّل َما َشا َء‬ُ ‫ت ال َّس َم َو‬ِ ‫) خَالِ ِدينَ فِيهَا َما دَا َم‬106( ‫ق‬ ٌ ‫ار لَهُ ْم فِيهَا َزفِي ٌر َو َش ِهي‬ِ َّ‫فَأ َ َّما الَّ ِذينَ َشقُوا فَفِي الن‬
‫ات َواأْل َرْ ضُ َما‬ ِ ‫) َوأَ َّما الَّ ِذينَ س ُِعدُوا فَفِي ْال َجنَّ ِة خَالِ ِدينَ فِيهَا َما دَا َم‬107( ‫ك فَعَّا ٌل لِ َما ي ُِري ُد‬
ُ ‫ت ال َّس َم َو‬ َ َّ‫َربُّكَ إِ َّن َرب‬
ُ َ ‫اَّل‬
)108( ‫ات َوا رْ ضُ إِ َما َشا َء َربُّكَ َعطا ًء َغي َْر َمجْ ذو ٍذ‬ َ ‫أْل‬ ُ ‫ت ال َّس َم َو‬ِ ‫دَا َم‬
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka
mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada
langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka
tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika
Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Huud:
106-108)

Jika kita melihat ayat di atas, seakan-akan ada yang ganjil. Allah mengisyaratkan surga dan
neraka itu ada selama bumi dan langit itu ada. Dari sini bisa diyakini bahwa surga dan neraka itu
tidak kekal. Ayat inilah yang menjadi dasar keyakinan Ir. Agus Mustofa (Penulis Buku Tasawuf
Modern) dalam bukunya “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”[1]. Berikut kami cuplik sedikit
perkataan beliau dalam buku tersebut setelah beliau membawakan surat Huud ayat 106-108:

“Ayat di atas bercerita tentang keadaan penduduk neraka dan penduduk surga. Dikatakan oleh
Allah, bahwa mereka itu akan kekal di dalam surga atau neraka selama ada langit dan bumi.

Informasi ini, sungguh sangat menggelitik logika kita. Kenapa demikian? Sebab ternyata
kekekalan surga dan neraka itu –menurut ayat ini- tergantung pada kondisi lainnya, yaitu
keberadaan langit dan bumi alias alam semesta.

Dengan kata lain, akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga kekal.
Sehingga, kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam akhirat juga
bakal mengalami hal yang sama, kehancuran.

Tentu, hal ini membuat kita agak shock. Sebab ini telah menggoyang apa yang sudah kita pahami
selama ini. Bahwa yang namanya akhirat itu adalah alam baka. Alam yang kekal abadi, dan tidak
akan pernah mengalami kiamat lagi. Dan itu telah dikatakan berulang-ulang dalam Al Qur’an.

Akan tetapi, apakah kita tidak percaya kepada firman Allah di atas, bahwa Surga dan Neraka itu
kekalnya adalah sekekal langit dan bumi? Tentu saja, kita juga nggak berani untuk tidak percaya,
sebab kalimat-kalimat di atas demikian gamblangnya: Khaalidiina fiiha maadaamatis
samaawaati wal ardhi ... (kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi ...) ” (hal. 234)

Demikian sedikit nukilan dari perkataan beliau, yang kesimpulannya sesuai judul bukunya yaitu
akhirat itu tidaklah kekal. Kami sangat tergelitik sekali ingin menyanggah pernyataan beliau di
atas dengan merujuk pada pakar tafsir terkemuka. Yang tentunya ilmu ulama tafsir sudah pasti
lebih terpercaya. Semoga Allah memudahkan untuk menyelesaikan tulisan ini karena ingin
mengharapkan wajah-Nya yang mulia.

3 Hal yang Mesti Diyakini Mengenai Surga dan Neraka

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Al Hakami rahimahullah, keyakinan terhadap


surga dan neraka yang mesti diyakini adalah 3 hal. Beliau sebut dalam bait syairnya,

‫َان الَ فَنَا َء لَهُ َما‬ ٌّ ‫والنَّا ُر َوال َجنَّةُ َح‬


ِ ‫ َموْ جُوْ َدت‬... ‫ق َوهُ َما‬
“Neraka dan surga adalah benar adanya. Keduanya telah ada saat ini. Dan keduanya tidaklah
fana.”

Berikut sedikit uraiannya.[2]

Pertama: Surga dan neraka itu benar adanya, tidak ada keraguan sedikit pun tentangnya.

Di antara dalilnya,

ِ ‫) َو َس‬132( َ‫) َوأَ ِطيعُوا هَّللا َ َوال َّرسُو َل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬131( َ‫ت لِ ْل َكافِ ِرين‬
‫ارعُوا إِلَى َم ْغفِ َر ٍة‬ ْ ‫ار الَّتِي أُ ِع َّد‬
َ َّ‫َواتَّقُوا الن‬
ْ ُ َ
ْ ‫ات َواأْل رْ ضُ أ ِع َّد‬
)133( َ‫ت لِل ُمتَّقِين‬ ُ ‫ضهَا ال َّس َم َو‬ ُ ْ‫ِم ْن َربِّ ُك ْم َو َجنَّ ٍة َعر‬

“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan
taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 131-133)

Kedua: Surga dan neraka sudah ada saat ini.

Tentang surga, Allah Ta’ala berfirman,

ْ ‫أُ ِع َّد‬
َ‫ت لِ ْل ُمتَّقِين‬
“Yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)

Tentang neraka, Allah Ta’ala berfirman,

ْ ‫أُ ِع َّد‬
َ‫ت لِ ْل َكافِ ِرين‬
“Yang telah disediakan untuk orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 131). Jika dikatakan “telah
disediakan”, berarti keduanya telah ada.

Dari Imron bin Hushain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫ت أَ ْك َث َر أ‬
‫ه ِل َها‬ ُ ‫ َف َرأَ ْي‬، ‫ار‬
ِ ‫ت فِى ال َّن‬ ْ َ‫ت أَ ْك َث َر أ‬
ُ ‫ َواطَّلَ ْع‬، ‫ه ِل َها ا ْل ُف َق َرا َء‬ ُ ‫ة َف َرأَ ْي‬
ِ ‫ج َّن‬ ُ ‫اطَّلَ ْع‬
َ ‫ت فِى ا ْل‬
‫سا َء‬َ ّ‫ال ِن‬
“Aku pernah melihat surga, lalu aku melihat bahwa kebanyakan penghuninya adalah orang-
orang miskin. Aku pun pernah melihat neraka, lalu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah
para wanita.”[3]

Dari Ibnu ‘Abbas, Rofi’ bin Khudaij, ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ فَأَب ِْردُوهَا بِ ْال َما ِء‬، ‫ْح َجهَنَّ َم‬


ِ ‫ْال ُح َّمى ِم ْن فَي‬
“Sakit demam berasal dari panasnya jahannam. Oleh karenanya, dinginkanlah demam tersebut
dengan air.”[4]

Ketiga: Surga dan neraka itu kekal karena Allah yang menghendaki keduanya untuk kekal.
Keduanya tidaklah fana. Banyak sekali dalil yang membicarakan hal ini, berikut kami sebutkan
sebagiannya.

Tentang surga, Allah Ta’ala berfirman,

‫يم‬
ُ ‫ظ‬ َ ِ‫ين فِي َها أَبَ ًدا َذل‬
ِ ‫ك ا ْل َف ْو ُز ا ْل َع‬ !َ ‫خالِ ِد‬
َ
“Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)

Tentang neraka, Allah Ta’ala berfirman,

‫ق َجهَنَّ َم خَالِ ِدينَ فِيهَا أَبَدًا‬


َ ‫إِاَّل طَ ِري‬, ‫إِ َّن الَّ ِذينَ َكفَرُوا َوظَلَ ُموا لَ ْم يَ ُك ِن هَّللا ُ لِيَ ْغفِ َر لَهُ ْم َواَل لِيَ ْه ِديَهُ ْم طَ ِريقًا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan
mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali
jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. An Nisa’: 168-
169)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ َويَا أَ ْه َل ْال َجنَّ ِة ال‬، َ‫ار الَ َموْ ت‬


ِ َّ‫ ثُ َّم يَقُو ُم ُم َؤ ِّذ ٌن بَ ْينَهُ ْم يَا أَ ْه َل الن‬، ‫ار النَّا َر‬
ِ َّ‫ َو أَ ْه ُل الن‬، َ‫إِ َذا َد َخ َل أَ ْه ُل ْال َجنَّ ِة ْال َجنَّة‬
‫ ُخلُو ٌد‬، َ‫َموْ ت‬
“Jika penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka telah memasuki neraka,
kemudian seseorang akan meneriaki di antara mereka, “Wahai penduduk neraka, tidak ada lagi
kematian untuk kalian. Wahai penduduk surga, tidak ada lagi kematian untuk kalian. Kalian
akan kekal di dalamnya.”[5]

Awal Sanggahan dari Mustofa Bisri

Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” sebenarnya sudah dikritisi lebih terlebih dulu oleh A.
Mustofa Bisri. Berikut pemaparan beliau ketika memberikan pengantar untuk buku tersebut.

“Yang paling menarik tentu kesimpulan Agus Mustofa tentang ketidak-kekalan Akhirat, yang
karenanya kemudian menjuduli bukunya dengan “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” ini.
Kesimpulannya itu antara lain didasarkan pada Q.S. 11 Hud: 107 dan 108, di mana -menurut
pemahaman Agus- kekekalan mereka yang berbahagia di sorga maupun celaka di neraka
digantungkan “kepada kondisi lainnya, yaitu keberadaan langit dan bumi alias alam semesta”.

Dengan kata lain, paparnya, “Akhirat itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini
juga kekal. Sehingga kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam
akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran” (hal. 234). Pendapat ini diperkuat
dengan kutipan Q.S. 28: Al Qashash: 88,

ُ‫ك إِاَّل َوجْ هَه‬


ٌ ِ‫ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬

“Tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa kecuali ‘Wajah-Nya’”

Kesimpulan dan pendapat itu terjadi karena Agus Mustofa tidak mempertimbangkan atau
mengabaikan tafsir-tafsir yang ada, khususnya mengenai kalimat:

ُ ‫ات َواأْل َ ْر‬


‫ض‬ ُ ‫م َو‬
َ ‫الس‬
َّ ‫ت‬
ِ ‫َما َدا َم‬
Misalnya, tafsiran Ahli Tafsir yang menyatakan bahwa yang dimaksud “langit dan bumi” adalah
langit dan bumi yang lain, berdasarkan QS. 14: 48

ِ ْ‫يَوْ َم تُبَ َّد ُل اأْل َرْ ضُ َغي َْر اأْل َر‬


ُ ‫ض َوال َّس َم َو‬
‫ات‬

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” ...
[6]

Demikian sebagian komentar dari Bapak Mustofa Bisri yang mengkritik pendapat kontroversial
dari Agus Mustofa. Intinya, pendapat yang diutarakan oleh Agus Mustofa berseberangan dengan
pendapat ahli tafsir dan para ulama yang tentu lebih memahami ayat tersebut. Mari kita simak
penjelasan selanjutnya.

Merujuk Tafsiran Ulama


Pertama: Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib Al Amili (Abu Ja’far Ath
Thobari)

Mengenai ayat,

ُ ‫ات َواأْل َ ْر‬


‫ض‬ ُ ‫م َو‬
َ ‫الس‬
َّ ‫ت‬
ِ ‫ين فِي َها َما َدا َم‬
!َ ‫خالِ ِد‬
َ
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi”, Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah
mengatakan, “Orang Arab biasanya jika ingin mensifatkan sesuatu itu kekal selamanya, maka
mereka akan mengungkapkan dengan,

‫هذا دائم دوام السموات واألرض‬

“Ini kekal selama langit dan  bumi ada.” Namun maksud ungkapan ini adalah kekal selamanya.
[7]

Kedua: Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi

Selain membawakan perkataan Ibnu Jarir Ath Thobari, Ibnu Katsir membawakan penafsiran lain.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi dipahami bahwa maksud ayat “selama langit dan
bumi itu ada” adalah jenis langit dan bumi (maksudnya: langit dan bumi yang beda dengan saat
ini, pen). Karena sudah pasti alam akhirat juga ada langit dan bumi (namun berbeda dengan saat
ini, pen). Buktinya adalah firman Allah Ta’ala,

ِ ْ‫يَوْ َم تُبَ َّد ُل اأْل َرْ ضُ َغي َْر اأْل َر‬


ُ ‫ض َوال َّس َم َو‬
‫ات‬

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.”
(QS. Ibrahim: 48)

Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menjelaskan mengenai firman Allah,

ُ ‫ات َواأْل َ ْر‬


‫ض‬ ُ ‫م َو‬
َ ‫الس‬
َّ ‫ت‬
ِ ‫ين فِي َها َما َدا َم‬
!َ ‫خالِ ِد‬
َ
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi”, maksudnya adalah Allah mengganti
langit berbeda dengan langit yang ada saat ini. Begitu pula Allah mengganti bumi berbeda
dengan bumi yang ada saat ini. Langit dan bumi (yang berbeda dengan saat ini tadi, pen) pun
akan terus ada.”

Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa Sufyan bin Husain menyebutkan dari Al Hakam, dari
Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan mengenai firman Allah (yang artinya), “Mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,” yaitu setiap surga itu memiliki langit dan bumi.

‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan, “Yaitu selama bumi itu menjadi bumi (yang
berbeda dengan saat ini, pen) dan langit menjadi langit (yang berbeda dengan saat ini, pen).” –
Demikian penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah mengenai surat Huud ayat 107.[8]
Ketiga: Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi

Al Baghowi menyatakan yang hampir sama dengan Ibnu Jarir Ath Thobari dan Ibnu Katsir. Al
Baghowi mengatakan, “Mengenai ayat (yang artinya), “Mereka kekal di dalamnya” yaitu terus
berada tinggal di dalamnya. Sedangkan ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada”,
sebagaimana dikatakan oleh Adh Dhohak, “Selama langit dan bumi dari surga dan neraka itu
ada. Karena segala sesuatu yang berada di atasmu dan menaungimu itulah langit. Sedangkan
segala sesuatu sebagai tempat engkau berpijak itulah bumi. Begitu pula para pakar tafsir
menjelaskan bahwa ungkapan dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan kekalnya
sesuatu. Inilah ungkapan yang biasa disebutkan oleh orang Arab. Mereka biasa mengatakan,
“Saya tidak akan mendatangimu selama langit dan bumi itu ada”. Atau mereka katakan, “...
selama bergantinya malam dan siang”. Mereka maksudkan ini semua untuk mengungkapkan
“selamanya”.”[9]

Keempat: Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani

Tentang ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada,” Asy Syaukani menukil perkataan
Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, beliau mengatakan maksud ayat tadi,
“Setiap surga memiliki langit dan bumi tersendiri.”[10]

Kelima: Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Az Zamakhsyari

Az Zamakhsyari menyatakan penafsiran yang sama dengan Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir. Jadi,
makna ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada”, maksudnya: [1] Yang dimaksud
adalah langit dan bumi di akhirat, keduanya itu abadi dan makhluk yang kekal, [2] ungkapan
orang Arab yang ingin menyatakan sesuai itu kekal dan tidak ada ujung akhirnya.

Untuk maksud pertama ini, beliau membawakan dua ayat bahwa di akhirat itu ada langit dan
bumi tersendiri. Ayat pertama, Allah Ta’ala berfirman,

ِ ْ‫يَوْ َم تُبَ َّد ُل اأْل َرْ ضُ َغي َْر اأْل َر‬


ُ ‫ض َوال َّس َم َو‬
‫ات‬

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.”
(QS. Ibrahim: 48)

Ayat kedua, Allah Ta’ala berfirman,

ُ ‫َوأَوْ َرثَنَا األرض نَتَبَ َّوأُ ِمنَ الجنة َحي‬


‫ْث نَ َشاء‬

“Dan telah (memberi) kepada kami bumi (tempat) ini sedang kami (diperkenankan) menempati
tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.” (QS. Az Zumar: 74)[11]

Keenam: Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan, “Sekelompok ulama menjelaskan mengenai


firman Allah (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada”, yaitu yang dimaksud adalah
langit dari surga dan bumi dari surga. Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin meminta pada Allah, mintalah surga
Firdaus. Firdaus adalah surga yang paling tinggi dan merupakan surga pilihan. Sedangkan
atap (langit) dari surga tersebut adalah ‘Arsy Allah”. Begitu pula sebagian ulama ketika
menjelaskan mengenai firman Allah,

َ‫ي الصَّالِحُون‬ َ ْ‫ُور ِم ْن بَ ْع ِد ال ِّذ ْك ِر أَ َّن اأْل َر‬


َ ‫ض يَ ِرثُهَا ِعبَا ِد‬ ِ ‫َولَقَ ْد َكتَ ْبنَا فِي ال َّزب‬
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh,
bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.” (QS. Al Anbiya’: 105). Yang
dimaksudkan di sini adalah bumi di surga. Oleh karena itu tidak bertentangan antara yang
menyatakan langit akan terlipat (yaitu langit dunia, pen). Sedangkan langit yang tetap terus ada
adalah langit (atap) dari surga. Oleh karena itu, yang mesti kita pahami adalah segala sesuatu
yang berada di atas, maka ia disebut secara bahasa dengan langit (as samaa’). Sebagaimana pula
hujan disebut dengan samaa’ (langit). Dan atap juga disebut dengan samaa’ (langit).”[12]

Ringkasnya, mengenai surat Huud ayat 107 dan 108, ada dua penafsiran:

Pertama: Yang dimaksud adalah langit dan bumi yang ada di akhirat nanti.

Kedua: Penyebutan “selama langit dan bumi itu ada” adalah ungkapan orang Arab yang ingin
menyebutkan sesuatu itu kekal abadi.

Bandingkan tafsiran di atas ini dengan pemahamann penulis buku tersebut.

Kekeliruan Penulis Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”

Dari penjelasan ulama di atas, terlihat jelas bahwa surat Huud ayat 16-108 bukan memaksudkan
akhirat itu tidak kekal sebagaimana yang disalahpahami oleh Agus Mustofa. Sudah jelaslah
kekeliruan yang beliau utarakan dalam buku tersebut. Intinya, kekeliruan yang beliau lakukan
disebabkan beberapa hal:

Pertama: Hanya bergantung pada logika yang dangkal

Setelah beranjak dari pemahaman keliru terhadap surat Huud ayat 107 dan 108, beliau pun
mengemukakan argumen sains. Namun ini sudah beranjak dari pemikiran keliru terhadap ayat
tadi dan dibangun di atas logika yang fasid (rusak). Yang namanya logika jika bertentangan
dengan dalil, maka dalil yang mesti didahulukan karena logika tentu saja terbatas. Coba pahami
baik-baik perkataan seorang alim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berikut ini.

“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan
sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa
berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana
penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al
Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian
tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.”[13]
Intinya, logika bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al
Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Sedangkan tentang surga dan neraka, betapa banyak ayat yang menunjukkan kekalnya.
Pantaskah di sini akal mengalahkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah? Logika barulah benar jika
memang tidak berseberangan dengan wahyu.

Kedua: Tidak mau merujuk pada ulama

Inilah salah satu kekeliruannya lagi. Jarang sekali kami lihat dalam buku beliau yang menukil
perkataan ulama atau mau merujuk pada mereka dalam menafsirkan ayat. Beliau kadang
menafsirkannya sendiri sehingga bisa salah fatal semacam ini.

Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin 'Abdul 'Aziz,

‫َم ْن َعبَ َد هللاَ بِ َغي ِْر ِع ْل ٍم َكانَ َما يُ ْف ِس ُد أَ ْكثَ َر ِم َّما يُصْ لِ ُح‬

”Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar
daripada perbaikan yang dilakukan.”[14]

Kita punya kewajiban jika tidak tahu tentang masalah agama termasuk pula dalam memahami
ayat untuk bertanya pada orang berilmu. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫فَاسْأَلُوا أَ ْه َل ال ِّذ ْك ِر إِ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُمون‬


“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”
(QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya’: 7).

Ingatlah, obat dari kebodohan adalah dengan bertanya pada ahli ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

‫ِشفَا ُء ْال ِع ِّى ال ُّس َؤا ُل‬

“Obat dari kebodohan adalah dengan bertanya.”[15] Ketika membawakan hadits ini, Ibnu
Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
kebodohan dengan penyakit dan obatnya adalah dengan bertanya pada para ulama (yang
berilmu).”[16]

Ketiga: Mengikut ayat mutasyabih (yang masih samar)

Sebelum menyebutkan pendapatnya pada halaman 234, sebenarnya Ir. Agus Mustofa sudah
memaparkan ayat-ayat yang menunjukkan kekalnya surga dan neraka. Bahkan beliau sendiri
katakan di hal. 232 dari bukunya, “Dan masih banyak lagi ayat tentang kekekalan Surga, Neraka,
atau Akhirat itu. Tak kurang dari 110 ayat yang menggambarkan, betapa akhirat, surga dan
neraka itu kekal.”
Namun ketika sampai pada hal. 234, setelah membawakan surat Huud ayat 106-108, beliau pun
mengatakan, “Justru di sinilah kunci pemahamannya. Pertama, bahwa akhirat tersebut
sesungguhnya memang tidak kekal. Akan tetapi, ketidakkekalan itu bukan berarti meringankan
arti dari informasi-informasi sebelumnya yang mengatakan: Khaalidiina fiiha ... (kekal di
dalamnya ...). Dan di ayat lainnya lagi seringkali ditambahkan kata ‘abada’ (abadi, selama-
lamanya). Miliaran tahun! Karena kekal yang dimaksudkan tersebut memang bukan kekal yang
tidak terbatas. Akhirat adalah makhluk. Karena itu ia pasti memiliki awal dan akhir.” Demikian
perkataan beliau.

Semula ia katakan bahwa 110 ayat membicarakan kekekalan akhirat, namun ketika bertemu
dengan surat Huud ayat 106-108, baru ia menjadi bingung. Lalu akhirnya ia simpulkan bahwa
akhirat itu tidak kekal. Bagaimana mungkin hanya berpegang pada surat Huud lalu mengalahkan
110 ayat yang menyatakan kekekalan surga dan neraka?!

Thoriqoh (metode) orang-orang yang menyimpang memang seperti ini. Kebiasaannya adalah
selalu mempertentangkan ayat yang satu dan lainnya. Atau kebiasaannya adalah berpegang pada
ayat yang masih samar (baca: mutasyabih) dan meninggalkan ayat-ayat yang sudah jelas yaitu
ayat muhkam. Seharusnya sikap yang tepat ketika seseorang menemukan ayat-ayat yang samar
dan sulit baginya untuk memahaminya adalah ia pahami dan membawa ayat tersebut kepada ayat
muhkam (yang sudah jelas maknanya). Bukan malah yang jadi pegangan adalah ayat mutasyabih
yang masih samar.

Itulah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ketika kita menemukan ayat masih samar, bawalah
ayat tersebut kepada ayat yang sudah jelas maknanya agar kita tidak tersesat. Allah Ta’ala
berfirman,

ٌ َ‫ب َوأُ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬


‫ات فَأ َ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ‬ ِ ‫ات ه َُّن أُ ُّم ْال ِكتَا‬ ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬ ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آَي‬ َ ‫هُ َو الَّ ِذي أَ ْنزَ َل َعلَ ْيكَ ْال ِكت‬
‫َّاس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم يَقُولُونَ آَ َمنَّا بِ ِه‬ ِ ‫فَيَتَّبِعُونَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَأْ ِويلِ ِه َو َما يَ ْعلَ ُم تَأْ ِويلَهُ إِاَّل هَّللا ُ َوالر‬
ِ ‫ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد َربِّنَا َو َما يَ َّذ َّك ُر إِاَّل أُولُو اأْل َ ْلبَا‬
‫ب‬

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imron: 7). Ayat-ayat yang
muhkam (yang sudah jelas maknanya) dalam ayat ini disebut dengan ummul kitaab (induk
kitab). Artinya, ayat-ayat muhkam inilah yang jadikan rujukan ketika bertemu dengan ayat-ayat
yang masih samar bagi sebagian orang (mutasyabihaat).[17] Namun kecenderungan orang-orang
yang sesat adalah biasa mengikuti ayat mutasyabih (yang masih samar).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, yaitu keluar dari kebenaran menuju pada kebatilan, maka mereka mengikuti
ayat yang masih mutasyabih (masih samar). Mereka mengambil ayat mutasyabih tersebut yang
mampu mereka selewengkan sesuai maksud mereka yang keliru dan dijadikan sebagai pembela
mereka karena makna yang masih bisa diselewengkan sesuka mereka. Adapun ayat-ayat yang
muhkam (yang sudah jelas maknanya), seperti itu tidak dijadikan rujukan mereka. Mereka tidak
mau berpegang pada ayat yang muhkam karena itu bisa menyangkal dan menjatuhkan pendapat
mereka sendiri. ”[18]

Penutup

Inilah beberapa kekeliruan dasar penulis Agus Mustofa. Ditambah lagi pemahaman beliau yang
berbau tasawuf dan filsafat, hal ini semakin menambah kelamnya buku “Ternyata Akhirat Tidak
Kekal”.

Kami hanya mengingatkan, waspadalah terhadap buku-buku dan pemahaman beliau


sebagaimana Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati kita agar waspada dengan orang-
orang yang hanya mau berpegang pada ayat mutasyabih (yang masih samar) dan meninggalkan
jauh-jauh ayat muhkam (yang sudah jelas maknanya).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah membaca surat Ali Imron ayat 7 di atas, lalu ‘Aisyah mengatakan bahwa beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ِ‫إِ َذا َرأَ ْيتُ ُم الَّ ِذينَ يَتَّبِعُونَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ فَأُولَئ‬
‫ك الَّ ِذينَ َس َّمى هَّللا ُ فَاحْ َذرُوهُ ْم‬

“Jika kalian melihat orang-orang yang sering mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih (yang masih
samar), maka merekalah yang Allah sebut (dalam surat Ali Imron ayat 7). Oleh karenanya,
Waspadalah terhadap mereka.”[19]

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah pada penulis buku tersebut. Semoga kaum muslimin
yang lain dapat terhindar dari kekeliruan-kekeliruannya. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

You might also like