You are on page 1of 8

PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA AWAL ISLAM

(Perkembangan Fiqh dan Ijtihad Umar Ibn Khattab)

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Amin Farih, M.Ag.

Disusun oleh:
Ahmad Khanif (073611014)
Aida Kamalia (093811007)
Amri Zarois Ismail (093811009)

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011

PERKEMBANGAN IJTIHAD PADA MASA AWAL ISLAM


(Perkembangan Fiqh dan Ijtihad Umar Ibn Khattab)

I. PENDAHULUAN
Sejarah fiqh Islam pada hakekatnya tumbuh dan berkembang dimasa Nabi sendiri
karena Nabilah yang mempunyai wewenang untuk mentasjri’kan hukum, dan berakhir
dengan wafatnya Nabi.
Hukum-hukum Islam berkembang seiring dengan tumbuhnya agama Islam,
karena agama Islam merupakan kesatuan dari akidah, akhlak, dan amaliyah. Pada masa
Rasulullah, hukum-hukum amaliyah ini telah terwujud dari beberapa hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini, termasuk hukum-hukum yang datang dari
Rasulullah saw., baik fatwa terhadap suatu masalah atau keputusan terhadap adanya
perselisihan dan jawaban terhadap berbagai persoalan. Dengan demikian, hukum-
hukum fiqih ini, pada masa permulaannya hanya diambil dari hukum Allah dan Rasul
yaitu Al-Qur’an dan as Sunnah.
Para ulama yang memperhatikan sejarah hukum Islam dan membaginya kedalam
beberapa periode. Pertama yakni pada masa Rasulullah SAW yang lamanya 22 tahun
dan beberapa bulan, sejak tahun 13 SM sampai dengan tahun 11 H. Kedua, pada masa
Shahabat dan Tabiin yakni periode Khulafaurrasyidin dan Amawiyin yang berlangsung
dari tahun 11 H sampai tahun 101 H. Ketiga, pada masa keemasan Daulah Abbasiyah
yang berlangsung kurang lebih 250 tahun antara tahun 101 H samapi 350 H. Keempat,
periode kemunduran yaitu sejak pertengahan abad keempat hijriah atau tahun 351 H
yang sampai sekarangpun masih banyak terdapat luas perkembangannya dalam
masyarakat. Kelima yaitu periode renaissance.1

II. RUMUSAN MASALAH


1. Metode ijtihad Umar Ibn Khattab
2. Contoh ijtihad yang dilakukan Umar Ibn Khattab

1
Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Pengantar Ilmu Fiqh. (Djakarta: CV. Mulja), hlm. 31-32

2
III. PEMBAHASAN
A. Metode ijtihad Umar Ibn Khattab
Umar Ibn Khattab adalah salah satu pembesar Sahabat. Ia adalah khalifah
kedua setelah Abu Bakar. Sebagai khalifah ia pun terlibat dalam penentuan undang-
undang.
Persoalan tidaklah pelik ketika Rasulullah masih hidup, karena keputusan
beliau menjadi kata terakhir. Tetapi setelah beliau tiada, persoalan semakin lama
menjadi semakin pelik. Sebab para Sahabat memiliki dua landasan untuk
memutuskan kasus-kasus yang baru, yaitu Qur’an dan preseden-preseden yang
ditinggalkan Rasulullah. Berkaitan dengan Qur’an dapat dinyatakan bahwa ra’y
merupakan metode terbaik menimbang ayat Qur’an yang mana yang dapat
diterapkan pada satu situasi tertentu dan mana yang tidak. Masalah hadits lebih
rumit lagi. Pertama, karena dibutuhkan penegasan apakah suatu Hadits tertentu
benar-benar berasal dari Rasulullah. Kedua, apakah Sahabat yang bersangkutan
benar-benar memahami makna Hadits tersebut.
Pada saat kita membalik-balik kasus ijtihad dari para Sahabat, khususnya Umar
Ibn Khattab, kita temukan bahwa ra’y digunakan meskipun terdapat petunjuk
Qur’an dan Sunnah. Kenyataanya adalah bahwa seorang Sahabat menunjuk satu
ayat Al-Qur’an atau Hadits, sedangkan Sahabat yang lain menunjuk ayat lain yang
berbeda.
Secara harfiyah ra’y berarti pendapat dan pertimbangan. Tetapi orang-orang
Arab telah mempergunakannya bagi pendapat dan keahlian yang dipertimbangkan
dengan baik dalam menangani urusan yang dihadapi. Seseorang yang memiliki
persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana dikenal sebagai dzu’l-ra’y. lawan
katanya adalah mufannad, seseorang yang lemah dalam pertimbangan dan tak
bijaksana dalam berpikir.2
Para Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-ra’y secara istilah. Ibn
al-Qayyim berpendapat bahwa yang dimaksud al-ra’y adalah ijtihad ketika terjadi
perbedaan (atau bahkan pertentangan, ta’arudh al-amarat).

2
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 104-105

3
‫حْكِم‬
ُ ‫ب اْل‬
ُ ‫جِذ‬
ْ ‫ل اّلِتى َت‬
ِ ‫ن َاِواْلِعَل‬
ِ ‫حَد ى اْلِعّلَتْي‬
ْ ‫ى الَواِقَعِة ِبِا‬
ْ ‫ل ِف‬
ُ ‫َاْلَعَم‬
Penerapan salah satu dari dua atau beberapa illat pada suatu kasus (kejadian)
yang mengikat hukum.

Menurut Abu Bakar Isma’il Muhammad Miqa, ijtihad bi al-ra’y baru ada jika
ada perbedaan atau pertentangan ‘illat. Abd al-Wahab Khalaf mendefinisak al-ra’y,

َ ‫ث‬
‫ل‬ ُ ‫حْي ي‬
َ ‫ط‬
ِ ‫س يِتْنَبا‬
ْ‫ل‬
ِ ‫لْهِتَداِء ِبَهييا ِفييى ا‬
ِ ‫ىا‬
َ ‫ع ِال‬
ِ ‫شْر‬
ّ ‫شَد ال‬
َ ‫ل اّلِتى ِاْر‬
ِ ‫ساِئ‬
َ ‫ن اْلَو‬
َ ‫سْيَلٍة ِم‬
ِ ‫ل َوالّتفِكْيُر ِبَو‬
ُ ‫َالّتَعّق‬
ّ ‫َن‬
‫ص‬

(pengarahan) akal dan pemikiran dengan satu atau beberapa media yang syari’at
mengantarkannya pada petunjuk (Allah) dalam menggali hukum (istinbath) terhadap
sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam nash.

Muhammad Abu Zahrah menjelaskannya sebagai berikut,

‫سيّنِة‬
ُ ‫ى َو‬
َ ‫لي َتَعييال‬
ِ ‫با‬
ِ ‫ب ِاَلييى ِكَتييا‬
ُ ‫لْقيَر‬
َ ‫ف ِما ُهيَو ا‬
ِ ‫ل َوَتْفِكْيٌر ِفى َتَعّر‬
ٌ ‫ي َتَأّم‬
ِ ‫جِتَهاَد ِبالّرْأ‬
ْ‫ل‬ِ ‫نا‬
ّ ‫ق َا‬
ّ‫ح‬
َ ‫َواْل‬
‫ك ُهيَو‬
َ ‫ وََذِلي‬,‫ن‬
ٍ ‫ص ُمَعّيي‬
ّ ‫ن َني‬
ْ ‫ب ِمي‬
ُ ‫لْقيَر‬
َ ‫كا‬
َ ‫ف َذِلي‬
ُ ‫ن ُيَتَعيّر‬
َ ‫سَواءٌ َكييا‬
َ : ‫سّلَم‬
َ ‫عَلْيِه َو‬
َ ‫ل‬
ُ ‫صّلى ا‬
َ ‫ل‬
ِ ‫لا‬
ُ ‫سْو‬
ُ ‫َر‬
.‫حُة‬
َ ‫صَل‬
ْ ‫ك ُهَو اْلَم‬
َ ‫ َوَذِل‬,‫شِرْيَعِة‬
ّ ‫صِد اْلَعاَمِة ِلل‬
ِ ‫ب اْلَمَقا‬
ُ ‫ َاْم َاْقَر‬,‫س‬
ُ ‫اْلِقَيا‬
Dan yang benar bahwa yang dimaksud dengan ijtihad bi al-ra’y adalah perenungan
dan pemikiran dalam upaya untuk mengetahui sesuatu yang dekat kepada Al-Quran
dan As-Sunnah Rasul Allah SAW; sama saja, apakah ia lebih dekat kepada Al-Quran
dan As-Sunnah secara ayat perayat (ayat dan As-Sunnah tertentu), itulah yang disebut
qiyas; atau ia lebih dekat kepada tujuan umum (global) Al Quran dan As Sunnah,
itulah yang disebut al-Mashlahat.3

B. Ijtihad yang dilakukan Umar Ibn Khattab


Penulisan Al Qur’an adalah gagasan yang disampaikan oleh Umar Ibn Khattab
sebagai atas sebagai akibat terjadinya peperangan Yamamah pada tahun 12 hijrah.
Pada masa pertempurtan tersebut, banyak menelan korban yang diperkirakan sekitar
500 sahabat meninggal 70 diantaranya adalah shahabat yang masyhur sebagai
huffadz Al-Quran.
Dengan adanya peristiwa yang tragis itu, membuat Umar bin Khattab menjadi
gundah gelisah, dikarenakan kekhawatirannya terhadap gugurnya para shahabat
yang hafal Al-Quran. Umar merasa khawatir jika terjadi peperangan ditempat lain

3
Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 96-98

4
yang lebih dahsyat dan akan mengorbankan lebih banyak lagi para pengahafal Al-
Quran, sehingga Al-Quran akan hilang dan musnah begitu saja. Adanya
kekhawatiran seperti itu, ia datang menemui khalifah Abu Bakar dan mengajukan
usulan supaya segera dilaksanakan pengumpulan Al-Quran dalam bentuk kodifikasi
(pembukuan) agar ia tetap terpelihara dan terjamin sepanjang masa.
Pada mulanya Abu Bakar merasa ragu untuk menerima gagasan dan saran dari
Umar bin Khattab itu. Sebab ini merupakan suatu pekerjaan yang tidak pernah
dilakukan oleh Nabi Saw. Akan tetapi, atas pandangan dan pertimbangan-
pertimbangan yang diberikan Umar sehingga terbukalah hati khalifah Abu Bakar
menerima usulan yang baik itu. Lalu ia memutuskan bahwa pekerjaan yang
monumental itu diserahkannya kepada Zaid bin Tsabit untuk melaksanakannya,
mengingat kedudukannya sebagai pendamping setia Rasulullah, juru tulis wahyu
yang kenamaan, berakal cerdas dan senantiasa mengikuti pembacaan Al-Quran dari
Rasululllah.
Banyak yang tahu bahwa Umar ibn Khattab menghapuskan bagian zakat yang
diberikan kepada orang-orang Muslim atau nonmuslin tertentu untuk mendekatkan
atau melunakkan hati mereka sebagaimana diperintahkan Al-Qur’an. Rasulullah
biasanya memberikan bagian ini kepada suku Arab tertentu dengan tujuan untuk
menarik mereka agar memeluk Islam atau mencegah mereka agar tidak
membahayakan kaum muslim yang baru sehingga mereka dapat tetap memeluk
Islam dengan teguh. Tetapi Umar mencabut perintah yang dituliskan Abu Bakar, di
kala ia masih menjadi khalifah bagi penyumbangan tanah-tanah tertentu pada
sejumlah orang atas dasar ini. Umar berpendapat bahwa Rasulullah telah
memberikan bagian ini untuk memperkuat Islam, tetapi keadaan telah berubah,
maka bagian ini tidak valid lagi. Tindakan Umar ini nampaknya bertolakbelakang
dengan Al-Qur’an. Tetapi sebenarnya ia mempertimbangkan situasi yang ada dan
mengikuti ruh perintah Al-Qur’an. Pertimbangan pribadinya membawanya pada
keputusan bahwa seandainya Rasulullah hidup dalam kondisi yang sama, tentu
beliau akan memutuskan hal yang serupa.
Kasus lainnya adalah ketika Umar memutuskan untuk tidak membagikan
tanah-tanah di Iraq dan Syiria kepada para Sahabat. Kaum Muslimin mendesak

5
untuk membagi-bagi tanah rampasan di antara mereka sesuai dengan praktek yang
dijalankan Rasulullah.

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang
kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari
bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS. Al Anfal 41)

Jawaban Umar terhadap usulan mereka adalah seandainya ia tetap membagi-


bagikan tanah rampasan, dari mana ia akan membiayai tentara untuk menjaga
perbatasan dan kota-kota yang baru direbut. Karena itu, para Sahabat akhirnya
menyetujuinya dan berkata: “Pendapat yang benar memang milik anda” (al-ra’yu
ra’yuka). Umar beberapa waktu kemudian menemukan pengukuhan atas
keputusannya dalam ayat Al-Qur’an (59:6-10) yang memberikan hak kepada kaum
muhajirin, anshar, dan generasi mendatang, untuk memperoleh bagian dari
ghanimah.
Menurut riwayat, sejumlah budak mencuri seekor unta betina,
menyembelihnya dan memakannya beramai-ramai. Ketika persoalan ini
disampaikan pada Umar, seketika ia memerintahkan agar dilakukan pemotongan
tangan terhadap mereka, tetapi setelah termenung sesaat ia berkata paa pemilik
budak-budak itu: “Kuduga, kamu pasti telah membuat budak-budak ini kelaparan”.
Karena itu, ia memrintahkan pemilik budak-budak itu agar mengagnti unta betina
itu dengan dua kali harganya dan mencabut perintah sebelumnya, yaitu pemotongan
tangan terhadap pencurinya. Dalam kasus ini tampaknya Umar melanggar ayat Al-
Qur’an yang memrintahkan supaya memotong tangan pencuri. Tetapi harus dicatat
bahwa Al-Qur’an bungkam atas perincian penjatuhan hukuman potong tangan.
Adalah terserah Sunnah atau ra’y untuk memutuskan kapan pemotongan tangan
dilaksanakan dan kapan tidak.

6
Diriwayatkan bahwa Umar melarang menjual, menghadiahkan atau
mewariskan budak perempuan yang telah menjadi seorang ibu. Setelah tuannya
meninggal, Umar menyatakan bahwa budak itu harus dimerdekakan. Pada masa itu,
orang biasa memelihara budak perempuan yang melimpah karena semakin
meluasnya daerah taklukan selama jangka waktu tertentu. Kemudian budak-budak
perempuan tersebut jatuh ketangan pemilik yang lain dengan akibat bahwa tak ada
seorang pun memikul tanggung jawab untuk memelihara anak-anak dari budak-
budak perempuan itu. Lebih jauh praktek ini mendorong tumbuhnya lembaga
perbudakan. Keadaan ini baginya sangatlah gawat. Betapa tidak, budak-budak
perempuan itu disetubuhi oleh tuannya dan setelah itu ditinggalkannya sekehendak
hatinya. Disini dapat dinyatakan bahwa Umar dihadapkan pada situasi sosial yang
berbeda secara radikal dengan situasi yang dihadapi para pendahulunya.4

‫ي‬
ْ ِ‫ن ب َعْد‬
ْ ‫م‬
ِ ‫ن‬
َ ْ ‫شدِي‬ َ َ ‫خل‬
ِ ‫فآِء الّرا‬ ُ ‫سن ّةِ ال‬ ْ ِ ‫سن ّّت‬
ُ َ‫ و‬,‫ي‬ ْ ُ ‫فَعَل َي ْك‬
ُ ِ‫م ب‬

“Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-
Rasyidun sesudah aku “. (Musnad Ahmad bin Hanbal).

IV. SIMPULAN

V. PENUTUP
Alhamdulillah, demikian makalah yang telah kami susun. Semoga apa yang kami
sampaikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca
pada umumnya. Kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh sempurna
dan masih banyak kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat
kami harapkan untuk pengembangan makalah-makalah kami selanjutnya.

4
Ibid, hlm. 107-109

7
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh. Djakarta: CV. Mulja


Hasan, Ahmad. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka
Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press

You might also like