You are on page 1of 51

BAB I PENDAHULAN

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang

menyalurkan impuls dari area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis. Sedangkan lower motor neuron (LMN), merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari batang otak atau yang keluar dari cornu anterior medulla spinallis yang kemudiannya pergi ke otot.1 1. Sel (ventral) cornu anterior 2. Saraf perifer 3. Neuromusuler junction 4.Otot

Kelumpuhan tipe LMN mempunyai ciri-ciri seperti flasid , atoni, atrofi, fasikulasi, reflex fisiologis menurun namun tidak ditemukan reflex patologis. Berikut merupakan perbandingan anatara ciri-ciri kelumpuhan tipe LMN dan tipe UMN.1

Lower motor neuron weakness (LMN) Flaccid Decreased tone Decreased muscle stretch reflexes Profound muscle atrophy Fasciculations present Pathologic reflexes (-)

Upper motor neuron weakness (UMN) Spasticity Increased tone Increased muscle stretch reflexes Minimal muscle atrophy Fasciculations absent Pathologic reflexes (+)

Table 1: perbedaan antara UMN dan LMN

Gambar 1: Pembagian kelumpuhan LMN adalah menurut letaknya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lesi pada neuron motorik di cornu anterior Medulla Spinalis 2.1.1 Poliomielitis I. Definisi Poliomielitis ialah penyakit menular akut yang disebabkan oleh infeksi virus dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dengan akibat kelumpuhan dan atrofi otot.2,3

II.

Etiologi Virus polimielitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel.Terdapat 3 strain virus yaitu tipe 1(brunhilde),tipe 2 (langsing),dan tipe 3 (leon).Epidemi yang ganas biasanya disebabkan virus tipe 1, ringan tipe 3,sedangkan tipe 2 kadang menyebabkan kasus sporadik. Virus dapat bertahan berbulan-bulan dalam air dan bertahun dalam deep freeze.Virus dapat dimusnahkan dengan pengeringan atau pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganat.Reservoir alamiah satu-satunya adalah manusia .Masa inkubasi antara 7-10 hari, kadang antara 3-35 hari.2,3

III.

Patofisiologi Virus masuk lewat rongga orofaring ,berkembang dalam traktus digestivus, kelenjar getah bening regional dan sistem retikuloendotel. Dalam keadaan ini timbul :

1.perkembangan virus 2.tubuh bereaksi dengan membentuk tipe antibodi spesifik. Bila pembentukan antibodi cepat dan mencukupi maka virus akan ternetralisasi, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak sama sekali. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat anti, maka akan timbul viremia dan gejala klinis, kemudian virus akan terdapat dalam feses untuk beberapa minggu.2,3

IV.

Manifestasi Klinik Tanda klinis penyakit polio pada manusia sangat jelas. Sebagian besar(90%) infeksi virus polio menyebabkan inaparent infection,sedangkan 5% menampilkan gejala abortive
3

infection,1% nonparalitik dan sisanya menunjukan tanda klinik paralitik. Bagi penderita dengan tanda klinik paralitik, 30% akan sembuh, 30% menunjukan kelumpuhan ringan, 30% menunjukan kelumpuhan berat dan 10% menujukan gejala berat serta bisa menimbulkan kematian. Penderita sebelum ditemukannya vaksin terutama berusia di bawah 5 tahun. Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin,usia penderita bergeser menjadi kelomok anak usia di atas 5 tahun.2,3

Gambar 2: Kelumpuhan otot pada poliomielitis

Stadium akut sejak ada gejala klinis hingga dua minggu, ditandai dengan suhu tubuh meningkat,jarang terjadi lebih dari 10 hari,kadang disertai sakit kepala dan muntah. Kelumpuhan itu terjadi akibat kerusakan sel-sel motor neuron di medulla spinalis dan invasi virus. Kelumpuhan tersebut bersifat asimetris sehingga menimbulkan deformitas (gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Sebagian besar kelumpuhan terjadi pada tungkai (78,6%). Kelumpuhan akan memakan waktu 2 hari hingga 2 bulan.2,3

Stadium sub akut (2 minggu 2 bulan) ditandai dengan hilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak terlalu tinggi. Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan. Kelumpuhan anggota gerak yang layuh dan biasanya pada salah satu sisi. Stadium konvaselent (dua bulan hingga dua tahun) ditandai dengan pulihnya kekuatan otot. Sekitar 50%-70% fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan setelah fase akut. Kemudian setelah usia dua tahun, diperkirakan tidak terjadi lagi perbaikan otot.Stadium kronik atau dua tahun lebih sejak gejala awal penyakit biasanya menunjukan kekuatan otot yang mencapai tingkat menetap dan kelumpuhan otot permanen.2,3

V.

Gejala Terdapat 4 pola dasar pada infeksi polio: 1. Silent infection Setalah masa inkubasi 7-10 hari ,tidak terdapat gejala klinis. Pada suatu epidemik diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut. 2. Poliomielitis abortif Diperkirakan terdapat 4-8% pada penduduk suatu epidemik.Timbul mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.Gejala yang timbul berupa infeksi virus, peri malaise, anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi, dan nyeri abdomen. Diagnosis pasti dengan menemukan virus di jaringan. Diagnosa banding : influenza atau infeksi bakteri daerah naso faring. 3. Poliomielitis non paralitik Gejala klinik sama dengan poliomielitis abortif hanya nyeri kepala, nausea dan muntah lebih berat yang timbul 1-2 hari. Khas untuk penyakit ini adalah nyeri dan kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.Bila anak berusaha untuk duduk dari sikap tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua lengan menunjang ke belakang pada tempat tidur (tanda tripod) dan terlihat kekakuan otot spinal oleh spasme. Kuduk kaku terlihat secara positif dengan Kernig dan Brudzinsky yang positif .Head drop yaitu bila tubuh
5

penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak akan menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat poliomielitis paralitik. Diagnosa banding : Meningitis serosa,meningismus,tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis servikalis. 4. Poliomielitis paralitik Gejala berupa paralisis otot leher, abdomen,tubuh,diafgrama,thoraks,dan

terbanyak ekstermitas bawah.Tersering otot besar pada tungkai bawah otot quadrisep femoris, pada lengan otot deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon berkurang atau menghilang serta tidak terdapat gangguan sensibilitas.

VI.

Diagnosa banding: 1. Pseudoparalisis yang non-neurogen : tidak ada kuduk kaku, pleiositosis. Disebabkan oleh trauma, demam reumetik akut,osteomielitis. 2. Polineuritis: gejala parapelgi dengan gangguan sensibilitas,dapat dengan paralisis palatum mole dan gangguan otot bola mata. 3. Sindrom guillain barre ,bedanya : a. Sebelum paralisis pada 50% sindorm guillain barre terdapat demam tinggi. b. Paralisis tidak akut seperti poliomielitis ,tetapi perlahan-lahan. c. Topografi paralisis berbeda dimana terjadi kelumpuhan bilateral simetris. d. Likuor serebrospinal pada stadium permulaan polimielitis adalah pleiositosis sedangkan pada sindrom guillain barre protein menigkat. e. Prognosis sindrom guilain barre sembuh tanpa gejala sisa f. Pada sindrom guillain barre terdapat gangguan sensorik.

VII.

Penatalaksanaan 1. Silent infection : istirahat 2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari,bila tidak terdapat gejala lagi dapat beraktivitas. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih teliti terhadap kemungkinan kelainan muskulo-kletal.

3. Poliomielitis paraltik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2 minggu, perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralisis pernafasan. Terapi kausal tidak ada. 4. Pengobatan simptomatik bergantung pada : a. Fase akut Analgetika untuk rasa nyeri otot. Lokal diberi pembalut hangat.Sebaiknya diberi papan penahan pada telapak kaki.Antipiretika untuk menurunkan suhu. Bila terdapat retensio urine lakukan katerisasi. Pada poliomielitis tipe bulber kadangkadang reflek menelan terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi.Untuk itu kepala anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi. b. Sesudah fase akut Kontraktur, atrofi dan antoni otot dikurangi dengan fisioterapi.Tindakan ini dilakukan setelah 2 hari demam hilang. Akupuntur dilakukan sedininya yaitu segera setelah diagnosis dibuat akan memberi hasil yang memuaskan.

VIII.

Prognosis Bergantung pada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung pada bagain yang terkena. Otot-otot yang lumpuh tidak pulih kembali dan menunjukan paralisis tipe flasid dengan atonia, arefleksi dan degenarasi. Komplikasi residual paralisis tersebut ialah kontraktur terutama sendi, subluksasi bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.3

IX.

Pencegahan 1. Jangan masuk daerah endemic 2. Dalam daerah endemik jangan melakukan stress yang berat seprti tonsilektomi, suntikan dan sebagainya. 3. Mengurangi aktivitas jasmani yang berlebihan 4. Imunisasi aktif a. Live Attenuated Vierus Vaccine (Sabin)

Vaksin yang mengandung virus polio yang dilemahkan. Diberikan secara oral. Jenis vaksin ini digunakan di Indonesia. Imunisasi dasar diberikan ketika anak berusia 2 bulan, sebanyak 2-3 kali dengan interval pemberian 4-6 minggu, booster diberikan pada usia 1,5-2 tahun dan menjelang usia 5 dan 10 tahun. Keuntungan vaksin sabin yaitu: i. ii. iii. iv. v. vi. vii. Lebif efektif dari vaksin Salk Memberikan imunitas local dan humoral pada dinding usus Pemberiannya mudah dan harganya murah Imunitas bertahan cukup lama (8 bulan) Timbul zat anti sangat cepat Dapat dipakai di lapangan dan tidak memerlukan persyaratan suhu beku Waktu epidemic pembentukan zat anti tidak saja cepat tetapi juga merangsang usus dan mencegah penyebaran virus viii. Dapat dibuat dalam sel manusia dan tidak bergantung dari binatang

Kerugian vaksin sabin: i. ii. Karena virus hidup,suatu saat mungkin menjadi ganas Virus vaksin dapat menular sehingga penanganan feses pada anak yang telah diberi vaksin harus diperhatikan,karena virus dapat terkandung di dalam feses anak iii. iv. Daerah panas vaksin memerlukan rantai dingin yang baik Adanya kontraindikasi bagi penderita dengan defisiensi imun dan penderita yang sedang diberi kortikosteroid

b. Formalin Inactivated virus vaccine (Salk) Yaitu: vaksin dari jenis virus yang telah dimatikan. Diberikan secara suntikan. Vaksinasi dasar dimulai pada usia 3 bulan,diberikan 3 kali dengan interval 4-6 minggu. Suntikan ulangan diberikan setiap 1-2 tahun. Keuntungan: i. ii. Dengan dosis yang cukup,dapat memberikan imunitas humoral yang baik Karena tidak ada virus yang hidup, kemungkinan virus ganas tidak ada

iii.

Dapat diberikan kepada anak-anak yang sedang mendapatkan kortikosteroid atau kelaianan imunitas

iv.

Sangat berfaedah di daerah tropis ,dimana vaksin yang mengandung virus hidup/lemah mudah rusak Kerugian:

i. ii. iii. iv.

Pembentukan zat anti kurang baik Memerlukan beberapa ulangan suntikan dan mahal Tidak menimbulkan imunitas local di usus Dapat terjadi kecelakaan terkontaminasi dengan virus hidup yang masih ganas.

2.2 Lesi pada radiks Medulla Spinalis 2.2.1 Sindroma Guillain Barre Nama lain dari Guillain Barre Syndrome adalah: Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis (polineuritis febril), Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis (polineuritis akut pasca infeksi), Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.4

Gambar 3: Kerusakan myelin saraf pada GBS


9

I.

Definisi Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin saraf perifer dan cranial. GBS merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Merupakan suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut.4,5

II.

Etiologi Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Beberapa keadaan atau penyakit yang mendahului dan mungkin adah ubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain4: a. Infeksi virus atau bakteri GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungandengan GBS : i. Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox, Influenza, Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo ii. Bakteri: Campylobacter, Jejuni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid, Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella, Listeria b. Vaksinasi c. Pembedahan, anestesi d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis

Dari faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur
10

biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnya guillain barre adalah self Limited atau bisa sembuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.4,5

III.

Patofisiologi Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme limfosit mediated delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi (proses respon antibodi terhadap virus atau bakteri) yang menimbulkan kerusakan pada syaraf tepi hingga terjadi kelumpuhan.4 Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. 2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi 3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen. Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.4,5
11

IV.

Manifestasi klinik Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antarasatu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase4,5: 1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.

12

2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan. 3. Fase penyembuhan Ditandai dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.

Gejala klinis yang ditemukan: 1. Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,

13

kemudian menyebar ke badan dansaraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. 2. Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari padasensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 3. Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering terkena adalah N.VII dengan kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa terkena kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n.laringeus. 4. Gangguan fungsi otonom Dijumpai pada 25 % penderita GBS berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodik profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom jarang menetap lebih dari satu atau dua minggu. 5. Kegagalan pernafasan Merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.

V.

Pemeriksaaan penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (>0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini

14

dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10sel/mm3.4,5 2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.4,5

VI.

Penatalaksanaan Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).4,5 Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif untuk4: 1. Pengaturan jalan napas Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit. 2. Pemantauan EKG dan tekanan darah Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short15

acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3. 3. Plasmaparesis Menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.

Pengobatan Imunoglobulin IV Pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis.

Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis dewasa adalah 0,4g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Harus diketahui pula, bahwa pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis (10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal sebelumnya.4,5

16

VII.

Prognosis Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10 %, dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60-80%) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki. Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps.4,5

2.2.2 Hernia Nukleus Pulposus (H. N. P ) I. Definisi HNP (Hernia Nukleus Pulposus) yaitu : keluarnya nucleus pulposus dari discus melalui robekan annulus fibrosus keluar ke belakang/dorsal menekan medulla spinalis atau mengarah ke dorsolateral menakan saraf spinalis sehingga menimbulkan gangguan.6

II.

Epidemiologi HNP paling sering terjadi pada pria dewasa, dengan insiden puncak pada decade ke-4 dan ke-5. Kelainan ini lebih banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan yang banyak membungkuk dan mengangkat. Karena ligamentum longitudinalis posterior pada daerah lumbal lebih kuat pada bagian tengahnya, maka protrusi discus cenderung terjadi kearah postero lateral, dengan kompresi radiks saraf.6

III.

Penyebab Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya HNP adalah sebagai berikut: i. ii. Riwayat trauma Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat beban beban berat, duduk, mengemudi dalam waktu lama iii. iv. v. vi. Sering membungkuk. Posisi tubuh saat berjalan. Proses degeneratif (usia 30-50 tahun). Struktur tulang punggung.
17

IV.

Anatomi Columna vertebralis adalah pilar utama tubuh. Merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh tulang-tulang tak beraturan, disebut vertebrae. Vertebrae dikelompokkan sebagai berikut: Cervicales (7), Thoracicae (12), Lumbales (5), Sacrales (5), menyatu membentuk sacrum, Coccygeae (4, 3 yang bawah biasanya menyatu). Tulang vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh ligamentum dan tulang rawan. Bagian anterior columna vertebralis terdiri dari corpus vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago yang disebut discus invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan ligamentum longitudinalis posterior Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana banyak terjadi gerakan columna vertebralis, dan berfungsi sebagai sendi dan shock absorber agar kolumna vertebralis tidak cedera bila terjadi trauma. Discus intervertebralis terdiri dari lempeng rawan hyalin (Hyalin Cartilage Plate), nucleus pulposus (gel), dan annulus fibrosus. Sifat setengah cair dari nucleus pulposus, memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae dapat mengjungkit kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi dan ekstensi columna vertebralis. Dengan bertambahnya usia, kadar air nucleus pulposus menurun dan diganti oleh fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut, diskus ini tipis dan kurang lentur,dan sukar dibedakan dari anulus.6

V.

Patofisiologi Sebagian besar heniasi diskus, terjadi di daerah lumbal di antara ruang L4 ke L5 atau L5 ke S1. Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan

perubahan degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein

polisakarida dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus.


18

Perkembangan pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma (jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.6,7 Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.6,7 Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena.6,7 Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior. Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.6,7

VI.

Diagnosa a. Anamnesa Adanya nyeri di pinggang bagian bawah yang menjalar ke bawah (mulai dari bokong, paha bagian belakang, tungkai bawah bagian atas). Dikarenakan mengikuti jalannya N. Ischiadicus yang mempersarafi kaki bagian belakang. 1. Nyeri mulai dari pantat, menjalar kebagian belakang lutut, kemudian ke tungkai bawah. (sifat nyeri radikuler). 2. Nyeri semakin hebat bila penderita mengejan, batuk, mengangkat barang berat. 3. Nyeri bertambah bila ditekan antara daerah disebelah L5 S1 (garis antara dua krista iliaka).

19

4. Nyeri Spontan, sifat nyeri adalah khas, yaitu dari posisi berbaring ke duduk nyeri bertambah hebat. Sedangkan bila berbaring nyeri berkurang atau hilang.

b. Pemeriksaan Motoris 1. Gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai yang nyeri dengan fleksi di sendi panggul dan lutut, serta kaki yang berjingkat. 2. Motilitas tulang belakang lumbal yang terbatas.

c. Tes-tes Khusus 1. Tes Laseque (Straight Leg Raising Test = SLRT): Tungkai penderita diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut sampai sudut 90. 2. Gangguan sensibilitas, pada bagian lateral jari ke 5 (S1), atau bagian medial dari ibu jari kaki (L5). 3. Gangguan motoris, penderita tidak dapat dorsofleksi, terutama ibu jari kaki (L5), atau plantar fleksi (S1): Tes dorsofleksi : penderita jalan diatas tumit, Tes plantarfleksi : penderita jalan diatas jari kaki. 4. Kadang-kadang terdapat gangguan autonom, yaitu retensi urine, merupakan indikasi untuk segera operasi. 5. Kadang-kadang terdapat anestesia di perincum, juga merupakan indikasi untuk operasi. 6. Tes kernique

d. Tes Refleks Refleks tendon achilles menurun atau menghilang jika radiks antara L5 S1 terkena.

20

Gambar 4: Diagram yang menunjukkan herniasi discus intervertebraliske arah postero-lateral dan menekan akar saraf spinal.

VII.

Pemeriksaan Penunjang a. Laboratotium 1. Darah : Tidak spesifik 2. Urine :Tidak spesifik 3. Liquor Serebrospinalis : Biasanya normal. Jika terjadi blok akan didapatkan peningkatan kadar protein ringan dengan adanya penyakit diskus. Kecil manfaatnya untuk diagnosis. b. Foto-Foto X-ray: Pada penyakit diskus, foto ini normal atau memperlihatkan perubahan degeneratif dengan penyempitan sela invertebrate dan pembentukan osteofit.
21

c. Myelogram mungkin disarankan untuk menjelaskan ukuran dan lokasi dari hernia. Bila operasi dipertimbangkan maka myelogram dilakukan untuk menentukan tingkat protrusi diskus. d. CT scan untuk melihat lokasi HNP e. MRI tulang belakang bermanfaat untuk diagnosis kompresi medula spinalis atau kauda ekuina. Alat ini sedikit kurang teliti daripada CT scan dalam hal mengevaluasi gangguan radiks saraf. f. EMG untuk membedakan kompresi radiks dari neuropati perifer

VIII.

Pengobatan Perawatan utama untuk diskus hernia adalah diawali dengan istirahat dengan obat-obatan untuk nyeri dan anti inflamasi, diikuti dengan terapi fisik. Dengan cara ini, lebih dari 95 % penderita akan sembuh dan kembali pada aktivitas normalnya. Beberapa persen dari penderita butuh untuk terus mendapat perawatan lebih lanjut yang meliputi injeksi steroid atau pembedahan.6 a. Terapi medikamentosa Untuk penderita dengan diskus hernia yang akut yang disebabkan oleh trauma (seperti kecelakaan mobil atau tertimpa benda yang sangat berat) dan segera diikuti dengan nyeri hebat di punggung dan kaki, analgesik dan NSAIDS akan dianjurkan. Jika terdapat kaku pada punggung, obat anti kejang, disebut juga pelemas otot. Kadang-kadang, steroid mungkin diberikan dalam bentuk pil atau intravena. Pada pasien dengan nyeri hebat berikan analgesik disertai zat antispasmodik seperti diazepam. Adakalanya narkotika juga digunakan (jika nyeri tidak teratasi oleh NSAID). b. Nonmedikamentosa Tirah baring (bed rest) 3-6 minggu dengan tujuan bila anulus fibrosus masih utuh (intact), sel bisa kembali ke tempat semula. Simptomatis dengan menggunakan analgetika, muscle relaxan, trankuilizer. Kompres panas pada daerah nyeri atau sakit untuk meringankan nyeri. Bila setelah tirah baring masih nyeri, atau bila didapatkan kelainan neurologis, indikasi operasi. Bila tidak ada kelainan neurologis, kerjakan fisioterapi, jangan mengangkat benda berat, tidur dengan alas keras atau landasan
22

papan, fleksi lumbal dan pemakaian korset lumbal untuk mencegah gerakan lumbal yang berlebihan.

Gambar 5: Posisi bedrest dengan fleksi lumbal

c. Operasi Operasi lebih mungkin berhasil bila terdapat tanda-tanda obyektif adanya gangguan neurologis. Pada kasus HNP masih baru namun nyerinya tidak tertahan atau defisit motoriknya sudah jelas dan mengganggu, maka pertimbangan untuk operasi atau tidak sebaiknya diserahkan kepada dokter ahli bedah saraf. Penderita HNP yang akan dioperasi harus dilakukan mielografi. Berdasarkan mielogram itu dokter ahli bedah saraf dapat memastikan adanya HNP serta lokasi dan ekstensinya. Diskografi merupakan prosedur yang lebih invasif yang dilakukan bilamana mielografi tidak dapat meyakinkan adanya HNP, karena diskrografi adalah pemeriksaan diskus dengan menggunakan kontras, untuk melihat seberapa besar diskus yang keluar dari kanalis vertebralis. Diskectomy dilakukan untuk memindahkan bagian yang menonjol dengan general anesthesia. Hanya memerlukan sekitar 2-3 hari perawatan di rumah sakit. Pasien diajurkan untuk berjalan pada hari pertama setelah operasi untuk mengurangi resiko DVT. Untuk sembuh total diperlukan waktu beberapa minggu. Jika lebih dari satu diskus yang harus ditangani jika atau ada masalah lain selain herniasi diskus operasi yang lebih ekstensif mungkin diperlukan dan mungkin memerlukan waktu yang lebih lama untuk sembuh (recovery). Pilihan operasi lainnya meliputi mikrodiskectomy. Chemonucleosis meliputi injeksi enzim (yang disebut chymopapain) ke dalam herniasi diskus untuk melarutkan substansi gelatin yang menonjol. Prosedur ini
23

merupakan salah satu alternatif disectomy pada kasus-kasus tertentu. Biasanya penderita boleh memulai latihan setelah 4-6 minggu setelah ia diperbolehkan bangun atau turun dari tempat tidur.6

IX.

Larangan Peregangan yang mendadak pada punggung, jangan sekali-kali mengangkat benda atau sesuatu dengan tubuh dalam keadaan fleksi atau dalam keadaan membungkuk, serta hindari kerja dan aktifitas fisik yang berat untuk mengurangi kambuhnya gejala setelah episode awal.6

2.3 Lesi pada saraf perifer (Neuropati perifer) I. Definisi Neuropati perifer adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan gangguan saraf perifer akibat berbagai penyebab. Polineuropati sering berkaitan dengan penyakit sistemik, misalnya diabetes, obat, toksin lingkungan, dan beragam penyakit genetik. Mononeuropati mengisyaratkan keterlibatan fokal satu berkas saraf dan menandakan penyebab lokal seperti trauma, penekanan, atau penjepitan.8

II.

Klasifikasi Mewakili tingkat aktivitas sistem saraf tepi, gejala-gejalanya dapat melibatkan fungsi sensoris, motoris atau otonom. Sindrom neuropati dasar diklasifikasi berdasarkan tipe saraf yang dipengaruhi dan berapa lama gejala telah berkembang. Perkembangan yang akut berarti gejala-gejala telah tampak dalam beberapa hari, dan subakut berarti gejalanya telah berkembang selama beberapa minggu. Gejala kronik awal berkembang dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun, dan gejala kronik lanjut timbul setelah bertahun-tahun.8 1. Paralisis Motoris Akut Neuropati berkaitan dengan sindrom ini terutama disertai dengan gangguan saraf motoris, namun saraf-saraf sensoris dan otonom dapat terlibat. Gangguan yang berkaitan dengan sistem ini adalah Guillain Barre Sindrom, polineuropati difteri dan neuropati porphytik.

24

2. Paralisis Sensoris Motoris Subakut. Neuropati ini terutama memperlihatkan gejala-gejala sensoris namun juga mempunyai gangguan sedikit pada komponen saraf motoris. Keracunan logam berat (timbal, merkuri dan arsen), bahan-bahan kimia atau obat-obatan seringkali dikaitkan dengan sindrom ini. Diabetes, penyakit Limme dan malnutrisi, juga merupakan penyebab yang mungkin. 3. Paralisis Sensoris Motoris Kronis. Gejala fisisk dapat menyerupai sindrom-sindrom yang telah disebutkan diatas, namun jangka waktu gejala untuk berkembang lebih lama. Sindrom ini terjadi pada neuropati yang timbul karena kanker, diabetes, kusta, gangguan metabolik kongenital atau bawaan dan hipotiroidisme. 4. Neuropati yang berkaitan dengan penyakit-penyakit mithokhondrial. Mithokhondrial adalah organela yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan energi sel. Jika mithokhondrial rusak atau hancur, kebutuhan energi sel tidak dapat terpenuhi dan sel dapat mati. 5. Polineuropati berulang atau timbul kembali. Sindrom ini meliputi neuropati yang mempengaruhi beberapa saraf dan dapat hilang timbul, seperti Sindrom Guillain Barre, porfiria dan polineuropati demyelinisasi peradangan akut. 6. Mononeuropati atau Fleksopati. Mononeuropati adalah jenis neuropati yang hanya mempengaruhi saraf tunggal. Penyebab paling umum mononeuropati adalah melalui kompresi fisikal pada saraf yang dikenal sebagai neuropati kompresi. Salah satu contoh dari neuropati kompresi adalah Carpal tunnel syndrome. Cedera langsung ke saraf, gangguan suplai darah (iskemia), atau peradangan juga dapat menyebabkan mononeuropati. 7. Neuropati otonom Polineuropati yang mempengaruhi sistem involunter, sebagian besar organ internal. Saraf-saraf ini tidak berada di bawah kendali kesadaran seseorang dan berfungsi secara otomatis. Serabut saraf otonom membentuk koleksi besar di toraks, abdomen dan panggul di luar medula spinalis, namun mereka memiliki hubungan baik dengan medula spinalis dan otak.

25

III.

Penyebab 1. Penyakit Penyakit-penyakit yang menyebabkan neuropati perifer bisa kongenital atau didapat, dalam beberapa kasus adalah sulit untuk membedakannya.8,9 i. Diabetes Mellitus Bentuk khas neuropati yang berkaitan dengan diabetes gejala-gejalanya termasuk efek-efek sensoris yang pertama bermula pada kaki. Nyeri yang terasosiasi, rasa terbakar, sensasi seperti ditusuk-tusuk, seperti ada yang merayap dengan distribusi khas seperti kaus kaki pada kaki dan tungkai bawah. Neuropati diabetika juga mempengaruhi saraf otonom dan mempunyai komplikasi kardiovaskuler yang berpotensi menjadi fatal. ii. Gagal ginjal kronik Uremia mempunyai resiko 10-90% mengembangkan gejala neuropati. iii. iv. Gagal hati Proses aterosklerosis yang memutus suplai darah kepada saraf perifer tertentu. Tanpa oksigen dan nutrisi, saraf tersebut perlahan akan mati. v. vi. vii. Hipotiroid menyebabkan polineuropati ringan. Akromegali akibat kelebihan growth hormone menyebabkan polineuropati ringan. Vaskulitis berat Ketika pembuluh darah mengalami kerusakan atau peradangan, suplai darah pada saraf dapat terganggu menyebabkan kerusakan saraf.

2. Infeksi virus atau bakteri i. ii. Lepra yang disebabkan oleh M. leprae, menyerang langsung pada saraf sensoris. Penyakit bakterial lainnya dapat menyebabkan tingkatan serangan yang diperantai oleh sistem imun pada saraf. Contohnya salah satu teori tentang Guillain Barre sindrom melibatkan komplikasi setelah infeksi oleh Campilobacter jejuni. iii. Penyebab yang mendasari neuropati yang berkaitan dengan penyakit Limme masih belum diketahui, bakteri tersebut dapat menyebabkan serangan yang diperantarai imun pada saraf atau menyerang secara langsung.

26

iv.

Infeksi virus-virus tertentu dikaitkan dengan neuropati sensoris yang sangat menyakitkan. Contoh utama adalah yang disebabkan oleh penyakit ruam saraf. Setelah kasus cacar air, virus penyebabnya yaitu Varisella zooster menjadi inaktif di dalam saraf sensoris. Bertahun-tahun, virusnya bisa aktif kembali. Setelah aktif kembali virus tersebut menyerang dan merusak axon.

v.

Infeksi HIV juga berkaitan dengan neuropati perifer, namun tipe neuropati yang berkembang dapat bervariasi. Beberapa neuropati yang berkaitan dengan HIV diketahui lebih merusak myelin daripada axon. Infeksi HIV juga seringkali disertai infeksi lainnya, baik bakteri maupun virus yang dapat menyebabkan neuropati.

3. Cacat bawaan Gangguan yang diturunkan ini dapat secara langsung melibatkan sistem saraf, atau efek sekunder dari gangguan metabolik bawaan. Neuropati bawaan dapat terbagi menjadi beberapa sindrom utama, karena gejala-gejalanya dapat sensoris, motoris atau otonom. Pola pewarisannya juga bervariasi tergantung dari gangguan yang spesifik. Perkembangan gangguan yang diturunkan biasanya muncul dalam beberapa tahun dan merupakan kondisi yang degeneratif, yaitu suatu kondisi yang menjadi lebih buruk secara progresif sesuai dengan waktu. Pada penyakit Charcot-Marie-Tooth gejala utama adalah degenerasi saraf motoris pada tangan dan kaki serta mengakibatkan atrofi otot. Neuropati yang diwariskan lainnya mempunyai komponen metabolik yang sangat berbeda. Contohnya pada polineuropati amiloid familial komponen protein yang menyusun myelin tersusun dan diletakkan secara salah.8

4. Trauma Fisik Tipe umum dari cedera ini terjadi karena meletakkan tekanan berlebihan pada saraf, melebihi kemampuan saraf untuk meregang sehingga merobek saraf. Nyeri mungkin tidak muncul segera, dan tanda kerusakan yang jelas butuh waktu untuk timbul. Cedera ini biasanya mempengaruhi satu saraf atau sekelompok saraf yang berkaitan erat. Biasanya sindrom seperti ditusuk-tusuk disebabkan oleh peregangan berlebihan saraf utama yang terbentang dari leher menuju lengan. Gejala-gejala awal yang timbul adalah kebas, kesemutan dan nyeri yang menjalar menelusuri lengan, yang berlangsung satu atau
27

dua menit. Suatu insiden tunggal tidak

berbahaya namun kejadian berulang dapat

menyebabkan kehilangan sensorius dan motorius permanen.8

5. Keracunan Neuropati yang disebabkan oleh obat-obatan biasanya melibatkan saraf sensoris pada kedua sisi tubuh, terutama pada tangan dan kaki dan nyeri adalah gejala yang umum. Obat yang berkaitan dengan neuropati perifer termasuk diantaranya antibiotik metronidazole, anti kejang phenytoin, dan suatu obat penurun kolesterol simvastatin. Bahan kimia seperti acrylamide, allylchlorida dan karbon disulfida semuanya berkaitan erat dengan neuropati perifer melalui efek neurotoksik. Senyawa-senyawa organik seperti N-Heksana dan toluen dapat menyebabkan neuropti sensori motoris yang parah yang berkembang dengan cepat. Logam berat: timbal, arsen, talium dan merkuri biasanya tidak beracun dalam bentuk elemental namun lebih beracun dalam senyawa organik dan anorganik. Jenis-jenis neuropati yang disebabkan oleh logam berat sangat bervariasi. Keracunan arsen dapat menyerupai Guillain Barre sindrom, timbal lebih mempengaruhi saraf motoris daripada sensoris, talium menyebabkan neuropati sensorium motoris yang nyeri dan efek merkuri terlihat baik pada SSP maupun sistem saraf tepi.8

6. Malnutrisi dan Penyalahgunaan Alkohol Rasa terbakar, nyeri seperti ditusuk-tusuk dan kebas pada kaki dan kadangkadang pada tangan, adalah tanda yang khas pada neuropati yang disebabkan oleh alkohol. Tingkat konsumsi alkohol berkaitan dengan keragaman neuropati perifer telah diperkirakan sekitar tiga liter bir atau 300 mL per hari selama tiga tahun. Malnutrisi: diperkirakan vitamin B mempunyai peranan yang sangat penting. Contohnya defisiensi tiamin adalah penyebab beri-beri, suatu penyakit neuropati yang ditandai oleh gagal jantung dan polineuropati dan nyeri pada saraf sensoris. Defesiensi vitamin E mempunyai peranan pada neuropati baik pada SSP maupun saraf tepi.8

28

IV.

Gejala Gejala khas dari neuropati adalah berkaitan dengan jenis saraf yang terkena. Jika saraf sensoris yang rusak, gejala umumnya termasuk kebas, kesemutan pada daerah yang terkena, sensasi seperti ditusuk-tusuk, atau nyeri. Nyeri yang berkaitan dengan neuropati dapat cukup kuat dan dapat digambarkan seperti nyeri tusuk, terpotong, terasa remuk, dan rasa terbakar. Pada beberapa kasus rangsangan tidak nyeri dapat diterjemahkan sebagai nyeri yang hebat atau nyeri juga dapat dirasakan bahkan tanpa ada rangsangan. Kerusakan saraf motoris biasanya di indikasikan dengan kelemahan pada daerah yang dipengaruhi. Jika masalah dengan saraf motoris berlanjut dalam suatu periode waktu, atrofi atau berkurangnya tonus otot dapat terlihat jelas.8,9

Gambar 6: Distribusi dan tingkat keparahan nyeri pada neuropati perifer


29

Kerusakan saraf otonom terlihat paling jelas ketika seseorang berdiri dan mengalami masalah seperti kepala terasa ringan atau perubahan tekanan darah. Indikasi lain kerusakan saraf otonom adalah kurangnya keringat, air mata dan air liur, konstipasi, retensi urin dan impotensi. Dalam beberapa kasus, dapat terjadi gangguan irama jantung dan masalahmasalah pernafasan. Gejala-gejala dapat muncul dalam beberapa hari, bulan atau tahun. Jangka waktu dan hasil akhir dari neuropati berkaitan dengan penyebab kerusakan saraf. Penyebab potensial termasuk penyakit, trauma fisik, keracunan, malnutrisi dan

penyalahgunaan alkohol. Pada beberapa kasus neuropati bukanlah merupakan gangguan utama, namun merupakan suatu gejala dari penyakit yang mendasarinya.8,9

V.

Pemeriksan konduksi saraf dan elektromiografi Diindikasikan untuk menguji reaksi otot, dapat mengkonfirmasi bahwa telah terjadi kerusakan saraf dan mungkin bisa mengakibatkan kerusakan. Contohnya, beberapa neuropati mempunyai gambaran pada mielin. Kerusakan semacam ini ditunjukkan oleh penjalaran saraf yang melambat. Jika axon yang menderita kerusakan, konduksi otot bisa melambat, namun akan juga mengalami penurunan kekuatan. Elektromiografi memberikan informasi tambahan dengan mengukur konduksi saraf dan respon otot, sehingga dapat ditentukan apakah gejala tersebut disebabkan oleh neuropati atau gangguan otot. Pada sekitar 10 % kasus neuropati perifer biopsi saraf dapat membantu. Dengan uji ini sebagian kecil jaringan saraf diambil dan diperiksa dibawah mikroskop. Prosedur ini biasanya lebih berguna untuk mengkonfirmasi perkiraan diagnosis daripada sebagai prosedur diagnostik itu sendiri.8

VI.

Pengobatan Neuropati Perifer Tujuan pengobatan adalah untuk menangani penyebab neuropati tersebut. Sekiranya penyebab dapat diatasi, neuropati akan sembuh dengan sendiri. Satu lagi tujuan pengobatan adalah untuk melegakan dan mengurangkan rasa sakit yang disebabkan oleh neuropati perifer. Diantara obat-obat yang dapat mengurangi nyeri neuropati adalah sebagai berikut: i. Anti nyeri : Simptom yang ringan dapat diatasi dengan obat anti nyeri. Untuk simptom yang berat, obat yang lebih kuat dapat digunakan. Tapi obat yang mengandung opioid seperti kodein, dapat menyebabkan ketergantungan, efek sedatif atau konstipasi. Jadi obat ini hanya digunakan apabila kesemua obat lain tidak berkesan.
30

ii.

Obat anti kejang : Obat seperti gabapentin (Neurontin), topiramate (Topamax), pregabilin (Lyrica), carbamazepine (Tegretol) dan fenitoin (Dilantin) pada asalnya indikasinya adalah untuk epilepsi. Tetapi dapat juga digunakan untuk nyeri saraf. Efek samping antaranya adalah mual dan pusing.

iii.

Patch Lidokain : Mengandung anestesi topikal. Dipakai pada area di mana terasa sangat nyeri dan penggunaan boleh sehingga empat patch dalam sehari. Efek sampingnya kurang tetapi dapat terjadi rash pada tempat pemakaian.

iv.

Antidepressan : Antidepressan trisiklik seperti amitriptyline dan nortriptyline pada asalnya digunakan untuk merawat depresi. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengurangkan rasa nyeri saraf dengan cara mengganggu proses biokimia pada otak dan medulla spinalis. Inhibitor reuptake Serotonin dan norepinefrin duloxetine juga terbukti efektif untuk neuropati perifer disebabkan diabetis. Efek samping antaranya termasuk mual, pusing, hilang nafsu makan dan konstipasi.

Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : Pada prosedur ini, elektrod yang boleh melekat diletakkan pada kulit dan arus elektrik yang kecil disalurkan pada frekuensi yang pelbagai. Terapi ini harus sering dilakukan dan terbukti dapat meringankan gejala neuropati.9

2.4 Lesi pada neuromuskular junction Myasthenia Gravis I. Definisi Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.10

II.

Epidemiologi Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan
31

pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun.10

III.

Patofisiologi Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Mekanisme pasti tentang

hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin

pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya Miastenia dapat gravis sebagai

dimengerti. dapat

dikatakan

penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan

reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia

Gambar 7: patofisiologi miastenia gravis


32

gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.10,11

IV.

Gejala Klinis Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia gravis antara lain10 : i. Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. ii. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan
33

menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

V.

Klasifikasi Myasthenia Gravis Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas I : Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. Kelas II : Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular. Kelas IIa : Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. Kelas IIb : Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa. Kelas III : Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otototot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang. Kelas IIIa : Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. Kelas IIIb : Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan. Kelas IV : Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. Kelas IVa : Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otototot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan. Kelas IVb : Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
34

Kelas V

:Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.10

VI.

Diagnosis Myasthenia Gravis Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: i. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. ii. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain i. Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat. ii. Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.
35

iii.

Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lainlain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.

VII.

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium i. Anti-asetilkolin reseptor antibody Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody. Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut10: Table 2: Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis
Osserman Class R I IIA IIB III IV Mean antibody Titer 0.79 2.17 49.8 57.9 78.5 205.3 Percent Positive 24 55 80 100 100 89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe
36

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.10

ii.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

iii.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab.

iv.

Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin / RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.

2. Imaging i. Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukuran kecil. ii. Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

37

iii.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

3. Elektrodiagnostik i. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi. ii. Single-fiber Electromyography (SFEMG) Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

VIII.

Penatalaksanaan Secara garis besar, pengobatan Miastenia gravis berdasarkan 3 prinsip, yaitu11: 1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler: i. Istirahat Dengan istirahat, banyaknya ACh dengan rangsangan saraf akanbertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AChR di bawahambang rangsang dapat berkontraksi. ii. Memblokir pemecahan Ach Anti kolinesterase, seperti prostigmin, piridostigmin, edroponium atau ambenonium diberikan sesuai toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai dosis optimal. Pada bayi dapat dimulai dengan dosis 10 mg piridostigmin dan pada anak besar 30 mg , kelebihan dosis dapat menyebabkan krisis kolinergik.

38

2. Mempengaruhi proses imunologik i. Plasma Exchange (PE) Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium, dan natrium yang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.10

ii.

Intravenous Immunoglobulin (IVIG) Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating

aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan
39

beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama10.

iii.

Kortikosteroid

Diberikan prednison dosis tunggal atau alternating untuk mencegah efek samping. Dimulai dengan dosis kecil, dinaikkan perlahan-lahans ampai dicapai dosis yang diinginkan. Kerja kortikosteroid untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau bekerja langsung pada transmisi neromuskuler.11 iv. Imunosupresif Azathioprine, Cyclosporine, Cyclophosphamide (CPM). Namun biasanya digunakan azathioprin (imuran) dengan dosis 2 mg/kg BB. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikitdibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathioprine dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-kasus berat.11 v. Thymectomy (Surgical Care)

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obatyang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien. Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma yang telah berlangsung 3-5 tahun. Dengan timektomi, setelah 3 tahun 25% penderita akan mengalami remisi klinik dan40-50% mengalami perbaikan.11

40

2.5 Lesi pada otot (Myopathies)

I.

Definisi Miopati adalah kelainan otot yang bukan disebabkan oleh gangguan pada saraf. Ia merupakan sekumpulan penyakit otot dimana fiber otot tidak dapat berfungsi yang disebabkan oleh berbagai faktor yang menyebabkan kelemahan otot. Kram otot, kekakuan dan spasme juga dapat dikaitkan dengan miopati.12

II.

Klasifikasi Miopati terbagi kepada dua yaitu herediter dan didapat. 1. Herediter : Distrofi otot Distrofi otot adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok kelainan bawaan yang menyebabkan kelemahan otot yang progresif. i. Duchenne muscular dystrophy (DMD) Paling umum ditemukan. Mulai sebelum umur 5 tahun dan dapat ditemukan sporadic atau mengenai beberapa anggota keluarga. Prevalensi lelaki lebih dari wanita yang sering terkena. Onset gejalanya beransur-ansur. Pada mulanya normal kemudian mulai jalan kaku, mudah jatuh dan sukar bangkit bila tidak dibantu. Terjadi waddling gait (berjalan seperti onta / bebek). Kelemahan otot-otot ekstensor dari tulang punggung dan lutut menyebabkan penderita bangkit secara khas dari lantai, yaitu penderita tengkurap dahulu, lalu menaruh badannya keposisi merangkak. Kaki kemudian diletakkan dengan kuat dilantai dengan bantuan lengannya dan berangsur-angsur mengangkat bagian atas dari badannya dengan memanjat tungkainya sendiri dengan bantuan tangannya (climbing up his own leg) ini disebut Gower Sign.12 ii. Becker muscular dystrophy (BMD) Relatif benign, diwariskan secara sex-linked resesif trait. Gejala-gejalanya sama dengan yang ditemukan pada tipe Duchene, hanya progresifitas dari penyakit ini lebih lambat. Penyakit ini mulai sesudah umur 5 tahun, dan penderita masih dapat berjalan pada umur 10 tahun, adakalanya sampai umur 25 tahun atau lebih. Kelemahan terjadi
41

terutama pada otot-otot pergelangan panggul, lalu otot-otot kelompok pectoralis dan jarang gangguan jantung.

iii.

Distal muscular dystrophy (DD): Relatif jarang dan benigne ini diwariskan secara autosomal dominant, walaupun didapat banyak kasus yang sporadic. Bentuk ini mulai pada umur dewasa pada mana terjadi atropi progresif yang kronis dari otot-otot distal dari keempat ekstremitas. Otot-otot proksimal dan muka mula-mula tidak diserang, akan tetapi dapat pada stadium lanjut.

iv.

Distrofi Otot Juvenil Bentuk ini relatif benigne walaupun dapat ditemukan bentuk yang lebih berat. Pria lebih dari wanita. Pada facioscapulohumeral type dari Landouzzy dan Dejerine yang diwariskan secara autosomal dominant, atropi mula-mula mengenai otot-otot muka, pergelangan bahu dan lengan. Akan tetapi pada beberapa varian, otot-otot muka hanya sedikit diserang dan dinamakan Juvenile muscular dystrophy atau limb girdle type of muscular dystrophy dari Erb yang diwariskan secara autosomal recessive,mula-mula menyerang pergelangan panggul atau bahu. Pada kedua varian ini kelemahan dan atropi otot-otot pergelangan panggul adalah sama, akan tetapi biasanya kurang berat. Pseudohipertrophy jarang dilihat pada kelompok ini.

v.

Oculopharyngeal muscular dystrophy (OPMD) Mempengaruhi orang dewasa gejala ptosis ringan dan disfagia. Otot-otot ekstra ocular dan kadang-kadang otot-otot muka dan ekstermitas bagian proksimal dapat diserang12.

2. Didapat: Inflammatory myophathy, endocrine myopathies, drug-induced / toxic myopathies dan myopathy associated with systemic illness termasuk dalam kelainan yang didapat.13

42

Inflammatory myophathy yang idiopatik secara klinis dan aspek imunohistokimia dibagi atas 3 golongan utama yaitu dermatomiositis, polimiositis dan inclusion body myositis. i. Polimiositis Polimiositis adalah suatu miopati inflamatorik idiopatik. Etiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa enterovirus seperti Coxsackie B atau A19, atau Echo virus dapat mencetus polimiositis, khususnya pada pasien hipogammaglobulinemi. Polimiositis juga ditemukan pada infeksi retrovirus HIV dan human T-lymphocyte virus-1 (HTLV-1). Kelainan ini diduga berhubungan dengan sistem imun tubuh. Adanya cedera otot yang diperantarai oleh virus atau mikrovaskuler menyebabkan pelepasan dari autoantigen otot. Autoantigen ini kemudian disampaikan ke T Limfosit oleh makrofag dalam otot. Aktifasi T Limfosit menyebabkan proliferasi dan pelepasan sitokin seperti interferon gamma (IFN-gamma) dan Interleukin 2 (IL-2). IFN-gamma menyebabkan aktivasi makrofag lagi dan pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1 dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-alfa). Sitokin kemudian menyebabkan ekspresi yang menyimpang dari histokompabilitas kompleks mayor (MHC) molekul kelas I dan Iidan adesi molekul pada sel otot. Kerusakan serat otot terjadi ketika CD8+ T Limfosit (sitotoksik) bertemu dengan antigen bersama dengan MCH molekul kelas I pada sel otot. Makrofag kemudian menyebabkan kerusakan otot, baik langsung maupun secara tidak langsung melalui sekresi sitokin. Diagnosis polimiositis dapat ditegakan melalui gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan EMG dan biopsi otot. Pada gambaran klinis ditemukan adanya kelemahan otot proksimal yang simetris. Pasien sulit untuk naik dan turun tangga, mengangkat tangan, sulit berdiri dari posisi duduk atau berbaring. Defisit otot distal ringan yang muncul belakangan terlihat pada 25-30 % pasien. 25-30 % pasien mengenai otot faring dan bagian atas dari esophagus, sehingga menyebabkan disfoni dan disfagia. Nyeri otot ditemukan pada 60% kasus, dan nyeri sendi terjadi pada 15-30% kasus. Peningkatan enzim otot (Kreatinin kinase atau kreatinin fosfokinase, aldolase, laktat dehidrogenase, transaminase) biasanya ditemukan pada 75-85% kasus.
43

secara

Kreatinin kinase dapat meningkat 5-50 kali dari nilai normal. Rheumatoid factor positif pada 20% kasus. ANA dan ACA ditemukan pada 30-50% kasus. Pemeriksaan kreatinin kinase merupakan pemeriksaan yang sensitif pada polimiositis tapi tidak spesifik. Pemeriksaan EMG pada polimiositis ditemukan adanya abnormalitas pada 90% kasus. Abnormalitas yang ditemukan bervariasi, tergantung dari beratnya penyakit. Dapat ditemukan adanya iritabilitas membran, aktivitas insersional yang memanjang, potensial fibrilasi, gelombang positif tajam saat istirahat. Perubahan miopati dari potensial aksi motorik, amplitudo dan durasi yang rendah dengan proporsi potensial polifasik meningkat, serta repetitive discharge complex. Biopsi otot merupakan pemeriksaan yang dapat mengkonfirmasi diagnosis polimiositis. Kelainan histologis secara pasti dapat membedakan kelainan polimiositis dan dermatomiositis. Pada polimiositis ditemukan gambaran inflamasi, nekrosis dan regenerasi. Ditemukan infiltrasi endomisial fokal oleh sel mononuclear, obliterasi kapiler, kerusakan sel endothelial dan peningkatan jumlah jaringan ikat. Infiltrasi inflamasi terutama pada daerah endomesial perinekrotik tanpa topografi vaskuler, dan mengandung sedikit B dan CD4+ T sel, tapi mengandung banyak sitotoksik CD8+ T sel dan makrofag. CD8+ limfosit mengelilingi serat otot dan secara fokal merusak serat otot pada daerah yang tidak nekrosis. Pada tahap lanjut polimiositis terjadi degenerasi sel otot, fibrosis, dan regenerasi. Tujuan utama pengobatan polimiositis adalah untuk memperbaiki fungsi otot. Secara farmakologis, terapi polimiositis merupakan terapi imunosupresif, seperti kortikosteroid, Azatioprin, dan IVIg. Secara umum direkomendasikan pemberian kortikosteroid dosis tinggi selama beberapa bulan sebagai terapi inisial dengan atau tanpa terapi imunosupresif lain. Kortikosteroid merupakan pengobatan lini pertama. Dosis dan lama pemberian masih kontraversi. Pasien yang resisten dengan pemberian kortikosteroid, disarankan untuk diberikan imunosupresif lain, sebagai obat lini kedua. Dosis Azathioprin yang diberikan adalah 2 mg/kg. Pemberian IVIG dilaporkan dapat memperbaiki kekuatan otot, fungsi dan kadar enzim otot pada pasien polimiositis yang resisten. Dosis yang diberikan sebesar

44

2 g/Kg/bulan. Setelah pemberian beberapa kali, dosis diturunkan sampai 0.8 g/Kg/bulan.13

ii.

Dermatomiosistis Dermatomyositis adalah keadaan di mana terjadi nyeri otot dan rash pada kulit. Kesannya dapat terjadi inflamasi kronis pada otot dan kulit, yang menyebabkan nyeri, lemah, atrofi otot dan disfungsi otot. Rash yang berwarna ungu atau gelap dapat timbul di kulit biasanya di area kelopak mata dan di area di mana terdapat otot dan sendi seperti siku, lutut, buku lima dan pergelangan kaki. Punca sebenar dermatomyositis tidak jelas. Diperkirakan berkaitan dengan genetik atau infeksi sebelumnya. Penyakit ini juga hampir sama dengan penyakit autoimun karena sistem pertahanan tubuh menyerang otot dan kulit. Simptom dermatomyositis biasanya berkembang dengan perlahan, berminggu minggu hingga beberapa bulan. Sekali menderita penyakit ini, pasien akan mengalami episode remisi yang disertai dengan simptom yang sangat menonjol. Simptom yang paling biasa dan sering adalah rash pada kulit yang berwarna merah kegelapan atau ungu yang timbul di area kulit otot yang berkaitan dengan pergerakan sendi. Simptom pada otot berlaku apabila pembuluh darah pada fiber otot mengalami inflamasi, mengakibatkan kerusakan otot sehingga terjadi kelemahan otot, atrofi, dan nyeri. Pengobatan yang selalu diberikan adalah immunosupresan seperti kortikosteroid, yang akan menekan sistem pertahanan tubuh dan mengurangkan rasa nyeri.12

iii.

Miopati Endokrin meliputi: a) Penyakit Addison b) Penyakit Cushing c) Hipotiroidisme (CK mungkin agak tinggi) d) Hipertiroidisme (CK bisa normal) e) Hiperparatiroidisme

iv.

Penyebabkan drug-induced miopati termasuk:


45

a) Steroid (terutama dengan dosis tinggi berkepanjangan, dosis terbagi atas 25 mg / d, penggunaan steroid fluorinated) b) AZT c) Lovastatin dan statin lainnya d) Kokain e) Kolkisin f) Amiodarone dan lain-lain yang menghambat CYP3A4 bila dikombinasikan dengan simvastatin 2.6 Lesi pada NVII perifer (Bells Palsy) I. Definisi Bells palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, nonneoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.14

II.

Epidemiologi Di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.14

III.

Etiologi Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bells palsy, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu : i. Teori Iskemik vaskuler Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis. ii. Teori infeksi virus

46

Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1). iii. Teori herediter Kanalis fasialis yang sempit iv. Teori imunologi Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

IV.

PATOFISIOLOGI Apapun sebagai etiologi Bells palsy, proses akhir yang dianggap bertanggungjawab atas gejala klinik Bells palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endotelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen.14

V.

Gambaran klinis Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajahny. Bells palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung.14
47

VI.

Prognosis Sembuh spontan pada 75-90 % dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira-kira 1015 % sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen.13

VII. i.

KOMPLIKASI Crocodile tear phenomenon Yaitu keluarnya air mata pada saat makan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum. ii. Synkinesis Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah. iii. Hemifacial spasm Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. iv. Kontraktur Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.

VIII.

Terapi Terapi medikamentosa: Golongan kortikosteroid sampai sekarang masih kontroversi. Juga dapat diberikan neurotropik.

48

Terapi operatif : Tindakan bedah dekompresi masih kontroversi Rehabilitasi Medik Tujuan rehabilitasi medik pada Bells palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak berperan.14 1. Program Fisioterapi 2. Pemanasan i. ii. Pemanasan superfisial dengan infra red. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave Diathermy

3. Stimulasi listrik Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Diberikan 2 minggu setelah onset. 4. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh). Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.14

49

BAB III KESIMPULAN

Gangguan pada Lower Motor Neuron (LMN) merupakan gangguan yang terjadi pada jaras LMN yaitu mulai dari keluarnya saraf melalui cornu anterior medulla spinalis hinggalah ke otot-otot. Lesi pada LMN memiliki ciri antara lain: penurunan tonus otot, penurunan kekuatan, refleks fisiologis berkurang atau (-), refleks patologis (-). Dapat dijumpai atrofi otot rangka yang dipersarafi oleh LMN yang bersangkutan, fasikulasi (gerakan involunter) dan paralisis. Penyebab lesi pada LMN bermacam-macam dan dapat dikelompokkan berdasarkan letak lesinya.

Gangguan pada LMN dapat dikelaskan kepada beberapa bagian berdasarkan letak lesi tersebut. Jika lesi tersebut terdapat pada cornu anterior maka gangguan yang terdapat adalah poliomyelitis, manakala sekiranya lesi terletak pada radix medulla spinalis adalah terjadinya Guillian Barre syndrome dan hernia nucleus pulposus. Namun seringnya Guillian Barre

syndrome terjadi kerusakkan pada serabut myelin tersebut. Jika lesi tersebut pada neuromuscular junction akan menyebabkan penyakit myasthenia gravis.

Sekiranya terdapat lesi pada saraf tepi maka terjadinya neuropati yang dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab. Sekiranya lesi terletak pada otot gangguan yang terjadi pada otot adalah miopati. Miopati dapat disebabkan oleh keturunan (bawaan) yang terdapat berbagai jenis kelainan distrofi otot ataupun didapat dari infeksi atau lain-lain.

Namun begitu, penatalaksanaan terhadap penyakit tersebut adalah berdasarkan penyebabnya tersebut. Tidak ada pengobatan spesifik untuk gangguan pada LMN.

50

DAFTAR PUSTAKA

1. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page: 301-305. 1991. 2. Poliomeilitis. Diunduh dari http://www.scribd.com/ 3. Imunisasi Poliomyelitis. Diunduh dari http://www.health.vic.gov.au 4. Guillain-Barr Syndrome. Diunduh dari http://bodyandhealth.canada.com/ 5. Gilroy John. Basic neurology. 2nd edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.; 1992. p.377378. 6. HNP. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article 7. Herniated disk. Diunduh dari http://www.umm.edu/ency/article/ 8. Peripheral neuropathy: MedlinePlus Medical Encyclopedia. Diunduh dari

www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article 9. Peripheral Neuropathy . Diunduh dari www.medicinenet.com 10. Howard, J. F. Myasthenia Gravis. Diunduh dari http://www.ninds.nih.gov 11. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995. 12. Neuromuscular Disease in Children. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov 13. Mc Donald CM: Neuromuscular Diseases.Pediatric Rehabilitation (3rd Edition). Edited by: Molnar EG. Philadelphia. 1999. 14. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5

51

You might also like