You are on page 1of 128

KAJIAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DI KELURAHAN KALAMPANGAN KECAMATAN SABANGAU KOTA PALANGKA RAYA

Oleh : ARIANDO NIM. CFA. 208 006

TESIS Untuk memperoleh gelar Magister Sains Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Bidang Konsentrasi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tanaman

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS PALANGKA RAYA PALANGKA RAYA 2011

KAJIAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DI KELURAHAN KALAMPANGAN KECAMATAN SABANGAU
KOTA PALANGKA RAYA
Oleh : ARIANDO NIM. CFA. 208 006

TESIS Untuk memperoleh gelar Magister Sains Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Bidang Konsentrasi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tanaman

Palangka Raya,

Juni 2011.

PEMBIMBING I

PEMBIMBING II

Prof. Ir. Y.SULISTIYANTO, MP, Ph.D. NIP. 19610921 198810 1 001

Dr. Ir. MOFIT SAPTONO, MP. NIP. 19651113 199103 1 002

Mengetahui : Program Pascasarjana Universitas Palangka Raya Direktur, Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Ketua,

Prof. Drs. FERDINAND, MS. NIP.19580111 198701 1 001

Dr. Ir. URAS TANTULO, M.Sc. NIP. 19670228 199203 1 002

LEMBAR PENGESAHAN

KAJIAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DI KELURAHAN KALAMPANGAN KECAMATAN SABANGAU KOTA PALANGKA RAYA

ARIANDO NIM. CFA. 208 006

Dipertahankan di depan Tim Penguji Tesis Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Palangka Raya Tanggal 21 Juni 2011.

TIM PENGUJI

1.

Prof. Ir. Y.Sulistiyanto, MP, Ph.D. Ketua Dr. Ir. Mofit Saptono, MP. Anggota Dr. Ir. Akhmad Sajarwan, MP. Anggota Ir. Vera Amelia, MP. Anggota Ir. Yulian Taruna, M.Si. Anggota

.........................................

2.

.........................................

3.

.........................................

4.

.........................................

5.

..........................................

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan : 1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik, baik di Universitas Palangka Raya maupun perguruan tinggi lainnya. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penilaian sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam daftar pustaka. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

2.

3.

4.

Palangka Raya,

Juni 2011.

Yang membuat pernyataan.

ARIANDO NIM. CFA. 208 006

ABSTRAK Ariando, 2011, Kajian Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Pasir di Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya. Tesis Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Palangka Raya. Di bawah bimbingan Prof. Ir. Y. Sulistiyanto, MP, Ph.D. dan Dr. Ir. Mofit Saptono, MP. Penelitian ini mengkaji tingkat kerusakan lahan yang terjadi di lokasi penambangan berdasarkan kondisi fisik lahan, kualitas tanah dan kualitas air di lokasi penambangan serta pengamatan benthos pada lubang bekas galian tambang, dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar dampak yang terjadi akibat kegiatan penambangan, sehingga pengendalian pada kegiatan penambangan pasir akan mengurangi kerusakan pada lahan. Metode penelitian dilakukan dengan cara membandingkan kondisi fisik lahan, kualitas tanah dan kualitas air serta analisis benthos pada lahan yang ditambang dengan lahan yang belum ditambang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September hingga Nopember 2010. Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi : (1). Batas tepi galian; (2). Tinggi dinding dan batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal; (3).Pengangkutan bahan galian; (4). Kondisi jalan umum; (5). Luas reklamasi; (6). Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi. Kemudian untuk melengkapi data dari pengamatan fisik lahan tersebut dilakukan analisis laboratorium yang meliputi : (1).Analisis tanah; (2).Analisis kualitas air; dan (3).Analisis benthos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan pasir. Kerusakan lahan yang terjadi seperti rusaknya tanah pucuk (top soil), terjadi lubang bukaan yang besar, tinggi dinding galian sangat dalam. Akibat dari kerusakan lahan tersebut juga mempengaruhi lingkungan yang lain seperti terjadinya perubahan bentuk lahan, berubahnya fungsi lahan, vegetasi penutup hilang, terjadinya pencemaran debu, bekas lahan tambang menjadi gersang karena tidak ada revegetasi, sehingga terjadi perubahan suhu disekitar lokasi tambang. Pada masing masing lokasi tambang juga tidak dilakukannya reklamasi, dimana tanah pucuk (top soil) tidak diolah untuk menutupi kembali lahan yang sudah di tambang. Tanah di lokasi penelitian secara umum dikategorikan mempunyai tingkat kesuburan yang tergolong rendah, baik di lokasi penambangan (tanah terusik) maupun di luar lokasi penambangan (tanah alami). Secara umum kualitas air yang berada di luar lokasi penambangan berada pada skala 4 dengan kategori baik, sedangkan kualitas air di lokasi penambangan di ketegorikan buruk dan berada pada skala 2 dengan status mutu air cemar berat. Selanjutnya berdasarkan analisis benthos menyatakan bahwa kualitas lingkungan pada lubang bekas galian berada pada skala yang sangat buruk, sedangkan lahan yang di luar lokasi penambangan yang merupakan lahan yang belum berusik memperlihatkan tingkat kelimpahan benthos yang sangat baik, namun pada indeks keragaman menunjukkan skala sangat buruk, hal ini karena di dominasi oleh 1 (satu) spesies benthos saja.

ABSTRACT Ariando, 2011. Analysis of Land Damage Caused by Sand Mining in Kalampangan, Sabangau, Palangka Raya. Magister Thesis of Environment and Natural Resources Management, Post-Graduate Program of Palangka Raya University. Advisors Prof. Ir. Y. Sulistiyanto, MP, Ph.D. and Dr. Ir. Mofit Saptono, MP. This research analyzed the level of land damage which occured in mining location based on land physical condition, water and land quality in the mining location and benthos analysis in former mining quarry pit for the purpose to find out how big the impact of mining activities, so the control of sand mining activities can decrease the land damage. The research method was done with comparing land physical condition, land and water condition and benthos analysis in land that had been mined and land that had not been mined. This research was done in September until November 2010. The observed variables were : (1) the excavation edge boundary; (2) the wall height and the depth boundary of excavation from the surface; (3) the transportation of mining materials; (4) the condition of public road; (5) the width of reclamation area; (6) the top soil conservation for vegetation. To complete the data from land physical condition, laboratorium analysis was done which consisted of : (1) soil analysis; (2) water quality analysis; (3) benthos analysis. The result indicated that the land damage had occured because of the sand mining activities. The land damage such as the damage of top soil, wide and deep quarry pit. The impact of the land damage also influenced the other environment aspects such as changes in landform, land function, dissapearance of top vegetation, dust pollution, former mining land became barren because of no revegetation so temperature changes occured in mining location. In each of mining location, reclamation was not done, in where the top soil was not processed to cover the land that had been mined. In general, soil in the location was categorized as low fertility level, inside and outside mining location. In general, the water quality outside mining location was on scale 4 which was categorized in well condition, while inside mining location was on scale 2 with heavy polluted water quality. Furthermore, according to benthos analysis, it stated that environment quality on former mining quarry pit had bad scale, meanwhile the outside land which was not disturbed land indicated benthos abudantly in very well level, but the variety index showed bad scale, this was because it was dominated only by one benthos species.

RIWAYAT HIDUP PENULIS

ARIANDO, dilahirkan di Mandumai, pada tanggal 26 September 1970, sebagai anak sulung dari enam bersaudara, dengan nama Ayah Eduard Songkay Mering (Almarhum) dan Ibu Yance Frans Ikat. Menamatkan sekolah dasar pada Sekolah Dasar Katholik Yos Sudarso Sampit pada tahun 1983. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Palangka Raya tahun 1986, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 2 Palangka Raya dan lulus pada tahun 1989. Selanjutnya pada tahun yang sama masuk Akademi Teknik Pembangunan Nasional (ATPN) Banjarbaru, Jurusan Teknik Pertambangan, lulus pada tahun 1995 dan memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md). Pada tahun 2002 mendapatkan ijin belajar dari Walikota Palangka Raya untuk melanjutkan studi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Kristen Palangkaraya (UNKRIP), jurusan Ilmu Pemerintahan dan lulus pada tahun 2005 serta mendapat gelar Sarjana Sosial (S.Sos). Kemudian pada tahun 2008 memperoleh

kesempatan ijin belajar dari Walikota Palangka Raya untuk melanjutkan studi pada Program Magister (S2) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSAL), Program Pascasarjana (PPs) Universitas Palangka Raya (UNPAR). Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada bulan Juni tahun 1996 di Sekretariat Daerah Kotamadya Dati II Palangka Raya, dan sejak tahun 2001 sampai dengan sekarang penulis ditempatkan pada Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya. Palangka Raya, Penulis. Juni 2011.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul KAJIAN DI KERUSAKAN LAHAN AKIBAT KELURAHAN KALAMPANGAN

PENAMBANGAN

PASIR

KECAMATAN SABANGAU KOTA PALANGKA RAYA. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSAL), Program Pascasarjana (PPs) Universitas Palangka Raya (UNPAR). Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Direktur Program Pascasarjana (PPs) Universitas Palangka Raya (UNPAR), Prof. Drs. Ferdinand, MS, atas kesempatan yang diberikan kepada saya menjadi mahasiswa pada Program Pascasarjana UNPAR. 2. Bapak Dr. Ir. Uras Tantulo, M.Sc, selaku Ketua Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSAL), Program

Pascasarjana (PPs) UNPAR. 3. Bapak Prof. Ir. Y. Sulistiyanto, MP, Ph.D, selaku Pembimbing Utama, yang dengan tulus dan penuh perhatian membimbing penulis sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat terselesaikan.

4.

Bapak Dr. Ir. Mofit Saptono, MP, selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan dan arahan, selama proses penulisan tesis ini.

5.

Bapak Dr. Ir. Akhmad Sajarwan, MP, sebagai penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

6.

Ibu Ir. Vera Amelia, MP, sebagai penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

7.

Bapak Ir. Yulian Taruna, M.Si, sebagai penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

8.

Walikota Palangka Raya, H.M. Riban Satia, S.Sos, M.Si., yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam Lingkungan. dan

9.

Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSAL) Universitas Palangka Raya (UNPAR) yang telah banyak membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu.

10. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya dan seluruh Staf pegawai yang telah memberikan dukungan sepenuhnya kepada penulis selama mengikuti studi pada Program Pascasarjana. 11. Rekan-rekan sesama angkatan 2008, atas solidaritas dan kekompakkannya selama menempuh pendidikan Program Pascasarjana UNPAR.

12. Staf Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSAL) - UNPAR : Bu Titin, Bu Eti, Sri, Febri dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya. 13. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penulisan tesis ini. THE LAST BUT NOT LEAST, kepada isteriku terkasih Nensianie, yang telah memberikan dukungan sepenuhnya serta pengertian yang dalam dan penuh kesabaran selama penulis mengikuti studi sampai terselesaikan, juga

anandaku tersayang Vinky Maharani Gabriella Paramitha dan Vanessa Nethania Gracia Putri, penulis mengucapkan terima kasih yang sangat dalam atas pengertian dan dukungannya, kiranya kasih setia Allah Bapa menyertai kita. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan yang berkaitan dengan keterbatasan waktu, dana dan kemampuan sehingga penulis sangat mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan tambahan pengetahuan khususnya dalam pengelolaan tambang bahan galian golongan C.

Palangka Raya, Penulis.

Juni 2011.

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK. ...................................................................................................... v ABSTRACT ....................................................................................................... vi RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................ vii KATA PENGANTAR. .................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................... xi DAFTAR TABEL. ........................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR. ...................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN. ................................................................................... xviii I. PENDAHULUAN. ................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 1 1 3 4 5 6 6 11 21 22 27 29 30 30 31 32 32 33 34 34 37 40 40 42 43 44 46 47 47 49

II. TINJAUAN PUSTAKA. .......................................................................... 2.1. Lahan, Daya Dukung Lahan dan Kerusakan Lahan .......................... 2.2. Pengelolaan dan Penentuan Kelayakan Penambangan ...................... 2.3. Pemanfaatan Lahan Untuk Penambangan Pasir................................. 2.4. Kerusakan Lingkungan Akibat Penambangan Pasir. ......................... 2.5. Kerangka Pemikiran........................................................................... 2.7. Hipotesis ............................................................................................ III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. ................................................ 3.1. Tempat dan Waktu ............................................................................. 3.2. Bahan dan Alat ................................................................................... 3.3. Desain Penelitian ............................................................................... 3.4. Variabel Penelitian ............................................................................. 3.5. Metode Penarikan Sampel ................................................................. 3.6. Prosedur Pengumpulan Data .............................................................. 3.7. Metode Analisis Data ......................................................................... 3.8. Definisi Operasional. ......................................................................... IV. KEADAAN UMUM LOKASI. ................................................................ 4.1. Lokasi dan Luas Wilayah................................................................... 4.2. Keadaan Iklim. ................................................................................... 4.3. Jumlah Penduduk. .............................................................................. 4.4. Mata Pencaharian Penduduk. ............................................................. 4.5. Jenis dan Penggunaan Lahan. ............................................................ 4.6. Topografi............................................................................................ 4.7. Geologi Regional. .............................................................................. 4.8. Morfologi. ..........................................................................................

V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 5.1. Kondisi Fisik Lahan. .......................................................................... 5.1.1. Batas Tepi Galian. .................................................................. 5.1.2. Tinggi Dinding/Batas Kedalaman Galian dari Pemukaan Tanah Awal. ........................................................................... 5.1.3. Pengangkutan Bahan Galian (truck pengangkut). .................. 5.1.4. Kondisi Jalan. ......................................................................... 5.1.5. Luas Reklamasi. ..................................................................... 5.1.6. Pengembalian Tanah Pucuk Untuk Vegetasi. ........................ 5.2. Analisis Tanah Pada Lokasi Penambangan. ...................................... 5.3. Analisis Kualitas Air di Lubang Bekas Galian. ................................. 5.4. Analisis Benthos Yang Berada di Lubang Bekas Galian Pasir.......... 5.5. Tingkat Kerusakan Lahan. ................................................................. 5.6. Dampak Kegiatan Penambangan Pasir. ............................................. 5.7. Pengelolaan Lahan Bekas Tambang. ................................................. 5.8. Uji Hipotesis. ..................................................................................... VI. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 6.1. Kesimpulan. ....................................................................................... 6.2. Saran. ................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

51 51 51 52 53 56 58 59 60 62 73 75 77 77 86 88 88 89

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel. 1. Jenis dan Perkiraan Cadangan Bahan Galian di Setiap Kecamatan Di Kota Palangka Raya .................................... Bentuk Kerusakan Lahan Akibat Panambangan Bahan Galian Pasir. ........................................................................ Tingkat Resiko Gangguan Akibat Kerusakan Lahan. ......... Bahan dan Alat Yang Digunakan. ....................................... Luas Wilayah Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya menurut Kelurahan, Tahun 2009......................................... Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, Tahun 2009. ..................... Jenis mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan Sabangau menurut Kelurahan, Tahun 2009. ....................... Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, Tahun 2009. ..................... Batas Tepi Galian di Tiap Lokasi........................................ Tinggi Dinding/Batas Kedalaman Galian dari Permukaan Tanah Awal. ........................................................................ Jumlah Truck Pengangkut Pasir dalam 7 (tujuh) Hari Secara Kontinyu. ................................................................. Data Hasil Analisis Tanah................................................... Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah. ................................. Skala Penilaian Kualitas Air Permukaan. ........................... Data Hasil Analisis Kualitas Air di Lokasi Penelitian. ....... Penentuan Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Air Kelas II dengan Kode Sampel (Alami-1). ...........................

Tabel. 2.

26 26 31

Tabel. 3. Tabel. 4. Tabel. 5.

42

Tabel. 6.

44

Tabel. 7.

45

Tabel. 8.

46 51

Tabel. 9. Tabel. 10.

53

Tabel. 11.

55 62 63 67 67

Tabel. 12. Tabel. 13. Tabel. 14. Tabel. 15. Tabel. 16.

68

Tabel. 17.

Penentuan Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Air Kelas II dengan Kode Sampel (Alami-2). ........................... Penentuan Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Air Kelas II dengan Kode Sampel (Rusak-1). ........................... Penentuan Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Air Kelas II dengan Kode Sampel (Rusak-2). ........................... Skala Penilaian Kualitas Lingkungan Biota Perairan. ........ Hasil Analisa Benthos. ........................................................ Klasifikasi Kerusakan Lahan Pada Masing-Masing Lokasi Penambangan. .........................................................

70

Tabel. 18.

72

Tabel. 19.

74 76 77

Tabel. 20. Tabel. 21. Tabel. 22.

79

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar. 1. Kegiatan Land Clearing Yang Dilanjutkan Dengan Pengupasan Tanah Pucuk / Top Soil Pada Lokasi Tambang-3 (HS) .............................................................. Bekas Galian Penambangan Pasir Pada Lokasi Tambang-4 (ZB) .............................................................. Bekas Penambangan Pada Lokasi Tambang-1 (YS) yang tidak direklamasi. ....................................................... Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................... Peta Lokasi Penambangan................................................... Peta Administrasi Kecamatan Sabangau. ............................ Pengukuran Batas Tepi Galian Pada Lokasi Tambang-6 (ALT). ................................................................................. Truck Pengangkut Bahan Galian Pasir Di Lokasi Tambang-7 (BAD)........................................................... Kondisi Jalan Mahir Mahar Pada Jalan Masuk Menuju Lokasi Tambang-6 (ALT) ............................................... Kondisi Jalan Tambang Pada Lokasi Tambang-6 (ALT)................................................................................. Kondisi Jalan Tambang Pada Lokasi Tambang-7 (BAD). ............................................................................... Lahan Bekas Tambang Di Lokasi Tambang-1 (YS) yang tidak direklamasi. ....................................................... Lapisan Gambut Yang Tidak Dikembalikan Di Lokasi Tambang-5 (HS). ............................................................. Pengukuran Ketebalan Gambut Pada Lokasi Tambang-3 (HS). ....................................................................................

23

Gambar. 2.

24

Gambar. 3.

25 28 30 41

Gambar. 4. Gambar. 5. Gambar. 6. Gambar. 7.

52

Gambar. 8.

54

Gambar. 9.

56

Gambar. 10.

57

Gambar. 11.

57

Gambar. 12.

58

Gambar. 13.

59

Gambar. 14.

60

Gambar. 15.

Pengukuran Ketebalan Gambut Pada Lokasi Tambang-3 (HS). .................................................................................... Pengambilan Sampel Tanah pada Lokasi di Luar Kegiatan Penambangan. ...................................................... Pengambilan Sampel Tanah pada Lahan Kegiatan Penambangan. ..................................................................... Pengambilan Sampel Air di Luar Kegiatan Penambangan (kondisi Belum Terusik). .................................................... Pengambilan Sampel Air pada Lubang Bekas Galian Tambang. ............................................................................. Bekas galian yang menjadi danau / kolam di lokasi Tambang-6 (ALT). .......................................................... Model Reklamasi Yang Dijadikan Kolam Persediaan Air. Papan Reklame Kegiatan Pemanfaatan Lahan Bekas Tambang. ............................................................................. Pengembangan Peternakan Itik Petelor dan Itik Pedaging pada Lubang Bekas Galian Pasir......................................... Keramba Jaring Apung pada Lubang Bekas Galian Pasir. . Bekas Lubang Galian Pasir yang Dijadikan Obyek Wisata atau Taman Wisata. ................................................. Bekas Lubang Galian Pasir yang Dijadikan Obyek Wisata atau Taman Wisata. ................................................. Penampang Lahan Sebelum Direklamasi ........................... Penampang Lahan yang Ditimbun Sampah Organik .......... Penampang Lahan yang Dilapisi Timbunan Tanah Urug dan atau Gambut. ................................................................ Penampang Lahan yang Telah Dilapisi Tanah Subur. ........ Penampang Lahan Bekas Tambang yang Telah Direklamasi. ........................................................................

60

Gambar. 16.

61

Gambar. 17.

62

Gambar. 18.

66

Gambar. 19.

66

Gambar. 20.

81 84

Gambar. 21. Gambar. 22.

85

Gambar. 23.

85 86

Gambar. 24. Gambar. 25.

87

Gambar. 26.

87 88 89

Gambar. 27. Gambar. 28. Gambar. 29.

89 90

Gambar. 30. Gambar. 31.

90

Gambar. 32.

Penampang Lahan Bekas Tambang yang Telah Direklamasi. ........................................................................

91

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran. 1. Lampiran. 2. Bobot Penilaian (skor) Untuk Beberapa Variabel ............... Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang 1 (YS). ................................................................. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang 2 (CV.DG).. ......................................................... Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang 3 (AS) .................................................................. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang 4 (ZB) .................................................................. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang 5 (HS) ................................................................. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang 6 (ALT) .............................................................. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang 7 (BAD)............................................................... Data Hasil Analisis Tanah................................................... Data Hasil Analisis Kualitas Air. ........................................ Hasil Analisa Benthos. ........................................................ Peta Sebaran Bahan Galian. ................................................ Peta Sebaran Bahan Tambang di Kecamatan Sabangau. .... Peta Perijinan Tambang di Kecamatan Sabangau ............... Peta Geologi Kota Palangka Raya. ..................................... Peta Formasi Geologi. ......................................................... Peta Sebaran Kelas Lereng.................................................. 100

105

Lampiran. 3.

106

Lampiran. 4.

107

Lampiran. 5.

108

Lampiran. 6.

109

Lampiran. 7.

110

Lampiran. 8.

111 112 113 114 115 116 117 118 119 120

Lampiran. 9. Lampiran. 10. Lampiran. 11. Lampiran. 12. Lampiran. 13. Lampiran. 14. Lampiran. 15. Lampiran. 16. Lampiran. 17.

Lampiran. 18. Lampiran. 19.

Peta Jenis Tanah. ................................................................. Peta Penutupan Lahan Berdasarkan Data DEPHUT Wilayah Kecamatan Sabangau. ........................................... Peta Fungsi Kawasan Berdasarkan TGHK Wilayah Kecamatan Sabangau. ......................................................... Peta Fungsi Kawasan Berdasarkan Tata Ruang Wilayah Kecamatan Sabangau. ......................................................... Peta Tata Ruang Wilayah Kota Palangka Raya Tahun 2009 - 2029. ........................................................................ Peta Kawasan Lindung. ....................................................... Peta Kawasan Budidaya. ..................................................... Peta Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya. ........

121

122

Lampiran. 20.

123

Lampiran. 21.

124

Lampiran. 22.

125 126 127 128

Lampiran. 23. Lampiran. 24. Lampiran. 25.

I. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Sumberdaya tambang merupakan salah satu modal dasar pembangunan

yang memiliki sifat khusus dibandingkan dengan sumberdaya alam yang lain, di mana sumberdaya tambang ini tidak dapat diperbaharui kembali, dengan kata lain industri pertambangan merupakan industri tanpa daur ulang. Pengusahaan

pertambangan selalu berhadapan dengan berbagai permasalahan yang harus dapat diatasi seperti kesehatan dan keselamatan kerja serta lingkungan, sehingga diperlukan penerapan sistem penambangan yang sesuai, baik ditinjau dari segi

teknis maupun ekonomis (Ambyo,1995 dalam Distamben Kota Palangka Raya, 2005). Sumberdaya tambang di Kota Palangka Raya cukup bervariasi dan melimpah, meliputi batubara, emas, zirkon, serta bahan galian golongan C.

Sumberdaya bahan galian golongan C seperti pasir kuarsa, kaolin, pasir urug, tanah urug, kerikil dan batuan granit dimanfaatkan sebagai bahan bangunan Adapun jenis dan perkiraan cadangan

(Distamben Kota Palangka Raya, 2005).

bahan galian yang terdapat di Kota Palangka Raya dapat dilihat pada tabel 1. Seiring dengan pesatnya pembangunan fisik di Kota Palangka Raya, maka kebutuhan akan bahan baku yang berasal dari bahan galian golongan C semakin banyak. bangunan, Bahan ini antara lain dimanfaatkan untuk bahan urugan, bahan material bahan baku industri dan bahan untuk hiasan. Pemenuhan akan

kebutuhan bahan baku ini semakin meningkatkan aktivitas penambangan bahan

galian tersebut.

Di dalam melakukan aktivitas penambangan, pada saat ini

masyarakat penambang sudah menggunakan alat-alat mekanik seperti excavator (back hoe) dan bulldozer. penambangan, Namun demikian dalam pelaksanaan kegiatan

masyarakat belum membuat perencanaan yang baik dari

persiapan, pelaksanaan penambangan sampai dengan pengelolaan lahan pasca penambangan. Kondisi ini akan berpotensi mengakibatkan terjadinya kerusakan

lahan akibat penambangan tersebut (Najib, 2006). Tabel 1. Jenis dan perkiraan cadangan bahan galian di setiap Kecamatan di Kota Palangka Raya.
No. Jenis Bahan Galian Pasir Kuarsa Kaolin Lempung Granit / Grano diorit Gambut Zirkon Pahandut (m3) Tidak Ada Data -------------17.252.409,81 -------------Jekan Raya (m3) 75.371.886,18 ---------10.309.535,33 --------Kecamatan Sabangau (m3) 42.180.728,43 13.900.000 ton 30.822.349,45 258.210 Bukit Batu (m3) 1.556.763 ----------166.500.000 950.000.000 Rakumpit (m3) 365.780.400 142.483.200 Tidak Ada Data -------------

1. 2. 3. 4.

5. 6.

Tidak Ada Data Tidak Ada Data

12.126.388,9

21.955.516,3

455.500.000

Tidak Ada --------------78.382.000 Data 7. Emas -------------Tidak Ada --------------Tidak Ada Tidak Ada Plaser Data Data Data Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya, Laporan Inventarisasi, Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Mineral, Tahun 2005.

Tidak Ada Data 156.764.000

Kebijakan pembangunan perekonomian Kota Palangka Raya cenderung belum menempatkan sumberdaya tambang sebagai bagian penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Artinya Kota Palangka Raya belum

secara optimal memanfaatkan sumberdaya tambang bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Sementara itu terangkatnya isu kerusakan lingkungan Kondisi

di Kota Palangka Raya pada saat ini justru di bidang pertambangan.

tersebut menuntut Pemerintah Kota Palangka Raya perlu menentukan arah dan

sikap dalam menetapkan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tambang (Distamben Kota Palangka Raya, 2005). Kegiatan penambangan bahan galian pasir di Kota Palangka Raya banyak diusahakan oleh perorangan maupun perusahaan-perusahaan kecil yang biasanya terbatas pada material untuk memenuhi permintaan dari pembangunan fisik, yang merupakan kegiatan pembangunan pekerjaan umum dengan jenis bahan tambang terdiri dari pasir, batu dan tanah urug (Distamben Kota Palangka Raya, 2005).

1.2.

Perumusan Masalah Kelurahan Kalampangan yang jaraknya 18 km dari Kota Palangka Raya

merupakan daerah eks transmigrasi yang berhasil di lahan gambut.

Petani di

Kelurahan Kalampangan mampu mengolah lahan gambut marjinal menjadi lahan pertanian produktif. Pola tanam yang dikembang petani di Kelurahan Kalampangan yakni pola tanam rotasi dengan berbagai komoditas sayur-sayuran sehingga memberikan hasil pendapatan yang berkesinambungan (Firmansyah, 2008). Sementara itu, isu kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan pasir

justru terjadi di Kelurahan Kalampangan. Kegiatan panambangan pasir di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya dengan sistem tambang terbuka menggunakan alat mekanik seperti excavator (back hoe) mempunyai pengaruh terhadap kerusakan lahan. Dengan kondisi tersebut, maka timbul beberapa permasalahan yang ada

pada kegiatan penambangan pasir tersebut :

a.

Bagaimana tingkat kerusakan lahan yang terjadi pada lokasi penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan ?.

b.

Apa dampak yang terjadi akibat penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan ?.

c.

Bagaimana pengelolaan lingkungan pada lokasi penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan ?. Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka penulis menduga adanya

suatu perubahan lahan dalam wilayah administratif Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya sebagai akibat dari kegiatan penambangan pasir. Dalam hal ini penulis ingin mengetahui tingkat kerusakan lahan dan dampak lingkungan sebagai akibat dari kegiatan penambangan pasir serta pengelolaan lingkungan di lokasi penambangan pasir. Untuk itu judul penelitian

ini adalah Kajian Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Pasir Di Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya.

1.3.

Tujuan Penelitian Sejalan dengan orientasi latar belakang dan rumusan masalah yang ada,

maka penelitian ini bertujuan untuk : a. Mendapatkan deskripsi tingkat kerusakan lahan yang terjadi pada lokasi penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan; b. Teridentifikasinya dampak lingkungan yang terjadi akibat kegiatan penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan;

c.

Mengajukan usulan pengelolaan lingkungan pada lokasi penambangan pasir dalam rangka pengendalian kegiatan penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan.

1.4.

Manfaat Penelitian Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

masukan dan saran kepada Pemerintah Kota Palangka Raya dalam upaya pembinaan dan pengawasan di bidang pertambangan umum khususnya

pertambangan bahan galian golongan C (penambangan pasir) di Kota Palangka Raya. Selain dari pada itu, diharapkan juga dapat menambah wawasan dan

pengetahuan tentang konsep pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan penataan dan pengaturan usaha serta pengendalian kegiatan penambangan pasir.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Lahan, Daya Dukung Lahan dan Kerusakan Lahan Lahan adalah hamparan di muka bumi berupa bagian (segment) sistem

terestrik yang merupakan suatu perpaduan sejumlah sumberdaya alam dan binaan. Lahan juga merupakan wahana sejumlah ekosistem. Lahan merupakan suatu wilayah (region), yaitu suatu satuan ruang berupa suatu lingkungan hunian masyarakat manusia dan masyarakat hayati yang lain. Sebagai suatu lingkungan hunian masyarakat hayati, lahan memberikan gambaran tentang keseluruhan keadaan luar tempat suatu organisme, masyarakat organisme atau obyek berada, yang melingkupi dan mempengaruhi keberadaan (existence) organisme, masyarakat organisme atau obyek dimaksud. Lahan merupakan penjelmaan

keseluruhan faktor atau kekuatan (force) di suatu tapak (site) yang mempengaruhi atau berperan dalam hidup dan kehidupan suatu makhluk atau masyarakat makhluk (Notohadiprawiro, 2006). Sedangkan menurut Purwowidodo (1991), lahan mempunyai pengertian yakni suatu lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Lahan berkonsep holistik, dinamik dan geografik. Konsepnya bersifat

holistik karena berpangkal pada kebulatan ujud dan fungsi komponenkomponennya. Konsepnya bersifat dinamik karena nasabah struktural dan

fungsional antar komponennya dapat berganti menurut tempat dan waktu.

Konsepnya bersifat geografik karena lahan digambarkan sebagai suatu hamparan yang dicirikan oleh berbagai tampakan muka daratan dan pola agihannya (distribution pattern) (Notohadiprawiro, 2006). Lahan (land) diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas, iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap potensi penggunaan lahan. termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti tersalinisasi. Dalam hal ini, lahan juga mengandung makna pengertian ruang dan tempat. Dengan demikian maka lahan mengandung makna yang lebih luas dari tanah atau topografi (FAO, 1976, dalam Arsyad, 2006), Selain itu pengertian lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang (FAO, 1976, dalam Sitorus, 2003). Berdasarkan pengertian di atas, maka tanah merupakan salah satu komponen lahan. Dalam hal ini tanah merupakan suatu tampakan berupa

hamparan yang dinamakan pedosfer (Notohadiprawiro., 1999). Semua sumberdaya alam menjadi komponen lahan, yaitu atmosfer (udara, iklim, musim), pedosfer (tanah), bentuk muka bumi, geologi (batuan, mineral, bahan tambang), hidrologi (air), dan biosfer (flora, fauna). Sumberdaya binaan

adalah hasil rekayasa manusia pada masa lampau atau pada masa kini. Sumberdaya binaan menjadi komponen lahan apabila kehadirannya berpengaruhi penting atas penggunaan lahan pada masa kini dan pada masa mendatang, seperti waduk, hamparan sawah, kawasan industri, jaringan jalan besar, kota. Jadi,

komponen lahan ialah segala tampakan dan gejala baik yang bersifat tetap (contoh tanah) maupun yang bersifat mendaur (contoh musim), yang menentukan nilai guna lahan untuk manusia (Notohadiprawiro, 2006). Batasan pengertian daya dukung lahan yaitu kemampuan sebidang lahan dalam mendukung kehidupan manusia (Soemarwoto, 2000 dalam Inkantriani, 2008). Daya dukung lahan (land carrying capacity) dinilai menurut ambang batas kesanggupan lahan sebagai suatu ekosistem menahan keruntuhan akibat dampak penggunaan. Konsep daya dukung merujuk pada, yakni : (1) tingkat penggunaan lahan; (2) pemeliharaan secara berkesinambungan terhadap mutu lingkungan; (3) tujuan pengelolaan; (4) biaya pemeliharaan; (5) penggunaan sumberdaya (George Payot dalam Schwarz, dkk., 1976, dalam Notohadiprawiro, 1999). Sedangkan menurut Hadi, 2005, dalam Inkantriani, 2008, Approprieated carrying capacity adalah lahan yang dibutuhkan untuk dapat menyediakan sumberdaya alam dan mengabsorbsi limbah yang dibuang. Konsep daya dukung lahan ini menjadi alat untuk menguji lahan yang dibutuhkan untuk mendukung aktivitas ekonomi kita. Konsep daya dukung lahan akan membawa pengaruh dalam perencanaan, diantaranya :

a.

Penerapan tata ruang perencanaan

yang tepat, dalam arti bahwa

pengembangan sumber daya alam harus memperhitungkan daya dukungnya. b. Penempatan berbagai macam aktivitas yang mendayagunakan sumberdaya alam harus memperhatikan kapasitasnya dalam mengabsorbsi perubahan yang diakibatkan oleh aktivitas tersebut. c. Sumberdaya alam di suatu wilayah hendaknya dialokasikan ke dalam beberapa zona diantaranya hutan lindung, wilayah industri, perkebunan, daerah aliran sungai. d. Perlunya standar kualitas lingkungan seperti standar ambient untuk air permukaan, air tanah dan air laut dan kualitas udara (Inkantriani, 2008). Makna daya dukung bermacam-macam tergantung pada kepuasan yang ingin diperoleh pengguna lahan. Ada daya dukung menurut ukuran estetika,

rekreasi, hayati, ekologi, ekonomi, fasilitas, sosial, psikologi, dan kehidupan margasatwa. Daya dukung lahan berkenaan dengan kekayaan lahan

(Notohadiprawiro, 1999). Kerusakan lahan (land degradation) merujuk kepada penurunan kapasitas lahan bagi produksi atau penurunan potensi bagi pengelolaan lingkungan yang dengan kata lain ialah penurunan mutu lahan (Pieri, dkk., 1995, dalam Notohadiprawiro, 1999). Menurut Arsyad, 1989, dalam Anto, 2008, Kerusakan lahan dapat disebabkan oleh satu atau beberapa faktor apakah karena iklim, keadaan tanah, keadaan air atau gabungan diantaranya.

Kerusakan lahan dapat terjadi secara alami atau akibat aktivitas manusia. Secara alami sebagian besar disebabkan bencana alam, sedangkan akibat aktivitas manusia adalah pembukaan lahan hutan menjadi pemukiman atau tegalan tanpa memperhatikan kaidah konservasi, penebangan liar, penambangan liar (tanpa izin) dan ladang berpindah, akan menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah. Tekanan penggunaan lahan melebihi daya dukung lahan

akan menyebabkan terjadinya kerusakan lahan (Anto, 2008). Akibat kerusakan tidak terbatas pada lahan tempat kerusakan itu terjadi, akan tetapi dapat menyebar mengenai tapak-tapak yang berada di luarnya, misalnya, erosi di lahan hulu menimbulkan sedimentasi di lahan hilir atau mengotori air sungai dengan bahan tersuspensi yang berasal dari bahan erosi (Notohadiprawiro, 1999). Secara umum pengertian kerusakan lahan dapat dibagi 2 (dua) kategori, yaitu : 1). Kerusakan lahan secara kualitas, artinya sifat-sifat fisik dan kimiawi lahan sudah rusak sehingga tidak berfungsi lagi sesuai potensinya. Hal ini

disebabkan karena adanya pencemaran, baik yang sengaja maupun tidak, seperti pemakaian pupuk yang tidak terkontrol dengan baik, pemakaian pestisida dan zat-zat kimia lain yang berfungsi untuk mengontrol pengganggu tanaman, dan pola tanam yang tidak beraturan bisa menyebabkan lahan menjadi rusak dan tidak produktif, 2). Kerusakan lahan secara kuantitas, artinya secara luasan lahan sudah berkurang karena beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi non pertanian (Budi, 2004, dalam Vandalisna, 2008).

Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang, perusakan lahan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan / atau hayati lahan yang mengakibatkan lahan tersebut kurang atau tidak dimanfaatkan lagi sesuai dengan fungsinya dalam menunjang pembangunan yang

berkelanjutan (UU RI Nomor 24 Tahun 1992). Kerusakan lahan dapat terjadi karena peristiwa alam, seperti gempa bumi, longsoran, perubahan iklim. Sedangkan akibat perbuatan manusia (penggundulan vegetasi penutup hulu yang menimbulkan erosi tanah dan / atau banjir, kegiatan penambangan) atau gabungan peristiwa alam dengan perbuatan manusia misalnya kebakaran lahan karena kekeringan (Notohadiprawiro, 1999).

2.2.

Pengelolaan dan Penentuan Kelayakan Penambangan Kegiatan pertambangan diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang

meliputi

penyelidikan

umum,

eksplorasi,

studi

kelayakan,

konstruksi,

penambangan (termasuk pengolahan dan pemurnian), pengangkutan / penjualan dan rehabilitasi lahan pasca tambang. Pengelolaan pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik secara teknis maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri maupun terhadap lingkungan. Pengelolaan

pertambangan sering hanya dilakukan pada saat penambangan saja. Hal ini dapat dimengerti, karena pada tahap inilah dinilai paling banyak atau sering menimbulkan permasalahan apabila tidak dikelola dengan baik dan benar.

Sebelum suatu deposit bahan tambang ditambang, perlu dilakukan kajian terlebih dahulu apakah deposit tersebut layak untuk ditambang ditinjau dari berbagai aspek. Dengan demikian pengelolaan pertambangan secara garis besar perlu dilakukan pada 3 (tiga) jenis tahapan kegiatan, yaitu 1). tahap persiapan atau kegiatan awal berupa penentuan kelayakan penambangan, kemudian 2). tahap eksploitasi yakni kegiatan pada saat penambangan, dan selanjutnya 3). kegiatan reklamasi lahan pasca penambangan (Kusuma, 2008). Deposit bahan tambang yang terdapat pada suatu daerah harus dikaji terlebih dahulu, apakah deposit tersebut layak untuk ditambang. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan yang tidak diharapkan dan terjadinya konflik kepentingan penggunaan lahan (Kusuma, 2008). Sedangkan aspek-aspek yang perlu dikaji adalah sebagai berikut (Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007 dalam Kusuma, 2008) : a). Aspek penggunaan lahan pada dan di suatu lokasi deposit bahan tambang : dalam rangka harmonisasi pemanfaatan ruang, sebelum bahan tambang diusulkan untuk ditambang, maka perlu diperhatikan terlebih dahulu peruntukan lahan dimana bahan tambang tersebut berada. Apabila terletak pada peruntukan lahan yang berdasarkan peraturan perundangundangan ataupun fungsinya tidak boleh untuk kawasan budidaya, maka bahan tambang tersebut tidak boleh / tidak layak untuk ditambang.

b).

Aspek geologi : kajian aspek geologi dilakukan setelah selesai kegiatan eksplorasi bahan tambang dimana jenis, sebaran, kuantitas dan kualitasnya sudah diketahui. Adapun yang menjadi kajian dalam aspek geologi yakni : Topografi Kajian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai letak atau lokasi deposit bahan tambang. Apakah terdapat di daerah pedataran, perbukitan bergelombang atau landai (kemiringan lereng antara 0o dan 17o), terjal (kemiringan lereng antara 17o dan 36o) atau sangat terjal (kemiringan lereng >36o). Lereng yang sangat terjal dan curam akan mempersulit teknik penambangannya, terutama untuk sistem tambang terbuka (open-pit mining). Tanah penutup Ketebalan tanah yang menutupi deposit bahan tambang sangat bervariasi, tipis (beberapa cm), sedang (beberapa cm hingga 1 m), dan tebal (lebih dari 1 m). Mengetahui ketebalan tanah penutup ini

penting karena menyangkut masalah teknik penambangannya, terutama mengenai penempatan tanah penutup tersebut. Sifat fisik dan keteknikan tanah / batuan Kajian sifat fisik tanah / batuan antara lain meliputi warna, tekstur, dan kondisi batuan apakah padat, berongga, keras atau bercelah. Sifat keteknikan meliputi kuat tekan / daya dukung batuan, ketahanan lapuk, daya kohesi, dan besaran sudut geser tanah. Sifat keteknikan tanah / batuan dapat dipergunakan untuk menganalisis desain

tambang, terutama besaran sudut lereng tambang dalam kaitannya dengan kestabilan lereng. Hidrogeologi Hal penting dari kajian hidrogeologi adalah apakah deposit bahan tambang terletak di daerah imbuhan air tanah atau dekat dengan mata air yang penting. Juga perlu diperhatikan kondisi air tanah di sekitarnya apakah bahan tambang tersebut terdapat pada alur sungai yang merupakan salah satu sumberdaya alam yang berfungsi serbaguna. Kebencanaan geologi Kajian ini untuk mengetahui apakah lokasi bahan tambang tersebut terletak pada atau di dekat daerah rawan gerakan tanah, jalur gempa bumi, daerah bahaya gunung api, daerah rawan banjir, daerah mudah tererosi. Kawasan lindung geologi Kajian ini untuk melihat apakah lokasi bahan tambang tersebut terletak pada Kawasan Lindung Geologi atau tidak. Kawasan

Lindung Geologi adalah suatu daerah yang memiliki ciri / fenomena ke-geologi-an yang unik, langka dan khas sebagai akibat dari hasil proses geologi masa lalu dan atau yang sedang berjalan yang tidak boleh dirusak dan atau diganggu, sehingga perlu dilestarikan, terutama untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pariwisata. Fenomena kegeologi-an tersebut antara lain berupa keunikan batuan dan fosil,

keunikan bentang alam (misalnya kaldera, kawah, gumuk vulkanik, gumuk pasir, kubah, dan bentang alam karst), dan keunikan proses geologi (misalnya mud-volcano dan sumber api alami). c). Aspek Sosial ekonomi dan budaya ; kajian ini antara lain meliputi jumlah dan letak pemukiman penduduk di sekitar lokasi penambangan, adat-istiadat dan cagar / situs budaya (termasuk daerah yang

dikeramatkan). Selain itu, untuk menghindari atau menekan sekecil mungkin dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan penambangan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah : (1). lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah resapan atau pada akuifer sehingga tidak akan mengganggu kelestarian air tanah di daerah sekitarnya; (2). lokasi penambangan sebaiknya terletak agak jauh dari pemukiman penduduk sehingga suara bising ataupun debu yang timbul akibat kegiatan penambangan tidak akan mengganggu penduduk; (3). lokasi penambangan tidak berdekatan dengan mata air penting sehingga tidak akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air dari mata air tersebut, juga untuk menghindari hilangnya mata air; (4). lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah aliran sungai bagian hulu (terutama tambang batuan) untuk menghindari terjadinya pelumpuran sungai yang dampaknya bisa sampai ke daerah hilir yang akhirnya dapat menyebabkan banjir akibat pendangkalan sungai. Hal ini harus lebih diperhatikan terutama di kota-

kota besar dimana banyak sungai yang mengalir dan bermuara di wilayah kota besar tersebut; (5). lokasi penambangan tidak terletak di kawasan lindung (cagar

alam, taman nasional); (6). lokasi penambangan hendaknya dekat dengan konsumen untuk menghindari biaya transportasi yang tinggi sehingga harga jual material tidak menjadi mahal; (7). lokasi penambangan tidak terletak dekat dengan bangunan infrastruktur penting, misalnya jembatan dan menara listrik tegangan tinggi. Juga sedapat mungkin letaknya tidak dekat dengan gedung

sekolah sehingga tidak akan mengganggu proses belajar dan mengajar. Hasil kajian dari berbagai aspek tersebut, digabung dengan aspek peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis untuk menentukan

kelayakan penambangan suatu deposit bahan tambang. Hasil analisis kelayakan menghasilkan 2 (dua) kategori, yaitu layak tambang dan tidak layak tambang. Layak tambang bukan berarti kegiatan penambangan tanpa aturan, melainkan

harus mengikuti kaidah-kaidah penambangan yang berlaku agar dampak negatif terhadap lingkungan akibat adanya kegiatan penambangan dapat dihindari atau ditekan sekecil mungkin. Selain itu, konflik / tumpang tindih kepentingan

penggunaan lahan juga dapat dihindari. Setelah suatu deposit bahan tambang dinyatakan layak untuk ditambang, maka selanjutnya bahan tambang tersebut akan ditambang (dieksploitasi). Dalam eksploitasi ini juga diperlukan suatu pengelolaan yang berwawasan lingkungan. Hal ini berkaitan erat dengan teknik penambangan yang akan dipergunakan, termasuk pembuatan dan penempatan infrastruktur tambang. Dalam suatu kegiatan penambangan biasanya terdiri dari beberapa tahapan yaitu (Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007 dalam Kusuma, 2008) :

a).

Tahap Persiapan ; pada tahapan persiapan ini biasanya didahului dengan kegiatan pengangkutan berbagai jenis peralatan tambang, termasuk bahanbahan bangunan untuk pembuatan perkantoran, gudang, perumahan (jika ada) dan fasilitas-fasilitas tambang yang lain, pembukaan lahan (landclearing), dan selanjutnya adalah pembuatan / pembukaan jalan tambang. Dalam hal pengangkutan peralatan tambang dan bahan-bahan bangunan, yang perlu diperhatikan adalah jalan yang akan dilalui. Perlu

diperhitungkan lebar jalan, apakah dijalan tersebut terdapat jembatan (bagaimana kondisinya), apakah melewati pemukiman penduduk, berapa kali kendaraan melintasi jalan tersebut dan jenis maupun kapasitas truck pengangkut. Hal-hal tersebut perlu diperhitungkan secara matang agar tidak terjadi dampak negatif terhadap lingkungan di sepanjang jalan yang akan dilalui, baik terhadap manusia maupun fisik alam itu sendiri. Beberapa contoh dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh adanya kegiatan pengangkutan ini apabila tidak dikelola dengan baik, antara lain jalan menjadi rusak (banyak lubang, becek di musim hujan), kecelakaan lalu-lintas (karena jalan terlalu sempit, atau kondisi jembatan kurang memenuhi syarat), debu bertebaran yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (karena jalan berupa tanah dan dilalui kendaraan pada musim kemarau), dan gangguan kebisingan. Pada kegiatan pembukaan lahan

perlu diperhatikan kemiringan dan kestabilan lereng, bahaya erosi dan sedimentasi (karena penebangan pepohonan, terutama saat musim hujan), serta hindari penempatan hasil pembukaan lahan terhadap sistem drainase

alam yang ada.

Demikian pula pada saat pembuatan jalan tambang.

Lokasi pembuatan fasilitas tambang, seperti perkantoran, gudang, dan perumahan perlu memperhatikan kondisi tanah / batuan dan kemiringan lerengnya. kemungkinan Sedapat mungkin hindari lokasi yang berlereng terjal dan rawan longsor. Jika diperlukan pembuatan kolam

pengendapan, letakkan pada lokasi yang sifat batuannya kedap air, misalnya batu lempung, dan tidak pada batuan yang banyak kekarkekarnya. Hal ini untuk menghindari terjadinya kebocoran. Bila kondisi

batuan tidak memungkinkan, maka kolam pengendapan bisa dibuat dari beton, walaupun memerlukan tambahan biaya. b). Tahap Eksploitasi ; kegiatan yang dilakukan pada tahap ini utamanya berupa penambangan / penggalian bahan tambang dengan jenis dan keterdapatan bahan tambang yang berbeda-beda. Dengan demikian teknik / tata cara penambangannya berbeda-beda pula. Bahan tambang yang terdapat di daerah perbukitan, walaupun jenisnya sama, misalnya pasir, teknik penambangannya akan berbeda dengan deposit pasir yang terdapat di daerah dataran, apalagi yang terdapat di dalam alur sungai. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut : Jenis, sebaran dan susunan perlapisan batuan yang terdapat di sekitar deposit bahan tambang, termasuk ketebalan lapisan tanah penutup; Sifat fisik dan keteknikan tanah / batuan; Kondisi hidrogeologi (kedalaman muka air tanah dangkal dan / dalam, pola aliran air tanah, sifat fisika dan kimia air tanah dan air

permukaan, letak mata air dan besaran debitnya, letak dan pola aliran sungai berikut peruntukannya, sistem drainase alam); Topografi / kemiringan lereng; Kebencanaan geologi (kerawanan gerakan tanah, bahaya letusan gunung api, banjir, kegempaan); Kandungan unsur-unsur mineral yang terdapat dalam batuan yang terdapat di sekitar deposit bahan tambang, misalnya pirit Dengan mengetahui dan kemudian memperhitungkan seluruh data-data tersebut, maka dapat ditentukan teknik penambangan yang sesuai, sehingga dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan

penambangan dapat dihindari atau ditekan sekecil mungkin. c). Tahap Reklamasi ; kegiatan reklamasi tidak harus menunggu sampai seluruh kegiatan penambangan berakhir, terutama pada lahan

penambangan yang luas. Reklamasi sebaiknya dilakukan secepat mungkin pada lahan bekas penambangan yang telah selesai dieksploitasi, walaupun kegiatan penambangan tersebut secara keseluruhan belum selesai karena masih terdapat deposit bahan tambang yang belum ditambang. Sasaran

akhir dari reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan pada tahap reklamasi adalah sebagai berikut:

Rencana reklamasi sebaiknya dipersiapkan sebelum pelaksanaan penambangan; Luas areal yang direklamasi sama dengan luas areal penambangan; Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi; Mengembalikan / memperbaiki pola drainase alam yang rusak; Menghilangkan / memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun (jika ada) sampai ke tingkat yang aman sebelum dibuang ke suatu tempat pembuangan; Mengembalikan lahan seperti semula atau sesuai dengan tujuan penggunaan; Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi; Memindahkan seluruh peralatan yang sudah tidak digunakan lagi ke tempat yang dianggap aman; Permukaan tanah yang padat harus digemburkan, atau ditanami dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras; Jenis tanaman yang akan dipergunakan untuk revegetasi harus sesuai dengan rencana rehabilitasi (dapat berkonsultasi dahulu dengan dinas terkait); Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya; Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan.

Dalam beberapa kasus, lahan bekas penambangan tidak harus seluruhnya direvegetasi, namun dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain, misalnya menjadi kolam persediaan air, padang golf, perumahan, dan sebagainya apabila dinilai lebih bermanfaat atau sesuai dengan rencana tata ruang. Oleh karena itu, sebelum merencanakan reklamasi, sebaiknya

berkonsultasi dahulu dengan pemerintah daerah setempat, pemilik lahan atau instansi terkait lainnya (Kusuma, 2008).

2.3.

Pemanfaatan Lahan Untuk Penambangan Pasir Pemanfaatan lahan atau penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk

campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian

dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan atau yang dimanfaatkan, jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam-macam penggunaan lahan seperti Sedangkan

tegalan, sawah, kebun, hutan produksi dan hutan lindung.

penggunaan lahan bukan pertanian meliputi pemukiman, industri, rekreasi dan pertambangan (Dit. Land Use, 1967, dalam Arsyad, 2006). Dengan adanya program pembangunan fisik, maka kebutuhan akan bahan baku yang berasal dari bahan galian golongan C semakin banyak terutama pasir. Pemenuhan kebutuhan bahan baku ini menyebabkan semakin meningkatnya

aktivitas penambangan bahan galian tersebut, yang mengakibatkan terjadinya pergeseran penggunaan lahan pertanian menjadi lahan pertambangan. Di dalam melakukan aktivitas penambangan, masyarakat penambang

sudah menggunakan alat-alat mekanik seperti excavator. Namun demikian dalam pelaksanaan kegiatan penambangan, masyarakat belum membuat perencanaan yang matang, baik dari segi persiapan, pelaksanaan penambangan sampai dengan pengelolaan lahan pasca penambangan. Kondisi ini akan berpotensi

mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan akibat penambangan tersebut (Najib, 2006).

2.4.

Kerusakan Lingkungan Akibat Penambangan Pasir Kriteria kerusakan lingkungan bagi usaha atau kegiatan penambangan

bahan galian golongan C berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 43 Tahun 1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan pasal 1 butir (5) menyebutkan bahwa Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi penambangan yang menunjukkan indikatorindikator terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan adalah

perubahan yang terjadi akibat tindakan manusia yang langsung maupun tidak langsung terhadap sifat fisik dan lingkungan hayati, yang mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan (Syah, 1987).

Penambangan bahan galian pasir diawali dengan pembersihan vegetasi permukaan. Kemudian dilanjutkan dengan pengupasan tanah pucuk (top soil),

setelah itu dilakukan penggalian atau eksploitasi dengan alat mekanik seperti yang terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Kegiatan pembersihan vegetasi, yang dilanjutkan dengan pengupasan tanah pucuk / top soil pada lokasi Tambang-3 (HS) (photo diambil tanggal 09 Juni 2009, Dokumentasi Seksi Geologi Tata Lingkungan Distamben Kota Palangka Raya).

Pada saat kegiatan penambangan ini berjalan, terjadi perubahan karakteristik lahan baik fisik - kimia dan biotik lahan yang ditandai dengan terjadinya proses erosi, terganggunya tatanan air, hilangnya lapisan tanah atau berubahnya sifat-sifat fisik, dan biologi tanah. Lubang bekas galian menyebabkan rusaknya lahan atau bentang alam setempat seperti terlihat pada gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Lubang bekas galian penambangan pada lokasi Tambang-4 (ZB) (photo diambil tanggal 14 Pebruari 2010).

Sedangkan reklamasi yang tidak terencana atau bahkan tidak dilaksanakannya reklamasi lahan, menyebabkan proses perusakan lahan ini terus berlanjut hinga berakhir masa penambangan (Najib, 2006) dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Lubang bekas galian penambangan pada lokasi Tambang-1 (YS) yang tidak direklamasi (photo diambil tanggal 14 Pebruari 2010).

Kegiatan manusia yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau kelangkaan sumberdaya alam berlangsung dalam tiga cara: (1). jika sumberdaya di-eksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya; (2). kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, dan (3). akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang (Mitchell, dkk, 2007). Kerusakan lingkungan akibat usaha pertambangan antara lain disebabkan oleh berbagai bentuk gangguan atau kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian pasir. Adapun kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian pasir dapat di lihat pada tabel 2.

Tabel. 2. Bentuk kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian pasir. No 1 Aspek lahan yang rusak / terganggu Bentang alam Bentuk kerusakan Terbentuknya lubang galian yang dalam, memiliki relief dasar lubang yang tidak beraturan Hilang atau berubahnya struktur vegetasi / penutup lahan Hilangnya tanah pucuk (top soil), tanah tertutup oleh kerikil atau batuan, serta berubahnya sifat fisik, kimia dan biologis tanah (aerasi, drainase). Berubahnya muka air tanah, munculnya genangan, menurunnya kualitas air.

2 3

Vegetasi / penutup lahan Tanah

Hidrologi

Sumber : Kep.Men.LH No. 43/MENLH/10/1996.

Sedangkan tingkat risiko gangguan akibat kerusakan lahan seperti pada tabel 3. di bawah ini : Tabel. 3. Tingkat risiko gangguan akibat kerusakan lahan Nilai 1 2 3 Tata Guna Lahan dan Fungsi Kawasan Tanaman kering, tegalan, semak-semak Sawah, kebun, dan ladang Pemukiman, resapan air dan kawasan lindung Resiko Gangguan Resiko gangguan rendah Resiko gangguan sedang Resiko gangguan tinggi

Sumber : Najib, 2006.

Pembukaan hutan untuk jalur transportasi hasil tambang dapat merusak ekosistem hutan dan potensi hidrologi. Perubahan lingkungan yang berlangsung secara alami bercirikan keseimbangan dan keselarasan, sedangkan manusia sesungguhnya mempunyai potensi dan kemampuan untuk merubahnya secara berbeda, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya serta perkembangan kebudayaan pada umumnya. Bahkan seringkali perubahan

itu secara sadar ditimbulkan, walau tahu hal tersebut akan menimbulkan kerugian pada orang lain serta mahluk hidup lainnya, atau kerusakan lingkungan pada umumnya (Darsono, 1995). Variabel dalam penelitian ini meliputi batas tepi galian dari luas ijin pertambangan, tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal, pengangkutan bahan galian, kondisi jalan, luas reklamasi, pengembalian tanah pucuk. Kemudian untuk melengkapi data dari pengamatan fisik lahan

tersebut dilakukan analisis laboratorium yang meliputi : analisis tanah pada lokasi penambangan pasir, analisis kualitas air yang berada di lubang bekas galian pasir dan analisis benthos yang berada di lubang bekas galian pasir.

2.5.

Kerangka Pemikiran Pembangunan menuntut adanya dinamika kemajuan dan seringkali

dimensi lingkungan kurang dapat mengimbangi perkembangan ini.

Sementara

itu terjadi pula pengelolaan sumberdaya alam yang terlalu boros, tidak sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan yang ada. Kegiatan dalam suatu

usaha untuk mengelola sumberdaya alam merupakan suatu kegiatan yang harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Perubahan pada bentang lahan

merupakan awal dari suatu kerusakan dalam mengelola sumberdaya alam baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan sumberdaya alam yang dimaksud adalah pada pelaksanaan teknologi pertambangan mulai dari eksplorasi sampai dengan pengolahan. Pertambangan merupakan suatu kegiatan yang

memberi kesan bahwa kegiatan ini sebagai kegiatan yang memberikan gangguan terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik, biotik maupun sosial (Ambyo, 1995). Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat dari gambar 4. di bawah ini :

Pengembangan Wilayah

Potensi Wilayah

Sumberdaya Pasir Meningkatnya permintaan pasir Kegiatan Penambangan Pasir

Proses Penambangan Pasir

Variabel yang diamati dalam Penelitian

Kerusakan Lahan

Rusak Ringan

Rusak Berat

Rusak Sedang

Pengendalian Kegiatan Penambangan Pasir

Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian.

2.6.

Hipotesis Berdasarkan uraian landasan teori dan tujuan penelitian, maka dapat

dirumuskan hipotesis sebagai berikut: a. Perbedaan tingkat kerusakan lahan dipengaruhi oleh banyaknya kegiatan penambangan pasir. b. Pengendalian kegiatan penambangan pasir akan mengurangi kerusakan pada lahan .

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1.

Tempat dan Waktu Tempat penelitian / observasi ini dilakukan pada 7 (tujuh) lokasi

penambangan di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya seperti pada gambar 5, dan s/d Nopember 2010. waktu penelitian di mulai bulan September

Gambar 5. Peta lokasi penambangan

3.2.

Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini seperti pada tabel 4,

sedangkan sumber data didapat dengan melakukan pengamatan dan pengukuran langsung di lokasi penambangan yaitu dengan pengamatan dan pengukuran pada masing-masing sampel penelitian yang merupakan data primer. Disamping data primer juga data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait yang berhubungan dengan penelitian ini. Tabel 4. Bahan dan alat yang digunakan No. Bahan dan Alat 1. GPS (Global Position System) Fungsi Untuk menentukan lokasi / posisi geografis dan ketinggian dengan bantuan satelit. Untuk menentukan arah. Untuk menentukan arah dan mengukur kemiringan lereng penambangan. Untuk mengambil gambar di lapangan (dokumentasi) Untuk mengukur jarak dan tinggi atau kedalaman penambangan. Untuk mengetahui fungsi kawasan di wilayah Kecamatan Sabangau berdasarkan tata ruang Provinsi Kalimantan Tengah Untuk mengetahui fungsi kawasan di wilayah Kecamatan sabangau berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Untuk mengetahui tutupan lahan (land cover) di wilayah Kecamatan Sabangau berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan.

2. 3. 4. 5. 6.

Kompas Navigasi (Suunto) Kompas Geologi (Bruunton) Kamera Digital Meteran (50 meter) Peta Fungsi Kawasan Berdasarkan Tata Ruang Tahun 2003 Skala 1 : 200.000 Peta Fungsi Kawasan Berdasarkan TGHK Tahun 1982 Skala 1 : 200.000 Peta Penutupan Lahan Berdasarkan Data Dephut Tahun 2009 Skala 1 : 200.000

7.

8.

3.3.

Desain Penelitian Desain penelitian dalam kajian kerusakan lahan ini menggunakan 2 (dua)

pendekatan yakni pendekatan kualitatif verifikatif dan grounded research. Menurut Bungin (2007), pendekatan kualitatif verifikatif pada umumnya dilakukan dalam penelitian studi kasus yang merupakan sebuah upaya pendekatan induktif terhadap seluruh proses penelitian sehingga akan berupaya Pendekatan

mengungkapkan makna yang ada dibalik data yang tampak.

kualitatif memusatkan diri pada suatu unit tertentu dari berbagai fenomena, sedangkan pendekatan grounded research yang diperkenalkan oleh Glaser dan Straus, 1967, dalam Bungin, 2007, merupakan kegiatan penelitian yang langsung ke lapangan, semua kegiatan dilaksanakan di lapangan.

3.4.

Variabel Penelitian Sumber data yang didapat dengan pengamatan dan pengukuran langsung

di lokasi penambangan merupakan variabel fisik lahan berdasarkan kondisi non alamiah meliputi : (1). Batas tepi galian dari luas ijin pertambangan (SIPD/SIPRD); (2). Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal; (3). Pengangkutan bahan galian (truck angkutan); (4). Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian; (5). Luas reklamasi; (6). Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi.

Variabel fisik lahan berdasarkan kondisi non alamiah tersebut di atas yang dipilih untuk memberikan gambaran dalam menentukan tingkat kerusakan lahan. Kemudian untuk melengkapi data dari pengamatan fisik lahan tersebut dilakukan analisis laboratorium yang meliputi : (1). Analisis tanah pada lokasi penambangan pasir, (2). Analisis kualitas air yang berada di lubang bekas galian pasir (3). Analisis benthos yang berada di lubang bekas galian pasir.

3.5.

Metode Penarikan Sampel Metode penelitian dilakukan dengan cara observasi atau pengamatan

langsung di lapangan (grounded research) untuk mendapatkan data primer di lokasi tambang dengan melakukan pengukuran dan pengamatan. Pengambilan

sampel ditentukan pada 7 (tujuh) lokasi penambangan baik yang sudah tidak aktif (tidak beroperasi) maupun yang masih aktif (beroperasi). Data sekunder yang

dikumpulkan berupa hasil-hasil penelitian terdahulu dikumpulkan dari hasil studi perpustakaan, lembaga atau instansi-instansi terkait tingkat Kabupaten / Kota maupun Propinsi, sedangkan pelaksanaan kegiatan penelitian meliputi : a. Melakukan pengukuran dan pengamatan pada 7 (tujuh) lokasi

penambangan yang terdapat di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya. b. c. Pengambilan sampel. Pengumpulan dokumen.

3.6.

Prosedur Pengumpulan data Tahap observasi dan analisis kegiatan penambangan pasir dilakukan

dengan beberapa tahapan : (1) persiapan bahan dan alat, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan dan pengambilan sampel.

3.7.

Metode Analisis Data Dalam penelitian ini, analisis data yang dipakai untuk mengetahui

kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya meliputi analisis deksriptif dari data fisik lahan yang mengacu pada kerusakan lahan akibat penambangan terhadap kondisi non alamiah. Kondisi non alamiah tersebut meliputi batas tepi galian dari luas ijin pertambangan (SIPD/SIPRD), tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal, pengangkutan bahan galian (truck angkutan), kondisi jalan umum yang dilewati oleh truck angkutan bahan galian, luas reklamasi, pengambilan tanah pucuk untuk vegetasi. Kemudian untuk melengkapi data fisik lahan yang berdasarkan kondisi non alamiah dilakukan analisis laboratorium yang meliputi analisis tanah pada lokasi penambangan dengan memperhatikan kriteria penilaian sifat kimia tanah dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (1983). Analisis kualitas air

yang berada di lubang bekas galian mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yang selanjutnya hasil dari pengujian kualitas air tersebut dikonversikan ke dalam skala kualitas lingkungan dalam bentuk indeks

pencemaran (IP) yang prosedur perhitungannya berpedoman pada lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Sedangkan analisis benthos di lubang

bekas galian pasir dilakukan dengan metode analogi, yaitu membandingkan hasil laboratorium dengan skala penilaian kualitas lingkungan biota perairan. Untuk penentuan tingkat kerusakan lahan disetiap lokasi sampel yang terdapat di Kelurahan Kalampangan digunakan tahapan sebagai berikut : (a) Pemilihan variabel Untuk setiap kategori data perlu dipilih variabel yang dapat mewakili kehadiran komponen lingkungan dalam analisis. Variabel yang dipilih adalah yang dipandang penting dan dapat memberikan gambaran yang kuat dari kategori data dalam analisis data. (b) Pengharkatan Satuan yang berbeda dari setiap tolok ukur perlu diberikan harkat / skoring relatif yang mewakili keadaan berjenjang. (c) Menentukan skala / tingkat pengukuran Untuk mendapatkan gambaran komponen utama perlu menjumlahkan nilai skala berbagai variabel di setiap analisis, sehingga diperoleh skala untuk setiap analisis. Skala pengukuran adalah peraturan penggunaan notasi

bilangan dalam pengukuran (Hasan, 2004).

(d)

Klasifikasi Hasil pengukuran (skala) disederhanakan untuk membuat perbedaan antar lokasi sampel melalui skala setiap variabel terpilih pada setiap satuan ukur ke beberapa klas. Dalam menentukan tingkat kerusakan lahan, satuan ukur yang digunakan

mempunyai satuan yang berbeda, sehingga perlu diadakan standarisasi. Cara pembakuan yang digunakan adalah dengan scaling yaitu dilakukan dengan memberikan nilai pada setiap satuan ukur yang dikaji. Formulasi yang digunakan adalah :

Dimana : Bobot penilaian (skor) : 1 = baik; 2 = sedang; 3 = rusak; Jumlah variabel dalam pengamatan : 6 variabel Kelas kerusakan : ringan; sedang; berat = 3 klas maka, skor tertinggi = bobot tertinggi x jumlah variabel =3x6 = 18 skor terendah = bobot terendah x jumlah variabel =1x6 =6 dan klas = 3 sehingga,

Interval klas adalah :

Dalam penentuan klasifikasi tingkat kerusakan lahan perlu dirumuskan metode klasifikasi. berikut: a. Klas I dengan skor 6 - 9, menunjukkan bahwa kriteria kerusakan lahan adalah ringan; b. Klas II dengan skor 10 - 13, menunjukan bahwa kriteria kerusakan lahan adalah sedang; c. Klas III dengan skor 14 - 18, menunjukan bahwa kriteria kerusakan lahan adalah berat. Penilaian tingkat kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan dilakukan dengan menggunakan metode analisis tingkat kerusakan, yaitu dengan cara mengamati penentu kerusakan yang ada di lapangan. inilah yang disebut sebagai indikator kerusakan lahan. Parameter / variabel Adapun metode klasifikasi yang digunakan adalah sebagai

Hasil pengamatan yang

didapat di lapangan kemudian diolah dan diberi bobot penilaian.

3.8.

Definisi Operasional Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan / atau kegiatan.

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda,

daya,

keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan / atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan / atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan / atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi penambangan yang menunjukkan indikator-indikator terjadinya kerusakan lingkungan. Pengelolaan pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik secara teknis maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri maupun terhadap lingkungan. Usaha pertambangan bahan galian adalah usaha pertambangan yang kegiatannya melalui beberapa tahap terdiri dari prospekting (penyelidikan umum), eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pemanfaatan bahan galian.

Lahan adalah hamparan di muka bumi berupa temberengan (segment) sistem terestrik yang merupakan suatu perpaduan sejumlah sumberdaya alam dan binaan. Perusakan lahan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan / atau hayati lahan yang mengakibatkan lahan tersebut kurang atau tidak dimanfaatkan lagi sesuai dengan fungsinya dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

IV. KEADAAN UMUM LOKASI

4.1.

Lokasi dan Luas Wilayah Kecamatan Sabangau merupakan salah satu kecamatan di wilayah

administrasi Kota Palangka Raya.

Kecamatan Sabangau berada di bagian barat hingga

Kota Palangka Raya, dengan posisi geografis pada 113o5820,00

114o0320,00 Bujur Timur dan 2o1600,00 hingga 2o1920,00 Lintang Selatan. Wilayah administrasi Kecamatan Sabangau sebagaimana terlihat pada

gambar 6, mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :


a. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Jekan Raya, Kecamatan

Pahandut dan Kabupaten Pulang Pisau.


b. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau. c. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Katingan. d. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau

Kecamatan Sabangau memiliki luas wilayah 58.350 Ha atau sekitar 21,79% dari luas wilayah Kota Palangka Raya yang mencapai 267.851 Ha (Profil Kecamatan Sabangau, 2010). Berdasarkan luas wilayah tersebut, maka

Kecamatan Sabangau merupakan wilayah kecamatan terluas ke 2 di Kota Palangka Raya setelah Kecamatan Rakumpit (105.314 Ha).

Kab. Pulang Pisau

Kecamatan Pahandut

Kecamatan Jekan Raya

Kabupaten Pulang Pisau

Kabupaten Katingan

Kabupaten Pulang Pisau

Gambar 6. Peta administrasi Kecamatan Sabangau.

Wilayah administratif Kecamatan Sabangau melingkupi 6 wilayah kelurahan, yakni Kereng Bangkirai, Sabaru, Kalampangan, Kameloh Baru, Bereng Bengkel, dan Danau Tundai. Ke 6 wilayah kelurahan tersebut

mempunyai luas wilayah berkisar 0,69% - 10,10% dari luas wilayah Kota Palangka Raya. Kelurahan yang paling luas wilayahnya adalah Kelurahan

Kereng Bangkirai (27.050 Ha), dan kelurahan paling kecil luas wilayahnya adalah Kelurahan Bereng Bengkel (1.850 Ha). Sementara itu, Kelurahan Kalampangan yang berjarak 18 km dari Kota Palangka Raya memiliki luas wilayah 4.625 Ha atau sekitar 1,73% dari luas wilayah Kota Palangka Raya. Secara terinci,

keadaan luas wilayah masing-masing kelurahan di Kecamatan Sabangau tersebut, sebagaimana terlihat pada tabel 5. Tabel 5. Luas wilayah Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya menurut Kelurahan, Tahun 2009. % Terhadap Luas Kecamatan Sabangau 46,36 26,09 7,93 9,17 3,17 7,28 100,00 % Terhadap Luas Kota Palangka Raya 10,10 5,68 1,73 2,00 0,69 1,59 21,79

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kelurahan Kereng Bangkirai Sabaru Kalampangan Kameloh Baru Bereng Bengkel Danau Tundai Jumlah

Luas (Ha) 27.050 15.225 4.625 5.350 1.850 4.250 58.350

Sumber : Profil Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, 2010.

4.2.

Keadaan Iklim Keadaan iklim Kecamatan Sabangau tidak jauh berbeda dengan keadaan

iklim wilayah Kota Palangka Raya pada umumnya.

Wilayah Kota Palangka

Raya merupakan daerah yang beriklim tropis, dengan rata-rata mendapat

penyinaran matahari di atas 50 %.

Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, tipe

iklim Kota Palangka Raya termasuk tipe iklim B1 (iklim bulan basah), yaitu wilayah bulan basah (curah hujan > 200 mm / bulan) terjadi antara 7 - 9 bulan dan bulan kering (curah hujan < 100 mm / bulan) kurang dari 2 (dua) bulan (Bappeda Kota Palangka Raya, 2007). Curah hujan tahunan untuk wilayah Kota Palangka Raya sepanjang tahun 2008 berkisar 93,4 212,4 mm, dengan rata-rata curah hujan mencapai 301,3 mm. Suhu udara rata-rata berkisar 23,5 32,6 OC, dengan suhu maksimum rata-rata 33,5 OC. Sementara itu kelembaban nisbi udara relatif tinggi, dengan rata-rata

tahunan di atas 80 % (BPS Kota Palangka Raya, 2009).

4.3.

Jumlah Penduduk Penduduk Kecamatan Sabangau sampai akhir tahun 2009 mencapai 11.382

jiwa, dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 3.545 KK.

Dari jumlah

penduduk tersebut, sebagian besar yaitu 5.992 jiwa (62,64 %) merupakan penduduk laki-laki dan selebihnya 5.390 jiwa (47,36 %) penduduk wanita (Profil Kecamatan Sabangau, 2010). Dilihat dari jumlah penduduk pada setiap kelurahan, penduduk Kecamatan Sabangau tersebut sebagian besar terdapat di Kelurahan Kereng Bangkirai (5.627 jiwa atau 49,44 %) dan yang paling sedikit terdapat di Kelurahan Danau Tundai (221 jiwa atau 1,94 %). Khususnya pada Kelurahan Kalampangan, jumlah Secara terinci

penduduk akhir tahun 2009 mencapai 3.010 jiwa atau 26,45 %.

keadaan jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sabangau tersebut sebagaimana tabel 6. Tabel 6. Jumlah penduduk dan kepala keluarga di Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, Tahun 2009. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kelurahan Kereng Bangkirai Sabaru Kalampangan Kameloh Baru Bereng Bengkel Danau Tundai Jumlah Kepadatan penduduk Laki-laki (Jiwa) 3.032 474 1.515 338 514 119 5.992 di Wanita (Jiwa) 2.595 393 1.495 326 479 102 5.390 Jumlah Jiwa 5.627 867 3.010 664 993 221 11.382 yang KK 1.516 676 855 172 265 61 3.545 merupakan

Sumber : Profil Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, 2010.

Kecamatan

Sabangau

perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah, rata-rata mencapai 19 Jiwa / km2. belum merata. Meskipun demikian, tingkat penyebaran penduduk tersebut masih Dari 6 (enam) kelurahan di wilayah Kecamatan Sabangau,

Kelurahan Kalampangan mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi (65 Jiwa / km2) dan diikuti oleh Kelurahan Bereng Bengkel (54 Jiwa / km2). Pada

kelurahan yang lainnya, kepadatan penduduk relatif masih jarang yaitu berkisar 5 21 Jiwa / km2.

4.4.

Mata Pencaharian Penduduk Penduduk di Kecamatan Sabangau hingga akhir tahun 2009 yang telah

mempunyai mata pencaharian tetap sebanyak 4.535 orang atau sekitar 39,84 % dari jumlah penduduk. Berdasarkan data Kecamatan Sabangau (2010), paling

tidak terdapat 9 (Sembilan ) jenis mata pencaharian penduduk, yaitu swasta,

pegawai negeri, TNI/POLRI, pedagang, penjahit, tukang kayu/batu, montir, petani dan jasa angkutan. Secara terinci jumlah penduduk yang bekerja menurut

berbagai jenis mata pencaharian tersebut sebagaimana pada tabel 7. Tabel 7. Jenis mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sabangau Menurut Kelurahan , Tahun 2009.
Penduduk Bekerja Menurut Kelurahan (Orang) Kalampa Kameloh Bereng Sabaru ngan Baru Bengkel 79 252 30 37 63 43 2 24 4 15 9 64 15 12 1 3 1 12 27 4 12 1 5 2 295 1.333 220 189 6 11 2 4 470 1.753 273 281

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Mata Pencaharian Swasta Pegawai negeri TNI/POLRI Pedagang Penjahit Tukang Kayu/batu Montir Petani Jasa Angkutan Jumlah

Kereng Bangkirai 196 320 31 270 8 141 4 677 8 1.655

Danau Tundai 3 5 95 103

Sumber : Profil Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, 2010.

Sebagaimana data tabel 7, bekerja sebagai petani merupakan pekerjaan sebagian besar penduduk di Kecamatan Sabangau. Pada tahun 2009, penduduk

yang menjadi petani mencapai 2.809 orang atau rata-rata 61,94 % dari jumlah penduduk yang bekerja, sedangkan jenis pekerjaan lain rata-rata berkisar 0,26 13,10 %. Penyebaran penduduk yang bekerja sebagi petani menurut kelurahan

berkisar 40,91 92,23 %, dengan jumlah terbesar terdapat di Kelurahan Danau Tundai (92,23 %) dan terkecil di Kelurahan Kereng Bangkirai (40,91 %). Khususnya pada Kelurahan Kalampangan, jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani mencapai 1.333 orang atau 76,04 % dari jumlah penduduknya yang mempunyai pekerjaan.

4.5.

Jenis dan Penggunaan Lahan Tipologi lahan yang terdapat hampir merata di semua wilayah Kecamatan

Sabangau adalah lahan basah / rawa.

Sedangkan jenis tanah yang dapat dijumpai

adalah tanah organosol, podzol, regosol, dan alluvial. Dari beberapa jenis tanah tersebut, jenis tanah yang paling luas penyebarannya adalah tanah gambut (organosol) hingga mencapai 83,17 % atau 48,529 Ha (BPP Kalampangan, 2010). Penggunaan lahan oleh sebagian masyarakat terutama untuk kegiatan pertanian masih relatif kecil. Berdasarkan data BPP Kalampangan (2010), luas

lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian (tegalan/ladang/kebun, tambak/kolam/empang, perkebunan) di wilayah Kecamatan Sabangau hanya berkisar 2,73 44,4 %. Dari 4 (empat) kelurahan yang tersedia datanya

mengenai penggunaan lahan, hanya Kelurahan Kalampangan yang mempunyai areal untuk kegiatan pertanian yang relatif besar yaitu mencapai 2.005 Ha atau 44,43 % dari luas wilayahnya. Adapun jenis penggunaan lahan di wilayah

Kecamatan Sabangau tersebut secara terinci sebagaimana pada tabel 8. Tabel 8. Luas lahan menurut penggunaannya di Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, Tahun 2009.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Penggunaan Lahan Permukiman Tegalan/Ladang/Kebun Tambak/Kolam/Empang Sawah Perkebunan Tanaman Kayu-kayuan Padang Rumput Tanah Belum diusahakan Lainnya Luas Penggunaan Lahan Menurut Kelurahan (Ha) Kereng Kalampa Kameloh Bereng Danau Sabaru Bangkirai ngan Baru Bengkel Tundai 157 58 61 62 2.35 216 184 116 5 2 15 10 1.766 850 200 623 15 10 8 2 232 270 608 216 400 3.936 789 3.231 Tidak ada data Tidak ada data

Jumlah

4.625

5.350

1.850

4.250

Sumber : Profil Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, 2010.

4.6.

Topografi Keadaan topografi wilayah Kecamatan Sabangau merupakan daerah

dataran rendah dan rawa, dengan kemiringan 0 8 %.

Sebagian besar wilayah

Kecamatan Sabangau berada di bantaran Sungai Kahayan dan Sabangau kecuali Kelurahan Sabaru, Kelurahan Kalampangan dan sebagian kecil wilayah Ketinggian tempat wilayah Kecamatan Sabangau

Kelurahan Kereng Bangkirai.

berkisar 16 19 meter di atas permukaan laut (BPS Kota Palangka Raya, 2009).

4.7.

Geologi Regional Geologi regional daerah penelitian termasuk dalam peta geologi lembar

Palangka Raya dan lembar Tewah, sekala 1 : 250.000, dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) Bandung, Tersier, yaitu : a). Batuan Metamorfik Tak Terurai Batuan ini diduga berumur Perm-Trias, terdiri dari phylit, gneiss, skeiss dan kuarsit. Satuan batuan ini singkapannya menyebar ke arah utara yang berumur Pra-Tersier hingga

hingga sekitar daerah Gunung Mas dan tidak tersingkap di daerah Kota Palangka Raya. b). Batuan Granitan Batuan ini merupakan tubuh batolit berumur Kapur Atas yang menerobos batuan metamorfik, terdiri dari granit, diorit, granodiorit dan tonalit. Sebaran batuan ini sangat luas ke arah utara, sedangkan di bagian selatan tersingkap di daerah Bukit Batu wilayah Kasongan, Tangkiling Kecamatan

Bukit Batu wilayah Kota Palangka Raya dan di hulu sungai Sabangau dan sungai Bakung di sebelah baratdaya Kota Palangka Raya. c). Formasi Warukin Formasi ini berumur Tersier, terdiri dari batupasir hingga konglomeratan, setempat terdapat lensa batugamping. sisipan batulanau dan lempung dengan sisipan batubara. Satuan ini sebagai hasil endapan pada transisi Di Kecamatan Rakumpit diperkirakan

antara darat dan laut dangkal.

muncul formasi ini di Kelurahan Mungku Baru dan Gaung Baru yang dicirikan oleh sisipan batubara. d). Formasi Dahor Secara umum formasi ini terdiri dari konglomerat mengandung fragmen kuarsit dan basal, berselingan dengan batupasir berbutir sedang sangat kasar, setempat berstruktur silang siur, sisipan batulempung setempat karbonan hingga gambut. Ketebalan formasi ini ada yang mencapai 300 m dan berumur Miosen Tengah Pleistosen. Formasi Dahor terdapat meluas di daerah penelitian yang dikuasai oleh batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung. e). Alluvium Endapan ini merupakan satuan paling muda berumur Kuarter, umumnya terdapat di daerah sekitar aliran sungai dan rawa. Satuan alluvium ini

biasanya belum padat atau lunak terdiri dari pasir dan lempung atau lumpur. Sebaran utamanya terdapat di daerah lembah aliran sungai

Rungan dan sungai Kahayan.

4.8.

Morfologi Morfologi secara umum di daerah penelitian merupakan morfologi dataran rendah, dengan pembagian morfologi berdasarkan pada bentukan lahan yaitu :

a).

Satuan Morfologi Dataran Bentukan Limpasan Banjir Morfologi ini merupakan dataran yang berkembang di sisi aliran sungai utama seperti sungai Sabangau dan sungai Kahayan. Di dalam satuan

morfologi ini berkembang endapan sedimen berbutir halus berupa lempung dan lumpur, sebagai hasil endapan yang terjadi pada masa air banjir hingga melimpas di bagian sisi sungai yang membentuk endapan alluvium. Sebaran morfologi ini terdapat disekitar aliran sungai utama

berbentuk memanjang searah dengan aliran sungai itu sendiri. b). Satuan Morfologi Dataran Bentukan Lahan Gambut Satuan morfologi ini dibentuk oleh hamparan endapan gambut dengan ketebalan bervariasi. Umumnya berupa daerah datar dengan setempat

berawa-rawa dan ketinggian bervariasi antara 12 m hingga sekitar 19 m dari muka air laut. Morfologi endapan gambut punya penyebaran cukup luas di daerah penelitian sebagian besar di sisi barat hingga sangat luas ke arah selatan. c). Satuan Morfologi Dataran Bentukan Batupasir dan Formasi Dahor Morfologi dataran ini disusun oleh satuan batuan yang umumnya berupa pasir kuarsa dan kaolin dengan ketinggian rata-rata antara 15 m hingga 18 m di atas muka air laut. Satuan ini berbentuk memanjang terutama di

sepanjang areal jalan Tjilik Riwut dan melebar di sekitar wilayah Kota Palangka Raya, secara umum berarah baratlaut tenggara hingga wilayah Kalampangan. d). Morfologi Bentukan Batuan Beku / Terobosan Batuan beku yang terdiri dari variasi batuan granitan, mempunyai daya tahan terhadap erosi yang lebih tinggi di daerah ini, satuan ini lebih menonjol dari daerah sekitarnya. sehingga bentuk

Morfologi ini hanya

terdapat setempat di bagian hulu sungai Sabangau merupakan bentuk tonjolan yang terisolir di 2 (dua) tempat yang dipisahkan oleh aliran sungai, dengan ketinggian maksimal 10 m dan mempunyai bentuk lonjong.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.

Kondisi Fisik Lahan

5.1.1. Batas tepi galian Batas tepi galian adalah jarak antara titik terluar lubang dengan titik terdekat dari batas Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD). Jarak lubang galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu oleh kegiatan penambangan. Hasil pengukuran dan pengamatan batas tepi galian di setiap lokasi penelitian dapat lihat pada tabel 9. di bawah ini : Tabel 9. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Batas tepi galian di setiap lokasi Lokasi Tambang 1 (YS) Tambang 2 (CV.DG) Tambang 3 (AS) Tambang 4 (ZB) Tambang 5 (HS) Tambang 6 (ALT) Tambang 7 (BAD) Batas Tepi Galian (meter) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 0,00 Bobot Penilaian (skor) 3 3 3 3 3 3 3 Kategori Rusak Rusak Rusak Rusak Rusak Rusak Rusak

Sumber : Analisis data primer, 2010.

Dari hasil pengukuran dan pengamatan batas galian terhadap batas kepemilikan/perijinan (SIPD) pada tiap lokasi penambangan dan bekas kegiatan

penambangan mempunyai tepi batas galian yang berkisar antara 0,00 1,00 meter dari tepi kepemilikan perijinan, sehingga dikategorikan RUSAK.

Gambar 7.

Pengukuran batas tepi galian pada lokasi Tambang-6 (ALT) (photo di ambil tanggal 19 Oktober 2010).

5.1.2. Tinggi Dinding/Batas Kedalaman Galian dari Pemukaan Tanah Awal Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang. Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari pemukaan lahan hingga ke dasar lubang galian. Permukaan disini adalah permukaan awal pada tepi lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah lubang galian yang terdalam. Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur

jarak dari permukaan awal dengan dasar lubang terdalam.

Hasil dari pengukuran dan pengamatan tinggi dinding/batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal didapat seperti pada tabel 10 di bawah ini : Tabel 10. Tinggi dinding/batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal Tinggi Dinding/Batas Kedalaman (meter) 6,15 6,12 6,75 6,10 6,00 6,32 6,00 Bobot Penilaian (skor) 3 3 3 3 3 3 3

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Lokasi Tambang 1 (YS) Tambang 2 (CV.DG) Tambang 3 (AS) Tambang 4 (ZB) Tambang 5 (HS) Tambang 6 (ALT) Tambang 7 (BAD)

Kategori Rusak Rusak Rusak Rusak Rusak Rusak Rusak

Sumber : Analisis data primer, 2010.

Dari hasil pengukuran dan pengamatan tinggi dinding/batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal pada tiap lokasi penambangan dan bekas kegiatan penambangan berkisar antara 6,00 6,75 meter dari permukaan tanah awal, sehingga dikategorikan RUSAK.

5.1.3. Pengangkutan Bahan Galian (truck pengangkut) Sarana transportasi utama dalam pengangkutan pasir adalah truck yang merupakan alat transportasi untuk mengangkut bahan galian pasir ke tempat pembeli seperti terlihat pada gambar 8.

Gambar. 8. Truck pengangkut bahan galian pasir di lokasi Tambang-7 (BAD) (photo diambil pada tanggal 19 Oktober 2010).

Hasil dari pengamatan pengangkutan bahan galian pasir (truck pengangkut) di setiap lokasi penambangan dapat dilihat pada tabel 11 di bawah ini : Tabel 11. Jumlah truck pengangkut pasir dalam 7 (tujuh) hari secara kontinyu
Hari / tanggal Pengamatan Senin 18/04/2011 Selasa 19/04/2011 Rabu 20/04/2011 Kamis 21/04/2011 Jumat 22/04/2011 Sabtu 23/04/2011 Minggu 24/04/2011 Jumlah truck pengangkut pasir pada masing-masing lokasi Tambang 1 (YS) Tambang 2 (CV.DG) Tambang 3 (AS) Tambang 4 (ZB) 25 20 20 20 21 Tambang 5 (HS) 20 23 25 22 20 23 20 Tambang 6 (ALT) 25 27 30 25 25 27 21 Tambang 7 (BAD) 20 23 22 25 25 20

No

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Sumber : Analisis data primer, 2011

Berdasarkan tabel 11 di atas, bahwa di setiap lokasi penambangan, dalam 1 (satu) hari didapat berkisar antara 20 30 truck keluar masuk lokasi tambang untuk mengangkut bahan galian pasir secara kontinyu. Kapasitas muatan truck

pengangkut yaitu 6 m3 dan bahan galian pasir yang diangkut per trip = 1 ret = 4 m3, maka muatan tidak melebihi dari kapasitas truck, maka dengan demikian untuk pengangkutan bahan galian dinyatakan BAIK.

5.1.4. Kondisi Jalan Berdasarkan hasil pengamatan pada kondisi Jalan Mahir Mahar yang merupakan jalan trans Kalimantan (lintas propinsi) yang merupakan jalan kelas I dengan beban maksimum 8 Ton, yang dilalui oleh truck pengangkut bahan galian pasir dalam keadaan tidak berlubang dan bergelombang, sehingga dikategorikan BAIK seperti terlihat pada gambar 9.

Gambar 9.

Kondisi Jalan Mahir Mahar pada jalan masuk menuju lokasi Tambang-6 (ALT) (photo diambil pada tanggal 20 Maret 2011)

Gambar 10. Kondisi jalan tambang pada lokasi Tambang-6 (ALT) (photo diambil pada tanggal 19 Oktober 2010)

Gambar 11. Kondisi jalan tambang pada lokasi Tambang-7 (BAD) (photo diambil pada tanggal 09 Juni 2009, Dokumentasi Seksi Geologi Tata Lingkungan, Distamben Kota Palangka Raya)

5.1.5. Luas Reklamasi Kegiatan reklamasi selalu terkait dengan luas lahan yang akan direklamasi, ini menyangkut luas kepemilikan atau luas perijinan yang diberikan. Luas lahan yang akan ditambang tidak perlu harus dibuka vegetasi penutup lahan secara keseluruhan. Dari hasil pengamatan, bahwa semua lokasi penambangan yang diteliti umumnya tidak melaksanakan reklamasi, karena lahan yang dibuka seluas dengan lahan yang ditambang, bahkan kegiatan penambangan sampai keluar dari lokasi perijinan yang diberikan atau yang ditetapkan sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Palangka Raya. Kondisi demikian mengakibatkan lahan

bekas galian menjadi gersang tanpa vegetasi dan terdapat banyak lubang bekas galian. Melihat kondisi secara keselurahan di setiap lokasi yang tidak melaksanakan reklamasi, maka lokasi tambang tersebut di kategorikan RUSAK seperti pada gambar 12.

Gambar 12. Lahan bekas tambang di lokasi Tambang1(YS) yang tidak direklamasi.(photo diambil pada tanggal 19 Oktober 2010)

5.1.6. Pengembalian Tanah Pucuk Untuk Vegetasi Tanah pucuk (top soil) merupakan tanah penutup sebelum pengupasan lahan dilakukan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, Bab II Pasal 2 Ayat (1), (2), (3) dan (4), bahwa pemegang izin usaha pertambangan wajib melaksanakan reklamasi terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan dengan sistem penambangan terbuka maupun penambangan bawah tanah. Setelah selesai kegiatan penambangan, maka tanah pucuk tersebut harus dikembalikan seperti kondisi awal sebelum kegiatan penambangan. Hasil pengamatan di lokasi penambangan, tanah pucuk tersebut tidak kembali lagi untuk menutup lahan yang telah selesai ditambang. Melihat kondisi tersebut diatas maka aspek pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi yang tidak dilaksanakan dinyatakan RUSAK seperti terlihat pada gambar 13.

Gambar 13. Lapisan gambut yang tidak dikembalikan di lokasi Tambang-3(HS) (photo diambil pada tanggal 19 Oktober 2010).

Pada lokasi penambangan pasir di Kelurahan, sebagian besar gambut merupakan tanah penutup di atas pasir. Ketebalan gambut di lokasi

penambangan pasir berkisar antara 0,5 meter hingga 2,5 meter (gambar 14 dan 15).

Gambar 14. Pengukuran ketebalan gambut pada lokasi Tambang-3 (HS) (photo diambil pada tanggal 01 Nopember 2010).

Gambar 15. Pengukuran ketebalan gambut pada lokasi Tambang-3 (HS) (photo diambil pada tanggal 01 Nopember 2010).

5.2.

Analisis Tanah Pada Lokasi Penambangan Tanah merupakan badan bumi pertama yang terkena dampak kegiatan

pertambangan. Parameter yang dianalisis dalam analisis tanah ini meliputi pH H2O (1:2,5), N-total (%), K-dd (me/100g), Ca-dd (me/100g), Mg-dd (me/100g), Na-dd (me/100g), serta berat isi tanah atau BV (g/cm3). Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lokasi tanah alami (di luar lokasi kegiatan penambangan) dan di lokasi kegiatan penambangan (tanah terusik) seperti terlihat pada gambar 16 dan 17.

Gambar 16. Pengambilan sampel tanah yang dilakukan oleh pembimbing dan penulis pada lokasi di luar kegiatan penambangan (tanah alami) (photo diambil pada tanggal 01 Nopember 2010).

Gambar 17. Pengambilan sampel tanah pada lahan kegiatan penambangan di lokasi Tambang-3 (HS) (tanah terusik) (photo diambil pada tanggal 01 Nopember 2010) Hasil analisis sampel tanah yang diambil dari lokasi penambangan, selengkapnya dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12. Data hasil analisis tanah No. Parameter Yang Dianalisis pH H20 (1:2,5) N-Total (%) K-dd (me/100g) Ca-dd (me/100g) Mg-dd (me/100g) Na-dd (me/100g) BV (g/cm3) Kode Sampel Tanah Rerata Terusik -1 3,65 3,65 0,725 0,525 0,705 0,925 0,105 0,27 0,88 0,13 1,09 0,91 0,08 0,23

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Tanah Alami 1 3,71 0,74 0,53 0,59 0,92 0,10 0,27

Tanah Alami 2 3,59 0,71 0,52 0,82 0,93 0,11 0,27

Tanah Terusik - Rerata 2 3,69 3,67 0,88 0,13 1,09 0,91 0,08 0,23 0,88 0,13 1,09 0,91 0,08 0,23

Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik Universitas Palangka Raya, 2010.

Hasil analisis tanah kemudian dikonversi dalam bentuk skala penilaian sifat kimia tanah. Skala dibuat berdasarkan kriteria dari Pusat Kriteria

Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian (1983). penilaian sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 13. Tabel. 13. Kriteria penilaian sifat kimia tanah
Sifat Tanah 1 (Sangat Rendah) < 1,00 < 0,10 <5 < 10 < 10 < 10 < 10 <5 Kriteria Penilaian 2 3 4 (Rendah) (Sedang) (Tinggi) 1,00-2,00 0,10-0,20 5 - 10 10 - 20 10 - 15 10 -25 10 - 20 5 - 16 0,1 0,2 0,1 0,3 0,4 1,0 2-5 20 - 35 10 20 2,01-3,00 0,21-0,50 11 - 15 21 - 40 16 - 25 26 - 45 21 - 40 17 - 24 0,3 0,5 0,4 0,7 1,1 2,0 6 - 10 36 - 50 21 - 30 3,01-5,00 0,51-0,75 16 - 25 41 - 60 26 - 35 46 - 60 41 - 60 25 - 40 0,6 1,0 0,8 1,0 2,1 8,0 11 - 20 51 - 70 31 - 60

Parameter

C (%). N (%) C/N P2O5HC (mh/100g) P2O5 Bray 1 (ppm) P2O5 Olsen K2OHCL. 25 % (mg/100g) KTK (me/100g) Susunan Kation : K (me/100g) Na (me/100g) Mg (me/100g) Ca (me/100g) Kejenuhan Basa (%) Kejenuhan Alluminium (%) pH H20 Sangat Masam < 4,5
Sumber :

5 (Sangat Tinggi) > 5,00 > 0,75 > 25 > 60 > 35 > 60 > 60 > 40

< 0,1 < 0,1 < 0,4 <2 <20 < 10

> 1,0 > 1,0 > 8,0 > 20 > 70 > 60

Masam 4,5 5,5

Agak Masam 5,6 6,5

Netral 6,6 7,5

Agak Alkali 7,6 8,5

Alkalis > 8,5

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (1983)

Dari hasil analisis tanah (tabel 12) yang kemudian dikonversikan dalam kriteria penilaian sifat kimia tanah (tabel 13), menunjukkan bahwa rerata pH H2O

(1:2,5) pada tanah alami 3,65 dan rerata pH H2O (1:2,5) pada tanah terusik 3,67, maka dikategorikan Sangat Masam karena < 4,5, rerata N-total pada tanah

alami yakni 0,725 dengan kategori Tinggi, sedangkan rerata N-total pada tanah terusik adalah 0,88 dengan ketegori Sangat Tinggi. Kemudian rerata kandungan

K pada tanah alami berkisar antara 0,525 me/100g dengan kategori Sedang, sedangkan pada tanah yang terusik 0,13 me/100g dengan kategori Rendah.

Selanjutnya rerata kandungan Ca pada tanah alami yakni 0,705 me/100g, dan pada tanah terusik adalah 1,09 me/100g dengan kategori Sangat Rendah. Rerata

kandungan Na pada tanah alami yaitu 0,105 me/100g dengan kategori Rendah dan pada tanah terusik dalam kriteria penilaian dikategorikan Sangat Rendah, yakni 0,08 me/100g. Sedangkan rerata kandungan Mg pada tanah alami adalah 0,925 me/100g dan pada tanah terusik yakni 0,91 dengan kategori Sangat Tinggi. Dengan memperhatikan kriteria penilaian sifat kimia tanah dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (1983) terhadap parameter yang dianalisis, maka tanah di lokasi penelitian secara umum dikategorikan mempunyai tingkat kesuburan yang tergolong rendah, baik di lokasi penambangan (tanah terusik) maupun di luar lokasi penambangan (tanah alami).

5.3.

Analisis Kualitas Air di Lubang Bekas Galian Air merupakan media bagi kehidupan dan jasad perairan. Oleh karena itu

kualitas air ini akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan manusia yang mengkonsumsi air tersebut, terutama untuk keperluan air minum.

Kekeruhan air adalah sifat optik yang berhubungan dengan pembiasan dan penyerapan cahaya oleh bahan-bahan yang mengapung dan melayang dalam air. Dengan demikian kekeruhan, warna dan kejernihan serta padatan tersuspensi suatu badan perairan dengan nilai kekeruhan tinggi akan menyebabkan penetrasi cahaya terhalang sehingga aktivitas fotosintesa di perairan tersebut rendah dan sebagai akibatnya produktivitasnya rendah pula. Parameter yang dianalisis

dalam analisis kualitas air terdiri dari : pH, NO2 (mg/l), NO3 (mg/l), K (mg/l), Ca (mg/l), Na (mg/l), padatan terlarut / TDS (mg/l), serta padatan tersuspensi / TSS (mg/l) yang mengacu pada Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Data hasil pengujian laboratorium kemudian dibandingkan dengan baku mutu air kelas II sebagaimana yang tercantum pada lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Untuk mengkonversi hasil pengujian kualitas air kedalam skala kualitas lingkungan, maka hasil pengujian kualitas air akan dikonversi dalam bentuk Indeks Pencemaran (IP). Tujuan perhitungan indeks

pencemaran adalah untuk menggambarkan secara utuh kualitas air yang ada di lokasi penelitian. Prosedur perhitungan berpedoman pada Keputusan Menteri

Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

Pengambilan sampel air dilakukan pada lokasi di luar lokasi kegiatan penambangan (kondisi perairan yang belum terusik) dan di lokasi kegiatan penambangan (air di lubang bekas galian) seperti terlihat pada gambar 18 dan 19.

Gambar 18. Pengambilan sampel air yang dilakukan oleh penulis pada lokasi di luar kegiatan penambangan (kondisi belum terusik) (photo diambil pada tanggal 01 Nopember 2010).

Gambar 19. Pengambilan sampel air pada lubang bekas galian tambang di lokasi Tambang-3 (HS) (photo diambil pada tanggal 01 Nopember 2010).

Hasil perhitungan status mutu air kemudian dikonversi ke dalam skala kualitas lingkungan dengan skala sebagaimana disajikan pada tabel 14. Tabel 14. Skala penilaian kualitas air permukaan Nilai Indeks Pencemaran (Pollutant Index) 0 PIj 1,0 1,0 < PIj 5,0 5,0 < PIj 10 10 < PIj 15 PIj > 15
Sumber :

Status Mutu Air Memenuhi baku mutu Cemar Ringan Cemar Sedang Cemar Berat Cemar Sangat Berat

Skala Penilaian Sangat baik (skala 5) Baik (skala 4) Sedang (skala 3) Buruk (skala 2) Sangat Buruk (skala 1)

Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003.

Sedangkan hasil analisis kualitas air di lokasi penelitian di sajikan dalam tabel 15. Tabel 15. Data hasil analisis kualitas air di lokasi penelitian Parameter No. Yang Satuan Alami Dianalisis 1 1. pH 4,05 2. NO2 mg/l 0,04 3. NO3 mg/l 0,21 4. K mg/l 1,36 5. Cu mg/l 1,08 6. Mn mg/l 0,14 7. Na mg/l 0,24 8. TDS mg/l 68,00 9 TSS mg/l 132,00 Kode Sampel Rusak - Rusak Rerata 1 2 3,87 3,81 4,015 0,06 0,07 0,035 1,50 1,82 0,265 1,57 1,67 1,365 2,60 4,08 0,990 0,31 0,34 0,135 0,97 1,02 0,225 126,00 168,00 86,000 129,00 0 710,00 704,00

Alami 2 3,98 0,03 0,32 1,37 0,90 0,13 0,21 104,00 126,00

Rerata 3,840 0,065 1,660 1,620 3,340 0,325 0,995 147,00 0 707,00 0

Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik Universitas Palangka Raya, 2010 .

Gambaran tentang kualitas air pada lokasi penelitian yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium terhadap sampel air yang diambil dari luar lokasi penambangan (kanal) dapat dilihat pada tabel 16 berikut ini.

Tabel 16. Penentuan indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu air kelas II dengan kode sampel (Alami-1) No. Parameter Yang Dianalisis Hasil Analisis Laboratorium (C) 4,05 Baku Mutu Kelas II ( L ) 6-9 Indeks Status Pencemaran Mutu Air Sampel IP = C / L 0,697 Cemar Ringan Skala Penilaian

1.

pH

Baik (skala 4)

2.

NO2 (mg/l)

0,04

0,06

0,667

Memenuhi Sangat Baku Baik Mutu (skala 5) Memenuhi Sangat Baku Baik Mutu (skala 5)

3.

NO3 (mg/l)

0,21

10

0,021

4. 5. 6. 7. 8.

K (mg/l) Ca (mg/l) Mg (mg/l) Na (mg/l) TDS (mg/l)

1,36 1,08 0,14 0,24 68,00

(-) (-) (-) (-) 1000 0,068 Memenuhi Sangat Baku baik Mutu (skala 5) Cemar Ringan Baik (skala 4)

9.

TSS (mg/l)

132,00

50

2,640

IPparameter = C/Lrata-rata 0,819 IPparameter = C/Lmaksimum 2,640


Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik UNPAR, 2010. Keterangan : (-) parameter tersebut tidak dipersyaratkan.

Karena harga baku mutu pH memilki rentang, maka penentuan IP = C/L dilakukan dengan cara : Lrata-rata = 6 + 9 2 = 7,5 maka, IP = C/L untuk pH kode sampel (Alami-1) = (4,05 - 7,5) ( 9 - 4,05) = 0,696

Dari data tabel 16 di atas maka nilai Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Kelas II dapat ditentukan dengan persamaan :

IPsampel =

(C/L)

maksimum

+ (C/L)2rata-rata 2
2

(2,640) + (0,819)
2

2 =

6,969 + 0,670
2

7,639 / 2 3,8195

= 1,954

Maka sampel air dengan kode sampel (Alami-1), dinyatakan Tidak Memenuhi Baku Mutu untuk Baku Mutu Air Kelas II, dan status mutu air dikategorikan Cemar Ringan dengan skala penilaian Baik (Skala 4). Selanjutnya untuk penentuan Indeks Pencemaran (IP) sampel air dengan Kode Sampel (Alami-2) dapat dilihat pada tabel 17 di bawah ini :

Tabel 17. Penentuan indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu air kelas II dengan kode sampel (Alami-2) No. Parameter Yang Dianalisis Hasil Analisis Laboratorium (C) 3,98 Baku Mutu Kelas II ( L ) 6-9 Indeks Status Pencemaran Mutu Air Sampel IP = C / L 0,701 Cemar Ringan Skala Penilaian

1.

pH

2.

NO2 (mg/l)

0,03

0,06

0,500

Baik (skala 4) Sangat Memenuhi Baik Baku (skala 5) Mutu Memenuhi Sangat Baku Baik Mutu (skala 5)

3.

NO3 (mg/l)

0,32

10

0,032

4. 5. 6. 7. 8.

K (mg/l) Ca (mg/l) Mg (mg/l) Na (mg/l) TDS (mg/l)

1,37 1,90 0,13 0,21 104,00

(-) (-) (-) (-) 1000 0,104 Memenuhi Sangat Baku baik Mutu (skala 5) Cemar Ringan Baik (skala 4)

9.

TSS (mg/l)

126,00

50

2,520

IPparameter = C/Lrata-rata 0,771 IPparameter = C/Lmaksimum 2,520


Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik UNPAR, 2010. Keterangan : (-) parameter tersebut tidak dipersyaratkan.

Karena harga baku mutu pH memilki rentang, maka penentuan IP = C/L dilakukan dengan cara : Lrata-rata = 6 + 9 2 = 7,5 maka, IP = C/L untuk pH kode sampel (Alami-2) = (3,98 - 7,5) ( 9 - 3,98) = 0,701

Dari dari tabel 17 di atas maka nilai Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Kelas II dapat ditentukan dengan persamaan :

IPsampel =

(C/L)

maksimum

+ (C/L)2rata-rata 2
2

(2,520) + (0,771)
2

2 =

6,350 + 0,544
2

6,944 / 2 3,472

= 1,863

Maka sampel air dengan kode sampel (Alami-2), dinyatakan Tidak Memenuhi Baku Mutu untuk Baku Mutu Air Kelas II, dan status mutu air dikategorikan Cemar Ringan dengan skala penilaian Baik (Skala 4). Sedangkan untuk penentuan Indeks Pencemaran (IP) sampel air dengan Kode Sampel (Rusak-1) dapat disajikan pada tabel 18 di bawah ini :

Tabel 18. Penentuan indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu air kelas II dengan kode sampel (Rusak-1) No. Parameter Yang Dianalisis Hasil Analisis Laboratorium (C) 3,87 Baku Mutu Kelas II ( L ) 6-9 Indeks Status Pencemaran Mutu Air Sampel IP = C / L 0,708 Cemar Ringan Cemar Ringan Skala Penilaian

1.

pH

Baik (skala 4) Baik (skala 4)

2.

NO2 (mg/l) NO3 (mg/l)

0,06

0,06

1,000

3.

1,50

10

0,150

Memenuhi Sangat Baku Baik Mutu (skala 5)

4. 5. 6. 7. 8.

K (mg/l) Ca (mg/l) Mg (mg/l) Na (mg/l) TDS (mg/l)

1,37 0,90 0,13 0,21 126,00

(-) (-) (-) (-) 1000 0,126 Memenuhi Sangat Baku baik Mutu (skala 5) Cemar Berat Buruk (skala 2)

9.

TSS (mg/l)

710,00

50

14,200

IPparameter = C/Lrata-rata 3,237 IPparameter = C/Lmaksimum 14,200


Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik UNPAR, 2010. Keterangan : (-) parameter tersebut tidak dipersyaratkan.

Karena harga baku mutu pH memilki rentang, maka penentuan IP = C/L dilakukan dengan cara : Lrata-rata = 6 + 9 2 = 7,5 maka, IP = C/L untuk pH kode sampel (Rusak-1) = (3,87 - 7,5) ( 9 - 3,87) = 0,708

Berdasarkan data tabel 18 di atas maka nilai Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Kelas II dapat ditentukan dengan persamaan :

IPsampel =

(C/L)

maksimum

+ (C/L)2rata-rata 2
2

(14,200) + (3,237)
2

2 =

201,640 + 11,069
2

212,709 / 2 106,355

= 10,313

Maka sampel air dengan kode sampel (Rusak-1), dinyatakan Tidak Memenuhi Baku Mutu untuk Baku Mutu Air Kelas II, dan status mutu air dikategorikan Cemar Berat dengan skala penilaian Buruk (Skala 2). Kemudian dalam menentukan Indeks Pencemaran (IP) sampel air dengan Kode Sampel (Rusak-2) dapat dilihat pada tabel 19 di bawah ini :

Tabel 19. Penentuan indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu air kelas II dengan kode sampel (Rusak-2) No. Parameter Yang Dianalisis Hasil Analisis Laboratorium (C) 3,81 Baku Mutu Kelas II ( L ) 6-9 Indeks Status Pencemaran Mutu Air Sampel IP = C / L 0,711 Cemar Ringan Cemar Ringan Skala Penilaian

1.

pH

Baik (skala 4) Sangat Baik (skala 5)

2.

NO2 (mg/l)

0,07

0,06

1,167

3.

NO3 (mg/l)

1,82

10

0,182

Memenuhi Sangat Baku Baik Mutu (skala 5)

4. 5. 6. 7. 8.

K (mg/l) Ca (mg/l) Mg (mg/l) Na (mg/l) TDS (mg/l)

1,67 4,08 0,34 1,02 168,00

(-) (-) (-) (-) 1000 0,168 Memenuhi Sangat Baku baik mutu (skala 5) Cemar Berat Baik (skala 4)

9.

TSS (mg/l)

704,00

50

14,080

IPparameter = C/Lrata-rata 3,262 IPparameter = C/Lmaksimum 14,080


Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik UNPAR, 2010. Keterangan : (-) parameter tersebut tidak dipersyaratkan.

Karena harga baku mutu pH memilki rentang, maka penentuan IP = C/L dilakukan dengan cara : Lrata-rata = 6 + 9 2 = 7,5 maka, IP = C/L untuk pH kode sampel (Rusak-2) = (3,81 - 7,5) ( 9 - 3,81) = 0,711

Dari data tabel 19 di atas maka nilai Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Kelas II dapat ditentukan dengan persamaan :

IPsampel =

(C/L)

maksimum

+ (C/L)2rata-rata 2
2

(14,080) + (3,262)
2

2 =

198,246 + 10,641
2

208,887 / 2 104,444

= 10,220

Maka sampel air dengan kode sampel (Rusak-2), dinyatakan Tidak Memenuhi Baku Mutu untuk Baku Mutu Air Kelas II, dan status mutu air dikategorikan Cemar Berat dengan skala penilaian Buruk (Skala 2). Berdasarkan dari data tabel 16 dan tabel 17 dapat dilihat secara umum bahwa kualitas air yang berada di luar lokasi penambangan berada pada skala 4 dengan kategori Baik, sedangkan kualitas air di lokasi penambangan (data tabel 18 dan tabel 19) dikategorikan Buruk dan berada pada skala 2 dengan status mutu air Cemar Berat.

5.4.

Analisis Benthos Yang Berada di Lubang Bekas Galian Pasir Benthos merupakan biota perairan yang sebagian besar hidup di dasar

perairan sehingga apabila keadaan substratnya baik, maka benthos dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Perkiraan dampak terhadap biota akibat

kegiatan penambangan pasir, dilakukan dengan metode analogi, yaitu dengan membandingkan hasil laboratorium dengan skala penilaian kualitas lingkungan biota perairan. Sedangkan skala penilaian kualitas lingkungan biota perairan dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 20. Skala penilaian kualitas lingkungan biota perairan Skala Penilaian 3 (Sedang) 4 (Baik) 1,5 - 1,9 2,0 - 3,0

No. Parameter 1. Indeks Keanekaragaman (H) Indeks Keseragaman (E) Indeks Dominasi (D) Komposisi Jenis Kelimpahan Phytoplankton Kelimpahan Zooplankton Kelimpahan Benthos
Sumber : Fandelli, 1992.

1 (Sangat Buruk) < 0,5

2 (buruk) 0,5 - 1,4

5 (Sangat Baik) > 3,0

2.

0,0 - 2,0

0,3 - 0,4

0,5 - 0,6

0,7 - 0,8

0,9 - 1,0

3. 4. 5. 6. 7.

0,9 - 1,0 < 2 jenis < 8,5 individu/l < 179 individu/l < 50 individu/m2

0,7 - 0,8 2 - 3 jenis 8,51 - 17 individu/l 180 - 362 individu/l 51 - 74 individu/m2

0,5 - 0,6 3 - 4 jenis 17,1 - 25,5 individu/l 363 - 542 individu/l 75 - 99 individu/m2

0,3 - 0,4 5 - 6 jenis 25,51 - 34 individu/l 543 - 722 individu/l 100 - 124 individu/m2

0,0 - 0,2 > 6 jenis > 34 individu/l > 723 individu/l > 124 indivudi/m2

Benthos yang terdapat di luar lokasi penambangan hanya terdapat satu Genera dengan Phyllum insecta yakni (Chironomus) yang terdapat di ST.III dan

ST.IV yang merupakan lokasi yang belum terusik oleh kegiatan penambangan atau yang masih alami, sedangkan pada lubang bekas galian tidak terdapat

adanya benthos. Hasil analisa benthos, dapat dilihat pada tabel 21. Tabel 21. Hasil analisa benthos No. 1. Phyllum Insecta Genera Chironomus Kode Sampel ST. II ST. III 704 0 0,0000 0,0000 0,0000 0 704 0,0000 0,0000 1,0000 1

ST. I 0 0,0000 0,0000 0,0000 0

ST. IV 1804 1804 0,0000 0,0000 1,0000 1

Kelimpahan (individu/m2) Indeks Keanekaragaman (Shanon Wiener) Indeks Keseragaman Indeks Dominasi Jumlah Taksa

Sumber : Laboratorium Kualitas Air, Fakultas Perikanan Unlam, Banjarbaru, 2010. Keterangan : ST. I dan ST. II merupakan lubang bekas galian tambang. ST. III dan ST. IV merupakan lokasi perairan di sekitar lokasi penambangan yang belum terusik.

Dari hasil analisa benthos (tabel 21) dapat diketahui bahwa untuk indeks kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan indeks dominasi benthos pada lubang bekas galian tambang dinyatakan SANGAT BURUK, hal ini karenakan tidak terdapatnya benthos. Sedangkan pada lokasi di sekitar lokasi penambangan

yang belum terusik dapat diketahui bahwa indeks kelimpahan (individu/m2) dikategorikan SANGAT BAIK berkisar antara 704 - 1804, kemudian pada indeks keanekaragaman (shanon-wiener) dengan nilai 0,000 dinyatakan SANGAT BURUK karena < 0,5. Selanjutnya pada indeks Keseragaman dengan nilai 0,000 dinyatakan SANGAT BURUK, sedangkan pada indeks dominasi dengan nilai 1,0000 dinyatakan SANGAT BURUK. Berdasarkan data tersebut di atas, bahwa kualitas lingkungan pada lubang bekas galian berada pada skala yang sangat buruk. Sedangkan pada lahan di luar

lokasi penambangan yang merupakan lahan belum terusik memperlihatkan tingkat kelimpahan yang sangat baik, namun pada indeks keseragaman menunjukkan skala sangat buruk, hal ini karena di dominasi oleh 1 (satu) genera benthos saja yakni chironomus.

5.5.

Tingkat Kerusakan Lahan Dengan pengharkatan tingkat kerusakan lahan di masing-masing lokasi

penambangan dapat diketahui interaksi dari komponen lingkungan fisik terhadap kerusakan lahan di Kelurahan Kalampangan. Variabel yang diukur dan diteliti,

pada tiap lokasi diketahui klas, skor dan kriteria tingkat kerusakan lahan akibat penambangan pasir dapat dilihat pada tabel 22. Tabel 22. Klasifikasi kerusakan lahan pada masing-masing lokasi penambangan
Bobot Penilaian (skor) masing-masing lokasi tambang No. Variabel Tambang 1 (YS) 3 3 Tambang 2 (CV.DG) 3 3 Tambang 3 (AS) 3 3 Tambang 4 (ZB) 3 3 Tambang 5 (HS) 3 3 Tambang 6 (ALT) 3 3 Tambang 7 (BAD) 3 3

1. 2.

3. 4. 5. 6.

Batas tepi galian Tinggi dinding / batas kedalam Pengangkutan bahan galian Kondisi jalan Luas reklamasi Pengembalian tanah pucuk Jumlah Skor Klas / Kriteria Kerusakan

1 3 3 13 II SEDANG

1 3 3 13 II SEDANG

1 3 3 13 II SEDANG

1 1 3 3 14 III BERAT

1 1 3 3 14 III BERAT

1 1 3 3 14 III BERAT

1 1 3 3 14 III BERAT

Sumber : Analisis data primer, 2010.

Dari data tabel 22. secara umum tingkat kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan berdasarkan Variabel yang diukur dan diteliti, pada tiap lokasi diketahui klas, skor dan kriteria tingkat kerusakan lahan akibat penambangan pasir dikategorikan dalam Klas / Kriteria Rusak Sedang - Berat.

5.6.

Dampak Kegiatan Penambangan Pasir Hasil penelitian lapangan menujukkan bahwa dampak dari kegiatan

penambangan pasir dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : dampak secara langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung berupa hilangnya tanah penutup, dan rusaknya vegetasi. Dampak secara tidak langsung yaitu adanya

pencemaran debu, gas buang, ceceran oli dan pasir di sepanjang jalan umum, dan berubahnya suhu udara disekitar lokasi penambangan. Disisi lain dampak positif tidak dirasakan oleh warga masyarakat Kelurahan Kalampangan, karena berdasarkan data dari kantor Kecamatan Sabangau tidak ada penduduk Kecamatan Sabangau yang bekerja sebagai penambang. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja yang terserap pada

kegiatan pertambangan bukanlah warga masyarakat atau penduduk di sekitar lokasi penambangan

5.7.

Pengelolaan Lahan Bekas Tambang Penggalian lahan untuk pengambilan pasir menyisakan lubang-lubang

bekas galian dengan kedalaman 5 6 meter dan luas yang beragam.

Lubang

bekas galian tersebut akan terisi oleh air tanah dan hujan sehingga tampak seperti

sebuah danau seperti terlihat pada gambar 14, atau jika tidak terisi air maka tampak seperti sebuah jurang atau lembah. Pengelolaan lahan bekas

penambangan adalah upaya pengembalian atau perbaikan lahan yang rusak menjadi keadaan yang lebih baik dan lebih berdaya guna untuk pertanian maupun non pertanian.

Gambar 20. Bekas Galian Yang Menjadi Danau / Kolam di lokasi Tambang-6(ALT) (photo diambil pada tanggal 19 Oktober 2010).

Terjadinya kerusakan pada lahan bekas lokasi penambangan perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah, terutama bagi yang melakukan kegiatan penambangan. Merupakan kewajiban bagi penambang untuk

melakukan reklamasi lahan pasca tambang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2011 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang.

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai peruntukannya. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal (Suprapto, 2008). Kegiatan reklamasi tidak harus menunggu sampai seluruh kegiatan penambangan berakhir, terutama pada lahan penambangan yang luas. Reklamasi sebaiknya dilakukan secepat mungkin pada lahan bekas penambangan yang telah selesai dieksploitasi, walaupun kegiatan penambangan tersebut secara keseluruhan belum selesai karena masih terdapat deposit bahan tambang yang belum ditambang. Sasaran akhir dari reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

pengelolaan lingkungan pada tahap reklamasi adalah sebagai berikut : Rencana atau model reklamasi disesuaikan dengan kondisi lahan; Luas areal yang direklamasi sama dengan luas areal penambangan; Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi; Mengembalikan / memperbaiki pola drainase alam yang rusak; Menghilangkan / memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun (jika ada) sampai ke tingkat yang aman sebelum dibuang ke suatu tempat pembuangan;

Mengembalikan lahan seperti semula atau sesuai dengan tujuan penggunaan;

Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi; Memindahkan seluruh peralatan yang sudah tidak digunakan lagi ke tempat yang dianggap aman;

Permukaan tanah yang padat harus digemburkan, atau ditanami dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras;

Jenis tanaman yang akan dipergunakan untuk revegetasi harus sesuai dengan rencana rehabilitasi (dapat berkonsultasi dahulu dengan dinas terkait);

Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya; Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan (Kusuma, 2008). Dalam beberapa kasus, lahan bekas penambangan tidak harus seluruhnya

direvegetasi, namun dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain, misalnya menjadi kolam persediaan air, padang golf, perumahan, kolam perikanan terpadu, tempat rekreasi / wisata apabila dinilai lebih bermanfaat atau sesuai dengan rencana tata ruang. Oleh karena itu, sebelum merencanakan reklamasi, sebaiknya

berkonsultasi dahulu dengan pemerintah daerah setempat, pemilik lahan atau instansi terkait lainnya. Berdasarkan kerusakan lahan akibat penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan, ada beberapa model reklamasi pada lahan bekas penambangan yakni sebagai berikut :

1.

Pemanfaatan lahan bekas penambangan untuk dijadikan kolam persediaan air (reservoir). Model atau sistem reklamasi ini dilakukan dengan cara menata kembali lubang-lubang bekas galian tambang, kemudian pada area antar lubang ditanami dengan tanaman keras dengan jenis akasia (seperti pada gambar 21.).

: Kolam Bekas Tambang

: Jalan masuk tambang / area penyangga

: Basecamp pekerja

: Tanaman Reklamasi

Gambar 21. Model reklamasi yang dijadikan kolam persediaan air

2.

Pengelolaan lahan bekas galian pasir dapat dikembangkan untuk budidaya itik petelor dan itik pedaging serta perikanan terpadu seperti gambar 22, 23 dan 24 di bawah ini.

Gambar 22. Papan reklame kegiatan pemanfaatan lahan bekas tambang pada lokasi Tambang-7 (BAD) (photo diambil pada tanggal 10 April 2011).

Gambar 23.Pengembangan peternakan itik pada lubang bekas galian pasir di lokasi Tambang-7 (BAD) (photo diambil pada tanggal 10 April 2011)

Gambar 24.

Karamba jaring apung pada lubang bekas galian pasir pada lokasi Tambang-7 (BAD) (photo diambil pada tanggal 10 April 2011)

3.

Model reklamasi yang lain yakni berupa pemanfaatan lubang bekas penambangan menjadi sesuatu yang baru seperti dijadikannya tempat rekreasi atau obyek wisata seperti pada gambar 25 dan 26. Model / sistem reklamasi seperti ini memerlukan penanganan yang lebih serius, apabila dalam perencanaan pengembangan suatu tempat wisata / rekreasi yakni dengan dibangunnya berbagai fasilitas hiburan. Penambahan fasilitas

hiburan dengan melalukan penggalian lahan lagi, maka top soil harus dikembalikan sebagai bahan penutup pada penanaman ganti lokasi yang digali. Penambahan fasilitas hiburan juga hendaknya diarahkan untuk pembelajaran bagi pengunjung untuk memelihara alam, misalnya dengan memberi kesempatan kepada pengunjung untuk melakukan penanaman pada lokasi yang ditetapkan dengan membeli bibit yang disediakan oleh

pengelola sehingga kunjungan ke obyek wisata juga merupakan kesempatan untuk peduli lingkungan.

Gambar 25.

Bekas lubang galian pasir yang dijadikan obyek wisata atau taman wisata (photo diambil tanggal 01 Mei 2011, lokasi Taman Gaul km. 21 Jalan Tjilik Riwut)

Gambar 26.

Bekas lubang galian pasir yang dijadikan obyek wisata atau taman wisata (photo diambil tanggal 01 Mei 2011, lokasi Taman Gaul km. 21 Jalan Tjilik Riwut)

4.

Selain itu sistem atau model reklamasi dapat dilakukan dengan cara meratakan dan menimbun permukaan tanah. Penimbunan dengan

menggunakan tanah urug atau gambut yang tidak diambil selama penambangan dan kemudian ditutupi dengan menggunakan tanah subur. Bekas tambang dapat kembali menjadi lahan tegalan, atau kebun campuran setelah proses perataan. Kebun campuran ini dapat ditanami dengan

kacang tanah, jagung, ubi kayu atau juga dengan jenis tanaman keras yakni dari jenis buah-buahan.

Gambar 27. Penampang lahan sebelum direklamasi.

Dalam rangka reklamasi lahan bekas penambangan, ada 4 (empat) tahap pekerjaan yang perlu dilakukan yaitu : a). Lubang-lubang galian ditimbun dengan sampah organik (sampah yang mudah membusuk, terdiri dari sisa sayuran dan atau makanan, serta sampah daun-daun kering) seperti pada gambar 28.

Gambar 28. Penampang lahan yang ditimbun sampah organik. b). Di atas timbunan sampah organik tersebut kemudian dilapisi dengan timbunan tanah urug atau gambut (gambar 29).

Gambar 29.

Penampang lahan yang dilapisi timbunan tanah urug dan atau gambut.

c). Di atas timbunan tanah urug atau gambut, kemudian diberi lapisan tanah subur sebagai pengganti lapisan tanah pucuk (top soil). Lapisan tanah subur ini disebar secara merata di atas lapisan tanah urug atau gambut (gambar 30).

Gambar 30. Penampang lahan yang telah dilapisi tanah subur. d). Pada tahap ini, dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman keras yaitu dari jenis buah-buahan (gambar 31 dan 32).

Gambar 31.

Penampang lahan bekas tambang yang telah direklamasi.

Gambar 32.

Penampang lahan bekas tambang yang telah direklamasi.

5.8. a).

Uji Hipotesis Hipotesis I Perbedaan tingkat kerusakan lahan dipengaruhi oleh banyaknya kegiatan penambangan pasir. Timbulnya kerusakan lahan seringkali terjadi pada

usaha pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak didasari pada prinsip-prinsip pelestarian, semakin banyak usaha / kegiatan

penambangan yang dilakukan maka lahan akan rusak dan berubah bentuk atau kondisinya. b). Hipotesis II Pengendalian kegiatan penambangan pasir akan mengurangi kerusakan pada lahan. Kegiatan penambangan terutama yang menggunakan

tambang terbuka, sudah tentu akan merubah bentuk bentang lahan. Namun hal itu tidak berarti merusak lingkungan, karena sifatnya hanya sementara dan pada akhir kegiatan penambangan lahan tersebut akan

direhabilitasi kembali. Hal ini bisa terjadi apabila kegiatan penambangan tersebut dirancang dan dikelola dengan baik. Kegiatan penambangan ini

yang sering menimbulkan kesan selalu merusak lingkungan,

disebabkan karena kegiatan penambangan tersebut tidak dikelola dengan baik dan tidak memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungannya. Suatu kegiatan penambangan yang dikelola dengan baik atau yang berwawasan lingkungan menghasilkan manfaat yang besar dan tidak merusak lingkungan fisik. Bahkan tidak mustahil bahwa suatu lahan bekas tambang yang direklamasi dengan benar akan menjadikan lahan tersebut lebih bermanfaat dibandingkan sebelum adanya kegiatan penambangan.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1.

Kesimpulan Berdasarkan tujuan dari penelitian tentang kajian kerusakan lahan akibat

penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya, dapat disimpulkan bahwa kerusakan lahan diakibatkan penambangan pasir tidak menerapkan sistem penambangan yang benar. Pengaruh langsung dari sistem penambangan pasir yang tidak benar tersebut, yakni rusaknya bentang lahan, terbentuk lubang bukaan yang luas dan dalam, sedangkan pengaruh tidak langsung, dengan adanya perubahan suhu di lokasi bekas penambangan yang tidak direklamasi, pencemaran debu dan gas buang. Akibat tidak direklamasinya bekas galian tersebut, sehingga pada musim penghujan akan terbentuk danau atau kolam yang luas dan dalam. Dengan

kedalaman lubang galian disetiap lokasi penambangan pasir berkisar antara 6 m 6,75 m dari permukaan lubang. Adapun tingkat kerusakan lahan akibat

penambangan pasir berada pada kriteria rusak sedang - berat. Tanah di lokasi penelitian secara umum dikategorikan mempunyai tingkat kesuburan yang tergolong rendah, baik dilokasi penambangan (tanah terusik) maupun di luar lokasi penambangan (tanah alami). Secara umum bahwa kualitas

air yang berada di luar lokasi penambangan berada pada skala 4 dengan kategori baik, sedangkan kualitas air dilokasi penambangan dikategorikan buruk dan berada pada skala 2 dengan status mutu air cemar berat. Kemudian berdasarkan data analisa benthos, bahwa kualitas lingkungan pada lubang bekas galian berada

pada

skala

yang

sangat

buruk

karena

tidak

terdapatnya

atau

tidak

teridentifikasinya benthos, sedangkan pada lokasi di luar penambangan yang belum terusik memperlihatkan tingkat kelimpahan yang sangat baik, namun pada indeks keseragaman menunjukkan skala sangat buruk, hal ini karena didominasi oleh 1 (satu) genera benthos saja.

6.2.

Saran Berdasarkan hasil dari penelitian dan bertitik tolak pada kesimpulan, maka

saran yang berkaitan dengan kerusakan lahan akibat penambangan pasir sebagai berikut : 1) melakukan pendataan kegiatan penambangan di Kelurahan Kalampangan, baik yang illegal (tidak memiliki ijin) maupun yang memiliki ijin; 2). untuk mengantisipasi meluasnya kerusakan lahan, akibat dari kegiatan penambangan pasir yang terus berlangsung perlu dilakukan penghentian sementara (moratorium) terhadap semua kegiatan penambangan di Kelurahan Kalampangan; 3). segera dilakukan inventarisasi lahan bekas tambang, untuk dilakukan reklamasi yang benar sesuai dengan peruntukkan dan penggunaannya; 4). segera melakukan zonasi kawasan pertambangan yang ditetapkan dengan peraturan. Berdasarkan kerusakan lahan akibat penambangan pasir, ada beberapa model / sistem reklamasi pada lahan bekas penambangan yakni : 1). lahan bekas penambangan tersebut dijadikan kolam persediaan air; 2). juga dapat dijadikan kawasan rekreasi atau wisata;

3). pemanfaatan lahan bekas galian pasir dapat dikembangkan untuk budidaya itik petelor dan itik pedaging serta perikanan terpadu (dengan pembuatan karamba jaring apung); 4). sistem reklamasi dengan cara menimbun dan meratakan lubang-lubang bekas galian, kemudian ditanami dengan tanaman keras penghasil kayu maupun tanaman perkebunan. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Investasi Jangka Menengah Kota Palangka Raya Tahun 2009 2029 (peta terlampir), bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan pemukiman dan penggunaan lainnya yang dapat dijadikan kawasan budidaya, sehingga diperlukan sosialisasi dari instansi terkait tentang pentingnya pelestarian lingkungan serta ditingkatkannya pengawasan dan penertiban terhadap penambangan yang tidak memiliki perijinan, kemudian dilakukan pengendalian dalam periijanan.

DAFTAR PUSTAKA

Anto. 2008. Pengaruh Penambangan Pasir Terhadap Kualitas Lahan Di Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang, Skripsi, S.Pd, Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Ambyo, S.M. 1995. Teknologi Pertambangan yang Berwawasan Lingkungan, Temu Profesi Tahunan IV, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Bandung. Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah dan Air, Edisi Kedua, Institut Pertanian Bogor Press, Bogor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Palangka Raya. 2007. Selayang Pandang Kota Palangka Raya, Palangka Raya. Bungin, H.M.B. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. BPP Kalampangan. 2010. Rencana Kerja Penyuluhan Pertanian Tahun 2009, Kalampangan. Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya. 2002. Analisis Dampak Lingkungan dan Rencana Reklamasi Bekas Penambangan Galian Golongan C di Wilayah Kecamatan Pahandut dan Bukit Batu, Laporan Hasil Studi, Palangka Raya. Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya. 2005. Laporan Inventarisasi, Penelitian Dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Mineral Wilayah Kota Palangka Raya Di Kecamatan Pahandut, Jekan Raya, Sabangau, Palangka Raya. Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya. 2009. Pengkajian Geologi Tata Lingkungan di Kecamatan Sabangau, Laporan Akhir, Palangka Raya. Darsono, V. 1995. Pengantar Ilmu Lingkungan, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Dyahwanti, Inarni Nur. 2008. Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan Penambangan Pasir pada Daerah Sabuk Hijau Gunung Sumbing di Kabupaten Temanggung, Tesis, M.Si, Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta. Fandeli, Ch. 1992. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Prinsip Dasar dan Pemapanannya Dalam Pembangunan, Liberty, Yogyakarta. Firmansyah, Anang. 2008. Kalampangan Profil Desa Sukses Di Pertanian Gambut Kalteng, Tabloid Sinar Tani, 30 Juli 2008, Foth, Henry D. 1988. Dasar - Dasar Ilmu Tanah, edisi ketujuh, Terjemahan : Ir. Endang Dwi Purbayanti,MS, Ir. Dwi Retno Lukiwati, MS, Ir. Rahayuning Trimulatsih, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Heryanto, R, Nila, E.S, dan Rustandi, E. 1995. Peta Geologi Lembar Palangkaraya, Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G), Bandung. Inkantriani, Betha Patria. 2008. Evaluasi Daya Dukung Lingkungan Zona Industri Genuk Semarang. Tesis, M.Si, Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya. 2010. Profil Kecamatan Sabangau, Kalampangan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 43 Tahun 1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan, Jakarta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, Jakarta. Kusuma, Adang P. 2008. Menambang Tanpa Merusak Lingkungan, (http://bulletin.penataanruang.net/edisi_juli-agustus_2008 / upload / data_artikel / menambang-tanpa-merusak-lingkungan.pdf), Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung, di download pada hari Sabtu, 24 April 2011. Margono, U, dan Sumartadipura, A.S. 1996. Peta Geologi Lembar Tewah (Kuala Kurun), Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G), Bandung.

Mitchel, B., B. Setiawan dan D.H. Rahmi. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Najib. 2006. Kajian Geologi Lingkungan Dalam Evaluasi Tingkat Kerusakan Lahan Akibat Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Teknik Vo. 28 No. 3 Tahun 2006, ISSN 0852-1697. Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 2006. Pengelolaan Lahan dan Lingkungan Pasca Penambangan, Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1999. Diagnosis Fisik, Kimia dan Hayati Tanah Kerusakan Lahan, disampaikan pada Seminar Penyusunan Kriteria Kerusakan Tanah / Lahan, Asmendep I LH / Bapedal Yogyakarta, 1- 3 Juli 1999. Purwowidodo. 1991. Ganesa Tanah, Proses Ganesa dan Morfologi, Rajawali Press, Jakarta. Program Pasca Sarjana, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. 2009. Panduan Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis, Palangka Raya. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Jakarta. Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, Jakarta. Syah, Soerjani. 1987. Lingkungan Sumber Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Universitas Indonesia, Jakarta. Sitorus, S.R.P. 2003. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Suharto, Totok. 2010. Kajian Kualitas Lingkungan Akibat Penambangan Pasir dan Batu, (http://totoksuharto.blogspot.com/2010/07/kajian-kualitaslingkungan-akibat.html). di download pada hari Sabtu 2 April 2011. Suprapto, Sabtanto Joko. 2008, Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan Aspek Konservasi Bahan Galian. (http://psdg.bgl.esdm.go.id/buletin2008/tanto/makalah/reklamasi-lahan-bekas-tambang.pdf), Kelompok Program Penelitian Konservasi, Pusat Sumber Daya Geologi, di download pada hari Sabtu 2 April 2011.

Vandalisna. 2008. Konservasi Lahan Padi Sawah (Oryza Sativa, L) Dengan Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Di Desa Aman Damai Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat, Tesis, M.Si, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan. Yudhistira. 2008. Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Daerah Kawasan Gunung Merapi (Studi Kasus di Desa Keningar Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah), Tesis, M.Si, Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Lampiran 1.

Bobot Penilaian (Skor) Untuk Beberapa Variabel

Variabel variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi : (1). Batas tepi galian; a. Baik, bila batas tepi galian > 5 m dari tepi kepemilikan (ijin yang diberikan), diberi bobot penilaian (skor) = 1; b. Sedang, bila batas tepi galian 3 4 m dari tepi kepemilikan, diberi bobot penilaian (skor) = 2; c. Rusak, bila batas tepi galian < 3 m dari tepi kepemilikan, diberi bobot penilaian (skor) = 3; Yang dimaksud dengan batas tepi galian adalah jarak antara titik terluar lubang dengan titik terdekat dari batas SIPD. Jarak lubang galian dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu oleh kegiatan penambangan.

Gambar. 1. Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan


(sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996)

Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang galian masing-masing SIPD dapat mencapai bersinggungan, batas SIPD yang berdampingan /

sedangkan jarak lubang galian pada batas SIPD yang tidak

berdampingan / bersinggungan minimal 5 (lima) meter dari batas SIPD.

Gambar. 2.

Jarak Galian Bersinggungan

dengan

Batas

Lahan

Penambangan

Yang

(sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996)

(2). Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal; a. Baik, bila tinggi dinding galian < 2 m, (skor) = 1; b. Sedang, bila tinggi dinding galian 2 -3 m, (skor) = 2; c. Rusak, bila tinggi dinding galian > 3 m, (skor) = 3; Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang. Untuk menjaga stabilitas dinding galian, diberi bobot penilaian diberi bobot penilaian diberi bobot penilaian

kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras Tinggi tebing teras dibatasi, maksimum 3

sebagai parameter yang diamati. meter sehingga batas Sedangkan

toleransi bagi keamanan lingkungan disekitarnya.

lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar

kemiringan dinding galian tidak lebih curam dari 50 %.

Gambar. 3. Relief Dinding Galian yang Disyaratkan untuk Semua Peruntukkan.


(sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996)

Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari pemukaan lahan hingga ke dasar lubang galian. Permukaan disini adalah permukaan awal pada

tepi lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah lubang galian yang terdalam. Pengukuran

kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan awal dengan dasar lubang terdalam.

Gambar. 4. Kedalaman Lubang Galian.


(sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996)

(3). Pengangkutan bahan galian (Truck pengangkut) a. Baik, bila muatan < 10 % dari kapasitas truck (6 m3), diberi bobot penilaian (skor) = 1; b. Sedang, bila muatan kelebihan 10 20 % dari kapasitas truck (6 m3), diberi bobot penilaian (skor) = 2; c. Rusak, bila muatan kelebihan > 20 % dari kapasitas truck (6 m3), diberi bobot penilaian (skor) = 3;

(4). Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian; a. Baik, bila jalan umum tidak berlubang dan bergelombang, bobot penilaian (skor) = 1; diberi

b.

Sedang, bila jalan umum sudah ada lubang dengan luas sebaran lubang < 30 % dari sebelum ada penambangan, (skor) = 2; diberi bobot penilaian

c.

Rusak, bila jalan berlubang dengan sebaran lubang > 30 % dari sebelum ada penambangan, diberi bobot penilaian (skor) = 3;

(5). Luas reklamasi a. Baik, bila lahan yang direklamasi + luas lahan yang masih tertutup > 75 % dari luas kepemilikan / ijin, diberi bobot penilaian (skor) = 1; b. Sedang, bila lahan yang direklamasi + luas lahan yang tertutup 50 75 % dari luas kepemilikan / ijin, diberi bobot penilaian (skor) = 2; c. Rusak, bila lahan yang direklamasi + luas lahan yang tertutup < 50 % dari luas kepemilikan / ijin, diberi bobot penilaian (skor) = 3;

(6). Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi. a. Baik, bila tanah pucuk yang telah diambil dimanfaatkan > 90 %, diberi bobot penilaian (skor) = 1; b. Sedang, bila tanah pucuk yang telah diambil dimanfaatkan 50 90 %, diberi bobot penilaian (skor) = 2; c. Rusak, bila tanah pucuk yang telah diambil dimanfaatkan < 50 %, diberi bobot penilaian (skor) = 3;

Lampiran 2.

Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang1 (YS). 5,00 Ha 298 Tahun 2007, tanggal 20 Nopember 2007

Luas No SK.

: :

No.

Variabel

Hasil Pengukuran / Pengamatan

Bobot Penilaian (Skor) 3

Kategori

1.

Batas tepi galian Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal Pengangkutan bahan galian (truck pengangkut) Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian Luas reklamasi Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi

0,00 meter

Rusak

2. 3. 4.

6,15 meter Tidak beroperasi tidak berlubang dan bergelombang tidak dilaksanakan tidak dikembalikan

3 1

Rusak Baik

5. 6.

3 3

Rusak Rusak

Lampiran 3.

Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang2 (CV.DG). 20,20 Ha 122 Tahun 2007, tanggal 16 April 2007

Luas No SK.

: :

No.

Variabel

Hasil Pengukuran / Pengamatan

Bobot Penilaian (Skor) 3

Kategori

1.

Batas tepi galian Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal Pengangkutan bahan galian (truck pengangkut) Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian Luas reklamasi Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi

0,00 meter

Rusak

2. 3. 4.

6,12 meter tidak beroperasi tidak berlubang dan bergelombang tidak dilaksanakan tidak dikembalikan

3 1

Rusak Baik

5. 6.

3 3

Rusak Rusak

Lampiran 4.

Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang3 (AS). 2,235 Ha 155 Tahun 2007, tanggal 23 Mei 2007

Luas No SK.

: :

No.

Variabel

Hasil Pengukuran / Pengamatan

Bobot Penilaian (Skor) 3

Kategori

1.

Batas tepi galian Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal Pengangkutan bahan galian (truck pengangkut) Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian Luas reklamasi Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi

0,00 meter

Rusak

2. 3. 4.

6,75 meter tidak beroperasi tidak berlubang dan bergelombang tidak dilaksanakan tidak dikembalikan

3 1

Rusak Baik

5. 6.

3 3

Rusak Rusak

Lampiran 5.

Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang4 (ZB). 3,00 Ha 45 Tahun 2008, tanggal 28 Pebruari 2008

Luas No SK.

: :

No.

Variabel

Hasil Pengukuran / Pengamatan

Bobot Penilaian (Skor) 3

Kategori

1.

Batas tepi galian Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal Pengangkutan bahan galian (truck pengangkut) Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian Luas reklamasi Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi

0,00 meter

Rusak

2. 3. 4.

6,10 meter 4 m3 tidak berlubang dan bergelombang tidak dilaksanakan tidak dikembalikan

3 1 1

Rusak Baik Baik

5. 6.

3 3

Rusak Rusak

Lampiran 6.

Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang5 (HS). 4,194 Ha 153 Tahun 2008, tanggal 26 Juli 2008

Luas No SK.

: :

No.

Variabel

Hasil Pengukuran / Pengamatan

Bobot Penilaian (Skor) 3

Kategori

1.

Batas tepi galian Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal Pengangkutan bahan galian (truck pengangkut) Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian Luas reklamasi Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi

0,00 meter

Rusak

2. 3. 4.

6,00 meter 4 m3 tidak berlubang dan bergelombang tidak dilaksanakan tidak dikembalikan

3 1 1

Rusak Baik Baik

5. 6.

3 3

Rusak Rusak

Lampiran 7.

Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang6 (ALT). 4,956 Ha 60 Tahun 2008, tanggal 15 Maret 2008

Luas No SK.

: :

No.

Variabel

Hasil Pengukuran / Pengamatan

Bobot Penilaian (Skor) 3

Kategori

1.

Batas tepi galian Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal Pengangkutan bahan galian (truck pengangkut) Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian Luas reklamasi Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi

0,00 meter

Rusak

2. 3. 4.

6,32 meter 4 m3 tidak berlubang dan bergelombang tidak dilaksanakan tidak dikembalikan

3 1 1

Rusak Baik Baik

5. 6.

3 3

Rusak Rusak

Lampiran 8.

Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang7 (BAD). BAD 1,93 Ha 72 Tahun 2008, tanggal 19 April 2008

Lokasi Luas No SK.

: : :

No.

Variabel

Hasil Pengukuran / Pengamatan

Bobot Penilaian (Skor) 3

Kategori

1.

Batas tepi galian Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal Pengangkutan bahan galian (truck pengangkut) Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian Luas reklamasi Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi

0,00 meter

Rusak

2. 3. 4.

6,15 meter 4 m3 tidak berlubang dan bergelombang tidak dilaksanakan tidak dikembalikan

3 1 1

Rusak Baik Baik

5. 6.

3 3

Rusak Rusak

You might also like