You are on page 1of 14

TINGGINYA PERMINTAAN FOGGING SWADAYA DI PUSKESMAS

WONOSARI II WONOSARI GUNUNGKIDUL – DIY *)


1
Sutopo Patria Jati **) Siti Hidayati***)

Penanggulangan penyakit DBD yang paling efektif adalah memberantas vektor


penyakit di tempat perkembangbiakan. Besarnya permintaan yang berlebihan dari
fogging swadaya di masyarakat justru akan mengganggu upaya – upaya pencegahan
dalam penanggulangan DBD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran
bagaimana mekanisme permintaan fogging swadaya dan faktor – faktor yang
menyebabkan tingginya permintaan fogging swadaya.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan


menggunakan wawancara mendalam berdasar pedoman wawancara. Pengambilan unit
analisis sebanyak 8 orang responden. Triangulasi menggunakan sumber tokoh masyarakat
dan pemegang program di puskesmas.

Hasil penelitian menunjukkan dari sisi pengguna pelayanan kesehatan yaitu


pengetahuan masyarakat tentang fogging masih kurang. Meskipun sikap masyarakat
positif dalam keikutsertaan menanggulangi DBD tapi negatif dalam menekan adanya
permintaan berlebihan terhadap fogging. Hal ini disebabkan fogging merupakan program
yang lebih disenangi daripada program yang lain dengan alasan adanya rasa kebersamaan
dan meninggalkan bekas/bukti nyata..Sosial budaya masyarakat masih kurang
mendukung dalam pemberantasan vektor penyakit DBD. Dari sisi ketersediaan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan justru memudahkan adanya permintaan berlebihan
dari fogging swadaya.
Mekanisme permintaan fogging swadaya selama ini cenderung tidak
menggunakan jalur pokjanal (desa dan kecamatan) sehingga permintaan masyarakat
menjadi tidak terkontrol. Hasil analisis akar masalah dengan diagram fishbone
teridentifikasi empat penyebab utama tingginya kasus DBD dan permintaan fogging
swadaya oleh masyarakat. Selanjutnya upaya intervensi oleh pemerintah untuk
menurunkan permintaan fogging swadaya sebaiknya memfokuskan pada ke empat aspek
tersebut meliputi aspek pengetahuan, sikap dan persepsi masyarakat, aspek pelayanan
kesehatan, aspek lingkungan dan aspek sosial budaya .
Kata kunci : fogging swadaya, penanggulangan penyakit DBD

PENDAHULUAN

Nyamuk penular DBD (aedes aegypti) memiliki karakteristik tersebar luas baik di

rumah atau di tempat – tempat umum dan karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk

memberantas virusnya belum ada maka pencegahan atau pemberantasan penyakit ini
1
*) Paper ilmiah disampaikan dalam Seminar Nasional Hari Nyamuk Tahun 2007 di Semarang
**)Staf Bagian AKK FKM UNDIP Semarang
***) Mahasiswa Peminatan AKK FKM UNDIP Semarang

1
adalah dengan memberantas nyamuk penularnya (WHO,SEARO,2000). Cara yang paling

efektif dalam menanggulangi DBD adalah dengan pemberantasan vektor DBD atau

dengan cara memberantas jentik nyamuk di tempat berkembang biaknya (Depkes

RI,1992)

Fogging merupakan penanggulangan seperlunya sebagai upaya membatasi

penularan penyakit DBD di rumah penderita / tersangka penyakit DBD dan lokasi

sekitarnya serta di tempat umum yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan

penyakit DBD yang dilakukan sesudah ada kasus, sebelum musim penularan penyakit
(6)
dan dilakukan berdasar hasil penyelidikan epidemiologi (PE), dan ABJ < 95 %

sedangkan rekomendasi terbaru dari WHO adalah penyemprotan insektisida sebaiknya

tidak digunakan kecuali dalam keadaan genting selama terjadi Kejadian Luar Biasa

(KLB) / wabah DBD (WHO,SEARO,2000).

Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah terluas dari Kabupaten lain di DIY

(46,3%) dan sebagian besar adalah pegunungan mempunyai 29 wilayah puskesmas yang

terbagi menjadi 13 puskesmas rawat inap dan 16 puskesmas rawat jalan. Puskesmas

Wonosari II merupakan salah satu puskesmas rawat jalan di Kabupaten Gunungkidul.

Puskesmas Wonosari II meliputi daerah perkotaan dan pedesaan di Kabupaten

Gunungkidul dan memiliki jumlah kasus BDB yang paling tinggi. Berdasarkan data

terakhir ditemukan jumlah penderita DBD pada tahun 2000 : 23 kasus, tahun 2001: 21

kasus, tahun 2002: 14 kasus, tahun 2002: 27 kasus dan terkahir tahun 2005 : 40 kasus.

Permintaan fogging focus sesuai kasus tahun 2004 sebanyak 40 paket sedangkan

permintaan fogging swadaya jauh lebih tinggi sebesar 86 paket atau mencapai 74,8% dari

2
total permintaan fogging swadaya se Kabupaten Gunung Kidul. (Data Kasus P2MPL

Kab. Gunung Kidul, 2005)

Berdasarkan data tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat

menjelaskan mengapa terjadi permintaan fogging swadaya yang sangat tinggi di wilayah

Puskesmas Wonosari II. Fogging seharusnya dilaksanakan sebagai cara terakhir, jika cara

lain telah diupayakan tetapi hasilnya belum dapat memperbaiki keadaan dengan

memperhatikan efektivitas, azas kemanfaatan, efisiensi sumber daya, mengingat dampak

kesehatan bagi mereka yang terpapar zat kimia, kemungkinan resistensi nyamuk, dan

dampak psikososial masyarakat dalam menghentikan penularan penyakit DBD (Depkes

RI,1992)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif (Singarimbun,1995 dan

Moleong,1996). Subyek peneltian adalah warga masyarakat di wilayah Puskesmas

Wonosari II yang bisa memberikan informasi dan pernah mengajukan fogging swadaya.

Obyek Penelitian meliputi: (1) Informan sosial budaya kaitannya dengan penanganan

DBD di masyarakat yaitu tokoh masyarakat / aparat desa yang berada di desa endemis

(Desa Kepek, Wonosari, Baleharjo dan Karang Tengah); (2) Informan sasaran ditentukan

secara purposif dan jumlah informan berhenti setelah mencapai saturasi (jenuh)

(Singarimbun,1995 ); (3) Sebagai triangulasi digunakan tokoh masyarakat dan petugas

puskesmas pemegang program DBD dan ditentukan secara purposif (Moleong,1996).

Instrumen yang digunakan adalah catatan lapangan; kuesioner wawancara

mendalam dan tape recorder serta cara pengumpulan data yaitu :

3
Data Sumber Cara pengumpulan data
Pengguna pelayanan kesehatan Informan sasaran Wawancara mendalam
Pengetahuan, sikap, persepsi
Sosial Budaya Tokoh masyarakat Wawancara mendalam
Pelayanan Kesehatan / Provider Pemegang program Wawancara mendalam
Keadaan lingkungan Observasi

Teknik pengolahan data melalui tahapan : editing; pengelompokan catatan

lapangan ( Catatan Pengamatan, Catatan Teori dan Catatan Metodologi); dan tabulasi.

Sedangkan tahapan analisis data adalah dimulai dengan : (1) pembahasan data;

(2) penyimpulan data (melalui pembuatan koding dan pemrosesan satuan/unityzing,

filling system dan pengkategorian, dan komentar data /memoing serta penafsiran data);

(3) presentasi data; dan (4) Interpretasi data melalui penjelasan hubungan darta dan

pendapat peneliti serta pengembangan konsep (Moleong,1996; Utarini,Hamidi, 2004)

Setelah dienterpretasi data tersebut akan dalakukan analisis menggunakan diagram

fishbone untuk dapat mengidentifikasi penyebab utama dari tingginya permintaan

fogging swadaya di masyarakat.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Informan dalam penelitian ini terdiri dari 8 orang yang mempunyai karakteristik

sebagai berikut.

4
Tabel 1 Karakteristik responden

Umur Jenis Status Hub dg


Masyarakat Pddk Pekerjaan
(th) kelamin marital penderita
Resp 1 36 Laki-laki Diploma PNS Guru Menikah Bapak
Resp 2 58 Laki-laki SMA Pensiunan Menikah Kakek
Resp 3 51 Laki-laki SD Petani Menikah Bapak
Resp 4 58 Laki-laki SD Pande besi Menikah Kakek
Resp 5 43 Laki-laki S1 PNS Menikah Bapak
Resp 6 55 Laki-laki SMP Buruh Menikah Pakde
Resp 7 29 Laki-laki SMP Wiraswasta Menikah Tetangga
Resp 8 46 Laki-laki SMA PNS rutan Menikah Tetangga

Untuk tokoh masyarakat ternyata semua duduk dalam jabatan sebagai pokjanal

di desa masing – masing dengan karakteristik sebagai berikut:

Tabel 2 Karakteristik Tokoh Masyarakat

Tokoh
Umur (th) Pendidikan Jabatan
masyarakat
Tm 1 45 SMA Staf kelurahan
Tm 2 56 SMA Kaur. Pembangungan
Tm 3 40 S1 Carik (Sekretaris Desa)
Tm 4 42 SMA Kaur. Kesra

Pengetahuan Pengguna Pelayanan Fogging / konsumer

Ada beberapa jawaban responden yang masih belum tepat terkait dengan

“where” dari fogging ternyata sebagian responden menjawab fogging dilakukan

untuk desa yang kumuh dan banyak limbahnya menunjukkan bahwa selama ini

masyarakat belum banyak mengetahui bagaimana membedakan nyamuk penyebar

DBD (Aedes Aegypti) dengan nyamuk penyebar penyakit yang lain (malaria) bahwa

nyamuk Aedes aegypti ini tidak berkembang biak di genangan air yang kotor dan

hanya memilih air yang bersih untuk bertelur.

5
Berkaitan dengan ‘when’ dilakukan fogging hasil jawaban sebagian besar

responden tentang interval waktu adalah 2 kali dalam sebulan menunjukkan bahwa

‘timing’ pelaksanaan fogging belum banyak diketahui. Penelitian Trisnantoro, 1993

dalam Haryono (1999) menyatakan kebijakan penyemprotan 2 siklus tidak

mempengaruhi ABJ, jadi kebijakan tersebut perlu ditinjau ulang.

Berkaitan dengan ‘how’ sebagian responden mengemukakan bahwa fogging

seharusnya dilakukan sebelum kejadian. Jawaban tersebut menunjukkan pengetahuan

masyarakat dalam hal ini masih kurang, dalam arti fogging digunakan sebagai upaya

pencegahan semata tanpa mengetahui syarat lain yang mengikutinya.

Adapun berkaitan dengan penggunaan abate di masyarakat masih rancu karena

ketakutan banyaknya penjual abate yang kadang cenderung memaksa masyarakat

untuk membeli dan kekhawatiran jika abate tersebut palsu. Disisi lain ternyata

pemakaian abate yang masih dibarengkan dengan pengurasan sehingga menjadi

mubazir / sia – sia karena efek residu yang seharusnya bertahan 3 bulan tidak

dimanfaatkan masyarakat secara optimal.

Sikap Pengguna Pelayanan Fogging / konsumer

Sikap responden terhadap kasus bila salah satu anggota keluarga atau

tetangganya ada yang terkena DBD tapi ternyata tidak ada fogging adalah pada

umumnya kecewa dan berusaha meminta ada fogging dan sebisa – bisanya

memberantas di sekitar lingkungan saja. Dari jawaban sini diketahui bahwa fogging

masih merupakan pilihan utama karena berbagai alasan.

Apabila puskesmas tidak meloloskan permintaan fogging ditanggapi sangat

bervariasi namun yang menonjol adalah keseluruhan responden menyatakan setuju

6
untuk fogging swadaya bahkan bila pukesmas tidak melayani sebagian responden

menyatakan akan mencari pihak lain / swasta yang mau melaksanakan. Hasil kroscek

dengan pembina program jika ada kasus DBD maka masyarakat beramai – ramai

mengusulkan untuk fogging swadaya. Hasil penelitian di sini berbanding terbalik

dengan hasil penelitian oleh R. Sombowidjojo, 1999 yang menyatakan perhatian

fogging kurang efektif karena fogging merupakan suatu bentuk pencegahan nyamuk

yang tidak bisa ditangani oleh masyarakat, namun masyarakat menerima program

tersebut karena program tersebut bermanfaat

Menurut surat edaran pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul tentang

kebijakan pemberantasan penyakit DBD, dalam hal ini swasta boleh dilibatkan untuk

melakukan upaya pemberantasan vektor dengan berbagai syarat. Adapun kondisi yang

berlangsung selama ini ketentuan tersebut belum bisa dilaksanakan secara tertib

mengingat laporan dari pihak swasta belum mengikuti prosedur yang ada.

Persepsi Pengguna Pelayanan Fogging / konsumer

Persepsi dan alasan responden bahwa fogging lebih disenangi dari program

yang lain dan hal ini diperkuat juga dari hasil kroscek dengan tokoh masyakarat

adalah karena bersifat massal, murah, mantep, ramai ramai, kelihatan bersatu,

praktis, nyamuk betul – betul mati, ada bekasnya, lebih tenang dan karena bisa

ditujukan pada tempat yang tidak dapat dijangkau oleh tangan.

Penelitian Haryono, 1999 menyatakan bila pengasapan tidak didahului 3M

atau abatisasi, pengasapan tidak akan berhasil karena jentik yang siap menjadi nyamuk

dewasa akan muncul kembali dan siap untuk menularkan penyakit jadi fogging bukan

cara terbaik dalam memutuskan permasalahan DBD. Semakin sering melaksanakan

7
fogging justru status ABJ semakin rendah. Pendapat Mardihusodo, 1995 dalam

penelitian Betty Saptiwi menyatakan stadium larva nyamuk Aedes aegypti di kota

Yogyakarta berkesan mulai resisten terhadap malation dan temephos.

Aspek Sosial Budaya Pengguna Fogging

Kebudayaan yang mendukung penanggulangan DBD adalah adanya

pertemuan – pertemuan khusus KB dan kesehatan, gotong royong yang masih erat,

adanya kelompok – kelompok di masyarakat yang berperan antara lain pertemuan

kader kesehatan per bulan,pertemuan warga di tingkat RT sampai dengan desa, dan

cepat ditanggapinya pengumuman dari RT, RW atau dusun. Daerah Wonosari

memang belum bisa dikategorikan sebagai wilayah perkotaan sehingga kebudayaan

gotong royong, kerja bakti, kelompok – kelompok di masyarakat dan kegiatan yang

dilakukan secara bersama –sama masih banyak mempengaruhi perilaku masyarakat.

Aspek Pelayanan Kesehatan

Pihak yang diminta bantuan oleh responden untuk memfogging adalah

puskesmas, Lewat RT, RW, ke balai desa dan ke dinas kesehatan baik langsung

maupun tidak. Dan birokrasi mengajukan fogging yang ditempuh masyarakat lewat

kepengurusan RT, RW, Balai desa / lurah, dengan lisan maupun surat ke Puskesmas

dan ada yang langsung ke dinas kesehatan.

Menurut acuan yang benar adalah mengajukan permintaan fogging kepada

pokjanal kecamatan / puskesmas setempat dengan surat dari kepala desa / dusun / RT

setempat. Atas dasar surat ini selanjutnya puskesmas melakukan PE di lokasi untuk

memperoleh data lengkap. Atas dasar surat dan masukan dari puskesmas maka

Pokjanal kecamatan memberikan rekomendasi untuk mengajukan fogging ke dinas

8
kesehatan. Persetujuan fogging diberikan dinas kesehatan dengan pertimbangan yang

sama seperti prinsip fogging secara umum.

Setelah kroscek yang dilakukan dengan pembina program didapatkan bahwa

selama ini masyarakat tidak tahu, dari RT / RW kurang memfungsikan pokjanal desa

langsung ke puskesmas karena merasa lebih cepat dan tepat. Dari kroscek dengan

tokoh masyarakat didapatkan hasil bahwa cara masyarakat mengajukan fogging

adalah meminta bantuan kader kesehatan, ke puskesmas atau balai desa, untuk

masyarakat yang belum tahu birokrasinya, biasanya ke puskesmas.

Hasil kroscek dengan tokoh masyarakat didapat informasi yang agak ekstrim

yaitu masyarakat memanfaatkan ‘mumpung’ ada fogging. Setelah informasi ini digali

lebih lanjut oleh peneliti ternyata ada pengalaman sebelumnya bahwa fogging di Desa

Baleharjo pernah didanai oleh partai peserta pemilu pada pilihan presiden dan

anggota DPRD setempat. Pihak pelaksana adalah Dinas Kesehatan Kabupaten

Gunungkidul dan menurut tokoh masyarakat oknum dari Dinas Kesehatan tersebut

pernah pula menyatakan bahwa fogging sekalian dilaksanakan tidak hanya untuk 1

fokus dengan alasan untuk menghemat waktu dan tenaga.

Hasil Observasi Lingkungan

Hasil observasi kondisi lingkungan perumahan banyak dijumpau genangan air

yang luput dari perhatian adalah talang, tempat minum burung dan belakang kulkas.

Kolam di sekitar rumah banyak juga terdapat mengingat kondisi geografis daerah

Gunungkidul dengan struktur batu bertanah bukan tanah berbatu. Batu yang terdapat

disana merupakan batu kapur yang kadang besarnya melebihi rumah.

9
Dalam memanfaatkan batu kapur ini biasanya digunakan oleh penduduk untuk

dijual dengan cara digergaji. Pekerjaan “nggraji watu” ini merupakan mata

pencaharian bagi masyarakat. Penggergajian dilakukan dengan menggergaji batu di

kedalaman / membuat lubang ke dalam tanah seperti membuat kolam. Kolam – kolam

ini begitu musim hujan datang akan segera terisi air dan menjadi tempat

perkembangbiakan nyamuk. Menurut WHO SEARO, 2000 tempat

perkembangbiakan utama jentik adalah tempat – tempat penampungan air dalam atau

di sekitar rumah atau tempat umum biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari

rumah, berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana. Nyamuk

Aedes sp tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan

dengan tanah. Genangan air yang ada di sekitar rumah ini sangat memungkinkan

nyamuk untuk berkembang biak. Nyamuk yang berkembang biak di luar rumah pada

umumnya adalah nyamuk Aedes albopictus yang biasanya kurang efisien sebagai

vektor penyakit DBD dibanding Aedes aegypti. Namun tidak menutup kemungkinan

bahwa Aedes albopictus juga menjadi penyebar DBD.

Dari hasil observasi kandang di rumah penduduk pada tempat air untuk

minum ternak banyak terdapat jentik – jentik nyamuk karena air yang terus ditambah

tanpa diganti. Ketika ditanyakan tentang penggunaan abate di air minum ternak,

masyarakat setempat belum pernah melaksanakan dengan alasan akan menyebabkan

hewan keracunan.Menurut Sutaryo, 2004 abate yang ditaburkan pada air aman

dikonsumsi untuk mandi ataupun dikonsumsi sebagai air minum. Dari informasi ini

perlu sekali disampaikan pada masyarakat mengingat belum banyak diketahui bahwa

abate tidak beracun untuk manusia atau hewan ternak

10
KESIMPULAN

Hasil pemetaan mekanisme permintaan fogging dari masnyarakat

menunjukkan ketidak efektifan fungsi pokjanal seperti terlihat ( Gambar 1) berikut ini

Gambar 1: Mekanisme Permintaan Fogging Dari Masyarakat

Masyarakat RT / RW Kepala
yang terkena setempat dusun
DBD
Analisis menggunakan diagram fishbone dihasilkan kesimpulan bahwa

Kader
pemetaan faktor-faktor Pokjanal
yang kemungkinan menjadi akar penyebab tingginya kasus
Kesehatan Desa
DBD dan permintaan fogging swadaya di masyakarat, seperti terlihat dalam Gambar

2, berikut ini : Pokjanal


Kecamatan

Dinas
Puskesmas
Kesehatan

Gambar2:Identifikasi Beberapa Penyebab Tingginya Kasus DBD dan Permintaan


Fogging Swadaya

Aspek Sosial Aspek


Budaya Lingkungan
Fisik

Tingginya sifat Bekerja sebagai


gotong royong penggergaji batu Genangan
kapur air di talang
Banyak
Kecepatan tukar Kolam batu Genangan air di
informasi antar warga kapur pembuangan
Banyak Tempat kulkas
air minum ternak
Tersedia Kas RT Tingginya
Kasus DBD
&
Permintaan
Fogging
11
Swadaya di
Masyarakat
Penawaran fogging Ada bekas
Anggaran dari pihak Muncul rasa nyata
Puskesma & swasta/parpol kebersamaan
Dinkes kurang PSN melalui
kerja bakti sulit
“Aji mumpung”
dilakukan
terutama saat ada
secara serentak
kampanye parpol
Pokjanal tidak
berfungsi Pengetahuan Abatisasi dapat
dampak fogging meracuni ternak
masih kurang
Sikap tidak percaya Kekhawatirarn abate
terhadap layanan palsu yang ditawarkan
puskesmas oleh “oknum petugas”

Aspek Pelayanan Aspek Pengetahuan ,


REFERENSI
Kesehatan Sikap dan Persespi
Masyarakat

REFERENSI

Betty Saptiwi. Studi Faktor Resiko Penularan DBD di Kec. Gondokusuman


Yogyakarta. Program Pascasarjana, UGM, 1995

Depkes RI. Petunjuk Teknis Penemuan. Pertolongan dan Pelaporan Penderita


Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta , 1992

Depkes RI. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah


Dengue. Jakarta, 1992

Depkes RI. Petunjuk Teknis Penyelidikan Epidemiologi (PE) Penanggulangan


seperlunya dan penyemprotan massal dalam pemberantasan penyakit DBD. Jakarta,
1992

Depkes RI. Journal of public health no 63; hal 30; Jakarta, 2000

Depkes RI. Pemberantasan Demam Berdarah. Jakarta, 1996

Depkes RI. Petunjuk Pelaksanaan UU Wabah. Jakarta, 1991

12
Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Penyelenggaraan Puskesmas di Era
Desentralisasi. Jakarta, 2001

Hamidi. Metodologi Penelitian Kualitatif. Universitas Muhammadiyah Malang,


Malang, 2004

Haryono. Efek Program Pengendalian DBD dan karakteristik Rumah tangga


terhadap Status ABJ di Kodya Jayapura. Pascasarjana UGM, 1999

Hoedojo. Vektor DBD dan Upaya penanggulangannya, Majalah Parasitologi


Indonesia . Edisi 6; Jakarta, 1993

Moleong Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung,


1996

Pemkab. Gunungkidul. Surat edaran kebijakan P2DBD. 2005

Soegeng S. Penatalaksanaan DBD pada anak. IDI, Jakarta, 2001

Soetaryo, Buku Praktis Mengenal Demam Berdarah. Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, 2004

Sombowidjojo. Persepsi dan Perilaku Partisipasi Program Penanggulangan DBD


oleh masyarakat di wilayah Puskesmas Magelang Selatan Kodya Dati II Magelang.
Program Pascasarjana UGM, 1999

Sri Rejeki. DBD Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter
Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD, FKUI, 2002

Utarini Adi. Metode Penelitian Kualitatif. Program S3 Kedokteran dan Kesehatan.


Program Pascasarjana UGM

WHO SEARO. Terjemahan Prevention and Control of Dengue and Dengue


Haemorrhagie Fever. Jakarta, 2000

Zaini M. Peran Predisposing Pada Ibu Rumah Tangga Dan Pengaruh Penyuluhan
Dalam PSN di Desa Kedungmaling Kec. Sooko Kab. Mojokerto. Program
Pascasarjana UGM, 1989

________. Prosiding Lokakarya Ekonomi Kesehatan, Perumusan dan Aplikasi Ilmu


Ekonomi Kesehatan di Indonesia, Depkes RI & PPEKI, Cimacan, 1989

______. Data Kasus P2MPL Kab. Gunungkidul. Wonosari, 2005

______. Data P2DBD Puskesmas Wonosari II. Wonosari, 2004

13
14

You might also like