You are on page 1of 8

A.

LATAR BELAKANG Proses pengobatan penyakit sudah sama lamanya dengan umur manusia, diawali dengan cara yang tradisional, kemudian perkembangan ilmu kedokteran & ilmu farmasi menyebabkan cara pengobatan dilakukan dengan cara yang modern, yakni menggunakan metode pengobatan berdasarkan kedua Ilmu Pengetahuan modern itu pula. Awalnya hubungan tenaga kesehatan dengan orang sakit, tidak berdasarkan kepada aturan-aturan hukum, lebih kepada aturan-aturan pengobatan, namun kini dengan kemajuan jaman, hubungan antara tenaga kesehatan dengan orang sakit, selain hubungan pengobatan, terbentuk pula hubungan hukum, yang diatur dengan aturanaturan hukum. Kemudian terjadi pemilahan dari pekerjaan tenaga kesehatan & pekerjaan ahli farmasi. Tenaga kesehatan (dokter) hanya menentukan apa penyakit yang diderita pasien & menentukan jenis obat yang diperlukan pasien, sedangkan pengadaan, penyediaan & distribusi obat-obatan dilakukan oleh apotek yang dikelola oleh apoteker & dibantu oleh asisten apoteker, yang telah mendapatkan pendidikan formal di jurusan farmasi & Sekolah Menengah Farmasi. Selain itu, pada mulanya apotek hanya didirikan di kota-kota besar, dalam arti di daerah terpencil tidak pernah didirikan apotek, karena selain kurangnya tenaga apoteker beserta asisten apoteker, juga untuk mendirikan apotek mengharuskan adanya sediaan farmasi yang cukup beragam & di samping itu tidak mungkin sebuah apotek hanya melayani satu atau dua orang dokter saja, biasanya satu apotek didirikan untuk melayani praktik kedokteran dari beberapa orang dokter. Kondisi yang demikian mendasari munculnya kebiasaan dispensing obat oleh dokter, yaitu dokter memberikan obat secara langsung kepada pasien dalam pemberian pelayanan medisnya. Dan sampai saat ini kebiasaan dispensing obat oleh dokter sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun lamanya sehingga pasien menjadi terbiasa dengan sistem paket ini.

Namun seiring dengan perkembangan jaman, kini apotek telah banyak didirikan, bahkan sampai ke kota-kota kecamatan. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya UU no.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UUPK) yang diberlakukan tanggal 6 Oktober 2005. Praktik dokter yang sekaligus langsung memberikan obat kepada pasien (self dispensing) masih menjadi pro dan kontra sampai sekarang. Mereka yang kontra mengganggap self dispensing merupakan pelanggaran kode etik profesi kedokteran, menyalahi disiplin, dan bila ada yang melaporkan dapat dikenai tuduhan melanggar tata cara pengadaan obat, kata seorang praktisi hukum kedokteran. Selain itu self dispensing juga dianggap memberikan keuntungan ekonomi yang tidak wajar bagi dokter., kalangan apoteker juga menganggap dokter telah merebut lahan mereka. Di samping pihak yang kontra, tentu masih ada pihak yang berpendapat bahwa dispensing ini adalah suatu bentuk solusi terhadap beberapa masalah yang timbul dalam penyediaan obat. Melalui makalah ini penulis mencoba membahas pro dan kontra mengenai masalah dispensing obat dari berbagai aspek. (http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/06/kriminalisasi-dispensing-obat/)

B. KASUS Dr.A dokter praktek swasta di kota X telah melakukan praktek kedokteran sejak 20 tahun yang lalu. Dalam memberikan layanan medis, selain pemeriksaan dan menentukan diagnosis, dr.A juga sekaligus memberikan obat kepada pasiennya sebagai bagian dari paket pengobatannya. Pasien tidak dapat membeli obat di luar karena dokter tidak pernah memberikan kertas resep, namun langsung memberikan obat.

C. PEMBAHASAN 1. Pelanggaran Kode Etik Profesi

Pelanggaran Kode Etik Profesi Merupakan penyimpangan terhadap norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya

berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat.Tak pelak lagi, kode etik profesi akan bisa dijadikan sebagai acuan dasar dan sekaligus alat kontrol internal bagi anggota profesi; disamping juga sebagai alat untuk melindungi kepentingan masyarakat dari perbuatan- perbuatan yang tidak profesional. Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran kode eik profesi, antara lain: a. Tidak berjalannya kontrol dan pengawasan dri masyarakat. b. Organisasi profesi tidak di lengkapi denga sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan. c. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi, karena buruknya pelayanan sosialisasi dari pihak prepesi sendiri. d. Belum terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya. e. Tidak adanya kesadaran etis pada moralitas diantara para pengemban profesi untuk menjaga martabat luhur profesinya. Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus utama, yaitu:
a. Pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek

terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi
b. Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang

mencerminkan

kualitas

keahlian

yang

sulit

atau

kurang

dapat

dipertanggung-jawabkan menurut standar maupun kriteria profesional. (http://angga_be.blog.plasa.com/)

2. Definisi Self Dispensing

Dispensing berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu to dispense, yang secara harfiah berarti membagikan. Jadi apabila dokter dispensing obat, artinya dokter membagikan obat kepada pasien. Namun di dalam praktiknya dokter tidak hanya membagikan obat, juga menyimpan sejumlah obat di tempat praktik kedokteran pribadinya. 3. Dasar Hukum a. UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas: a. mewawancarai pasien; b. memeriksa fisik dan mental pasien; c. menentukan pemeriksaan penunjang; d. menegakkan diagnosis; e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien; f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi; g. menulis resep obat dan alat kesehatan; h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;

i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan bagi dokter dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien. Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola apotek. Jumlah obat yang disediakan terbatas pada kebutuhan pelayanan.

b. UU No 36 tahun 2009tentang kesehatan (pasal 108 ayat (1), pasal 198) Pasal 108 Ayat (1) menentukan, bahwa praktik kefarmasian dalam pengadaan, distribusi & pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu yang mempunyai keakhlian & kewenangan untuk itu & Ayat (2) menentukan pengaturan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Pasal 198, ditetapkan tentang barangsiapa yang tanpa kewenangan & keakhlian melakukan pekerjaan seperti Pasal 108 Ayat (1), maka akan dikenakan sanksi pidana denda Rp. 100.000.000,-. PP No. 72/98 tentang Pengaman Sediaan Farmasi & Alat Kesehatan, yang memberikan hak kepada apotek untuk menyerahkan obat.
Dispensing obat yang dibenarkan 4. Self dispensing hanya dibenarkan jika:

a. Tidak ada sarana, seperti apotek, di sekitar tempat praktik, setidaknya jarak praktik dokter dengan apotek minimal 10 kilometer ( staf pengajar Forensik dan Hukum Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dr. Gatot Suharto, S.H., Dipl. For.Med.). b. Pada situasi darurat dan hanya untuk dosis awal Dr. Wila Ch. Supriadi, S.H. Guru Besar Hukum Kesehatan Unika Parahyangan Bandung)

D. ANALISIS

Masalah dispensing obat adalah masalah nasional, dari Sabang hingga ke Marauke hampir seluruh dokter di daerah melakukannya, bahkan sebagian kecil dokter di kota besar juga melakukan. Hal ini mencuat ke permukaan karena adanya upaya penegakan hukum terhadap dispensing obat oleh sebagian aparat hukum di beberapa tempat tertentu, yang menggunakan UUPK & UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK), sebagai dasar untuk melakukan penegakan hukum. Menurut UU No 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 35 (i) dan (j) self dispensing hanya boleh dilakukan oleh dokter dokter dan dokter gigi untuk menyimpan obat selain obat suntik sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien. Obat tersebut diperoleh dokter atau dokter gigi dari apoteker yang memiliki izin untuk mengelola apotek. Jumlah obat yang boleh disediakan pun terbatas pada kebutuhan pelayanan. Selain itu UUK melalui Pasal 108 Ayat (1) menentukan, bahwa praktik kefarmasian dalam pengadaan, distribusi & pelayanan sediaan

farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu yang mempunyai keakhlian & kewenangan untuk itu & Ayat (2) menentukan pengaturan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Kemudian ketentuan Pidana dalam UUK melalui Pasal 198, ditetapkan tentang barangsiapa yang tanpa kewenangan & keakhlian melakukan pekerjaan seperti Pasal 108 Ayat (1), maka akan dikenakan sanksi pidana denda Rp. 100.000.000,-. Kedua ketentuan ini, untuk dapat dilaksanakan membutuhkan Peraturan Pelaksanaan, karena disyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lebih lanjut, PP tentang pengadaan, penyimpanan & pendistribusian obat telah dibentuk yakni PP No. 72/98 tentang Pengaman Sediaan Farmasi & Alat Kesehatan, yang memberikan hak kepada apotek untuk menyerahkan obat. . Berdasarkan kedua Undang-undang ini jelaslah tidak benar bila dokter melakukan praktek self dispensing dalam pemberian pelayanannya karena bertentangan dengan undangundang yang berlaku. Namun perlu diingat juga bahwa pada kenyataannya praktek self dispensing ini telah berjalan selama puluhan tahun terutama di daerah. Masyarakat di daerah juga telah menjadi terbiasa dengan paket pengobatan seperti ini sehingga sulit untuk memberantas praktik tersebut. Selain itu dokter juga mempunyai alasan tersendiri mengapa mereka melakukan self dispensing,antara lain: 1. Tidak adanya apotek di sekitar praktek dokter tersebut Dalam hal ini beberapa ahli menyatakan batasan tidak adanya apotik dalam jarak 10 kilometer. 2. Memastikan pasien mendapat obat yang diresepkan Ada kalanya resep yang diresepkan dokter (dan memang diperlukan pasien) sangat sulit dicari di lokasi tersebut (misalnya saja diazepam, obat ini termasuk sulit dicari padahal obat ini termasuk obat penting dalam penanganan kejang). Dalam hal ini dispensing akan menjamin obat yang diresepkan tersedia di tempat praktek dokter tersebut. 3. Memastikan pasien mendapat informasi yang tepat

Contoh kasus: dokter Spesialis saraf yang bercerita, beliau memberikan resep gabapenting 100 mg 2 kali sehari dan amitripin 10 mg kepada pasien Polineuropati. Seminggu kemudian pasien tersebut diminta control. Ternyata pada saat kontrol pasien tersebut berkata Ada satu obat yang tidak saya beli, saya bingung karena petugas di Apotek memberitahu bahwa ini obat anti epilepsy. Informasi ayng diberikan petugas apotek tersebut memang tidak salah. Namun memberikan kesan yang salah. Gabapentin merupakan obat anti epilepsy, namun juga berpertan sebagai obat anti nyeri akibat kerusakan saraf. Dispensing dalam hal ini berperan agar pasien mendapatkan informasi yang utuh dan lengkap 4. One stop service Menunggu bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Apalagi bila dalam kondisi sakit dan sangat butuh beristirahat. Untuk pasien yang tidak ingin waktu istirahatnya terbuang dengan menunggu, One Stop Service dalam hal ini praktik self dispensing oleh dokter merupakan suatu alternative yang membantu, karena tidak semua dokter mendirikan satu apotek di sebelahnya, inilah alasan beberapa dokter melakukan dispensing. (http://www.medicalera.com/index.php? option=com_community&view=groups&task=viewdiscussion&groupid=37&top icid=20&Itemid=334) Selain itu banyaknya apotek yang beroperasi tidak sesuai standar, misalnya saja,apoteker tidak selalu berada di tempat, pelayanan di apotek dimana yang menyediakan & memberikan obat, bukan lulusan Sekolah Menengah Farmasi, apotek yang menjual obat yang kedaluarsa juga harus dibenahi terlebih dahulu agar peniadaan self dispensing oleh dokter sesuai Undang-undang juga dibarengi dengan pelayanan pemberian obat yang baik sehingga konsumen tidak dirugikan. Sementara ini, sebelum adanya pengaturan yang mengatur tentang dispensing obat, Kepala Dinas masing-masing daerah Kota/Kabupaten, bersamasama dengan instansi terkait mengatur tentang pendelegasian wewenang dari lembaga yang berhak mendistribusikan obat (apotek) kepada dokter.

Agar menjadi adil bagi semua pihak, maka perlu pengaturan bahwa dokter obat akan membeli persediaan obatnya ke apotek(er). Apotek(er) tentunya memberikan harga yang pantas, bukankah apotek hanya memesankan obat pesanan dari dokter ke pedagang besar farmasi & menyerahkan ke dokter, sehingga keuntungan yang diambil cukup secara wajar saja? Masalah pengawasan tentunya sangat penting, kepatuhan dokter & apotek(er) terhadap hukum juga harus dilaksanakan, para pihak saling menghormati satu dengan lainnya. Pedagang Besar farmasi pun harus memenuhi ketentuan hukum, agar semua pihak tidak melanggar hukum lagi. Bagi pihak yang melanggar ketentuan, patut diberi sanksi, namun sanksinya bukan berupa sanksi penjara, karena tidak ada gunanya memenjarakan dokter, apoteker atau pemilik pedagang besar farmasi, cukup berupa sanksi administratif, karena yang terjadi adalah pelanggaran administratif, bukan kejahatan adminstratif, yakni sanksi berupa teguran sampai dengan pencabutan izin praktik atau usaha. Janganlah terjadi kriminalisasi dari dispensing obat, yang pada giliran akan merugikan semua pihak.( http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/06/kriminalisasi-dispensing-obat/)

PENUTUP Penanganan terhadap masalah dispensing obat harus diselesaikan secara bijaksana & menyeluruh, karena bukan hanya menyangkut tenaga kesehatan (dokter & apoteker), namun juga menyangkut masalah kebutuhan orang sakit. Yang sebagian besar menyangkut orang sakit yang kurang mampu secara ekonomi, yakni golongan masyarakat yang untuk biaya berobat pun mengalami kesulitan. Penertiban praktik self dispensing oleh dokter hendaknya dibarengi dengan perbaikan pelayanan kefarmasian agar pasien sebagai konsumen tidak dirugikan.

You might also like