You are on page 1of 9

Teori Etika Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia.

Lingkungan hidup bukan semata persoalan teknis, demikian pula krisis ekologi global yang terjadi dewasa ini adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu diperlukan etika dan moralitas untuk mengatasinya. Krisis lingkungan hidup hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Diperlukan gaya hidup baru yang menyangkut budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta. Etika dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah refleksi kritis tentang norma dan nilai atau prinsip moral yang dikenal umum selama ini dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang manusia, alam, dan hubungan antara manusia dan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana kita harus bertindak dalam situasi konkret tertentu dan bagaimana menilai suatu tindakan yang baik secara moral, ada tiga teori etika, yaitu: a. Etika Deontologi Istilah deontologi berasal dari deon (Yunani) yang berarti kewajiban dan

logos yang berarti ilmu atau teori. Suatu tindakan dinilai baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Dengan kata lain, tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Etika ini sama sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut; baik atau buruk. Bersikap adil adalah tindakan yang baik dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian. Demikian pula bersikap hormat terhadap alam akan dianggap Atas dasar itu, etika baik jika itu dianggap sebagai kewajiban moral.

deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban terlepas apakah tujuannya tercapai atau tidak. Namun etika deontologis tidak dapat menjawab

pertanyaan dalam situasi konkret yang dilematis, ketika ada dua atau lebih kewajiban yang saling bertentangan. b. Etika Teleologi Istilah teleologi berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan dan logos yang berarti ilmu atau teori. buruk Etika teleologi memperhatikan tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Dengan kata lain, etika tleologi menilai baiksuatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat dari tindakan Suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat dari tindakan tersebut.

dinilai baik jika bertujuan baik dan mendatangkan akibat baik. Namun etika yang berdasarkan manfaat ini memiliki kelemahan karena manfaat tersebut terbatas pada akibat material fisik dan jangka pendek. Selain itu terdapat kesulitan karena manfaat seringkali harus mengorbankan kepentingan lain yang lebih kecil. c. Etika Keutamaan Berbeda dengan kedua etika di atas, etika keutamaan (virtue ethics) tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak pula mendasarkan penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal. Etika keutamaan lebih mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Jadi, dalam menjawab pertanyaan bagaimana kita harus bertindak secara moral dalam situasi konkret yang dilematis, etika keutamaan menjawab: teladanilah sikap dan perilaku moral tokoh-tokoh yang kita kenal, baik dalam masyarakat, sejarah, atau dalam cerita yang kita ketahui, ketika mereka menghadapi situasi serupa. Lakukanlah seperti yang dilakukan tokoh moral itu, itulah tindakan yang benar secara moral. Untuk mengatasi krisis ekologi, perlu ada perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan yang bersifat holistis dan ekologis. Ilmu pengetahuan dan teknologi beserta seluruh perkembangan dan dampaknya harus dinilai pula secara moral, termasuk kaitannya dengan dampak ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap lingkungan hidup.

Kita dapat membedakan beberapa teori etika lingkungan hidup dalam tiga model teori etika lingkungan hidup, yaitu Shallow Environmental Ethics, Intermediate

Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics.

Ketiga teori ini juga

dikenal dengan Antroposentrisme, Biosentrisme, dan Ekosentrisme. Antroposentrisme Krisis lingkungan hidup global sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kekeliruan ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Oleh karena itu, pembenahan harus menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam ekosistem. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antoposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai. Sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas, dan terpisah dari alam. Bahkan manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam yang dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Pada umumnya, agama Kristen dan filsafat barat, seluruh tradisi pemikiran liberal termasuk ilmu pengetahuan modern dianggap sebagai akar dari etika antroposentrisme. Argumen antroposentrisme dibangun atas dasar kisah penciptaan dunia dalam teologi Kristen yang menyatakan bahwa Allah memberi kewenangan penuh kepada manusia yang secitra dengan Allah, untuk menguasai alam dan mengeksploitasinya demi kehidupannya. maupun dengan manusia lain dalam keseluruhan

Kedua, argumen yang kita temukan pada tradisi Aristotelian sebagaimana


dikembangkan oleh Thomas Aquinas dengan fokus utama pada rantai kehidupan (the great chain of being). Menurut argumen ini, semua kehidupan di bumi membentuk dan berada dalam sebuah rantai kesempurnan kehidupan, muai dari

yang paling sederhana sampai kepada yang Maha Sempurna, yiaut Allah sendiri. Dalam rantai kesempurnaan kehidupan tadi, manusia menempati posisi yang paling mendekati Maha Sempurna. Itu berarti, manusia menempati urutan tertas dari rantai ciptaan sehingga dianggap superior di antara semua makhluk lainnya.

Ketiga, manusia lebih tinggi dan terhormat dibanding makhluk ciptaan lain
karena manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional (the free and

rational being).

Hanya manusia yang mampu menggunakan dan memahami

bahasa khususnya simbol untuk berkomunikasi, dan hanya manusia yang mampu beraktivitas sendiri secara sadar dan bebas karena berakal budi dan mendekati keilahian Tuhan sekaligus mengambil bagian dalam keilahian Tuhan. Sebaliknya, binatang tidak memiliki jiwa, hanya memiliki tubuh sebagaimana mesin yang bergerak otomatis seakan disetel oleh Tuhan untuk bergerak secara tertentu. Ada tiga kesalahan fundamental dari cara pandang Antroposentrisme. Pertama, manusia dipahami hanya sebagai makhluk sosial (social animal) yang eksistensi dan identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Dalam pemahaman ini, manusia berkembang menjadi dirinya dalam interaksi dengan sesama manusia di dalam komunitas sosialnya. komunitas sosialnya sebagaimana dirinya Identitas dirinya dibentuk oleh sendiri membentuk komunitas

sosialnya. Manusia tidak dilihat sebagai makhluk ekolgis yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam.

Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia. Jadi, yang disebut
sebagai norma dan nilai moral hanya dibatasi keberlakuannya bagi manusia. Dalam paham ini, hanya manusia yang merupakan pelaku moral, yaitu makhluk yang mempunyai kemampuan untuk bertindak secara moral berdasarkan akal budi dan kehendak bebasnya. manusia. Etika tidak berlaku bagi makhluk lain di luar

Ketiga, kesalahan ini diperkuat dengan paradigma ilmu pengetahuan dan


teknologi modern yang Cartesian dengan ciri utama mekanistis-reduksionistis. Artinya ada pemisahan yang tegas antara alam sebagai obyek ilmu pengetahuan dan manusia sebagai subyek. Demikian pula ada pemisahan yang tegas antara

fakta dan nilai. Maka paradigma mekanistis-reduksionistis ini membela paham bebas nilai dalam ilmu pengetahuan. Penilaian mengenai baik buruk ilmu pengetahuan dan teknologi beserta segala dampaknya dari segi moral atau agama adalah penilaian yang tidak relevan. Hal ini melahirkan sikap dan perilaku yang manipulatif dan eksploitatif terhadap alam. Kendati antroposentrisme dikritik sebagai biang keladi krisis ekologi, sebagai sebuah teori etika, antroposentrisme mempunyai posisi moral tertentu yang positif dalam rangka perlindungan lingkungan hidup. Hal ini dinyatakan dalam

prudential argument yang menyatakan bahwa manusia memiliki kepentingan


untuk memelihara lingkungan hidup. Karena manusia sebagai wakil Tuhan, harus menampakkan citra Tuhan dalam segala sifat, khususnya sifat moral berupa tanggung jawab memelihara dan merawat bumi.

Biosentrisme Bagi Biosentrisme, tidak benar bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai. Alam juga memiliki nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Teori ini menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara moral terlepas apakah ia bernilai bagi manusia atau tidak. Teori ini mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Karena itu kehidupan harus dilindungi dan sebagai konsekuensinya, alam semesta yang merupakan sebuah komunitas moral juga harus dilindungi. 1. Teori Lingkungan Hidup yang Berpusat pada Kehidupan

The life centered theory adalah teori lingkungan yang berpusat pada
kehidupan. Teori yang dikemukakan oleh Albert Schweizer, mengajukan empat prinsip etis pokok, yaitu : manusia adalah anggota dari komunitas hidup yang ada di bumi ini, bumi adalah suatu sistem organik dimana manusia dan ciptaan lain saling berkaitan dan bergantung, setiap ciptaan

dipersatukan oleh tujuan bersama demi kebaikan dan keutuhan keseluruhan, dan menolak superioritas manusia dihadapan makhluk ciptaan lain. Semua makhluk hidup dalam bionsentrisme adalah anggota dari komunitas hidup, dalam arti bahwa setiap ciptaan berhak diperlakukan dengan baik secaramoral. lainnya. 2. Etika Bumi Manusia sebagai pelaku atau subjek moral harus memperlakukan dengan baik dan tangging jawab moral terhadap makhluk

The Land Ethic (etika bumi) Teori etika bumi yang dikemukakan oleh Aldo
Leopold menjadi teori etika lingkungan klasik pada abad ini. Etika bumi menekankan pentingnya keutuhan ciptaan dan bahwa setiap ciptaan merupakan bagian integral dari komunitas kehidupan. Bumi dan segala isinya adalah subjek moral yang harus dihargai, tidak hanya alat dan objek yang bisa dimanfaatkan manusia sesuka hati karena bumi bernilai pada dirinya sendiri. Teori etika bumi menekankan bahwa keutuhan seluruh makhluk ciptaan tidak bertentangan dengan kepentingan masing-masing ciptaan. Aldo Leopold mengatakakan bahwa tugas manusia untuk menata dan memelihara sehingga kepentingan manusia sebagai bagian dari komunitas kehidupan bisa sejalan dan tidak bertentangan dengan kebaikan seluruh komunitas kehidupan. Prinsip moral menurut Leopold adalah bahwa setiap tindakan akan banar secara moral jika melindungi dan mengupayakan keutuhan, keindahan, dan stabilitas seluruh komunitas kehidupan. Manusia harus berhenti mengeksploitasi, merusak makhluk ciptaan lain karena tindakan ini akan merusak keutuhan, stabilitas, keindahan ciptaan alam. 3. Anti Spesiesisme

Anti-Spesiesisme (perlakuan setara/sama) Anti spesiesisme juga dikenal


dengan equal treatment yang dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel. Anti spesiesme adalah sikap membela kepentingan dan kelangsungan hidup semua spesies di bumi karena didasarkan pada mempunyai hak hidup yang sama dan pantas mendapatkan perlindungan dan perhatian yang sama. Peter Singer mendasarkan teorinya kepada prinsip moral perlakuan yang sama dalam kepentingan. Perlakuan yang sama dalam relasi anta manusia didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia mempunyai kepentingan

yang sama. Kesadaran dan tanggung jawab moral sangat penting terhadap makhluk ciptaan bukan manusia. Tanggung jawab dan pertimbangan moral berlaku bagi seluruh komunitas kehidupan. Prinsip moral harus konsisten diterapkan dalam seluruh komunitas kehidupan demi kebaikan keseluruhan komunitas kehidupan. Ekosentrisme Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan hidup biosentrisme. Sebagai kelanjutannya, ekosentrisme sering disamakan begitu saja enga biosentrisme karena ada banyak kesamaan di antara kedua teori ini. Kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika haya pada komunitas manusia. Pada biosentrisme, etika

diperluas utuk mencakup komunitas ekologis selkuruhnya, baik yang biotis maupun abiotis. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup, namun juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Salah satu versi teori ekosentrisme adalah

Deep Ecology (DE) yang

diperkenalkan oleh Arne Naess, filsuf asal Norwegia di tahun 1973 melalui sebuah artikel yang berjudul The Shallow and the Deep, Long-range Ecological

Movement: A Summary. DE menuntut suatu etika baru yang terpusat pada


makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. 1. Platform Aksi Filsafat pokok DE disebut Naess sebagai Ecosophy yang berarti kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas, meliputi pergeseran dari sekadar sebuah ilmu (science) menjadi sebuah kearifan (wisdom). DE juga merupakan teori gaya hidup yang menuntut perubahan penghayatan hidup yang selaras dengan cara pandang dan norma perilaku, yang dalam rumusan Naess,simple in means, but rich in

ends, suatu gaya hidup yang menekankan kualitas kehidupan, hidup yang
sederhana namun kaya makna dan bahagia.

Setelah melalui pemurnian selama sepuluh tahun, pada tahun 1984 Naess akhirnya merumuskan delapan platform aksi sebagai berikut: a. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan makhluk hidup lain di bumi ini mempunyai nilai pada dirinya sendiri. b. Kekayaan c. Manusia dan tidak keanekaragaman mempunyai hak bentuk untuk kehidupan mempunyai dan sumbangsih bagi perwujudan nilai-nilai tersebut di bumi ini. mereduksi kekayaan keanekaragaman ini kecuali untuk memenuhi kebutuhannya yang vital. d. Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berjalan seiring dengan penuunan yang cukup berarti dari jumlah penduduk. e. Campur tangan manusia terhadap dunia di luar manusia sudah sangat berlebihan dan situasi ini semakin memburuk. f. Perlu ada kebijakan sehingga mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi, dan ideologi. g. Perubahan ideologis terutama menyangkut penghargaan terhadap kualitas kehidupan dan bukan bertahan pada standar kehidupan yang semakin meningkat. h. Orang yang menerima pokok pemikiran itu mempunyai kewajiban untuk mewujudkan perubahan yang sangat diperlukan. 2. Prinsip-prinsip Gerakan Lingkungan Hidup Prinsip pertama, biospheric egalitarianism in principle, yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Pengakuan menunjukkan adanya sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di alam semesta.

Kedua, prinsip non-antroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari


alam bukan di atas atau terpisah dari alam. DE memandang manusia hanya salah satu spesies di tengah begitu banyak spesies lain. Prinsip ketiga yaitu prinsip realisasi diri (self-realization) yang berpedapat bahwa manusia merealisasikan dirinya dan mengembangkan potensi diri

untuk mempertahankan hidupnya.

Naess dan DE memahami manusia Manusia merealisasikan

sebagai makhluk ekologis (ecological animal).

dirinya melalui sebuah proses yang menyadarkan bahwa ia hanya dapat menjadi manusia dalam kesatuan azasi manusia dengan alam.

Keempat, pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan


kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis. Keanekaragaman dalam alam harus dipertahankan karena akan mempertahankan Manusia kelangsungan ekosistem itu sendiri. Atas prinsip dasar simbiosis, manusia diperkenankan untk memenuhi kebutuhan vital di alam ini. membutuhkan spesies lain lebih dari spesies lain membutuhkan manusia.

Kelima, perlunya perubahan dalam politik menuju ecopolitics karena


persoalan politis paling pokok bagi Shallow Ecological Management adalah rekayasa sosial, dalam bentuk modifikasi perilaku manusia dalam jangka pendek. Dalam kerangka ecopolitics, DE menuntut perubahan individu, transformasi kultural politik, yang mempengaruhi dan menyentuh struktur dasar ekonomi dan ideologis. Naess mengusulkan agar kita meninggalkan konsep pembangunan berkelanjutan untuk diganti dengan konsep keberlanjutan ekologis atau lebih tepat dengan wide ecological sustainability yang menuntut sikap hormat dan perlindungan atas kekayaan dan keanekaragaman bentuk kehidupan di planet ini. -dksReferensi: Keraf, A. S. (2010). Etika lingkungan hidup. Jakarta: Kompas.

You might also like