You are on page 1of 4

Ketidakadilan Hukum pada Kasus Pencurian Semangka Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian

kekuasaan kelembagaan. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum-hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda. Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia, rakyat Indonesia seolah tak lagi takut pada hukum yang berlaku di negara ini. Kebanyakan orang akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat di beli, yang menang mereka yang mempunyai kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena hukum dapat di beli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum, seperti mafia hukum dan peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring labalaba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. Salah satu contoh kasus yang menggambarkan ketidakadilan ini adalah kasus pencurian semangka yang terjadi di Kediri pada tahun 2009 yang lalu. Kedua terdakwa kasus pencurian semangka, Basar Suyanto dan Kholil, warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kediri, Jawa Timur, diputus bersalah dengan hukuman 15 hari penjara. Perbuatan yang dilakukan oleh Basar Suyanto dan Kholil tersebut dinyatakan telah memenuhi unsur-unsur yang ada pada pasal 362 KUH Pidana, yaitu barang sesuatu, seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk melawan

hukum. Sehingga patut diancam oleh hukuman lima tahun penjara sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 362 KUH Pidana. Namun, hal ini tentu saja tidak sesuai dengan rasa keadilan dimana nilai barang yang diperkarakan kecil. Kasus ini berakhir dengan hukuman 15 hari penjara bagi pelaku yang tentu saja ironis mengingat nilai barang yang dicuri, juga membandingkan dengan hukuman yang diterima oleh pencuri dalam nilai yang lebih besar, yaitu koruptor. Kedua terdakwa tersebut telah mengakui perbuatanya, mengambil barang milik orang lain, sehingga hal itu dipandang telah merugikan orang lain. Sanksi tersebut, bukan berarti mengesampingkan nilai keadilan di masyarakat, dimana nilai kerugian akibat pencurian satu buah semangka senilai Rp 30 ribu itu berbanding terbalik dengan kasus para koruptor, yang hingga kini belum tuntas. Bila ditilik berdasarkan teori efektivitas hukum, maka nampak jelas bahwa efektivitas hukum belum terwujud disini. Efektivitas yang dimaksud dibatasi pengertiannya sebagaimana yang dimaksud dalam kamus bahasa Indonesia bahwa kata efektifitas yang berasal dari kata efektif, yang berarti ada efeknya (pengaruhnya, akibatnya) mempan atau manjur. Maksud dari efektifitas dalam tesis ini adalah bagaimana pengaruhnya atau apa akibatnya atau majukah hasilnya jika melakukan suatu tindakan pada suatu masalah tertentu. Dalam hal ini, untuk mengukur apa suatu tindakan pada suatu peraturan dapat berjalan dengan efektif atau tidak, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa untuk mengukur suatu peraturan (the legal System) yang efektif atau tidak dapat dilihat dari pelaksanaan yang memiliki 3 elemen/komponen yaitu : Komponen Struktur Hukum, Substansi Hukum dan Budaya Hukum. Dari gambaran kasus tersebut terlihat jelas bahwa substansi hukum, berupa peraturan perundangan dimanfaatkan oleh struktur hukum yang seharusnya melaksanakan tindakan supremasi hukum untuk melakukan tindakan yang bersifat pilih kasih. Pengusutan kasus yang dilakukan bersifat tebang pilih. Nampak dari fenomena bahwa banyak kasus besar yang justru tak tersentuh oleh struktur hukum di Indonesia.

Pelaksanaan hukum memiliki hubungan erat dengan masyarakat. Emile Durkheim menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kualitas solidaritas antara anggota-anggota masyarakat dengan sistem hukum yang dipakainya. Roscoe Pound menyatakan bahwa hukum adalah alat untuk merekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Roscoe Pound juga mengajurkan supaya ilmu sosial didayagunakan untuk kemajuan dan pengembangan ilmu hukum1. Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum, yang umumnya diabaikan pada studi hukum tradisional yang lebih menekankan pada struktur dan konsistensi rasional dari sistem hukum. Dengan memperhatian perihal efektivitas hukum, maka perhatian studi hukum menjadi melebar dan melampaui kajian tradisional yang hanya menekankan pada masalah legalitas dan legitimasi saja. Membicarakan efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan pendekataan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Hukum tidak dilihat sebagai institusi yang steril, melainkan senantiasa diuji kehadirannya dan karya-karyanya dari hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat luas2. Jadi sebuah peraturan hukum dapat dinilai positif atau negatif atas hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat. Dengan tindakan dari aparat hukum yang cenderung berat sebelah dalam melaksanakan hukum, maka timbul ketidakadilan hukum di masyarakat. Hal ini terjadi karena kurang tegasnya penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, sehingga menyebabkan semakin lama kejahatan semakin meningkat di indonesia dan pihak yang lemah selalu di rugikan. Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Jika ini terus berlanjut, tidak mengherankan bila dalam beberapa tahun ke depan Indonesia akan semakin terpuruk. Hukum merupakan aspek terpenting dalam suatu negara, apabila hukum negara saja bisa di permainkan dengan uang, bisa dibayangkan bagaimana
1 Sutamdyo, Hukum dalam Realitas Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Pemikiran kritis-Teoritik yang Mengiringi mengenai fungsinya, Surabaya, 2003, h. 8. 2 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002, h.83.

keadaan Indonesia di masa yang akan datang. Ini menjadi tugas para generasi penerus bangsa untuk segera memperbaiki Indonesia agar tidak lagi menjadi negara yang naf.

You might also like