You are on page 1of 8

Banjir dan Longsor

Longsor, 40 KK di Aceh Tengah Minta Relokasi Penulis : Mohamad Burhanudin | Senin, 27 Februari 2012 | 13:38 WIB

I lustrasi banjir TERKAIT:

Aceh Banjir Bandang

TAKENGON, KOMPAS.com- Sebanyak 40 keluarga di Desa Arul Gadeng, Kecamatan Celala, Kabupaten Aceh Tengah, yang terancam banjir bandang dan longsor susulan berharap segera direlokasi ke tempat yang aman. Akibat banjir dan longsor, Sabtu (25/2) lalu, bukit di atas perkampungan mereka retak dan dikhawatirkan akan kembali longsor saat hujan deras mengguyur. "Sejak banjir Sabtu kemarin, kami terus was-was. Banyak material di atas bukit yang masih tersangkut. Selain itu, bukit juga sudah retak. Kalau longsor kembali kami tidak tahu lagi akan seperti apa," kata Sekretaris Desa Arul Gampeng, Sukir, Senin (27/2/2012). Permintaan relokasi sebenarnya sudah disampaikan warga Arul Gampeng, khususnya Dusun Satu, Dua, dan Tiga, sejak tahun 2010 silam, setelah banjir bandang tahun tersebut. Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah kala itu pun menyetujui. "Namun sampai saat ini kami tak kunjung direlokasi" kata Sukir. Desa Arul Gadeng dikenal rawan longsor. Daerah ini berada di pinggir area Kawasan Hutan Leuser, persisnya di jalur nasional antara Takengon-Nagan Raya.

Tercatat telah empat kali desa ini mengalami banjir bandang besar, yakni tahun 2002, 2004, 2010, dan 25 Februari 2012 lalu. Akibat banjir bandang terakhir, 14 rumah warga tertimbun lumpur, dan 40 keluarga terpaksa mengungsi. Sejak Minggu sore kemarin, warga yang mengungsi sudah berbondong-bondong pulang untuk membersihkan rumahnya dari lumpur. "Namun, warga ada yang kembali mengungsi saat hujan turun karena takut longsor susulan," kata Kepala Dusun Tiga, Desa Arul Gadeng, Hamzah. Jalur Takengon-Nagan Raya sempat terputus di sejumlah titik di Desa Arul Gadeng akibat banjir tersebut. Namun, sejumlah alat berat yang dikerahkan Pemkab Aceh Tengah sejak Minggu sudah membersihkan tumpukan material di badan jalan itu.

10 Rumah Longsor di Bogor

Antony Lee/KOMPAS Sebanyak 10 rumah di Kampung Gudang, Kelurahan Gudang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (26/2/2012) pagi, longsor BOGOR, KOMPAS.com - Sebanyak 10 rumah di Kampung Gudang, Kelurahan Gudang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (26/2/2012) pagi, longsor. Diperkirakan seorang warga masih tertimbun reruntuhan bangunan. Heri (37), warga Kampung Gudang menuturkan, ibunya Fatimah (65), saat kejadian masih sarapan bubur ayam sekitar 20 meter dari rumahnya. Tiba-tiba, sekitar pukul 08.15, rumah yang ada di depannya rubuh. Fatimah tidak sempat menyelamatkan diri. "Ibu memang sakit, tidak bisa lari sejak kena stroke lima tahun lalu," tuturnya. Lima rumah yang berada di bagian atas, ambruk setelah "benteng" atau talut ambrol dan menimpa lima rumah di bagian bawah. Kontur kawasan yang berada di dekat Gang Aut, pusat kuliner di Kota Bogor, memang sangat padat penduduk. Editor : Robert Adhi Ksp

Gempa Guncang Aceh


Senin, 23 Januari 2012 | 20:27 WIB

USGS Gempa berkekuatan 4.8 magnitude mengguncang Aceh, Senin (23/1/2012) sekitar pukul 19.40. ACEH, KOMPAS.com Gempa dengan kekuatan 4,8 skala Richter mengguncang Aceh, Senin (23/1/2012) sekitar pukul 19.40. Informasi dari Serambi Indonesia di Banda Aceh, tidak ada laporan kerusakan dan kepanikan warga ketika gempa terjadi. Gempa tidak berpotensi tsunami. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisa (BMKG) Matai Aceh Besar menjelaskan, lokasi gempa terjadi di 4.75 Lintang Utara (LU) dan 94.67 Bujur Timur (BT), 108,2 Km barat daya Banda Aceh. Saat ini pihak BMKG sedang melakukan analisis penyebab gempa tersebut. US Geological Survey menyebutkan, gempa berada di 99 kilometer Lhokseumawe dengan kedalaman 50,3 kilometer. Informasi gempa juga bisa diakses melalui pesan singkat (SMS), yakni dengan cara ketik GA kirim ke 2303 dan akan dijawab secara otomatis oleh BMKG. Editor : Fikria Hidayat

Bencana Alam Menanggulangi Banjir dengan Sistem Polder


Maret 23, 2007 pada 2:19 pm Disimpan dalam Bencana Alam Gubernur DKI Sutiyoso menyatakan akan menggunakan sistem polder untuk menanggulangi banjir di Jakarta, khususnya untuk 40% wilayah Jakarta yang katanya berada di bawah permukaan laut. Sistem polder ini telah direncanakan oleh Herman van Breen dan tim (dengan banjir kanal barat dan timur) ketika merancang kota sebagai respon terhadap banjir besar yang melanda Batavia tahun 1918. Namun sayangnya rencana yang bagus ini belum bisa terealisasi sepenuhnya hingga saat ini. Di Jakarta sendiri sistem polder ini sebenarnya sudah diterapkan di kawasan perumahan elit di tepi laut Jakarta Utara. Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul (dijk/dike). Pada daerah polder, air buangan (air kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke badan air lain pada polder yang lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau kanal yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa berupa pemadatan tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, bisa juga berupa konstruksi beton dan perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan sebagai tanah yang direkalamasi. Sistem polder banyak diterapkan pada reklamasi laut atau muara sungai, dan juga pada manajemen air buangan (air kotor dan drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan sungai. Polder identik dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya berada di bawah muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya mesin pompa, kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder lain yang lebih tinggi. Bicara tentang banjir kita perlu banyak belajar dari negara ini yang sudah kenyang bergulat memerangi banjir sejak abad ke-17 karena morfologi alamnya sebagian besar yang berupa rawa dan dataran rendah. Di

negara ini, ancaman banjir datang secara rutin dari laut melalui gelombang pasang dan ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari luapan sungai Ijssel, Maar, dan Rijn akibat mencairnya es di hilir sungai pada akhir musim dingin. Sistem polder dipakai untuk mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah delta dan daerah aliran sungai. Di negara ini, rencana penanganan banjir ditetapkan pada level nasional, provinsi, dan kotapraja. Terdapat Badan Manajemen Air yang sejajar dengan pemerintahan lokal dan berperan khusus dalam perencanaan, manajemen aktivitas yang berkait dengan air, juga upaya mitigasi bencana banjir. Upaya penanganan banjir juga melibatkan masalah penyediaan perumahan, tempat kerja, suplai air minum, pertanian, lingkungan ekologis, galian mineral, bahkan pariwisata dan rekreasi. Sungai Rijn (Rheine) yang menyebabkan banjir adalah lintasan jalur wisata perahu pesiar yang bermula di Swis, melewati Jerman, dan berakhir di Belanda. Berkaitan dengan aspek ruang, bermacam kemungkinan terjadinya banjir (ketinggian, daerah tergenang) dari beragam periode ulang (return

period) dikaji untuk menentukan sistem pengaliran air dan batas polder.
Ada beberapa daerah di sekitar badan sungai yang memang disiapkan untuk digenangi ketika banjir besar (periode yang lebih lama) melanda. Daerah ini biasanya dimanfaatkan untuk fungsi pertanian atau daerah hijau. Ketentuan sempadan sungai dan tanggul juga diterapkan untuk menjamin tidak ada bangunan pada daerah tersebut. Kontrol pada pemanfaatan lahan agar sesuai dengan peruntukannya amatlah ketat, dimulai dari kelayakan pada saat perijinan, pengawasan rutin, hingga penggunaan foto udara kawasan. Selain ditunjang sumberdaya manusia, teknologi, dan finansial, upaya penegakan hukum dan peraturan merupakan salah satu kunci keberhasilan penanggulangan banjir di negara ini. Untuk menerapkan sistem polder di Jakarta, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, pemanfaatan lahan di sekitar tanggul harus dikontrol seketat


mungkin, paling tidak sepanjang bantaran sungai dan tanggul kanal harus bebas dari bangunan dan permukiman liar. Daerah ini memiliki resiko tertinggi bila terjadi banjir. Alternatif pemanfaatannya bisa berupa

taman ataupun jalan. Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan ketentuan tata ruang seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan (KDB) juga harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk menghabiskan anggaran pemerintah.

Kedua, ketika semua air buangan dialirkan ke laut, ancaman banjir dari
laut juga perlu diperhatikan. Bukan tidak mungkin gelombang pasang akan membanjiri kota melalui kanal banjir yang ada. Mungkin saja diperlukan pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup sewaktuwaktu. Ketiga, sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal, sungai, serta kinerja mesin-mesin yang memompa air keluar dari daerah polder. Aspek perawatan (sumber daya manusia dan peralatan) perlu mendapat perhatian dalam bentuk program kerja dan anggaran. Yang terjadi selama ini kita lebih pandai mengadakan sarana dan prasarana publik ketimbang merawatnya.

Keempat, resapan air hujan perlu lebih dimaksimalkan melalui daerah


resapan mikro seperti taman, kolam, perkerasan yang permeabel, dan sumur resapan. Prinsipnya adalah mengurangi buangan air hujan ke sungai dan memperbanyak resapannya ke dalam tanah. Disini, peran arsitek, kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan sebagian lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah) dan sumur resapan. Daerah resapan yang tidak terlalu luas namun jika banyak jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru kota tentu akan memberikan kontribusi yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Sistem polder merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang konsekuensinya jelas adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik untuk pembebasan tanah, pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan perawatan mesinmesin dan peralatan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah upaya non-struktural yang berkaitan dengan pendidikan publik. Upaya membangun kesadaran seperti tidak membuang sampah di saluran air, memperbanyak penanaman pohon, menggunakan perkerasan grass-

block dan paving-block yang permeabel, atau bahkan bagaimana bersikap


ketika banjir datang akan jauh lebih berguna untuk mencegah banjir dan meminimalisir kerugian akibat banjir yang bisa datang setiap tahun.

Amin Budiarjo Praktisi Perencanaan dan Pembangunan Perkotaan Penulis adalah pekerja lepas di bidang arsitektur dan perencanaan kota, lulus Sarjana Arsitektur dari ITB Bandung dan juga Master of Science in Urban Planning and Management di ITC-UPLA Enschede, Belanda. Sebelumnya bekerja sebagai staf peneliti lepas di LPPM-ITB dan pada proyek Strengthening Local Authority in Risk Management (SLARIM) ITC Enschede, Belanda. Saat ini penulis bekerja sebagai Urban-Geographic Information System Specialist pada proyek San Diego Hills Memorial Park PT. Lippo Karawaci Tbk.

You might also like