You are on page 1of 11

Kamis, 15 November 2007 Ceramah bulan Muharram (Tahun Baru Islam) Tahun Baru Islam Oleh: Marhadi Muhayar,

Lc., M.A. ( : . ). ( ). . . Yang saya hormati para alim ulama, para asatidz, para hujjaj, para sesepuh kampung, bapakbapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian.... Wabil khusus... Al-Alim... guru kita... Wabil khusus... Bapak Walikota... Saudara-saudara kaum muslimin rahimakumullah... Rasanya, ketika kita berbicara tentang hijrah, tentang Muharram, atau tentang tahun baru Islam, tidak ada sesuatu yang baru atau menarik bagi kita. Sekilas pandang, kita seakan merasa sudah terlalu pandai dalam mengenali bulan Islam yang satu ini. Benarkah demikian? Sudahkah khasanah keilmuan kita, sesuai dan memadai sebagai seorang muslim yang sejatinya mengenal dengan baik tentang bulan-bulan Islam. Sejarah bulan Hijriah Sejarah mencatat, manusia pertama yang berhasil mengkristalisir hijrah nabi sebagai event terpenting dalam penaggalan Islam adalah Sayidina Umar bin Al Khattab, ketika beliau menjabat sebagai Khalifah. Hal ini terjadi pada tahun ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah. Namun demikian, Sayidina Umar sendiri tidak ingin memaksakan pendapatnya kepada para sahabat nabi. Sebagaimana biasanya, beliau selalu memusyawarahkan setiap problematika umat kepada para sahabatnya. Masalah yang satu ini pun tak pelak dari diktum diatas. Karenanya, beberapa opsi pun bermunculan. Ada yang menginginkan, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, awal diresmikannya (dibangkitkannya) Muhammad Saw sebagai utusannyalah yang merupakan timing waktu paling tepat dalam standar kalenderisasi. Bahkan, ada pula yang melontarkan ide akan tahun wafatnya Rasulullah Saw, sebagai batas awal perhitungan tarikh dalam Islam. Walaupun demikian, nampaknya Sayidina Umar r.a. lebih condong kepada pendapat sayidina Ali karamallhu wajhah-- yang meng-afdoliah-kan peristiwa hijrah sebagai tonggak terpenting ketimbang event-event lainnya dalam sejarah Islam, pada masalah yang satu ini. Relevan dengan klaim beliau: Kita membuat penaggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah Saw, adalah lebih karena hijrah tersebut merupakan pembeda antara yang hak dengan yang batil. Dalam penulisan tahun Hijriah sendiri, biasa ditulis dengan karakter hurup ( )dalam bahasa

Arab, atau (A.H.) singkatan dari Anno Hegirea (sesudah hijrah) untuk bahasa-bahasa Eropa. sedangkan untuk bahasa Indonesia biasa ditulis dengan (H.). Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M, hari Jumat. Yang Unik Dalam Hijriah Nampaknya, ada sesuatu yang unik dalam kalenderisasi Islam ini. Ketika sejarah mengatakan, bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabiul Awal bukan pada bulan Muharram--, tapi mengapa pada dataran realita, pilihan jatuh pada bulan Muharram, bukan pada bulan Rabiul Awal, sebagai pinangan pertama bagi awal penanggalan Islam. Memang, dalam peristiwa hijrah ini Nabi bertolak dari Mekah menuju Madinah pada hari Kamis terakhir dari bulan Safar, dan keluar dari tempat persembunyiannya di Gua Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, tepatnya pada hari Senin tanggal 13 September 622. Hanya saja, Sayidina Umar beserta sahabat-sahabatnya menginginkan bulan Muharram sebagai awal tahun hijriah. Ini lebih karena, beliau memandang di bulan Muharramlah Nabi berazam untuk berhijrah, padanya Rasulullah Saw selesai mengerjakan ibadah haji, juga dikarenakan dia termasuk salah satu dari empat bulan haram dalam Islam yang dilarang Allah untuk berperang di dalamnya. Sehingga Rasulullah pernah menamakannya dengan Bulan Allah. sebagaimana sabdanya: Sebaik-baik puasa selain dari puasa Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu bulan Muharram. ( Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihya). Ternyata keunikan awal Hijriah tidak hanya sampai di situ. Biasanya, pada hari kesepuluh dari bulan tersebut, sebagian orang dari kampung kita membuat makanan sejenis bubur yang dinamakan bubur Asyura, atau mungkin dalam bentuk lain semacam nasi tumpeng, maupun makanan lain sejenisnya, tergantung budaya masing-masing tempat dalam mengekspresikan rasa bahagianya terhadap hari Islam tersebut. Sepertinya, yang menjadi unik bagi kita sebagai kaum terpelajar adalah tradisi bubur Asyura tersebut. Adakah hubungannya dengan Islam? Asyura itu sendiri terambil dari ucapan `Asyarah, yang berarti sepuluh. Hari Asyura, hari yang ke sepuluh dari bulan Muharram. Islam memerintahkan umatnya untuk berpuasa sunah dan meluaskan perbelanjaan kepada keluarganya pada hari tersebut. Kalau kita berupaya untuk menelusuri keterangan dari junjungan kita, Rasulullah Saw, dari hadits sahihnya kita dapati, bahwa ia adalah hari yang bersejarah bagi umat Yahudi, karena pada hari itulah Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s. serta para pengikutnya, disaat menenggelamkan Firaun. Adapun tradisi bubur Asyura --berdasarkan riwayat dhaif--, karena pada hari itu Allah mengaruniakan nikmat yang besar kepada para nabi terdahulu, sejak zaman Nabi Adam As. hingga Nabi kita Muhammad Saw. Konon, di hari Asyura ini, ketika Nabi Nuh As. dan para pengikutnya turun dari bahtera, mereka semuanya merasa lapar dan dahaga, sedangkan perbekalan masing-masing telah habis. Maka

Nabi Nuh As. meminta masing-masing membawa satu genggam biji-bijian dari jenis apa saja yang ada pada mereka. Terkumpullah tujuh jenis biji-bijian, semuanya dicampurkan menjadi satu, lalu dimasak oleh beliau untuk dijadikan bubur. Berkat ide Nabi Nuh As., kenyanglah para pengikutnya pada hari itu. Dari cerita inilah, dikatakan sunat membuat bubur Asyura dari tujuh jenis biji-bijian untuk dihidangkan kepada fakir miskin pada hari itu. Menurut hemat penulis, semua pada asalnya boleh-boleh saja, selagi tidak bertentangan dengan kaidah agama yang lain. Terlebih, di saat tradisi semacam ini mengandung nilai positif dan seiring (implisit) dengan ajaran Islam. Hanya saja, yang selalu ditekankan oleh junjungan kita, hendaknya manusia selalu mengenang dan mengingat hari ketika Allah menurunkan nikmat atau azab kepada manusia, agar kita semua dapat bersyukur, sadar dan insaf kepada-Nya. Mungkin sekedar inilah yang ditekankan Rasululullah Saw. berkenaan dengan hari Asyura tersebut. Sebagaimana gejala lain terkadang kita dapati juga dari masyarakat kita masyarakat Bekasi atau Betawi--, berkenaan dengan Muharram ini. Semacam tradisi atau bahkan keyakinan tentang tidak mau melangsungkan akad pernikahan di bulan ini. Fenomena semacam ini, apakah memang ada landasannya dalam Islam, atau hanya sekedar khurafat, bahkan mungkin karena kontaminasi dan pengaruh kultur Islam-Kejawen yang terkadang masih melekat dalam budaya Indonesia. Muharram dalam perspektif Islam, merupakan salah satu dari empat bulan haram yang ada dalam Islam (Rajab, Zulkadah, Zulhijjah dan Muharram). Dalam empat bulan ini, kita dilarang melancarkan peperangan kecuali dalam kondisi darurat yang tidak dapat kita elakan. Firman Allah Swt dalam surah At Taubah ayat 36: Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah ada dua belas bulan (yang telah ditetapkan) di dalam kitab Allah ketika menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati. Ketetapan yang demikian itu adalah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan yang dihormati itu (dengan melanggar larangan-Nya). Berdasarkan ayat ini, segala aktifitas kebaikan tidak ada larangannya untuk dilakukan di bulan Muharram. Demikian juga dengan bulan Rajab, Zulkadah dan Zulhijjah. Hanya maksiat dan kezaliman saja yang dilarang lebih keras oleh Allah Swt pada bulan-bulan tersebut. Adapun aktifitas positif --semacam pernikahan--, dalam perspektif Islam adalah satu aktifitas atau amalan kebajikan, bukan maksiat dan kezaliman. oleh karenanya, tidak ada larangan dalam Islam untuk melangsungkan acara perkawinan di bulan Muharram. Namun saya lebih melihat, bahwa ketabuan semacam ini, --barangkali-- adalah sebagai pengaruh dari doktrin Syiah. Secara kebetulan, Sayidina Hussain terbunuh di Karbala pada bulan Muharram. Karenanya masyarakat Syiah memandang bulan Muharram sebagai bulan dukacita dan bulan berkabung. Maka mereka menghukumi haram untuk melangsungkan akad dan resepsi pernikahan, atau acara suka-ria lainnya di bulan itu. Pemahaman semacam ini tersebar luas ke negara-negara Islam dan akhirnya sampai ke negara kita (wallahu alam). Mengingat bahwa kalender hijriah dihitung berdasarkan rotasi bulan yang berlawanan dengan rotasi matahari, maka mengakibatkan semua hari-hari besar Islam dapat terjadi pada musimmusim yang berbeda. Sebagai contoh, musim haji dan bulan puasa, bisa terjadi pada musim

dingin atau pada musim panas. Dan yang perlu diingat, hari-hari besar Islam tidak akan terjadi persis dengan musim kejadiannya, kecuali sekali dalam 33 tahun. Kita pun sering menemukan perbedaan di antara beberapa kalender hijriah yang dicetak, perbedaan tersebut terjadi dikarenakan: Pertama, tidak ada standardisasi internasional tentang cara melihat anak bulan. Kedua, penggunaan cara penghitungan dan proses melihat bulan yang berbeda. Ketiga, keadaan cuaca dan peralatan yang dipakai dalam melihat anak bulan. Dari sini, maka tidak akan ditemukan adanya program penanggalan hijriah yang 100 persen benar, sehingga proses melihat anak bulan (ruyah) masih tetap relevan meskipun sebenarnya dilematis-- dalam penentuan hari besar, seperti bulan puasa, Idul Fitri dan Idul Adha. Eksistensi Hijrah Menginterpretasikan hijrah sebagai the founding of Islamic Community seperti dideskripsikan oleh Fazlur Rahman (guru besar kajian Islam di Universitas Chicago), sepenuhnya benar dan dapat dielaborasi dalam perspektif sejarah. Hijrah menggambarkan perjuangan menyelamatkan akidah, penghargaan atas prestasi kerja, dan optimisme dalam meraih cita-cita. Itulah sebabnya, Fazlur Rahman menyebut peristiwa hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calender and the founding of Islamic Community. Sebagaimana klaim seorang profesor di bidang kultur Indo-Muslim Universitas Harvard, Annemarie Schimmael, menyebut hijrah sebagai tahun (periode) menandai dimulainya era muslim dan era baru menata komunitas muslim. Kelahiran Piagam Madinah, yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai Konstitusi Madinah dan konstitusi modern yang pertama di dunia, adalah proklamasi tentang terbentuknya suatu ummah. Karena hijrah bukanlah pelarian akibat takut terhadap kematian, karena tidak mung-kin Rasulullah takut terhadap kematian. Sebab jika Rasulullah Saw mempertahankan eksistensi kaum muslimin di Makkah kala itu, ini akan menyulitkan kaum muslimin itu sendiri, yang waktu itu baru berjumlah 100-an orang. Rasulullah berhijrah setelah mempersiapkan kondisi psikologis dan sosiologis di kota Madinah dengan mengadakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II di musim haji. Adapun dalam mengembangkan makna hijrah untuk menarik relevansi kekiniannya, jelas tidak harus menggunakan parameter sosiologis sejarah jaman Rasulullah. Karena menarik sosiologi sejarah menjadi kemestian yang harus dilalui itu merupakan kemuskilan. Karena Rasulullah telah tiada. Jadi memaknai makna hijrah saat ini adalah dengan menarik peristiwa itu sebagai ibrah (pelajaran). Cita-cita dari hijrah Nabi Saw adalah untuk mewujudkan peradaban Islam yang kosmopolit dalam wujud masyarakat yang adil, humanis, egaliter, dan demokratis tercermin dalam keputusan Nabi mengganti nama Yastrib menjadi Madinah, atau Madinatul Munawarah (kota

yang bercahaya), yaitu kota par exellence, tempat madaniyah atau tamadun, berperadaban. Transformasi Kebijaksanaan Sejarah Peristiwa hijrah ke Madinah atau yang saat ini kita peringati sebagai tahun baru Hijrah (1 Muharram 1419), adalah peristiwa yang di dalamnya tersimpan suatu kebijaksanaan sejarah (sunnatullah) agar kita senantiasa mengambil hikmah, meneladani, dan mentransformasikan nilai-nilai dan ajaran Rasulullah saw (sunnatur-rasul). Setidaknya ada tiga hal utama dari serangkaian peristiwa hijrah Rasulullah, yang agaknya amat penting untuk kita transformasikan bagi konteks kekinian. Pertama, adalah transformasi keummatan. Bahwa nilai penting atau missi utama hijrah Rasulullah beserta kaum muslimin adalah untuk penyelamatan nasib kemanusiaan. Betapa serangkaian peristiwa hijrah itu, selalu didahului oleh fenomena penindasan dan kekejaman oleh orang-orang kaya atau penguasa terhadap rakyat kecil. Pada spektrum ini, orientasi keummatan mengadakan suatu transformasi ekonomi dan politik. Kebijaksanaan hijrah, sebagai sunnatullah dan sunnatur-rasul, di mana masyarakat mengalami ketertindasan, adalah merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, orang yang mampu hijrah tetapi tidak melaksanakannya disebut sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zhalim). sebab luasnya bumi dan melimpahnya rezeki di atasnya, pada dasarnya memang disediakan oleh Allah untuk keperluan manusia. Karena itulah, jika manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah (QS 4: 97-100). Tujuan dari hijrah, dalam visi al-Qur'an itu, agar manusia dapat mengenyam 'kebebasan'. Jadi tidak semata-mata perpindahan fisik dari satu daerah ke satu daerah lain, apalagi hanya sekadar untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan politik belaka, melainkan lebih dari itu melibatkan hijrah mental-spiritual, sehingga mereka memperoleh 'kesadaran baru' bagi keutuhan martabatnya. Hijrah Nabi ke Madinah, telah terbukti mampu mewujudkan suatu kepemimpinan yang di dalamnya berlangsung tatanan masyarakat berdasarkan moral utama (makarimal akhlaq), suasana tentram penuh persaudaraan dalam pluralitas (ukhuwah) dan pengedepanan misi penyejahteraaan rakyat (al-maslahatu al-ra'iyah). Kedua, adalah transformasi kebudayaan. Hijrah dalam konteks ini telah mengentaskan masyarakat dari kebudayaan jahili menuju kebudayaan Islami. Jika sebelum hijrah, kebebasan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal, otoritarian dan destruktif-permissifistik, maka setelah hijrah hak-hak asasi mereka dijamin secara perundang-undangan (syari'ah). Pelanggaran terhadap syari'ah bagi seorang muslim, pada dasarnya tidak lain adalah penyangkalan terhadap keimanan atau keislamannya sendiri. Bahkan lebih dari itu, pelanggaran terhadap hak-hak aasasi yang telah dilindungi dan diatur dalam Islam, akan dikenai hukum yang tujuannya untuk mengembalikan keutuhan moral mereka dan martabat manusia secara universal. Nilai transformatif kebudayaan berasal dari ajaran hijrah Rasulullah, dengan demikian pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan keutuhan moral dan martabat kemanusiaan secara universal (rahmatan lil-'alamiin). Mengenai apa saja martabat kemanusiaan atau hak-hak asasi -yang merupakan pundamen utama suatu kebudayaan-- yang dilindungi Islam, al-Qur'an telah menggariskan pokok-pokoknya seperti perlindungan fisik individu dan masyarakat dari tindakan

badani di luar hukum, perlindungan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, perlindungan keluarga dan keturunan, perlindungan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, perlindungan untuk menyatakan pendapat dan berserikat dan perlindungan untuk mendapatkan persamaan derajat dan kemerdekaan. Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah, yang dalam konteks hijrah, dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan beliau dan persaudaraan kaum Muslimin dengan kaum Yahudi dan Nasrani, sesungguhnya adalah basis utama dari misi (kerisalahan) yang diemban Rasulullah. Dari sejarah kita mengetahui, bahwasanya yang pertama menunjukkan 'tanda-tanda kerasulan' pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi dan pamannya Abu Thalib berdagang ke Syria. Kemudian pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), kaum muslimin ditolong oleh raja Najasy. Dan pada saat membangun kepemimpinan Madinah, kaum muslimin bersama kaum Yahudi dan Nasrani, bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian. Karena itulah, pada masa kepemimpinan Nabi dan sahabat, Islam secara tertulis mengeluarkan undang-undang yang melindungi kaum Nasrani dan Yahudi. Wallahu l hdi il sablirrasyd! Menyongsong Tahun Baru Hijriyah "Dan katakanlah! Beramallah maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui hal yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS: At-Taubah:105) Tidak terasa umur kita bertambah satu tahun lagi. Itu berarti jatah hidup kita berkurang dan semakin mendekatkan kita kepada rumah masa depan, kuburan. Pelajaran yang terbaik dari perjalanan waktu ini adalah menyadari sekaligus mengintrospeksi sepak terjang kita selama ini. Kita punya lima hari yang harus kita isi dengan amal baik. Hari pertama, yaitu masa lalu yang telah kita lewati apakah sudah kita isi dengan hal-hal yang dapat memperoleh ridho Allah? Hari kedua, yaitu hari yang sedang kita alami sekarang ini, harus kita gunakan untuk yang bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Hari ketiga, hari yang akan datang, kita tidak tahu apakah itu milik kita atau bukan. Hari keempat, yaitu hari kita ditarik oleh malaikat pencabut nyawa menyudahi kehidupan yang fana ini, apakah kita sudah siap dengan amal kita? Hari kelima, yaitu hari perhitungan yang tiada arti lagi nilai kerja atau amal, apakah kita mendapatkan rapor yang baik, dimana tempatnya adalah surga, atau mendapat rapor dengan tangan kiri kita, yang menunjukan nilai buruk tempatnya di neraka. Pada saat itu tidak ada lagi arti penyesalan. Benar sekali kata seorang ulama besar Tabi'in, bernama Hasan Al-Basri, "Wahai manusia sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari, setiap hari berkurang, berarti berkurang pula bagaianmu." Umar bin Khatab berkata, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab." Wallahu a'lam bishshowab... Saya akhiri, Billahi taufik wal hidayah.... Hadanallahu wa'iyyakum ajma'in... akhiran... aqulu lakum... Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Assalamualaikum Wr. Wb. Bapak-bapak, ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian yang saya hormati. Patutlah pasa hari ini kita mengucapkan tahmid dan tasyakur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat, hidayat, serta inayat-Nya, kita semua dapat berkumpul di majlis ini guna untuk mendengar ceramah dalam rangka memperingati 1 Muharom, yang lazimnya disebut dengan tahun baru Islam. Selnajutnya sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw karena dari beliaulah kita semua dapat mengetahui akan ajaran-ajaran Islam, sehingga kita dapat membedakan mana jalan yang lurus dan mana jalan yang salah. Hadirin sekalian yang berbahagia. Pada saat ini kita semua tengah memperingati hari besar Islam 1 Muharom, oleh karena itu patutlah kita bersyukur kepada Allah SWT karena kitamasih diperkenankan oleh Allah untuk dapat menikmati apa yang telah diberikan oleh-Nya di muka bumi ini. Dengan memasuki tahun baru ini membuat kita sadar bahwa umur kita telah bertambah dari satu tahun menjadi dua tahun, yang sebelumnya 17 tahun menjadi 18 tahun dan begitulah seterusnya. Akan tetapi, haruslah kita sadari pula bahwa dengan bertambahnya tahun, maka akan semakin satu tahun kesempatan kita dalam mencari atau berbuat amal soleh. Dan dengan memasuki tahun baru ini hendaknya kita mengoreksi akan hasil-hasil perbuatan kita di masa yang sudah lalu atau pada tahun yang telah kita tinggalkan. Koleksilah diri kita masing-masing dengan kaca mata agama. Kita buat neraca atau perbandingan selama satu tahun yang telah kita tinggalkan itu banyak perbuatan yang melanggar sayriat Islam atau kah banyak perbuatan yang diridloi oleh Allah. Kalau seandainya selama satu tahun kita tinggalkan itu banyak amalan-amalan baik, hal itu menunjukan bahwa tingkat keimanan kita semakin bertambah. Begitu pula sebaliknya, bila selama satu tahun yang itu banyak amalan jeleknya, maka tentunya kita harus lebih memperbaiki keimanan kita. Hadirin sekalian yang berbahagia. Dengan bergantinya tahun baru ini yang membuat umur kita menjadi bertambah, maka gunakanlah sisa dari umur yang ada itu dengan amalan-amalan atau aktifitas yang sesuai dengan norma-norma agama, dan itulah sebaik-baiknya tindakan manusia yang cerdik. Sesuai dengan hadits Rasulullah saw :

Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang panjang umurnya dan bagus amalannya dan sejelekjeleknya manusia adalah yang diberi umur panjang dan jelek amalannya(perbuatannya). (HR.Ahmad) Berangkat dari hadits tersebut, marilah kita dalam memperingati hari besar Islam, utamanya tahun baru hijriah yang tepatnya pada tanggal 1 Muharom kita koreksi diri, kita perbanyak mengumpulkan amalan-amalan yang bagus. Itulah makna sebenarnya dalam acara memperingati 1 Muharom ini. Demikian sambutan dari saya. Mudah mudahan apa yang saya sampaikan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin ya robbal alamin. Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf bila ada salah-salah kata dan kekhilafannya. Akhirul kalam, uushikum wanafsii wa-iyyaaya bitaqwallohi, wassalamu alaikum warohmatullohi wabarokaatuhu.

Assalamualaikum Wr. Wb. Fathers, mothers and brothers and sisters whom I respect. Pasa is fitting today we say tahmid and tasyakur Allah SWT because it is only by grace, hidayat, and Inayat Him, we can all gather in this majlis in order to hear a lecture in commemoration of a Muharom, commonly referred to as the Islamic new year. Selnajutnya sholawat and hopefully keep tercurahkan regards to the lord of the Prophet Muhammad because of beliaulah we all can learn to the teachings of Islam, so that we can tell which way is straight and which path is wrong. Ladies and gentlemen of the blessed. At this time we all commemorate the middle of a major Islamic Muharom, therefore we must be grateful to Allah SWT for kitamasih allowed by God to be able to enjoy what has been given by Him on this earth. By entering this new year makes us realize that our age has increased from one year to two years, the previous 17 years to 18 years and so on. However, we must also realize that with increasing years, the more one year our chances in finding or pious charity. And by entering into this new year we should be correcting the results of our actions in the future is past or in the year we have left. Koleksilah ourselves each with a glass eye of religion. We create a balance or ratio for one year we have left that many acts that violate Islamic sayriat or whether many acts that diridloi by God. If the case for a year's leave it much good deeds-deeds, it shows that increasing the level of our faith. Vice versa, if for one year which was a lot of bad deeds, then surely we must further refine our faith. Ladies and gentlemen of the blessed. With each passing year that makes this new age we are getting, then use the rest of life that there was a deed-deeds or activities in accordance with the norms of religion, and that's the best of human actions that clever. In accordance with the hadeeth of the Messenger of Allah: "At best people are those who long shelf life and good righteous deeds and bad, bad man is that given the longevity and ugly righteous deeds (actions). (HR.Ahmad) " Departing from the Hadith, let us commemorate the big day in Islam, especially the new Hijra year is exactly on the 1 Muharom our self-correction, we multiply collect good deeds-deeds. That's the true meaning of an event commemorating this Muharom. Similarly, a speech from me. Hopefully what I have to say is beneficial to us all. Yes Amin robbal 'alamin.

Thank you for your attention, sorry if there is one-one words and kekhilafannya. Akhirul kalam, uushikum wanafsii wa-iyyaaya bitaqwallohi, wassalamu 'alaykum warohmatullohi wabarokaatuhu.

. . . tasyakur tahmid Muharom . sholawat Selnajutnya tercurahkan beliaulah . . Muharom kitamasih . 17 17 . . . Koleksilah . sayriat diridloi . . . . . : " (). (" )HR.Ahmad 1 Muharom . .Muharom . . .robbal 7-7 Akhirul .kekhilafannya uushikum wanafsii wassalamu WA - iyyaaya bitaqwallohi .warohmatullohi wabarokaatuhu

You might also like