You are on page 1of 29

REFERAT

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI ASIA TENGGARA Preceptor: Drg. Donny Pangemanan, SKM Dibuat oleh : Nyssa Jualim 0710021

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG 2012

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit menular seksual (PMS) adalah penyakit yang penularannya terutama melalui hubungan seksual. Sejak tahun 1998 istilah STD mulai berubah menjadi STI (Sexually Trnasmitted Infection), agar dapat menjangkau penderita asimtomatik.. Menurut WHO, terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adaah infek gonorrhoeae, chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genitalis, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan hepatitis B. Penyakit Menular Seksual (PMS) merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa muda laki-laki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan di Negara berkembang. Dewasa dan remaja (15-24 tahun) merupakan 25% dari semua populasi yang aktif secara seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50% dari semua kasus PMS yang baru didapat. Kasus-kasus PMS yang terdeteksi hanya menggambarkan 50-80% dari semua kasus PMS yang ada di Amerika. Ini mencerminkan keterbatasan skrining dan rendahnya pemberitaan akan PMS. Diperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru dari PMS yang dapat disembuhkan terjadi setiap tahunnya pada laki-laki dan perempuan usia 15-49 tahun. Secara epidemiologi penyakit ini tersebar di seluruh dunia, angka kejadian paling tinggi tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika Latin, dan Karibean. Jutaan PMS oleh virus juga terjadi setiap tahunnya diantaranya adalah HIV, virus Herpes, human papilloma virus, dan virus hepatitis B. Di Amerika, jumlah wanita yang menderita infeksi chlamydia 3 kali lebih tinggi dari laki-laki. Dari seluruh wanita yang menderita infeksi chlamydia, golongan umur yang memberikan kontribusi yang besar ialah umur 15-24 tahun. Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi infeksi menular seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi menunjukkan prevalensi infeksi gonorrhoeae dan chlamydia yang

tinggi, yaitu sekitar 20%-35%. Selain gonorrhoeae dan chlamydia, infeksi HIV/AIDS juga menjadi perhatian saat ini karena peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Jumlah penderita HIV/AIDS digambarkan sebagai fenomena gunung es, yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh ebih kecil dari jumlah sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita hiv/aids di Indonesia yang sebenarnya belum diketahui secara pasti. Penyakit Menular Seksual telah menjadi program tersendiri bagi pemerintah. TIngginya angka kejadian penyakit menular seksual di kalangan remaja dan dewasa muda, terutama wanita, merupakan bukti bahwa masih rendahnya pengetahuan remaja akan infeksi menular seksual. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya edukasiedukasi yang dilakukan oleh pemerintah dan badan kesehatan lainnya. Tidak adanya mata pelajaran yang secara khusus mengajarkan dan memberikan informasi bagi murid sekolah menengah atas, terutama siswi, juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kejadian infeksi menular seksual di kalangan remaja.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Epidemiologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu epi = atas, demos = rakyat, populasi manusia, dan logos = ilmu (sains), bicara. Secara etimologis, epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan peristiwa yang banyak terjadi pada rakyat, yakni penyakit dan kematian yang diakibatkannya disebut epidemi. Kata epidemiologi digunakan pertama kali pada awal abad ke-19 oleh seorang dokter berkebangsaan Spanyol bernama Villalba dalam tulisannya bertajuk Epidemiologia Espanola. Tetapi gagasan dan praktik epidemiologi untuk mencegah penyakit sudah dikemukakan oleh Bapak Kedokteran Hippocrates sekitar 2000 tahun lampau di Yunani. Hippocrates mengemukakan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit. Dengan menggunakan Teori Miasma, Hippocrates menjelaskan bahwa penyakit terjadi karena keracunan oleh zat kotor yang berasal dari tanah, udara, dan air. Karena itu upaya untuk mencegah epidemi penyakit dilakukan dengan cara mengosongkan air kotor, membuat saluran air limbah, dan melakukan upaya sanitasi (kebersihan). Teori Miasma terus digunakan sampai dimulainya era epidemiologi modern pada paruh pertama abad ke19. Mula-mula epidemiologi hanya mempelajari epidemi penyakit infeksi. Kini epidemiologi tidak hanya mendeskripsikan dan meneliti kausa penyakit epidemik (penyakit yang berkunjung secara mendadak dalam jumlah banyak melebihi perkiraan normal) tetapi juga penyakit endemik (penyakit yang tinggal di dalam populasi secara konstan dalam jumlah sedikit atau sedang). Epidemiologi tidak hanya mempelajari penyakit infeksi tetapi juga penyakit non-infeksi.

2.2 Penyakit Menular Seksual Penyakit kelamin (venereal disease) sudah lama dikenal di dunia tetapi dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, seiring dengan perkembangan peradaban masyarakat,

banyak ditemukan penyakit-penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Sexually Transmitted Disease (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS). Peningkatan insidensi dan penyebarannya di selruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan insidensi PMS atau paling tidak insidensinya relatif tetap. Namun demikian, di sebagian besar negara, insidensi PMS relatif masih tinggi dan setiap tahun beberapa juta kasus baru beserta komplikasi medisnya antara lain kemandulan, kecacatan, gangguan kehamilan, gangguan pertumbuhan, kanker bahkan juga kematian memerlukan penanggulangan, sehingga hal ini akan meningkatkan biaya kesehatan. Selain itu pola infeksi juga mengalami perubahan, misalnya infeksi chlamydia, herpes genital, dan Condyloma akuminata di beberapa negara cenderung meningkat dibandingkan dengan urethritis, gonorrhoeae, dan syphilis. Perubahan pola infeksi maupun resistensi tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perubahan pola distribusi maupun pola perilaku penyakit tersebut di atas tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu: 1. Faktor dasar a. Adanya penularan penyakit b. Berganti-ganti pasangan seksual 2. Faktor medis a. Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis b. Pengobatan modern c. Pengobatan yang mudah, murah, cepat, dan efektif, sehingga risiko resistensi tinggi, dan bila disalahgunakan akan meningkatkan risiko penyebaran infeksi. 3. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat bagi

pencegahan kehamilan saja, berbeda dengan kondom yang juga dapat digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularan PMS. 4. Faktor sosial a. Mobilitas penduduk b. Prostitusi c. Waktu yang santai d. Kebabasan individu e. Ketidaktahuan Peningkatan insidensi tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku risiko tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita syphilis melakukan hubungan seks rata-rata dengan 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya, sedangkan penderita gonorrhoeae melakukan hubungan seksual dengan rata-rata 4 pasangan seksual Menurut Hakim (2009), yang tergolong kelompok resiko tinggi adalah : 1. Usia a. 20-34 tahun pada laki-laki b. 16-24 tahun pada wanita c. 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin 2. Pelancong 3. Pekerja seks komersil atau wanita tuna susila 4. Pecandu narkotik 5. Homoseksual

Insidensi PMS cukup tinggi di sebagian besar negara di dunia, walaupun sebagian besar penyakit ini dapat didiagnosis dan diobati. Efek dari perpindahan penduduk terlihat seara dramatis pada penyebarah virus AIDS (HIV-1) dari Afrika ke Eropa pada akhir tahun 1970. Pada tahun 1996, WHO memperkirakan lebih dari 1 juta orang terinfeksi setiap harinya. Sekitar 60% penderita berusia kurang dari 25 tahun dan 30% kurang dari 20 tahun. Antara usia 14 dan 19 tahun, PMS lebih sering mengenai perempuan daripada laki-laki dengan rasio 2:1. Diperkirakan 340 juta kasus baru dari syphilis, gonorrhoeae, chlamydia, dan trichomoniasis muncul selama tahun 1999. Dilaporkan juga prevalensi dari PMS pada wanita yang aktif baik dengan ataupun tanpa gejala termasuk chlamydia (10-25%), gonorrheae (3-18%), syphilis (0-3%), Trichomonas vaginalis (8-16%), dan herpes simplex virus (2-12%). Pada laki-laki chlamydia (9-11%) dan gonorrhoeae (2-3%). Setidaknya 1 dari 4 remaja wanita di Amerika menderita PMS. Menurut WHO pada tahun 1997, terhitung ada 5,8 juta (19%) orang di Asia selatan dan Asia tenggara dari 30,6 juta anak dan orang dewasa di seluruh duni yang menderita HIV. Tiga faktor paling utama yang mempengaruhi adalah pekerjaan seks komersil, penyalahgunaan zat, dan mobilitas penduduk antar daerah.

2.3 Epidemiologi Penyakit Menular Seksual di Indonesia Indonesia terletak di Asia Tenggara di garis khatulistiwa. Terdiri dari 13.700 pulau, termasuk Jawa yang termasuk salah satu pulau terpadat di dunia. Diperkirakan penduduk di Indonesia berjumlah lebih dari 200 juta penduduk yang terdiri dari 300 etnik yang berbeda. Distribusi populasi usianya adalah 39,2% berusia kurang dari 15 tahun, 56,5% berusia 1559 tahun, dan 5,3% berusia lebih dari 60 tahun. Penyakit kelamin sudah lama dikenal dan diantaranya sangat populer di Indonesia. PMS sering ditemukan di kalangan dewasa muda. Hal ini mengindikasinya tabunya hubungan seksual di luar pernikahan sudah tidak dihiraukan lagi. Insidensi tertinggi adalah pada kelompok usia 20-24 tahun. Insidensinya lebih tinggi di ka;angan pria. Kasus PMS

yang paling banyak dilaporkan adalah non-spesific urethritis dan gonorrhoeae. Kasus PMS pada pekerja seks komersil di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hasil estimasi tahun 2006 menunjukkan bahwa pekerja seks komersil berjumlah 221.000 orang dengan pelanggan sebanyak 3.160.000 orang dengan prevalensi PMS yang sangat tinggi di kota Bandung, yaitu gonorrhoeae 37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%. Selanjutnya diikuti oleh kota Surabaya dengan kasus chlamydia 33,7%, syphilis 28,8%, dan gonorrhoeae 19,8%. Yang ketiga adalah kota Jakarta dengan gonorrhoeae 29,8%, syphilis 25,2%, dan chlamidia 22,7%. Yang keempat adalah kota Medan dengan Chlamydia 5.3% dan syphilis 2.4%. Pekerja seks komersil lebih berisiko menimbulkan PMS karena mereka sering bertukar pasangan seks. Semakin banyak pasangannya semakin banyak kesempatan terinfeksi PMS dan menularkannya ke orang lain. Peran serta masyarakat dalam mengontrol PMS sangat penting, selama kelompok ini belum terjangkau dengan pencegahan dan layanan pengobatan yang berkualitas baik. Jangkauan yang efektif, pendidikan sebaya serta layanan klinik berjalan atau dengan menyediakan waktu khusus di klinik memberikan kontribusi untuk mengurangi prevalensi PMS di masyarakat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pekerja seks komersil masih engggan menggunakan kondom sebagai bentuk seks yang aman. Sepuluh juta pria di Indonesia masih menjadi pelanggan pekerja seks komersil di tempat-tempat pelacuran, dan menolak menggunakan kondom ketika melakukan seks bebas tersebut. Sebanyak 60% diantaranya merupakan pria yang sudah beristri, dan 40% merupaka anak muda. Ini adalah hasil survei Kementrian Kesehatan pada tahun 2011 mengenai pria berperilaku seksual risiko tinggi terpapar HIV/AIDS. Selain masalah banyaknya pekerja seks komersil yang enggan menggunakan kondom juga terdapat masalah lain. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), gerak KPA untuk mengampanyekan penggunaan kondom terbatas. Sebagai contoh KPA dilarang mengampanyekan pemakaian kondom di televisi, dan hanya diperbolehkan untuk melakukannya di area lokalisasi. Pengobatan untuk PMS dapat ditemukan di semua klinik kesehatan. Pemerintah

pernah mensponsori suatu program untuk mencegah menyebarnya PMS dengan memberikan injeksi Penicillin kepada para pekerja seks komersil. Program-program pencegahan lain dilakukan melalui seminar-seminar dan media massa. Salah satu usaha pemerintah untuk mengatasi penyebaran difokuskan pada mereka yang bekerja di industri tourism. Mayoritas penularan HIV/AIDS berasal dari hubungan seksual. Pekerja seks komersil menjadi salah satu sumber penyebaran utama. Diduga awal sumbernya berasal dari para pelancong yang berkunjung ke Indonesia dan menyebarkan virus tersebut kepada orang lokal melalui hubungan seks. Program promosi kondom di area lokalisasi sudah sering dilakukan, tetapi sayangnya hal ini masih sering tidak dihiraukan.

2.4 Epidemiolgi Penyakit Menular Seksual di Thailand Thailand, yang dulu dikenal sebagai Siam, adalah suatu kerajaan dengan populasi kira-kira sebanyak 60 juta penduduk yang berlokasi di Asia Tenggara. Total luas wilayahnya adalah 512.997 km2. Ibukotanya, Bangkok, berlokasi di pusat Thailand dengan populasi sebanyak 7.8 juta penduduk. Thailand berbatasan dengan Myanmar utara dan barat, bagian timur dan selatan berbatasan dengan Laos, bagian tenggara dengan Kamboja, dan di selatan dengan Malaysia. Thailand mempunyai populasi yang cukup muda dengan 45% penduduknya berusia dibawah 14 tahun dan 49% penduduknya berusia antara 15-49 tahun, dan 6% berusia di atas 60 tahun. Kira-kira 70% tinggal di daerah pedesaan. Thailand dilaporkan mempunyai angka kejadian PMS yang sangat tinggi. Dalam Partner Relations Survey, salah satu penelitian di Thailand, prevalensinya mencapai 49% pada laki-laki yang tinggal di perkotaan dan 33% pada laki-laki di daerah pedesaan, atau 38% dari keseluruhan. Angka ini cukup tinggi dibandingkan dngan penderita wanita, yaitu sebanyak 11% pada wanita yang tinggal di kota, dan 9% wanita yang tinggal di pedesaan, atau 10% dari keseluruhan. Hampir seluruh dari seluruh kasus PMS di Thailand disebabkan karena seks

komersil. Pada laporan tahun 1989, hampir 96% dari pasien yang berobat ke klinik PMS mengaku mendapatkan infeksinya karena berhubungan dengan pekerja seks komersil. Walaupun para pekerja seks komersil disarankan untuk melakukan pemeriksaan setiap minggunya, data menunjukkan mereka hanya klinik PMS setiap 7 minggu pada tahun 1994. Seperti kebudayaan lain di Asia, para orang tua di Thailand tidak memberikan edukasi kepada anak-anaknya mengenai seks. Sewaktu anaknya menanyakan tentang seks, mereka akan menghindar atau menjawab pertanyaan tersebut dengan salah. Karena hal tersebut, pengetahuan tentang seks didapatkan dari media dan literatur. Pelajaran seks mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah di Thailand pada tahun 1978. Walaupun kurikulumnya selalu direvisi, tetapi pelajaran seks ini hanya sebatas organ-organ reproduksi dan PMS. Penggunaan kondom tidak diajarkan di sekolah, walaupun sebenarnya banyak penduduk Thailand yang menggunakan alat kontrasepsi. Sejak dulu seks komersil banyak digunakan oleh para petinggi di Thailand. Memuaskan kebtuhan seks pria dengan menawarkan jasa pekerja seks komersil sudah menjadi bagian dari keramahan dalam dunia bisnis, baik di antara masyarakat Thailand sendiri maupun bagi para pendatang yang berkunjung ke Thailand. Sudah menjadi kebiasaan bagi para pria baik yang belum ataupun sudah menikah untuk mendapatkan kepuasan seksual dari pekerja seks komersil. Beberapa penelitian juga menuliskan bahwa hampir separuh pria di Thailand kehilangan keperjakaannya sebelum usia 18 tahun dan hampir seluruhnya melakukannya dengan pekerja seks komersil. Hubungan seks dengan pekerja seks komersil dianggap sebagai salah satu jalan untuk mempelajari seks bagi anak laki-laki. Bahkan beberapa orang tua membayar pekerja seks komersil untuk mengajari anak laki-lakinya tentang cara berhubungan seksual. Sebaliknya, wanita diharuskan tetap perawan sampai pernikahan. Belakangan ini para wanita di Thailand, tidak seperti di negra lain di Asia, lebih mengambil risiko dalam pengalaman seks mereka. Sudah lumrah untuk kehilangan keperawanannya di luar prenikahan. Karena sudah tidak perawan, bukan masalah bagi

mereka untuk melakukan seks komersil. Sejak dulu, wanita yang mencari kepuasan kehidupan seksnya dianggap sebagai artful women oleh Raja Mongkut. Para wanita di Thailand juga mempunyai kuasa penuh untuk menentukan kehidupan pernikahannya. Tetapi setelah menikah mereka tidak diperbolehkan melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Kasus HIV pertama kali dideteksi di Thailand pada tahun 1984. Tetapi pemerintah menanggapi hal ini dengan lambat sampai HIV menjadi pandemi di Thailand. Kondisi ekonomi yang rendah membuat penduduk Thailand menjadikan seks untuk menghasilkan uang dari pendatang dan hal ini yang membuat kasus AIDS terus berkembang. Awalnya kasus ini berkembang di kalangan homoseksual, lama kelamaan berkembang di kalangan pekerja seks komersil. Pada tahun 1991, dikarenakan perilaku seks tidak aman pada pria Thailand baik dalam maupun di luar pernikahan, kasus HIV dapat ditemukan pada wanita hamil dan bayi baru lahir. Pada tahun 1993 pemerintah membentuk program yang dinamakan 100 Percent Condom Program dengan membagikan kondom dalam jumlah besar untuk kebutuhan seks komersil. Program ini mengharuskan pengunaan kondom bagi para pekerja seks komersil tanpa kecuali. Mereka diharuskan menolak kliennya apabila mereka menolak menggunakan kondom. Dengan adanya program ini penggunaan kondom dalam pekerjaan seks komersil meningkat dari 14% pada tahun 1989 menjadi 90% pada tahun 1994. Insidensi terjadinya PMS juga menurun sebanyak 85%.

2.5 Epidemiologi Penyakit Menular Seksual di Filipina Filipina adalah negara di Asia Tenggara yang terdiri dari 7.107 pulau. Hampir setengah populasi Filipina tinggal di Manila yang merupakan ibukota di Filipina. Diperkirakan jumlah penduduk Filipina berjumlah sebanyak 79.3 juta orang. Distribusi usianya adalah sebagai berikut: 37,3% berusia di bawah 15 tahun, 59,1% berusia antara 1565 tahun, dan 3,6% berusia di atas 65 tahun. Banyak negara berkembang, termasuk Filipina, mempunya angka prevalensi PMS

yang tinggi. Penyakit-penyakit yang paling sering dilaporkan adalah gonorrhoeae, chlamydia, chancroid, herpes, dan syphilis. Salah satu penelitian yang meneliti angka kejadian PMS pada pekerja seks di Filipina menyatakan 51,7% dari pekerja seks Filipina menderita PMS dengan usia rata-rata 23 tahun. Departement of Health (DOH) Filipina menyatakan bahwa setiap dua hari sekali terdapat dua kasus penularan penyakit reproduksi. Sejak tahun 2000 kasus penularan penyakit ini mencapai angka 10 kasus per bulan dan pada tahun 2009 meningkat hingga 65 kasus per bulan. Penatalaksanaan PMS dibagi menjadi tiga tingkatan. Yang paling pertama disediakan oleh para praktisi kesehatan di tempat praktek pribadi. Walaupun pada tingkatan ini sangat bergantung pada kompetesi tenaga kesehatan, dokter dan tenaga kesehatan lain dapat memberikan saran pencegahan, melakukan diagnosis dini, dan mengobati PMS dengan tepat. Tingkat kedua adalah industri obat dan tingkat ketiga adalah klinik kesehatan dan rumah sakit. Program ini memberikan kesenpatan pada penduduk Filipina untuk berkonsultasi dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan pencegahan dan deteksi dini dari PMS. PMS menjadi salah satu masalah utama di Filipina. Filipina mempunyai National Sexually Transmitted Disease Control Program sejak tahun 1945. Tetapi kualitas data yang dimiliki sedikit bermasalah. Sebagian besar data didapatkan dari pekerja seks komersil wanita. Praktisi medis diharuskan untuk melaporkan PMS kepada departemen kesehatan. Tetapi data tidak dilaporkan secara reguler dan seringkali tidak akurat dikarenakan adanya diagnosis yang salah. Banyak masalah yang ditimbulkan dari pelatihan dokter, perawat, dan bidan yang tidak adekuat dan kurangnya peralatan dan reagen untuk pemeriksaan PMS. Lebih jauh lagi, karena klinik-klinik tersebut tidak mempunyai kapabilitas untuk melakukan pemeriksaan syphilis, kebanyakan kasus syphilis tidak dilaporkan. Pada tahun 1987 ada 26.450 kasus baru PMS yang dilaporkan di Filipina. Pada tahun 1991, 75.550 kasus baru dilaporkan, didapatkan peningkatan sebanyak 274%. Nongonococcal urethritis dilaporkan sekitar 69% dan gonorrhoeae sekitar 24% dari total PMS yang dilaporkan pada tahun 1991. PMS lain yang dilaporkan adalah candidiasis,

trichomoniasis, HIV, dan syphilis, masing-masing sebanyak 3% dari total kasus. Dari data tersebut 62% penderita adalah wanita dengan usia 15-25 tahun. Pada tahun 2003 kira-kira angka kejadian penyakit menular seksual di Filipina sebanyak 1935 kasus. Angka kejadian HIV/AIDS di kalangan muda di Filipina meningkat dari 41 pada tahun 2007 ke 110 pada tahun 2008. Menurut hasil penelitian di Filipina, angka kejadian meningkat terutama selama masa Valentine. Karena itu Filipina memulai program membagikan kondom selama masa Valentine. Pembagian kondom secara gratis ini dilakukan oleh Departemen Kesehatan Filipina bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat tentang kesehatan reproduksi, NEPA Q MART dan EDSA. Selain untuk menjaga alat reproduksi dari penyakit menular, pembagian kondom ini juga untuk mempromosikan undang-undang kesehatan reproduksi terbaru. Negara ini menganggap cara ini adalah solusi terbaik untuk menghindari penyakit menular selama pasangan melakukan hubungan seksual. Presiden Filipina menyatakan bahwa ia mendukung kehidupan keluarga yang bertanggung jawab, termasuk mendidik pasangan merencanakan jumlah anak dengan memberikan akses luas pada alat kontrasepsi artifisial, seperti kondom. Tetapi pihak gereja katolik Filipina tetap menolak penggunaan kondom sebagai kontrasepsi artfisial karena menganggap bahwa kondom bukan solusi moral, tetapi untuk pekerjaan seks komersil. Solusi moral yang dimaksud adalah kesetiaan, tidak melakukan hubungan seksual di luar pernikahan sah, dengan satu istri dan satu suami. Kota Angeles di Pampanga, Manila utara sekarang ini dibangun mnjadi bandara internasional. Selain untuk pembangunan negara, tempat ini juga menjadi pintu masuk perdagangan seks untuk para pelandatang dari luar negri. Perdagangan seks menjadi sumber uang ketiga terbesar di Filipina. Selain itu dikarenakan oleh tingginya perpindahan penduduk secara global, kasus resisten gonorrhoeae dan trichomoniasis dilaporkan pada beberapa kasus. Kurangnya pendidikan seks yang memadai terutama di kalangan sosioekonomi rendah dan kurangnya pengobatan medis yang memadai membuat angka kejadian PMS terus meningkat di Filipina. Flipina menyusun Undang-undang Kesehatan Reproduksi yang biasa dikenal

dengan nama Reproductive Health (RH) Bills yang isinya mengatur tentang hak untuk mengatur jumlah anak dan perawatan ibu dengan menggunakan kondom, pil KB, dan IUD. Salah satu dari RH Bills juga mengatur tentang pencegahan dan perawatan HIV/AIDS dan PMS. Filipina juga mempunyai Fertility Care Center (FCC) di University of the Philipines/Phillipine General Hospital dan Reproductive Health Care Center. FCC ini mempunyai 5 komponen yaitu skrining, diagnosis klinis, diagnosis laboratorium, penatalaksanaan terapeutik, dan konseling.

2.6 Epidemiologi penyakit menular seksual di Singapura PMS meningkat sebanyak 62% pada data terakhir yang dimiliki pemerintah di Singapura. Data yang didapatkan ada 11.000 kasus PMS pada tahun 2006 dan 12.300 kasus pada tahun 2008. Tiga PMS terbanyak yang didapatkan adalah gonorrhoeae, nongonococcal urethritis, dan syphilis. Menteri kesehatan Singapura juga mengatakan bahwa 70% kasus mengenai dewasa muda dengan kelompok usia 20-30 tahun. Pada kelompok usia kurang dari 20 tahun, 2/3 adalah wanita, sedangkan pada kelompok usia di atas 20 tahun, 2/3 adalah pria. Jumlah pasien berusia 10-19 tahun yang menderita PMS meningkat lebih dari dua kali, dari 256 menjadi 678 antara tahun 2001-2005. Jumlah kejadian pada kelompok ini meningkat dari 3.8% pada tahun 2001 menjadi 6.1% pada tahun 2005. Secara garis besar, insidensi PMS tertinggi terjadi pada usia 25-29 tahun. Rasio antara pria dan wanita adalah 3:2. Di antara wanita, insidensi PMS adalah pada usia 20-24 tahun.Pada kelompok pria, insidensi usia terbanyak adalah pada usia 25-29 tahun. Angka kejadian paling banyak pada usia di bawah 30 tahun. Sebagian besar adalah pada para pekerja seks komersil. Pemerintah Singapura berusaha menekan pertumbuhan angka kejadian PMS terutama pada kalangan pekerja seks. Untuk kasus PMS di Singapura didapatkan menurun dari 1.013 per 100.000 populasi menjadi 156 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2000. Tiga penyakit utama

adalah syphilis, gonorrhoeae, dan non-gonococcal urethritis. Non-gonococcal urethritis adalah PMS yang terbanyak dengan insidensi 41 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2000. Insidensi untuk gonorrhoea menurun dari 45 kasus per 100.000 populasi menjadi 37 kasus per 100.000 populasi. Syphilis adalah penyakit terbanyak ketiga dengan insidensi 24 kasus per 100.000 populasi. Insidensi dari kombinasi PMS lain sebanyak 54 kasus per 100,.000 populasi. Sekarang ini prevalensi untuk penyakit gonorrhoeae, syphilis, dan chancroid berhasl diturunkan karena adanya antibiotik untuk mengobatinya. Sedangkan angka kejadian PMS yang disebabkan karena virus, termasuk herpes simplex dam warts sulit ditekan karena tidak adanya aniviral yang efektif. Dilaporkan ada 226 warga Singapura yang mengidap HIV pada tahun 2000, meningkat sebanyak 9,7% dari tahun 1999. Hasil perhitungan kumulatif ada sekitar 1.362 penderita HIV di Singapura sejak kasus pertama yang dilaporkan pada tahun 1985.

2.7 Epidemiologi penyakit menular seksual di Kamboja Kamboja sedang mengalami epidemi dari PMS, termasuk HIV, yang diperparah oleh berkembangnya industri seks dan kondisi politik. HIV Sentinel Surveillance milik pemerintah mencatat adanya peningkatan prevalensi HIV pada pekerja seks wanita (30% pada tahun 1995 menjadi 42,6% pada tahun 1998), polisi (5,5% pada tahun 1996 menjadi 6,2% pada tahun 1998). Pada tahun 1997, 7,1% pria dan 3,2% wanita hamil ditemukan positif HIV. Untuk mengontrol epidemi ini, Cambodian Ministry of Healths National Center for HIV, AIDS, Dermatology, and STDs (NCHADS) dan organisasi swasta membentuk suatu program edukasi PMS dan HIV, promosi kondom, dan penanganan PMS. Mereka juga melakukan survei pada tahun 1997 untuk meneliti perilaku yang menjadi faktor utama dari penyebaran HIV dan PMS. Penelitian dilakukan di Kamboja untuk meneliti perilaku yang menjadi faktor utama dari penyebaran HIV dan PMS. Di samping itu juga mereka meneliti kelompok

masyarakat yang menjadi jembatan penyebaran dari penyakit ini. Budaya penggunaan seks komersil untuk pria di Kamboja menyerupai Thailand, di mana seks komersil dipandang sebagai salah satu bentuk hiburan untuk pria dan sah untuk pria untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Bahkan setelah menikah pun, penggunaan seks komersil tetap diterima. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa penggunaan seks komersil sangat lazim di kalangan polisi dan militer, dengan hasil penelitian sebnayk 56% responden yang melakukannya selama 1 bulan sebelum penelitian, dan 88% melakukannya 1 tahun sebelum penelitian. Penelitian dengan menggunakan Behavioral Surveillance Survey (BSS) mendapatkan beberapa kelompok utama yang dianggap menjadi jembatan penyebaran penyakit tersebut, yaitu militer (23,1%), polisi (19,1%), dan supir taksi (21,2%) di mana 20,5% dari kalangan militer, 15,7% polisi, dan 14,7 supir taksi dianggap sebagai jembatan yang aktif. Responden yang digunakan adalah pria yang mayoritas sudah menikah (80% menikah dengan perjodohan). Rata-rata karakteristik dari kelompok yang dianggap seksual aktif ini sudah menikah, menikah pada usia muda, mempunyai anak, pertama kali berhubungan seks pada usia muda, mempunyai kekasih di masa lampau, tidak pernah menggunakan kondom, dan mempunyai teman yang bekerja sebagai pekerja seks komersil. Kesimpulan dari penelitian didapatkan bahwa pria adalah jembatan aktif penularan PMS di Kamboja yang kemungkinan disebabkan karena kehidupan sosialnya. Salah satu penyebabnya lagi adalah karena wajib militer masih dijalankan di Kamboja dan para tentara ini sering dikirim ke daerah lain. Obilitas ini menyebakan penularan PMS. Alasan lain adalah melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersil juga dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat Kamboja.

2.8 Epidemilogi Penyakit Menular Seksual di Vietnam Tidak ada informasi pasti tentang PMS di Vietnam sekarang ini. Diperkirakan angka kejadian PMS di Vietnam cukup tinggi karena eratnya hubungan penduduk Vietnam dengan penduduk Eropa.

Menurut Assistance Medicale dIndochine, yang didirikan pada tahun 1904, PMS adalah penyebab kedua terbanyak rawat inap setelah malaria pada tahun 1910. Statistik menunjukkan PMS ditemukan di Vietnam pertama kali di rumah sakit ibu dan anak di Cholon. Selama tahun 1927, dari 2.500 kelahiran, 40% bayi didapatkan menderita congenital syphilis. Guenel (1997) mengatakan hal ini merupakan salah satu peyebab terbanyak dari kematian perinatal, yaitu sekitar 38%. Di bagian utara, di Hanoi, satu dari 4 anak diperkirakan meninggal karena syphilis selama tahun pertama. Tapi hal ini tidak terlalu dihiraukan oleh masyarakat. Kurang dari 10% penduduk yang memeriksakan dirinya ke Asssistance Medicale. Sepanjang Indochina, 92% pekerja seks komersil terinfeksi PMS. Walaupun angka kejadian syphilis menurun selama tahun 1930, dari 61% pada tahun 1930 menjadi 21% pada tahun 1938, anga kejadian gonorrheae meningkat dari 49% pada tahun 1930 menjadi 70% pada tahun 1938. Antara tahun 1945 sampai 1954, 12% dari 1.6 juta pria menderita PMS. Pada tahun 1975, pemerintah Vietnam selatan mengestimasikan bahwa 10% populasi, atau sekitar 1 juta orang, terinfeksi PMS. Sedangkan pemerintah Vietnam utara menyangkal adanya PMS di wilayahnya. Menurut WHO (1993), pada tahun 1991, gonorrheae masih menduduki persentasi paling tinggi dari semua PMS yaitu sebanyak 11 kasus per 100.000 penduduk. Ho Chi Minh City Dermato-Venereology Institute, yang dibentuk pada tahun 1975, melaporkan angka kejadian PMS cukup stabil di Vietnam dengan kasus terbanyak yaitu syphilis (25%) dan gonorrhoea (17%). Pada tahun 1995, Vietnamese National Institute of Venereology and Dermatology memperkirakan ada sekitar 700.000 sampai 1.200.000 pasien yang menderita PMS. Pada satu penelitian oleh Maternal and Child Health Department pada tahun 1995, pada kelompok wanita berusia 15-39 tahun di Hanoi dan Ho Chi Minh prevalensinya adalah 0.3% sampai 0.7% untuk gonorrhoea, 2.2-2.5% untuk chlamydia, dan 1.2-1.5% untuk syphilis. Penelitian yang menggunakan metode wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan labratorium terhadap 804 pasien laki-laki pada klinik PMS di dua propinsi di Mekong di Vietnam selatan menunjukkan prevalensinya adalah 19.3% untuk urethritis syndrome, 10.2% untuk gonorrhoeae, dan 2% untuk syphilis. Walaupun hubungan seks di

luar nikah tidak disetujui dalam budaya Vietnam, seluruh pria yang menjadi responden penelitian pernah melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersil. Dari data tersebut didapatkan 58% mengaku pertama kali berhubungan seks dengan pekerja seks komersil dan 73% mengaku melakukannya dalam 3 tahun terakhitr. Hasil penelitian ini juga menunjukkan rendahnya angka penggunaan kondom. Hanya sekitar 7% pria yang menggunakan kondom secara konsisten dan 70% mengaku tidak pernah menggunakan kondom. Pemeriksaan HIV dimulai pada tahun 1988 di Vietnam. Pemeriksaan HIV ini diwajibkan bagi para pengguna obat-obatan injeksi, pekerja seks komersil wanita, pendonor darah, dan tahanan penjara. Pemeriksaan ini juga disarankan bagi para wanita hamil yang mendatangi pusat pelayanan kesehatan, tentara, pasien yang menderita PMS, dan pasien tuberkulosis. Infeksi HIV pertama yang dipalorkan di Vietnam adalah di kota Ho Chi Minh pada Desember 1990. Pada tahun 1993, ada peningkatan drastis kasus HIV di bagian Vietnam pusat dan selatan. Antara tahun 1996 sampai 1999 angka kejadian HIV meningkat sebanyak dua kali lipat. Pada bulan Februari 1999 dilaporkan ada 12.115 kasus HIV positif di 61 propinsi Vietnam. Kota Ho Chi Minh menduduki peringkat tertinggi dengan 2.600 kasus. HIV dianggap merugikan,, bukan hanya bagi kehidupan pribadi penderitanya tapi juga tingkat ekonomi penduduk karena rata-rata penderitanya berusia antara 15-24 tahun. Prorporsi penderitanya adalah sebagai berikut, 65,7% adalah pengguna obat intravena, 4% adalah pekerja seks komersil, dan 2,7% adalah para penderita PMS. Mayoritas dari penderita HIV tersebut adalah pria, yaitu sebanyak 85.5% dari total kejadian yang dilaporkan. Epidemi HIV juga berkembang di kalangan dewasa muda dengan 38,9% pasien berusia 20-29 tahun, 29,5% berusia 30-39 tahun, dan 19% berusia 40-49 tahun. Pada bulan Februari 1999, 2.301 kasus AIDS dipalorkan, dan 1.236 diantaranya meninggal dunia. Prevalensi HIV dilaporkan rendah di kalangan pekerja seks komersil dibandingkan dengan negara-negara tetangganya seperti Kamboja (40-50% selama tahun 1995-1996) dan Thailand (33% pada tahun 1996) Prevalensi tertinggi dari HIV adalah di propinsi An Gian,

yang berbatasan dengan Kamboja. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh tingginya mobilitas penduduk pada daerah perbatasan. Kasus HIV meningkat sebanyak tiga kali pada kalangan tahanan penjara sejak tahun 1998. Ada sekitar 22.161 penderita yang dilakukan pemeriksaan dan 3.621 di antaranta positif mengidap HIV. Ada 1.895 kematian yang diebabkan oleh HIV sejak tahun 1990. Untuk mengatasi hal ini, mentri keamanan masyarakat mempromosikan kampanye kepedulian terhadap HIV/AIDS di penjara dan lembaga-lembaga lainnya. Vietnam membentuk suatu tim kepolisian yang melakukan screening HIV dan PMS secara berkala kepada para pengguna obat-obatan intravena dan pekerja seks komersil. Para penderita HIV positif biasanya dimasukkan ke dalam pusat-pusat rehabilitasi. Sedangkan pasien-pasien dengan PMS disarankan untuk mendatangi klinik kulit dan kelamin yang dimiliki pemerintah. Karena anggapan masyarakat yang negatif tentang penderita PMS, biasanya pasien PMS tidak bersedia datang dan lebih memilih pergi berobat ke dokter pribadi, karena itu datanya tidak dapat tercatat. Pemerintah Vietnam juga mengampanyekan program nasional untuk lebih meningkatkan kepedulian masyarakat akan PMS. Melalui media massa dan media lain, kampanye ini dibuat untuk memberikan pemberitahuan kepada 90% penduduk usia 15-50 tahun tentang PMS dan cara untuk menlindungi diri. Tapi program ini banyak menemui masalah karena kepercayaan masyarakat yang masih menganggapnya suatu hal yang tabu.

2.9 Epidemiologi Penyakit Menular Seksual di Malaysia Populasi penduduk di Malaysia diestimasikan berjumlah 23.262.00 orang, dengan rasio antara pria dan wanita 1.05 : 1. Jumlah penduduk yang berusia 15-49 tahun diestimasikan sebanyak 12.622.000 yaitu sebesar 54.2% dari seluruh penduduk Malaysia. Malaysia dibagi menjadi 14 negara bagian dan 131 distrik kesehatan. Kurang lebih 51% penduduknya tinggak di daerah perkotaan. Infeksi HIV sudah ditemukan di Malaysia sejak tahun 1985. Selain melaporkan kasus-kasus HIV/AIDS, pemerintah Malaysia juga secara rutin melakukan skrining untuk

mendeteksi para penderita HIV pada stadium awal. HIV Sentinel Surveillance (HSS) dibentuk pada tahun 1994, tapi mereka baru memulai melakukan skrining rutin sejak tahun 1998. Sangat sedikit data yang dimiliki yang berhubungan dengan HIV/AIDS dan PMS. Pada suatu workshop pada tahun 1999, diperkirakan prevalensi HIV di Malaysia adalah sekitar 41.000 kasus. Dalam rangka untuk menurunkan prevalensi HIV dan PMS, pemerintah bekerja sama dengan WHO melakukan suatu penelitian pada bulan April 2001. Kasus PMS dimonitor secara rutin melalui sistem pengamatan dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium (syphilis, gonorrhoea, chandroid, dan ophtalmia neonatorum). Skrining syphilis sudah dilakukan kepada pendonor darah dan wanita hamil sejak tahun 1985. Diagnosis gonorrhoea ditegakan melalui pemeriksaan urin. Sample darah diambil untuk pemeriksaan chancroid. Diagnosis ophtalmia neonatorum ditegakkan melalui apus mata. Prevalensi dari 208 responden, yang terdiri dari 72 pria dan 136 wanita, yang bekerja sebagai pekerja seks komersil didapatkan 30,8% menerita syphilis, 11.,% menderita HIV, 2,4% menderita gonorrhoeae, 0,9% menderita trichomoniasis, dan 6.3% ditemukan Chlamydia trachomatis. Pada tahun 2000 diestimasikan ada sekitar 65.750 kasus gonorrhoeae dan 17.050 kasus syphilis. PMS lain yang dianggap bukan sebagai masalah utama diestimasikan berjumlah 82.800 kasus. Secara garis besar, insidensi PMS cukup tinggi di negara ini, karena itu diduga juga tingginya angka penularan HIV di negara ini. Memonitor angka kejadian PMS penting sebagai salah satu usaha untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seks. Hal ini juga berguna untuk melakukan intervensi perilaku, seperti menunda usia pertama kali melakukan hubungan seks, mengurangi jumlah pasangan seks, dan mempromosikan penggunaan kondom. Memberikan pelayanan klinik untuk PMS adalah salah satu poin penting bagi mereka yang berisiko tinggi untuk terkena PMS dan HIV. Dengan mengidentifikasi pasienpasien dengan PMS, bukan hanya dapat menyembuhkan mereka, tetapi juga dapat memberikan edukasi untuk pencegahan, memeriksa HIV, dan memberi pemberitahuan kepada pasangannya masing-masing.

Malaysia adalah salah satu negara yang berkonsentrasi dalam pemberantasan HIV yang menjadi epidemi di negaranya. Berdasarkan data WHO/UNAIDS prevalensi HIV kurang dari 1% dalam populasi umum dan secara konsisten lebih dari 5% pada kalangan pengguna obat-obatan suntik dalam 10 tahun terakhir. didapatkan 81,5% adalah pria. Penelitian menunjukkan bahwa 1/3 dari pengguna obat-obatan terlarang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersil, 20% dari populasi umum pernah menggunakan jasa pekerja seks komersil, dan hampir separuhnya tidak menggunakan kondom dalam hubungan seks dengan pekerja seks komersil. Pada tahun 2000, didapatan 38.340 kasus HIV yang dilaporkan pada Departemen Kesehatan. Dari data tersebut,

2.10 Epidemiologi Penyakit Menular di Myanmar Dengan populasi sebanyak 53 juta penduduk, 70% penduduknya tinggal di daerah pedesaan. Negara ini dibagi menjadi 17 negara bagian, 64 distrik, dan 342 kota. Myanmar adalah salah satu negara dengan prevalensi HIV yang tinggi di Asia. Pada tahun 2004, salah satu pendataan yang dilakukan oleh WHO bekerja sama dengan UNAIDS mengestimasikan ada 338.911 penduduk dewasa berusia 15-49 tahun mengidap HIV dari total populasi 53 juta peduduk. Kira- kira 1.3% populasi dewasa di Myanmar menderita HIVAIDS. Seperti di negara-negara Asia lainnya, angka kejadian HIV tinggi di kalangan pekerja seks komersil, pengguna obat-obat injeksi, dan pria homoseksual. Pada kelompok pengguna obat injeksi, rata-rata prevalensi adalah 43.2%. Pada kelompok pekerja seks komersil di Yangon dan Mandalay, prevalensi HIV adalah sekitar 29.6% dan 34.4%. Gerakan nasional di Myanmar untuk memberantas HIV dimulai pada pertengahan tahun 1980 dengan pendataan aktif yang dimulai pada tahun 1985. Intersectoral National IDS Comitee yang diketuai oleh menteri kesehatan dibentuk pada tahun 1989. Kasus HIV pertama yang dilaporkan di Myanmar adalah tahun 1988. Pada tahun 2005, dari data yang diperoleh oleh UN Joint Programme tercatat

bahwa distribusi kondom per tahun di Myanmar meningkat dari 28.9 juta pada tahun 2002 menjadi 36 juta unit pada tahun 2005. Prsentase pria yang memakai kondom juga meningkat dari 49% pada tahun 2003 menjadi 76% pada tahun 2005. Myanmar dapat menurunkan angka kejadian HIV melalui program-programnya yang berupa pendataan kasus AIDS, HIV Sero Suveillance (HSS) di negara bagian kecilnya, Bevavioural Surveillance Surveys (BSS) pada populasi yang berisiko tinggi, dan pendataan angka kejadian PMS. Mereka membentuk tim khusus untuk mendata angka kejadia PMS karena para praktisi klinis pribadi tidak diwajibkan untuk melaporkan kasusnya kecuali di beberapa kota. National Health Committee juga membentuk suatu guidelines untuk memberantas HIV/AIDS. Walaupun angka penggunaan kondom yang tinggi, persentasi tinggi angka kejadian PMS masih juga dilaporkan di kalangan pekerja seks komersil. Di Yangon 56% pekerja seks komersil dilaporkan mengalami vaginal discharge, dan 30% dilaporkan mengalami ulkus genital. Angka ini sedikit di bawah Mandalay di mana 43% dilaporkan mengalami vaginal discharge dan 24 dilaporkan menderita ulkus genital. Untungnya, mayoritas dari penderita PMS ini mendatangi klinik kesehatan untuk mencari pengobatan, daripada mengobati sendiri dengan pengobatan tradisional. 2.11 Epidemiologi penyakit menular seksual di Laos Menurut UNAIDS dan WHO, Laos adalah salah satu negara dengan prevalensi PMS yang rendah. UNAIDS melaporkan sekitar 1.000-1.800 kasus PMS pada tahun 2001. Kasus PMS terbanyak yang ditemukan di Laos adalah herpes, warts, syphilis, gonorrhoeae, dan chlamydia. Kelompok terbanyak yang menderita PMS adalah pekerja seks wanita dan supir truk jarak jauh. (hiv surveillance and Sexually transmitte infection periodic prevalence survey. 2001) Angka kejadian PMS yang rendah mungkin disebabkan karena budaya seks di Laos yang agak lain dengan neara lain di Asia Teggara. Di Laos, seks sebagai pekerjaan adalah illegal. Ada wanita-wanita yang bekerja untuk menemani pria, tapi hal tersebut bukan berarti secara seksual. Apabila ada kegiatan seksual, kegiatan ini membutuhkan biaya yang sangat mahal. Di samping itu, angka penggunaan kondom sangat tinggi dibandingkan di

negara lain.

2.12 Epidemiologi Penyakit Menular Seksual di Brunei Darussalam Brunei Darussalam tidak mempunyai peraturan spesifik tentang edukasi HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi karena Brunei Darussalam memegang prinsip Islamik dan memberikan pelajaran religi di sekolah-sekolah umum. Sesuai prinsip Islam, mereka sangat melarang hubungan seks di luar pernikahan dengan menekankan poin konsekuensi secara agama dan infeksi yang dapat ditularkan melalui hubungan seks di luar pernikahan. Brunei Darussalam juga tidak memberikan pelayanan untuk edukasi seks sebagai topik dalam kurikulum ilmiah yang dibentuk oleh Curriculum Development Department dalam semua level pendidikan di Brunei Darussalam karena dianggap berlawanan dengan hukum Islam. Pendidikan seks yang secara eksplisit menyebutkan tentang penggunaan kondom dan alat kontrasepsi lain, masturbasi, bentuk-bentuk hubungan seksual (oral, anal, vaginal), seks bebas, poliandri, perselingkuhan, atau bentuk-bentuk hubungan yang tidak biasa (homoseksual) dengan kuat dipersalahkan di Brunei Darusslam. Perilaku seks yang tidak sesuai hukum dan moral masyarakat, termasuk seks di luar nikah, dianggap haram. Dari hasil data didapatkan hampir seluruh penderita PMS yang didapatkan merupakan pendatang baik yang bekerja maupun yang berlibur. Hanya sedikit sekali penderita HIV yang merupakan orang Brunei Darussalam. Kebudayaan dan kehidupan sosial Brunei Darussalam yang Islamik sangat mempengaruhi status kesehatan dari penduduk Brunei.

BAB III KESIMPULAN

Di Asia Tenggara penyakit menular seksual menjadi salah satu perhatian utama

karena pesatnya pertumbuhan kasusnya dari tahun ke tahun. Gonorrhoeae dan syphilis hampir selalu menjadi penyakit yang menduduki peringkat satu terbanyak di setiap negara. Kelompok usia dengan kejadian PMS terbanyak hampir sama di setiap negara yaitu berkisar antara usia 15-49 tahun. Angka kejadian PMS juga rata-rata tinggi di kelompok pekerja seks komersil dan hampir semuanya berawal dari pendatang yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersil dan menyebarkan penyakitnya. Dari para pekerja seks komersil itu penyakit ini semakin berkembang. Pendidikan seks di Asia Tenggara rata-rata masih sangat sedikit mengingat budaya Timur yang menganggap pembicaraan seks adalah hal yang tabu. Beberapa negara sudah memasukkannya menjadi kurikulum di sekolah tapi pengetahuan itu dianggap tidak cukup dengan perkembangan jaman dengan pengaruh negara Barat yang besar. Pemerintah di masing-masing negara mempunyai program-programnya sendiri untuk menurunkan angka kejadian PMS di negaranya. Beberapa negara berhasil menurunkan angka kejadiannya, tetapi di beberapa negara angka kajadiannya terus meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Adhitama TY. 2008. Pemantauan Prevalensi HIV melalui Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP). http://www.dinkeskotabaru.com/content/view/13. Diunduh 16 Juni 2012 Ang P, Chan R. 1997. Sexually Transmitted Diseases in Singapore Trends in the Last Two Deacdes. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9522987. Diunduh 15 Juni 2012.

Anonymous.

2000.

Country

Profile:

Brunei

Darussalam.

www.safepassages.soton.ac.uk/pdfs/brunei.pdf. Diunduh 15 Juni 2012. Anonymous. 2011. Epidemiologi Kesehatan Reproduksi. ceriffeta.blogspot.com/2012/02/epidemiologi-kesehatan-reproduksi.html. Diunduh 16 Juni 2012. Anonymous. 2010. HIV/AIDS in the Philippines. En.wikipedia.org/wiki/HIV/AIDS_in_the_philippines. Diunduh 14 Juni 2012. Anonymous. 2000. HIV Infection and AIDS in Singapore, 2000. www.moh.gov.sg/content/dam/moh_web/Statistics/Epidemiological_News_Bulletin/20 01/enb12_01w.pdl. Diunduh 15 Juni 2012. Anonymous. 2012. Penyakit Kelamin Terus Meningkat di Filipina. www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/02/13/penyakit-kelamin-terusmeningkat-di-filipina. Diunduh 14 Juni 2012. Anonymous. 2010. Setelah Pernyataan Paus yang Mengguncang. Health.kompas.com/read/2010/11/26/09412742/Setelah.Pernyataan.Paus.yang.Menggun cang-12. Diunduh 14 Juni 2012. Bhiasma, Murti. Pengaantar Eppidemiologi. fk.uns.ac.id/static/materi/Pengantar_Epidemiologi_Prof_Bhiasma_Murti.pdf. Diunduh 13 Juni 2012 Daili, S.F. 2007. Tinjauan Penyakit Menular Seksual (PMS). In: Djuanda, A., Hamzah, M., and Aisah, S., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Division of STD Prevention. Depkes RI. 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia tahun 1987-2006. http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Situasi%20HIV-AIDS%202006.pdf. Diunduh 16 Juni 2012. Goh L. 1995. Epidemiology of Sexually Transmitted Disease in Singapore, 1977 to 1993. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8849175. Diunduh 15 Juni 2012. Hakim. 2009. Worldwide Impact of The Human Papillomavirs http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19387841 . Diunduh 13 Juni 2012 Vaccine.

Leyson, Jose Florante. 2010. The International Encyclopedia of Sexuality: The Phillipines (Republika ng Pilipinas). www2.hu-berlin.de/sexology/IES/philippines.html. Diunduh 14 Juni 2012. Ministry of Health Brunei Darussalam. 2011. Health Promotion Blueprint 2011-2015. www.moh.gov.bn/hpc/download/Annex%204%20(Health%20Promotion%20Blueprint %202011%20-%202015).pdf. Diunduh 15 Juni 2012. Ministry of Health Malaysia. 2001. Consensus Report on STI, HIV, and AIDS Epidemiology Malaysia. aidsdatahub.org/en/Malaysia-reference-library/item/24024. Diunduh 15 Juni 2012. Monzon, Ofelia, Rosemarie Santana, Fem Julia Paladin, et al. 1991. The Prevalence of Sexually Transmitted Disease (STDs) and Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection among Filipino Sex Workers. www.psmid.org.ph/vol20/vol20num2topic1.pdf. Diunduh 14 Juni 2012. Nguyen, H. 2000. HIV/STD/ Infection in Vietnamese and Vietnamese Americans. ethnomed.org/clinical/communicable-disease/hiv0std-infection. Diunduh 15 Juni 2012. Nguyen, 2012. Pangkahila, Wimpie, Alex Pangkahila. 2010. The International Encyclopedia of Sexuality: Indonesia (Republik Indonesia). www2.hu-berlin.de/sexology/IES/Indonesia.html. Diunduh 16 Juni 2012. Pastoetter, Jakob. 2010. The International Encyclopedia of Sexuality: Vietnam. www2.huberlin.de/sexology/IES/Vietnam.html. Diunduh 14 Juni 2012. Phoolcharon W, Ungchusak K, Sittirai W, et al. 1998. Thailand: Lessons from a Strong National Response to HIV/AIDS. AIDS 1998: 12 (Sppl B); S123-135 Taywaditep, Kittiwud J, Eli Coleman, and Pacharin Dummronggittigule. 2010. The International Encyclopedia of Sexuality: Thailand (Muang Thai). www2.huberlin.de/sexology/IES/thaiand.html. Diunduh 13 Juni 2012. T.T.T, et al. 1999. HIV/AIDS and AAPIs.

Erc.msh.org/provider/informatic/AAPI_HIV-AIDS_Prevalence,pdf. Diunduh 15 Juni

Thirumoorthy T. 1990. The Epidemiolgy of Sexually Transmitted Diseases in Southeast Asia and the Western Pacific. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2117964. Diunduh 15 Juni 2012. US Centers for Disease Control and Prevention. 2006. Sexually Transmitted Disease on Rise Among Singapores Teens. http://www.thebody.com/content/art38206.html. Diunduh 15 Juni 2012. Wahab, Zakaria Abdul. 2010. Sexually-Transmitted Diseases on the Rise in Singapore. Yoursdp.org/index.php/news/Singapore/3924-sexually-transmitted-diseases-on-the-risein-singapore. Diunduh 15 Juni 2012. WHO. 2008. Behavioral Surveillance Survey 2008: Injecting Drug Users and Female Sex Workers. www.whomyanmar.org/LinkFiles/HIV/AIDS_IDU_andFSW.pdf. Diunduh 15 Juni 2012. WHO, UNAIDS. 2004. Epidemiological Fact Sheets on HIV/AIDS and Sexually Transmitted Infections: Cambodia. Data.unaids.org/Publication/FactSheets01/Cambodia_en.pdf. Diunduh 15 Juni 2012. WHO, UNAIDS. 2005. Epidemiological Fact Sheets on HIV/AIDS and Sexually Transmitted Infections: Myanmar. Data.unaids.org/Publication/FactSheets01/Myanmar_en.pdf. Diunduh 15 Juni 2012. WHO, UNAIDS. 2004. Epidemiological Fact Sheets on HIV/AIDS and Sexually Transmitted Infections: Philippines. Data.unaids.org/Publication/FactSheets01/Philippines _en.pdf. Diunduh 14 Juni 2012. WHO, UNAIDS. 2003. HIV Surveillance Survey and Sexually Transmitted Infection Periodic Prevalence Survey: Lao PDR. www.aidsdatahub.org/en/lao-pdr-referencelibrary/item/13161. Diunduh 15 Juni 2012.

You might also like