You are on page 1of 14

To: liga_lmnd@yahoogroups.com From: nababan.jr@ekilat.

com | Block Address | Add to Address Book Date: Sat, 29 Sep 2001 14:06:45 +0700 (WIT) Reply-to: liga_lmnd@yahoogroups.com Subject: [liga_lmnd] PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BAIK DAN BEBAS DARI KKN
Dari: "YPKP'65/66 - Nederlands" <YPKP_NED@xs4all.nl> ______________________________________________________________________ * PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BAIK DAN BEBAS DARI KKN (A.Umar Said) * PEMBERONTAKAN TERHADAP KORUPSI PERLU TERUS DIKOBARKAN (A. Umar Said) ______________________________________________________________________ PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BAIK DAN BEBAS DARI KKN (Oleh. A. Umar Said) Kelihatannya, soal pengisian formulir LPKN (Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara) yang diedarkan oleh KPKPN (Komisi Penyelidikan Kekayaan Penyelenggara Negara) akan berbuntut panjang dan juga menjadi pembicaraan ramai untuk jangka waktu yang cukup lama. Dilihat dari banyak segi, makin ramai persoalan ini dibicarakan atau diperdebatkan, akan makin baiklah bagi bangsa dan negara kita. Bahkan, karena sangat pentingnya bagi terciptanya good governance (pemerintahan yang baik), maka HARUS-lah masalah ini dijadikan persoalan besar, oleh SELURUH komponen bangsa. Semua golongan, yang menginginkan adanya perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan kita, perlu ambil bagian aktif dalam mendorong - dengan berbagai cara dan bentuk - terlaksananya program ini. Jadi, seperti halnya reformasi, masalah ini adalah perjuangan bersama yang amat mendesak sekali. Soalnya, LKPN ini adalah salah satu di antara berbagai langkah permulaan penting yang perlu diambil, untuk memerangi KKN di kalangan "atas" yang menyelenggarakan negara kita. Dan seperti sudah sering dibicarakan dalam masyarakat luas selama ini, masalah KKN ini adalah salah satu penyakit parah, yang sudah tumbuh dengan subur sejak zaman pemerintahan Orde Baru. Penyakit parah ini ternyata masih sulit dibrantas sampai sekarang, oleh karena beratnya kerusakan moral yang sudah melanda secara ganas dan juga besar-besaran di kalangan "atas" (baik sipil, militer, maupun "swasta"). Banyak gejala (dan juga bukti-bukti nyata) yang menunjukkan bahwa kalangan "atas" yang sudah rusak akhlaknya itu sedang melakukan "perlawanan" atau berusaha mensabot Undang-undang atau TAP MPR tentang pemberantasan korupsi ini. Marilah sama-sama kita coba telaah berbagai hal yang berikut ini :

SIKAP KALANGAN "ATAS" YANG MENCURIGAKAN Menurut keterangan Ketua KPKPN, Jusuf Syakir, hingga 29 Agustus 2001 yang lalu, tingkat pengembalian LKPN masih rendah, yaitu 27% dari 28.613 LKPN yang dikirim kepada para pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN/BUMD (Media Indonesia, 3 Sept 2001). Angka yang begitu rendah itu sudah menunjukkan betapa besarnya "ke-engganan" para pejabat penting negara kita untuk melaksanakan ketentuan undang-undang yang penting ini. Itu juga menunjukkan, sekaligus, berbagai aspek yang mencurigakan. Mengapa mereka begitu segan, takut, atau bahkan menolak, untuk menyatakan dengan terus-terang atau sejujur-jujurnya kekayaan mereka? Dari berita-berita yang sudah disiarkan dalam media pers, terungkaplah juga bahwa kalangan "atas" yang paling sedikit mengembalikan LKPN adalah dari kalangan penegak hukum, yaitu para hakim, jaksa, dan pimpinan kepolisian. Juga tokoh-tokoh di kalangan eksekutif lainnya amat sedikit yang telah menyerahkan LKPN mereka. Sebagai contoh : dari 339 bupati/walikota di seluruh Indonesia (hingga permulaan September) barulah 91 bupati dan walikota yang sudah melaporkan kekayaan mereka. Suatu jumlah yang sangat sedikit, karena hanya 27 % yang sudah melaporkan kekayaan mereka, sedangkan mayoritasnya (73%) tidak menggubris undang-undang itu (Media Indonesia, 10 September 2001). Demikian juga dari kalangan pimpinan militer. Walaupun pastilah angka-angka itu sekarang sudah berobah, namun kiranya bisa diduga, bahwa perobahan itu tidaklah akan amat besar. Sebab, bagi sebagian besar para pejabat, mengisi secara benar dan sejujur-jujurnya LKPN adalah sesuatu yang bisa menimbulkan berbagai akibat yang "tidak enak". Inilah salah satu di antara begitu banyak akibat kultur Orde Baru. Selama puluhan tahun banyak pejabat di bidang eksekutif, legislatif maupun judikatif telah telah dimudahkan oleh sistem politik dan ekonomi, untuk menggunakan kekuasaan - dan pengaruh - mereka guna melakukan korupsi dan berbagai pelanggaran lainnya (termasuk pelanggaran terhadap hak-hak demokratis dan HAM), tanpa mendapat hukuman apa-apa. Penumpukan kekayaan dengan jalan yang haram telah menjadi pola kehidupan banyak pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. LKPN ADALAH LANGKAH PERMULAAN PENTING Banyaknya para pejabat yang belum menyetor LKPN adalah satu indikasi betapa rendahnya integritas aparat birokrasi pemerintahan, yang sebagian terbesar adalah produk Orde Baru/Golkar. Aparat birokrasi yang sekarang adalah kelanjutan atau warisan birokrasi suatu rezim yang selama puluhan tahun mengabaikan pemupukan keluhuran budi perkerti, dan meninggalkan visi atau sikap kerakyatan. Yang selalu ditekankan selama puluhan tahun adalah mono-loyalitas kepada Orde Baru, Golkar, Korpri, atau kepada "Bapak pembangunan". Aparat birokrasi semacam itulah yang telah terbiasa melakukan hal-hal yang merugikan rakyat, dan merupakan benalu-benalu dalam tatanan kenegaraan kita, karena tidak transparan dan tidak memiliki

akuntabilitas Sekarang ini, mereka itu dalam kebingungan menghadapi peraturan tentang LKPN, karena harus melaporkan secara jujur kekayaan mereka. Terutama, bagi mereka yang benar-benar telah menumpuk kekayaan dengan cara-cara yang tidak sah, atau dengan berbagai jalan yang tidak luhur, maka mengisi LKPN adalah sudah merupakan "hukuman" tersendiri. Namun, apapun problem yang mungkin akan mereka hadapi, tuntutan atau tekanan perlulah dilancarkan, terus-menerus, oleh berbagai golongan dalam masyarakat di seluruh tanah-air supaya akhirnya para pejabat negara (yang penting-penting) itu mengisi secara jujur LKPN. Sebab, LKPN adalah salah satu di antara langkah-langkah permulaan penting yang harus dilakukan dalam mencegah, mengurangi dan akhirnya memerangi KKN. Negara kita sudah terlalu lama digrogoti secara besar-besaran oleh tikus-tikus rakus, dan polusi mental sudah terlalu mengental di banyak benak para pejabat kalangan "atas" , yang jumlahnya tidak sampai 50 000 orang itu (termasuk di kalangan anggota-anggota DPR kita yang terhormat itu!) . Mereka yang jumlahnya tidak sampai 50 000 orang ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus merusak kepentingan rakyat yang jumlahnya 210 juta ini. Komisi Penyelidikan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) telah mencetak sekitar 50 000 formulir isian LKPN. Dari yang sudah diedarkan, barulah sekitar 30 % yang disetorkan kembali. Padahal, batas waktu penyetoran sudah beberapa kali ditunda. Namun, dengan berbagai dalih atau alasan (baik yang tidak masuk akal maupun yang tidak jujur) banyak sekali pejabat "atasan" yang masih belum mau mematuhi undang-undang itu. Sikap semacam ini adalah penghinaan terhadap opini publik, karena memandang rendah nalar sehat dan hati-nurani rakyat. Arogansi mereka yang sudah keterlaluan inilah yang harus dihancurkan. Mereka yang korup ini tidak boleh dibiarkan terus merajalela.

KEBERANIAN OPINI PUBLIK PERLU DIBANGKITKAN Terungkapnya kerusakan akhlak pejabat-pejabat "atasan" di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif dengan adanya LKPN ini, memberikan peringatan keras kepada seluruh bangsa bahwa sudah waktunya, sejak sekarang ini, untuk melakukan pembersihan mental secara besar-besaran, serius, dan terus-menerus, di kalangan para penyelenggara negara. Orang-orang "penting" yang jumlahnya tidak sampai 50 000 ini bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya KKN yang sudah berjalan puliuhan tahun. Sekarang makin banyaklah orang yang yakin bahwa penyakit kangker KKN yang sudah merusak otak dan hati bangsa kita selama ini adalah disebabkan oleh sistem politik atau "pola berfikir" Orde Baru, yang sampai sekarang masih menghinggapi banyak penyelenggara negara kita. Jadi, banyak di antara pejabat "atasan" dari generasi yang sekarang ini merupakan produk kultur Orde Baru itu.

Pola berfikir yang mengejar secara membabi-buta kekayaan dengan segala cara (termasuk cara-cara yang hina) sudah menjadi kebiasaan di kalangan "atas" eksekutif, legislatif, judikatif (dan swasta) sehingga banyak di antara mereka menjadikan jabatan bukan tempat untuk mengabdi kepada kepentingan umum, melainkan sebagai tempat untuk mencari lobang-lobang (atau kesempatan) untuk melakukan korupsi. Selama ini sudah sering dibicarakan tentang adanya penyelewengan besar-besaran dalam penyaluran bantuan korban bencana alam. Dana untuk para penampungan pengungsi pun dikorup. Sebagian anggaran untuk melawan kelaparan dan kemiskinan telah berobah menjadi ruah-rumah megah atau mobil-mobil mewah para "tokoh" di berbagai kota dan daerah. Beaya untuk berbagai projek pembangunan menjadi membengkak. Pembelian barang-barang untuk keperluan pemeritahan mengalami "mark up" (harga yang ditinggikan dengan selingkuh). Dana untuk pendidikan, kesehatan dan memajukan desa terbelakang juga banyak yang menguap tidak karuan. Menurut berita yang disiarkan oleh Astaga.Com (11 September 2001), Menteri Agama Said Agil Munawar akan bertindak tegas, dengan terjadinya korupsi di Departemen Agama sebesar Rp 437 miliar. Karena peristiwa ini 15 orang pejabat di departemen tersebut sudah diperiksa oleh Irjen Depag, Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan BPK. Berita ini mengungkap lebih jelas lagi betapa besar kerusakan akhlak sudah menyerang semua bidang, termasuk di kalangan yang semestinya memberikan contoh tentang keimanan (!). Menurut berita itu sebagian pejabat-pejabat yang diperiksa itu mempunyai uang tabungan di bank sebesar Rp 2 milyar. Apa yang terjadi di Departemen Agama adalah salah satu contoh kecil saja, di antara begitu banyak kasus-kasus lainnya, yang lebih parah atau lebih besar, yang juga terjadi di departemen-departemen lainnya di Pusat dan di daerah-daerah. Cerita-cerita lainnya, yang terjadi di berbagai kantor gubernur, bupati atau walikota (dan di DPRD!) masih banyak sekali yang belum muncul dalam media massa, walaupun sudah menjadi omongan banyak orang. Pada waktunya, semua itu perlu dibongkar bersama-sama. Keberanian opini publik untuk mengkritik, mengawasi, bahkan menggugat pejabat-pejabat (dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya) yang korup perlulah dibangkitkan oleh semua golongan dalam masyarakat. Hanya dengan tekanan opini publik yang kuatlah, pemerintah (dan DPR atau DPRD) lewat alatalat penegak hukumnya bisa DIPAKSA untuk bertindak. PENTINGNYA PARTISIPASI AKTIF DARI MASYARAKAT Bahwa, sekarang ini, kalangan "atas" akan berusaha terus - dan dengan berbagai jalan pula - untuk menghalangi pembrantasan korupsi secara tuntas, adalah wajar dan logis. Sebab, dari daftar kekayaan para pejabat yang sudah diumumkan selama ini saja (yang jumlahnya masih belum banyak itu!) sudah kelihatan bahwa banyak hal yang bisa dipersoalkan atau dipertanyakan. Orang mulai bertanya-tanya mengapa berbagai nama pejabat, yang "resminya" bergaji tidak amat tinggi itu bisa menumpuk kekayaan sampai bermilyar-milyar, atau puluhan milyar. Banyak orang juga bisa

curiga apakah jumlah yang dilaporkan itu sudah seluruhnya. Di samping itu, apakah benar bahwa sebagian dari kekayaan yang dilaporkan merupakan "hibah"? (Tentang soal "hibah" ini ada tulisan tersendiri). Pembangkitan opini yang kritis dari masyarakat, yang bisa disalurkan lewat berbagai saluran, dan dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara, adalah sumbangan penting kepada usaha pemberantasan korupsi. Partisipasi yang aktif dari segala golongan dalam masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi adalah bagian dari perjuangan reformasi, dan juga merupakan pendidikan politik dan moral. Ketika harapan sudah tidak bisa terlalu digantungkan semata-mata kepada kemauan politik (political will) dari kalangan "atas" eksekutif, legislatif dan judikatif, maka tekanan besar-besaran dan kuat dari opini publik demi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) adalah MUTLAK diperlukan. Sekarang makin jelas bagi kita semua bahwa pemberantasan korupsi ada hubungannya yang erat dengan masalah reformasi besar-besaran di bidang hukum, dan di kalangan peradilan (dan pengadilan). Oleh karena itu, adalah ideal sekali kalau masalah kelanjutan LKPN, atau kegiatankegiatan KPKPN, atau Komisi Anti Korupsi yang akan dibentuk pemerintah, juga dijadikan masalah besar oleh kalangan praktisi hukum, oleh Ornop yang bergerak di bidang hukum, dan oleh kalangan pendidikan hukum. Adalah perkembangan yang amat penting, kalau berbagai fakultas hukum dari begitu banyak universitas di negeri kita juga ikut aktif mempersoalkan masalah penting ini. Dalam rangka pembaruan di bidang hukum, diikut-sertakannya fakultas-fakultas hukum (yang mempunyai puluhan ribu mahasiswa) dalam perjuangan ini, akan merupakan investasi sumber daya manusia yang penting bagi bangsa di kemudian hari. Berbagai "laboratorium" soal korupsi bisa diciptakan oleh fakultas-fakultas hukum, dan lahirnya "crash program" atau projek riset soal ini, mungkin perlu difikirkan bersama-sama oleh berbagai fakultas hukum dan Ornop (LSM). SABOTASE ATAU PERLAWANAN PARA PEJABAT TINGGI Dari berita-berita yang sudah tersiar selama ini sudah kelihatan bahwa ada perlawanan dari berbagai kalangan "atas" (termasuk berbagai tokoh di DPR) terhadap dilancarkannya LKPN oleh KPKPN. Segala macam dalih sudah dilontarkan untuk mensabot langkah-langkah yang diambil oleh KPKPN. Undang-undang nomor 28 Tahun 1999 (tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN) bisa akan mandul, atau banci, atau lumpuh, kalau perlawanan dari oknum-okum yang bermental rendah itu tidak dipatahkan secara beramai-ramai. Salah satu di antara banyak contoh adalah apa yang dikemukakan oleh Ketua DPR Akbar Tanjung. Ia tidak sependapat bila Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi yang dilakukan pejabat negara. Ia berpendapat, kalau KPKPN menemukan adanya indikasi korupsi dalam laporan kekayaan para pejabat sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang khusus, dalam hal ini Kejaksaan, sebab mereka yang memiliki kewenangan. "Kalau KPKPN sendiri yang melakukan nanti terlalu jauh", tandasnya (Kompas, 11 September 2001).

Apakah alasan yang dikemukakan Akbar Tanjung itu mempunyai dasar-dasar dan tujuan yang betul-betul mau menegakkan hukum, adalah soal yang perlu dijadikan perdebatan dan studi oleh khalayak ramai, terutama oleh kalangan yang kiprah di bidang hukum. Tetapi, bahwa Akbar Tanjung berusaha membela para pejabat yang korup adalah sesuatu yang bisa "dimaklumi". Sebab, di antara banyak pejabat tinggi itu banyak sekali "oknum-oknum" yang selama ini adalah pendukung Golkar (artinya : Orde Baru), baik secara terbuka maupun tertutup. Mereka itu ada yang berfungsi sebagai gubernur, bupati, walikota, dan "penyelenggara negara" di berbagai departemen, jawatan penting atau lembaga-lembaga pemerintahan. Kelihatannya, masalah KPKPN dan Komisi Anti Korupsi (yang akan dibentuk oleh pemerintah) akan menjadi persoalan yang cukup ramai. Sebab, Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, berpendapat bahwa agar efektif dalam menjalankan tugas pemeriksaan terhadap kekayaan penyelenggara negara, KPKPN perlu diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan maupun penyidikan perkara korupsi. Dengan kewenangan penyidikan, KPKPN dapat memeriksa apakah kekayaan seorang pejabat yang dilaporkan hasil hibah adalah sungguh-sungguh dari hibah atau bukan. (Kompas Cybermedia, 11 September 2001). Sementara itu, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yusril Ihza Mahendra yang hadir di Gedung DPR/MPR dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Anti Korupsi, menegaskan kewenangan KPKPN hanya pada penyelidikan belum pada tingkat penyidikan. Dijelaskannya, dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Anti Korupsi yang tengah dibahas, kewenangan untuk melakukan penyidikan berada di tangan Komisi Anti Korupsi. Diharapkan dengan adanya Komisi Anti Korupsi tersebut maka tidak ada tumpang tindih antara tugas dan kewenangan KPKPN dan Komisi tersebut . (Kompas Cybermedia, 11 September 2001). PAJAK RAKYAT DAN UTANG LN JANGAN DIKORUPSI! Mengingat itu semuanya, jelaslah kiranya bahwa tekanan opini publik yang kuat perlu digalang terus oleh berbagai kalangan masyarakat, supaya korupsi di kalangan penyelenggara negara bisa dikurangi dan kemudian diberantas. Adalah hak rakyat untuk menuntut supaya hasil pajak betul-betul digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan negara secara baik, dan bukan untuk dicuri oleh penjahat-penjahat yang duduk dalam pemerintahan dan berbagai lembaga (sipil, militer maupun swasta). Utang luarnegeri kita sudah makin menumpuk, dan tidak adillah bahwa rakyat disuruh ikut memikulnya. Sedangkan selama ini, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa sebagian (yang cukup besar) utang itu pun juga telah "dimakan" oleh okum-oknum yang sekarang ini memiliki 4 sampai 7 rumah dan lebih dari 5 sampai 12 kaveling tanah, atau 5 sampai 9 mobil. Masalah LKPN merupakan langkah permulaan yang amat penting untuk mengangkat masalah korupsi menjadi urusan besar bangsa. Karenanya, kalau ajaran-ajaran agama sudah dikentuti saja oleh para pejabat korup itu, dan ketika rasa cinta kepada kepentingan rakyat sudah dicampakkan, maka bangkitnya rasa brontak masyarakat terhadap korupsi adalah penting sekali. Pemberontakan terhadap korupsi adalah bagian yang tak terpisahkan

dari usaha pembaruan moral dan juga satu dan senyawa dengan reformasi. Karena, kalau pemberontakan terhadap koruptor itu sudah bisa berkembang di daerah-daerah (umpamanya di Sibolga, Bengkulu, Riau, Pare-pare, Halmahera, Bantul, Madiun, Pekalongan, Serang, dll) maka baru bolehlah kiranya dikatakan bahwa gerakan anti-korupsi sudah mulai mengakar di masyarakat. Singkatnya, kelakuan para pejabat korup yang berusaha menentang dilaksanakannya Undang-undang nomor 28 Tahun 1999 (tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN) harus terus-menerus dilawan bersama-sama. Sebab, penegakan hukum dan penegakan perasaan keadilan hanya merupakan omong kosong yang besar saja, kalau para penyelenggara negara dibiarkan terus-menerus bebas melakukan berbagai kejahatan. Penyelenggaraan negara yang baik (good governance) tidak akan pernah bisa dilakukan di negeri kita, kalau sebagian terbesar para pejabatnya adalah orang-orang yang berakhlak rendah. Paris, 13 September 2001 (Catatan: tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja, dan juga bebas untuk digunakan selayaknya. Untuk hubungan dengan E-mail : kontak@club-internet.fr ) Penulis adalah sampai September 1965 : Pemimpin Redaksi HARIAN EKONOMI NASIONAL (Jakarta), anggota pengurus PWI-Pusat, anggota Sekretariat PWAA (Persatuan Wartawan Asia-Afrika) di Jakarta. *** *** *** ================================================================= PEMBERONTAKAN TERHADAP KORUPSI PERLU TERUS DIKOBARKAN (Oleh : A. Umar Said) Bagi sebagian pembaca, mungkin tulisan kali ini terasa agak "lain" dari pada biasanya. Sebab, isi tulisan ini bisa saja dianggap sebagai manifestasi kedengkian, atau kecemburuan, atau iri-hati, atau serba-curiga, atau entah apa lagi lainnya. Yang jelas, adalah bahwa tulisan ini memang sarat dengan rasa kemarahan dan kental dengan emosi atau "rasa-berontak" . Masalahnya, adalah, bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi sangat keterlaluan! Korupsi sudah betul-betul merusak akhlak banyak orang, terutama di kalangan "tokoh-tokoh", baik sipil maupun militer, atau baik di kalangan resmi/pemerintahan maupun di kalangan "swasta". Kalimat yang berikut ini mungkin kedengaran terlalu keras: Sudah terlalu banyak "tokoh-tokoh masyarakat" ( tidak semua) yang menjadi maling-maling besar, dan sudah terlalu banyak pula PEJABAT yang menjadi PENJAHAT (juga, tidak semua!). Ketika mau memulai tulisan ini, penulis bertanya-tanya dalam fikiran, dari titik-berangkat yang mana persoalan ini bisa diangkat terlebih dulu? Dengan maksud untuk mencoba melihat betapa besarnya dan betapa luasnya masalah korupsi di Indonesia ini yang pernah dipermasalahkan

selama ini, maka penulis buka Internet. Lewat mesin-pencari (search engine) GOOGLE, maka ternyata banyak sekali yang bisa diketahui tentang berbagai soal yang berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia. Untuk sekadar gambaran kasar bagi pembaca (yang kebetulan belum sempat membukanya) maka berikut adalah sejumlah informasi. Kalau kita buka Internet, dan kemudian menggunakan search engine GOOGLE (yang bahasa Inggris) dengan kata-kunci "corruption Indonesia", maka segera (dalam beberapa detik saja) tercantum lebih dari 90 000 artikel, berita, dokumen, interview, atau segala macam bahan lainnya, yang berkaitan dengan masalah korupsi di Indonesia. Karena begitu banyaknya bahan yang tercantum di situ, maka pastilah diperlukan berbulan-bulan, untuk bisa membacanya dengan teliti. Karena itu, maka orang bisa mudah menjadi bingung, untuk memilih bahan yang mana yang perlu dibaca lebih dahulu, dan mana yang tidak. Sebab, sudah tentu, ada bahan yang bisa dianggap serius, akurat atau terpercaya, dan juga yang tidak. Karena, sumbernya juga macam-macam., baik yang berasal dari Indonesia sendiri, maupun yang dari luarnegeri. Bahan-bahan ini ada yang ditulis dalam bahasa Indonesia, atau bahasa-bahasa lainnya, terutama bahasa Inggris. Kalau menggunakan search engine GOOGLE yang bahasa Indonesia, dan memilih kata kunci "korupsi" maka dalam beberapa detik saja akan terpapar lebih dari 19 000 bahan dalam bahasa Indonesia. Untuk membaca judul atau kepala artikel dan bahan-bahan itu saja sudah memerlukan waktu yang berjam-jam. Apalagi kalau ingin membaca isinya, entah berapa hari akan diperlukan untuknya! Tetapi, dengan melayangkan pandangan mata (sepintas lalu) kepada itu semuanya, maka kita akan mendapat gambaran bahwa masalah korupsi di Indonesia ini sudah lama dipersoalkan oleh banyak fihak, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri. KERUSAKAN MORAL YANG DISEBABKAN OLEH KORUPSI Ketika membaca bahan-bahan yang bisa dicari lewat GOOGLE (bahasa Indonesia), maka kita bisa melihat bahwa salah satu di antara berbagai kerusakan parah dan besar-besaran yang harus ditangani oleh bangsa dewasa ini adalah masalah pembrantasan korupsi, secara sungguh-sungguh dan secara tuntas! Namun, berdasarkan pengalaman selama ini, maka jelaslah bahwa pemberantasan korupsi secara tuntas tidak bisa (atau tidak mungkin!) dilaksanakan tanpa adanya pemberesan di bidang hukum. Pemberesan bidang hukum tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan bidang politik. Pemberesan bidang politik tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan di bidang moral yang sudah bobrok di kalangan "atas". Pemberesan akhlak di kalangan "atas" tidak bisa dilaksanakan tanpa pemberesan sistem pemerintahan dan sistem ekonomi. Jadi, semua sambung-menyambung dan saling berkaitan. Tetapi, dari semua gejala itu, yang merupakan segi yang menonjol adalah kerusakan akhlak, yang disebabkan oleh mentalitas korup, yang sudah menjamur secara merajalela di semua lini sejak zaman pemerintahan Orde Baru. (Tentang soal ini ada tulisan tersendiri). Dengan membaca bahan-bahan dari GOOGLE kita bisa melihat berbagai aspek tentang masalah korupsi di Indonesia. Umpamanya, tentang masalah

jaring-jaringan korupsi keluarga Cendana, tentang korupsi di Telkom, tentang kegiatan MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) di bidang perlawanan terhadap korupsi, tentang Forum Indonesia Anti Korupsi, tentang Indonesia Corruption Watch, tentang persiapan pembentukan Komisi Pembrantasan Korupsi dst dst. Banyak artikel-artikel tentang korupsi yang menarik, umpamanya penilaian Transparancy International bahwa Indonesia menduduki tempat yang ke-empat dalam daftar negara-negara yang paling korup di dunia. Atau artikel tentang korupsi yang berkaitan dengan APBN, kolusi kontrak bagi hasil pertambangan, korupsi di tubuh BUMN. Kita bisa baca di situ berbagai dokumen resmi, umpamanya UU RI nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, yang ditandatangani oleh Presiden Habibi tanggal 19 Mei 1999. Juga TAP MPR nomor 11 tahun 1998 "tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme", yang ditandatangani oleh ketuanya Haji Harmoko, serta wakil-wakilnya. Dalam dua dokumen negara ini telah secara jelas dinyatakan bahwa KKN adalah tindakan yang harus ditindak dengan tegas, dan tanpa pandang bulu. Jadi, sebenarnya, masalah korupsi ini sudah sering sekali dibicarakan di DPR, di MPR, di kabinet, di berbagai rapat jawatan atau dinas-dinas pemerintahan, dan juga di banyak seminar, di kalangan partai-partai politik. KORUPTOR ADALAH PENGKHIANAT RAKYAT Ketika membaca bahan-bahan yang begitu banyak soal korupsi di Indonesia selama ini, maka orang bisa bertanya-tanya : mengapa korupsi di negeri ini begitu sulit dibrantas? Inilah yang patut dijadikan bahan studi yng serius bagi para pakar, dan, juga, bahan renungan bagi siapa saja yang merasa prihatin dengan penyakit parah yang sudah membikin kerusakan begitu besar dalam kehidupan bangsa kita ini. Apakah hanya karena sistem politik dan sistem pemerintahan saja? Atau, apakah karena faktor-faktor manusianya? Ataukah ada sebab-sebab lainnya? Sebab, kalau kita baca kembali bahan-bahan yang sudah pernah tersiar selama ini, maka jelaslah bahwa korupsi besar-besaran telah dilakukan oleh orang-orang yang pada umumnya sudah mempunyai pendapatan yang layak untuk menghidupi keluarga mereka secara baik pula. Bahkan, banyak di antara para koruptor kakap itu yang sudah kaya-raya sebelum melakukan korupsi. Jadi, teori bahwa korupsi dilakukan oleh karena gaji (pendapatan) tidak mencukupi kebutuhan, adalah tidak selalu benar. Mungkin, ini bisa dimengerti, kalau terjadi di kalangan "bawahan" (pegawai rendahan, baik negeri maupun swasta), atau mereka yang berpendapatan rendah sekali. Tetapi, kalau korupsi besar-besaran itu dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi (baik sipil maupun militer), maka persoalannya memang bisa menjadi lain lagi. Korupsi kecil-kecilan yang dilakukan untuk sekedar mencukupi - secara selayaknya - kebutuhan kehidupan rumahtangga masihlah kiranya bisa dimengerti (dan sampai batas tertentu bisa juga dima'afkan). Tetapi, kalau korupsi itu sudah dilakukan secara besar-besaran dengan tujuan untuk menumpuk kekayaan secara tidak sah dan untuk hidup dalam kemewahan yang haram dan "kemegahan" yang berbau kejahatan, maka inilah yang harus dikutuk secara beramai-ramai. Sebab, koruptor-koruptor kakap yang telah

mencuri harta publik semacam itu, pada hakekatnya adalah penjahat besar dan juga pengkhianat terhadap rakyat. Penjahat-penjahat ini tanpa rasa segan sedikit pun telah merampas hasil keringat banyak orang. Dan, seperti yang sudah kita baca atau kita dengar selama ini (atau yang kita saksikan di sekeliling kita selama ini, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah), maka nyatalah bahwa gejala semacam itu memang sudah banyak muncul selama puluhan tahun. Selama ini kita sudah saksikan berapa banyak pejabat-pejabat tinggi atau tokoh-tokoh ("resmi" maupun swasta) yang sering sekali bicara lantang tentang pengabdian kepada rakyat dan negara, tetapi di balik itu melakukan korupsi. Orang-orang yang sudah melakukan korupsi - apalagi besar-besaran - sudah tidak patut lagi, dan tidak berhak, untuk bicara tentang masalah kepentingan rakyat dan negara. Mereka itu harus terus-menerus, dengan berbagai cara dan jalan dicurigai, diawasi, dan selalu diblejeti untuk kemudian dimintai pertanggungan jawab, baik di depan pengadilan ataupun di depan opini publik. Tidak peduli apakah ia menteri, gubernur, bupati, atau pejabat-pejabat tinggi dan menengah lainnya. Juga tidak peduli apakah ia tokoh partai politik, tokoh masyarakat, anggota DPR dan DPRD, atau pimpinan berbagai lembaga. KERUSAKAN AKHLAK DI KALANGAN ATAS Jadi, sebenarnya, masalah korupsi ini sudah lama menjadi persoalan yang diperdebatkan oleh umum. Bahkan sudah pernah ada undang-undang untuk memeranginya. Tetapi, karena kalangan "atas" tidak menunjukkan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, maka segala undang-undang atau segala pernyataan yang bagus-bagus tentang pemberantasan korupsi itu semua akhirnya tetap menjadi omong-kosong saja. Kalangan "atas" , baik yang di eksekutif, legislatif, judikatif, maupun yang di "swasta", tidak menunjukkan tekad mereka yang sungguh-sungguh, untuk mentrapkan undang-undang yang sudah ada, dan juga tidak mau menciptakan peraturan-peraturan yang lebih ketat lagi atau hukuman-hukuman yang lebih tegas. Korupsi adalah penyebab dan sekaligus juga produk dari mental yang korup. Hubungan antara korupsi dan kerusakan akhlak adalah erat sekali, atau bahkan senyawa. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kerusakan akhlak itu (yang merupakan sumber korupsi) sudah menghinggapi banyak "tokoh" di berbagai bidang, di beraneka-ragam kalangan agama, dan dari berbagai suku atau asal keturunan. Pengalaman selama ini juga menunjukkan bahwa kerusakan akhlak inilah yang telah memungkinkan begitu banyak "tokoh" menyalah-gunakan kekuasaan, dan menggunakan pengaruh atau melakukan tindakan-tindakan selingkuh lainnya, untuk memperkaya diri dengan mencuri kekayaan publik dengan berbagai cara dan beraneka-ragam dalih. Kalau kita perhatikan nama-nama yang tersangkut dugaan tindakan korupsi kelas kakap, maka kita lihat bahwa di antara mereka itu banyak yang bertitel SH, atau Doctor dalam bidang ilmu tertentu, atau bahkan

Profesor Doctor (dan banyak juga yang memakai sebutan Haji di depan nama mereka!). Ternyata, untuk kesekian kalinya kita bisa melihat dengan nyata bahwa gelar atau sebutan-sebutan yang macam-macam itu bukanlah satu jaminan bahwa mereka itu mempunyai hati nurani yang bersih, dan bukan pula ukuran bahwa iman mereka teguh atau bahwa akhlak mereka itu terpuji. Mereka telah mencuri kekayaan publik dengan menggunakan kedok titel kesarjanaan (atau gelar agama), dan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan dalam masyarakat. Kesan serupa ini bisa kita peroleh ketika membaca berbagai nama "tokoh" yang pernah disebutkan dalam media pers Indonesia (atau luarnegeri) karena tersangkut dengan berbagai peristiwa, sejak persoalan Pertamina, Bulog, BLBI, BPPN, PLN, IPTN, Garuda, Yayasan Kostrad, atau banyak BUMN lainnya. Banyak berita tentang kasus-kasus dugaan korupsi yang kemudian tidak ketahuan lagi buntutnya. Bahkan, banyak kasus yang sudah dijadikan penyelidikan oleh polisi dan kejaksaan (bahkan Kejaksaan Agung) yang kemudian di "peti-es"-kan. Entah, berapa pula kasus-kasus korupsi yang kemudian dibebaskan oleh pengadilan (termasuk oleh Mahkamah Agung). Banyak sekali kejadian yang menunjukkan gejala bahwa hukum telah dibikin permainan kotor atau "diperjual-belikan" antara pengacara, polisi, jaksa dan hakim. Mereka ini menyalahgunakan hukum sebagai alat kejahatan. Yang keterlaluan lagi adalah bahwa ada di antara mereka yang membungkus kejahatan mereka itu dengan ayat-ayat kitab suci. Entah, berapa banyak koruptor yang sembahyang (di mesjid atau gereja dan kuil) untuk memanjatkan doa supaya diselamatkan Tuhan dari pengejaran polisi (dan jaksa) atau putusan hakim. Karena praktek korupsi sudah merajalela di kalangan "atas" sejak lama, maka wajarlah bahwa berbagai macam aksi telah dilancarkan oleh gerakan mahasiswa/pemuda, atau oleh berbagai Ornop (LSM dll), untuk menuntut kepada pemerintah dan DPR supaya diadakan langkah-langkah lebih kongkrit dan lebih tegas dalam membrantas korupsi. Tetapi, seperti yang sudah sama-sama kita saksikan, baik selama pemerintahan Suharto, Habibi, maupun pemerintahan Gus Dur-Megawati yang lalu, korupsi masih terus belum bisa dibabat. Sekarang ini (di bawah pemerintahan Megawati-Hamzah Haz), sudah mulai terdengar suara-suara yang menggambarkan pesimisme -yang makin lebih besar lagi! - tentang bisanya korupsi dibrantas. Lalu, kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan? KOBARKAN PEMBRONTAKAN TERHADAP KORUPSI Memang, berkat adanya desakan-desakan yang gencar dan terus-menerus dari banyak fihak dalam masyarakat, akhir-akhir ini pemerintah mengusulkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) kepada DPR untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, supervisi, dan koordinasi dengan instansi terkait, serta mencegah tindak pidana korupsi. "Wewenang komisi akan diatur secara luas termasuk melakukan berbagai tindakan yang selama ini merupakan kewenangan pihak kepolisian dan

kejaksaan, antara lain melakukan penyadapan dan perekaman atau merekam pembicaraan," kata Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dalam rapat paripurna di Gedung Nusantara V DPR/MPR Senayan Jakarta, tanggal 30 Agustus 2001. Usul pemerintah tersebut di atas patut ditanggapi dengan kritis, dan dengan waspada oleh semua fihak. Sebab, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, pernyataan semacam itu bisa saja akhirnya hanya menjadi janji kosong belaka. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kalau seluruh kekuatan pro-reformasi tetap terus menggelorakan aksi-aksi - dalam berbagai bentuk dan cara - untuk menyerukan diperanginya korupsi secara besar-besaran. Seluruh kekuatan pro-reformasi perlu tetap menjadikan masalah korupsi sebagai salah satu tugas perjuangan. Sebab, perjuangan melawan korupsi merupakan aspirasi sebagian terbesar rakyat kita. Perjuangan melawan korupsi adalah juga perjuangan politik dan moral. Sebab, seperti yang sudah terbukti selama ini, korupsi kelas besar biasanya dilakukan oleh tokoh-tokoh yang "dekat" dengan Orde Baru. Dengan makin dekatnya Pemilu tahun 2004, maka banyak partai politik atau golongan sudah mulai menyiapkan langkah-langkah untuk mencari dana gelap guna pembiayaan pemilu, di samping adanya beraneka-ragam tokoh yang menggunakan kesempatan itu untuk mengumpulkan kekayaan secara tidak sah bagi kepentingan pribadi. Pengalaman penggunaan dana gelap oleh PDI-P, Golkar, PPP, PBB, PAN dll dalam pemilu yang lalu pastilah akan terulang lagi, kalau tidak ada tindakan-tindakan pencegahan. Apa yang dilakukan oleh A. Baramuli, Rahadi Ramelan, Arifin Panigoro, Jusril Mahendra dan banyak tokoh lainnya, bisa akan terulang lagi, dalam bentuk dan cara lain, dan juga oleh orang-orang lain. Agaknya, seluruh kekuatan pro-reformasi perlu membuang ilusi bahwa kalangan "atas" dewasa ini akan dengan dengan sungguh-sungguh bisa, mau, dan juga berani, berjuang sungguh-sungguh melawan korupsi. Sebab, justru banyak kalangan "atas" di bidang eksekutif, legislatif dan judikatif itu sendirilah yang melakukan berbagai macam korupsi. Koruptor-koruptor kelas kakap di kalangan "atas" inilah yang telah membikin banyak kerusakan parah di bidang hukum dan peradilan. Perjuangan ekstra-parlementer (yang kuat) melawan korupsi adalah pendorong adanya perobahan-perobahan di kalangan pemerintahan. Dari sudut yang lain, bisalah dikatakan bahwa perjuangan melawan korupsi adalah juga usaha pendidikan politik, hukum dan moral bagi banyak orang. Lewat perjuangan melawan korupsi ini seluruh kekuatan pro-reformasi bisa terus mengingatkan - dan memperingatkan !!! - supaya para tokoh kalangan "atas" memperhatikan kepentingan publik, dan supaya menghentikan praktek-praktek mereka yang menyakitkan hati rakyat banyak. Dengan melancarkan perjuangan melawan korupsi ini, maka bisa ditanamkan rasa benci terhadap kebathilan dan keharaman yang sudah merusak akhlak begitu banyak "tokoh". Kebencian, kemarahan, pembrontakan dan kedendaman terhadap korupsi adalah sesuatu yang baik, yang sah, yang benar, dan luhur. Dikobarkannya pembrontakan - dalam berbagai cara dan bentuk terhadap korupsi adalah sumbangan penting bagi pendidikan politik dan akhlak.

Oleh karena itu, perlulah kiranya bagi seluruh kekuatan pro-reformasi untuk bekerjasama dengan semua gerakan ekstra-parlementer (ornop atau civil society yang beraneka-ragam) dalam menggalakkan aksi-aksi menentang korupsi. Apa yang telah dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia, Gerak, Gempita dan lain-lain (ma'af bagi organisasi yang tidak disebutkan di sini), perlu diperbanyak lagi oleh berdirinya lain-lain organisasi serupa dan searah. Mengingat pentingnya masalah korupsi bagi perbaikan kehidupan moral bangsa, maka sudah sepantasnyalah bahwa banyak universitas, lembaga-lembaga riset, pesantren dan lain-lainnya, juga mengadakan langkah-langkah dalam mengobarkan perjuangan melawan korupsi ini. Memang, banyak bidang penting dan mendesak yang secara urgen harus dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini sebagai akibat krisis multi-dimensional yang diwariskan Orde Baru. Dan, salah satu di antara bidang yang urgen itu adalah masalah pembrantasan korupsi. Sebab, korupsi adalah penyakit kangker ganas, yang selama ini sudah menyerang otak dan hati bangsa kita. (Tentang soal ini ada tulisan tersendiri). Paris, menjelang musim gugur, 1 September 2001 (Catatan : tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja, dan juga bebas untuk digunakan selayaknya. Untuk hubungan dengan E-mail : kontak@club-internet.fr ) *** *** ***

********************************************************************* INDONESIAN INSTITUTE FOR THE STUDY OF 1965/1966 MASSACRE (YPKP '1965/1966) Address: Jalan Kalibesar Timur no.3 Jakarta Barat 11110 - Indonesia PO BOX 4923 JKTF 11049 Tel (+62 - 21) 6930324 Email: ypkp_pusat@37.com bank: BNI-CAPEM Cimone, Tangerang. Acc: 001027.495.001 Nederland Email: YPKP_NED@xs4all.nl Germany Web Site: http://welcome.to/ypkp/ *******************************************************************

Untuk masuk ke list: Kirim E-mail kosong ke cari-subscribe@egroups.com Untuk keluar dari list: Kirim E-mail kosong ke cari-unsubscribe@egroups.com

Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/

You might also like