You are on page 1of 30

KONFLIK Oleh

ACEH,

JALAN

PANJANG S.

MENUJU

PERDAMAIAN WIRYONO

Pengantar: Untuk memperjelas pemahaman kita mengenai konflik di Aceh dan proses dialog untuk mencari penyelesaian damai, Sinar Harapan menurunkan artikel oleh Wiryono Sastrohandoyo, perunding Indonesia dalam masalah Aceh, yang dimuat dalam empat seri tulisan, 7-10 Mei. Dia akan mengulas latar belakang dan konteks proses yang tengah dijalani dan kini terancam gagal, serta rekomendasi pilihan tindakan. Waktu itu awal Januari 2002, menjelang akhir bulan puasa Ramadhan, ketika Menlu Hassan Wirajuda menanyakan kesediaan saya untuk menerima posisi sebagai perunding di pihak Pemerintah Indonesia atas masalah Aceh. Perundingan-perundingan sebenarnya sudah dilancarkan dua tahun sebelumnya dengan hasil-hasil yang membesarkan hati, tetapi kemudian perundingan ditangguhkan selama sekitar 7 bulan. Saya menerima tawaran itu sebagai sebuah kewajiban patriotik, tetapi dengan keraguan dan rasa takut yang besar. Saya benar-benar memulai kewajiban saya sebagai perunding ketika proses yang terhenti itu dimulai kembali di Jenewa, Swiss, 2 Februari 2002.

Latar Belakang Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam, bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi. Pemberontakan separatis di Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalam pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia. Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah.

Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia. Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar. Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998. Ditekan oleh teriakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi. Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan. Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu.

Sebuah Peluang Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh". Tujuannya, memberi kesempatan bagi penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center, sebuah LSM internasional. Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog.

Kendati perkembangan ini disambut baik oleh rakyat Aceh yang tercabik-cabik oleh perang, namun tidak demikian halnya bagi banyak kalangan di Jakarta. Salah satu alasannya, DPR merasa tidak dikonsultasi, sedangkan alasan lainnya bahwa tidak terjadi perdebatan di media massa atau di mana pun tempat para pakar dan kaum akademisi bisa mengutarakan pandangan mereka. Perunding dari pihak Indonesia adalah Dr N. Hassan Wirajuda, waktu itu Wakil Tetap RI di PBB di Jenewa, yang kemudian menjadi Menlu RI. Pemerintah RI dengan hati-hati menjelaskan bahwa Dr Wirajuda, ketika mewakili Pemerintah, tidak berunding dalam kapasitasnya sebagai Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa. Keterangan ini untuk meredam banyak kritikan bahwa dengan berunding dengan GAM Pemerintah sudah melakukan kesalahan besar dan pihak GAM sudah mengantongi sebuah kemenangan diplomatik, karena kesediaan berunding dengan GAM mengimplikasikan pengakuan, menempatkan GAM, setidaknya secara teoretis, dalam posisi sejajar dengan Pemerintah. Bagi sejumlah anggota parlemen, akademisi dan media massa, pertemuan di Jenewa itu memprensentasikan internasionalisasi masalah Aceh. Reaksi negatif ini menjadi lebih mudah dimengerti karena banyak kalangan menilai lepasnya provinsi Timor Timur sebagai konsekuensi dari internasionalisasi masalah Timor Timur. Kendati demikian, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terus mengupayakan dialog. Meski dengan begitu banyak kesulitan, sebagian akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju sehingga pada Januari 2001 kedua pihak mencapai "Saling Pengertian Sementara" yang berisi banyak ketentuan yang memungkinkan pengaturan mengenai pemeriksaan pelanggaran yang terjadi dan menjalankan upaya-upaya membangun saling kepercayaan. Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata. Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai Menlu RI. DALAM wilayah Asia Tenggara dan di antara beragam negara yang menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, dan juga pada forum-forum internasional seperti Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Organisasi Islam (OKI), Uni Eropa (EU) dan lain-lain, terdapat dukungan sangat kuat bagi kedaulatan dan integritas wilayah Republik Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan kasus Aceh dan bahkan dengan masalah Papua. Di sisi lain GAM tidak mendapatkan dukungan eksternal atas klaimnya untuk menjadi negara tersendiri, kecuali mungkin dari beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat). Memang benar GAM mendapat latihan militer dari Libya tetapi tidak lebih dari itu. Sampai tingkat tertentu, GAM memang mengendalikan suatu kekuatan dan mendapat dukungan tertentu, yang masih sulit untuk diestimasikan, dari rakyat Aceh sendiri.

Sementara itu, berkembang kekhawatiran yang luas dengan berlanjutnya kekerasan yang menyebabkan begitu seringnya pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan begitu banyak orang Aceh meninggalkan tempat tinggal mereka. Sedangkan semua ini menyebabkan buruknya kehidupan sosial-ekonomi di Aceh. Kekhawatiran ini diterjemahkan dalam bentuk tekanan domestik dan internasional atas kedua pihak (RI dan GAM) agar segera menghentikan konflik, menciptakan perdamaian yang tahan lama dan membangun kembali kehidupan sosial-ekonomi di provinsi NAD. Sejumlah pengamat telah mengidentifikasi salah satu hambatan paling ekstrem bagi perdamaian di Aceh, dan itu adalah situasi bahwa praktik korupsi sedemikian meluas. Pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari praktik ini tidak berniat memecahkan atau menghentikannya. Terdapat laporan bahwa terus terjadi penyelundupan besar-besaran barang-barang mewah di pelabuhan bebas Sabang. Pemerasan dan perlindungan bagi pemeras oleh tentara RI maupun oleh gerilyawan GAM sudah menjadi wabah yang meluas dari ujung ke ujung Aceh. Senjata dari sumber-sumber luar secara rutin dibawa masuk lewat pantai oleh perahu-perahu penangkap ikan. Ini adalah praktik perdagangan senjata yang membuat GAM dan kelompok-kelompok kriminal lainnya mendapatkan perlengkapan senjata yang baik. Pemerintahan RI sampai tingkat tertentu bisa menekan praktik korupsi ini dengan mengekang para pejabat lokal dan otoritas lain di Aceh agar lebih bertanggung jawab. Tetapi pengekangan ini kemungkinan membawa dampak buruk tersendiri. Situasi 2002 Pada waktu saya dipercayakan dengan tugas memimpin dialog dari sisi Indonesia, sekitar 10.000 orang sudah tewas di Aceh sebagai akibat dari konflik dan pembunuhan yang rata-rata 5 orang per hari. Kerusakan luar biasa telah menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Aceh anjlok, padahal provinsi ini terhitung kaya dengan sumber-sumber alam. Masyarakat Aceh sudah lelah oleh konflik. Dengan keberhasilan - sampai tingkat tertentu menyelesaikan konflik di Maluku dan Sulawesi Tengah melalui proses perdamaian Malino, Pemerintah RI merasakan adanya momentum untuk juga segera menyelesaikan masalah Aceh. Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, telah mengafirmasi secara terbuka lewat berbagai pernyataan dan dokumen bahwa penyelesaian terbaik ialah melalui dialog dalam kerangka sebuah pendekatan komprehensif, yang juga mencakup penggunaan militer dan pekerjaan polisi. Pada efeknya, hal ini adalah kebijakan dua jalur. Tetapi, terlepas dari kebijakan dua jalur itu, terdapat persepsi yang luas dalam Pemerintah, termasuk parlemen, bahwa kekuatan bersenjata Indonesia berada di atas angin di Aceh. Sampai hari ini, banyak dari mereka yang berpersepsi seperti ini merasa bahwa tidak perlu mengadakan perundingan dengan sebuah gerakan separatis yang kalah dan lemah yang tidak mendapat dukungan internasional.

Bahkan ada juga, tidak sedikit, yang berkeyakinan bahwa hanya ada satu hal yang dilakukan terhadap gerakan separatis ialah menumpasnya, habis perkara. Dalam atmosfer seperti ini, terbukti dialog sulit sekali dilakukan. Meski demikian, saya terus berupaya agar dialog bisa terus digulirkan dengan pihak GAM. Saya menafsirkan mandat yang diberikan kepada saya yaitu melanjutkan proses negosiasi dengan pikiran mengkonsolidasi yang sudah dicapai selama ini dalam bentuk dokumen - kalau mungkin dalam bentuk sebuah "persetujuan sementara" - yang mencakup butir konsensus dan butir pengembangannya lebih lanjut sehingga pertemuan-pertemuan lanjutan antara kedua pihak akan memiliki fondasi bagi tumpuannya. Sebagaimana disepekati sebelumnya, kedua pihak membentuk sebuah Dewan Bersama untuk Dialog Politik dengan lima tokoh internasional terkemuka yang diterima kedua pihak sebagai penasihat.

Panduan Usulan Setelah mendapat penjelasan tentang situasi di Aceh dan tentang perkembangan-perkembangan sebelumnya, saya sebagai perunding merancang sebuah "Panduan Usulan" untuk saya gunakan sendiri dalam perundingan-perundingan. Dalam panduan itu diakui keinginan rakyat Aceh untuk memerintah diri mereka sendiri secara damai dalam kebebasan dan demokrasi. Hal ini akan dicapai melalui tiga langkah aksi utama. Pertama, konflik akan dihentikan dan perdamaian ditegakkan selama periode transisi, dan otonomi khusus akan diterima sebagai penyelesaian final atas konflik. Kedua, selama periode transisi, sikap permusuhan dihentikan, sedangkan proses penciptaan saling percaya diintensifkan, dan kehidupan sosialekonomi di Aceh dinormalkan dengan program bantuan kemanusiaan dan bantuan ekonomi dari Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional. Dan ketiga, dialog yang mencakup semua unsur masyarakat Aceh, termasuk GAM, akan menjadi forum konsultatif bagi pencapaian penyelesaian damai yang ternegosiasikan atas masalah Aceh. Penyelesaian ini didasarkan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebuah Undang-Undang yang disetujui di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi status otonomi khusus bagi propinsi Aceh. Setelah selesainya dialog semua unsur Aceh tersebut, maka diadakan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh untuk memungkinkan para pengikut GAM berpartisipasi dalam pemilihan nasional Indonesia 2004. Dalam pertemuan Februari 2002, sebagai perunding saya menjelaskan kepada Henri Dunant Centre dan semua penasihat tentang gagasan yang menjadi isi Panduan Usulan yang saya gariskan. Secara umum mereka menanggapinya secara positif, khususnya karena menurut Panduan Usulan itu dimungkinkan dialog terus berjalan tanpa secara eksplisit membahas isu sensitif tentang tuntutan GAM untuk kemerdekaan Aceh. Satu-satunya sumber kesulitan ialah inti posisi Pemerintah dan itu adalah (keharusan) penerimaan oleh GAM atas tawaran otonomi dari Pemerintah yang dinyatakan dalam UndangUndang NAD. Penerimaan otonomi tersebut oleh GAM mengimplikasikan ditinggalkannya tuntutan kemerdekaan Aceh. Kedua pihak berunding secara intensif dalam pertemuan Februari itu tetapi pada akhirnya, pihak GAM tidak bersedia menandatangani sebuah pernyataan bersama yang sedianya menjadi hasil pertemuan tersebut. Waktu itu GAM beralasan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mempertimbangkan tawaran otonomi tersebut. Dan karena rancangan pernyataan bersama itu tidak bisa dikeluarkan bersama oleh

kedua pihak, disepakati bahwa fasilitator, Henri Dunant Centre, akan mengeluarkannya atas namanya sendiri. Naskah rancangan pernyataan bersama itu secara jelas menyatakan bahwa kedua pihak sepakat menggunakan Undang-Undang NAD sebagai titik awal diskusi-diskusi, dan " selama periode penciptaan saling percaya di mana kedua pihak menghentikan permusuhan dan kemudian bergerak maju menuju pemilihan yang demokratis di Aceh dalam tahun 2004." Oleh karena itu dokumen ini menjadi semacam "peta jalan" untuk proses perdamaian ke depan, menetapkan penghentikan permusuhan, dialog semua unsur masyarakat Aceh dan pemilihan. PERTEMUAN lanjutan antara GAM dan wakil Pemerintah awal Mei 2002 membuahkan formalisasi dokumen Februari yang dikeluarkan Henri Dunant Centre. Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua pihak menandatangani sebuah Pernyataan Bersama dengan isi yang secara esensial sama dengan dokumen Februari tersebut. Kesulitan timbul ketika kedua pihak mengintrepretasikan secara berbeda isi dokumen yang sama. Pemerintah berpikir bahwa dokumen itu sudah mengamankan komitmen GAM menerima Undang-Undang NAD sebagai sebuah langkah awal. Sedangkan GAM tampak mengerti isi dokumen itu hanya sebagai bahan pertama untuk dibahas bersama. Jurubicara utama GAM, Sofyan Ibrahim Tiba, setibanya kembali di Aceh, membantah dengan keras bahwa GAM sudah menerima Undang-Undang NAD. Perbedaan tafsir ini kemudian diperburuk oleh unsurunsur bersenjata yang mengklaim sebagai kekuatan GAM yang mulai menyerang fasilitas-fasilitas pemerintah, khususnya tiang-tiang listrik dan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak. TNI bereaksi dengan mengerahkan lebih banyak serdadu ke Aceh dan mengintensifkan operasi penumpasan kerusuhan. Kejadian ini mengikuti pola bahwa setiap kali kedua pihak mencapai suatu persetujuan, unsur-unsur di lapangan pasti mengeluarkan pernyataan-pernyataan bantahan atau penolakan lalu melancarkan aksi kekerasan, hal yang setiap kali merusak proses dialog. Jadi, pertemuan ketiga, yang semestinya dilaksanakan Juni 2002, batal digelar karena situasi buruk di lapangan. Kemudian, 19 Agustus 2002, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh: GAM diberi kesempatan sampai akhir bulan puasa Ramadhan, berakhir 7 Desember 2002, untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai prasyarat bagi dialog lebih lanjut, atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia. Pada kenyataannya, proses dialog kini terhenti, tanpa jaminan apa pun bahwa GAM akan kembali ke meja perundingan. Sementara itu kekerasan kian meningkat dan terus menelan semakin banyak korban jiwa. Upaya pembunuhan juga terjadi belum lama ini atas diri Gubernur Aceh. Tidak lama sebelum berakhirnya bulan Agustus 2002, Pemerintah memperlunak sikap dengan pengumuman dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. "Kami mengharapkan babak perundingan baru dengan GAM dalam bulan September, mungkin bukan perundingan formal, tetapi kami akan terus meretas jalan bagi penyelesaian secara damai," demikian pengumuman tersebut.

Basis Dialog Di awal September, Pemerintah mengajukan sebuah rancangan persetujuan untuk menghentikan sikap permusuhan kepada Henri Dunant Centre (HDC) dan kelompok penasihat. Kedua pihak ini membuat perbaikan atas rancangan tersebut. Ini berarti keduanya menerima rancangan itu sehingga bisa dijadikan sebagai basis bagi dialog lebih lanjut antara Pemerintah dan GAM. Dan memang demikianlah yang terjadi: rancangan yang sudah diperbaiki dan dikonsolidasikan HDC itu dirundingkan dengan wakil GAM dan dalam serangkaian pertemuan tidak langsung kedua pihak (Pemerintah dan GAM) difasilitasi oleh diplomasi bolak-balik HDC di Singapura, Paris, Jenewa dan Stockholm. Proses ini makan waktu beberapa pekan. Pada 19 November 2002, HDC mengumumkan bahwa kedua pihak telah memberi komitmen untuk menyepapati sebuah persetujuan. Meski beberapa isu masih harus diselesaikan, persetujuan penghentian permusuhan direncanakan untuk disepakati 9 Desember 2002. Secara esensial, rancangan persetujuan itu menuntut pembentukan sebuah Komite Keamanan Bersama oleh Pemerintah Indonesia, GAM dan HDC yang terdiri dari 150 anggota. Komite ini bertugas memantau pelaksanaan penghentian permusuhan, menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran dan untuk mengambil langkah-langkah, termasuk sanksi-sanksi guna memulihkan ketenangan. Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan menjadi titik awal bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh menuju pemilihan umum 2004. Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk rincian mengenai waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata dari politik. Selagi HDC merasa yakin bahwa penandatanganan persetujuan tersebut akan terlaksana sesuai jadwal, sebenarnya ada banyak kejutan yang mesti diselesaikan hingga saat-saat terakhir. Syukurlah bahwa komunitas internasional merasa berkepentingan dalam proses ini dan menunjukkan dukungannya yaitu menyelenggarakan konferensi negara-negara donor di Tokyo, 3 Desember 2002, 6 hari menjelang penandatanganan perjanjian tersebut. Konferensi yang dipandu bersama oleh Jepang, AS dan badan-badan pendanaan internasional itu bertujuan menghimpun dana bagi pembangunan kembali Aceh setelah kedua pihak menandatnagani Persetujuan Penghentian Permusuhan itu. Negara-negara lain yang ambil bagian dalam konferensi itu adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis, Jerman, Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC. GAM diundang ke konferensi itu tetapi tidak menghadirkan wakilnya.

Kegelisahan Kawasan

Penyelenggaraan konferensi itu adalah manifestasi keprihatinan masyarakat internasional atas kenyataan ketidakstabilan terus-menerus di Indonesia, yang sebagiannya disebabkan oleh perkara Aceh. Kalau perkara Aceh dan juga perkara Papua, Maluku dan di beberapa propinsi lain semuanya bisa diselesaikan dalam beberapa bulan ke depan, hal ini merupakan pemulihan keadaan bagi negara-negara tetangga Indonesia yang gelisah akan dampak dari konflik internal di Indonesia bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Bagi Indonesia sendiri, penyelesaian masalah-masalah internal ini, sampai tingkat tertentu, akan memulihkan posisinya dalam komunitas internasional dan di antara investor domestik dan asing. Disepakati dalam konferensi Tokyo tentang Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh bahwa begitu persetujuan ditandatangani, sebuah misi multi-agen akan dikirim ke Aceh untuk menghitung kebutuhan bagi perbaikan sosial-ekonomi di porpinsi itu. Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang berpartisipasi kemudian akan mengumpulkan dana yang dibutuhkan bagi bantuan kemanusiaan, untuk mendukung pembubaran pasukan, mendorong investasi jangka pendek yang berdaya guna bagi masyarakat, perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (CGI) akan mengkoordinasikan bantuan tersebut, sedangkan komunitas-komunitas lokal dan masyarakat sipil akan dilibatkan untuk menjamin bahwa dana-dana tersebut memang sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan sesegera mungkin secara bertanggungjawab dan transparan. Konsepnya ialah, menjamin bahwa rakyat benar-benar bisa segera merasakan buah dari perdamaian dan dengan demikian proses perdamaian itu sendiri diperkuat. Persetujuan Penghentian Permusuhan ditandatangani di Jenewa 9 Desember 2002. Tetapi pada Januari 2003 sudah mulai kelihatan bahwa jalan menuju perdamaian benar-benar penuh tantangan, terutama dalam dua bulan pertama. Banyak hal tergantung pada ketrampilan dan kebijaksanaan Komite Keamanan Bersama (JSC) di bawah kendali Mayjen Thanungsak Tuvinan dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomora Lomodag dari Pilipina. Tidak lama setelah penandatanganan persetujuan itu, 30 Desember 2002, sudah terjadi 50 insiden pertempuran antara kekuatan GAM dan pasukan keamanan Indonesia. Sejak Persetujuan Penghentian Permusuhan ditegakkan, korban tewas yang jatuh memang berkurang secara berarti, tetapi belakangan ini meningkat lagi. Juga telah timbul soal akibat penolakan GAM belum lama ini atas kehadiran pengamat dari Pilipina dalam ISC. GAM menilai wakil Filipina itu tidak bisa berdiri netral karena pemerintah Pilipina terlibat dalam pertempuran dengan gerakan Moro yang hendak memisahkan diri, dan juga karena Indonesia pernah menjadi penengah bagi perjanjian damai antara pemerintah Pilipina dan kelompok separatis lain di negeri itu tahun 1996. Soal ini kemudian diselesaikan dengan kesepakatan bahwa wakil Pilipina yang sudah ada dalam ISC dipertahankan sedangkan tambahannya digantikan oleh pengamat dari Thailand. (Sinar Harapan) DAMPAK umum dari penandatanganan perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) di Jenewa 9 Desember 2002 ialah kegembiraan besar rakyat Aceh - dan ini terutama karena perjanjian itu sudah dianggap sebagai sebuah perjanjian perdamaian.

Rakyat Aceh merasa bahwa perdamaian sudah di tangan mereka dan mereka tak hendak melepaskannya lagi. Tetapi faktanya ialah, senjata terus saja menyalak. Dengan kerinduan yang begitu besar akan perdamaian setelah sekian lama dilelahkan konflik, maka kegagalan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan pukulan sangat berat bagi rakyat Aceh. Di Jakarta, COHA yang disambut secara berhati-hati dan tanpa banyak kritik itu dipertegas oleh komitmen Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri yang didemonstrasikan dengan segera mengunjungi Aceh menyusul penandatanganan di Jenewa itu. Unit-unit GAM kembali ke barak-barak mereka, sementara sebuah tim multi-agen dari PBB mengunjungi Aceh untuk mengkalkulasi kebutuhan pembangunan kembali Aceh. Di Jakarta, Pemerintah menggalang tim bantuan kemanusiaan bagi rakyat Aceh dan juga memprioritaskan bantuan bagi warga pengungsi Aceh. Dalam waktu sebulan JSC yang memantau pelaksaan COHA tersebut mulai masuk Aceh. Insiden dengan korban tewas turun secara dramatis, dan perkembangan positif ini semestinya menjadi momentum perdamaian, tetapi nyatanya tidak demikian. Permusuhan jalan terus, sampai pada titik yang sedemikian sulit sehingga sangat sulit dibayangkan bahwa kesepakatan itu masih bisa dilaksanakan. Saling tuding antara TNI dan GAM - mengenai pelanggaran persetujuan - pun terjadi. Ini ditambah dengan menyebarnya laporan bahwa anggota JSC diintimidasi warga sipil setempat, hal yang dibantah pihak militer. Dengan alasan keamanan, anggota JSC pun mundur dari Aceh, ini sejalan dengan keluhan Pemerintah bahwa JSC tidak efektif karena pernyataan-pernyataan serba negatif dari oknum-uknum GAM tentang JSC. Ketimbang memenuhi isi COHA - dihentikannya permusuhan - GAM justru menggalang demonstrasi pro-kemerdekaan dan mengacau-balaukan informasi guna menciptakan persepsi umum bahwa hasil akhir pelaksanaan pertujuan Jenewa adalah kemerdekaan Aceh. Bersama semua itu GAM merekrut tenaga-tenaga baru untuk perjuangannya dan mengangkat perwira-perwira baru, sekaligus melakukan perluasan struktur politiknya dari kampung ke kampung. Pemerintahan bawah tanah yang dikembangkan GAM ini disertai praktik pemungutan pajak yang disebut "Pajak Nanggroe". Ini tentu saja sebuah penyimpangan dan tindak kejahatan. Dengan ulah GAM ini jadwal kerja JSC sama sekali terganggu hal yang juga berdampak pada citra buruk Henri Dunant Centre (HDC) yang bertugas sebagai pengawas penyerahan senjata (peletakan senjata) GAM.

HDC Gagal Pemerintah kemudian mengajukan protes keras kepada HDC, menuding GAM telah melanggar kewajiban-kewajibannya dalam COHA. Atas dasar ini Pemerintah menuntut segera diadakan sidang Dewan Bersama (Joint Council) yang terdiri dari Pemerintah, GAM dan HDC. Dewan Bersama ini diciptakan COHA sendiri dengan tugas menyelesaikan perselihan akibat pelaksanaan COHA yang tidak bisa diselesaikan JSC. Tuntutan diadakannya pertemuan Dewan Bersama itu diajukan kepada HDC awal April 2003 dan Pemerintah menyebutnya sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan COHA.

Tidak lama sesudah itu Presiden Megawati mengirim utusan khusus kepada PM Swdia untuk menyampaikan secara resmi kepada Pemerintah Swedia bahwa sejumlah warganegara Swedia - Hasan Di Tiro dan beberapa letnan terkemuka pendukungnya - terlibat dalam aksi pemberontakan dan aksi kejahatan lainnya yang menyebabkan banyaknya jatuh korban di Indonesia. Pemerintah Swedia menjawab dengan minta bukti-bukti konkret untuk itu, hal yang tampaknya sedang dipersiapkan Pemerintah RI. Dalam suratnya untuk Pemerintah RI, GAM menolak menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah pun mulai menyiapkan operasi militer di Aceh karena proses menuju perdamaian tampaknya sudah menjadi berantakan. Pertengahan April, GAM berubah pikiran, dengan memberitahu Pemerintah RI, melalui HDC, bahwa mereka bersedia menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah menyambut baik hal ini, namun GAM masih harus memberi persetujuan tentang tempat dan tanggal pertemuan tersebut. Pemerintah memilih Tokyo, GAM memilih Jenewa sebagai tempat pertemuan. Dengan enggan Pemerintah menyetujui tempat Jenewa dan menetapkan pertemuan pada tanggal 25 April. GAM setuju tetapi tidak lama kemudian berubah pikiran lagi, terutama menyangkut tanggal pertemuan. Pemerintah menawarkan kompromi bahwa pertemuan pembukaan 25 April dan pertemuan sesungguhnya tanggal 26 dan 27. Tetapi tanpa alasan yang jelas HDC tidak bisa meyakinkan GAM untuk menerima kompromi dari Pemerintah RI. GAM hanya mau bertemu tanggal 27 April, hari Minggu, tetapi seluruh soal tidak bisa hanya diselesaikan dalam satu hari pertemuan. HDC tidak bisa membawa GAM ke meja pertemuan sehingga Dewan Bersama gagal terlaksana.

Selalu Berkhianat Pemerintah sudah mengambil semua langkah yang fleksibel bersamaan dengan kesabaran yang kian mendekati batas. Di pihak lain GAM sama sekali tidak menunjukkan fleksibiltasnya dengan alasan yang tidak jelas, dan juga tampak mempermainkan itikad baik Pemerintah. Maka pertanyaan besar sekarang ialah: Apakah berikutnya? Jawabannya boleh jadi bisa ditarik dari kelakuan GAM di masa lalu. Sejak perundingan dimulai awal Januari 2000, kelakuan khas GAM adalah berkhianat! GAM menerima suatu pengaturan, seperti jeda kemanusiaan, tapi menggunakannya hanya untuk tujuan konsolidasi kekuatan, hanya untuk membuka kembali pertempuran ketika pihaknya yakin memiliki kekuatan politik dan senjata yang memadai. Di sini lain Pemerintah selalu mencoba konsisten dengan pernyataan 19 Agustus bahwa akan berpegang teguh pada strategi menggunakan semua jalan damai sebelum memutuskan sebuah "tindakan yang tepat" yang oleh sebagian besar orang ditafsirkan sebagai operasi militer.

Pernyataan bersama 10 Mei dan COHA 9 Desember memang bukanlah dokumen yang sempurna tetapi memadai sebagai peta jalan yang jelas dengan penerimaan Undang-Undang NAD sebagai titik tolak, disusul dengan penghentian permusuhan, dialog segenap unsur masyarakat Aceh dan akhirnya pemilihan umum 2004. Ketika format yang akurat dan jadwal dialog semua unsur Aceh itu belum diputuskan, pemilihan yang disebutkan dalam COHA adalah pemilihan umum Indonesia 2004. Hal ini sama sekali tidak bisa ditafsirkan sebagai berkaitan dengan referendum dan kemerdekaan. Faktanya ialah, komitmen fundamental Pemerintah dan GAM telah dinyatakan dalam bagian pembukaan COHA, di mana dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan GAM mempunyai sasaran obyektif yang sama memenuhi aspirasi rakyat Aceh untuk hidup dengan aman secara bermartabat, damai, sejahtera dan adil. Tetapi yang terjadi, GAM tidak berupaya mencari jalan menuju perdamaian, melainkan menjadikan perdamaian sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Padahal satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan bersama ialah dengan mematuhi naskah dan semangat COHA dan mempertahankan fokus pada tujuan bersama. Dengan menjalankan seluruh kesabaran dan flesibilitas di hadapan GAM yang "bertingkah", Pemerintah yakin bahwa telah mempertahankan sebuah pilihan moral yang tinggi. Kalau sekarang Pemerintah harus memformulasikan kembali kebijakan atas Aceh, hendaknya tetap dengan moral yang tinggi itu dan dengan itu Pemerintah bisa memilih salah satu dari dua pilihan: menjalankan operasi militer, atau mencoba lagi jalan damai. Memulai kembali proses perdamaian, untuk sebagian orang, secara politis, tampak tidak lagi menjadi pilihan yang menarik. Sedangkan di sisi lain, pandangan bahwa perdamaian harus diupayakan dengan segala cara sudah dinyatakan oleh banyak politisi terkemuka, oleh para ulama dan orang-orang Aceh pada umumnya. Dalam COHA ditetapkan batas waktu 5 bulan bagi GAM merampungkan proses melepaskan senjata. Secara teoretis ini baru akan berakhir 9 Juli mendatang, sehingga sesudah tanggal itu akan menjadi sah bagi Pemerintah bila hendak melancarkan operasi militer di Aceh. Hal inilah yang kini sedang terus dibicarakan.

Perang Kemanusiaan Ketika operasi militer akhirnya diputuskan, operasi itu mesti dipersiapkan secara berhati-hati, sehingga yang terjadi di lapangan nanti bukanlah perang dalam pengertian tradisional melainkan perang kemanusiaan yang didasarkan pada pengakuan bahwa situasi politik yang sedemikian rumit di Aceh tidak bisa semata-mata diselesaikan secara militer. Lebih dari itu, ada risiko bahwa aksi militer bisa menjadi bumerang bagi RI kalau korban sipil menjadi berlebihan. Karenanya operasi militer harus dirancang tidak saja untuk memenangkan pertempuran dan kontak senjata, tetapi terutama memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Tuntutan dewasa ini ialah, walapun operasi militer itu sah adanya, operasi itu sendiri harus sedemikian rupa sehingga menghindari

"kerusakan besar-besaran". Apabila korban sipil berjatuhan, rasa dendam baru timbul pada sebagian rakyat Aceh, dan ini hanya akan mempersulit pencapaian tujuan dari apa yang disebut sebagai "perang kemanusiaan" itu. Sesungguhnya, masyarakat Aceh sudah seharusnya mendukung operasi militer itu, setidaknya sampai tingkat tertentu, dan oleh karena itu operasi tersebut harus dijalankan dengan cara yang tidak merugikan kepentingan dan hidup mereka. Dengan kata lain, aspek kemanusiaan dari operasi militer harus menjadi pertimbangan utama. Ini berarti bahwa operasi militer tidak berjalan sendirian, melainkan diintegrasikan dengan upaya-upaya lain yang dijalankan serempak di bidang sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Di atas semuanya itu, operasi militer tersebut haruslah sesingkat mungkin. Seperti kata filosof militer Cina, Sun Tzu: "Belum ada contoh dari bangsa manapun yang memetik keuntungan dari perang yang panjang". Kasus Aceh bisa menjadi kekecualian bagi kata-kata Sun Tzu itu, bila nanti harus terjadi perang 26 tahun lagi, sebagaimana telah terjadi sebelumnya, di Aceh. (Sinar Harapan)

www.kbri-canberra.org.au/s_issues/aceh/.../articles_jalanpanjang.htm

Sejarah Konflik Aceh Berawal dari Ketidakadilan


OPINI | 15 August 2009 | 20:10 Aktual Dibaca: 8835 Komentar: 25 1 dari 1 Kompasianer menilai

Provinsi di Ujung Pulau sumatera yang akrab kita sebut sebagai Seraqmbi Mekah, sudah sejak lama menjadi seperti rumah bagi peluru dan salak senjata. semenjak beratus ratus tahun lamanya yakni semenjak abad ke 17 kekerasan kerap melanda negeri serambi mekah tersebut. saking terbiasanya dengan peperangan, maka rakyat Aceh sering menganggap perang hanyalah mainan belaka, tapi matinya sungguhan. Sejarah Aceh terdiri dari lembaran perang, dari satu kancah pertempuran ke pertempuran lainnya. Dari melawan Portugis, belanda, sampai dengan melawan saudara sebangsanya sendiri. Di mana mana kalau ada pemberontakan yang menyebabkannya tak lain dan tak bukan adalah rasa ketidak-adilan. Rasa kecewa terhadap apa yang berlaku. Dan kekecewaaan yang berkepanjangan pula inilah yang sering hingap di rakyat Aceh, mulai dari kecewa terhadap penjajahan Belanda, dfan kecewa terhadap pemerintahan Indonesia itu sendiri. Karena kecewa terhadap pemerintah iniulah yang membuat Tengku daud Beureuh bersama sebagaian rakyat Aceh, memutuskan mengangkat senjata untuk melawan pemerintah Indonesia pada 21 september 1953. Berbeda dengan pemberontakan daerah l;ain di Indonesia, yang mana cepat dapat dipadamkan, perlawanan rakyat Aceh ini bisa dibilang yang paling lama dan paling bandel. Meski pada akhirnya daud Beureuh dapat dibujuk untuk turun gunung, setelah segala tuntutannya dipenuhi, namun kekecewaan kembali hinggap di rakyat Aceh. mereka merasa sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam hanya menjadi sapi perah pusat saja. hasil bumi yang melimpah diperkirakan hanya 1 persennya saja yang sampai ke tangan rakyat Aceh. Hal inilah yang membuat Hasan Tiro dan kawan kawan kembali mengangkat senjata melalui panji-panji Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang didirikan pada tanggal 4 Desember 1974. Hal

ini membuat Aceh kembali berlumuran dengan darah. paling sedikit 50 orang tewas setiap harinya selama 30 tahun. Berbagai upaya dilakukan untuk mendamaikan Aceh, namun semuanya pupus. Kembali derap-derap sepatu dan letusan mesin perang mewarnai udara Bumi Aceh. Berbagai kekerasan yang acapkali terjadi di Bumi Aceh ini, pada akhirnya membuat alam pun menjadi murka. Tsunami melanda serambi mekah dengan korban ratusan ribu. Kejadian Tsunami ini membuka mata semua pihak yang bertikai, menyadarkan mereka bahwa alam tidak restu dibasahi oleh tetesan darah. Untuk itulah pada saat akan dilakukan rehabilitasi paska Tsunami saya berpikir, tidak mungkin kita bisa membangun Aceh dengan cepat tanpa adanya perdamian. Bagaiamana , itu bantuan kemanusiaan akan sampai kalau mereka selalu dihantui oleh desingan peluru, sampai-sampai saat mengunjungi Aceh saya harus dikawal panser dari empat penjuru. Keadaan yang tidak damai inilah yang sangat mengganngu saya dalam melakukan rehabilitasi Aceh paska Tsunami. Bagaimana itu pekerja-pekerja kemanusiaan yang masuk ke Aceh kalau tiba-tiba mereka hilang diculik, maka bisa lari semua itu pekerja kemanusiaan. dan Rakyat Aceh yang saat itu baru dilanda bencana akan terkatung katung, sementara pemerintah sendiri sangat membutuhkan bantuan dari pihak luar pada saat itu. karena dasar pemikiran itulah, maka saya langsung pergi menghadap ke presiden agar diberi mandat untuk mendamaikan Aceh. Dan menyerahkan semuanya kepada Hamid, dr. farid, dan Sofyan djalil untuk menguyrus masalah-masalah teknis. Mereka semua bekerja dengan ikhlas dan tanpa SK yang resmi. memang sempat ada yang tanyakan masalah SK itu kepada saya, dan saya bilang ke mereka, Kalau mau mendamaikan orang kenapa harus pakai SK, itu tidak ikhlas namanya mendengar itu mereka tida bisa ngomong lagi, meski pada akhirnya saya mengeluarkan SK yang saya tanda tangani sendiri, dan memang secara legal itu kurang sah, karena memang tidak ada KEPWAPRES. Tapi tak apalah demi kebaikan tidak apa-apa kita kalau kata orang jawa nyeleneh sedikit selama itu tidak melanggar hukum Tuhan. Meski dalam melakukan ini saya banyak dikritik, baik oleh parlemen, dan beberapa pejabat pemerintah tapi dengan ucapan basmallah saya tetap jalankan dan terbukti berhasil. dan mereka yang dulunya menghujat semuanya mau mengambil keuntungan. Tapi saya tidak permasalahkan hal itu, asal jangan mereka mau mengaburkan sejarah, kasihan generasi mendatang yang akan buta sejarah. Saya tidak ada maksud untuk membangga banggakan diri, bermaksud riya. Apa-pun itu sekarang kita sudah bisa melihat nilai positifnya, tak ada lagi deru mesin perang di serambi Mekah. meski di sana sini masih terdapat sedikit persoalan, semoga itu bisa diatasi oleh pemerintahan yang baru, dan saya siap membantu apabila diminta.

Transmigran Penyebab Konflik di Aceh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh mengatakan konflik di Aceh tidak akan terselesaikan dengan begitu saja, jika pemerintah (pusat) tidak mengetahui, apa yang menjadi penyebab terjadi konflik. "Penyebabnya adalah transmigrasi. Jika pemerintah tidak segera menarik para transmigran yang berasal dari berbagai daerah, konflik di Aceh tidak akan terselesaikan," kata Abdullah Puteh pada acara lokakarya dan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dan Fakultas Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung kemarin. Kerja sama tersebut berkaitan dengan rencana induk pengembangan sektor tata kota dan penataan kota di Provinsi Serambi Mekah. Selain penandatanganan MoU, juga digelar lokakarya dengan mengambil tajuk rencana pengembangan perkotaan di di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut Puteh, keberadaan para transmigran yang berasal dari Jawa, Sumatra Selatan, dan Bengkulu di tanah Aceh, berkaitan erat dengan permasalahan serta timbulnya konflik di Aceh. Keberadaan mereka dijadikan alasan oleh para aktivis bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperpanjang konflik, serta memicu perang terbuka dengan pemerintah pusat. "Untuk mencegah konflik yang berkepanjangan di Aceh, yang harus dilakukan pemerintah yakni dengan menarik keluar para transmigran yang berasal dari berbagai daerah. Karena dengan keberadaan mereka, konflik di Aceh tidak akan terselesaikan. Karena dengan keberadaan para transmigran di tanah Aceh selalu dimanfaatkan para aktivis bersenjata GAM untuk memperpanjang konflik di Aceh," katanya. Sebagai bukti adanya keterkaitan (konflik) antara para transmigran dari luar Aceh dengan para aktivis bersenjata GAM, yakni dengan sering terjadinya teror terhadap para transmigran. "Dengan adanya teror terhadap para transmigran merupakan bukti ketidaksenangan aktivis GAM terhadap keberadaan para transmigran di tanah Aceh," kata Puteh. Abdullah Puteh mengakui, program transmigrasi ke Aceh, merupakan program semasa Orde Baru. Hal itu merupakan kesalahan yang sangat mendasar serta menjadi salah satu pemicu konflik di Aceh.

sumber: Mediaindo.co.id

Tengku Hasan di Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka di tahun 1976, dengan tujuan memerdekakan Aceh dari Indonesia. Motivasi yang paling mengemuka di balik gerakan ini adalah kecewa terhadap sikap Jakarta yang sentralistis, utamanya persoalan porsi ekonomi, selain peninggalan masalah politik kesejarahan Aceh. Melalui jalan diplomasi dan militer yang panjang, Hasan Tiro kemudian menggalang ide kemerdekaan itu, tetapi mendapat jawaban militer oleh rezim Suharto.

Sempat lari ke hutan-hutan, Hasan Tiro memilih melarikan diri ke luar negeri, dan bermuara kepada permintaan suaka politik ke Swedia pada tahun 1979. Dari negara itulah, Hasan Tiro yang dilahirkan di Pidie, 25 September 1925 ini melanjutkan gagasan awalnya -- kali ini dengan bobot tekanan pada perjuangan diplomatik. Meskipun demikian, di pertengahan tahun 80-an, bekas pengusaha ini menghidupkan kembali perlawanan militer, dengan mengirimkan ratusan pemuda Aceh untuk berlatih kemiliteran di Libya. Anak-anak muda didikan militer Libya inilah yang belakangan tampil sebagai Tentara Neugara Aceh, TNA, yang kemudian disegani.

Perlawanan terbuka

Tidak sedikit warga Aceh menyambut penuh gagasan Hasan Tiro Tetapi perubahan politik Indonesia di tahun 1998, yang ditandai jatuhnya rezim Suharto, membuat ide kemerdekaan -- yang masih bersemayam di masyarakat Aceh -- mendapatkan momentum dan hidup kembali. Semula bersifat tertutup, bentuk perlawanan memerdekakan Aceh itu kemudian menjadi terbuka. Media-media di Indonesia saat itu bahkan secara gampang dapat melaporkan aktivitas militer GAM, tanpa khawatir ditekan militer. Keberhasilan kemerdekaan Timor-Timur dari Indonesia di tahun 1999, memunculkan pula tuntutan referendum di seluruh wilayah Aceh. Tuntutan ini ditolak, tetapi perlahan secara pasti sosok Hasan Tiro yang sempat "tenggelam", kemudian hidup kembali. Pada pertengahan 2002, Hasan Tiro dan petinggi GAM lainnya di pengasingan melakukan konsolidasi. Mereka membentuk kembali struktur pemerintahan GAM, dan Hasan tetap menjadi pemimpin tertinggi. Perlawanan militer pun dihidupkan kembali, walaupun tidak berarti upaya damai mereka tolak.

Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pertemuan informal di antara pimpinan kedua pihak dilakukan, tetapi gagal. Dilanjutkan oleh pemerintahan Megawati, upaya itu juga mengalami jalan buntu. Di masa Megawati ini pula, pemerintah menempuh operasi militer terbatas, sebelum status ini dicabut setahun kemudian. Dalam masa ini sejumlah juru runding GAM ditangkap. Sejarah mencatat, dalam setiap perundingan damai antara RI dan GAM, restu Hasan Tiro selalu ditunggu.

Efek Tsunami

Tetapi konflik berkepanjangan antara Indonesia dan GAM itu "berubah" setelah gempa berskala besar dan disusul tsunami meluluh-lantakkan pesisir pantai barat Aceh, di sebuah pagi, 26 Desember 2004. Lebih dari 150 ribu orang tewas akibat bencana alam ini. Dan, bencana ini rupanya mampu melunakkan para pemimpin Indonesia dan pimpinan GAM, tidak terkecuali pimpinan tertingginya Hasan Tiro. Gencatan senjata pun dilakukan, dan kedua belah pihak pun mau kembali ke meja perundingan. Kontak dengan Hasan Tiro pun dilakukan oleh Jakarta, yang ternyata tidak mudah. Dan ketika Hasan Tiro "membuka tangan", semuanya sepertinya menjadi berjalan tidak sesulit yang dibayangkan. Melalui perundingan maraton yang melibatkan Wakil Presiden Yusuf Kalla dan pimpinan pusat GAM, kesepakatan damai itu akhirnya ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Poin penting dari kesepakatan itu, antara lain Pemerintah Indonesia akan memfasilitasi pembentukan partai lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM. Empat bulan kemudian, Tentara Neugara Aceh resmi dibubarkan, dan dibentuk komite peralihan untuk membubarkan mantan tentara itu dengan warga sipil.

Pulang ke Aceh
Perubahan politik di atas, termasuk digelarnya pemilihan kepala daerah di Aceh, membuat Hasan Tiro kembali ke tanah kelahirannya pada 17 Oktober 2008, tiga tahun setelah perjanjian damai itu. Warga Aceh menyambut pemimpin mereka yang disebut sebagai "Paduka yang Mulia Wali". Ratusan ribu orang dari berbagai wilayah Aceh menjemputnya di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda hingga di pusat kota Banda Aceh. Semenjak saat itulah, Hasan Tiro menetap di Aceh, setelah lebih dari 30 tahun berstatus sebagai pelarian politik. Dan hari rabu kemarin, 2 Juni 2010, dalam keadaan sakit dan terbaring di salah-satu ruangan rumah sakit di Banda Aceh, Hasan Tiro memperoleh kembali status sebagai Warga Negara Indonesia, setelah Pemerintah Indonesia memulihkan status kewarganegaraannya.

Kalla: Konflik Tidak Terjadi Selama Tercipta Keadilan Ekonomi Medan, (Analisa). Harapan rakyat Aceh kemakmuran merata dan keadilan ekonomi, jika tidak akan sangat berbahaya. Inti perdamaian Aceh, keadilan ekonomi. Konflik tidak akan terjadi selama masih tercipta keadilan ekonomi dan pemimpin tidak ingkar janji. "Sebab inti perdamaian Aceh keadilan ekonomi", ujar mantan Wapres HM Jusuf Kalla saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Konstruksi Perdamaian Aceh di Hotel Emerald garden Medan, Sabtu (17/3). Seminar yang digelar DPP Aceh Sepakat juga menampilkan pembicara Malik Mahmud Al Haytar, Adnan Ganto (Penasehat Menhan RI Bidang Ekonomi), Ferry Mursyidan Baldan (Ketua Pansus RUU tentang Pemerintah Aceh), Irjen Pol Drs Iskandar Hasan,SH,MH (Kapolda Aceh) dan Prof Dr Bachtiar Aly,MA. Jusuf Kalla melukiskan merintis perdamaian Aceh tidak gampang bahkan menghabiskan waktu enam bulan. Sementara memelihara perdamaian membutuhkan waktu 10 tahun. Dia menyebutkan selama 66 tahun Indonesia merdeka tercatat 15 konflik besar terjadi di negeri ini. Sepuluh konflik diantaranya akibat ketidakadilan ekonomi. Ketua Umum PMI Pusat ini mengingatkan para pemimpin harus mengetahui asal-usul terjadi konflik. Seperti halnya konflik di Aceh bukan masalah agama tapi persoalan ekonomi. Sementara itu menjawab pertanyaan wartawan tentang Aceh ke depan, Kalla menyatakan

optimis terhadap Malik Mahmud Al Haytar, dan para pimpinan Aceh lainnya mampu memelihara perdamaian secara berkesinambungan. Malik Mahmud Al Haytar (mantan petinggi GAM) mengakui awal terjadinya konflik di Aceh karena ketidak adilan ekonomi terutama masa Orde Baru. "Bayangkan selama 30 tahun tanah rencong dilanda konflik berkepanjangan sangat melelahkan. Justru itu perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah harus dipelihara", pintanya pada acara yang dibuka Pj Gubsu Gatot Pujo Nugroho. Siapapun pimpinan Aceh yang terpilih dalam Pilkada mendatang harus mampu meningkatkan harkat dan martabat Aceh dengan kemakmuran dan keadilan ekonomi yang merata. Bukan hanya itu, pihak keamanan pinta Malik Mahmud harus bersungguh-sungguh menciptakan suasana aman, tenteram di tengah masyarakat sehingga terwujudnya perdamaian yang langgeng. Kapolda Aceh Irjen Pol Drs Iskandar Hasan, menyatakan Polda Aceh sebagai leading sector penyelenggara keamanan dan ketertiban masyarakat memiliki tanggungjawab besar terciptanya suasana kondusif di Aceh. Sehingga pelaksanaan Pemilukada Aceh berlangsung aman, damai, jurdil tertib, lancar dan demokratis. Menyinggung tentang kesejahteraan rakyat Aceh, menurut Iskandar memerlukan pemerataan pembangunan pendidikan dan pembangunan ekonomi yang menyentuh ekonomi kerakyatan.Ini perlu segera diwujudkan oleh pemerintah dan didukung semua komponen masyarakat. Dimensi Senada Iskandar, Adnan Ganto menyarankan pembangunan ekonomi Aceh memerlukan dimensi idealisme yang dapat merefleksikan kepedulian pada agama, pendidikan dan adat istiadat di tanah rencong. "Menjaga perdamaian, keamanan dan kenyamanan berbisnis merupakan komitmen bersama untuk membangun ekonomi Aceh yang lebih baik", katanya. Pj Gubernur Aceh, Ir Tarmizi A Karim dalam sambutannya mengatakan konsep pembangunan Aceh ke depan yakni bagaimana masyarakat dapat memberdayakan diri sendiri. "Semua kita sepakat bahwa koridor ekonomi berjalan baik, jika tidak ada persoalan di Aceh dan Sumatera Utara", ujarnya. Turut memberi sambutan Ketua Umum DPP Aceh Sepakat H Fauzi Hasballah dan Ketua panitia Masdani,SH, M Hum. (bay)

Tiga Solusi Atasi Konflik di Aceh Ada tiga solusi untuk mengatasi konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pertama, pemerintah segera berunding dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kedua, semua pasal dalam Undang-Undang (UU) NAD segera dilaksanakan. Ketiga, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menindak tegas semua pelaku kekerasan dari kelompok mana pun. Solusi itu diungkapkan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais kepada wartawan, Minggu (7/7), usai menghadiri Rembuk Kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU)-Muhammadiyah dengan tema "Peran NU dan Muhammadiyah dalam Mengawal Konsolidasi Kebangsaan" di Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Dalam acara yang diprakarsai Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jatim tersebut, selain Amien, hadir Dien Syamsuddin (Wakil Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah) dan Abdul Muchith Muzadi (Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). "Untuk mengatasi permasalahan itu, perlu segera dicari penyelesaian yang realistis. Saya mengusulkan tiga gebrakan yang perlu segera ditempuh pemerintah," tegas Amien. Amien mengaku telah berbicara dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Kamis malam, seputar perkembangan di Aceh. Menurut Amien, dirinya sepakat dengan Megawati bahwa permasalahan di provinsi tersebut merupakan hal yang serius. Khusus gebrakan kedua, Amien mengusulkan segera dilakukan pendistribusian dana pemerintah pusat ke kabupaten/kota di Aceh seperti diatur dalam Undang-Undang Provinsi NAD. "Pendistribusian uang ke kabupaten-kabupaten dan kota-kota di Aceh jangan sampai ditundatunda agar wujud konkret otonomi (khusus) tampak jelas," papar Amien. Ditanya mengenai penerapan darurat militer di Provinsi NAD, Amien menegaskan hal tersebut merupakan pilihan terakhir. Yang lebih penting adalah optimalisasi pelaksanaan tiga gebrakan tersebut terlebih dahulu oleh pemerintah. Kekerasan baru Sementara itu, aktivis rekonsiliasi konflik Ichsan Malik dan pengamat militer Dr Kusnanto Anggoro yang dihubungi Kompas secara terpisah hari Minggu menilai, rencana mengubah status Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dari tertib sipil menjadi darurat sipil, atau darurat militer, tidak akan menyelesaikan persoalan. Peningkatan status keamanan tanpa didahului peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas pada tubuh TNI dan Polri dalam menangani keamanan di Aceh malah akan menimbulkan kekerasan baru, berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Seperti diketahui, payung politik untuk mengatasi persoalan di Aceh saat ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2002 (sebelumnya telah ada dua Inpres serupa, yaitu Inpres No 4/ 2001 dan Inpres No 7/2001). Isinya menugaskan TNI/Polri untuk melaksanakan operasi pemulihan keamanan di Aceh. Evaluasi kebijakan penanganan keamanan di Aceh belakangan timbul karena Inpres tersebut akan habis masa berlakunya pada bulan Juli 2002. Selain itu, muncul pemikiran baru dari kalangan wakil rakyat supaya pemerintah lebih tegas, seperti memberlakukan keadaan darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Namun, juga berkembang pemikiran, pemberlakuan keadaan darurat akan menghentikan upaya dialog yang selama ini sudah terjalin. Dalam rekonsiliasi konflik, menurut Ichsan, penyelesaian dengan senjata tidak pernah menyelesaikan masalah. Peningkatan status di Aceh dirasakan juga belum diperlukan karena seluruh sistem sosial, ekonomi, dan pemerintahan di Aceh masih berjalan. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi Ambon, Maluku. Peningkatan status Aceh menjadi darurat sipil maupun militer, malah semakin membuat rakyat Aceh yang mengidamkan kedamaian, menjadi lebih tertekan secara

psikologis. Selain mendapat tekanan dari GAM, juga mendapat tekanan dari operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri. Karena itu, cara-cara dialog dan negosiasi juga masih merupakan cara yang lebih efektif untuk memulihkan keamanan di Aceh. Senada dengan Ichsan, Kusnanto berpendapat peningkatan status Aceh menjadi keadaan darurat sipil atau militer sebagai payung politik penanganan keamanan di Aceh bukanlah jalan keluar terbaik. Gerakan pemberontakan bersenjata di Aceh, jelasnya, memang merupakan persoalan keamanan yang harus segera ditangani. Terlebih lagi dengan mulai dikaitkannya konflik Aceh dengan kasus peledakan Gedung Graha Cijantung yang salah satu tersangka pelakunya adalah asal Aceh. Namun, bukan berarti hal tersebut harus dihadapi dengan kekuatan senjata semata. Kebijakan komprehensif Yang jauh lebih penting dari sekadar meningkatkan status keamanan di Aceh, kata Kusnanto, membuat kebijakan penanganan keamanan di Aceh yang lebih komprehensif. Dirasakan, kebijakan operasi militer yang selama ini berjalan masih terpisah dengan kebijakan-kebijakan lain seperti perundingan di Geneva (Swiss) atau penerapan Otonomi Daerah NAD. Di pihak lain, perlu adanya peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas TNI dan Polri. Salah satu kelemahan TNI dan Polri dalam penanganan keamanan di Aceh, jelasnya, adalah lemahnya kemampuan intelijen, khususnya strategi kontra-intelijen (counter intelligence strategy). Hal tersebut yang membuat TNI dan Polri tidak mampu mendeteksi keberadaan GAM dengan cepat, dan kalaupun melakukan penumpasan dengan sistem main pukul rata. "Sekarang ini, pasukan TNI/ Polri itu seperti pasukan Belanda melawan pejuang gerilya. Kalau menangkap satu orang saja harus bakar satu kampung," ucapnya. Akuntabilitas TNI dan Polri juga masih banyak dipertanyakan dengan tidak pernah terselesaikannya proses hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan TNI dan Polri di Aceh. Menurut Kusnanto, tanpa hal itu dibenahi terlebih dulu, payung politik malah akan mendorong TNI dan Polri untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM yang baru

sumber: Kompas.com

Tiga Solusi Atasi Konflik di Aceh Ada tiga solusi untuk mengatasi konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pertama, pemerintah segera berunding dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kedua, semua pasal dalam Undang-Undang (UU) NAD segera dilaksanakan. Ketiga, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menindak tegas semua pelaku kekerasan dari kelompok mana pun. Solusi itu diungkapkan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais kepada wartawan, Minggu (7/7), usai menghadiri Rembuk Kebangsaan Nahdlatul Ulama (NU)-Muhammadiyah dengan tema "Peran NU dan Muhammadiyah dalam Mengawal Konsolidasi Kebangsaan" di Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Dalam acara yang diprakarsai Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jatim tersebut, selain Amien, hadir Dien Syamsuddin (Wakil Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah) dan Abdul Muchith Muzadi (Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). "Untuk mengatasi permasalahan itu, perlu segera dicari

penyelesaian yang realistis. Saya mengusulkan tiga gebrakan yang perlu segera ditempuh pemerintah," tegas Amien. Amien mengaku telah berbicara dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Kamis malam, seputar perkembangan di Aceh. Menurut Amien, dirinya sepakat dengan Megawati bahwa permasalahan di provinsi tersebut merupakan hal yang serius. Khusus gebrakan kedua, Amien mengusulkan segera dilakukan pendistribusian dana pemerintah pusat ke kabupaten/kota di Aceh seperti diatur dalam Undang-Undang Provinsi NAD. "Pendistribusian uang ke kabupaten-kabupaten dan kota-kota di Aceh jangan sampai ditundatunda agar wujud konkret otonomi (khusus) tampak jelas," papar Amien. Ditanya mengenai penerapan darurat militer di Provinsi NAD, Amien menegaskan hal tersebut merupakan pilihan terakhir. Yang lebih penting adalah optimalisasi pelaksanaan tiga gebrakan tersebut terlebih dahulu oleh pemerintah. Kekerasan baru Sementara itu, aktivis rekonsiliasi konflik Ichsan Malik dan pengamat militer Dr Kusnanto Anggoro yang dihubungi Kompas secara terpisah hari Minggu menilai, rencana mengubah status Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dari tertib sipil menjadi darurat sipil, atau darurat militer, tidak akan menyelesaikan persoalan. Peningkatan status keamanan tanpa didahului peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas pada tubuh TNI dan Polri dalam menangani keamanan di Aceh malah akan menimbulkan kekerasan baru, berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Seperti diketahui, payung politik untuk mengatasi persoalan di Aceh saat ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2002 (sebelumnya telah ada dua Inpres serupa, yaitu Inpres No 4/ 2001 dan Inpres No 7/2001). Isinya menugaskan TNI/Polri untuk melaksanakan operasi pemulihan keamanan di Aceh. Evaluasi kebijakan penanganan keamanan di Aceh belakangan timbul karena Inpres tersebut akan habis masa berlakunya pada bulan Juli 2002. Selain itu, muncul pemikiran baru dari kalangan wakil rakyat supaya pemerintah lebih tegas, seperti memberlakukan keadaan darurat sipil atau darurat militer di Aceh. Namun, juga berkembang pemikiran, pemberlakuan keadaan darurat akan menghentikan upaya dialog yang selama ini sudah terjalin. Dalam rekonsiliasi konflik, menurut Ichsan, penyelesaian dengan senjata tidak pernah menyelesaikan masalah. Peningkatan status di Aceh dirasakan juga belum diperlukan karena seluruh sistem sosial, ekonomi, dan pemerintahan di Aceh masih berjalan. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi Ambon, Maluku. Peningkatan status Aceh menjadi darurat sipil maupun militer, malah semakin membuat rakyat Aceh yang mengidamkan kedamaian, menjadi lebih tertekan secara psikologis. Selain mendapat tekanan dari GAM, juga mendapat tekanan dari operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri. Karena itu, cara-cara dialog dan negosiasi juga masih merupakan cara yang lebih efektif untuk memulihkan keamanan di Aceh. Senada dengan Ichsan, Kusnanto berpendapat peningkatan status Aceh menjadi keadaan darurat sipil atau militer sebagai payung politik penanganan keamanan di Aceh bukanlah jalan keluar terbaik. Gerakan pemberontakan bersenjata di Aceh, jelasnya, memang merupakan persoalan keamanan yang harus segera ditangani. Terlebih lagi dengan mulai dikaitkannya konflik Aceh dengan kasus peledakan Gedung Graha Cijantung yang salah satu tersangka pelakunya adalah asal Aceh. Namun, bukan berarti hal tersebut harus dihadapi dengan kekuatan senjata semata. Kebijakan komprehensif Yang jauh lebih penting dari sekadar meningkatkan status keamanan di Aceh, kata Kusnanto, membuat kebijakan penanganan keamanan di Aceh yang lebih komprehensif. Dirasakan, kebijakan operasi militer yang selama ini berjalan masih terpisah dengan kebijakan-kebijakan lain seperti perundingan di Geneva (Swiss) atau penerapan Otonomi Daerah NAD. Di pihak

lain, perlu adanya peningkatan profesionalisme dan akuntabilitas TNI dan Polri. Salah satu kelemahan TNI dan Polri dalam penanganan keamanan di Aceh, jelasnya, adalah lemahnya kemampuan intelijen, khususnya strategi kontra-intelijen (counter intelligence strategy). Hal tersebut yang membuat TNI dan Polri tidak mampu mendeteksi keberadaan GAM dengan cepat, dan kalaupun melakukan penumpasan dengan sistem main pukul rata. "Sekarang ini, pasukan TNI/ Polri itu seperti pasukan Belanda melawan pejuang gerilya. Kalau menangkap satu orang saja harus bakar satu kampung," ucapnya. Akuntabilitas TNI dan Polri juga masih banyak dipertanyakan dengan tidak pernah terselesaikannya proses hukum berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan TNI dan Polri di Aceh. Menurut Kusnanto, tanpa hal itu dibenahi terlebih dulu, payung politik malah akan mendorong TNI dan Polri untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM yang baru

sumber: Kompas.com

ACEH MERDEKA
Luthfi Kamil* Referendum telah menjadi kesepakatan bulat rakyat Aceh. Demikian halnya, negara kesatuan RI, yang didalamnya termasuk Aceh sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Satu sisi hampir sebagian penduduk Indonesia mengkhawatirkan Aceh lepas dari Indonesia, disisi lain sebagian kelompok di Aceh sendiri berusaha untuk mewujudkan Aceh merdeka. Benarkah masyarakat Aceh secara keseluruhan menginginkan dirinya merdeka secara de jure dari republik Indonesia atau itu hanya sekedar luapan dari perasaan ketidakadilan yang mereka terima selama ini? Sekilas sejarah Aceh Aceh adalah satu dari propinsi Indonesia yang memiliki sejarah panjang. Masyarakatnya multietnis yang tiap daerahnya memilik tradisi dan bahasa masing-masing. Namun begitu, ditengah perbedaan ini jarang terjadi konflik satu sama lain. Bahkan bisa dibilang diantara mereka sangat solid dan saling menghargai. Karena itu sangat wajar jika kita temukan adanya keterikatan psikologis yang kuat dalam kehidupan sosial masyarakat disana. Dan salah satu penopang hubungan sosial yang kuat ini berasal dari hirarki struktural (tradisional), yang didalamnya terdapat bentuk sentralisasi kepemimpinan yakni antara Teuku dan Teungku. Teungku adalah gelar yang diberikan (masyarakat) atas keberhasilannya melewati bentuk pendidikan khas disana. Tradisi ini ada kemiripan apa yang disebut sebagai Ayatullah di Iran. Seorang yang akan meraih gelar harus melewati berbagai pendidikan, dan tiap tingkatan

mendapatkan gelar tersendiri sebelum sampai pada maqam Teungku. Sedangkan Teuku adalah para bangsawan yang bersifat turun temurun. Selama ini Teungku lebih identik seorang Ulama yang memiliki kedekatan dengan masyarakat, karena mereka memiliki sifat yang kharismatik bagi masyarakat awam selain pengakuan pendidikan dimata masyarakatnya selama ini. Sedangkan posisi Teuku sendiri dalam perkembangannya memiliki makna yang negatif ditengah pemahaman masyarakat. Sebab selama penjajahan kolonial, teuku yang lebih banyak memfungsikan dirinya sebagai saudagar (borjuis), memiliki keterikatan erat dengan pihak penjajah. Bagi orang Aceh mereka adalah pengkhianat. Oleh sebab itu, sekarang ini ada kecenderungan bagi para keturunan teuku merasa tertutup untuk menunjukkan identitas dirinya. Selama masa tradisional inilah posisi penting pengatur masyarakat dipegang para teungku. Tatanan struktural tradisonal saat itu sangat terpusat pada kharisma seorang teungku sehingga terjadi ikatan yang sangat emosional secara timbal balik dengan masyarakat. Tentu kita tidak lupa terhadap perang Aceh melawan Belanda,dimana kegigihan dan kesolidannya sangat terlihat. Dan selain itu, seorang pemimpin begitu strategis posisinya dimata masyarakat Aceh dan para teungku waktu itu yang menggerakkan mereka. Kegigihan rakyat Aceh selama proses kemerdekaan dalam melawan Belanda tidak dapat diragukan lagi. Tentu banyak jasa yang tidak bisa dibalas, lebih-lebih ketika rakyat Aceh membantu Indonesia dizaman Soekarno. Ketika itu Belanda dan Inggris mendarat kembali karena tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dalam keadaan terdesak, saat itu masyarakat Aceh menyumbangkan hartanya pada Indonesia sehingga terbeli dua pesawat terbang untuk membantu mengusir penjajah. Dalam sebuah perjanjian sebelumnya, kompensasi dari bantuan rakyat Aceh sendiri oleh Sukarno akan dibalas dengan kemerdekaan Aceh. Namun perjanjian itu sendiri akhirnya "dikhianati" Soekarno, sehingga membuat marah pemimpin Aceh waktu itu yakni Daud Beureh. Kekecewaan ini akhirnya menimbulkan sebuah "pemberontakan" meskipun akhirnya dicapai kompromi bahwa Aceh dijadikan sebagai daerah Istimewa. Namun terlepas dari status tersebut, sebagian masyarakat Aceh sendiri memendam perasaan dikhianati yang tidak mudah dihapus. Yang terakumulasi hingga sekarang. Benih "Merdeka" Zaman berubah, dan begitu pula nasib rakyat Aceh dimasa Orba. Pada masa orba terjadi pemusatan pembangunan besar-besaran. Konsep developmentalisme dalam ekonomi menjadi jargon utama dimana dalam tahapan-tahapan yang hirarkis akan tercapai kemakmuran. Begitu pula yang terjadi di Aceh. Selama masa Orba terjadi dua hal penting yang mempengaruhi tatanan masyarakat Aceh yakni yang pertama terjadinya proses birokratisasi yang menggeser tatanan struktural tradisonal sebelumnya, dan yang kedua terjadinya ketimpangan dalam proses pembangunan dalam kaitannya dengan proses tradisonal menuju modernisasi. Kedua hal ini tentunya memiliki keterikatan satu sama lain. Sejak adanya penempatan para birokrat-birokrat pemerintahan, mulai terjadi gesekan dimana para pamong-pamong termasuk didalamnya teungku yang selama ini menjadi elit masyarakat mulai terdesak fungsinya. Namun rakyat Aceh sendiri masih mempercayakan kepada tatanan tradisional (para teungku) seperti yang sebelumnya berjalan. Akhirnya terjadi kristalisasi situasional, dimana satu sisi birokrat pemerintahan tidak menyentuh fungsinya secara optimal di masyarakat luas dan disisi lain muncul polarisasi yang memecah hubungan sosial dalam legitimasi struktural. Sedangkan dalam sebuah negara,

regional, ataupun lingkup etnis hubungan timbal balik ini sangat penting sebab akan memiliki implikasi luas bagi hubungan daerah-pusat, khususnya bagi system sentral seperti Indonesia. Sejak terjadinya pembangunan di wilayah Aceh, tentunya secara tidak sadar terjadi proses modernisasi. Namun sayangnya, perbedaan yang menyolok didalam proses transformasi dari tradisonal ke modern tidak dapat disikapi dengan baik oleh pemerintah pusat. Sejak awal, pembangunan-pembangunan yang dilakukan di Aceh terlihat sangat eksklusif sifatnya. Hal ini dapat ditemukan adanya wilayah khusus industrial dimana-mana. Daerah ini diciptakan bagi para pendatang yang bekerja bagi perusahaan tersebut dan dibangun segala macam sarana yang "lebih modern" disekitarnya. Yang tragis adalah wilayah ini dibatasi dengan "pagar-pagar" yang hanya menghalangi proses sosialisasi antara penduduk asli-pendatang, yang secara bersamaan semakin meningkatkan kecemburuan sosial yang menyolok dimasyarakat. Proses ini cukup lama terjadi dan selama itu pemerintah pusat tetap menjalankan kebijakannya yang mengabaikan munculnya reaksi psikologis historis-kultural dan tetap bertahan pada pembangunan fisik semata. Kecemburuan sosial ini akhirnya melahirkan adanya ranjau-ranjau yang mengancam keutuhan masyarakat. Dari lapisan masyarakat, akhirnya tumbuh kelompok-kelompok kecil yang reaktif melihat situasi ini dan sekaligus memanfaatkannya. Mereka pada hakekatnya berangkat dari fenomena ketimpangan sosial murni, sehingga terjadi kejahatan-kejahatan di pusat-pusat wilayah industrial. Namun karena banyak faktor yang mendorong terjadinya diskomunikasi antara rakyat Aceh dengan pemerintah pusat, dan juga kebijakan berat sebelah yang juga mendapatkan respons yang sebaliknya, maka akhirnya terjadi kebijakan yang menggunakan pendekatan militeris (dan kita ketahui Orba identik dengan kekuasaan Militer) dalam penyelesaian masalah ini. Alasan penurunan militer sendiri untuk menghadapi para GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) yang sebenarnya merupakan kelompok kecil pengacau. Dan kemungkinan besar, istilah GPK sendiri dimunculkan untuk mengangkat legitimasi sejarah " pemberontakan" rakyat Aceh di zaman Soekarno sehingga mendapatkan pembenaran. DOM dan Kekejamannya Masuknya tentara ke wilayah Aceh dinamakan operasi Militer. DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh ini akhirnya semakin menimbulkan dampak yang luarbiasa, ketika para tentara menggunakan operasi kekerasan terselubung atas nama menumpas GAM (Gerakan Aceh Merdeka). GAM sendiri sangat kontroversial sejarahnya dan tidak ada korelasi yang jelas dengan rakyat Aceh secara keseluruhan. Bisa jadi itu rumor yang diada-adakan pihak militer namun pada kelanjutannya malah memberikan legitimasi secara tidak langsung pada sekelompok orang yang memiliki obsesi untuk memaksa kepentingannya sendiri. Dalam operasi-operasi yang dilakukan tentara, terjadi brutalitas yang ditimpakan kepada masyarakat sipil. Pemerkosaan, pelecehan seksual, pembunuhan, perampokan dan pemaksaan-pemaksaan selalu terjadi setiap saat. Masyarakat mendapat teror psikologis yang menciptakan situasi saling curiga mencurigai. Ditemukannya tulang-tulang yang berserakan kemudian hari semakin membuktikan kejahatan tentara tidak bisa dibalas dengan kompensasi apapun. Pemerkosaan yang disaksikan oleh suami dan anak-anaknya sendiri seperti yang terdapat diberita-berita dan janda-janda yang menangisi suaminya menjadi kenyataan bagi kita bahwa kemanusiaan kita dicoreng didepan mata telanjang. HAM yang selama ini didengungkan dimana-mana menjadi bahasa pengantar seminar semata, sedangkan pada saat yang sama dibelahan daerah lainnya kejahatan terhadap HAM terjadi setiap

saat. Kini nurani mereka meminta pertanggungjawaban atas ketidakadilan yang ditimpakan mereka selama ini, inilah kemerdekaan bagi dirinya. Kemerdekaan yang bisa mengembalikan hak asasi mereka dan pengakuan martabat kemanusiaan yang selama ini diinjak-injak. Sekilas Data kekejaman tentara selama DOM: *Korban tewas: 30000 orang, sekitar 3000 jadi Janda (Al-Chaidir dkk, Aceh Bersimbah Darah,1998). *Sebanyak 16000 Anak Yatim dan 2470 orang hilang juga 375 orang cacat seumur hidup ( Waspada; 10.12, 9.08 1998, 18.2 1999 ) *2,7 % orang mati tiap hari (kekerasan terhadap perempuan) (Detik, 22.11 1999). Bentuk-bentuk pelanggaran HAM selama DOM bermacam-macam motifnya, antara lain: Penyiksaan dan Pembunuhan, Pemerkosaan, Pelecehan Seksual, Penemuan adanya Kuburan Massal, Pemerasan, Penjarahan dan Pembakaran. Mencari Solusi Sejak Suharto lengser keprabon, suara keadilan bagi rakyat Aceh semakin keras terdengar. Memang peristiwa ini merupakan multikomplek permasalahan yang ditopang baik secara historis, psikologis maupun sosiologis. Untuk itu, bagi penguasa baru dalam menyikapi permasalahan ini seringkali terjebak pada alasan pembalikan bukti historis dan berusaha melepaskan tanggungjawabnya dari apa yang pernah terjadi. Untuk itu dengan logika demikian, maka sangat wajar jika rakyat Aceh berusaha ingin melepaskan dirinya dari Indonesia. Pada masa Habibie, tuntutan rakyat Aceh sendiri kurang mendapat tanggapan serius. Bahkan apa yang dijanjikan pemerintah waktu itu, khususnya melalui sektor pendidikan tidak terealisasikan. Akumulasi perasaan rakyat Aceh dengan tanggapan ini semakin menguatkan pada kesepakatan untuk lepas dari Indonesia. Merasa bahwa jalur resmi tidak memungkinkan, maka masyarakat Aceh akhirnya menggunakan pendekatan para pemimpin non-birokratis semacam Amien Rais dan Gus Dur. Sehingga, suatu hari terjadilah apa yang selama ini diharapkan mereka, yakni membuka tirai Referendum bagi Aceh merdeka. Kini, Gus Dur, yang membuka tirai Referendum bagi rakyat Aceh waktu itu, telah menjadi presiden. Namun demikian, toh untuk melepas dengan mudah Aceh dari Indonesia tentu bukan perkara gampang. Karena itu, sejauh ini dalam mencari solusi permasalahan Aceh, bisa dikatakan dia menggunakan dua pendekatan, secara Internal dan Internasional. Secara Internal difokuskan pada penanganan dalam negeri, dimana elit-elit politik melakukan usaha kompromi dalam mencari celah solusi. Dan secara Internasional dilakukan Gus Dur sendiri, bersamaan dengan lawatannya ke berbagai negara. Mungkin orang bisa melihat hasil pengaruh dari pendekatan Internasional, dimana Amerika mendukung kesatuan negara Indonesia. Kemudian dilanjutkan pada pendekatan negara-negara Asia dan Timur Tengah. Tentu logis jika salah satu tujuan pendekatan ini adalah membendung dari kekuatan luar jika nantinya ikut campur menggiring GAM dan mungkin rakyat Aceh (demi kepentingan politik mereka) untuk membantu kemerdekaan Aceh. Dengan langkah-langkah strategis ini, tentunya saat ini Aceh sendiri tidak

memiliki kekuatan proses pengakuan dalam konteks Internasional. Namun demikian, pendekatan Internal sendiri mengalami kebuntuan. Dari setiap elit politik yang kesana tidak dapat mencapai kata kesepakatan. Dalam kenyataannya, perjuangan rakyat Aceh sendiri mendapat simpati yang minimal di dalam negeri. Ada beberapa alasan yang mungkin mendasari akan rendahnya interest masyarakat Indonesia dalam menanggapi perjuangan rakyat Aceh. Pertama, ada sebuah bentuk ikatan pemikiran Orba yang sampai sekarang masih melekat ditengah masyarakat bahwa Aceh lepas karena ingin mendirikan negara Islam ( Seperti yang didengungkan GAM). Dan selama ini gambaran tentang negara Islam sendiri sangat buruk-terlepas dari pembahasan empiris maupun teoritis yang bersifat kontroversial. Yang kedua, ada pengaruh trauma terhadap apa yang terjadi dengan Timor-Timur belum lama ini. Untuk itu, tidak sedikit analisis para tokoh yang menyimpulkan bahwa lepasnya Aceh sama dengan menggulirkan proses disintegrasi bangsa Indonesia secara keseluruhan terlepas dari sisi historis eksistensi Aceh bagi Indonesia selama ini. Dan pada ujung-ujungnya gambaran Indonesia sebagai Yugoslavia kedua semakin menguat jika ini terjadi. Dan belum lama ini sudah terjadi di Irian Jaya pendirian bendera yang disaksikan ribuan rakyat Irian. Tentu situasi ini memberikan implikasi khusus bagi masyarakat Indonesia sehingga mengabaikan faktor-faktor khusus penyebab sebenarmya dari tuntutan rakyat Aceh. Situasi demikian memiliki dorongan positif bagi pemerintah dan sebaliknya semakin memojokkan rakyat Aceh, yang tentunya bisa berakibatkan pada dua arah antara cooling down secara psikologis bagi tawaran rakyat Aceh atau malah menimbulkan antagonisme yang semakin menguatkan perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah. Lalu apa solusinya? Aceh "Merdeka" Seperti yang diakui sendiri oleh Gus Dur bahwa kelompok yang memiliki massa adalah teungkuteungku dayah (dayah=pesantren). Ketika pertama kali, kata referendum digulirkan oleh Mahasiswa, tidak semua sepakat khususnya GAM terhadap kata tersebut. Namun semenjak kata ini menjadi kesepakatan para teungku, masyarakat awam, Mahasiswa, LSM-LSM dan terakhir GAM secara sepihak, maka semakin jelas munculnya kesepakatan bersama, meskipun pada saat yang sama semakin mengkhaburkan batas sebenarnya dari kepentingan murni antar kelompok dan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Sebab bukan tidak mungkin GAM sendiri yang muncul bermacam-macam, memiliki kepentingan yang berbeda dan memanfaatkan situasi. Untuk itu, meskipun kata referendum menjadi kebulatan semua lapisan golongan di Aceh, namun ada satu keyakinan bahwa tidak semua rakyat Aceh ingin lepas dari wilayah Indonesia. Keyakinan ini tentunya dilandaskan pada beberapa argumen, yakni adanya ketidakpastian bagi sebuah perubahan di Aceh jika merdeka. Karena secara politik Internasional tidak mendapatkan dukungan yang luas dan juga ada kecenderungan kuat terjadinya konflik antar kelompok untuk memperebutkan kekuasaan disana pasca kemerdekaan. Selain itu, argumen ini diperkuat adanya keraguan bahwa tiap rakyat Aceh sendiri belum tentu mengerti akan apa yang menjadi tuntutannya yakni referendum untuk Aceh merdeka. Sebab luapan psikologis lebih banyak mengikat secara emosional dalam menelurkan gagasan Aceh Merdeka daripada sebuah pemahaman yang tampak rasional. Saat ini birokrasi pemerintahan, MUI dan semua unsur masyarakat telah larut dalam kata referendum. Namun begitu, akutnya permasalahan Aceh ternyata tidak membuat presiden kita

mencari kompromi yang real secepatnya dengan rakyat Aceh. Sedangkan pada saat ini, anakanak di Aceh tidak mendapatkan pendidikan normal karena gedung-gedung sekolahan dibakar oleh kelompok orang yang tidak bertanggungjawab, terjadinya eksodus besar-besaran, fungsi keamanan lumpuh total, terjadinya kejahatan-kejahatan, beredarnya rumor-rumor yang menggelisahkan dll. Apakah memang situasi ini dibiarkan untuk menjadi satu alternatif lain sehingga masyarakat Aceh menyerah terhadap kesepakatan referendum? Tentu masih jadi pertanyaan. Memang sayang ,selama ini hakekat dari keinginan masyarakat Aceh untuk merdeka tidak pernah disikapi secara kooperatif melainkan sebaliknya konfrontatif. Pernyataanpernyataan dari pejabat militer, salah satunya ide tentang darurat militer merupakan satu bentuk ketidakpedulian dalam menyikapi tuntutan rakyat Aceh. Makna dari hati nurani kata Aceh Merdeka sendiri sebetulnya toh bisa dijawab dengan memberikan kepastian yang memuaskan secara psikologis. Sebab kata merdeka secara filosofis memiliki makna psikologis yakni merdeka dari rasa ketakutan, rasa keadilan, keinginan untuk memulihkan semua hal yang pernah menjadi mimpi buruknya, santunan bagi janda-janda yang ditinggal suaminya, pengembalian atas hakhak mereka, proses hukum yang transparan terhadap kejahatan tentara selama DOM dan jawaban-jawaban langsung yang direalisasikan berlandaskan kemauan yang kuat. Mereka tentu satu bagian dari diri kita dan tentunya keliru jika kita meletakkan mereka sebagai komoditas politik sehingga menyisakan gambaran vis a vis secara berlawanan. Permasalahan Aceh memang benih dari sebuah permasalahan nasionalisme dan etnis. Dengan wilayah multietnis dan budaya maka sangat mungkin proses disintegrasi di Indonesia sangat rentan terjadi jika bangsa Indonesia tidak disatukan dalam toleransi real dalam pluralisme serta iklim demokratisasi yang memberikan perhatian kepada minoritas sekaligus penye-imbangan pembangunan daerah-pusat. Benih demokrasi yang mulai berkembang saat ini di era Reformasi tentu tidak diharapkan surut. Untuk itu, permasalahan Aceh bisa jadi memberikan peluang bagi munculnya diktator baru (militeris) jika permasalahan etnis dan bentuk-bentuk komunalisme dari ikatan kultur atau kelompok agama tidak disikapi secepatnya dengan arif. Dan jika itu terjadi, sebuah kegagalan harus dibayar mahal bagi seluruh rakyat Indonesia dan generasi mendatang. Wallahua'lam. * Student TFH Berlin Jurusan Tekhnologi Pangan.

HomePolitikNasional

Berita Terkait

Gubernur NAD Serahkan "Kursi Perdamaian" ke Presiden Presiden Minta Semua Pihak Jaga Perdamaian Aceh Kalla Tak Mau Ada MoU Helsinki Berikutnya Mahasiswa Demo Peringatan Lima Tahun Damai Aceh Warga Aceh Gelar Doa Bersama Peringati Lima Tahun Perdamaian

Topik

Konflik Aceh[tempobr]212 Gerakan Aceh Merdeka

Infografis

Perang Klaim Juru Damai Aceh


Kamis, 24 Februari 2005 | 20:07 WIB

Presiden: Otonomi Khusus Solusi Final Konflik Aceh


Besar Kecil Normal

TEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan kembali sikap pemerintah soal opsi bagi penyelesaian konflik di Nanggroe Aceh Darussaalam. "Sudah jelas solusi final untuk Aceh adalah otonomi khusus. Dan saya memberikan kesempatan untuk itu," kata Presiden kepada wartawan, yang ditemui usai menerima dua wartawan Metro TV yang sempat diculik kelompok bersenjata di Irak, Meutya Hafid dan Budiyanto, di Istana Negara, jakarta, Kamis (24/2). Presiden juga yakin, dunia luar mendukung Aceh tetap tetap menjadi bagian dari Indonesia. "Dunia pun tidak ada yang mendukung lepasnya Aceh dari Indonesia," kata Presiden. Menurut Presiden, pertemuan di Helsinki yang berlangsung kali ini adalah pertemuan informal kedua. Pertama, kata Presiden, Indonesia bersedia melanjutkan pertemuan informal itu apabila agendanya jelas, yaitu pengakhiran konflik, berdasarkan otonomi khusus dan hal-hal lain yang berkaitan dengan itu. Kedua, kata Presiden, pemerintah bersedia meneruskan

perundingan apabila pihak Gerakan Aceh Merdeka menaati agenda yang telah ditetapkan bersama. "Awalnya memang alot. Ini terjadi dimanapun juga. Tidak bisa sekali pertemuan menghasilkan sesuatu yang diharapkan," tambahnya. Pihaknya mendapat laporan terus menerus bahwa perkembangannya makin positif. Dalam arti, sudah membahas lebih serius makna otonomi khusus, pengakhiran konflik, amnesti dan bagaimana mereka dapat hidup kembali sesuai hak-hak yang dimiliki. "Saya terus terang ingin betul konflik Aceh yang berlangsung 29 tahun ini bisa segera diakhiri," tandasnya. Abdul Manan

You might also like