You are on page 1of 26

Batas umur yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan lebih berorientansi pada segi kesehatan, segi fisiologis, daripada

segi yang lain

beberapa faktor yang berkaitan dengan segi fisiologis ini, yaitu halhal yang berkaitan dengan masalah kesehatan pada umumnya; kedua kemampuan untuk memberikan keturunan dan ketiga kemampuan mengadakan hubungan seksual secara wajar.

Walaupun tidak secara eksplisit masalah kesehatan, khususnya kesehatan fisiologis ini dinyatakan dalam Undang-Undang Perkawinan, namun yang baik perlu diperhitungkan tentang soal kesehatan ini.

Faktor-faktor dalam perkawinan : kesehatan pada umumnya, kemampuan mengadakan hubungan seksual. Faktor ini menjadi penting untuk dipahami pasangan suami isterim karena salah satu tujuan perkawinan adalah menjalankan fungsi regenerasi (meneruskan keturunan keluarga). Pemahaman kondisi masingmasing akan memudahkan proses adaptasi dalam hal pemenuhan kebutuhan ini.

Kehadiran seorang anak dalam sebuah pernikahan merupakan salah satu motivator seseorang untuk menikah. Bahkan dapat dikatakan kebahagiaan suatu pernikahan baru dapat terwujud manakala ada celoteh anak-anak yang hadir meramaikan kehidupan rumah tangga (Muskibin, 2005).

Dalam perkawinan, pasangan pada umumnya menghendaki untuk memperoleh keturunan. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Dengan demikian dalam perkawinan salah satu sasaran yang ingin dicapai adalah mendapatkan keturunan tersebut.

Seperti dikemukan oleh Hannah dan Stone (1968) dalam hal keturunan sebagai berikut:
Biological, again the object of marriage is not

legalize a sexual union, but rather to insure the survival of the species and of the race. From this point of view, marriageis not mearely a sexual relationship, but parental association. It is the union of a male and female for the production and care of offspring, and reproduction is therefore another fundamental object of marriage.

Continue . . . .
Namun, menurut catatan Fertilityfact (2007), sebuah website yang khusus membahas mengenai fertilitas, menyatakan bahwa setidaknya ada 90 juta pasangan di dunia yang sedang berusaha untuk memiliki anak. Bahkan karena sulitnya memiliki anak tersebut, dapat menimbulkan stres yang mendalam pada pasangan-pasangan tersebut (Fatia, 2005).

Ketidakmampuan untuk memiliki anak akan mengakibatkan beban emosional yang besar pada pasangan yang mengalami keadaan infertil. (Beckmann, et. al., 2002). Seringkali terjadi bila suami istri tidak kunjung memiliki anak, yang muncul kemudian adalah konflik-konflik rumah tangga berkepanjangan. Bermula dari rasa saling curiga hingga berujung pada pertengkaran-pertengkaran tentang siapa yang bersalah. Konflik-konflik ini sangat mungkin terjadi bagi mereka yang menjadikan anak sebagai tujuan utama pernikahan.

Dari undang-undang perkawinan dapat dilihat bahwa masalah keturunan ini juga mendapatkan perhatian yang cukup kuat, dan hal ini dapat dilihat pada Bab I pasal 4 ayat 2 yang memungkinkan suami beristeri lebih dari seorang bila ternyata isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Dari hal yang diuraikan diatas dapatlah dikemukakan bahwa masalah keturunan merupakan hal yang dapat menjadi sumber masalah dalam kehidupan perkawinan, yang kadang-kadang bila tidak dapat dimengerti oleh kedua belah pihak dapat berakibat cukup fatal.

Sehubungan dengan masalah keturunan ini, perkawinan diantara keluarga dekat pada umumnya kurang disarankan, karena pada umunya hal tersebut kurang menguntungkan.

You might also like