You are on page 1of 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Apotek Pengertian apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1332/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetik. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1332/MenKes/Per/X/2002 Bab IV pasal 6 untuk mendapatkan ijin apotek, Apoteker yang bekerjasama dengan sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perbekalan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Persyaratan didirikannya sebuah apotek antara lain: 1. Lokasi dan Tempat Jarak minimum antar apotek tidak dipersyaratkan, namun sebaiknya dipertimbangkan segi pemerataan dan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk,
3

jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, hygiene lingkungan dan faktorfaktor lainnya. 2. Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) NPWP yang diperoleh harus memiliki SIUP dan untuk memperoleh SIUP harus memiliki HO terlebih dahulu. 3. Bangunan Apotek Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan dan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Bangunan apotek sekurang-kurangnya memiliki ruang khusus untuk ruang tunggu, ruang peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi dan kamar meja Apoteker, ruang tempat pencucian alat dan toilet. Kelengkapan bangunan calon apotek meliputi: sumber air harus memenuhi persyaratan kesehatan, penerangan harus cukup terang sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi apotek, alat pemadam kebakaran harus berfungsi dengan baik sekurang-

kurangnya dua buah, ventilasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya, papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam di atas dasar putih, tinggi huruf minimal 5 cm dan tebal 5 cm. 4. Perlengkapan Apotek, meliputi: a) Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan; b) Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi (timbangan, lemari obat dan lemari pendingin), wadah pengemas dan pembungkus; c) Perlengkapan administrasi (surat pesanan, kartu stok obat, copy resep, faktur dan nota penjualan, surat pesanan narkotika, psikotropika dan formulir laporan narkotika dan psikotropika); d) Buku standard Farmakope Indonesia edisi terbaru dan kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek serta buku-buku lain yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan; e) Tempat penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika (Anonim, 2002).

Pengelolaan apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan oleh seorang Apoteker untuk tugas dan fungsi pelayanan apotek. Pengelolaan apotek dapat dibedakan atas pengelolaan teknis dan pengelolaan non teknis farmasi yang meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia, kegiatan di bidang material (arus barang) dan bidang lain yang berhubungan dengan fungsi apotek (Anonim, 1993). Adapun tugas dan fungsi apotek antara lain adalah sebagai berikut : a) Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucap sumpah jabatan; b) Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat; c) Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata; d) Sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya (Syamsuni, 2006). 2.2. Tenaga Kefarmasian dan Kompetensinya Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang dimaksud Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Tenaga Kefarmasian melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada : a) Fasilitas produksi sediaan farmasi berupa industri farmasi obat, industri OT, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan tenaga kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu. b) Fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan melalui Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi sediaan farmasi dan alat kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota; dan/atau c) Fasilitas pelayanan kefarmasian melalui praktek di apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama (Anonim, 2009).

2.2.1. Apoteker Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah memiliki SIK atau SP oleh Menkes dan bertugas mengelola apotek sebagai penanggungjawab atas semua kegiatan kefarmasian yang berlangsung di apotek. Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek disamping APA dan atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan APA selama APA tidak berada di tempat selama lebih dari 3 bulan secara terus-menerus, sudah memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak menjadi APA di apotek lain (Anonim, 2002). Berdasarkan SK Menkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, kompetensi Apoteker di apotek, dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek, yaitu berkaitan pengelolaan sumber daya yang meliputi : 1. Pengelolaan Sumber Daya Manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh seorang Apoteker profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan : a) Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik; b) Mengambil keputusan yang tepat; c) Kemampuan berkomunikasi antar profesi; d) Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner; e) Kemampuan mengelola SDM secara efektif; f) Selalu belajar sepanjang karier; g) Membantu memberi pendidikan; h) Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

2. Pengelolaan Sarana dan Prasarana Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa: a) Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat; b) Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata Apotek; c) Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan; d) Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh Apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling; e) Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga atau pest, apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin; f) Apotek memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien termasuk penempatan brosur/materi informasi, ruangan tertutup untuk konseling yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien, ruang racikan, keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien; g) Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan. 3. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya Apoteker berperan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya untuk menjamin agar pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pelayanan resep dan

non resep, pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. 2.2.2. Tenaga Teknis Kefarmasian Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 yang dimaksud dengan Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apotek dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi atau Asisten Apoteker (AA). Sedangkan dalam Ketentuan Umum yang berlaku sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.

1332/MENKES/SK/X/2002, dikatakan Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai AA. Kewajiban Asisten Apoteker adalah sebagai berikut : a) Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standar profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat serta melayani penjualan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter b) Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat. Informasi yang diberikan harus benar, jelas dan mudah dimengerti serta cara penyampaiannya disesuaikan dengan kebutuhan, selektif, etika, bijaksana dan hati-hati. Informasi yang diberikan kepada pasien sekurangkurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan/minuman/aktifitas yang hendaknya dihindari selama terapi dan informasi lain yang diperlukan c) Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan identitas serta data kesehatan pribadi pasien d) Melakukan pengelolaan apotek meliputi: 1) Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat dan bahan obat

2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan sediaan farmasi lainnya 3) Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi e) Memiliki Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan hak yang dimiliki oleh Asisten Apoteker adalah sebagai berikut: a) Mendapatkan gaji dan tunjangan selama bekerja b) Mendapatkan keuntungan yang diperoleh Apotek berdasarkan atas

kesepakatan dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) c) Mendapatkan tunjangan kesehatan d) Mendapatkan libur dan cuti tahunan e) Mendapatkan jaminan keselamatan pada waktu bekerja f) Memilih apotek dan pindah ke apotek lain sesuai dengan keinginan 2.3. Pekerjaan Kefarmasian Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, menyebutkan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. 2.3.1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi 2.3.1.1. Pemilihan Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis obat, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. 2.3.1.2. Perencanaan Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan anggaran untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat

10

dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan. Perencanaan dilakukan dengan pengumpulan data-data obat yang mau dipesan, dari buku defecta, termasuk obat-obat baru yang ditawarkan oleh supplier. Proses ini dilakukan dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut: 1. Metode Morbiditas, adalah jumlah kebutuhan obat yang digunakan untuk beban kesakitan (morbidity lead) yang harus dilayani. 2. Metode Konsumsi, adalah perhitungan kebutuhan obat didasarkan pada data riil konsumsi obat periode yang lalu. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana dilakukan menggunakan metode sebagai berikut: a) Sistem VEN, yaitu analisis menggunakan obat berdasarkan dampak tiap jenis obat terhadap kesehatan, terbagi dalam tiga kelompok: 1) Kelompok V (vital) adalah obat-obatan yang sangat esensial, antara lain: obat penyelamat (live saving drug), obat-obatan untuk pelayanan kesehatan pokok (misal: vaksin) dan obat-obatan untuk mengatasi penyakit-penyakit penyebab kematian besar. 2) Kelompok E (essensial) adalah obat-obatan yang bekerja kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit, contoh : antibiotik. 3) Kelompok N (non essensial) adalah obat-obatan penunjang, yaitu obat yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan, contoh : vitamin. b) Analisis ABC, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara mengelompokkan jumlah dana yang diserap untuk setiap jenis obat dalam tiga kelompok: 1) Klasifikasi A, merupakan butir persediaan yang mewakili 15% dari total persediaan, tetapi mewakili 70-80% dari total biaya persediaan. 2) Klasifikasi B, merupakan butir persediaan yang mewakili 30% dari total persediaan, tetapi mewakili 15-25% dari total biaya persediaan. 3) Klasifikasi C, merupakan butir persediaan yang mewakili 55% dari total persediaan, tetapi mewakili 5% dari total biaya persediaan (Anonim, 1990).

11

2.3.1.3 Pengadaan/Pembelian Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui melalui pembelian, produksi/pembuatan sediaan farmasi dan sumbangan/droping/hibah. Pengadaan sediaan farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat sediaan farmasi. Tujuan pengadaan untuk mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak memerlukan tenaga serta waktu berlebihan. Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan perbekalan farmasi. Langkah proses pengadaan dimulai dengan mereview daftar perbekalan farmasi yang akan diadakan, menentukan jumlah masing-masing item yang akan dibeli, menyesuaikan dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan, memilih rekanan, membuat syarat kontrak kerja, memonitor pengiriman barang, menerima barang, melakukan pembayaran serta menyimpan kemudian mendistribusikan (Anonim, 2007). Macam-macam cara pengadaan yang dilakukan di apotek antara lain : 1) Pengadaan secara spekulasi, dilakukan dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan untuk mengantisipasi akan adanya kenaikan harga dalam waktu dekat atau karena ada diskon atau bonus untuk pembelian jumlah besar. 2) Pengadaan terencana, berkaitan dengan pengendalian persediaan barang yang dilakukan dengan cara membandingkan jumlah pengadaan dengan penjualan tiap kurun waktu. 3) Pengadaan secara intuisi, dilakukan pada sediaan farmasi yang diperkirakan akan mengalami peningkatan permintaan dalam kurun waktu tertentu, misalnya karena adanya pengaruh wabah penyakit demam berdarah. 4) Konsinyasi, yaitu pemilik barang menitipkan barang kepada apotek. Apotek hanya membayar barang yang terjual, sedangkan sisanya dapat diperpanjang masa konsinyasinya. Cara seperti ini biasanya dilakukan pada produk baru.

12

Berdasarkan cara pembayaran yang dilakukan, maka pengadaan dapat dikelompokkan menjadi : 1) Pengadaan secara tunai (cash on delivery) pembelian dilakukan secara langsung 2) Pengadaan secara kredit, pembayaran dilakukan setelah faktur jatuh tempo (Hartini dan Sulasmono, 2006). 2.3.1.4. Penerimaan Penerimaan merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai aturan kefarmasian. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah maupun waktu kedatangan. Pada penerimaan barang petugas yang menerima harus mencococokkan barang dengan faktur dan SP lembaran kedua dari gudang. Barang harus diperiksa jumlah, ED, jenis, bentuk sediaan, nomor batch dan harga satuan (Anonim, 2004). 2.3.1.5. Penyimpanan Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu sediaan farmasi, menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga ketersediaan, memudahkan pencarian dan pengawasan. Dalam merancang susunan ruang penyimpanan obat di gudang farmasi, harus dipikirkan 4 tempat penyimpanan obat yang berbeda, yaitu : a) Ruang Penyimpanan Biasa Ruang ini menyimpan sebagian besar persediaan obat di gudang farmasi, seperti misalnya cairan, tablet, kapsul, obat suntik dan lain-lain. Ruang ini harus bertemperatur kira-kira 25 C. b) Ruang Penyimpanan Bertemperatur Dingin Ruang penyimpanan harus memiliki tempat pendinginan yang dapat digerakkan untuk menyimpan semua obat yang membutuhkan pendinginan

13

teratur, misalnya obat-obat termolabil (pada suhu 2-8C). setidaknya berupa kulkas dan bila perlu untuk menyimpan pada suhu dibawah 0C (freezer). c) Ruang Penyimpanan Narkotika Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, narkotika harus disimpan di almari narkotika. Selain itu, dalam ruang terpisah dari almari ini juga dapat disimpan psikotropika atau hipnotika. d) Ruang Penyimpanan untuk Bahan yang Mudah Terbakar Ruang ini harus memenuhi standar yang ditentukan Bagian Pemadam Kebakaran, memiliki perlengkapan pemadam kebakaran, menghadap keluar bangunan. Ruang ini dapat dipakai pula untuk menyimpan bahan berbahaya, seperti bahan korosif, iritatif, ekplosif, beracun,radiatif dan bahan berbahaya lainnya (Anonim, 1990). 2.3.1.6. Penyaluran/Distribusi Merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran obat-obatan yang bermutu dari distributor obat kepada apotek dan dari apotek untuk masyarakat. Rangkaian proses ini meliputi penerimaan barang, pengontrolan persediaan, penyimpanan sisa barang sampai pengeluaran barang dari stok. Tujuan distribusi obat adalah untuk mempertahankan kualitas obat, mengoptimalkan manajemen persediaan, memberikan informasi kebutuhan obat yang akan datang dan mengurangi resiko kerusakan dan kehilangan obat. Setiap fasilitas distribusi sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang Apoteker Pengelola Apotek sebagai penanggung jawab dan dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian (Anonim, 2009). 2.3.1.7. Administrasi Administrasi yang biasa dilakukan apotek antara lain : a) Administrasi, kegiatannya meliputi: agenda atau mengarsipkan surat masuk dan surat keluar, pengetikan laporan-laporan seperti laporan narkotik, laporan jumlah personil apotek dan lain-lain.

14

b) Pembukuan: keluar masuknya uang disertai bukti-bukti pengeluaran dan pemasukan. c) Administrasi penjualan: resep, obat bebas, pelanggan dan pembayaran secara tunai atau kredit. d) Administrasi pergudangan: dicatat penerimaan barang, dari mana dan pengeluaran barang untuk apa dan siapa. Masing-masing barang diberi kartu stok dan membuat defecta. e) Administrasi pembelian: dicatat pembelian harian secara tunai atau kredit dan dicatat darimana, nota-notanya dikumpulkan yang teratur, selain tersebut dicatat kepada siapa berhutang dan masing-masing dihitung berapa hutang apotek. f) Administrasi Piutang: dicatat penjualan kredit pada siapa, pelunasan piutang dan penagihan sisa piutang. g) Administrasi Kepegawaian, dilakukan dengan mengadakan absensi karyawan, mencatat kepangkatan, gaji dan pendapatan lainnya dari para karyawan (Anief, 2008). 2.3.1.8. Pengelolaan Obat Rusak dan Kadaluarsa Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 244/MenKes/SK/V/1990 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek, disebutkan bahwa obat yang tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara yang lain yang ditetapkan Direktorat Jenderal. Pemusnahan tersebut dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek dan wajib dibuat berita acara pemusnahan (Soekanto, 1990). Obat kadaluarsa di apotek dapat dikembalikan 3 atau 4 bulan sebelum kadaluarsa ke PBF yang bersangkutan sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Untuk obat rusak atau yang telah kadaluarsa dan tidak dapat dikembalikan ke PBF dapat dilaksanakan pemusnahan bersama dengan pemusnahan resep dengan cara dibakar (Anonim, 1997).

15

2.3.1.9. Pengelolaan Narkotika Menurut UU No. 22 tahun 1997 menjelaskan definisi narkotika yakni zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetik maupun semi sintetik yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, kehilangan rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan. Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Pengaturan narkotika menurut pasal 3 bertujuan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, serta memberantas peredaran gelap narkotika. Apotek diberi ijin oleh Menkes untuk membeli, meracik, menyediakan, memiliki, menyimpan persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan, membawa dan mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan. Narkotika dapat digolongkan dalam tiga golongan besar yaitu : 1. Narkotika golongan I, yaitu narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: opium mentah, tanaman ganja dan kokain mentah. 2. Narkotika golongan II, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: opium, morfin, tebain. 3. Narkotika golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein, dihidroksi kodein, doveri, etil morfin.

16

Pengelolaan narkotika meliputi: 1) Pemesanan Narkotika Apotek dan apotek Rumah Sakit mendapatkan obat narkotika dari PBF dengan jalan menulis dan mengirimkan surat pesanan narkotik. Dalam satu surat pesanan hanya dapat digunakan untuk satu nama obat, narkotika hanya dapat dipesan pada PBF resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Surat pesanan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek kemudian dikirim ke PBF. 2) Penyimpanan Narkotika Narkotika di apotek wajib disimpan secara khusus. Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam peraturan perundang-undangan No. 28/MenKes/Per/I/1978 tentang tata cara penyimpanan narkotika, bahwa : a) Apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika b) Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus dan tidak boleh menyimpan barang selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan. c) Anak kunci lemari khusus dikuasai penanggungjawab atau pegawai lain yang dikuasakan. d) Lemari khusus harus ditaruh di tempat aman dan tidak terlihat oleh umum. Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat dengan ukuran 40x80x100 cm3 b) Harus mempunyai kunci yang kuat c) Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidine dan garam-garamnya serta persediaan narkotik. Bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari d) Lemari tersebut harus menempel pada tembok atau lantai (Anonim, 1978).

17

3) Pelaporan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 22 pasal 11 ayat 2 tahun 1997, apotek wajib menyampaikan dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang ada didalam penguasaannya kepada Kepala Dinkes Daerah Tingkat I setempat dengan tembusan Kepala Dinkes Tingkat II setempat, Kepala BPOM Provinsi setempat dan sebagai Arsip (Anonim, 1997). 4) Pelayanan Resep yang Mengandung Narkotika Pelayanan resep yang mengandung narkotika menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan, narkotika dapat diserahkan pada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter, apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter. Resep narkotik harus digaris bawah dengan tinta merah. Resep tersebut harus dipisahkan dengan resep lainnya dan dicatat di buku khusus dengan catatan narkotika. Pencatatan meliputi tanggal, nomor resep, tanggal pengeluaran, jumlah obat, nama pasien, alamat pasien, nama dan alamat dokter penulis resep. Resep narkotik tidak boleh ada pengulangan, ditulis nama pasien (tidak boleh dipakai untuk dokter), alamat pasien dan aturan pakai yang jelas (Anonim, 1976). 5) Pemusnahan Narkotika Pemusnahan narkotika di apotek dalam UU RI No. 22 tahun 1997 pasal 60, dilakukan apabila narkotika diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam produksi, kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta berkaitan dengan tindak pidana. Permenkes RI No. 28/MenKes/Per/1978 pasal 9 mengatur tentang pemusnahan narkotika karena sebab diatas, yaitu : dilaksanakan oleh APA dengan disaksikan oleh petugas Dinkes Kabupaten/Kota serta membuat berita acara pemusnahan yang sekurang-kurangnya memuat nama, jenis, sifat dan jumlah narkotika yang dimusnahkan kemudian keterangan tempat, jam, hari, tanggal,

18

bulan, tahun pemusnahan, tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan. Pemusnahan narkotika harus dibuat berita acara pemusnahan paling sedikit rangkap tiga. Berita acara tersebut harus dikirim kepada Kantor Dinas Kesehatan atau Kota dengan tembusan kepada Kantor Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM dan sebagai arsip apotek (Anonim, 1978). 2.3.1.10. Pengelolaan Psikotropika Menurut UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis, bukan narkotik yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dapat dibagi menjadi : 1. Psikotropika golongan I, yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, mempunyai potensi yang amat kuat, menyebabkan sindrom ketergantungan. Contoh: MDMA, maskalin, psilosina. 2. Psikotropika golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: amfetamin, metakualon, fenobarbital. 3. Psikotropika golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: siklobarbital, flunitrazepam. 4. Psikotropika golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: nitrazepam, bromazepam, alprazolam (Anonim, 1997).

19

Pengelolaan psikotropika meliputi : 1) Pemesanan Psikotropika Pemesanan psikotropika menurut UU No.5 tahun 1997 menggunakan surat pemesanan khusus, dapat dipesan di apotek melalui PBF atau pabrik obat. Surat pesanan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek kemudian dikirim ke PBF. 2) Penyimpanan Psikotropika Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur dalam perundangundangan khusus. Obat-obat golongan psikotropika cenderung lebih banyak disalahgunakan, maka diminta kepada semua sarana distribusi obat (PBF, apotek, rumah sakit) agar menyimpan obat-obat golongan psikotropika dalam suatu rak atau lemari khusus dan kartu stok psikotropika. 3) Pelaporan Psikotropika Penggunaan psikotropika dimonitor dengan mencatat resep-resep yang berisi psikotropika dalam buku register yang berisi nomor, nama sediaan, satuan, persediaan awal, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran, sisa akhir bulan dan keterangan. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1997 apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang dilakukan berhubungan dengan psikotropika kemudian dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara berkala setiap satu tahun sekali. 4) Pemusnahan Psikotropika Berdasarkan UU No. 5 tahun 1997 pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku, bila sudah kadaluarsa dan tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu 7 hari setelah mendapat kepastian. Cara pemusnahan psikotropika sama dengan cara pemusnahan narkotika.

20

2.3.2. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi Pelayanan sediaan farmasi merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi, menyiapkan atau meracik obat, memberikan etiket, penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem dokumentasi. Tujuan dari pelayanan sediaan farmasi adalah mendapatkan dosis yang tepat dan aman, menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan secara oral atau emperal dan menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu serta menurunkan total biaya obat. Pelayanan yang harus diberikan di apotek menurut Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 adalah : 1. Pelayanan Resep Pelayanan resep meliputi : a) Skrining resep, yang terdiri dari persyaratan administratif, kesesuaian farmasetika dan pertimbangan klinis. 1) Persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter, tanggal penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya. 2) Kesesuaian farmasetika meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. 3) Pertimbangan klinis meliputi : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. b). Penyiapan obat , meliputi : 1) Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,

mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan

21

peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang jelas dan benar. 2) Kemasan yang diserahkan harus rapi dan dapat menjaga kualitas obat 3) Penyerahan obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh Apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. 4) Informasi obat Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. 5) Konseling Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. 6) Monitoring penggunaan obat Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan pamantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya (Anonim, 2004). 2. Promosi dan Edukasi Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu penyebaran informasi tentang kesehatan antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur,

22

poster, penyuluhan dan lain-lain. Peranan penting Apoteker adalah memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan pada pasien dan informasi yang berkaitan dengan penggunaan secara tepat, aman dan rasional. Pelayanan informasi dapat menjalin interaksi yang baik sehingga mengurangi atau mencegah kesalahan penyerahan obat. Adapun yang dimaksud dengan pengelolaan farmasi meliputi : 1) Pengelolaan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. 2) Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan/atau mutu obat/perbekalan farmasi lainnya. 3. Pelayanan Residensial (home care) Apoteker sebagai care giver diharapkan dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini Apoteker harus membuat medication record (Anonim, 2004). 4. Pelayanan Obat Tanpa Resep Pada umumnya masyarakat mengobati penyakitnya menggunakan obat-obatan dari golongan obat bebas dan kadang-kadang ada juga yang menggunakan golongan obat bebas terbatas serta obat yang dijual dokter tanpa resep (ilegal). Mereka menggunakan obat-obat golongan tersebut tanpa mengetahui dengan jelas akibat penggunaanya. Untuk kepentingan tersebut, maka telah ditetapkan SK Menkes RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang obat-obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker tanpa resep dokter (Obat Wajib Apotek No. 1). Dalam surat keputusan tersebut ditetapkan : 1. Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. 2. Obat yang masuk OWA ditetapkan Menteri Kesehatan. 3. Obat yang tercantum dalam lampiran SK tersebut dapat diserahkan oleh Apoteker di apotek dan selanjutnya disebut Obat Wajib Apotek No.1. Obat

23

wajib ini dapat ditinjau kembali dan disempurnakan setiap waktu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 4. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan obat tersebut diwajibkan : a) Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam OWA yang bersangkutan. b) Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan. c) Memberikan informasi yang meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien. Hal yang melatarbelakangi ditetapkan peraturan OWA antara lain : 1. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, sehingga dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri. 2. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri yang sekaligus menjamin penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional. 3. Peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka peningkatan pengobatan sendiri (Anonim, 1990).

You might also like