You are on page 1of 11

Di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 disebutkan bahwa fungsi Pengawas Pemilu yang dijabarkan dalam tugas, wewenang

dan kewajiban Pengawas Pemilu. Berkaitan dengan tugas pengawasan pemilu ada pembagian tugas pengawasan pemilu yang dapat dijelaskan sebagai berikut : (a) Bawaslu melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu; (b) Panwaslu Provinsi mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi; (c) Panwaslu kabupaten/kota mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/kota; (d) Panwaslu Kecamatan mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan; (e) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu ditingkat desa/kelurahan; (f) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawssi tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar negeri. Adapun tugas dan wewenang Pengawas Pemilu dapatlah dijelaskan secara umum sebagai berikut : (1) Mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu; (2) Menerima laporan dugaan pelanggaran perundang-undangan pemilu; (3) Menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU/KPU provinsi/KPU kabupaten/kota atau kepolisian atau instansi lainnya untuk ditindaklanjuti; (4) Mengawasi tindak lanjut rekomendasi; (5) Mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan (6) Melaksanakan : a) Tugas dan wewenang lain ditetapkan oleh undang-undang (untuk Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota); b) Melaksanakan tugas lain dari Panwaslu Kecamatan (untuk Pengawas Pemilu lapangan); dan c) Melaksanakan tugas lain dari Bawaslu (untuk Pengawas Pemilu Luar Negeri). Dalam melaksanakan tugas, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota berwenang : (a) Memberikan rekomendasi kepada KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran; (b) Memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana Pemilu. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Pengawas Pemilu berkewajiban sebagai berikut : 1. Bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Pengawas Pemilu disemua tingkatan 2. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengawas Pemilu pada semua tingkatan 3. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengawas Pemilu pada tingkatan dibawahnya 4. Menerima dan menindak lanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu. 5. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada presiden, DPR dan KPU sesuai dengan tahapan secara periodic dan/atau berdasarkan kebutuhan. Bawaslu 6. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuai dengan tahapan Pemilu secara peridik dan/atau berdasarkan kebutuhan Panwaslu Provinsi

7. Menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Provinsi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat provinsi. Panwaslu Provinsi 8. Menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu Provinsi berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Kabupaten/kota yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota. Panwaslu Kabupaten/Kota 9. Menyampaikan laporan kepada Panwaslu Kabupaten/Kota berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat Kecamatan. Panwaslu Kecamatan 10. Menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu Kabupaten/Kota berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPK yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat Kecamatan. Panwaslu Kecamatan 11. Menyampaikan laporan kepada Panwaslu Kecamatan berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat Kecamatan. Pengawas Pemilu Lapangan 12 Menyampaikan temuan dan laporan kepada Panwaslu Kecamatan berkaitan dengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PPS dan KPPS yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat Desa/Kelurahan. Pengawas Pemilu Lapangan

Pemilu dapat dikatakan demokratis jika memenuhi beberapa prasyarat dasar. Tidak seperti pada masa rezim orde baru dimana pemilu seringkali disebut sebagai demokrasi seolah-olah, pemilu yang sedang berlangsung sekarang sebagai pemilu reformasi harus mampu menjamin tegaknya prinsip-prinsip pemilu yang demokratis. Setidak-tidaknya, ada 5 (lima) parameter universal dalam menentukan kadar demokratis atau tidaknya pemilu tersebut, yakni (Modul Pengawasan, Bawaslu, 2009 : 7-8): o Universalitas (Universality) Karena nilai-nilai demokrasi merupakan nilai universal, maka pemilu yang demokratis juga harus dapat diukur secara universal. Artinya konsep, system, prosedur, perangkat dan pelaksanaan pemilu harus mengikuti kaedah-kaedah demokrasi universal itu sendiri. Kesetaraan (Equality) Pemilu yang demokratis harus mampu menjamin kesetaraan antara masing-masing kontestan untuk berkompetisi. Salah satu unsur penting yang akan mengganjal prinsip kesetaraan ini adalah timpangnya kekuasaan dan kekuatan sumberdya yang dimiliki kontestan pemilu. Secara sederhana, antara partai politik besar dengan partai politik kecil yang baru lahir tentunya memiliki kesejnjangan sumberdaya yang lebar. Oleh karena itu, regulasi pemilu seharusnya dapat meminimalisir terjadinya political inequality. Kebebasan (Freedom) Dalam pemilu yang demokratis, para pemilih harus bebas menentukan sikap politiknya tanpa adanya tekanan, intimidasi, iming-iming pemberian hadiah tertentu yang akan mempengaruhi pilihan mereka. Jika hal demikian terjadi dalam pelaksanaan pemilu, maka perlakunya harus diancam dengan sanksi pidana pemilu yang berat.

Kerahasiaan (Secrecy) Apapun pilihan politik yang diambil oleh pemilih, tidak boleh diketahui oleh pihak manapun, bahkan oleh panitia pemilihan. Kerahasiaan sebagai suatu prinsip sangat terkait dengan kebebasan seseorang dalam memilih. Transparansi (Transparency) Segala hal yang terkait dengan aktivitas pemilu harus berlandaskan prinsip transparansi, baik KPU, peserta pemilu maupun Pengawas Pemilu. Transparansi ini terkait dengan dua hal, yakni kinerja dan penggunaan sumberdaya. KPU harus dapat meyakinkan public dan peserta pemilu bahwa mereka adalah lembaga independen yang kan menjadi pelaksana pemilu yang adil dan tidak berpihak (imparsial). Pengawas dan pemantau pemilu juga harus mampu menempatkan diti pada posisi yang netral dan tidak memihak pada salah satu peserta pemilu. Sementara peserta pemilu harus dapat menjelaskan kepada public darimana, berapa dan siapa yang menjadi donator untuk membiayai aktifitas kampanye pemilu mereka. Bagaimana system rekrutmen kandidat dan proses regenarasi politik yang ditempuh sehingga semua pihak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai kandidat wakil rakyat.

C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK. Batas Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu 1. Mekanisme Pelaporan Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu. Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran. Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari. Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan. Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi: 1) pelanggaran pemilu yang bersifat administratif ; dan 2) pelanggaran yang mengandung unsur pidana.

Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan. Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu No.05 /2008. 2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu. Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada. Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu pasal 248-251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2). Terhadap pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu. 3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu. 3.1. Proses Penyidikan. Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku. Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari. Guna mengatasi kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4-5 orang. TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI BARESKRIM: 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri), POLDA: 5 TIM, POLWIL: 3 TIM, POLRES: 10 TIM. Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap:

1) kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan 2) materi/laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan. Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU). 3.2. Proses Penuntutan. UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di luar pidana pemilu. Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008. Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU. Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik. Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala. Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara. 3.3. Proses Persidangan. Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed trial). Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.

Tujuh hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA (Perma). PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu. Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan.PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima. PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain. 3.4. Proses Pelaksanaan Putusan. Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional. Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud. Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa. Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari. 4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisahan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan diajukan oleh peserta pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat

permohonan dianggap tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi. Tiga hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan. Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan. Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi : 1) pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam. 2) pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan MK dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut. D. Beberapa Permasalahan a) Waktu Terjadinya Pelanggaran. Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempus delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum. Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses. b) Penanganan Laporan. Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik. c) Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi. Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang

diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan. Karena itu KPU harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti. d) Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana. Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya. e) Pengertian hari. UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai hari untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa). f) Tindakan terhadap TNI. UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008, sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI. g) Gakkumdu. Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan kesepakatan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik

hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu. h) Banding. Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung sejak permohonan banding diterima. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak permohonan banding diterima. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara. i) Jumlah aparat. Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis. j) Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan. KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas). Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU 10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan digunakan untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut tanggung jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan singkat maka meski berkas perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses persidangan. Tetapi apabila menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan. Selain itu sanksi pidana pemilu berbentuk kumulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga dapat memunculkan disparitas putusan. k) Pelaksanaan Putusan. UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan? l) Sengketa Putusan KPU. UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan

pemilu. Selain itu, dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut. Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu Alternatif (I): Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan. Alternatif (II): Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan. Alternatif (III): Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat. Alternatif (IV): Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa. E. Rekomendasi Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi. Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten. Sumber: www.reformasihukum.org/file/kajian/PelanggaranPemilu.rtf

GUGATAN YANG BERKAITAN DENGAN PARTAI POLITIK

MAHKAMAH Agung RI (MA-RI) pada tanggal 18 Desember 2008 telah mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Gugatan Yang Berkaitan Dengan Partai Politik (Parpol). SEMA Nomor 11 Tahun 2008 tanggal 18 Desember 2008 tersebut ditujukan kepada para Ketua pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yaitu Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, serta pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yaitu Pengadilan Tinggi TUN dan Pengadilan TUN di seluruh Indonesia. SEMA dimaksud ditandatangani oleh Hakim Agung DR. Harifin A. Tumpa, S.H., M.H. Wakil Ketua MA-RI Bidang Non Yudisial atas nama Ketua MA-RI. Dasar pertimbangan MARI menerbitkan SEMA tersebut adalah sehubungan semakin dekatnya masa pemilihan umum (Pemilu) 2009 yang diperkirakan akan terjadi peningkatan kasus-kasus yang diajukan ke Peradilan Umum dan PTUN, antara lain terkait dengan Parpol. Oleh karena itu, MA-RI memandang perlu untuk memberikan pengarahan agar ada kesatuan persepsi sebagai berikut: 1. Bahwa pada umumnya perkara-perkara tersebut berisi gugatan yang ditujukan terhadap pejabat / fungsonaris dalam tubuh Parpol, berkaitan dengan surat-surat keputusan yang diterbitkan dalam jangkauan internal kepartaian. 2. Bahwa sesuai dan mengacu pada yurisprudensi yang sudah digariskan, maka Parpol bukanlah jabatan Tata Usaha Negara, sehingga keputusan-keputusan yang diterbitkan bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara dan tidak dapat menjadi objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. 3. Bahwa gugatan kepada fungsionaris dalam tubuh Parpol yang diajukan kepada Peradilan Umum pada hakikatnya merupakan urusan intrnal partai, sehingga Hakim wajib berhati-hati dalam penyelesaiannya jangan sampai putusan tersebut akan menghambat tahapan dalam proses Pemilu.

You might also like