Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan Pembangunan ketenagakerjaan merupakan suatu upaya yang bersifat menyeluruh di semua sektor dan daerah yang ditunjukan dengan adanya perluasan lapangan kerja dan pemerataan kesempatan kerja, peningkatan mutu dan kemampuan, serta memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja. Usaha untuk menciptakan kesempatan kerja guna mengurangi pengangguran dan sekaligus menampung pertambahan tenaga kerja merupakan bagian kesatuan dari seluruh kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi dan sosial, mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan perluasan kesempatan kerja serta kegiatan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Pada dasarnya, landasan hukum mengenai ketenagakerjaan dan perburuhan yang utama tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Meskipun demikian, kekuasaan politik dan stabilitas ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan mengenai ketenagakerjaan di Indonesia, yang
menimbulkan solusi dan persoalan tersendiri dalam dinamika kehidupan tenaga kerja di Indonesia. Pada periode sebelum reformasi, gerakan buruh memiliki andil yang besar dalam pengaturan kebijakan ketenagakerjaan, ditandai dengan banyaknya aksi mogok kerja dan penutupan (lock out) demi menuntut pengupahan yang layak dan kesejahteraan buruh. I. Kebjakan Ketenagakerjaan Pasca Merdeka (Orde Lama) Pada era orde lama, kebijakan ketenagakerjaan orde lama cenderung memberikan jaminan sosial dan perlindungan kepada buruh. Sumbangan gerakan buruh dalam keberhasilan mempertahankan kemerdekaan pada masa revolusi fisik (1945-1949), menempatkan posisi kaum buruh berada posisi yang strategis dalam bentuk campur tangan dalam pembentukan kebijakan dan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Dengan adanya campur tangan kaum buruh dalam pembentukan kebijakan ketenagakerjaan, maka peraturan yang terbentuk cenderung progresif dan melindungi
hak-hak kaum buruh1. Selain itu, dengan keikutsertaan Indonesia menjadi anggota ILO (International Labor Organization pada tanggal 12 Juli 1950, secara otomatis membuat pemerintah harus mengikuti dan meratifikasi beberapa konvensi ILO, seperti yang tercantum dalam UU No. 49 Tahun 1954 dan UU No. 8 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 89 Tahun 1949 mengenai berlakunya DasarDasar Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama, serta UU No. 80 tahun 1987 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 mengenai pengupahan bagi buruh laki-laki dan wanita yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. Adanya kebijakan ketenagakerjaan yang progresif dan mendukung perlindungan kaum buruh ini, bukan berarti hubungan buruh dengan perusahaan (majikan) dan pemerintah berjalan harmonis. Beberapa kali serikat/perkumpulan buruh yang tergabung dalam SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) harus mengkoordinir terselenggaranya aksi mogok kerja, agar tuntutan mereka dipenuhi oleh pemerintah, yang masih belum mampu melaksanakan kebijakan pro-buruh yang telah dibuat. Pada umumnya tuntutan buruh dalam tahun 1950-an adalah mengenai kenaikan upah dan tujangan-tunjangan, perbaikan syarat-syarat kerja, jaminan sosial, dan gratifikasi, pembatalan pemutusan hubungan kerja (PHK), pelaksanaan peraturanperaturan pemerintahan yang telah dibuat, pengakuan serikat buruh, serta pelaksanaan perjanjian-perjanjian perburuhan. Adapun sejumlah kebijakan mengenai
ketenagakerjaan yang ditetapkan dalam periode ini terangkum dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Kebijakan Ketenagakerjaan pada masa orde lama No. 1 2 3 4. Kebijakan Ketenagakerjaan UU No. 12 Tahun 1948 UU No. 33 Tahun 1947 UU No. 23 Tahun 1948 UU No. 21 Tahun 1954 Penjelasan tentang Kerja tentang Kecelakaan Kerja tentang Pengawasan Perburuhan tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan 5 UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 6. UU No. 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No 89
Diantaranya dengan terbentuknya UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 33 Thun 1947 tentang Kecelakaan Kerja, dan UU No. 23 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
mengenai Dasar-Dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama 7 UU No. 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No. 100 mengenai Penghapusan Diskriminasi
Upah bagi Buruh Pria dan Wanita Demi mengantisipasi aksi-aksi pemogokan menuntut perbaikan upah, Pemerintah dibawah Perdana Menteri Moch. Natsir mengambil tindakan represif yaitu dengan cara melarang pemogokan di perusahaan-perusahaan tertentu. Hal ini tercantum dalam Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No.1 Tahun 1951 tentang Peraturan Kekuasaan Pertikaian Perburuhan yang ditetapkan pemerintah pada waktu itu, dengan dasar pertimbangan untuk mencegah terjadinya pemogokan pekerja yang dinilai dapat menghambat pertumbuhan ekonomi terutama bila terjadi pada perusahaan vital2. Meskipun demikian, adanya larangan untuk melaksanakan aksi mogok tidak serta merta diikuti dengan pelaksanaanya. Sejumlah aksi pemogokan tetap dilaksanakan untuk menuntut perbaikan upah buruh dan pencabutan larangan mogok, puncak aksi mogok terjadi pada tanggal 13 Februari 1951 di mana terdapat sedikitnya 500.000 buruh yang melakukan mogok di berbagai daerah di Indonesia. Desakan kaum buruh memaksa pemerintah untuk tidak lagi melarang pemogokan di perusahaan vital, ditandai dengan ditetapkannya Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dimana Pemerintah menentukan bahwa hak mogok dapat dilaksanakan setelah mendapat surat izin dari P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan). Adanya ketidakjelasan dalam kewenangan P4, tuntutan kaum buruh yang belum terpenuhi,serta campur tangan Organisasi Perburuhan Indonesia mendesak pemerintah untuk menyusun undang-undang baru, diantaranya dengan menghasilkan UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, dimana serikat buruh diberikan kesempatan untuk ikut campur dalam penyelesaian kasus perburuhan,dan larangan mengenai aksi mogok dicabut. Pada akhir tahun 1950-an, arah kebijakan politik di Indonesia berganti seiring dengan dimulainya masa demokrasi terpimpin, yang diawali dengan berlakunya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Arah politik nasional saat itu sangat berpengaruh
2
Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
pada kegiatan serikat buruh yang lebih bersifat umum, bukan untuk mengusahakan kepentingan buruh secara spesifik. Pada masa ini kondisi ketenagakerjaan dapat dikatakan kurang diuntungkan dengan sistem yang ada. Buruh dikendalikan oleh militer, antara lain dengan dibentuknya Dewan Perusahaan di perusahaan-perusaaan yang diambi alih dari Belanda dalam rangka program nasionalisasi, untuk mencegahh pengambil-alihan perusahaan Belanda oleh buruh. Pada 1960 pemerintah
menganjurkan dibentuknya Organisasi Persatuan Pekerja Indonesia (OPPI) sebagai wadah unuk mempersatukan seluruh serikat pekerja yang ada. Sebagian besar serikat pekerja menyambut baik dan setuju, tetapi usaha tu akhirnya ditentang oleh SOBSI (Serikat Organisasi Buruh seluruh Indonesia). Pada awal 1960-an, kondisi politik yang berubah pun membawa perbedaan dalam penanganan ketenagakerjaan. Meski kepemipinan nasional masih di tangan Presiden Soekarno, namun semangat peraturan tenaga kerja mulai berubah. Di era ini peraturan dibuat untuk membatasi gerak politis dan ekonomis buruh, seperti: Larangan mogok kerja yang diatur dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 4 Tahuan 1960 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (lock out)e di Perusaaan-Perusahaan, Jawatan-Jawatan dan Badan-Badan Vital Pembentukan Dewan Perusahaan untuk Mencegah dikuasainya
Perusahaan-Perusahaan eks belanda oleh Pekerja Instruksi Deputi Penguasaan Perang Tertinggi No. I/D/Peperti/1960 yang memuat daftar 23 perusahaan yang dinyatakan vital sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Penguaa Perang Tertinggi No. 4 Tahun 1960, dan Undang-Undang No. 7 PRP/1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (lock out) di Perusaaan-Perusahaan, JawatanJawatan dan Badan-Badan Vital. II. Masa Orde Baru Ditandai dengan perubahan kekuasaan politik pada tahun 1965 dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, pemerintahan orde baru pun dimulai. Pada periode ini, pelaksaanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap 1 (Repelita 1) telah dimulai diantaranya dengan melakukan berbagai usaha jangka pendek dalam bidang tenga kerja dan penciptaan kesempatan kerja. Usaha jangka pendek ini diantaranya
4
tersusun dalam Ketetapan MPRS No.28 Tahun 1966, yang ditujukan untuk menciptakan kesempatan kerja, pembinaan dan penyediaan tenaga kerja dalam jumlah yang cukup dan keahlian yang diperlukan sesuai dengan perkembangan dalam kegiatan ekonomi dan penyediaan kesempatan kerja, dan peningkatan dan perbaikan hubungan perburuhan serta jaminan sosial, Prioritas pembangunan dilakukan pada sektor pertanian, berbagai program pembangunan prasarana seperti jalan-jalan, pengairan, dll telah meringankan tekanan kesempatan kerja, diantaranya melalui Proyek Padat Karya, di mana tenaga penganggur dimanfaatkan dalam usaha peningkatam sarana-sarana ekonomi serperti perbaikan terasering, penghijauan, jalan desa dan saluran tersier. Peraturan dan perundangan ketenagakerjaan yang diisusun dan diundangkan sepanjang periode ini, antara lain sebagai berikut: 1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Kecelakaan kerja, yang membebankan ecara langsung kewajiban-kewajiban untuk usaha pencegahan kecelakaan (keselamataan kerja) pada tempat-tempat kerja maupun para pekerjanya. 3. Undang-Undang No 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). 4. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakarjaan Memasuki masa Pembangunan Lima Tahun II, secara perlahan mulai terlihat perbedaan cara pemerintah dalam menangani masalah ketenagakerjaan yang berkembang. Beberapa hal yang menonjol diantaranya dalam kebijakan industrialisasi yang dijalankan pemerintah Orde Baru juga mengimbangi kebijakan yang menempatkan stabilitas nasional sebagai tujuan dengan menjalankan industrial peace khususnya sejak awal Pelita III (1979-1983), menggunakan sarana yang diistilahkan dengan HPP (Hubungan Perburuhan Pancasila). Selain itu, pada periode ini, kebebasan berserikat tidak sepenuhnya dilaksanakan pemerintah pada saat itu, terutama dengan adanya fusi (penyatuan) gerakan buruh menjadi ke dalam satu wadah SPSI di mana serikat pekerja harus bebas dari pengaruh dan intervensi politik. Dalam penyelesaian perselisihan perburuhan, peran militer juga menjadi sangat dominan. Kebijakan Orde Baru Terkait dengan Penetapan Upah Buruh
5
Sulaiman (2008) membagi kebijakan mengenai upah pada masa orde baru dalam periode industrialisasi yang berkembang. Pada tahun 1966-1984, digolongkan ke dalam upah dalam Industri Substitusi Impor, terutama dengan berlakunya UndangUndang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pemerintah menekankan pentingnya modal asing untuk menyediakan lapangan kerja, sehingga belum mempertimbangkan mengenai peningkatan upah buruh. Karena tingkat pengangguran yang tinggi pada masa itu sedangkan lapangan kerja yang terbatas, kemampuan bargaining power buruh menjadi lebih rendah untuk menuntut kenaikan upah. Meskipun dengan upay yang kurang layak, gerakan buruh pada periode ini tidak banyak melakukan pemogokan terutama akibat ketatnya pengawasan militer3. Sebagai langkah preventif demi terciptanya ketenangan kerja, Presiden Soeharto mengambil langkah dalam memperbaiki penghasilan Pegawai Negeri dan Buruh diantaranya dengan membentuk Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) berdasarkan Keppres No. 58 Tahun 19694, yang kemudian menghasilkan UU No. 14 Tahun 19695 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, dan selanjutnya lahir PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah6. Pada masa industrialisasi subtitusi impor ini, terdapat perbedaan versi/penafsiran mengenai definisi upah buruh, sehingga menyebabkan adanya tekanan antara buruh dan pengusaha. Misalnya dalam kasus tuntutan kenaikan upah oleh kaum buruh, meskipun komponen upah yang terdiri dari gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya, namun kenaikan upah di sini berarti kenaikan gaji secara umum yang disesuaikan dengan perkembangan kebijakan moneter, diantaranya mengacu pada tingkat Indeks Harga Konsumen (IHK) yang berlaku, kemampuan perusahaan, dan hasil produksi. Sementara kenaikan upah menurut versi perusahaan didasarkan pada prestasi kerja, keterampilan, dan pendidikan pekerja sendiri, sehingga kenaikan upah diputuskan oleh pimpinan perusahaan secara subjektif.7 Pemberian upah secara umum juga masih disalahartikan oleh pengusaha, dengan memberikan upah, para pengusaha berasumsi
3 4
Carrizossa (1988) Standing Committee on Human Rights in Indonesia, dalam Sulaiman (2008). Republik Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 58 Tahun 1969 Dewan Penelitian Pengupahan Nasional, tertanggal 25 Juli 1969. 5 Republik Indoneia, UU Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja Tanggal 19 Nopember 1969.
6
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, tanggal 2 Maret 1981. 7 Bambang Tri Cahyono. Pengembangan Kesempatan Kerja. Yogyakarta: BPFE.
bahwa telah memberikan upah kerja, padahal pemerian hanya upah pokok, belum termauk pemberian komponen upah secara keseluruhan, termasuk fasilitas keselamatan dan kesehatan, jaminan sosial buruh, dan lain-lain8. Selain itu terjadinya disharmoni undang-undang juga membuat penerapan kebijakan ketenagakerjaan menjadi rancu. Misalnya yang terkait dengan penetapan jam kerja yang juga berdampak pada pemberian upah, berdasarkan UU No.1 Tahun 1950 Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, sedangkan menurut Instruksi Direktur Pembinaan Norma-Norma Perlindungan Tenaga Kerja, Departemen Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1970 menetapkan waktu kerja 8 jam sehari untuk 5 hari kerja seminggu. Selanjutnya, pada era industri berorientasi ekspor (1985-1997), dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu yang mencapai rata-rata 5% setiap tahunnya, dan pertumbuhan industri sebesar 9,5% per tahun, kondisi ekonomi di Indonesia pun sudah mulai stabil. Pemerintah mulai menilik kembali kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan yang sebelumnya belum terselesaikan, yakni mengenai pemutusan hubungan kerja, penetapan upah pesangon (tunjangan/kenaikan upah) dan juga penentuan upah minimum regional9. Pada 1989, pemerintah menetapkan ketentuan upah melalui Peraturan Mennaker No. 05/Men/1989 tentang upah minimum regional (UMR), dimana mekanisme penetapan UMR didasarkan pada; (1) Kebutuhan fisik minimum; (2) Index Harga Konsumen; (3)Perluasan Kesempatan Kerja, (4)Upah pada umumnya yang berlaku secara regional; (5) Kelangsungan dan perkembangan perusahaan; (6)Tingkat perkembangan ekonomi regional dan atau nasional. Standarisasi penetapan besaran UMR masih terus disempurnakan dari tahun ke tahun selama pemerintahan orde baru untuk mendapatkan rumusan upah yang setimpal antara buruh dan juga pengusaha. Tujuan penetapan standar UMR dapat dilihat dari dua aspek, pertama secara mikro, yaitu sebagai jaringan pengaman agar upah tidak merosot, mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan upah tertinggi di perusahaan, dan untuk menngkatkan penghasilan kaum buruh pada tingkat paling
8 9
Republik Indonesia . Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kebijakan mengenai pemutusan hubungan kerja dan penetapan upah pesangon diatur dalam Keputusan Mennaker No 342/Men/1986 tentang Pedoman/Petunjuk Umum Pemerantaraan Perselisihan Hubungan Industrial khususnya dalam menghadapi kasus menenai Upah Lembur, Pemogokan, Pekerja Kontrak, PHK, dan Perubahan Status atau Pemilikan Perusahaan, yang terkait dengan Peraturan Mennaker No. 04 Tahun 1986 tentant Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian.
rendah, kedua secara makro yaitu pemerataan pendapatan masyarakat kelas pendapatan bawah demi mengentaskan kemiskinan, peningkatan daya beli buruh dan perluasan kesempatan kerja, perubahan struktur biaya industry secara sektoral, peningkatan produksi kerja Nasional, peningkatan etos kerja dan disiplin kerja dan untuk memperlancar komunikasi antara buruh dengan pengusaha10. Tinggi rendahnya tingkat upah yang diberikan pengusaha kepada buruh disebabkan oleh (1) tingkat penawaran dan permintaan buruh, (2) Organisasi pekerja yang berfungsi dalam pengawasan mekanisme pembagian upah kerja yang lebih baik, (3) ketergantungan kemampuan pembayaran upah dari perusahaan, (4) produktivitas perusahaan, (5) biaya hidup suatu daerah domisili perusahaan dan buruh, (6) Kebijaksanaan pemerintah dalam menuangkan pengaturan perngupahan, (7) daya penawaran kesempatan kerja, semakin kecil penawaran, semakin kecil upah, (8) tingkat pendidikan formal dan keterampilan pekerja11. Kesimpulan Secara umum, kebijakan ketenagakerjaan yang dikeluarkan pada masa orde lama dan orde baru merupakan jawaban atau solusi pemerintah terhadap tuntutantuntutan kaum buruh terhadap permasalahan pengupahan yang meraeka hadapi. Permasalahan tersebut antara lain mencakup; upah yang terlalu rendah, tidak adanya kebebasan berserikat, diskriminasi terhadap buruh, lembur paksa, kesehatan dan keamanan kerja yang buruk, pemutusan hubungan kerja, serta jaminan sosial tenaga kerja yang kurang kuat. Adanya intervensi ILO sebagai organisasi perburuhan dunia juga sangat mempengaruhi dinamika kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia. Meskipun demikian, kondisi stabilitas ekonomi dan politik negara juga
mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Pada masa orde lama, dimana sistem pemerintahan berganti-ganti mulai dari RIS hingga demokrasi terpimpin, terjadi ketidakstabilan politik yang membuat rendahnya pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan progresif yang telah ditetapkan. Sementara pada masa orde baru, kebijakan yang dikeluarkan cenderung berdasarkan pertimbangan kondisi stabilitas ekonomi negara, dimana pada masa awal industrialisasi, pemerintah
10
Departemen Tenaga Kerja RI. Dirjen Binamas. Direktorat Pengupahan dan Jaminan Sosial Proyek Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Kerja Tahun Anggaran 1997/1998 dalam Sulaiman (2008) 11 Departemen Tenaga kerja RI. Modul Bahan Penyuluhan UMR. Jakarta 1997/1998
Daftar Pustaka BPS. 1991. Perkembangan Angkatan Kerja di Indonesia tahun 1980-1990. Departemen Tenaga kerja RI. Modul Bahan Penyuluhan UMR. Jakarta 1997/1998 Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2011. Perkembangan Ketenagakerjaan di Indonesia. Agusmidah. 2010. Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Medan: USU Press. Cahyono, Bambang. 1986. Pengembangan Kesempatan Kerja. Yogyakarta: BPFE UGM. Sudono, Agus. 1997. Perbuuruhan dari Masa ke Masa. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Sulaiman, Abdul. 2008. Upah Buruh di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.
Lampiran
No. Kebijakan Ketenagakerjaan 1 UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja Mengatur mengenai golongan pekerja sesuai umur dan jenis kelamin, tenggang waktu kerja dan istirahat. Adanya larangan untuk pekerja anak. 2 UU No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan Kerja Mewajibkan perusahaan untuk memberi tunjangan/ganti kerugian kepada buruh yang mendapatkan kecelakaan, (termasuk penyakit yang timbul akibat hubungan kerja), dan bila meninggal, tunjangan diberikan kepada keluarga yang bersangkutan. 3 UU No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan Mewajibkan kepada menteri /badan terkait untuk melakukan pengawasan perburuhan yang ditujukan untuk mengawasi UU dan PP perburuhan yang telah ditetapkan, serta mengatur prosedur pelaporan pelanggaran UU dan hubungan kerja. 4. UU No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan Menekankan bahwa perjanjian perburuhan harus dibuat dengan surat resmi, atas dasar kesepakatan bersama antara buruh (serikat buruh) dan perusahaan, dan kewajiban kedua belah pihak untuk menepatinya. Mogok kerja dianggap sebagai bagian dari pelanggaran perjanjian bagi pekerja. 10 Penjelasan Keterangan
Membentuk Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Daerah, Pusat, dan Panitia Enquete jika perselisihan belum dapat terselesaikan,
6.
tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No 89 mengenai Dasar-Dasar dari Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama
Adapun pokok - pokok Konvensi ILO yang diratifikasi antara lain; menjamin kebebasan buruh untuk masuk atau tidak masuk serikat buruh, melindungi serikat buruh terhadap campur tangan perusahan dalam berorganisasi, dan menjamin penghargaaan hak berorganisasi
tentang Persetujuan Adapun pokok pokok Konvensi Konvensi Organisasi ILO yang diratifikasi antara lain; Perburuhan mewajibkan perusahaan unutk
Internasional (ILO) menjamin pengupahan yang sama No. 100 mengenai bagi Pengupahan Sama bagi buruh laki-laki dan
yang perempuan yang sama nilainya, Buruh nilai pengupahan yang berlainan dan antara buruh tanpa memandang untuk jenis kelamin, tetapi didasarkan yang pada penilaian pekerjaan objektif berdasarkan dijalankan pekerjaan tidak yang termasuk
tentang
Ketentuan- Mengatur ketetapan pokok serta Pokok hak dan kewajiban tenaga kerja Tenaga
tentang Kecelakaan Pengusaha tidak hanya diwajibkan Kerja untuk membayar tunjangan jika terjadi kecelakaan kerja, tapi juga
11
memberikan pencegahan
pembinaan kecelakaan
Jaminan Menetapkan
Program
Jaminan
Sosial Tenaga Kerja dan mengatur mengenai Iuran, Besaran Jaminan, dan Tata Cara Pembayarannya.
11
tentang Ketenagakerjaan
Pembentukan Bipartit
Lembaga
Kerja antara
(Perantara
pengusaha dan buruh), Lembaga Kerja Tripartit (memberikan saran kepada menyusun pemerintah UU dan dalam atau PP dari dan hak
terdiri pekerja,
Penegasan
*Berbeda dengan UU sebelumnya yang mengacu pada UUD 1945, UU ini mengacu pada UUDS 1951.
12
LAPANGAN KERJA PERTANIAN INDUSTRI PERDAGANGAN JASA LAINNYA TAK TERJAWAB JUMLAH
1987 1988 38,661,760 40,557,793 5,803,228 5,996,690 10,567,704 10,649,234 11,493,160 11,402,452 4,125,856 3,906,330 5,600 70,651,088 72,518,009
TAHUN LAPANGAN KERJA PERTANIAN INDUSTRI PERDAGANGAN JASA LAINNYA TAK TERJAWAB JUMLAH
1991 41,205,791 7,946,350 11,430,665 9,530,042 6,310,341 76,423,179 1992 42,153,205 8,255,496 11,746,813 9,911,576 6,451,280 78,518,372 1993 40,071,850 8,784,295 12,508,070 10,566,410 7,269,717 79,200,542 1994 37,857,499 10,840,195 13,967,234 10,755,020 8,618,161 82,032,109 1995 35,233,270 10,127,047 13,883,682 12,121,869 8,744,192 80,110,060 1996 37,720,251 10,840,195 16,102,552 11,728,495 8,687,744 85,701,813 1997 35,848,631 11,214,822 17,221,184 12,637,533 10,127,586 87,049,756
Sumber BPS
13
5 6
7 8 9 10
11 12 13 14 15 16 17
600 1300 0 675 0 635 450 635 1000 500 1000 0 1000
1050 1600 0 750 0 635 700 813 1200 650 1000 0 1000
1300 1050 1600 0 750 780 700 813 1200 650 1000 0 1400
1300 1050 1600 0 750 780 700 813 1200 650 1000 0 1400
1300 1750 2100 0 1200 780 900 1409 1800 1275 1600 0 1400
1300 1750 2500 0 1600 1600 900 1409 1800 1275 1600 0 1800
2000 1750 2500 0 1800 0 1600 1250 2100 2000 1500 1600 2000
2000 2450 3000 0 2200 0 2000 1600 2100 2500 1850 2100 2000
3000 3000 3800 0 3800 0 2700 2200 3000 3300 2350 2500 3000
3000 3500 4600 0 4600 0 3000 2850 3700 3900 2950 2900 3800
3850 3800 5200 0 5200 0 3400 3200 4000 4250 3250 3200 4200 14
4250 4250 5750 0 5121 0 3767 3550 4146 4717 3600 3550 4600
18 Kalimantan Barat Kalimantan 19 Tengah Kalimantan 20 Selatan 21 Kalimantan Timur 22 Sulawesi Utara 23 Sulawesi Tengah 24 Sulawesi Selatan Sulawesi 25 Tenggara 26 Gorontalo 27 Maluku 28 Maluku Utara 29 Irian Jaya
1000 950 1000 850 700 1000 750 0 1000 0 1800 1600
1600 1300 1600 2000 1100 1350 1599 0 1800 0 1800 2000
1800 1600 2275 1600 2000 1100 1750 2125 0 1800 0 2400
2250 2350 2275 2400 2000 1750 1750 2125 0 1800 0 2400
3000 2700 3000 3250 2700 2300 2300 2800 3100 4500
3500 3700 3500 4200 3250 2800 3100 3350 3800 4750
3800 4150 3800 4600 3600 3200 3400 3650 0 4100 0 5150
4217 4600 3750 5100 3933 3550 3750 4033 4533 5667
Sumber: Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja RI 1984-1996 dalam Sulaiman (2008)
15