You are on page 1of 15

Kritik Matan Hadits

I. Pendahuluan
Tidak perlu diragukan bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam di samping al-
Qur'an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus
dilakukan, bukan saja oleh umat Islam, tetapi oleh siapapun yang berkepentingan terhadapnya.
Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur'an yang semuanya dapat diterima, hadis tidak
semuanya dapat dijadikan sebagai acuan atau hujah. Hadis ada yang dapat dipakai ada yang
tidak. Di sinilah letak perlunya meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis secara baik diperlukan
antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya.
Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha
merumuskan kaidah dan atau metode dalam studi hadis.[1] Buah dari pengabdian dan kerja keras
mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai metode yang sangat bagus dalam studi hadis,
terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis
(sanad). Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relatif
mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan
memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dan
lebih akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak.
Sementara itu, untuk studi matan atau teks hadis yang di dalamnya memuat
informasi-informasi dari atau tentang Nabi Muhammad saw., secara metodologis masih jauh
tertinggal. Karena itulah, hendaknya terus dilakukan upaya untuk megembangkan atau
merumuskan kaidah dan metode untuk studi matan hadis.
A. Pengertian Kritik Matan
Yang disebut dengan matan hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang
diover oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal dari sabda Rasulullah saw., sahabat,
ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi maupun perbuatan sahabat yang
tidak disanggah oleh Nabi.[2]
Dalam literatur Arab kata an-naqd dipakai untuk arti kritik atau memisahkan
yang baik dari yang buruk. Kata kritik[3] berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya
seorang hakim, krinein berarti menghakimi, kriterion berarti dasar penghakiman[4]. Dalam
konteks tulisan ini kata kritik dipakai untuk menunjuk kepada kata an-naqd dalam studi
hadis.[5]
Dari arti kebahasaan tersebut, kata "Kritik" bisa diartikan upaya membedakan antara
yang benar (asli) dan yang salah (palsu) .Kata an-naqd ini telah digunakan oleh beberapa
ulama hadis sejak awal abad kedua Hijriah, hanya saja istilah ini belum populer di kalangan
mereka.
Berdasarkan pada perumusan definisi kritik hadits di atas hakikatnya kritik hadits
bukan digunakan untuk menilai salah atau membuktikan ketidak benaran sabda Rasulullah Saw,
karena otoritas nubuwwah dan penerimaan mandat risalah dijamin terhindar dari salah berkata
atau melanggar norma.[6]
Sedangkan sebagai disiplin Ilmu Kritik hadits adalah:


Penetapan status cacat atau adil pada perawi hadits dengan mengunakan idiom khusus
berdasarkan bukti-bukti yang mudah diketahui oleh ahlinya, dan mencermati matam-
matan hadits sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau menilai
lemah dan upayta menyingkap kemuskilan pada matan hadits yang shahih serta mengatasi
gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolok ukur yang detail.[7]
B. Kegelisahan Akademik Tentang Kritik Matan
Dari pengertian kata atau istilah kritik di atas, dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan kritik matan hadis (naqd al-matn) dalam konteks ini ialah usaha untuk menyeleksi
matan-matan hadis sehingga dapat ditentukan antara matan-matan hadis yang sahih atau lebih
kuat dan yang tidak.
Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan tahap pertama ini baru
pada tahap menyatakan kesahihan matan menurut eksistensinya. Pada tahap ini belum sampai
pada pemaknaan matan hadis, kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada terutama
jika menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadis.[8]
Bila terdapat matan-matan hadis yang sangat rumit dikritik atau diseleksi berkaitan
dengan pemaknaannya, maka hal tersebut diserahkan kepada studi matan hadis tahap kedua
yang menangani interpretasi atau pemaknaan matan hadis (mana al-hadits).[9]
Kritik hadits yang dilakukan para ahli hadits tidak hanya terbatas pada sanad, seperti
anggapan sebagian orang. Kritik juga meluas pada matan dan makna hadits. Hal ini sudah
dimulai sejak masa sahabat dan tumbuh berkembang pada era berikutnya.
Karena jumlah periwayat yang tidak dapat dipercaya riwayatnya semakin bertambah
banyak. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadis makin bertambah besar dan
mereka pun merumuskan kaidah dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi hadis.
Misalnya saja, untuk menyeleksi hadis-hadis yang sahih dan yang maudu' para pakar
hadis menetapkan ciri-ciri hadits maudu sebagai tolok ukurnya, begitu juga dalam hadis palsu
ulama hadits telah menetapkan tanda-tanda matan hadis yang palsu[10].
Sedangkan kajian terhadap masalah-masalah yang menyangkut matan disebut naqd
al-matan (kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian karena yang dibahasnya adalah
materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah SAW. Pokok
pembahasannyameliputi:
1. Rakhakhah al-lafz yakni kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi
2. Fasad al-ma'na, yakni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna hadis karena bertentangan
dengan al-hiss (indera) dan akal, bertentangan dengan nash Al-Qur' an, dan bertentangan
dengan fakta sejarah yang terjadi pada masa Nabi SAW serta mencerminkan fanatisme
golongan yang berlebihan
3. kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya
yang umum dikenal.
C. Para Generasi (sahabat, Tabi'in) dalam Kritik Hadits
1. Pada Masa Sahabat
Secara historis, sesungguhnya kritik atau seleksi (matan) hadis dalam arti upaya
untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi
masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian
untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui
atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh
beliau. Praktik tersebut antara lain pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Kaab,
Abdullah bin Amr, Umar bin Khattab, Zainab istri Ibn Masud dan lain-lain.[11]
Pada periode sahabat menurut pengamatan Al-Hakim (w. 405 h. )dan al-Dzahabi (w.
748 h) adalah Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 h) sebagai tokoh perintis pemberlakuan uji kebenara
pemberlakuan hadits.[12] Motif utama penerapan kritik hadits adalah dalam rangka melindungi
agar tidak terjadi kedustaan dengan mengatasnamakan Rasulullah Saw. Motif seperti itu
terungkap pada pernyataan Umar Ibn Khatab kepada Abu Musa al-Az'ari: "Saya sesungguhnya
tidak mencurigai kamu, akan tetapi saya khawatir orang (dengan seenaknya) memperkatakan
sesuatu atas nama Rasulullah Saw.[13]
Kaidah Kritik lebih tertuju pada uji kebenaran bahwa Rasulullah benar-benar
menginformasikan hadits tersebut. Namun apabila ada seorang sahabat yang meriwayatkan
hadits dengan kalimat yang berbeda namun semakna (Syahid al-Hadits) maka cara yang
dilakukan cukup meminta agar sahabat periwayat hadits berhasil mendatangkan sahabat lain
(sebagai riwayat pendukung) yang memberikan kebenaran atas hadits Nabawi yang ia beritakan.
Langkah metodologis tersebut berkesan seakan akan kalangan sahabat tidak bersedia menerima
informasi hadits kecuali dibuktikan minimal oleh dua orang yang sama-sama menerima hadits
tersebut dari Rasulullah Saw.[14]
Tradisi kritik Matan di lingkungan sahabat selain menerapkan kaidah muqaranah[15]
berlaku juga metode Mu'aradhah[16], namun pengunaan metode Mu'aradhah pada periode
sahabat belum sepesat periode Tabi'in.[17]Langkah pencocokan dalam metode Mu'aradhah
dengan petunjuk eksplisit dari al-Quran (Zhahir al-Quran), pengetahuan kesejarahan (sirah
Nabawiah) dan dengan penalaran akal sehat.
Uji kecocokan hadits dengan petunjuk eksplisit al-Quran misalnya pengakuan pribadi
Fatimah binti Qais al-Quraisiah bahwa ketika dirinya dinyatakan jatuh thalaq ba'in oleh
suaminya. Rasulullah Saw Tidak memberikan fasilitas nafakah maupun kediaman atas beban
suaminya, selama menjalani masa 'iddah (HR. Muslim dan Abu Dawud)[18]. Khalifah Umar bin
Khatab menolak pengakuan tersebut yang di asosiasikan kepada Nabi Saw karena menurut
keyakinan pribadinya informasi hadits tersebut bertentangan dengan petunjuk eksplisit al-Quran
seperti terbaca pada surah at-Thalaq ayat 6.
O}-ONLc ;}g` +^OEO +-4Ec }g)`
7gu}N 4 O}-GO._> W-Oj1_+-g
O}jgOU4N _ p)4 O}7 geq uEO
W-Og^ O}jgOU4N _/4EO =}u_4C
O}_UuEO _ up) =}u=O 7
O}-O>4* O}-4OON_q W W-NEg>4
74LuE4 lNEuEg W p)4 u7uO= E>
7uO7=O N. O4Eu=q ^g
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.
Ketika dilakukan verifikasi data pada subjek Fatimah binti Qais ternyata yang
bersangkutan bermula mohon perkenaan Nabi untuk tidak tinggal di rumah keluarga suami
selama menjalani masa iddah dengan pertimbangan di lokasi perkampungan mantan suami
banyak berkeliaran binatang buas. Seperti terungkap pada koleksi al-Bhukari, Ibnu Majah serta
Abu Dawud. Jadi pengakuan Fatimah binti Qais itu dari persepsi pribadinya bahwa persetujuan
Nabi Saw tidak mengisyaratkan adanya fasilitas nafaqah dan tempat tinggal selama masa 'iddah
pasca thalaq ba'in menimpanya.[19]
2. Periode Tabi'in
Pada periode pasca sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadis yang semakin
banyak dan meluas, dan banyak bermunculan (matan-matan)} hadis palsu (maudu).
Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi guna
menentukan hadis-hadis yang benar-benar berasal dari Nabi.[20]
Integritas keagamaan pembawa berita hadits mulai diteliti sejak terjadi fitnah, yakni
peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan yang berlanjut dengan kejadian-kejadianlain
sesudahnya. Fitnah tersebut melahirkan berbagai pertentangan yang tajam di antara umat Islam,
sehingga keutuhan umat islam menjadi terpecah. Pemuka aliran sekterian itu memanfaatkan
institusi hadits sebagai propaganda dan upaya membentuk umat dengan cara membuat hadits-
hadits palsu.[21]
Fakta pemalsuan itu membangkitkan kesadaran Muhaditsin untuk melembagakan
sanad sebagai alat kontrol periwayatan hadits sekaligus mencermati kecenderungan sikap
keagamaan dan politik orang per-orang yang menjadi mata rantai riwayat itu. Dalam rangka
mengimbangi pelembagaan sanad maka lahirlah kegiatan Jar wa-ta'dil[22]. Kegiatan Jarh wa-
ta'dil menurut pengamatan al-Dzahabi (w. 784 h) telah melibatkan 715 kritikus.[23]Data itu
cukup mengisyaratkan bahwa penalsuan hadits tak terbendung dan berlangsung dalam waktu
yang lama (21 generasi) serta bertempat di banyak daerah.
Sekalipun Kritik sanad telah memperoleh perhatian yang besar di kalangan muhaddits
generasi tabi'in, bukan berarti tradisi kritik matan di hentikan, bahkan penerapan metode
mu'aradhah (pencocokan) semakin diperluas jangkauannya.
Sebagai bukti ketika Kuraib (seoarang murid Ibnu Abbas) membawa hadits tentang
pembetulan posisi berdiri Abdullah bin Abbas berada di samping Nabi Saw saat makmum shalat
malam di kediaman Maimunah, menurut penuturan Imam Muslim bin al-Hajaj (w 261 h) dalam
al-Tamyiz telah di upayakan uji kebenaran redaksi matanya dengan melibatkan empat orang
murid kuraib dan sembilan murid hadits Ibnu Abbas yang seangkatan masa belajarnya dengan
kuraib.[24] Dari cara Mu'aradhah itu diperoleh kepastian bahwa Nabi Saw memposisikan sikap
berdiri Ibnu Abbas selaku makmum tunggal di samping kanan badan Nabi Saw. Dengan hasil
akhir seperti itu, ungkapan matan yang melalui Yazid bin Ali Zinad dari khuraib dinyatakan
lemah (mahhlub).
Demikian pula kritik asal makna (konsep ajaran) yang dikandung matan hadits makin
berfariasi kaedah yang di terapkan. Perkembangan Kritik Matan Hadits bergerak melalui
spesialisasi keilmuan dan kecenderungan pemikir hadits.[25]
Ulama hadits yang menekuni keahlian bahasa mencermati dan memperbandingkan
bahasa (gaya bahasa) teks matan hadits yang bersifat Qauliy dengan ukuran bahasa tutur Nabi
Saw dalam komunikasi sehari-hari yang dikenal sanggat fasih. Ulama Hadits denga spesialisasi
pendalaman konsep doktrinal memperbandingkanya dengan konsep kandungan sesama hadits
(sunah) dan dengan al-Quran. Kritik oleh muhadits yang membidangi akidah dan mutakalimin
terfokus pada hadits-hadits bermateri sifat-sifat Allah dan materi alam gaib dengan kaedah
menyikapi gejala kemuskilan.
Kritikus hadits generasi mutakhir sibuk merespon sikap keragu-raguan dalam
memahami dan mengoperasionalkan ajaran hadits berhubung dinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kecenderungan bersikap kritis umat masa kini.[26]
D. Perhatian Ahli Hadits Tentang Kritik Matan
Di antara bukti adanya usaha pengembangan metodologi studi (kritik) matan hadis
itu, terlihat dari terbitnya sejumlah buku. Misalnya, pada tahun 1983 penerbit Dar al-Afaq di
Beirut menerbitkan buku karya Salah ad-Din al-Adlabi yang berjudul Manhaj Naqd al-Matn
inda al-Ulama al-Hadis an-Nabawi. Setahun kemudian yakni 1984 di Riyad terbit buku karya
Musfir Azm Allah ad-Dumaini yang berjudul Maqayis Naqd al-Mutun as-Sunnah. Tahun 1986
di Tunis, Muassasat Abdul Karim bin Abd Allah menerbitkan buku karya Muhamad Tahir al-
Jawabi yang berjudul Juhud al-Muhaddisin fi Naqd al-Mutun al-Hadis an-Nabawi asy-Syarif.
Dan tahun 1989 al-Mahad al-Islami li al-Fikr al-Islmi, yang berkedudukan di Amerika
menerbitkan buku karya Yusuf al-Qardawi yang berjudul Kaifa Nataamalu maa as-Sunnah an-
Nabawiyyah.[27]
Dalam karya-karya tersebut di atas mereka telah berusaha merumuskan metode studi
(kritik) matan hadis, dalam konteks ini term kritik dimaksudkan tidak sekedar seleksi atau
koreksi teks/matan hadis, tetapi juga pada aspek interpretasi atau pemaknaan teks/matan hadis.
Kritik matan hadis dalam pengertianya adalah melakukan seleksi dan koreksi
terhadap berbagai naskah kitab hadis sampai sekarang masih banyak dipraktikkan, dengan
model-model yang semakin bagus. Upaya kritik matan yang dapat dikategorikan dalam konteks
ini, misalnya terlihat dari banyaknya kitab-kitab kumpulan hadis yang diterbitkan setelah
dilakukan penelitian berupa koreksi tahqiq[28] atau tadbit, pada umumnya dengan memberikan
komentar singkat dalam catatan kaki dan terkadang memberikan takhrij[29] al-hadis-nya.
Misalnya, kritik teks yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi, dosen
mata kuliah ushul al-fiqh di Fakultas Syariah Kairo, terhadap kitab an-Nasikh wa al-Mansukh
min al-Hadits karya Abu Hafs Umar bin Ahmad bin Syahin al-Bagdadi (w. 385 H) yang lebih
dikenal dengan nama Ibnu Syahin dan kitab Ikhbar Ahl ar-Rusukh fi al-Fiqh wa at-Tahdits bi
Miqdar al-Mansukh min al-Hadits karya Imam Abu al-Faraj Abd ar-Rahman bin al-Jauzi (w.
597 H) yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Jauzi. Atau kritik yang dilakukan oleh Dr. Mustafa
al-Azami terhadap naskah/teks kitab himpunan hadis Sahih Ibn Khuzaimah.
E. Metode Apresiatif Untuk mendeteksi Matan Hadits
Dilihat dari objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat dibagi menjadi
dua macam :
1. kritik matan pra kodifikasi semua hadis, dalam kitab-kitab hadis. Dan
2. kritik matan pasca kodifikasi semua hadis.
Untuk kritik matan hadis model pertama pernah dilakukan oleh sejumlah sahabat
Nabi dan sejumlah ulama kritikus hadis. Karena perbedaan keadaannya, tentu saja model
pertama ini tidak dapat sepenuhnya dilakukan oleh para kritikus hadis pasca kodifikasi, termasuk
zaman sekarang, apalagi rentang waktunya sudah sangat jauh. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan sebagian metode atau teknik yang pernah diterapkan dalam kritik teks/matan hadis
pra kodifikasi hadis, dapat diaplikasikan untuk kritik matan pasca kodifikasi hadis.
Pengklasifikasian ini diperlukan karena memiliki implikasi terhadap metode atau
teknik kritik matan hadis. Berikut ini akan diuraikan metode kritik matan-matan hadis pra
kodifikasi dan pasca kodifikasi.
a. Metode Kritik Matan Hadits prakodifikasi.
Dari berbagai teknik dalam kritik matan hadis periode ini secara umum dapat
dikategorikan memakai metode perbandingan (comparative). Di antara teknik-teknik
perbandingan yang tercatat pernah dipraktikkan adalah dengan teknik sebagai berikut:
1. Membandingkan matan hadis dengan ayat al-Quran yang berkaitan.
Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab
misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh
Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang
nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak
sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.[30]
2. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-hadis yang
disampaikan dari hafalan.[31]
Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi
matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh
Sufyan melalui Ibnu Masud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih
hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab Abdullah bin
Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang
perselisihan.
3. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu
yang berlainan.
Teknik perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh Aisyah salah seorang istri nabi.
Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu Urwah bin Zubair untuk menanyakan sebuah
hadis, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu dari dunia, kepada Abdullah bin Amr bin al-
As (w. 65 H=685 M) yang tengah menunaikan ibadah haji. Abdullah pun menyampaikan hadis
yang ditanyakan itu. Karena Aisyah merasa tidak puas, tahun berikutnya, ia meminta Urwah
kembali menemui Abdullah yang naik haji lagi dan menanyakan hadis yang telah ditanyakannya
setahun yang lalu. Ternyata lafal hadis yang disampaikan oleh Abdullah sama persis dengan lafal
yang disampaikannya setahun yang lalu.[32]
4. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari satu guru.
Teknik ini misalnya dipraktikkan oleh (Yahya) Ibnu Main (w.233 H=848 M) salah
seorang ulama kritikus hadis terkemuka. Ia pernah membandingkan karya Hammad bin Salamah
(w. 167 H=784 M) seorang kritikus terkenal dari Basrah, dengan cara menemui dan mencermati
tulisan delapan belas orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu
Main menemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Hammad maupun murid-muridnya.
5. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.
Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula tatkala
Marwan menerima hadis yang disampaikan oleh Abd ar-Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam
bin al-Mugirah yang bersumber dari Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan bahwa
Rasulullah saw. Ketika waktu fajar (salat Subuh) beliau dalam keadaan berhadas besar (karena
pada malam harinya bersenggama dengan istri beliau). Kemudian beliau mandi dan tetap
berpuasa (pada hari itu). Mendengar hadis tersebut, Marwan segera menyuruh Abd ar-Rahman
menemui Abu Hurairah, karena Abu Hurairah pernah meriwayatkan hadis yang menyatakan
bahwa apabila sesorang pada waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas besar karena pada
malam harinya bersenggama dengan istrinya, maka Nabi menyuruh orang tersebut membuka
puasanya. Abd ar-Rahman menemui Abu Hurairah di Zulhulaifah, dan menyampaikan
kepadanya hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di atas). Pada saat
itu Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut tidak langsung dari Nabi,
melainkan dari al-Fadl bin Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl lah yang lebih
mengetahui hadis tersebut.[33]
b. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi.
Seperti halnya kritik matan hadis pra kodifikasi, untuk kritik matan pasca kodifikasi
pun metode perbandingan tetap masih dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu
disesuaikan sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Secara rinci, dapat diuraikan bahwa
teknik kritik matan pada fase ini, termasuk zaman sekarang, dapat dilakukan antara lain dengan
teknik sebagai berikut:
1. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Quran yang terkait atau memiliki
kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi
perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-
matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena
redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis
hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-mana). Namun
demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakuan, dan analisis perbandingan
matan-matan hadis dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik, misalnya ketika terjadi
perbandingan matan-matan hadis yang semakna dengan redaksi yang berbeda, sementara
terdapat ayat al-Qur'an yang memiliki kemiripan (susunan redaksinya). Dalam konteks ini
jelaslah bahwa keakuratan dalam penujukan ayat yang menjadi pembandingnya merupakan
prasyarat untuk dapat melakukan kritik matan hadis melalui ayat al-Qur'an.
2. Membandingkan antara matan-matan hadis.
Agar dapat melakukan kritik matan hadis dengan teknik ini, hendaknya didahului
dengan langkah pertama yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-
hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan
istilah takhrij al-hadis, dalam tahap ini sangatlah diperlukan.
Teknik-teknik perbandingan atau yang lainnya untuk melakukan kritik matan, dapat
terus dikembangkan. Dan hal ini bisa dilakukan dengan terus melakukan latihan atau praktik.
F. Kesimpulan
Dari uraian di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa kritik matan hadis merupakan
bagian yang sangat penting dan integral dalam proses studi (matan) hadis. Secara praktis, kritik
ini memang telah ada sejak para sahabat Nabi, dan dilanjutkan oleh para kritikus hadis terutama
pra kodifikasi hadis.
Kesahihan yang berhasil diseleksi dalam kegiatan kritik matan tahap pertama baru
sampai pada tahap menyatakan kesahihan matan menurut eksistensinya. Pada tahap ini belum
sampai pada pemaknaan matan hadis, kendatipun unsur-unsur interpretasi matan boleh jadi ada
terutama jika menyeleksi matan dengan cara melihat tolok ukur kesahihan matan hadis.[34]
Bila terdapat matan-matan hadis yang sangat rumit dikritik atau diseleksi berkaitan
dengan pemaknaannya, maka hal tersebut diserahkan kepada studi matan hadis tahap kedua
yang menangani interpretasi atau pemaknaan matan hadis (mana al-hadits).[35]
Dan saat ini matan-matan hadis telah terkodifikasikan, tetapi masih belum
terumuskan kaidah-kaidah atau metode kritik matan. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan
bagian dari usaha untuk mengembangkan studi kritik matan hadis dari aspek motodenya.
Daftar Pustaka
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Mesir : Maktabah Tijariah Kubro) th 1951. indeks hadits 5184
Khudlari Byk, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Mesir: Dar Ihya' al-Kutub) Th 1964, hlm 113
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) th 2004
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fath al-Bari bi Syarh Sahih al-Bukhari. Juz III dan IV. Diberi nomor
oleh Muhamad Fuad Abd al-Baqi, dan dikoreksi oleh Muhibuddin al-Khatib. t.k.:
Maktabah as-Salafiyah, t.t.
Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa) th. 1987
Azami, Muhammad Musthafa. Metodologi Kritik Hadis. Terj. A. Yamin. Jakarta: Pustaka
Hidayah, 1992.
CD (Compact Disk) Mausuah al-Hadis\ asy-Syarif .
http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
http://kafilahcinta.roomforum.com/al-hadist-f3/arti-sanad-dan-matan-hadis-t9.htm
http://mandicahaya.blogspot.com/2009/02/study-matan-hadis.html
http://myislam.blogspot.com/2007/01/kritik-matan-hadist-shahih-bukhari-vs.html
http://opi.110mb.com/haditsweb/pendahuluan/sanad_dan_matan.htm
http://penulispinggiran.blogspot.com/2008/09/proses-dan-prosedur-penelitian-matan.html
http://www.cybermq.com/pustaka/detail//98/ulumul-hadis-hadis-ar--ulum-al-hadls
http://www.ustsarwat.com/search.php?id=1204143059
Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.


[1] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
[2] http://kafilahcinta.roomforum.com/al-hadist-f3/arti-sanad-dan-matan-hadis-t9.htm
[3] Kata "kritik" berkonotasi pengertian bersifat tidak lekas percaya, tajam dalam penganalisaan,
ada uraian baik buruk terhadap suatu karya. ( Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum
Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka) hlm. 466
[4] Atar Semi, Kritik Sastra (Bandung: Angkasa, 1987) hlm.7.
[5] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
[6] Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm. 10
[7] Al-Jawabi, juhud al-Muhaditsin, hlm 94
[8] http://mandicahaya.blogspot.com/2009/02/study-matan-hadis.html
[9] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
[10] ciri-ciri yang telah ditetapkan antara lain : Apabila susunan bahasanya rancu, isinya
bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional, isinya
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, isinya bertentangan dengan hukum alam
(sunnatullah), isinya bertentangan dengan sejarah, isinya bertentangan dengan petunjuk al-
Quran atau hadis mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti, isinya berada di luar
kewajaran bila diukur dari petunjuk ajaran
Islam.(http://mandicahaya.blogspot.com/2009/02/study-matan-hadis.html)
[11] Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi kritik hadis dilanjutkan oleh para sahabat. Pada
periode ini, tercatat sejumlah sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w.
13 H=634 M), yang diikuti oleh Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) dan Ali bin Abi Thalib (w.
40 H=661 M). Sahabat-sahabat lain yang dikenal pernah melakukan kritik hadis, misalnya
Aisyah (w. 58 H=678 M) istri Nabi, dan Abd Allah bin Umar bin al-Khattab (w. 73 H=687 M)
Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm 27
[12] M.M. al-Azhami, Manhaj al-Naqd, Hlm 10-11 dan al-Jawabi, Juhud al- Muhadditsin, hlm
103
[13] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Mesir : Maktabah Tijariah Kubro) th 1951. indeks hadits
5184
[14] Khudlari Byk, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Mesir: Dar Ihya' al-Kutub) Th 1964, hlm 113
[15] Muqaranah : perbandingan antar sesama riwayat dari sesama sahabat. Pola Muqaranah antar
riwayat ini kelak menyerupai praktik iktibar guna mendapatkan data syahid al-Hadits agar
asumsi kemandirian sahabat periwayat hadits bisa dibuktikan
[16] Metode Mu'aradhah adalah pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan
hadits, agar tetap terpelihara keselarasan antar dalil syari'at dengan Hadits.
[17] MM. Al-A'zami, Manhaj al-Naqd, hlm 59
[18] Abu Dawud ,Sunan Abi Dawud, no. Indeks 2284 & 2290.
[19] Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm 30-33
[20] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
[21] Hasjim Abbas. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm 34
[22] mencermati kecacatan pribadi perawi dan keterpujianya.
[23] Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin, hlm 144
[24] MM. Al-A'zami, Manhaj al-Naqd, hlm 183-184
[25] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hlm. 122
[26] Apabila pada periode sahabat kritik matan hadits dilakukan semata-mata guna memperoleh
kemantapan pemberitaan, maka pada pasca fitnah, segala langkah metologis kritik sanad dan
matan di orentasikan pada maksud dan tujuan pemikiran maqbul (diterima sebagai hujjah ) atau
harus Mardud / ditolak. Hasjim Abbas. Kritik Matan Hadits ( Yogyakarta : Teras) hlm 37)
[27] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
[28] Kata tahqiq ini memiliki dua pengertian yang pertama berma'na melihat sejauh mana
kebenaran yang terkandung di dalam sebuah teks, yang kedua berma'na sebuah Ilmu yang
mempelajari seluk beluk teks pada karya karya peninggalan klasik
[29] Takhrij = Penelusuran atau pencarian hadits dalam berbagai kitab hadits.
[30] Demikian juga Aisyah, dalam beberapa kasus ia pernah mengkritik sejumlah (matan) hadis
yang disampaikan (diriwayatkan) oleh sahabat lainnya yang menurut pemahamannya tidak
sejalan dengan kandungan ayat al-Qur'an. Sebagai contoh beliau mengkritik hadis yang
disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan ibnu Umar yang menyatakan bahwa orang
yang meninggal dunia akan disiksa karena ratapan tangis keluarganya. Menurut Aisyah hadis
tersebut tidak sejalan dengan al-Qur'an. http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
[31] Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan dengan versi lisan, para ulama
biasanya lebih memilih versi tulisan dari pada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz).
[32] Hal yang serupa juga pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam (w. 65 H= 685 M) yang
pada saat itu sedang menjabat sebagai gubernur Madinah. Ia mengundang Abu Hurairah (w. 58
H=678M) untuk menyampaikan hadis yang pernah disampaikan beberapa waktu sebelumnya
http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28
[33] Jadi, dapat dinyatakan bahwa metode kritik model pertama ini lebih merupakan pengalaman
sejarah, karena hadis-hadis Nabi sekarang ini telah dikodifikasikan. Namun demikian, sebagian
metodenya, masih ada yang relevan untuk diterapkan terhadap model kedua dengan adanya
modifikasi.
[34] http://mandicahaya.blogspot.com/2009/02/study-matan-hadis.html
[35] http://elkhalil.multiply.com/journal/item/28

You might also like