You are on page 1of 16

1

Hukum dan Etika Pers: Suatu Tinjauan Kritis

Diskursus tentang hukum dan etika pers memerlukan analisis yuridis dan filosofis untuk menentukan garis demarkasi yang jelas antara hukum dan etika dalam konteks pers. Acuan teoritis yang digunakan dalam tulisan ini pers dalam pengertian sempit yaitu media cetak: surat kabar, tabloid dan majalah. Pilihan ini dilatarbelakangi oleh alasan historis dan politis. Sebagai ilustrasi surat kabar, misalnya. Sejak awal eksistensinya seperti telah ditakdirkan sebagai oposan kekuasaan politik. Tekanan pertama yang dihadapi pers negeri ini dimulai tahun 1712 ketika usaha menerbitkan surat kabar di Batavia berbentuk kabar dalam negeri, berita kapal dan semacamnya digagalkan oleh VOC (Vereenigde OostIndische Compagnie) Alasannya, VOC takut saingan dagangnya: Inggris, Portugis dan Spanyol memperoleh keuntungan dari berita dagang yang dimuat koran itu. Singkatnya, sejarah pembredelan pers adalah tradisi kolonial (Smith, 1986). Pers Indonesia senantiasa dihadapkan pada keharusan berjuang dalam banyak hal. Mulai dari memperjuangkan kebenaran faktual menjadi aktual dan kontrol terhadap penguasa politik sampai dengan memperjuangkan dirinya sendiri tumbuh dan berkembang menjadi institusi sosial yang fungsional sesuai dengan bidang garapannya yakni jurnalisme. Tetapi pers tidak hadir sendirian. Ia hidup bersama pemerintah di dalam kesatuan sosial yang bernama masyarakat (society) dan kesatuan politik bernama negara (state). Konsekuensinya, interaksi ketiganya itu menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu diperlukan regulasi atau

2 aturan main (rule of the game) yang harus ditaati bersama. Regulasi terhadap pers sebagai institusi sosial disebut hukum. Sementara regulasi pers sebagai jurnalisme disebut etika (Siregar, 1994).

Pers sebagai Institusi Sosial dan Jurnalisme Berbicara tentang pers mencakup dua pengertian sebagai berikut: Pertama, pers sebagai institusi sosial yang berfungsi sebagai kontrol sosial (watch dog of the press) bagi institusi lainnya seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebagian pakar berpendapat di sinilah manifestasi pers sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) dalam sistem sosial. Masalahnya, pers tidak bisa disebut sebagai institusi sosial apabila produk jurnalistik yang dihasilkannya tidak bermakna secara sosial. Dari sinilah dimulai pembahasan berikutnya pers dalam konteks jurnalisme. Kedua, pers sebagai jurnalisme berarti kinerja pelaku profesional dalam rangka memilih dan memilah realitas sosial yang akan diolah sebagai informasi yang akan dibaca di surat kabar atau majalah, didengar di radio atau disaksikan di televisi. Dalam konteks jurnalisme ini pulalah realitas sosial diubah menjadi realitas media massa dalam dua bentuk: Pertama, realitas sosiologis dalam tataran obyektif yang bermanfaat bagi publik. Misalnya, berita tentang naiknya harga BBM, TDL, PAM dst. Kedua, realitas psikologis yang hanya bermain dalam tataran subyektif pengisi waktu luang untuk melupakan atau lari sejenak dari realitas empiris yang tidak mengenakkan. Misalnya, berita seputar kawincerainya artis sinetron dan sejenisnya produk beberapa infotainment di layar

3 kaca. Secara akademik ini sebetulnya tidak layak disebut pers meskipun mekanisme kerjanya sesuai dengan kinerja jurnalistik. Sebab eksistensi pers dapat dilihat dari dua perspektif: Pertama, tindakan profesional dan hasil kerja pelaku profesi (baca: jurnalis) yang menjalankan kegiatan jurnalisme. Kedua, bila tampilan (performance) jurnalisme tersebut bermakna sosial maka pers tersebut layak disebut institusi sosial. Tetapi tindakan profesional tetap menjadi dasar eksistensi pers sebagai institusi sosial (Siregar, 1987).

Hukum dan Kekuasaan Politik Law is not neutral. Law has never been neutral. Politically, law has always been a product of political struggle in which the law may used as a tool of repression, legitimacy or distribution justice. Obviously, the law is not given and is not something that fall from heaven. There must be political power to fight and change the law demikian kutipan disertasi doktor Todung Mulya Lubis. Ia mengatakan bahwa hukum tidak netral dan tidak akan pernah menjadi netral. Sebab hukum adalah produk politik atas nama kekuasaan. Tidak peduli kekuasaan itu punya legitimasi demokratis atau tidak (Lubis, 1993). Secara filosofis hukum terbagi dua: Pertama, hukum kodrat atau hukum moral prapositif yakni hukum moral yang berlaku dengan sendirinya mendahului perundang-undangan manusia. Kedua, positivisme hukum yakni hukum yang ditetapkan atau diundangkan. Perdebatan akademik dimulai dari perspektif hukum kodrat. Artinya, hukum positif hanya sah apabila sesuai dengan hukum moral prapositif ini. Sebaliknya, dari perspektif hukum positif sah dengan

4 sendirinya setelah diundangkan. Serta menolak anggapan perlunya hukum positif disesuaikan dengan hukum moral prapositif apapun. Dengan kata lain, adil adalah sesuai dengan hukum positif. Secara teoritis, hukum kodrat dipengaruhi oleh filsafat Stoa 300 SM 200 M (Yunani) yang mengajarkan bahwa logos Illahi meresapi alam semesta. Tatanan alamiah juga kodrat manusia mencerminkan logos Illahi itu. Stoaisme ini dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106 43 SM) di bawah kekaisaran Romawi seiring runtuhnya peradaban Yunani. Cicero menyebut hukum kodrat sebagai lex acterna yakni hukum abadi Illahi yang tercermin dalam hukum kodrat alam semesta yang termanifestasi dalam dua bentuk: Pertama, hukum alam yang berlaku untuk makhluk yang tak berakal budi. Kedua, hukum moral yang berlaku untuk manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Pandangan Cicero ini menjadi paham utama dalam filsafat Eropa melalui pemikiran St Agustinus (354 430) dan Thomas Aquinas (1225 1274) yang membedakannya menjadi tiga jenis hukum: Pertama, hukum abadi (lex acterna) yang merupakan kebijakan atau rencana abadi Illahi berkenaan dengan penciptaan alam semesta. Kedua, hukum kodrat (lex naturalis) yang secara hakiki merupakan realitas dan kekhasan ciptaan Illahi. Ketiga, hukum manusia atau hukum positif (lex humana) yang merupakan hukum yang ditetapkan atau diundangkan (Magnis Suseno, 1999). . Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, positivisme hukum yang

menguasai pemikiran politik Barat abad IX - XX hanya melihat hukum positif yang layak disebut hukum meskipun isinya bertentangan dengan prinsip-prinsip

5 moral. Ia hanya bisa berubah melalui desakan politik. Filsuf yang mendukung paham ini diantaranya Thomas Hobbes (1588 1679) dan David Hume (1711 1776) yang berasal dari empirisme Inggris.

Hukum Pers dan Delik Pers More recently theorists have emphasized that law is written by legislators who are influenced by political pressures. Dalam negara modern hukum dinilai sebagai perangkat yang sah untuk menyelesaikan segala konflik yang terjadi. Teori kepastian hukum menyebutkan: Pertama, hukum tidak boleh menimbulkan kekaburan makna. Kedua, hukum memberikan arah pelaksanaan dengan jelas. Ketiga, hukum konsisten dengan tujuan lain yang hendak dicapai masyarakat. Di mana ada masyarakat di sana ada hukum (ubi societas ubi ius). Gustav Radbruch menyebutkan syarat-syarat hukum: Pertama, secara filosofis hukum harus menjamin keadilan. Kedua, secara sosiologis hukum harus bermanfaat. Ketiga, secara yuridis hukum harus mengandung kepastian. Untuk menjamin semua fungsi hukum berlaku principle of legality: Pertama, keputusan hukum tidak bersifat ad hoc. Kedua, peraturan yang telah dibuat harus diumumkan, tidak berlaku surut, disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti, tidak saling bertentangan, cocok dengan pelaksanaan dan tidak berubah-ubah. Ketiga, tuntutan hukum tidak boleh melebihi yang didakwakan (Sadono, 1993). Diskursus hukum pers mengandung dua tujuan: Pertama, hukum sebagai instrumen politik yang merupakan perangkat kekuasaan untuk mengendalikan masyarakat. Ia bisa sesuai dengan karakteristik institusi sosial yang diaturnya

6 tetapi bisa juga semata-mata demi status quo. Kedua, hukum sebagai instrumen sosial yang merupakan pengakuan yuridis atas norma sosial yang mengatur institusi sosial atau prilaku profesional. Dalam konteks ini pers dilihat dalam perspektif sosiologis dengan abstraksi kuasi akademis. Singkatnya, interpretasi akademis merupakan langkah untuk memberi peluang perspektif hukum.

Sebaliknya, interpretasi politis digunakan untuk pengambilan keputusan atas dasar kekuasaan. Pers memerlukan deregulasi untuk mengurangi campur tangan pengendalian kekuasaan terhadap institusi pers dan memerlukan regulasi yang mengatur pola hubungannya dengan institusi sosial lainnya (Siregar, 1994). Hukum pers mencakup dua bidang: Pertama, menyangkut perusahaan pers (code of enterprise) berkaitan dengan masalah perdata. Kedua, menyangkut isi media massa (code of publication) berkaitan dengan masalah pidana (Adji, 1973). Yang terakhir ini menyangkut tanggung jawab pidana tulisan yang dimuat di media massa, hak jawab, hak ingkar dan delik pers. Delik pers adalah rumusan hukum pidana yang membatasi kebebasan pers atau perbuatan pidana yang dilakukan pers dengan tiga kriteria: Pertama, dilakukan dengan barang cetakan. Kedua, pernyataan pikiran dan perasaan. Ketiga, dipublikasikan. Sementara klasifikasi delik pers ada lima: Pertama, keamanan negara dan ketertiban umum. Kedua, penghinaan baik kepada perorangan, kepala negara asing dan pemerintahan yang sah. Ketiga, penodaan agama. Keempat, pornografi dan kesusilaan umum. Kelima, kabar bohong atau menghasut. Komparasinya di AS ada pembatasan kebebasan untuk mencegah

7 abuse of liberty: Pertama, protection of individual against falsehood and common standards of community. Kedua, security against internal violence, external aggression and disorder. Penyelesaian delik pers ini lebih banyak bersifat politis daripada yuridis. Ini dicatat oleh Edward C Smith dalam disertasi doktornya A History of Newspaper Suppression in Indonesia di Universitas Iowa AS. Selama Orde Baru berkuasa telah menghasilkan berbagai produk hukum pers. Diantaranya UU No.11/1966 dan UU no.4/1967 memunculkan SIT (Surat Izin Terbit) yang hanya mengatur perkara pidana, UU No.21/1982 memunculkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang mengatur perkara pidana dan perdata sekaligus yang tercermin dalam Permenpen No.01/1984: SIUPP yang telah diberikan kepada perusahaan pers/penerbitan pers dapat dibatalkan oleh Menpen setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers. Pemerintah Orde Baru lebih menyukai penyelesaian politis daripada yuridis. Ini terlihat secara hierarki berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 Permenpen No.01/1984 bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dengan demikian, tafsir yuridis mengharuskan Permenpen No.01/1984 itu harus batal demi hukum. Korban terakhir tercatat pembredeilan Majalah TEMPO, Majalah EDITOR dan Tabloid DeTIK tanggal 21 Juni 1994. Ambruknya rezim Orde Baru membawa perubahan bagi dunia pers dengan diberlakukannya UU No.40/1999 yang mengeliminasi eksistensi SIUPP oleh pemeritahan BJ Habibie.

Etika dan Sistem Pers

8 Etika (ethics): tidak lain dari filsafat moral (moral philosophy) yang mengkaji nilai (judgement of value) dan kewajiban (judgement of obligation). Dengan kata lain, etika merupakan uraian sistematis tentang hakekat moralitas dan peranannya dalam kehidupan manusia. Ia merupakan cabang aksiologi (filsafat nilai) yang menelaah hakekat baik dan buruk (Kattsoff, 1996). Tindakan manusia merupakan dialektika antara dunia subyektif (ego) vis a vis dunia obyektif (alter) yang terdiri dari obyek sosial, fisik dan budaya yang merupakan sistem nilai dan jadi acuan dalam bertindak. Ada korelasi antara nilai moral, norma dan etika. Pertama, nilai moral terkait dengan nilai lainnya. Ia mendapat bobot moral kalau diikutsertakan dalam prilaku moral dengan ciri-ciri berkaitan dengan pribadi manusia yang bebas dan bertanggung jawab, mewajibkan atau dalam konsep Immanuel Kant (1724 1804) disebut imperatif kategoris yakni kesadaran moral yang bukan dihasilkan dari pengalaman tetapi berbuat baik karena hati nurani dan bersifat formal. Kedua, norma (Latin) secara harafiah berarti carpenters square, sejenis sikusiku yang dipakai tukang kayu untuk menguji benda buatannya benar-benar lurus. Dalam konteks nilai, ini berarti suatu aturan yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai sesuatu yang terbagi atas norma sopan santun (etiket), norma hukum dan norma moral (etika). Ketiga, etika menyangkut sistem nilai, kode etik atau kumpulan asas atau nilai moral dan filsafat moral yang meneliti moral secara sistematis dan metodis (Bertens, 1999). Meminjam pemikiran Sidney Hook, filsuf pragmatisme AS yang biasa dijuluki Socrates Amerika menelaah etika dalam tiga bidang: Pertama,

9 pernyataan etis yang berisi ajaran moral tentang baik dan buruk. Kedua, analisa metaetis berupa pertanyaan kritis atas baik dan buruk dalam pernyataan etis. Ketiga, pembenaran etis atas baik dan buruk dalam pernyataan etis (Kurtz, 1994). Sementara Franz Magnis Suseno mengatakan etika akan membuat manusia mempunyai kemampuan untuk bersikap kritis dan rasional terhadap norma, bersikap otonom yang bukan berarti bebas dari segala norma tetapi mengakui norma yang diyakini sebagai kewajibannya dan bertindak dengan penuh tanggung jawab (Magnis Suseno, 1979). Dalam bahasa lain Socrates (470 399 SM) mengatakan orang bebas hanyalah orang yang mampu menempatkan dirinya dalam batas-batas yang dibuatnya sendiri. Secara garis besar ada empat kerangka konseptual-teoritis sistem pers: Pertama, teori otoriter: pers tunduk pada kekuasaan negara dan kepentingan kelas penguasa yang mengendalikan secara ketat komunikasi massa dengan membatasi kritik dan oposisi berbentuk sensor dan bredel. Sejarahnya berawal dalam sistem monarki feodal atau masyarakat prademokratis diktator. Secara filosofis bisa dilacak pada pemikiran Plato (428 348 SM) dalam karyanya The Republic yang intinya kekuasaan sebaiknya berada di tangan raja filosof. Filsuf Yunani kuno ini tidak percaya dengan demokrasi yang dianggapnya mirip dengan undian kode buntut. Niccolo Machiavelli (1469 1527) dalam karyanya II Principe yang mendukung kekuasaan seorang pangeran otoriter dengan cara tidak bermoral. Filsuf Italia ini mendukung bentuk republik dengan syarat rakyatnya jujur. Tetapi sebaliknya mendukung bentuk monarki bila rakyatnya

10 korup. Thomas Hobbes (1588 1679) dalam karyanya Leviathan yang menganggap manusia secara intelektual tidak berbeda jauh dari hewan yang saling memangsa. Untuk itu diperlukan semacam kontrak sosial untuk menentukan penguasa. Tetapi ironisnya, filsuf Inggris ini berpendapat kekuasaan itu bersifat absolut dan tidak dapat dicabut kembali apabila penguasa tidak menaati isi kontrak tersebut. George Wilhelm Friedrich Hegel (1770 1831) asal Prussia yang digelari bapak fasisme ini mengatakan negara secara dialektis merupakan penjelmaan roh absolut. Filsuf Jerman ini mengatakan the march of God in the world, that the state is. Kedua, teori pers bebas: diprakarsai oleh masyarakat liberal borjuis kapitalis dengan asumsi the free market of idea yang terlihat pada amandemen pertama konstitusi AS. Intinya, kongres tidak boleh membuat UU yang akan membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat termasuk melalui pers. Sebab itu merupakan hak mutlak warga negara. Secara filosofis bisa dilacak dari pemikiran Rene Descartes yang terkenal dengan ucapannya cogito ergo sum. Filsuf Perancis ini memandang akal budi sebagai jalan menuju kebenaran eksistensi manusia. John Locke (1632 1704) yang mengatakan pusat kekuasaan adalah kemauan manusia mendelegasikan urusannya dalam kontrak sosial kepada sekelompok orang yang disebut pemerintah. Tetapi filsuf Inggris ini berbeda pendapat dengan Hobbes yang juga asal Inggris bahwa kekuasaan itu tidak bersifat absolut dan bisa dicabut kembali. John Stuart Mill (1806 1873) juga asal Inggris dalam karyanya On Liberty yang mengatakan penguasa tidak punya hak membungkam opini publik. Ketiga, teori media soviet: postulat dasarnya pada warisan pemikiran Karl Marx (1818 1883)

11 yang melihat eksistensi negara sebagai alat kelas borjuis yang berkuasa untuk menindas kelas proletariat. Marx mengkritik para filsuf sebelumnya yang hanya menafsirkan sejarah dunia. Padahal tugas sebenarnya adalah bagaimana mengubahnya (Sztompka, 2008). Pemikiran filsuf Yahudi Jerman ini diadobsi oleh Vladimir Oeljanov Lenin (1870 1924).. Pendiri bekas negara Uni Soviet ini mengatakan, freedom of the press is one of the keynotes of pure democracy. This freedom is a lie as long as the best printing works and the largest stocks of paper are the capitalist hand. Meanwhile the independence of the Bolshevic press rest in the closes dependence on the working class. Implikasi etis dari paham komunis ini hanyalah peralihan dari otoriterisme lama yaitu penilaian di luar institusi pers tentang nilai kebenaran. Bedanya jika otoriterisme lama parameter kebenaran berdasarkan kemauan Illahi atau raja filosof maka komunis menggantinya dengan doktrin partai oleh elite polit biro. Secara sinis sastrawan Inggris George Orwell (1903 1950) menyindir komunisme dalam novel Animal Farm dengan kalimat all animals are equal but some animals are more equal than others. Keempat, teori tanggung jawab sosial: inisiatifnya berasal dari the commission on freedom of the press AS yang melihat pers bebas telah gagal memenuhi janjinya akan kebebasan pers demi kemaslahatan masyarakat. Sebab masyarakat tidak punya akses ke pers yang dikuasai oleh kelas pemilik modal.

Pers Pancasila dan Kemerdekaan Pers

12 Konsep Pers Pancasila seringkali ditukartempatkan dengan pers

pembangunan. Mengutip kembali disertasi Todung Mulya Lubis sebagai berikut: the real meaning of Pers Pancasila, however, remains unclear and generally defined in negative terms, neither liberal press nor communist press. The

government apparently views to press as an adversary, even though it continually reiterates that under Pers Pancasila, the concept of family prevails, and that no distinction exist between insiders and outsiders because all members of the same family (Lubis, 1993). Konsep harmoni dan kekeluargaan yang didominasi oleh kultur Jawa ini sangat mempengaruhi diskursus Pers Pancasila yang tidak mau dikatakan pers liberal, apalagi disamakan dengan pers komunis. Sedangkan konsep pers pembangunan pun harus dilihat dalam perspektif politik yang bertolak belakang dengan paradigma pers sebagai alat masyarakat untuk memperoleh informasi (Siregar, 1994). Sementara Ignas Kleden melihat Pers Pancasila sebagai eksperimen ideologi dan budaya dengan menerjemahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan pers. Sekaligus menerapkan asas-asas pers dalam sistem sosial (Kleden, 1988). Di kalangan jurnalis pun terdapat kebingungan dalam memaknai eksistensi Pers Pancasila ini. Todung Mulya Lubis mencatat tiga kalangan yang saling berbeda sikapnya dalam memahami Pers Pancasila. Firstly, mystification of Pancasila: they feel that Pers Pancasila play a very important role in the implementation of Demokrasi Pancasila. Secondly, idealistic or crusading press which could be instrument for freedom fighters and wich feels obliged to help

13 realize the dream of independence dont feel comfortable with the term liberal press. Thirdly, more realistic attitude which argues that press in almost every third world country is indeed a fragile phenomenon (Lubis, 1993). Singkatnya, ia mengatakan kalangan pertama diwakili mayoritas jurnalis yang terhimpun dalam organisasi korporatis PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) bentukan rezim Orde Baru. Kalangan kedua diwakili oleh tokoh pers Mochtar Lubis (alm) bekas Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya yang gencar membongkar kasus korupsi di Pertamina. Kalangan ketiga diwakili oleh tokoh pers Rosihan Anwar (alm) bekas Pemimpin Redaksi Harian Pedoman. Dari perspektif hukum. kemerdekaan pers dipenuhi dengan tiga syarat: Pertama, tidak ada kewajiban menurut hukum bagi pers untuk meminta izin terbit kepada pemerintah. Kedua, tidak ada wewenang pemerintah menurut hukum untuk melakukan sensor terhadap pers. Ketiga, tidak ada wewenang pemerintah menurut hukum untuk melakukan pembredelan terhadap pers. Sementara pendapat lain muncul dari William Ernest Hocking dalam karyanya Freedom of the press: a frame work of principle. Pertama, pers harus bebas dari tekanan pemerintah dan masyarakat. Kedua, pers harus bebas mengekpresikan pendapat. Ketiga, pers harus memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk mengetahui semua hal yang bermanfaat bagi publik (Atmadi, 1985). Meskipun demikian, kemerdekaan pers tidak luput dari sejumlah restriksi berdasarkan standar nasional, regional bahkan internasional: Pertama, peace and security. Kedua, war propaganda. Ketiga, friendship, international

understanding and ccoperation. Keempat, objectivity, versatility and honestly

14 information. Kelima, racial equality. Keenam, other duties and responsibilities concerning contents. Ketujuh, the flow of information. Tetapi ada dua hal yang lebih penting lagi: Pertama, respect of the rights or reputations of others. Kedua, protection of national security or of public order, health and moral. Sementara versi PBB antara lain: national interest, social life, false news, subversive criticism, right and interest. Dari perspektif etika, kemerdekaan pers memerlukan kode etik jurnalistik dan lembaga ombudsman. Yang pertama berkaitan dengan perbedaan profesi jurnalis dengan profesi lainnya dalam konteks penguasaan informasi. Jurnalis karena tuntutan etis profesinya memilih menyebarkan informasi kepada publik. Sementara profesi lain, politisi misalnya, cenderung untuk mengontrol informasi yang merupakan dasar keberadan (raison detre) kekuasaan mereka. Inil pulalah yang menjadi dilema dalam jurnalisme investigatif bagaimana jurnalis melakukan kinerja jurnalismenya tanpa bermaksud mengambilalih kinerja polisi dan jaksa. Untuk itu diperlukan kode etik jurnalistik sebagai pedoman moral jurnalis agar tetap terikat pada tujuan etis profesinya (Siregar, 1987). Untuk mencegah disfungsi pers dibutuhkan ombudsman yakni seseorang yang secara resmi ditunjuk oleh pemerintah untuk menampung keluhan publik terhadap layanan pers. Ia bukan kritikus media massa tetapi memiliki akses ke ruang redaksi dan merupakan wakil masyarakat luas (Rivers, 1994). Bibliografi Adji, Oemar Seno. Mass Media dan Hukum. Jakarta: Erlangga, 1973.

15 Ahmadi, T (ed.). Bunga Rampai: Catatan Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pers Indonesia. Jakarta: PT. Pantja Simpati, 1985. Bertens, Kees. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999. Kattsoff. Louis O. Pengantar Filsafat (terj.). Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996. Kleden, Ignas. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES, 1988. Kurtz, Paul. Sidney Hook: Sosok Filsuf Humanisme Demokrat dalam Tradisi Pragmatisme (terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Lubis, Todung Mulya. In Search of Human Rights: Legal - Political Dilemmas of Indonesias New Order, 1966 1990. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993. Magnis Suseno, Franz. Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius, 1979. ___________________. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999. Sadono, Bambang. Penyelesaian Delik Pers Secara Politis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Rivers, William L. et.al. Etika Media Massa dan Kecenderungan Untuk Melanggarnya (terj.). PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994. Siregar, Ashadi. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Fisipol UGM, 1987. ____________. Pers Indonesia dalam Perspektif Hukum dan Politik dalam Bambang Wahyudi dan M. Faried Cahyono (ed.). Pers, Hukum dan Kekuasaan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994. Smith, Edward C. Pembredelan Pers di Indonesia (terj.). Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986. Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial (terj.). Jakarta: Prenada, 2005.

16

Teguh Kresno Utomo lahir di Solok, 19 September 1967. Alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM Yogyakarta. Pernah menempuh pendidikan di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil UII Yogyakarta (1987-1989) dan Extention English Course IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (1992-1993). Kini bekerja sebagai staf pengajar FISIP UTA45 Jakarta.

You might also like