You are on page 1of 41

TINJAUAN YURIDIS DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANGUNDANG NO 2 TAHUN 2002

NURUL SYAFUAN, SH.,MM NIM : 10720054

UNIVERSITAS BOROBUDUR

MAGISTER ILMU HUKUM

TINJAUAN YURIDIS DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2002

MAKALAH INI DI ADOPSI DARI SKRIPSI PENULIS SENDIRI 2007/2008 DARI JUDUL TENTANG TINJAUAN YURISDIS DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UU N0 2 TAHUN 2002

OLEH NURUL SYAFUAN, SH.,MM

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Lahirnya bangsa Indonesia dan terlepasnya dari belenggu penjajahan atau kolonialkolonial yang telah berkuasa selama beberapa dekade di negeri nusantara yang kaya dengan keadaan alamnya. Lahirnya bangsa Indonesia yang jatuh tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, yang di pelopori oleh bapak proklamator yaitu Bapak Ir Soekarno-Hatta. Dari presiden pertama sampai presiden yang sekarang bangsa

Indonesia telah bebas dari pengaruh penjajahan atau Kolonial, Sebelum melangkah tentang sejarah perkembangan bangsa Indonesia sampai dekade perkembangan yang global, penulis ingin menjelaskan sedikit tentang sejarah polisi Nasional Indonesia. "dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI yaitu tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI ) men;.ambil keputusan bahwa Polisi Indonesia berada dalam lingkungan Dep. emen Dalam Negeri. Pada tanggal 29 September 1945, pemerintah mengangkat Raden Said Soekanto Cokrodiatmojo sebagai kepala Kepolisian Indonesia Pusat. Di Daerah-Daerah, kepala Kepolisiannya cukup beragam. Ada residen yang menguasai kesatuan kepolisian di lingkungan daerahnya dan mengangkat pegawai-pegawai polisi pribumi dengan pangkat yang tinggi. Di daerah lainnya masih ada bupati yang menjabat kepala kepolisian atau bahkan kepala kepolisian didampingi sua dewan yang terdiri atas wakil golongan pegawai. Intinya, tidak ada keseragaman menyangkut kepala kepolisian di daerahdaerah. Di samping itu, karena umumnya peraturan perundangan-undangan Belanda masih di anggap berlaku, tugas, dan wewenang kepolisian terpecah-pecah di beberapa instansi. Untuk melakukan penataan dan pembangunan kepolisian secara menyeluruh, pada tanggal 1 Juli 1946 melalui penetapan pemerintah RI No. 11/ SD, kedudukan kepolisian Indonesia di tetapkan berada langsung di bawah perdana menteri, dan Organisasi Kepolisian Indonesia di keluarkan dari Kementerian Dalam Negeri, dan di jadikan jawatan tersendiri.

Dari kilasan sejarah yang di paparkan di atas, ada tambahan sedikit mengenai kilasan sejarah POLRI ( Polisi Republik Indonesia ), empat hari setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 21 Agustus 1945, secara tegas pasukan polisi segera memproklamirkan diri

sebagai pasukan polisi Republik Indonesia di pimpin oleh inspektur kelas satu ( Letnan satu ) polisi Mochammad Jassin di surabaya. Dari kilasan sejarah kepolisian Republik Indonesia yang di paparkan secara singkat dan menjelaskan secara rinci. Penulis ingin menyampaikan sedikit tentang pentingnya di dalam penelitian ini yaitu yang menyangkut tentang diskresi pada kepolisian, aturanaturan atau regulasi yang menyangkut tentang kepolisian, memang lahir sejak jaman kolonial belanda yaitu suatu aturan tentang kinerja kepolisian waktu itu. Lahirnya regulasi tentang kepolisian di awali dengan lahirnya Undang-Undang no 13 tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kepolisian negara ( lembaran negara tahun 1961 no 245, tambahan lembaran negara nomor 22 ). Setelah undang-undang tersebut maka lahirlah undang-undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari hirarki regulasi-regulasi yang menyangkut tentang kepolisian sampai dengan Undang-Undang yang baru yaitu Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Aturan Pokok Kepolisian. Dalam Undang-undang baru kepolisian dan Undang-Undang tentang KUHP di jelaskan tentang diskresi kepolisian yaitu tentang kewenangan penyidik di dalam mengambil kebijakan atas kasus-kasus pidana yang di hadapinya. Di dalam penelitian ini penulis mengambil judul tentang diskresi kepolisidn karena selama ini pemahaman tentang kebijakan-kebijakan yang di ambil oleh pejabat kepolisian di dalam menghadapi berbagai kasus tindak pidana sering kali mendapatkan kontroversi dari berbagai kalangan baik masyarakat maupun di elemen-elemen seperti birokrasi. Seperti halnya kasus-kasus yang di diskresikan oleh Pihak kepolisian seperti kasus penganiayaan, korupsi, pembunuhan, penggelapan, yang jelas jelas di dalam KUHP semua perbuatan tersebut adalah merupakan suatu tindak pidana. Akan tetapi didalam tahap penyidikanpun yang di lakukan oleh pihak kepolisian perkara tersebut terkadang tidak berlanjut ke pengadilan, suatu contoh kasus yang sering tidak di

lanjutkan adalah kasus korupsi yang di lakukan oleh pejabat daerah, sering kali kasusnya berhenti di tengah jalan sehingga menimbulkan suatu masalah baru akibat kasus yang tidak di lanjutkan. Atas kebijakan dan kewenangan dari kepolisian bahwa kasus tidak di lanjutkan karena ada tindakan diskresi, maka hal ini penulis ingin meneliti tentang aturan-aturan ataupun regulasi-regulasi yang menyangkut tentang diskresi Kepolisian. Penulis ingin memberikan suatu pemahaman kepada para pencari keadilan, agar diskresi dari kepolisian dapat menjadi suatu pemahaman, dimana tindakan tersebut apakah baik dan tidaknya dan apakah bertentangan dengan hak asasi manusia apa tidak, oleh sebab itu penulis di dalam penelitianya akan mengulas bagaimana sebenamya aturan-aturan atau regulasi yang mendasari tindakan tersebut bisa menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum terutama kepolisian di dalam kebijakannya.

B. Perumusan Masalah Setelah memaparkan sejarah dan latar belakang dari penelitian yang membahas tentang tindakan serta kebijakan kepolisian di dalam menghadapi segala perkaraperkara tindak pidana, penulis mencoba merumuskan masalah dari penelitian yang akan di lakukan: 1. Apakah segala bentuk penyampingan perkara tindak pidana yang di lakukan oleh pihak kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi 2. Apakah tindakan diskresi yang dilakukan oleh pihak kepolisian hanya mengacu pada aturan-aturan pokok kepolisian.

3. Apakah tindakan diskresi yang dilakukan oleh pihak-pihak kepolisian merupakanlangkah di dalam mengurangi perkara tindak pidana.

C. Tujuan Dan Manfaat penelitian Adapun tujuan dan manfaat yang ingin di capai dalam penelitian ini 1. Tujuannya a. Untuk mengetahui segala bentuk penyampingan perkara tindak pidana yang di lakukan oleh pihak kepolisian yang merupakan suatu tindak iskresi yang mengacu pada pasalpasal tertentu pada Undang-undang nomor 2 tahun 2002. b. Untuk mengetahui apakah bentuk tindakan diskresi yang dilakukan oleh pihak-pihak kepolisian hanya mengacu pada regulasi-regulasi atau aturan-aturan pokok kepolisian. c. Untuk mengetahui tindakan diskresi yang dilakukan oleh pihak-pihak kepolisian dan apakah tindakan tersebut merupakan suatu langkah-langkah di dalam mengurangi perkara tindak pidana. 2. Manfaat penelitian. a. Memberikan pengetahuan yang spesifik serta signifikan mengenai kinerja serta tindakan dari aparat kepolisian serta dapat secara mendalam mengetahui regulasiregulasi yang menjadi hal-hal yang paling pokok dalam menguasai ilmu formal di dalam ilmu hukum. b. Secara Akademik penelitian ini sangat memberikan faedahFaedah atau manfaat baik secara individual maupun secara signifikan di dalam lingkungan Akademik, dimana

dari hasil penelitian ini menjadikan suatu bahan perbandingan serta literatur-literatur guna penelitian selanjutnya. c. Secara umum penelitian ini bisa menjadi bahan-bahan untuk ilmu pengetahuan bagi Masayrakat yang ingin mengetahui sejauh mana tindakan aparatur hukum khususnya kepolisian di dalam menangani berbagai perkara tindak pidana. D. Ruang Lingkup Penelitian. Penelitian yang di lakukan oleh penulis tentang diskresi kepolisian, hanya memberikan ruang lingkup yang khusus mengenai hal-hal menyangkut tentang penanganan perkara-perkara oleh pihak-pihak kepolisian yang hanya mengacu pada penyampingan perkara atau perkara tindak pidana yang tidak di lanjutkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Polisi Dalam sepanjang sejarah arti dari polisi mempunyai tafsiran yang berbedabeda, polisi yang sekarang dengan yang awal di temukan istilah sangat berbeda. Pertama kali polisi di temukan dari perkataan yunani", politea",yang berarti seluruh pemerintah negara kota. Di negara Belanda pada jaman dahulu istilah polisi di kenal melalui konsep Catur Praja dan Van VollenHonen yang membagi pemerintahan menjadi 4 (empat ) bagian, yaitu: 1. Bestur 2. Politic 3. Rechtspraak 4. Regeling Dengan demikian Politic dalam pengertian ini sudah di pisahkan dari Bestuur dan merupakan bagian pemerintahan tersendiri. Pada pengertian ini Polisi termasuk organorgan pemerintah yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum.

CHARLES REITH dalam bukunya The Blind Eye of History mengemukakan pengertian Polisi dalam bahasa Inggris: "Police Indonesia The English Language Came to Mean of planning for improving ordering communal exsistence", yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan susunan kehidupan masyarakat.p Di dalam Encyclopaedia and social Science di kemukakan bahwa pengertian Polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas, yang di gunakan untuk menjelaskan berbagai aspek pada pengawasan keseharian umum. Kemudian dalam arti yang sangat khusus di pakai dalam hubunganya dengan penindasan pelanggaran-pelanggaran politik, yang selanjutnya meliputi semua bentuk pengertian dan ketertiban umum. Dengan demikian Polisi di berikan pengertian dan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakantindakan yang melanggar hukum. Dalam kamus bahasa Indonesia W.J.S. POERWODARMITA di kemukakan bahwa istilah Polisi mengandung pengertian: 1. Badan pemerintah ( sekelompok pegawai negeri ) yang bertugas memelihara ke amanan dan ketertiban umum. 2. pegawai negeri yang bertugas menjaga ke amanan dan ketertiban umum Dalam pengertian ini istilah polisi mengandung 2 (dua) pengertian makna polisi tugas dan sebagai organnya. 2. Hukum kepolisian Hukum kepolisian setiap negara berbeda, perbedaanya itu terletak pada bahasa, dan bentuk sistem pemerintahan di antaranya seperti:

1) Jerman, istilah hukum Kepolisian dengan sebutan Polizei Recht yaitu kumpulankumpulan hukum yang di khususkan pada kedudukan dan wewenang polisi yang antara lain memuat sejarah perkembangan sejarah polisi. 2) Istilah hukum kepolisian di negara belanda di sebut dengan" Politie Recht" yang isinya sama dengan Poliezei Rechr di jerman. 3) Inggris, sebutan hukum kepolisian di inggris adalah Policie Law, yang di maksud negara inggris yang di namakan: England, Wales dan Scotland. 4) Hukum kepolisian di indonesia, negara republik indonesia adalah bekas jajahan belanda termasuk peraturan-peraturan khusus yang mengatur tentang masalah polisi yang di ciptakan oleh belanda.dan hukum kepolisian di indonesia masih mengikuti paham Belanda, yaitu Politie Recht. 3. Obyek Hukum Kepolisian Hukum Kepolisian, tidak terlepas dari rumusan pokok pengertian dari hukum Kepolisian yaitu Hukum yang mengatur hal ikhwal mengenai polisi, baik polisi sebagai tugas maupun sebagai organ serta mengatur pula cara-cara bagaimana organ tersebut melaksanakan tugasnya. Jadi obyek daripada hukum Kepolisian adalah: 1. Tugas Polisi Tugas Polisi sebagai obyek, di atur dan di tentukan oleh hukum kepolisian. 2. Hubungan polisi dan tugasnya Bila organ polisi melaksanakan tugasnya maka berarti organ tersebut sudah bergerak, sehingga timbul hubungan antara organ dan tugasnya. Hubungan antara organ Polisi

dengan tugasnya adalah berupa"pelaksanaan". Artinya hukum kepolisian mengatur tentang bagaimana Kepolisian melaksanakan tugas dan wewenangnya. 4. Wewenang kepolisian Di dalam UU Nomor 13 tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan pokok kepolisian negara, maupun UU Nomor : 8 tahun 1981 tentang UndangUndang Hukum Acara Pidana, terdapat wewenang kepolisian negara dalam penyidikan suatu perkara Pidana.

a. Wewenang Umum Di negeri belanda mengenai wewenang kepolisian di nyatakan dengan tegas oleh pengadilan tertinggi Hooge Raad dalam arresnya pada tanggal 19 maret 1917 bahwa tindakan polisi dapat di anggap rechmatig (sah ) walaupun tanpa "speciale wettelijke machtingin", atau pemberian kekuasaan khusus oleh Undang-Undang. Di Indonesia secara tegas belum tercantum dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 1961, dimana tindakan kepolisian selalu di anggap sah apabila tindakanya tidak melampaui batas-batas dan wewenangnya dan tidak melanggar HAM dan ukuran untuk kepentingan umum. b. Wewenang khusus Seperti di kemukakan pada bagian sebelumnya bahwa wewenang khusus ini merupakan weweriang yang di berikan polri dalam rangka melakukan fungsinya sebagai alat negara. Khususnya sebagai penyelidikan sebagaimana dalam pasal 13 Undang-undang Nomor : 13 tahun 1961. Dalam Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 1961 tersebut bahwa: untuk kepentingan penyidikan maka Kepolisian Negara berwenang:

1. Menerima pengaduan 2. Memeriksa tanda pengenal 3. Mengambil sidik jari dan memotret seorang 4. Menangkap orang 5. Menggeledah badan 6. Menahan orang sementara 7. Memanggil orang untuk di dengar dan di periksa 8. Mendatangkan ahli 9. Menggeledah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat, laut dan udara 10. Mengambil barang untuk di jadikan bukti 11. Mengambil tindakan-tindakan lain Semua yang di paparkan di atas adalah wewenang dari penyidik kepolisian yang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dan mengenai UU No 8/1981 tentang KUHAP adalah sama dengan kewenangan yang ada di UU No 13/1961. 5. Diskresi Kepolisian Pengertian diskresi menurut H. Warsito Hadi Utomo adalah Kebijaksanaan, keleluasaan atau kemampuan untuk memilih rencana kebijakan atau mempertimbangkan bagi diri sendiri. Pengertian diskresi menurut kamus Y.C.T. Simorangkir Dkk adalah, sebagai kebebasan mengambil kepantasan dalam setiap situasi yang di hadapi menurut pendapatnya sendiri.

Dengan demikian apabila pengertian diskresi di gabungkan dengan kata kepahitan, maka istilah diskresi kepolisian dapat di artikan suatu kebijakan berdasarkan keluasanya untuk melakukan suatu tindakan atas dasar pertimbangan dan keyakinan dirinya. Dari uraian di atas bahwa dirinya itu di lakukan bukan lepas dari ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum. Diskresi kepolisian menurut. ADE RAHMAT IDNAL, Adalah wewenang pejabat Kepolisian untuk memilih bertindak atau tidak bertindak baik secara legal maupun secara ilegal dalam menjalankan tugasnya Diskresi menurut Taufik Rahman, Kasatlantas Surabaya, adalah suatu tindakan kepolisian berdasarkan penilaian sendiri seorang petugas polisi dalam rangka kepentingan umum. 6. Dasar hukum tindakan diskresi Dasar hukum kepolisian bagi petugas kepolisian negara republik indonesia (Polri ) dalam melaksanakan tugasnya dapat di lihat pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian republik indonesia, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. 7. Kewenangan Diskresi kepolisian dan pertanggung jawabanya secara hukum. "Integritas propesional yang utuh dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas kepolisian. Sebab tampa integritas propesionalnya, dapat saja sikap dan tindakan polisi hanya di landasi oleh persepsi dan motivasi kepentingan subyektif pribadi yang memungkinkan pelanggaran kode etik dan standard moralitas polisi sebagai berlaku secara universal. Pada makalah yang di sampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro dengan judul " Ilmu Kepolisian dan . Propesional Polri (seperti yang di kutip oleh Ade Rahmat Idnal).

" bahwa propesional polri mengacu pada adanya sejumlah kemahiran dan pengatahuan khusus yang menjadi ciri pelaku, tujuan dan kualitas (conduct, aims and qualities) pekerjaan polisi. Sebagai seorang propesional, maka seorang anggauta polri adalah otonom, netral, dan independen. Dalam kaitan dengan kedudukan organisasi kepolisian dalam bidang kekuasaan Eksekutif (yang mencenninkan kekuasaan partai), maka Propesional Polri akan beard di cegah campur tangan kalangan politisi dalam kaitan kepolisian melakukan tugas pokonya secara propesional sesuai pasal 13 UU kepolisian 2002. terkait dengan propesionalisme ini adalah juga adanya diskresi suatu propesi melakukan suatu pekerjaanya. Diskresi ini juga ada pada setiap anggota kepolisian dalam melakukan propesinya. Namun harus di ingat dan di jaga secara terus menerus, bahwa " kewenangan atau kekuasaan profesi malaksanakan diskresi ( terdapat juga profesi penuntut umum profesi hakim, dan advokat ) selalu mempunyai rambu-rambu pembatas. Penggunaan diskresi secara yang tidak di salah gunakan harus dapat di kendalikan secara internal melalui kode etik dan di siplin profesi. Tetapi juga harus di sediakan mekanisme pengawasan eksternal berupa pertanggung jawaban secara hukum yang accountability). Penjabaran lebih rinci tentang yang di maksud oleh pasal 16 (2) dan pasal 18 (1) UU kepolisian 2002 merupakan tugas ilmu kepolisian. 8. Alasan Pembenar, Alasan Pemaaf dan alasan Pengahapus penuntutan Dalam KUHP tidak ada di sebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Titel ke 3 dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan: alasan-alasan yang menghapuskan pidana. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini di bedakan menjadi:

1. Alasan pembenar: yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. 2. Alasan pemaaf: yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak di pidana karena tidak ada kesalahan. 3. Alasan penghapusan penuntutan: disini soalnya ukan ada alasan pembenar maupun pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya peruatan maupun sifatnya orang yang melakukan peruatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatanya kepada masyarakat, sebaiknya tidak di adakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. 4. Kalau perkaranya tidak di tuntut, tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat di jatuhi pidana. Contoh: pasal 53, kalau terdakwa dengan suka-rela mengurungkan niatnya percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan.

BAB III METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian yang di lakukan adalah jenis penelitian normatif, penelitian normatif atau juga disebut penelitian doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum di konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan ( law in books ) atau hukum di konsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang di anggap pantas. "Jadi kesimpulan dari penelitian normatif adalah mengkaji regulasi-regulasi atau aturan per undang-undangan yang berlaku terhadap masalah hukum yang di teliti".

B. METODE PENDEKATAN

Di dalam penelitian yang akan penulis susun. Penulis akan menggunakan suatu pendekatan guna mengetahui suatu penelitian metodemetode apa yang akan di gunakan. Selanjutnya di dalam penelitian hukum ini metode yang di gunakan adalah: a. Pendekatan Undang-undang ( statue approch ) yaitu pendekatan ini di lakukan dengan menelaah semua undang-undang dan Regulasi yang bersangkut paut dengan masalah akan di teliti. b. Pendekatan kasus ( case Approach ) yaitu suatu pendekatan yang di gunakan di dalam metode penelitian hukum yang akan di gunakan oleh penulis guna mencari suatu fakta hukum yang telah terjadi yang akan menjadi bahan-bahan hukum di dalam penulisan skripsi. C. SUMBER DAN JENIS DATA 1. Sumber data 2. Jenis Data. a. Data primer Data primer yaitu data yang di peroleh dari sumber pertama atau yang paling pokok. Data primer merupakan langkah awal dari bahan di dalam penelitian. Data sekunder yaitu data atau bahan hukum setelah bahan hukum primer yang antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. b. Bahan hukum sekunder:

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer' terdiri dari dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. c. Bahan hukum tersier. Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer maupun bahan hukum sekunder seperti kamus dan lain-lain. D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Didalam penelitian normatif persoalan data adalah merupakan pantangan bagi penelitian ini hanya penelitian sosiologis saja, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan penelitian normatif menggunakan data karena di dalam studi kasus yang di lakukan jelas mengacu pada data-data hukum yang telah terjadi. Adapun teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Wawancara/interview Kegiatan ini di maksud untuk mengetahui berapa kasus yang pernah di kesampingkan oleh pihak kepolisian atau yang di sebut dengan tindakan diskresi kepolisian, dan terfokus pada data yang terjadi pada waktu tidak lampau atau lama. Dalam wawancara ini responden atau pihak-pihak kepolisian memberikan j awaban sesuai dengan kasuskasus yang terjadi. b. Studi dokumen. Yang di maksud studi dokumen adalah pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen-dokumen secara langsung.

E. ANALISIS DATA. Setelah semua data terkumpul atau dokumen-dokumen, maka data maupun dokumen tersebut di olah dan di analisa dengan menggunakan analisis Yuridis Normatif dengan metode kajian deduktif. Kajian ini adalah pengkajiannya bersifat khusus dimana hal yang umum di dalam penelitian menjadi hal yang khusus.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Bentuk penyampingan penanganan perkara tindak pidana yang di lakukan oleh pihak kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi Diskresi kepolisian dapat dilakukan di dalam semua bentuk pelaksanaan tugas kepolisian, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif. Dan tugas represif tersebut dapat dibagi menjadi represif yustisial (penyidikan ) dan represif non yustisial (pemeliharaan ketertiban).

Penyampingan penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh kepolisian merupakan suatu tindakan diskresi, tapi tidak semua bentuk penyampingan perkara dikatakana diskresi kepolisian, karena tidak sepenuhnya perkara tersebut

dikesampingkan. Dalam hal penegakan hukum (law Enforcement officiao tindakan diskresi yang diterapkan oleh Kepolisian juga berlandaskan norma-norma yang telah ditentukan oleh Kepolisian itu sendiri. Tindakan diskresi tidak hanya dilakukan oleh pihak-pihak kepolisian tetapi juga di lakukan oleh Kejaksaan. Landasan hukum diskresi yang di lakukan oleh Kejaksaan adalah Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang ketentuan pokok-pokok kejaksaan RI: antara lain memuat ketentuan bahwa jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepertingan umum. Oleh karena itulah munculnya perkara pidana di luar pengadilan sebagaimana terjadinya seperti hilangnya perkara kecelakaan lalu lintas, dan terjadinya pernyataan damai dan tidak saling menuntut yang tidak dilanjuti oleh pihak kepolisian dengan membekukan perkara pidana merupakan suatu contoh dari penyampingan perkara. "Di dalam kontek tentang diskresi ini, maka melibatkan pula hubungan dan keterkaitan dengan code of conduct (norma tingka laku) dalam arti standard atau prinsip atau aturan tentang perilaku petugas penegak hukum atau dalam praktek penegakan hukum. " jika seorang advokat/penasehat hukum datang ke notaris agar si notaris mau membuatkan perjanjian atau pemyataan penyelsaian tentang suatu kecelakaan lalu lintas yang materinya tentang ganti rugi dan tidak saling menuntut perkara pidana atau perdatanya. Maka di dalam konteks ini terjadinya suatu diskresi dalam menjalankan code of conductnya pula, sekalipun jelas perkara kecelakaan itu pasti adalah perkara pidana paling jelek pasal 359 KUHP di samping itu, maka si professiqnal tersebut, terlibat dalam tidak menjalankan atau menyampingkan Pasal 395 KUHP tersebut".

Dari contoh di atas penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa penyelsaian masalah yang di lakukan oleh advokat dan notaris merupakan suatu sisi di dalam penerapan diskresi. Sedangkan dalam hal di atas terjadi suatu penyelsaian dengan menyampingkan aturan hukum yang berlaku. Disini dapat dilihat keterkaitan antara hukum dan kepentingan masyarakat dan mekanisme kerja code of conduct dalam rangka penegakan hukum. Kemudian dari segi diskresi ini dapat di pahami bahwa code of conduct tersebut tidak dapat melepaskan diri dati norma, moral dan situasi yang merupakan landasan dari pedoman kehidupan arti dan karya profesi dan professional. "Jika memperhatikan penjelasan George F Cole di jelaskan bahwa Disereslion adalah the Authority to Make Decisions Without Reference to Specific Rule or facts, using Instead one's own judgement. Maka jelaslah diskresi itu adalah keputusan atau tindakan yang tidak dilandasi aturan umum tetapi lebih berlandaskan kepada kebijakasanaan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pimpinan ke pada bawahannya merupakan kebijakan sepihak yang memang dilandasi oleh aturanaturan atau norma-norma dalam hal penerapan diskresi pada setiap perkara yang dihadapinnya. Karena kebijakan punpinan merupakan kebijakan Profesional dari atasannya yang berlandaskan kode etik kepolisian. Di dalam mengambil keputusan atau kebijakan seorang pimpinan Kepolisian memang di landasi dengan adanya pembinaan Profesi, dalam hal pembinaan profesi, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian telah mengaturnnya melalui Pasal 31-36. Pembinaan profesi dari kepolisian memang sangat penting karena pejabat kepolisian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi ( Pasal 31 ).

Aturan mengenai pembinanaan profesi ini memang sangat diperlukan, karena pada dasarnya setiap anggota polisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus dapat mencerminkan kepribadian bayangkara Negara seutuhnya, dalam arti sebagai pejuang pengawal dan pengamanan Negara Republik Indonesia. Selain itu, seorang polisi harus mengabdikan diri sebagai alat Negata penegak hukum, yang tugas dan wewenangnya bersangkut paut dengan hak dan kewajiban warga Negara secara langsung, oleh karena itu diperlukan kesadaran dan kecakapan teknis yang tinggi. Mengingat tidak ringanya tugas dan kewenangan polisi, maka setiap anggota kepolisian harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin dalam sikap dan perilakunya. Etika kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini pun telah di tegaskan Pasal 34 ayat (1): " Sikap dan perilaku pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik profesi kepolisian Negara republik Indonesia." Ayat (2): "kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjadi pedoman bagi pengemban Fungsi kepolisian lainnya dalam melaksankan tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya. Sedangkan pelanggaran terhadap kode Etik akan di selsaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Pasal 35 ayat 1). Dengan demikian, dalam hal seorang polisi yang melaksanakan tugas dan wewenangnya dianggap melanggar etika profesi, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pertanggungjawaban etika profesi ini adalah bentuk pemulihan profesi kepolisian, sedangkan terhadap pelanggaran hukum disiplin dan hukum pidana di selsaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengenai susunan organisasi dan tata kerja komisi kode Etik kepolisian Negara Republik Indonesia seperti yang diisyaratkan Pasal 35 ayat (2), dalam pelaksanaannya, beranggotakan sepenuhnya anggota polri yang masih aktif, sedangkan mengenai

susunanya di sesuaikan dengan fungsi dan kepangkatan anggota yang melanggar Kode Etik. "Penting pula di perhatikan, khususnya bagi warga masyarakat umum, bahwa dalam menjalankan tugasnya, polisi wajib memperlihatkan tanda pengenalnya. Aturan ini di tegaskan dalam Pasal 36 ayat (1): "Setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pengemban Fungsi kepolisian Lainya wajib menunjukan tanda pengenal sebagai keabsahan wewenang dan tanggung jawab dalam mengemban Fungsinya. " Tanda pengenal di maksud ini adalah untuk memberikan jaminan kepastian bagi masyarakat bahwa dirinya memang benar berhadapan dengan petugas resmi. Adanya kata wajib ini merupakan penegasan yang merupakan sikap keharusan atau tidak boleh tidak di lakukan, sehingga jika syarat ini tidak di jalankan, semestinya di interprestasikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang".

Dari paparan tentang pelaksanaan tugas anggota kepolisian terutama yang bertugas dilapangan maupun yang di bagian administrasi penulis akan menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan yang didasarkan asas kewajiban. Tapi terlebih dahulu penulis menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi penerpan diskresi adalah tindakan polisi yang didasarkan asas kewajiban itu merupakan tindakan polisi yang didasarkan asas kewajiban itu merupakan tindakan dalam setiap bentuk yang dilakukan tanpa ada batasan yang jelas, tindakan mana yang perlu di lakukan tanpa ada batasan yang jelas, tindakan mana yang perlu di lakukan berdasarkan penilaian petugas polisi sendiri. Dalam penilaian itu petugas memilih jenis tindakan yang perlu dilakukan atas tiap-tiap kasus yang di hadapi. Untuk dapat memilih tindakan yang tepat, ia dituntut untuk mengetahui segala hal yang meliputi kehidupan bermasyarakat.

Penerapan diskresi merupakan proses pengambilan keputusan. Keputusan polisi seyogyanya di buat secara secara tepat dan arif. Pengambilan keputusan secara tepat biasanya didasarkan pada pertimbangan yuridis, sedangkan pengambilan keputusan secara arif didasarkan atas pertimbangan moral. Pekerjaan kepolisian adalah pekerjaan yang hampir tidak bisa di control karena sering kali melibatkan pertimbangan moral.

Kepentingan untuk mendapatkan pertimbangan moral dalam penerapan diskresi kepolisian semakin berarti mengingat karakter konflik yang melekat dalam pekerjaan penegakan hukum. Sebagaimana dikemukakan terdahulu, tugas kepolisian seringkali dihadapkan pada situasi konflik antara menegakkan hukum dan menjamin kamtib. Konflik tersebut semakin besar lagi mengingat Negara kita sebagai negara yang sedang berkembang. Satijipto Rahardjo mengklaim bahwa: "Situasi konflik disini terutama yang timbul oleh karena pembangunan lebih berorientasi kepada sasaran, sehingga hukum yang menekankan pada prosedur akan banyak dirasakan sebagai hambatan. Kembali disini terlihat munculnya ketegangan antara hukum dan ketertiban. Ketertiban disini di pakai dalam konteks ketertiban

pembangunan, yang mempunyai tolak ukurnya sendiri". Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa control atas kepolisian harus di percayakan badan kepolisian itu sendiri. Namun untuk menjamin efektivitasnya, peran lembaga eksternal perlu di intensifkan. Dalam hal ini sekuarang-kurangnya ada tiga hal yang perlu di rekomendasikan dalam pelaksanaan control internal: 1. Upaya ketidak berpihakan dan efisiensi, tanpa harus merugikan hak-hak tersangka.

2. Upaya mendorong/membuka peluang bagi pihak yang di rugikan untuk pengaduan. 3. Transparansi khususnya peluang bagi pengadu untuk bisa menegetahui proses pengaduan.

Dari ketiga hal tadi penulis melihat bahwa dalam hal pelaksanaan control internal memang harus diperlukan karena menyangkut masalah keadilan bagi para pencari keadilan. Rekomendasi-rekomendasi yang dilakukan ditujukan kepada pimpinan sebagai pemberi kebijakan atas semua tindakan apa yang harus dilakukan maupun tidak dilakukan yang berlandaskan akidah-akidah dan kearifan dalam profesonalis kepemimpinan Kepolisian. B. Apakah tindakan diskresi yang di lakukan oleh pihak kepolisian hanya mengacu pada aturan-aturan pokok Kepolisian. Diskresi pada kepolisian ada dua pola seperti yang dikatakana oleh Bapak Kasat Operasional 1 NTB Bidang Reskrim yaitu Bapak Suhartu diskresi yang di terapkan adalah: 1. Di bidang kamtibmas ( keamanan dan ketertiban masyarakat). Semua anggota kepolisian secara menyeluruh baik dari kalangan pangk:d yang paling rendah sampai pangkat yang paling tinggi memiliki hak untuk melakukan tindakan "diskresi". 2. Di bidang penegakan hukum. Diskresi kepolisian hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan penyidik pembantu karena di dalam penegakan hukum diperlukan orang-oranp, yang memerlukan konpetensi, intelejensi, serta kecakapan di dalani bertindak.

Diskresi kepolisian yang dilakukan oleh semua jajaranya berpedoman pada Asas kewajiban kepolisian, asas kewajiban sering di gunakan di dalam bidang kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Salah satu contoh anggota kepolisian yang bertugas dilapangan yang pangkatnya paling bawah atau bayangkara dua, sabhara, ataupun anggota lain yang pangkatnya lebih tinggi dari itu. Tindakan diskresi yang di lakukan adalah: Diskresi pada bidang tugas Sabhara ini sering kali diterapkan pada saat pelaksanaan tugas patroli. Tujuan utama patroli adalah untuk preventif, tetapi tidak berarti apabila di temukan suatu peristiwa yang memerlukan tindakan represif maka polisi tidak bertindak. Usaha preventif di maksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan atau pelanggaran dengan menghapuskan factor kesempatan. Sehubungan dengan hal ini terdapat anggapan bahwa kejahatan atau pelanggaran akan terjadi jika factor niat bertemu dengan factor kesempatan. Sedangkan tujuan represif arlalah untuk menindak suatu kejahatan yang merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum. Tindakan yang di maksud di sini adalah tindakan yang di ambil oleh petugas apabila menemukan tindak pidana yang merupakan gangguan bagi ketertiban dan keamanan umum. Peristiwa itu belum merupakan tindak pidana, tetapi petugas polisi sudah menindaknya dengan tujuan untuk menghindari terlaksananya suatu tindak pidana.

Sebenarnya tindakan demikian seringkali dilakukan oleh anggota sabhara yang sedang melaksanakan tugas patroli, dari mulai peristiwa yang bersifat ringan sampai berat. Salah satu contoh tindakan preventif dan represif non yustisial:

Petugas patroli menjumpai seorang pengemudi mobil yang akan menyalakan rokok menggunakan korek api di depan pompa bensin ketika sedang mengisi bensin. Sebagai seorang petugas, anggota polisi berwenang untuk memerintahkan orang itu agar tidak menyalahkan korek apinya dan tidak merokok di tempat itu. Apabilah setelah di perintahkan ternyata orangorang itu tetap juga berusaha menyalakan korek apinya, maka petugas polisi berwenang untuk merampas korek api dan menyerahkan kembali setelah isi bensin. Polisi di sini bertindak dalam batas kewajaran sesuai dengan syaratsyarat dengan batas kewajibannya. Dalam hal ini polisi telah melakukan tindakan refresif. Tindakan perampasan korek api yang di lakukan oleh polisi berdasarkan wewenang maka tindahanya tersebut di benarkan. Sedangkan diskresi di dalam pola penegakan hukum yang di terapkan oleh penyidik atau penyidik pembantu adalah penyidik merasa memiliki kewenangan untuk menerapkan diskresi setelah melihat dan mengkaji kasus-kasus yang di tanganinya apakah bisa di terapkan diskresi atau tidak semua. hal itu penyidik maupun penyidik pembantu semua kebijakannya harus ada koordinasi terlebih dahulu dengan pimpinannya. Intinya tergantung atasan atau pimpinan. Diskresi kepolisian diberikan oleh Negara secara limitative, kewenangan secara limitative di atur di dalam UU no 2 / 2002 pasal I S ayat 1 dan ayat 2 adalah: Pasal 15 ayat 1 UU Nomor 2/ 2002. (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana di maksud dalam pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelsaikan perselisihan antar warga masyarakat yang dapat menggaggu ketertiban umum;

c. Mencegah dan menanggulangi penyakit masyarakat; d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. Mengeluarkan peraturan di dalam lingkup kewenangan administrasi kepolisian; f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. Mengambil sitlik jari dan identitas lainya serta memotret seseorang; i. Mencari keterangan dan barang bukti; j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. Mengeluarkan surat izin dan I atau surat keterangan yang di perlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; 1. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. Menerima dan menyimpan barang temuan;

Pasal 15 ayat 2, UU Nomor 2 / 2002 (2) kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan lainya berwenang; a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian urnum dan kegiatan masyarakat lainya;

b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. Memberikan Izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengarnanan; g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis keposian; h. Melakukan kerja sama dengan kepolisian Negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan international; i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalarn organisasi kepolisian international; k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Pasal 16 ayat 1 huruf a sampai huruf k UU Nomor 2/ 2002 (1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana di maksud dalam pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang: a. Melakukan penangkapan, penahanan penggeledahan dan penyitaan;

b. Melarang setiap orang meninggal_ atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. Menyuruh berhenti orang yang di curigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk di dengar dan di periksaa sebagai tersangka atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang di perlukan dalam hubunganya dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang di sangka melakukan tindak pidana; k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidik kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidik pegawai negeri sipil untuk di serahkan kepada penuntut umum.

Penerapan diskresi di dalarn bidang penegakan hukum pasal 5 ayat I huruf a, angka 4 KUHAP adalah: yang di maksud dengan "tindakan lain" adalah tindakan dari penyidikan untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: a) Tidak bertentangan dengan aturan hukum;

b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskam dilakukan tindakan jabatan; c) Tindakan itu harus dan masuk akal dan temiasuk dalam lingkungan jabatannya. d) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. e) Menghormati hak asasi manusia.

Penerapan diskresi di bidang penegakan hukum pa-al 7 ayat I huruf c KUHAP adalah: menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka Contoh kasus di dalam penerapan diskresi di dalam bidang penegakan hukum: Khusus tahun 2009 pada bagian kasat 1 operasional dalam bidang RESKRIM, adalah: Kasusl, BERKAS PERKARA, NO. POL: BP / 410 / 41 / 2009 / DIT RESKRIM. Laporan Polisi : LP/ K/ 65/ III / 2009 / siaga operasional. Tanggal 28 maret 2009. Perkara : Tindak Pidana Perbankan. TKP : PT. BANK NTB. Tersangka : wahyudin Amin. Pasal yang di langgar : pasal 49 ayat (2) huruf b. UU no. 7 tahun 1992 sebagaimana telah di ubah dengan UU no 10. tahun 1998 tentang perbankan jo pasa155 ayat (1) ke 1. KUHP jo Pasal 64 ayat (1) ke 1 KUHP. Kasus 2, BERKAS PERKARA, NO. POL: BP / 86 / XI / 2009 / DIT. RESKRIM. LAPORAN POLISI : LP / K / 193 / IX / 2009 / siaga operasional. Tanggal 21 september 2007. perkara: dengan sengaja dan melawan hukum penyuapan terhadap dengan pegawai negeri atau pejabat penyelenggara Negara maksud pegawai Negeri atau penyelenggara Negara agar berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban. TKP ( tempat kejadian perkara ) : kantor lapas Mataram: jalan Hos Cokro aminoto No. 5 Kota Mataram. Korban : Ruslan ALs. Mamiq Lilik Als. Janggrat. Als Datuq. Tersangka: sudarso. S.H. M.H. DKK. Pasal yang di langgar: pasal 5 ayat (2) UU RI NO. 20 Tahun 2001 dan atau Pasal 223 KUHP Jo. 426.

KUHP. Kasus 3, BERKAS PERKARA. NO. POL: BP / 73 / X / 2009 / DIT RESKRIM. LAPORAN POLISI: LP 1 K / 157 / VIII / 2009 / SIAGA OPS. TANGGAL 9 AGUSTUS 2009. perkara: dengan sengaja mengumumkan atau mengabarkan atau menyampaikan surat kabar atau keterangan yang harus di rahasiakan untuk kepentingan Negara. TKP ( tempat kejadian Perkara ): Kantor " Lombok Post" An. TGH. Faesal No. 33 Turide Kecamatan Cakranegara Kota Mataram. Korban : Negara Republik Indonesia. Tersangka: Ir. H. Alam Basri. Pasal yang di langgar: Pasal 112 KUHP. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh penyidik tentang penerapan diskresi kepolisian pada wawancara penulis dengan pihak kepolisian yaitu penyidik, Bapak Suharto, pada hari senin tanggal 2 desember 2009 dikantor Polda NTB, dalam kasus yang telah di terapkannya diskresi di atas, pihak penyidik kepolisian memerintahkan kepada tersangka yang tidak di tahan untuk wajib lapor karena pihak kepolisian hat tersebut di anggap sah dan berdasarkan hukum. Atas tindakan tersebut pihak penyidik kepolisian penerapan diskresi pada kasus-kasus pidana seperti yang telah di kemukakan oleh penulis di atas berdasarkan prinsif: Tindakan Lain Menurut Hukum Yang bertanggung Jawab, sebagai mana di sebutkan dalam pasal-pasal dan Undang-Undang yang menyangkut tentang tindakan yang telah di terapkan di atas. Semua tersangka tindak pidana yang di terapkan diskresi di kenakan Wajib Lapor. Perlu di jelaskan bahwa alasan tersangka tidak di tahan dan dikenakan wajib lapor karena pihak penyidik kepolisian mempunyai tujuan. Tujuannya adalah untuk mengontrol keberadaan tersangka yang tidak di tahan guna memastikan proses pidana yang di lakukan penyidik Kepolisian terhadap diri tersangka dapat berjalan hingga di serahkannya tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut Umum. Sebelumnya penulis juga telah menanyakan kepada penyidik pembantu yang menangani perkara di dalam penerapan diskresi tantang langka-langka pihak penyidik

pembantu di dalam menerapkan diskresi pada kasus yang di diskresikan. Telah di kemukakan oleh Bapak Gusti Ngurah Bagus Suputra pada hari sabtu tanggal I desember 2009 adalah: 1. Penilaian penyidik tentang kasusnya menyimpulkan keterangan yang di perlukan dari tersangka sudah cukup. 2. tersangka tidak melarikan diri, karena semua identititas dan tempat tinggal, pekerjaan tersangka segalanya jelas 3. tidak akan menghilangkan barang bukti. 4. tersangka tidak akan mengulangi perbuatannya. Panarapan diskresi yang di lakukan oleh pihak penyidik kepolisian terhadap tersangka dengan berlandaskan regulasi-regulasi yang telah di jelaskan di atas bukan tidak ada batasanya akan tetapi di berikan batasan secara limitative di dalam Pasal 16 ayat ( 2 ) UU no.2 tahun 2002 tentang kepolisian yaitu: 1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut di lakukan; 3. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatanya; 1) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatanya; 2) pertimbangan yang layak berdasarkan berdasarkan keadaan memaksa; 3) menghormati hak azasi manusia. Di dalam Pasal 18 ayat I dan 2, juga menjadi landasan berfikirnya atau bertindak dalam penanganan tindak pidana yaitu:

1. Untuk kepentingan umum pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana di maksud dalam ayat (I) hanya dapat di lakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode t?tik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain pasal-pasal yang telah di jelaskan di atas, pasal-pasal ini juga menjelaskan tentang penerapan diskresi Kepolisian yang menjadi (andasan atau acuan di dalam bertindak. C. Apakah Tindakan Diskresi yang di lakukan oleh pihak-pihak kepolisian merupakan Langkah di dalam mengurangi tindak Pidana. Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan oleh penulis tentaug diskresi di atas, tindakan diskresi yang di lakukan oleh pihak-pihak kepolisian merupakan langkah di dalam mengurangi tindak Pidana dalam kamtihmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Tindakan diskresi adalah merupakan langkah awal dari perbuatan pidana atau sebelum perbuatan pidana itu di lakukan, misalkan dengan situasi dan kondisi yang besar peluang untuk melakukan kejahatan, karena kejahatan yang timbul bukan hanya karena ada niat si pelaku akan tetapi karena kondisi dan situasi yang berpeluang sangat besar untuk melakukan tindak pidana. Dengan hal-hal demikian maka pihak-pihak Kepolisian melakukan atau menerapkan diskresi, seperti yang di kemukakan oleh Bapak Ade rahmat Idnal pada tanggal 13 Agustus 2009 jam 3: 51 WIB, di dalam artikelnya di www.google.com: " kewenangan diskresi kepolisian dan pertanggungjawaban secara hukum". Bahwa diskresi pada umumnya di kaitkan kepada dua konsep yaitu penindakan selektif ( selective Enforcement )dan patroli terarah ( directed Patrol ). Penindakan selektif adalah suatu bentuk diskresi administrasi di mana pembuat kebijakan atau pemimpin menentukan

Prioritas bagi berbagai unit/ satuan bawahnya. Sedangkan Patroli terarah adalah contoh diskresi supervisor di mana supervisor memerintahkan anggota-anggotanya untuk mengawasi secara ketat suatu wilayah tertentu atau suatu kegiatan tertentu. Penggunaan wewenang diskresi oleh polisi baru ini di akui suatu yang wajar dari kewenangan polisi. Sebelumnya pimpinan polisi dan masyarakat beranggapan bahwa polisi harus bertindak setiap pelanggar ketentuan hukum dan membiarkan atau tidak melaksanakan ketentuan tersebut merupakan pelanggaran hukum oleh polisi. Para pemimpin polisi masih raguragu untuk mengakui bahwa pejabat polisi selalu menggunakan diskresi dalam menegakkan hukum dan bahwa mereka secara diamdiam menetapkan kebijaksanaan untuk tidak melaksanakan penindakan secara penuh terhadap peraturan daerah. Mereka khawatir masyarakat akan protes bahwa hukum tidak di tegakkan secara adil atau timbulnya tuntutan ganti rugi dalam hal terjudinya kecelakaan sebagai akibat di biarkannya pelanggaran lalu lintas. Faktor-Faktor yang mempengaruhi seorang petugas polisi dalanr memutuskan pengambilan sesuatu tindakan memungkinkan seorang anggota polisi menghadapi beberapa tindakan yang dapat di lakukan menurut Djoko Prakosos: 1. Polisi Bertindak tetapi tindakan tersebut salah. Alasanya terbatasnya pengetahuan dan pengalaman serta di pengaruhi Faktor psikologis, seorang petugas polisi yang sedang melaksanakan tugasnya di lapangan dapat mengakibatkan kesalahan dalam memilih tindakan. Petugas polisi hanya kesalahan dalam memilih tindakan. Petugas polisi hanya mengandalkan

kewenangannya saja tapi tidak memperhitungkan hal-hal yang meliputi kehidupan masyarakat atau norma-norma yang berlaku schinggga tindakan berlebihan hingga mendapat reaksi negative dari masyarakat. 2. Polisi menjadi apatis.

Dengan dasar pemikiran daripada salah lebih baik tidak bertinduk, maka seorang anggota polisi dapat menjadi apatis dengan tidak mclakukan sesuatu tindakan dalam menghadapi suatu peristiwa di mana seharusnya dia bertindak. Seorang anggota polisi dapat menjadi takut mendapat reaksi dari masyarakat, ataupun takut di tuntut atau di hukum oleh atasanya atas kesalahan tersebut. Menurutnya lebih baik mengambil tindakan kalau sudah terjadi tindak pidana yang merupakan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum. 3. sengaja menyalahgunakan wewenangnya Penilaian terhadap tindakan yang tepat dan yang perlu di lakukan diserahkan kepada petugas tanpa di berikan pembatasan, memberi kemungkinan kepada petugas untuk melakukan penyalahgunaan wewenangnya. Dengan latar belakang kepentingan pribadi seperti mencari keuntungan, menolong keluarga/kawan dan sebagainya petugas polisi dapat bertindak dengan tidak semestinya atau melakukan tindakan yang melanggar ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan sengaja. Dari ketiga faktor-faktor di atas merupakan alasan-alasan bagi anggota polri apabila menerapkan diskresi. Tindakan diskresi yang di terapkan oleh Kepolisian pada kasuskasus pidana merupakan salah satu cara untuk mengurangi tindak pidana yang akan terjadi. Seperti yang telah banyak di paparkan di atas bahwa penerpan diskresi ada dua pola yaitu: pola Kamtibmas dan pola penegakan hukum, kedua pola tersebut tujuan sama adalah untuk semata-mata mengurangi tindak pidana. Polisi dengan kewajibanya di dalam tugas kemasyarakatan di luar peradilan, antara lain: '

1. Melaksanakan upaya penanggulangan terhadap setiap gejolak dan kencendrungan seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat yang mengarah kepada terjadinya tindak kejahatan. 2. Mengutamakan pencegahan dan penangkalan sehingga menimbulkan dan meningkatkan kesadaran hukum dalam bentuk bimbingan masyarakat yang preventif. Berbicara tentang tugas kemasyarakatan Kepolisian di luar pengadilan penulis memaparkan pentingnya tindakan preventif maupun represif di dalam hal penerapan diskresi ( non yustisial discretion). Tugas Kamtibmas dan kemasyarakatan mengandung rambu-rambu dan bersifat limitative agar tidak terperangkap pada penyalahgunaan wewenang sebagaimana telah menjadi himbauan dunia international untuk di waspadai terutama menjaga citra kepolisian di mata masyarakat. Guna menghindari

penyalahgunaan tugas dan meningkatkan kemampuan polisi di perlukan kontinuitas system informasi dan sistim pendidikan polisi sebagai panutan sadar hukum dan perilaku hukum. Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dalam pelaksanaannya diharapkan dapat memberi warna baru citra polri ke depan serta dapat mengubah perilaku polri sebagai pelindung, pengayom masyarakat dan tindakan reprsif dalam rangka penegakan hukum merupakan upaya terakhir dalam proses penyelsaian masalah dalam keterkaitannya dengan Criminal Yustice System (CYS).

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.

Dari uraian yang penulis paparkan dari hasil penelitian maka penulis dapat menarik konklusi dari penelitian ini: 1. diskresi Polisi dapat diartikan sebagai wewenang pejabat polisi untuk memilih bertindak secara legal atau illegal dalam menjalankan tugasnya. 2. Diskresi membolehkan Polisi untuk memilih berbagai peran seperti: memelihara ketertiban, menegakan hukum atau melindungi masyarakat. Diskresi pada umumnya dikaitkan kepada dua konsep yaitu penindakan selektif atau selective Enforcement dan patroli terarah atau Directed patrol. 3. Penindakan selektif adalah suatu bentuk diskresi administrasi di mana pembuat kebijakan atau pemimpin menentukan prioritas bagi berbagai unit/ satuan bawahanya. 4. Sedangkan patroli terarah adalah contoh diskresi supervisor dimana supervisor memerintahkan anggota-anggotanya untuk mengawasi secara ketat suatu wilayah tertentu atau suatu kegiatan tertentu. 5. Penggunaan wewenang diskresi oleh polisi baru-baru ini diakui sebagai suatu yang wajar dari kewenangan Polisi. 6. penerapan diskresi ini terdapat 2 pola yaitu: a. Pola Kamtibmas Pola ini didalam penerapanya melibatkan semua unsur-unsur kepolisian, baik dari pangkat terendah maupun pangkat tertinggi. b. Pola Penegakan Hukum Pola ini didalam penerpannya hanya melibatkan anggota kepolisian tertentu saja seperti: penyidik dan penyidik pembantu. Karena Pola ini sudah merupakan suatu

Proses akan di tindak lanjuti suatu kasus-kasus tindak pidana yang akan di hadapi oleh pihak kepolisian. 7. Kepolisian terutama pada hal penegakan hukum, selalu mengacu pada ketentuan atau norma-norma yang menjadi landasan pemberlakuan diskresi yaitu UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 15 Ayat 1 dan 2, Pasal 16 Ayat la, Sampai lkn sedangkan didalam KUHAP ditentukan di dalam Pasal 5 Ayat I Huruf a angka 4 dan pasal 7 Ayat 1 Huruf C. 8. Pasal-pasal sebagai landasan di dalam kebijakan Polisi terutania penyidik dan penyidik pembantu di dalam mengambil keputusai atau kebijaksanaan di dalam penerapan diskresi. Akan tetapi walau ada Norma-Norma atau aturan yang melandasi tapi di batasi dengan pasal 16 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 sebagai limitative di dalam mengambil kebijakannya.

B. Saran. 1. Penerapan diskresi pada kasus tindak pidana, pihak kepolisian harus benar-benar obyektif bukan subyektif atau melihat tersangka atau pelaku tapi melihat bagaimana kasus yang akan diterapkan tindakan diskresi di perkenankan atau tidak di perkenankan di liat dari sisi perkara yang di hadapinya. Penerapan diskresi pada kepolisian baik bersifat non yustisial maupun yustisial harus benar-benar berlandaskan norma-norma yang berlaku, baik pranata lokal maupun norma-norma yang sudah di undang-undangkan. 2. Penerapan diskresi pada pola preventif maupun refresif pada kamtibmas harus juga di buatkan landasan hukum yang kuat, supaya tidak salah di dalam penerapan diskresi.

3. Polisi bukan sebagai kekuatan pertama akan tetapi hakekatnya sebagai alat Negara yang sama kedudukanya dengan alat Negara yang lainya. 4. Dalam hal penegakan hukum penerapan diskresi ini harus!ah transparansi dan aturan yang jelas harus di buat, serta penerapan diskresi yang keliruh harus di berikan sangsi dan pemecatan anggota maupun tindak pidana dan harus di atur di dalam undang-undang yang khusus. 5. Apabila di dalam penerapan diskresi merugikan korban maka pihak dari kepolisian terutama penyidik harus di berikan sangsi administrasi maupun sangsi jabalan. Pemerintah harus meninjau kembali tentang aturan-aturan serta regulasi-regulasi tentang penerapan diskresi, karena diskresi banyak menimbulkan kontradiksi para ahliahli dan pakar ilmu kepolisian. Sehingga tidak pernah ada titik temu. DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, SH., Mhum dan H. Zainal Asikin, S.H., S.U. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada Jakarta. ADE RAHMAT IDNAL, AKP, SIK, MSI. www.google.com Artikelnya judul kewenangan diskresi kepolilsian. 13 Agustus 2007. Peter Mahmud Marzu Prof. Dr, SH., MS., LL.M. Peneletian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta 2006. Djoko Prakoso,S.H. POLRI Sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum, PT. BINA AKSARA-Jakarta 1987. Farouk Muhammad, Dr. Menuju Reformasi Polri, Restu Agung, Jakarta 2003.

Gusti Ngurah Bagus Suputra, SH. Penyidik Pembantu. POLDA NTB. 1 Desember 2007. H. Warsito Hadi Utomo, SH, Mhum, Hukum Kepolisian di Indonesia Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta-Indonesia 2005. Ignatus Ridwan Widyadharma, S.H., M.S., Ph.D, Etika Profesi Hukum. UNDIP Semarang. 1996. Suharto, AKBP. SH. MH. Penyidik POLDA Bag. Reskrim OP. NTB. 30 Nop, 2008. Moeljantno, SH. Asas-Asas Hukum Pidana. Penerbit Rineke Cipta Mei.2000. Peter Mahmud Marzu Prof. Dr, SH., MS., LL.M. Peneletian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta 2006.

You might also like