You are on page 1of 37

2.

PARTUS NORMAL
Hugh Dixon Wolcott dan Kathleen J. Balley
Dalam Manual of Obstetrics Edisi ke VII, 2007

(diterjemahkan oleh : Judi Januadi Endjun)

KATA KUNCI
 Persalinan merupakan proses fisiologi normal
 Hanya sekitar 50% kehamilan risiko tinggi, disertai penyulit, yang dapat
diidentifikasi sebelum skrining (penapisan) dan masuk rumah sakit untuk
melahirkan. Pemeriksaan yang teliti terhadap ibu dan janin sebelum terjadinya
persalinan sangat penting.
 Pemahaman terhadap prinsip-prinsip persalinan normal dan fisiologi ibu-janin
diperlukan untuk menghindari tindakan intervensi yang tidak perlu pada waktu
persalinan.
 Melalui penelitian prospektif, acak, terkontrol, ternyata pemantauan janin
elektronik kontinyu (PJEK) tidak terbukti bermanfaat banyak sehingga
penggunaannya di kamar bersalin harus berdasarkan indikasi.
 Permintaan pasien untuk melahirkan tanpa nyeri sudah merupakan kondisi yang
perlu dipertimbangkan untuk dipenuhi.
 Episiotomi rutin tidak terbukti memperbaiki luaran janin sehingga tindakan
tersebut hanya dilakukan atas indikasi klinis yang jelas.
.
LATAR BELAKANG

Definisi
 Persalinan adalah suatu proses kontraksi rahim yang teratur untuk
mengeluarkan janin dari rongga rahim.
 persalinan aterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan 37 – 42 minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT.).
 Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi sebelum kehamilan 37 minggu.
 Kehamilan posterm adalah kehamilan setelah 42 minggu dan keadaan ini
memerlukan pemantauan yang ketat.
 Pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu disebut keguguran (abortus), bisa
terjadi spontan atau elektif.

PEMERIKSAAN PASIEN INPARTU


 Pemeriksaan pasien inpartu meliputi :
o Anamnesis
o Pemeriksaan fisik
o Pemeriksaan laboratorium selektif
o Penilaian janin

 Kesan klinis dan rencana tatalaksana pasien disusun berdasarkan informasi


yang sudah diperoleh.
Partus Normal

Anamnesia

Anamnesis Tanda Persalinan Saat ini


 Kontraksi-kontraksi
o Nilai kontraksi uterus : kapan mulainya, serta berapa frekuensinya,
lamanya, dan intensitasnya.
o Kontraksi yang menimbulkan pendataran dan pembukaan serviks
seringkali terjadinya teratur dan semakin kuat (pasien tidak mampu lagi
berjalan atau berbicara pada saat terjadinya kontraksi) dan disebut his.
Juga sering disertai keluarnya lendir bercampur darah dari kanalis
servikalis yang tengah mengalami proses pendataran, disebut bloody
show.
o Pada minggu-minggu terakhir kehamilan, wanita hamil sering mengalami
kontraksi rahim yang tidak teratur, ringan, dan tidak menimbulkan
perubahan pada serviks, disebut kontraksi Braxton-Hicks.
o Perbedaan persalinan yang sesungguhnya dengan persalinan palsu
dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Perbedaan persalinan yang sesungguhnya dengan persalinan palsu

Faktor-faktor Persalinan sesungguhnya Persalinan palsu


Kontraksi uterus Interval teratur Interval iregular

Interval antar kontraksi Bertahap semakin pendek Tetap lama

Intensitas kontraksi Bertahap semakin kuat Tetap sama

Lokasi nyeri Punggung dan abdomen Kebanyakan di perut


bagian bawah

Efek analgesia Tidak dapat dihilangkan Seringkali hilang dengan


dengan sedasi pemberian sedasi

Perubahan serviks Pendataran dan pembukaan Tidak ada perubahan


progresif

 Ketuban Pecah
o Keadaan selaput ketuban perlu ditentukan jika hal ini tidak dilaporkan
sebagai bagian dari keadaan awal.
o Pasien dapat mengeluh hanya keluar cairan atau dapat juga disertai
kontraksi rahim. Awal terjadinya ketuban pecah merupakan hal penting
karena ketuban pecah lama meningkatkan risiko khorioamnionitis.
o Bila pasien merasakan tiba-tiba keluar cairan banyak dari vagina dan
selanjutnya terus keluar cairan, maka sangat mungkin ketubannya sudah
pecah (data ini dapat dipercaya untuk lebih dari 90% pasien).
o Kadang-kadang pasien hanya merasakan pakaian dalamnya basah
(lembab) dan ragu apakah karena urin, sekresi vagina, lendir serviks,
atau cairan ketuban.
o Diagnosis ketuban pecah dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik, laboratorium, dan USG.

JJE-20080203 2
Partus Normal

• Pemeriksaan fisik memakai spekulum vagina steril.


• Pemeriksaan laboratorium : pH vagina dan uji fern. Hasil positif
palsu dapat terjadi bila terdapat urin yang bersifat basa, lendir
serviks, vaginosis bakterial, dan darah.
• Pemeriksaan USG untuk menilai volume cairan amnion dilakukan
bila pemeriksaan fisik dan laboratorium masih meragukan.
• Bila status selaput ketuban tetap masih meragukan meskipun
pemeriksaan di atas telah dilakukan, maka taruh kertas lakmus di
daerah perineum, pakai celana dalam, dan mobilisasi pasien.
Setelah beberapa waktu, lakukan penilaian kertas lakmus tersebut,
bila terjadi perubahan warna lakmus, kemungkinan telah terjadi
ketuban pecah. Tanyakan juga warna cairan yang keluar, apakah
darah atau mekoneum.

Perdarahan per vaginam


 Jika ada, harus dipastikan berapa banyak perdarahan per vaginam.
 Perdarahan bercak atau mukus yang disertai sedikit darah merupakan keadaan
yang sering ditemukan pada persalinan normal.
 Perdarah per vaginam yang banyak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut
karena perdarahan tersebut dapat abnormal dan menggambarkan beratnya
kelainan yang terjadi (Lihat Bab 9).

Gerakan Janin
 Pada awal pemeriksaan pasien inpartu harus ditanyakan mengenai gerak janin.
Kebanyakan pasien mengetahui pola dasar aktivitas gerakan janinnya.
 Bila pasien melaporkan bahwa gerakan janinnya jarang atau semakin berkurang
bila dibandingkan dengan pola gerakan sehari-harinya, maka kesejahteraan
janin perlu dipastikan.
o Penilaiannya dapat memakai pemantauan kesejahteraan janin melalui uji
tanpa beban (non-stress test = NST), uji dengan beban (contraction
stress test = CST), atau profil biofisik (Lihat Bab 32).
o Panduan penghitungan gerak harian janin seringkali dipergunakan rutin
pada kehamilan trimester ketiga sebagai sarana penapisan
kesejahteraan janin.

Riwayat Kehamilan Sekarang


 Riwayat kehamilan sekarang dapat diperoleh melalui anamnesis di kamar
bersalin atau melalui penelusuran rekam medik.
 Catatan antenatal dapat berasal dari rumah sakit dimana pasien biasa
melakukan pemeriksaan atau berasal dari rumah sakit luar. Mungkin juga pasien
yang datang tidak pernah melakukan asuhan antenatal atau tanpa data rekam
medis.
 Jika ada rekam medis, hal-hal penting dari data tersebut harus diverifikasi ulang
dengan pasien.

Usia Gestasi
 Penentuan usia gestasi terbaik adalah berdasarkan data dari rekam medik
antenatal.
o Semakin terlambat pasien melakukan asuhan antenatal, maka semakin
sulit menentukan berapa usia gestasi yang tepat.

JJE-20080203 3
Partus Normal

o Pasien yang baru pertama kali melakukan asuhan antenatal pada


kehamilan ≥ 24 minggu, maka perkiraan waktu persalinannya menjadi
tidak akurat.

 Petunjuk penting dalam penentuan usia gestasi antara lain


o Berdasarkan HPHT, maka prakiraan persalinan dihitung pada usia
kehamilan 40 minggu atau 280 hari.
o Bila berdasarkan tanggal ovulasi terakhir (dapat ditentukan dengan kit uji
prakiraan ovulasi atau grafik suhu basal badan), atau tanggal saat
konsepsi terjadi (bila diketahui secara pasti), maka prakiraan persalinan
dihitung pada usia kehamilan 38 minggu.
o Pengukuran CRL dengan USG pada kehamilan 6 – 12 minggu
(perbedaan waktu 3 hari).
o Pengukuran usia gestasi berdasarkan USG rata-rata parameter biometri
pada kehamilan 12 – 20 minggu (perbedaan waktu 10 hari).
o DJJ pertama kali dapat didengar dengan Doppler pada kehamilan 10 –
12 minggu atau bila memakai fetoskopi pada kehamilan 18 – 20 minggu.
o Gerakan janin (quickening) dapat dirasakan oleh primigravida pada
kehamilan 18 – 20 minggu.
o Prakiraan usia gestasi sebelum 16 minggu berdasarkan ukuran uterus
oleh dokter yang berpengalaman.

 Penentuan usia gestasi yang tepat harus dilakukan sebelum kehamilan 20


minggu.
o Sulit menentukan kapan tanggal prakiraan persalinan pada pasien inpartu
yang datang dengan HPHT yang tidak pasti dan tidak pernah mengikuti
asuhan antenatal.
o Usia gestasi yang tidak tepat menyebabkan masalah yang bermakna
karena terdapatnya perbedaan tatalaksana kasus aterm, preterm, dan
posterm. Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya cara untuk
menentukan usia gestasi hanyalah berdasarkan pemeriksaan USG di
kamar bersalin. Harus disadari bahwa pemeriksaan tersebut memiliki
kesalahan penentuan usia gestasi sekitar 3 minggu bila dibandingkan
dengan pemeriksaan USG pada trimester pertama.
o Amniosentesis untuk menilai kematangan paru janin dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan pada kasus yang harus dilahirkan tetapi
usia gestasinya tidak pasti.

Masalah Medis yang Terjadi selama Kehamilan


 Pasien harus dianamnesis dengan cermat, terutama masalah medis yang terjadi
selama kehamilan ini.
 Riwayat dirawat di rumah sakit dan pemberian obat-obat baru harus dicatat.
 Singkirkan kemungkinan menderita herpes genitalis, perdarahan, plasentasi
abnormal, hepatitis B/C, HIV, karier streptokokus grup B, infeksi traktus urinarius
dan pielonefritis berulang, atau setiap infeksi yang memerlukan pengobatan.
 Riwayat gangguan toleransi glukosa dan penatalaksanaan dengan diet atau
insulin harus dicatat.
 Bila terjadi peningkatan tekanan darah, catat kapan mulainya, beratnya, dan
terapi yang diperoleh.
 Riwayat kejang, catat berapa kali terjadinya dan terapi yang diberikan, hal ini
penting dalam tatalaksana obstetri.

JJE-20080203 4
Partus Normal

Pengkajian Ulang Sistem (review of systems)


 Harus dilakukan pengkajian ulang keluhan pasien, berorientasi obstetri.
 Keluhan sakit kepala, skotomata, edema tangan dan muka, atau nyeri
epigastrium mengarah ke diagnosis preeklampsia.
 Pruritus generalisata mungkin menunjukkan adanya kholestasis intrahepatik
dalam kehamilan atau hepatitis.
 Disuria, sering berkemih, atau nyeri pinggang, dapat menunjukkan adanya sistitis
atau pielonefritis.

Riwayat Kehamilan Terdahulu


Harus dikaji ulang setiap kehamilan yang lalu, berapa usia gestasi saat partus, dan
bagaimana luarannya ?
 Harus diberikan perhatian khusus pada kasus persalinan preterm, partus dengan
tindakan, partus lama atau sulit, distosia bahu (risiko berulang 15%),
malpresentasi, eklampsia atau preeklampsia (risiko berulang 5 – 40%), solusio
plasentae atau plasenta previa (risiko meningkat sesuai usia ibu, paritas, dan
bekas SC), dan perdarahan yang memerlukan transfusi.
 Mungkin diperlukan penelaahan kembali catatan medis oleh spesialis/bagian lain
untuk memastikan atau klarifikasi beberapa hal yang masih meragukan.

Riwayat Medis
 Semua masalah medis yang sedang terjadi saat ini harus dievaluasi ulang dan
ditentukan seberapa berat pengaruhnya terhadap kehamilan.
 Stres saat persalinan dapat memperburuk kebanyakan masalah medis dan
membahayakan kesehatan ibu dan kesejahteraan janin.

Riwayat Psikososial dan Emosional


 Persalinan adalah suatu peristiwa yang penuh dengan stres fisik dan kejiwaan,
sehingga pemahaman terhadap status dan riwayat psikososial dan emosional
pasien dapat membantu didalam perencanaan dan mempertahankan
kemampuannya untuk mengontrol kejiwaannya.
 Harus diperhatikan apa yang diinginkan oleh pasien.
 Bicarakan dengan pasien tentang persiapan dan perencanaan untuk persalinan.
 Identifikasi persiapan yang telah dilakukan dan siapa yang diinginkan oleh
pasien untuk mendampinginya saat partus.
 Tanyakan tentang pemakaian atau penyalahgunaan obat atau alkohol, riwayat
kekerasan dari pasangannya, serta diagnosis dan terapi gangguan psikiatri.
Anamnesis ini harus dilakukan pada pasien sendiri tanpa dihadiri oleh keluarga
atau siapapun.

Pemeriksaan Fisik
 Meskipun pada fase aktif persalinan tidak memungkinkan pemeriksaan fisik
secara optimal, lakukan pemeriksaan terarah pada daerah abdomen dan pelvik
pada waktu di luar his.
 Lakukan pemeriksaan dengan cermat setiap keluhan atau abnormalitas yang
berasal dari sistem organ utama.
 Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan fisik bagian tubuh yang
mengalami kelainan berdasarkan riwayat pasien pribadi.

JJE-20080203 5
Partus Normal

Pemeriksaan Status Generalis

Tanda Vital
 Seluruh tanda vital segera diperiksa begitu pasien datang.
 Tekanan darah harus diukur diantara dua his, bila pasien obesitas, pergunakan
manset (cuff) yang besar. Bila tekanan darah abnormal, lakukan pemeriksaan
ulang.
 Febris, terutama bila disertai ketuban pecah, mungkin mengindikasikan adanya
khorioamnionitis.
 Takhikardia atau takhipnoe tanpa disertai kelainan lain sering ditemukan pada
wanita sehat yang sedang inpartu fase aktif.

Kepala
 Pemeriksaan kepala harus disertai funduskopi untuk menyingkirkan abnormalitas
vaskular, perdarahan, atau eksudat sebagai bagian dari tanda adanya kelainan
seperti diabetes atau hipertensi.
 Konjungtiva pucat (atau kuku) dapat menunjukkan adanya anemia.
 Edema muka, tangan, dan sendi kaki sering dijumpai pada pasien preeklampsia.
 Palpasi kelenjar thiroid untuk menyingkirkan goiter atau massa lainnya.

Thoraks
 Pemeriksaan thoraks dapat mendeteksi adanya proses pneumonia atau murmur
jantung yang jelas (dibanding murmur ejeksi sistolik fisiologis yang sering
terdapat pada kehamilan) dan merupakan data dasar bagi kasus dengan penyulit,
misalnya terjadinya edema paru.
 Pelebaran vena-vena leher menunjukkan adanya gagal jantung akibat
bendungan, meskipun jarang, kelainan ini dapat menyebabkan komplikasi yang
serius saat partus, dan seharusnya dapat dideteksi sedini mungkin sehingga
tatalaksana terapi juga sudah dapat dilakukan sejak awal.
 Auskultasi paru untuk deteksi adanya ronkhi, crackles, dan mengi (wheezing)
sangat penting pada penderita asma atau hipertensi atau berisiko tinggi terkena
edema paru.

Abdomen
 Pemeriksaan abdomen harus dilakukan meskipun sulit (terutama pada
kehamilan aterm) untuk mencari tanda-tanda nyeri atau massa pada organ
visera.
 Nyrei tekan epigastrium dapat merupakan gejala dari preeklampsia atau
sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme levels, and a low platelet
count).

Ekstremitas
 Pada pemeriksaan ekstremitas harus juga mencakup penilaian edema perifer.
o Edema ringan pada sendi kaki sering ditemukan pada kehamilan normal
mendekati aterm, tetapi bila ditemukan edema berat pada ekstremitas
inferior dan tangan menunjukkan kemungkinan terdapat preeklampsia.
o Pemeriksaan neurologi yang seksama harus dilakukan karena adanya
hiper-refleksi tendo bagian dalam dan klonus merupakan tanda ancaman
(impending) aktivitas kejang.

JJE-20080203 6
Partus Normal

Periksa Luar (obstetric abdominal examination)

Ukuran Uterus
 Hingga pertengahan kehamilan trimester ketiga, jarak antara simfisis pubis
hingga fundus uteri (dalam sentimeter) sebanding dengan usia gestasi (dalam
minggu).
 Menjelang aterm, pengukuran ini semakin tidak akurat karena adanya variasi
individual ukuran janin menjadi lebih besar dan tinggi fundus uteri juga
dipengaruhi oleh turunnya bagian terendah janin ke dalam pintu atas panggul
(PAP).

Taksiran Berat Janin (TBJ)


 Prakiraan TBJ harus dilakukan secara cermat dengan memperhatikan faktor
volume cairan amnion, ketebalan dinding abdomen ibu, dan seberapa jauh
bagian terendah janin telah masuk PAP.
 Ukuran uterus yang lebih besar dari usia gestasi dapat disebabkan oleh
kesalahan penentuan HPHT, kelainan pada ibu atau janin (termasuk
makrosomia), atau kehamilan ganda.
o Masalah tersebut tidak dapat diselesaikan hanya dengan palpasi
abdomen, tetapi harus segera dilakukan pemeriksaan USG untuk
mencari kausa ketidakcocokan tersebut.
o Kesalahan perhitungan TBJ pada kehamilan aterm dengan USG dapat
mencapai 500 gram.

Pemeriksaan Leopold
 Pemeriksaan ini sangat penting untuk menentukan posisi janin dalam uterus
didalam tatalaksana persalinan. Terdapat empat langkah pemeriksaan Leopold
(lihat Gambar 2.1), atau ada cara lain dalam menentukan posisi janin yaitu
pemeriksaan USG di kamar bersalin (bedside ultrasound).
 Leopold 1 : pemeriksa menghadap ke wajah pasien, tentukan bagian janin yang
mana yang menempati fundus uteri (misalnya bokong pada presentasi kepala).
Bokong bergerak sesuai pergerakan tubuh janin (teraba menjadi satu dengan
tubuh). Kepala teraba keras, bundar, dan lebih globular dibanding bokong serta
terpisah dari tubuh janin.
 Leopold 2 : lakukan palpasi bagian lateral uterus untuk mencari lokasi punggung,
ekstremitas, atau bagian kecil janin. Bagian kecil janin kurang tegas teraba
dibanding punggung, tetapi lebih sering terasa bergerak.
 Leopold 3 : tentukan apa yang menjadi bagian terendah janin sambil menilai
pergerakan bagian tersebut. Bila sulit digerakkan, berarti bagian terendah janin
sudah masuk PAP.
 Leopold 4 : pemeriksa menghadap ke kaki pasien. Pada janin presentasi kepala,
tonjolan dahi teraba pada sisi yang sama dengan bagian kecil janin, berarti janin
dalam posisi fleksi (presentasi belakang kepala). Ekstensi kepala (presentasi
muka) dicurigai bila tonjolan dahi terletak berlawanan dengan bagian kecil janin.

JJE-20080203 7
Partus Normal

Gambar 2.1. Pemeriksaan Leopold untuk mendiagnosa presentasi dan posisi janin. A :
Palpasi bagian kutub atas. B : Memeriksa bagian tepi uterus untuk meraba bagian kecil
janin. C : Palpasi bagian kutub bawah. Kepala teraba bebas bergerak, dan bokong
bergerak bersamaan tubuh janin. D : Bila ditemukan tonjolan pada bagian terendah janin
pada sisi yang berlawanan dengan bagian kecil janin atau pada sisi yang sama dengan
bagian kecil janin, seperti pada presentasi kepala ? ( Sumber Niswander K. Obstetric
and Gynecologic disorders : a practitioner’s guide. Flushing,NY: Medical Examination
Publishing; 1975, dengan ijin.)

Letak Janin
 Letak adalah hubungan sumbu panjang janin dengan sumbu panjang ibu. Letak
memanjang terdapat pada janin dengan presentasi kepala atau bokong. Letak
transversal atau oblik terjadi pada janin letak lintang atau presentasi bahu.

Presentasi Janin
 Presentasi adalah bagian terendah janin di dalam rongga panggul, bisa kepala,
bokong, atau bahu.
o Presentasi kepala paling sering ditemukan.
o Presentasi dahi atau muka merupakan variasi sementara (peralihan) dari
presentasi kepala, melalui proses defleksi kepala, presentasi dahi atau
muka pada awalnya dapat memasuki rongga panggul.
o Pada presentasi bokong bagian terendah adalah bokong dengan
beberapa variasi presentasi seperti :
• Bokong murni (frank-breech) : bokong teraba di rongga panggul
sedangkan kaki berada di atas PAP

JJE-20080203 8
Partus Normal

• Bokong kaki (complete breech) : bokong dan kaki teraba


bersama-sama sebagai bagian terendah di dalam rongga panggul
• Presentasi satu kaki : satu kaki atau telapak kaki sebagai bagian
terendah.
• Presentasi dua kaki : kedua kaki atau telapak kaki sebagai bagian
terendah

o Semua kelainan presentasi berisiko terjadi prolaps tali pusat, tetapi yang
paling berisiko adalah presentasi kaki
o Presentasi bahu menunjukkan adanya letak lintang
o Presentasi rangkap (misalnya kepala dan ekstremitas teraba bersama-
sama) jarang ditemukan pada kehamilan aterm.
o Posisi bagian terendah janin paling baik ditentukan melalui periksa vagina.

Denyut Jantung Janin (DJJ)


 Pada awal pemeriksaan harus dicatat adanya DJJ.
 Pada banyak institusi dilakukan pemantauan DJJ elektronik kontinyu/PJEK
(continuous electronic fetal heart rate monitoring). Lakukan penilaian secara teliti
pada frekuensi dasar, variabilitas, akselerasi, dan deselerasi DJJ.
 Bila hasil NST reaktif (reassuring), maka pemantauan pasien dapat dilanjutkan
dengan cara PJEK atau cukup auskultasi DJJ secara intermiten.

Pemeriksaan Panggul
 Inspeksi dan palpasi perineum dan panggul sangat penting dalam penilaian
pasien inpartu.
 Pemeriksaan yang dilakukan mencakup :
o Ada tidaknya lesi pada perineum, vagina, dan serviks (termasuk infeksi
virus herpes dan virus papiloma/HPV).
o Kapasitas panggul.
o Selaput ketuban.
o Derajat pendataran dan pembukaan serviks uteri.
o Seberapa jauh bagian terendah janin telah masuk rongga panggul.

 Bila terjadi perdarahan pada trimester ketiga atau ketuban pecah pada
kehamilan preterm, jangan lakukan periksa dalam, kecuali atas indikasi medis
untuk melakukan pemeriksaan.

Inspeksi
 Perineum harus diperiksa apakah ada lesi herpes, varises vulva yang besar,
kondiloma yang besar, dan proses penyembuhan luka perineum yang tidak baik.
 Bila dicurigai ada infeksi aktif herpes genital, maka pemeriksaan vagina dan
serviks harus dilakukan dengan memakai spekulum.
 Diagnosis ketuban pecah kadangkala dapat ditegakkan dengan melihat cairan
ketuban yang keluar, tetapi seringkali memerlukan spekulum steril untuk melihat
keadaan selaput ketuban.
o Masukkan spekulum steril ke dalam vagina, kemudian lampu sorot
diarahkan sedemikian rupa sehingga serviks dan dinding posterior vagina
dapat ditampakkan.
o Adanya cairan yang banyak di forniks posterior hampir 100%
menunjukkan adanya ketuban pecah.

JJE-20080203 9
Partus Normal

o Diagnosis ketuban pecah juga dapat ditegakkan apabila tampak kulit


kepala, kaki, umbilikus, atau bagian tubuh janin lainnya melalui serviks
yang membuka.
o Bila adanya ketuban pecah masih meragukan, ambil cairan yang ada di
forniks posterior dengan kapas lidi steril, apuskan pada kaca benda dan
teteskan pada kertas lakmus.
• Adanya ketuban pecah dapat dinilai melalui mikroskop berupa
gambaran seperti pohon cemara (”ferning-sign”), lihat Gambar 2.2.
• Cairan amnion yang bersifat basa akan menyebabkan kertas
lakmus yang berwarna merah berubah menjadi biru tua, disebut
tes lakmus positif. Darah dan kadang-kadang urin dapat
menyebabkan hasil positif palsu.

o Bila cairan amnion disertai darah, lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menyingkirkan adanya solusio plasentae.
o Ada tidaknya mekoneum pada cairan amnion harus dicatat :
• Kejadian cairan ketuban disertai mekoneum semakin meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia gestasi.
• Meskipun mekoneum dikeluarkan ke dalam cairan ketuban pada
saat terjadinya stres hipoksia, tetapi hal tersebut tidak khas untuk
hipoksemia.

o Bila pada waktu amniotomi tidak didapatkan cairan ketuban, harus


difikirkan kemungkinan adanya cairan mekoneum yang kental sampai
terbukti bukan mekoneum

 Pemeriksaan kultur kuman dilakukan apabila dicurigai terjadi persalinan preterm


atau khorioamnionitis.
 Pada ketuban pecah preterm, contoh cairan ketuban yang diperoleh dari forniks
posterior dapat diperiksa untuk menilai maturitas paru janin.

Gambar 2.2. Gambaran ”ferning” pada apusan cairan ketuban yang berasal dari vagina
menunjukkan kemungkinan adanya cairan ketuban dalam vagina

JJE-20080203 10
Partus Normal

Palpasi Serviks
 Palpasi serviks harus dilakukan di luar his untuk memastikan ketepatan
pemeriksaan dan meminimalisasikan ketidaknyamanan pasien.
 Pembukaan serviks menunjukkan seberapa besar derajat pembukaan ostium
serviks. Palpasi serviks dapat menunjukkan serviks belum membuka hingga
pembukaan lengkap (10 cm), atau pembukaan serviks antara 0 – 10 cm.

Gambar 2.3. Pendataran dan pembukaan serviks pada primigravida (Sumber


Mechanism of normal labor; Ross Clinical Education Aid 13. Columbus, OH: Ross
Laboratories; 1975, dengan ijin)

 Pendataran serviks adalah proses penipisan serviks sebelum atau selama


proses persalinan (Gambar 2.3).
o Serviks yang belum inpartu masih tebal dan memiliki panjang sekitar 3
cm, dan disebut belum mendatar atau pendataran 0%. Pada pendataran
100% atau sudah komplet, tebalnya serviks seperti kertas.

 Sebagai aturan umum, pada primipara serviks mendatar sebelum proses


pembukaan terjadi, sedangkan pada multipara pembukaan sudah terjadi
sebelum pendataran serviks.

Palpasi Bagian Terendah Janin


 Penentuan bagian terendah janin harus dipastikan melalui periksa dalam dengan
meraba bagian apa yang terletak paling rendah. Para pemula seringkali
mengasumsikan yang dirabanya adalah kepala janin, sehingga pada setiap
pemeriksaan harus dipastikan apa yang dirabanya.
o Presentasi kepala dapat dipastikan bila teraba sutura pada tulang kepala.
Bila garis sutura tidak dapat dipastikan teraba, pikirkan kemungkinan
presentasi lainnya.
o Pastikan yang teraba itu adalah bokong, kaki, muka, atau jari tangan.
o Kesulitan dalam menentukan apa yang menjadi presentasi, memerlukan
bantuan pemeriksaan USG.

JJE-20080203 11
Partus Normal

 Stasion menunjukkan hubungan bagian terendah janin dengan petunjuk yang


ada pada tulang panggul.
o Stasion 0 : bagian terendah janin berada setinggi spina iskhiadika yang
merupakan petujuk panggul bagian tengah. Hal ini penting pada janin
dengan presentasi kepala karena menunjukkan bagian terbesar kepala
yaitu diameter biparietal telah melewati pintu atas panggul.
o Pada tahun 1988, American College of Obstetrics and Gynecologist
mengintroduksi klasifikasi panggul atas lima sentimeter segmen, di atas
dan di bawah spina iskhiadika :
• Stasion – 1 : bagian terendah janin berada 1 cm di atas spina
iskhiadika
• Stasion + 2 : bagian terendah janin berada 2 cm di bawah spina
iskhiadika
• Stasion – 5 : bagian terendah belum masuk PAP atau melayang
(floating)
• Stasion + 5 : bagian terendah janin terletak di perineum, dan
dapat meregangkan vulva pada saat kontraksi serta penolong
dapat melihat bagian terendah tersebut.
• Secara praktis, sistem klasifikasi ini belum diterima secara luas,
dan masih banyak dokter membagi stasion panggul berdasarkan
rongga panggul di bawah spina iskhiadika dalam pertigaan.
Misalnya + 2 cm = + 2/3 (Gambar 2.4).

Gambar 2.4. Estimasi penurunan kepala ke dalam rongga panggul. Didiagnosis Stasion
0 bila bagian terendah kepala janin telah mencapai spina iskhiadika ( Sumber
Niswander K. Obstetrics: essentials of clinical practice. 2nd ed. Boston: Little, Brown;
1981, dengan ijin.)

JJE-20080203 12
Partus Normal

o Posisi bagian terendah janin menjelaskan hubungan antara petunjuk


pada janin dan panggul ibu, sebagai berikut :
• Anterior : mendekati ke arah simfisis pubis
• Posterior : mendekati ke arah koksigeus
• Transversal : mendekati ke arah dinding vagina kiri atau kanan

Petunjuk (denominator) pada presentasi belakang kepala adalah oksiput, pada


palpasi teraba sutura lambdoidea yang membentuk garis seperti huruf Y dengan sutura
sagitalis; pada presentasi bokong petunjuknya adalah sakrum; dan mentum atau dagu
pada presentasi muka. Gambar 2.5 dan 2.6 memperlihatkan beberapa posisi kepala.

• Arah anterior, posterior, kiri, dan kanan merujuk kepada panggul


ibu. Oleh karena itu, oksiput (ubun-ubun kecil = UUK) kanan
lintang menunjukkan oksiput berada di sisi kanan panggul ibu

o Penjelasan tentang posisi pada presentasi bokong (sungsang) dan muka


sama dengan presentasi kepala (misalnya sakrum kanan lintang, dagu
kanan lintang)

Gambar 2.5. Variasi pada presentasi kepala. LOP, left occiput posterior (UUK kiri
belakang); LOT, left occiput transverse (UUK kiri lintang); LOA, left occiput anterior
(UUK kiri depan); ROP, right occiput posterior (UUK kanan belakang); ROT, right occiput
transverse (UUK kanan lintang); ROA, right occiput anterior (UUK kanan depan).
(Sumber Obstetrical presentation and position. Columbus, OH: Ross Laboratories; 1975,
dengan ijin)

JJE-20080203 13
Partus Normal

Gambar 2.6. Palpasi ubun-ubun besar (UUB), ubun-ubun kecil (UUK), sutura sagitalis,
dan sutura lambdoidea pada periksa dalam, janin dengan presentasi kepala. LOA, left
occiput anterior (UUK kiri depan); ROA, right occiput anterior (UUK kanan depan); LOP,
left occiput posterior (UUK kiri belakang); ROP, right occiput posterior (UUK kanan
belakang); LOT, left occiput transverse (UUK kiri lintang); ROT, right occiput transverse
(UUK kanan lintang). (Sumber Niswander K. Obstetric and gynecologic disorders: a
practitioner’s guide. Flushing, NY: Medical examination Publishing; 1975, dengan ijin.)

Evaluasi Kapasitas Panggul / Pelvimetri (pelvic adequacy)


 Bentuk panggul dapat digambarkan seperti silinder dengan sumbu anterior yang
berjalan menuju ke pintu bawah panggul. Sumbu tersebut terbentuk karena
bagian posterior panggul (sakrum dan koksigeus) lebih panjang dari bagian
anterior (simfisis pubis). Dinding samping panggul (tulang innominata) hampir
seperti garis lurus yang berjalan sejajar pada panggul wanita normal.
 Distosia terjadi bila terdapat abnormalitas panggul. Kapasitas panggul dapat
ditentukan secara klinis melalui beberapa parameter pengukuran diameter
panggul pada bidang tertentu.
 Meskipun pengukuran panggul ini dilakukan oleh seorang pakar yang paling
berpengalaman, pelvimetri klinis ini hanya merupakan taksiran (prakiraan).
o Kapasitas panggul hanya dapat dibuktikan dengan partus percobaan,
kecuali pada panggul yang sangat sempit.

JJE-20080203 14
Partus Normal

o Kapasitas dan abnormalitas panggul harus diperiksa dan dicatat pada


saat pasien inpartu masuk rumah sakit.

 Panggul ibu merupakan salah satu dari tiga faktor utama keberhasilan persalinan.
Faktor-faktor tersebut dikenal sebagai 3-P yaitu pelvis, power, dan passenger.
Partus pervaginam tidak dapat terjadi pada janin makrosomia atau kontraksi
uterus yang tidak adekuat, meskipun dengan panggu normal.

Pintu Atas Panggul (inlet)


 Pintu atas panggul (PAP) dibatasi oleh simfisis pubis di bagian anterior,
promontorium sakrum di bagian posterior dan linea iliopektineus atau linea
innominata di bagian lateral.
 Diameter anteroposterior (AP) pintu atas panggul dapat dihitung berdasarkan
pengukuran konyugata diagonalis. Diameter AP (jarak antara promontorium
sakrum dengan permukaan dalam inferior simfisis pubis) diukur secara klinis
dengan cara memasukkan jari pemeriksa melalui vagina untuk meraba
promontorium dan titik tepi bawah simfisis pubis yang menyentuh jari (Gambar
2.7). Jarak > 12 cm menunjukkan panggul normal.

Gambar 2.7. Cara mengukur konyugata diagonalis. Masukkan jari melalui vagina untuk
meraba promontorium sakrum, kemudian beri tanda dimana bagian terbawah simfisis
pubis menyentuh tulang metakarpal jari (gambar kiri). Jarak tersebut kemudian diukur
dengan alat ukur (gambar kanan). (Sumber Niswander K. Obstetrics: essentials of
clinical practice. 2nd ed. Boston: Little, Brown; 1981, dengan ijin).

Pintu Tengah Panggul (midpelvis)


 Pintu tengah panggul (PTP) dibatasi oleh simfisis pubis di bagian depan, sakrum
di bagian posterior, dan spina iskhiadika di bagian lateral. Kecekungan sakrum
yang baik menambah luas rongga panggul bagian tengah.

JJE-20080203 15
Partus Normal

 Diameter interspinosum (DI) diukur dengan meraba kedua spina iskhiadika


(Gambar 2.8). Bila prakiraan jarak DI < 9 cm, menunjukkan panggul sempit.
Pengalaman pemeriksa sangat diperlukan dalam menilai DI dengan tepat.

Gambar 2.8. Palpasi spina iskhiadika untuk mengukur diameter interspinosum. (Sumber
Niswander K. Obstetrics: essentials of clinical practice. 2nd ed. Boston: Little, Brown;
1981, dengan ijin).

Pintu Bawah Panggul (outlet)


 Pintu bawah panggul (PBP) dibatasi oleh arkus simfisis pubis di bagian anterior,
ujung os koksigis di bagian posterior, dan tuberositas iskhiadika di bagian lateral.
 Diameter transversalis pintu bawah panggul dapat diukur dengan cara
menempatkan jari tangan yang dikepal diantara kedua tuber iskhiadika. Ukuran
≥ 8 cm menunjukkan panggul normal (adekuat).
 Diameter AP diukur melalui tepi bawah sakrum dan sudut yang dibentuk oleh
rami simfisis pubis. Arkus pubis yang sempit mengurangi efektivitas diameter AP.
 Distosia yang semata-mata dikarenakan kesempitan PBP jarang terjadi,
meskipun pada kesempitan PTP, PBP seringkali normal.

Pemeriksaan Laboratorium
Pada waktu pasien masuk rumah sakit, seluruh hasil pemeriksaan laboratorium prenatal
harus dipelajari kembali. Bila pasien belum pernah melakukan asuhan antenatal atau
bila pemeriksaan antenatalnya tidak memadai, maka pemeriksaan laboratorium prenatal
harus dilakukan pada waktu pasien masuk rumah sakit.
 Pemeriksaan laboratorium rutin pada awal asuhan antenatal terdiri dari :
o Hematokrit atau hemoglobin
o Urinalisa, termasuk pemeriksaan mikroskopis dan pemeriksaan untuk
deteksi bakteriuria asimptomatik
o Golongan darah dan Rhesus
o Skrining (penapisan) antibodi

JJE-20080203 16
Partus Normal

o Status imunitas terhadap Rubella


o Uji serologis terhadap sifilis
o Sitologi serviks (bila diperlukan)
o HbsAg
o HIV (dianjurkan untuk semua wanita hamil dengan persetujuan tindak
medik)

 Pemeriksaan laboratorium tambahan, misalnya penyakit menular seksual (PMS),


kelainan genetik, dan TBC diperiksa berdasarkan anamnesis dan hasil
pemeriksaan fisik, atau sebagai bagian dari panduan pemeriksaan kesehatan
masyarakat umum.
 Pemeriksaan penyakit menular seksual (PMS) diulangi pada trimester ketiga bila
wanita tersebut memiliki faktor risiko terkena PMS.
 Wanita berusia dibawah 35 tahun ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan
penapis petanda sindroma Down, sebaiknya pada kehamilan 16 – 18 minggu,
sedangkan bagi wanita berusia diatas 35 tahun dianjurkan menjalani konseling
genetik, pemeriksaan USG, dan amniosentesis genetik. Pemeriksaan serum
untuk defek tabung saraf harus disarankan pada semua wanita hamil.
 Tergantung pada panduan pemeriksaan kehamilan dan populasi penduduk,
penapisan menyeluruh (universal) atau selektif terhadap diabetes mellitus
dilakukan pada kehamilan 24 – 28 minggu.
 Pada waktu pasien masuk rumah sakit, tidak perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium apabila waktu asuhan antenatal telah dilakukan pemeriksaan
laboratorium rutin dan datanya dapat dilihat pada rekam medis. Bila belum
pernah melakukan pemeriksaan laboratorium, maka langsung dilakukan
pemeriksaan golongan darah, Rhesus, penapisan antigen virus hepatitis B, dan
uji serologis terhadap sifilis; hal yang sama juga dilakukan pemeriksaan pada
darah tali pusat sebelum ibu dan bayi pulang dari rumah sakit.
 Skrining terhadap antigen permukaan Hepatitis B harus diulangi pada kasus
risiko tinggi.
 Pasien dengan riwayat toleransi glukosa terganggu harus menjalani
pemeriksaan darah berkala. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di kamar bersalin
dengan mempergunakan glukometer.
 Pada pasien dengan kemungkinan preeklampsia, lakukan pemeriksaan darah
lengkap, termasuk trombosit dan uji fungsi hati.
 Pada pasien dengan solusio plasenta lakukan pemeriksaan fibrinogen dan faktor
pembekuan darah.
 Pada pasien dengan riwayat hemoragia post partum (HPP), grande multipara,
atau kemungkinan akan menjalani seksio sesarea, ambil contoh darah untuk
pemeriksaan golongan darah, skrining, dan kemungkinan uji silang untuk
transfusi.
 Pada pasien dengan risiko persalinan preterm atau ada tanda-tanda
khorioamnionitis, lakukan kultur terhadap streptokokus grup B dari daerah
serviks dan perianal.
 Pemeriksaan laboratorium spesifik lainnya dilakukan bila ditemukan kelainan fisik
khusus, penyakit, atau terjadi komplikasi.

Perumusan Masalah dan Rencana


 Berdasarkan data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium yang baik,
dibuat keputusan klinis dan pengelompokkan pasien atas risiko rendah dan risiko
tinggi.

JJE-20080203 17
Partus Normal

 Proses pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan invasif seperti


pemasangan alat monitoring janin intrauterin atau pemantauan tanda-tanda vital
ibu di ruang ICU (intensive care unit) harus dilakukan berdasarkan temuan klinis.
 Pada pasien risiko tinggi yang inpartu memerlukan penjelasan yang rinci
mengenai permasalahan yang terjadi, alasan medis kenapa dilakukan
pemeriksaan penunjang, dan tindakan, serta segala pilihan yang tersedia di
rumah sakit berkaitan dengan tatalaksana pada dirinya.

TATALAKSANA PARTUS NORMAL

 Kehamilan bukanlah penyakit, dan persalinan merupakan konsekuensi fisiologi


normal sebagai bagian dari kehamilan. Meskipun demikian komplikasi dapat saja
terjadi, misalnya keadaan janin tidak sejahtera (non reassuring), kematian janin
intrapartum, partus disfungsional, ruptura uteri, khorioamnionitis, perdarahan
pada ibu dan janin, dan bahkan mortalitas maternal.
 Penangan persalinan harus sampai janin dilahirkan dalam periode waktu yang
telah ditentukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor pendukung ibu dan
menghindari segala hal yang dapat membahayakan ibu dan janin.

Membedakan partus normal dengan partus yang prosesnya abnormal

Kala Persalinan
 Kala satu : dimulai dari awal terjadinya persalinan hingga serviks mencapai
pembukaan lengkap (10 cm). Kala satu terdiri dari fase laten dan fase aktif.
o Fase laten dicirikan oleh pembukaan serviks yang lambat hingga
mencapai 4 cm atau sampai pada suatu saat dimana kecepatan
pembukaan serviks meningkat.
o Fase aktif dicirikan dengan peningkatan kecepatan pembukaan serviks
hingga dicapai pembukaan serviks 10 cm.

 Kala dua : dimulai dari pembukaan lengkap hingga lahirnya bayi.


 Kala tiga : dimulai sejak lahirnya bayi hingga lahirnya plasenta (akan dibahas
lebih lanjut pada bagian ”Melahirkan Plasenta” di Bab ini).

Penilaian Kemajuan Persalinan

 Penilaian kemajuan persalinan memerlukan periksa dalam secara berkala untuk


menilai perubahan pendataran serviks, pembukaan, dan turunnya bagian
terendah janin. Periksa dalam harus dilakukan atas indikasi medis untuk menilai
kemajuan persalinan dan memperhatikan kenyamanan pasien serta risiko infeksi.
 Pada Gambar 2.9 diperlihatkan grafik persalinan normal pada nullipara.
 Lamanya fase laten bervariasi antara 14 jam hingga 20 jam dan hal ini masih
dapat dianggap normal. Sulit membedakan fase laten yang normal dan abnormal.
 Bila pada fase aktif kala satu kecepatan pembukaan serviks pada multigravida >
1,5 cm per jam dan > 1,2 cm per jam pada primigravida hati-hati kemungkinan
telah terjadi gangguan kemajuan partus. Sayangnya, penyimpangan (deviasi)
dari nilai normal yang masih dapat diterima masih belum dapat ditentukan.
Kekecualian tampak pada kasus yang kemajuan pembukaan dan turunnya
bagian terendah janin berhenti. Diagnosis abnormalitas fase aktif mungkin saja
tidak jelas sehingga terjadi penanganan yang tidak optimal atau gagal untuk
memberikan terapi yang tepat. Selama kesejahteraan janin masih baik dan tidak

JJE-20080203 18
Partus Normal

ada tanda-tanda bahaya pada ibu, tindakan intervensi pada gangguan persalinan
tersebut belum ada indikasinya.
 Rata-rata lama kala dua pada multipara adalah 30 menit dan 1 jam pada
primipara
o Bila tidak ada indikasi ibu atau janin, maka tindakan operatif dapat
ditunda hingga 2 jam pada primipara tanpa anesthesi epidural atau untuk
3 jam dengan anesthesi epidural; sedangkan pada multipara secara
berurutan dapat ditunda hingga 1 jam atau 2 jam (2).
o Beberapa institusi membagi kala dua atas dua fase dan pimpinan
persalinan tidak dilakukan hingga kepala betul-betul di dasar panggul dan
pasien merasa ingin meneran (pada pasien tanpa epidural). Pada
keadaan tersebut dibiarkan hingga pasien ingin meneran (Lihat Bab 10
tentang penanganan partus abnormal).

Gambar 2.9. Grafik rata-rata dilatasi pada persalinan nulipara (Sumber Friedman EA.
Labor: clinical evaluation and management. 2nd ed. New York: Appleton Century Crofts;
1970, dengan ijin.)

Amniotomi

Amniotomi atau memecahkan selaput ketuban secara buatan dengan memakai


pemecah ketuban steril terbuat dari plastik yang dimasukkan kedalam vagina dengan
panduan dua jari (terletak di antara dua jari) dan memakai sarung tangan.

 Indikasi amniotomi :
o Melihat jumlah dan adanya mekoneum atau darah
o Pemasangan elektroda untuk monitoring janin internal.
o Induksi partus atau memperbaiki kemajuan persalinan.
o Menjelang kala dua dimana penolong ingin meminimalkan risiko terkena
paparan cairan tubuh pada waktu menolong persalinan.

JJE-20080203 19
Partus Normal

 Tindakan amniotomi merupakan satu-satunya cara untuk dapat melihat cairan


ketuban secara langsung dan untuk memasang elektroda pada kulit kepala janin.
 Manfaat amniotomi pada kemajuan persalinan masi kontroversi :
o Kebanyakan penelitian menganjurkan amniotomi dilakukan pada fase
aktif karena memperpendek lamanya persalinan secara bermakna (3,4).
Di Rumah Sakit Ibu Nasional Dublin, amniotomi dimasukkan kedalam
protokol dan dilakukan pada fase aktif.
o Amniotomi yang dilakukan pada atau sebelum fase laten telah terbukti
tidak bermanfaat dalam perjalanan partus.

 Risiko amniotomi termasuk beberapa komplikasi yang berat :


o Rupturnya pembuluh darah yang berjalan pada selaput amnion (vasa
previa) pada tempat dilakukan amniotomi jarang terjadi, tetapi dapat
membahayakan jiwa janin.
o Prolapsus tali pusat diantara bagian terendah janin dan serviks pada
waktu amniotomi dapat menyebabkan kegawatan janin kecuali tindakan
bedah obstetri dapat dilakukan dengan cepat.
o Risiko prolaps tali pusat dapat diminimalkan dengan cara tidak
melakukan amniotomi sebelum kepala cakap (engaged) dan memiliki
penekanan yang kuat terhadap serviks. Prolaps tali pusat juga dapat
terjadi pada selaput amnion yang pecah spontan.

 Beberapa penelitian mendapatkan efek samping dari amniotomi, misalnya janin


mengalami asidosis sementara, meningkatkan kejadian deselerasi variabel, serta
meningkatkan kejadian kaput suksedaneum dan molase kepala (5). Luaran
neonatal pada kebanyakan penelitian tidak berbeda antara yang dilakukan
amniotomi pada fase awal partus dengan ketuban pecah spontan pada fase
akhir persalinan.
 Ringkasan : amniotomi dapat diterapkan pada beberapa keadaan dalam praktik
obstetri modern dan sudah dipergunakan pada kebanyakan institusi :
o Terdapat sedikit ketidaksepakatan dalam penggunaan amniotomi untuk
induksi partus dan intervensi pada partus tak maju.
o Amniotomi mengandung risiko sehingga keputusan untuk melakukannya
harus melalui pertimbangan untung rugi yang matang.
o Harus dipahami bahwa belum ada penelitian acak terkontrol yang
membuktikan amniotomi dapat mengakselerasi partus serta memperbaiki
luaran janin dan ibu, dibanding partus alami tanpa intervensi.

Mekanisme Persalinan pada Presentasi Kepala


 Proses persalinan ditandai oleh perubahan yang nyata posisi janin atau
gerakan utama persalinan melalui jalan lahir. Penyesuaian secara spontan ini
diperlukan dalam proses turunnya janin agar efisien.
 Cakap (engaged) adalah bila bagian terbesar kepala (diameter biparietal) telah
melewati PAP. Atau ubun-ubun kecil (UUK) sudah terletak di bawah spina
iskhiadika (Bidang Hodge III+).
 Mekanisme penurunan kepala terjadi secara bertahap selama proses persalinan.
Karena diameter transversalis PAP lebih besar dari diameter anteroposterior
(AP), dan diameter terbesar kepala janin yang tidak fleksi adalah diameter
anteroposterior, maka pada kebanyakan janin masuk ke dalam rongga panggul
dengan posisi UUK melintang.

JJE-20080203 20
Partus Normal

 Fleksi menyebabkan berkurangnya diameter AP kepala. Hal ini terjadi saat


kepala mengenai pita muskulus levator ani, sehinggga terjadi pengurangan
diameter sekitar 1,5 cm – 2,5 cm (oksipitomental 12 cm menjadi oksipitofrontal
10,5 cm). Selanjutnya juga terjadi fleksi lagi sehingga tercapai diameter
suboksipitobregmatika 9,5 cm (Gambar 2.10).

Gambar 2.10. Mekanisme persalinan pada posisi ubun-ubun kecil kiri depan. A : Fleksi
dan engagement kepala. B : Putaran paksi dalam. C : Kepala lahir dengan ekstensi. D :
Putaran paksi luar. E : Melahirkan bahu depan. F : Melahirkan bahu belakang. (Sumber
Niswander K. Obstetric and gynecologic disorders: a practitioner’s guide. Flushing, NY:
Medical examination Publishing; 1975, dengan ijin.)

 Putaran paksi dalam terjadi di bidang tengah panggul. Bentuk panggul bagian
tengah berubah sehingga diameter AP lebih besar dari diameter transversalis.
Janin mengadakan penyesuaian dengan jalan lahir dengan cara memutar kepala
dari posisi melintang (UUK melintang) menjadi AP (umumnya UUK depan)
sehingga terjadi putaran paksi dalam. Penurunan kepala selanjutnya hingga
mencapai dasar panggul tetap dengan posisi AP.

JJE-20080203 21
Partus Normal

 Ekstensi kepala memungkinkan kepala keluar melalui introitus vagina dengan


posisi UUK di depan. Sedikit tahanan terjadi saat kepala akan keluar sehingga
terjadi perubahan posisi kepala dari fleksi menjadi ekstensi. Muka tampak di atas
korpus perineum, simfisis pubis menjadi titik tumpuan (hipomokhlion) untuk
perubahan bagi UUK.
 Putaran paksi luar terjadi setelah kepala lahir, kepala berputar kembali
(restitusi) ke arah posisi awal yaitu melintang (putaran paksi luar atau restitusi),
sementara itu diameter bisakromial (bahu janin) mengadakan penyesuaian
dalam posisi AP dengan diameter terbesar pintu bawah panggul
 Selanjutnya terjadi pengeluaran bahu depan melalui bawah simfisis dan bahu
belakang melalui dinding posterior vagina (fourchette), lihat Gambar 2.10.

Penilaian Janin Intrapartum

 Beberapa pemantauan kesejahteraan janin selama persalinan telah


direkomendasikan untuk meminimalkan angka kejadian kematian janin
intrapartum dan asfiksi janin yang terjadi secara alamiah (natural rate).
 Ada dua cara pemantauan yaitu auskultasi intermiten atau pemantauan janin
elektronik kontinyu / PJEK (continuous electronic fetal monitoring/CEFM).
 Keputusan klinis berkaitan dengan pemilihan cara pantau apakah auskultasi
intermiten atau PJEK (internal atau eksternal) seringkali berdasarkan status
risiko saat pasien datang.
 Sekitar 50% keadaan risiko tinggi terjadi pada waktu intrapartum.

Auskultasi Intermiten Frekuensi Denyut Jantung Janin


 Apabila pada waktu pasien datang tidak ditemukan faktor risiko, pemantauan
DJJ dilakukan secara standar, yaitu menentukan dan mencatat berapa frekuensi
DJJ.
o Minimal setiap 30 menit atau segera setelah his pada fase aktif kala satu.
o Minimal setiap 15 menit pada kala dua.

 Apabila ditemukan faktor risiko saat pasien datang, atau menjadi nyata selama
proses persalinan, sebaiknya dilakukan PJEK.
 Pada kebanyakan institusi, hampir semua pasien dilakukan pemantauan secara
elektronik. Karena auskultasi intermiten jarang dipergunakan, maka kebanyakan
bidan tidak memiliki pengalaman dalam memantau janin dengan cara tersebut.
 Auskultasi intermiten memerlukan rasio bidan terlatih dan pasien yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pemantauan elektronik, hal inilah yang
menyebabkan penggunaannya menjadi terbatas.

Pemantauan Janin Elektronik Kontinyu (PJEK)


 Penerapan dan interpretasi PJEK dibahas pada Bab 32.
 PJEK telah dikembangkan untuk menurunkan risiko serebral palsi, yang saat ini
sudah jarang terjadi berkaitan dengan kejadian intrapartum.
 Hingga saat ini tidak ada penelitian prospektif terkontrol acak yang telah
membuktikan secara jelas manfaat dari PJEK (2,3).
 Pada awal tahun 1980 terdapat dua penelitian retrospektif yang membandingkan
luaran dari pasien yang dipantau dengan yang tidak dipantau pada periode
waktu yang berbada, tetapi pada institusi yang sama. Terdapat perbaikan yang
bermakna pada kelompok yang dipantau dalam hal kejadian kematian
intrapartum, asfiksia berat, nilai APGAR rendah, dan kerusakan neurologis

JJE-20080203 22
Partus Normal

jangka panjang (6,7). Temuan tersebut belum dibuktikan melalui penelitian


prospektif.
 Pasien risiko tinggi sebaiknya dipertimbangkan untuk memakai PJEK.
 Pemakaian elektroda internal pada kepala janin dan pemantauan tekanan
intrauterin dipergunakan bila diperlukan penilaian yang lebih tepat dari pola
denyut jantung janin serta amplitudo, lama kontraksi, dan frekuensi kontraksi
uterus. Pemantauan janin internal dapat dipergunakan pada :
o Pasien obesitas atau merasa tidak nyaman dengan pemantauan
eksternal.
o Pasien dengan augmentasi oksitosin.
o Pasien dengan hasil pemantauan eksteranl non rekatif (non reassuring).
o Pasien bekas seksio sesarea dengan rencana partus per vaginam.

Risiko dan Komplikasi


 Auskultasi intermiten tidak memberi risiko pada janin, kecuali cara ini tidak dapat
mendeteksi adanya kegawatan pada janinn pada stadium awal. Pola deselerasi
berat dapat tidak terdeteksi dengan cara auskultasi, sehingga kegawatan terus
berlangsung selama proses persalinan (8).
 PJEK tidak mempunyai efek langsung yang merugikan ibu atau janin. Cara ini
menyebabkan pembatasan aktivitas pasien dan seringkali menyebabkan pasien
harus menjalani tirah baring (strict bed rest). Risiko utama adalah kesulitan dan
atau ketidaktepatan interpretasi pola DJJ, sehingga menyebabkan terjadinya
kegawatan janin yang tidak diketahui atau lebih sering lagi, melakukan tindakan
intervensi yang tidak diperlukan pada janin yang sehat.
 Komplikasi pemantauan janin internal (internal fetal monitoring) terdiri dari :
o Selulitis kulit kepala janin merupakan komplikasi tersering, dengan angka
kejadian < 1 % pada kebanyakan penelitian (9).
o Osteomielitis kranial, sepsis karena gonokokus, dan kebocoran likuor
serebrospinalis jarang terjadi, tetapi merupakan komplikasi yang lebih
serius (10 – 12 ).
o Keuntungan dari cara ini harus benar-benar diperhitungkan dengan risiko
yang dapat terjadi.

Persiapan Ibu, Posisi, Anestesia, dana Analgesia

Persiapan Fisik
 Persiapan fisik pada pasien inpartu dilakukan sesuai keadaan pada saat itu :
o Pasien dengan kebersihan pribadi yang buruk dan belum ada tanda-
tanda inpartu dianjurkan untuk mandi.
o Pasien dengan konstipasi atau di daerah rektum teraba tinja keras
dianjurkan untuk diberi enema (pencahar).
o Pencukuran daerah perineum tidak dilakukan rutin. Tidak didapatkan
pengaruh terhadap kejadian infeksi pada luka episiotomi dan perbaikan
laserasi dan pada kenyataannya cara ini meningkatkan morbiditas pasien.
o Kebutuhan asupan per oral pada pasien pada fase aktif diutamakan
dalam bentuk cair. Bila ditemukan tanda-tanda dehidrasi atau kekurangan
zat penghasil enerji akibat partus lama, pertimbangkan untuk
pemasangan infus intravena.
o Pemasangan kateter intravena mempermudah dalam pemberian obat,
zat anesthesi, dan transfusi darah. Sebaliknya, menunda pemasangan
sarana infus atau pemakaian heparin lock pada awal persalinan dapat

JJE-20080203 23
Partus Normal

memberi lebih banyak manfaat kepada pasien, terutama dalam hal


kebebasan bergerak.
o Cairan yang seringkali dipergunakan adalah Ringer’s lactate atau NaCl
normal 0,45% dengan atau tanpa dekstrosa 5%. Pemberian cairan
intravena yang cepat atau bolus jangan mengandung dekstrosa karena
kadar glukosa ibu akan meningkat dengan cepat dan memperburuk
keadaan janin yang sudah mengalami asidosis (13). Pemberian
dekstrosa selama persalinan dapat membantu mencegah terjadinya
ketosis akibat kelaparan.
o Pada waktu persalinan proses pengosongan lambung menjadi lebih
lambat, dan harus memperhatikan agar lambung tetap kosong sebagai
persiapan untuk melakukan anesthesi umum dengan intubasi
endotrakheal.

Posisi Ibu
 Posisi ibu dalam persalinan harus memperhitungkan kenyamanan ibu dan
kesejahteraan janin. Posisi tidur terlentang dengan uterus yang menekan aorta
dan vena kava inferior menyebabkan berkurangnya curah jantung (cardiac
output) dan hipoperfusi relatif plasenta.
 Pasien akan lebih nyaman apabila dalam fase laten masih diberi kebebasan
untuk bergerak dan berjalan-jalan. Tidak ada risiko berbahaya bagi janin
sepanjang hasil pemeriksaan awal kesejahteraan janin janin baik (reassuring),
selaput ketuban utuh, atau posisi bagian terendah janin telah berada dalam
serviks dengan baik.
o Hasil penelitian yang membandingkan pasien bebas bergerak saat fase
aktif dengan pasien yang tiduran di tempat tidur menunjukkan percepatan
kala satu dan penurunan tindakan bedah obstetri pada kelompok yang
bebas bergerak, dan dengan hasil luaran janin yang sebanding (14).
o Pada akhir fase aktif, sulit untuk mempertahankan pasien tetap berjalan-
jalan (15).

 Pasien yang bebas bergerak selama persalinan akan menemukan posisi yang
paling nyaman dan hal ini meminimalkan rasa nyeri. Kehadiran seseorang yang
memberi dukungan yaitu wanita yang sudah dididik khusus tentang pertolongan
partus dan perawatan nifas (doula), atau perawat terlatih selama proses
persalinan sangat penting dalam membantu pasien menemukan posisi yang
paling nyaman. Jika pasien diharuskan berada di tempat tidur, paling baik
dengan posisi tidur miring dan laukan pemantauan keadaan janin secara
intermiten atau kontinyu.
 Satu penelitian (16) memperlihatkan bahwa pemantauan janin elektronik
kontinyu dapat dilakukan secara ambulatori mempergunakan telemetri dengan
hasil tidak terdapat perbedaan dalam luaran janin, tetapi dengan pengurangan
nyeri yang bermakna dibanding kelompok kontrol.

Analgesia dan Anesthesia


 Manajemen nyeri dan kenyamanan pasien selama persalinan dan melahirkan
merupakan bagian penting dalam praktik obstetri yang baik. Pembahansan rinci
topik ini dapat dilihat pada Bab 3.
 Panduan asuhan perinatal yang dipublikasikan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologist menyatakan bahwa permintaan pasien sudah
cukup sebagai dasar untuk memberikan pengurang nyeri saat persalinan (1).

JJE-20080203 24
Partus Normal

Tujuan dari pemberian pengurang nyeri adalah kenyamanan pasien selama


proses persalinan tanpa membahayakan keadaan janin.
 Hal yang diperlukan untuk memenuhi keinginan tersebut adalah strategi
psikhoprofilaksis dan alternatif manajemen nyeri , narkotika dan obat analgetika,
dan anesthesi regional.
 Langkah pertama dalam manajemen nyeri adalah konseling antepartum dan
kegiatan kelas-kelas pendidikan persalinan, dibandingkan cara lainnya. Harapan
terhadap tatacara penghilang nyeri harus dibuat serealistik mungkin, lakukan
kajian ulang cara nonfarmakologi, dan bahas tentang kontroversi hubungan
epidural dengan seksio sesarea.

Psikoprofilaksis
 Dalam beberapa dekade terakhir ini telah dipopularkan cara-cara psikoprofilaksis
untuk mengurangi kebutuhan analgesia pada waktu persalinan.
 Konsep utama dari cara tersebut adalah persiapan untuk melahirkan sejak
kehamilan, pentunjuk yang diberikan saat asuhan antenatal akan mengurangi
kecemasan pasien dan suaminya. Pasien yang telah benar-benar memahami
proses persalinan akan lebih mampu mengontrol dan lebih siap menghadapi
proses persalinan yang berat.
 Perhatian harus diberikan pada upaya menyederhanakan tatacara pengendalian
diri, misalnya berkonsentrasi pada sesuatu yang tidak berbahaya seperti
mengajarkan cara bernafas dibanding berkonsentrasi pada rasa nyeri akibat
kontraksi rahim. Hal ini membuat pasien dapat lebih menerima adanya rasa
nyeri saat partus.
 Contoh psikoprofilaksis untuk partus yang mungkin paling popular adalah cara
Lamaze.

Strategi Manajemen Nyeri alternatif


 Strategi manajemen nyeri alternatif terdiri dari pemakaian pendamping orang
awam terlatih, misalnya doula, dan teknik relaksasi, misalnya pijatan dan
tekanan (acupressure), terapi sentuh (therapeutic touch), terapi air, musik,
terapiaroma, hipnosis diri, dan alternatif posisi cara melahirkan, termasuk
pemakaian bola melahirkan (birthing ball).
 Pada sejumlah penelitian tentang manfaat doula menunjukkan hasil penurunan
lama fase aktif, penurunan pemakaian analgetika narkotik dan anesthesi regional,
dan penurunan tindak bedah obstetri termasuk seksio sesarea tanpa
memperburuk luaran ibu dan bayi.(17).
 Penelitian lain menunjukkan rendahnya tindakan intervensi pada wanita yang
ditolong oleh bidan bersertifikat, terutama bila rasio ibu melahirkan dan bidan
satu banding satu (18).

Obat-obatan Analgetika
 Protokol pemberian anlgetika yang umum dipakai dapat dilihat pada Tabel 2.2.
 Analgetika yang memadai dipakai pada satu fase persalinan mungkin dapat
menjadi tidak memadai pada fase persalinan berikutnya.
 Pemakaian narkotika paling baik dihindari sebelum mencapai fase aktif
( misalnya pembukaan 3 – 4 cm pada primigravida dan 5 cm pada multipara).
 Harus diperhatikan bahwa pemberian narkotika parenteral akan melewati sawar
plasenta dan dapat mendepresi janin. Pengaruhnya tersering tampak sebagai
hilangnya reaktifitas (akselerasi di atas frekuensi dasar) atau variabilitas jangka
pendek pada gambaran kardiotokografi.

JJE-20080203 25
Partus Normal

o Metabolisme narkotika oleh janin beberapa kali lebih lambat dibanding


ibu. Pemberian narkotika parenteral harus dihindari jika prakiraan puncak
kerja obat tersebut pada saat partus (19).
o Antagonis narkotika, Naloxone hydrochloride (Narcane) lebih disukai,
harus tersedia di tempat pada saat pemberian narkotika, dengan dosis
ibu (0,4 mg intravena atau intramuskular) dan neonatus (0,1 mg per kg).
Efek utama yang tidak diinginkan dari pemakaian narkotika adalah
pengaruhnya pada pusat pernafasan. Jika pertukaran udara pada
neonatus dapat berlangsung dengan baik, kecil kemungkinannya akan
terjadi bahaya.

Tabel 2.2 Protokol analgetik yang sering dipakai selama partus

Anesthesia Regional
 Disamping psikoprofilaksis, kebanyakan pakar lebih menyukai anesthesi regional
dalam pertolongan partus per vaginam, Jika ada hal yang harus diperhatikan
tentang interpretasi pemantauan kesejahteraan janin, anesthesi regional lebih
disukai dari anesthesi parenteral (Tabel 2.3).
 Cara yang sudah tersedia adalah epidural, spinal, kaudal, paraservikal dan blok
pudendal.
 Anesthesia epidural (Gambar 2.11) merupakan cara yang paling efektif dalam
mengurangi nyeri (20).
o Dengan teknik yang benar, dengan cara ini rasa nyeri dapat dihilangkan
tanpa menghilangkan fungsi motorik sehingga pasien dapat tetap
melakukan mobilisasi pada kala satu dan meneran secara efektif pada
kala dua.
o Risiko terdiri dari hipotensi, henti nafas, reaksi toksik dari obat, dan jarang
terjadi adalah komplikasi neurologik.

JJE-20080203 26
Partus Normal

Tabel 2.3 Anesthesi lokal yang umum dipergunakan untuk blok perifer atau regional

Gambar 2.11. Anesthesi epidural. Zat anesthesi dimasukkan ke dalam rongga epidural.
(Sumber : Moore D. Regional block. 4th ed. Springfield, IL: Charles C Thomas; 1967,
dengan ijin.)

 Anesthesi spinal, seringkali area penghilangan rasa nyeri pada daerah tubuh
bagian bawah berbentuk pelana (saddle block) dipakai untuk menghilangkan
nyeri persalinan.

JJE-20080203 27
Partus Normal

o Berbeda dengan blok epidural, saddle block dipergunakan setelah


dicapai kala dua atau setelah bagian terendah janin mencapai dasar
panggul sehingga persalinan per vaginam dapat dilaksanakan.
o Risiko terdiri dari hipotensi, henti nafas, sakit kepala, dan komplikasi
neurologik.

 Blok paraservikal pernah merupakan bentuk analgesia yang telah popular karena
sederhana, dapat dipercaya, dan tampaknya sangat aman bagi pasien.
o Cara ini sudah tidak dipergunakan karena sering mengakibatkan janin
bradikardia sementara pasca pemberian blok paraservikal.
o Bradikardia terutama berkaitan dengan pemberian bupivacaine
(Marcaine) (21, 22). Oleh karena alasan tersebut bupivacaine merupakan
indikasikontra untuk blok paraservikal.

 Blok pudendal (Gambar 2.12) mengakibatkan anesthesia di daerah persarafan


nervus pudendus.
o Cara ini seringkali dicadangkan untuk dipergunakan saat partus, ekstraksi
forseps di dasar panggul, atau penjahitan perineum pasca persalinan.

Gambar 2.12. Teknik blok pudendal. (Sumber Bonica J. Principles and practice of
obstetric analgesia and anesthesia. Philadelphia: FA Davis; 1967, dengan ijin.)

Partus pervaginam dan Persalinan pada Bekas Seksio Sesarea (PVBSC)

Pada pasien yang tepat (telah memenuhi kriteria), bekas seksio sesarea satu kali,
dengan insisi transperitonealis profunda (SCTPP) dapat dipertimbangkan untuk partus
percobaan (Catatan penterjemah : partus percobaab pada bekas seksio sesarea tidak
dianut di Indonesia) dan partus per vaginam. Pembahansan manajemen keadaan ini
dimasukkan dalam bab ini karena tinjauan literatur mendukung alasan partus per
vaginam pasca seksio sesarea (PVPSC) yang dilaksanakan dengan baik tidak

JJE-20080203 28
Partus Normal

menimbulkan risiko ibu atau janin yang tidak dapat diterima (diharapkan). Kriteria
penentuan cara ini terdiri dari (23) :
o Bekas SCTPP satu kali
o Secara klinis kapasitas panggul normal
o Tidak ada jaringan parut lainnya pada uterus atau tidak pernah
mengalami ruptura uteri.
o Tenaga dokter yang kompeten dan mampu melakukan seksio sesarea
emergensi tersedia pada saat fase aktif persalinan.
o Obat dan tenaga anesthesia tersedia untuk melakukan seksio sesarea
emergensi.

Keberhasilan Persalinan Pervaginam pada Bekas Seksio Sesarea


 Laporan-laporan penelitian dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan
keberhasilan partus per vaginam melalui partus percobaan pada bekas seksio
sesarea mencapai 60 – 80% (24 – 27).
 Jika seksio sesarea yang lalu dilakukan setelah mencapai kala dua, maka
keberhasilan PVPSC dilaporkan bervariasi dari 13% hingga 80% (28, 29).

Risiko PVPSC
 Komplikasi yang berkaitan dengan PVPSC adalah ruptura dari sayatan uterus
yang lalu, yang dapat mengakibatkan morbiditas ibu dan janin.
 Pada tahun 1978, lebih dari 89% bayi dari ibu bekas seksio sesarea dilahirkan
dengan seksio sesarea ulang, terutama disebakan oleh ketakutan terjadinya
ruptura uteri. Akan tetapi, dengan kajian ulang literatur yang luas sejak tahun
1950 – 1980, Levin dkk (30) melaporkan angka ruptura uteri sebesar 0,7% dan
angka kematian perinatal 0,93%. Sejumlah penelitian mutakhir menduga angka
ruptura uteri adalah rendah dan angka keberhasilan yang tinggi pada pasien
bekas SCTPP satu kali (31 – 33).
 Calon pasien PVPSC harus diberi penjelasan tentang risiko ruptura uteri sekitar
1% dan bila terjadi ruptura uteri, terdapat 10 – 25% risiko bermakna komplikasi
buruk pada janin. Seringkali dikemukanan angka kematian perinatal (AKP)
sekitar 1 dalam 1000.
 Faktor-faktor yang berkaitan dengan ruptura uteri adalah hiperstimulasi oksitosin,
partus disfungsional, dan bekas seksio sesarea lebih dari satu kali.
 Karena ruptura uteri dapat berakibat fatal, maka partus percobaan pada bekas
seksio sesarea hanya boleh dilakukan bila pengawasan intrapartum memadai
dan seksio sesarea emergensi mampu laksana.
 Keamanan dan keberhasilan anesthesi epidural kontinyu dan augmentasi
oksitosin selama PVPSC telah dijelaskan oleh beberapa peneliti (31, 34, 35).

Prosedur (cara melakukan) PVPSC


 Kamar operasi dan petugasnya, anesthesiologist, dan pelayanan bank darah
tersedia segera dalam 24 jam, serta terdapat akhli kebidanan yang jaga di rumah
sakit untuk memberikan pelayanan yang tepat terhadap pasien PVPSC yang
berpotensi mengalami ruptura uteri.
 Saat pasien yang direncanakan PVPSC datang ke kamar bersalin, pasang infus
intravena dan lakukan pemeriksaan golongan darah dan penapisan untuk
kemungkinan pemberian transfusi komponen darah. Seringkali dilakukan
pemasangan elektroda pada kulit kepala dan pemantauan tekanan intrauterin
setelah selaput ketuban pecah dan keadaannya memungkinkan, akan tetapi

JJE-20080203 29
Partus Normal

tidak ada satupun penelitian yang membuktikan bahwa cara tersebut lebih baik
dari pemantauan eksternal.
 Temuan tersering pada ruptura uteri adalah deselerasi DJJ yang timbul tiba-tiba
dan berat (36).
 Pemberian oksitosin untuk augmentasi partus dan anesthesi epidural dilakukan
atas indikasi obstetri yang umum.
 Setelah kala tiga, tidak dilakukan pemeriksaan daerah insisi uterus.

PARTUS NORMAL

Manajemen Bayi dengan Partus Spontan

Persiapan
 Setelah pasien multipara mencapai pembukaan lengkap atau kepala janin pasien
nulipara sudah tampak di vulva (crowning), elektroda kepala dilepas, dilakukan
persiapan untuk pimpinan partus (bersalin). Jika kamar bersalin (delivery room)
menjadi satu dengan ruang melahirkan (labor room), peralatan dibuka dan
bahan-bahan lain yang diperlukan untuk menerima bayi telah siap.
 Suatu review (kaji ulang) literatur memperlihatkan manfaat kehadiran seseorang
yang mendukung ibu selama proses persalinan dapat menurunkan tindak bedah
obstetri jika dibandingkan dengan asuhan yang tradisional (36a).

Posisi Ibu
 Posisi ibu melahirkan pada kamar bersalin tradisional seringkali dibatasi pada
posisi lithotomi dorsal miring ke kiri (untuk menggeser uterus agar tidak menekan
pembuluh darah besar). Posisi ini memungkinkan penolong memperoleh ruang
yang cukup di depan perineum.
 Pada kamar bersalin yang modern, pasien diijinkan meneran secara alamiah dan
memilih posisi melahirkan yang diinginkan, misalnya miring ke satu sisi, duduk,
jongkok, merangkak (on all-fours), atau posisi knee-chest.
 Penelitian terkontrol yang membandingkan posisi partus masih sedikit
dipublikasikan.
o Satu penelitian (37) menyarankan posisi setengah duduk dengan
penyangga kaki dapat dipergunakan di kamar bersalin. Pasien merasa
lebih nyaman dengan posisi tersebut, lebih sedikit menjalani partus
dengan tindakan, dan dengan luaran janin yang sama dengan kelompok
kontrol.
o Peneliti lain (37a) memperlihatkan hasil penelitian posisi berdiri dibanding
posisi tidur dan posisi miring, sedikit mengurangi tindakan episiotomi dan
partus dengan tindakan, tetapi berkaitan dengan peningkatan kejadian
laserasi perineum derajat dua.

Prosedur
 Perineum tidak perlu dipersiapkan sama seperti akan melakukan tindakan
operasi. Pada kenyataannya, povidone iodine (Betadine) tidak pernah
diindikasikan untuk dipergunakan pada membran mukosa. Irigasi dengan air
hangat atau larutan garam fisiologis sudah cukup untuk meminimalkan
kontaminasi feses terhadap perineum ibu.
 Saat ini, anesthesia pada saat partus sudah merupakan pilihan. Banyak
persalinan tanpa pemberian anesthesi, hal ini dilakukan jika dokter dan pasien

JJE-20080203 30
Partus Normal

menginginkannya. Bila ada indikasi episiotomi, lakukan infiltrasi perineum


dengan anesthesi lokal dan atau blok pudendal.
 Pembatasan episiotomi hanya berdasarkan indikasi ibu dan janin mengurangi
kerusakan perineum bagian posterior. Dibandingkan dengan episiotomi
mediolateral, episiotomi mediana meningkatkan risiko laserasi perineum derajat
tiga dan empat.

Mekanisme Persalinan pada Posisi Oksiput Anterior

Melahirkan Kepala
 Kepala janin dilahirkan dengan cara ekstensi. Apabila pada waktu melalui jalan
lahir hingga tampak di introitus vagina kepala tetap dalam keadaan fleksi, maka
diameter terkecil kepala (oksipito-bregmatika) yang melewati jalan lahir tersebut.
Satu penelitian (38) mendapatkan bahwa mempertahankan kepala dalam
keadaan fleksi merupakan keadaan yang paling sedikit menimbulkan kerusakan
jalan lahir pada waktu muka dan dagu mendorong perineum untuk keluar dalam
keadaan ekstensi. Tindakan melakukan ekstensi kepala dengan cara
mengangkat dagu melalui tangan di perineum yang telah dilapisi kain (perasat
Ritgen) dapat mempercepat proses persalinan, tetapi lebih traumatik terhadap
perineum. Suatu penelitian terkontrol acak multisenter menemukan tidak ada
perbedaan risiko trauma perineum saat melahirkan kepala dengan cara tangan
yang diletakkan pada perineum (”hands on”) dan tangan yang menunggu dengan
sikap tenang (”hands poised”). Setelah kepala keluar, terjadi putaran paksi luar
(rotasi eksternal) dan putaran restitusi sehingga UUK berada dalam posisi
melintang. Bersihkan lubang hidung dan orofaring dengan penghisap lendir
manual (bulb syringe). Jika terdapat mekoneum, segera lakukan penghisapan
nasofaring dan orofaring sebelum melahirkan bahu, dapat secara manual atau
dengan peralatan elektrik DeLee yang dihubungkan dengan mesin penghisap
yang terdapat dalam dinding. Tindakan ini belum jelas benar apakah secara
nyata dapat mengurangi risiko sindrom aspirasi mekoneum. Tindakan harus
dilakukan dengan hati-hati dan tidak kasar agar tidak merangsang mukosa faring
posterior, karena refleks vagal dapat menyebabkan janin bradikardia. Masukkan
jari ke daerah leher untuk menilai apakah ada lilitan tali pusat. Jika lilitannya tidak
erat, tali pusat dapat dilepaskan ke arah depan melalui kepala atau ke arah
belakang melalui tubuh bayi. Jika lilitannya erat, pasang dua buah klem pada tali
pusat kemudian potong dengan gunting secara hati-hati (tangan penolong
melindungi leher bayi), selanjutnya tubuh bayi dilahirkan. Jika terdapat banyak
lilitan tali pusat, lepaskan lilitan melalui klem yang terdekat sehingga tinggal satu
lilitan.

Melahirkan Bahu
 Lahirkan bahu depan dengan cara menarik kepala secara hati-hati ke arah
bawah. Fleksi paha ibu ke arah abdomen (perasat McRobert) seringkali
mempermudah melahirkan bahu (39). Tekanan langsung suprapubis oleh
asisten penolong diperlukan untuk keberhasilan cara tersebut. Posisi merangkak
atau perasat Gaskin juga dapat dipakai untuk mengatasi distosia bahu secara
cepat, aman dan efektif (40). Jika dicurigai terjadi distosia bahu, beberapa akhli
berpendapat bahwa hal yang sangat penting adalah tetap melanjutkan proses
persalinan. Proses persalinan jangan dihentikan hanya untuk melakukan
penghisapan lendir hingga bahu depan telah dilahirkan. Peneliti lain meyakini
bahwa distosia bahu dapat dihindari dengan cara menunggu putaran restitusi

JJE-20080203 31
Partus Normal

sebelum melakukan traksi kepala. Setelah bahu depan dilahirkan, bahu posterior
dilahirkan dengan cara traksi vertikal kepala bayi ke arah atas (Gambar 2.9).
Secara umum, proses traksi harus sesuai dengan sumbu panjang tubuh dan
bersamaan dengan keluarnya tubuh, hal ini untuk menghindari peregangan
pleksus brakhialis yang berlebihan. Korpus perineum harus dijaga untuk
mencegah perluasan episiotomi atau laserasi. Jika kedua bahu telah lahir, pada
sebagian besar pasien bagian tubuh lainnya akan lahir dengan sedikit bantuan.

Tahap Akhir
 Penolong melahirkan bayi dengan cara satu tangan memegang bagian belakang
leher bayi dan tangan lainnya menelusuri dari introitus vagina hingga bokong
bayi. Harus diingat jangan menekan pembuluh darah yang ada di daerah leher
dan tetap mempertahankan kepala bayi ke arah bawah agar mempermudah
drainase sekresi nasofaring. Seringkali neonatus dapat dipegang dengan satu
tangan penolong dan dipeluk didekatkan ke perut penolong dan membiarkan
tangan lainnya untuk bebas melakukan tahapan pertolongan persalinan
berikutnya. Sekresi dari hidung dan orofaring harus kembali dihisap, dan
umbilikus dijepit pada dua tempat kemudian dipotong dan disisakan sepanjang 2
– 3 cm.
 Bila neonatus tampak sehat dan stabil, setelah tali pusat dijepit dan dipotong,
serahkan bayi kepada ibunya untuk dipegang dan diletakkan di atas perut ibu.
Menunda penjepitan dan pemotongan tali pusat hingga berhenti berdenyut
memungkinkan berlangsungnya transfusi plasental kepada neonatus. Tidak
terbukti apakah cara segera atau menunda penjepitan tali pusat lebih baik (41).
 Pemeriksaan ujung proksimal umbilikus dapat mencegah terjepitnya omfalokel
atau hernia umbilikalis.
 Jika neonatus belum diserahkan kepada ibu, letakkan bayi tersebut di perut ibu
untuk penyusuan dini. Semua upaya harus dilakukan agar pasca persalinan ibu
dan bayinya dapat selalu bersama dalam jangka waktu lama (rawat gabung).
Penyusuan dini harus sudah dimulai sejak periode ini dan dianjurkan pada
semua pasien. Sebagian besar perawatan neonatus dapat dilakukan saat bayi
berada di atas perut ibunya. Jika diperlukan tindakan resusitasi, maka neonatos
akan diletakkan pada tempat yang semestinya.

Episiotomi

 Episiotomi secara tradisional telah menjadi tindakan tersering dalam prosedur


obstetri dan juga telah menjadi tindakan yang lebih kontroversi. Insisi perineum
memperluas orifisium vagina pada saat partus. Sayatan dapat dibuat dengan
gunting atau pisau, insisi medial (episiotomi medial) atau mediolateral.
 Episiotomi rutin tidak terbukti memperbaiki luaran pasien dan bahkan secara
nyata dapat berbahaya. Episiotomi rutin atau tanpa indikasi meningkatkan risiko
perluasan insisi yang lebih besar dibandingkan bila terjadi laserasi spontan saat
partus (42).
 Direkomendasikan tindakan episiotomi harus selektif dan atas indikasi klinis.

Indikasi
 Salah satu indikasi episiotomi adalah untuk mempermudah persalinan apabila
janin dalam keadaan tidak sejahtera (non reassuring). Keadaan tersebut paling
sering terjadi pada pasien dengan anesthesia epidural dan timbulnya gambaran
DJJ dengan deselerasi variabel sedang hingga berat beberapa saat sebelum

JJE-20080203 32
Partus Normal

terjadinya partus spontan. Tindakan episiotomi pada keadaan tersebut


memungkinkan partus spontan dan menghindari persalinan per vaginam dengan
tindak bedah.
 Indikasi lainnya adalah distosia bahu, partus sungsang, tindak bedah obstetri,
dan presentasi oksiput posterior (43, 44).

Komplikasi
 Sama seperti semua tindakan operasi, risiko episiotomi harus dibandingkan
dengan keuntungannya.
 Menunda melakukan episiotomi secara rutin pada beberapa pasien
menyebabkan peningkatan kejadian laserasi vagina dan periurethra derajat satu
dan derajat dua.
 Meskipun lebih mudah melakukan reparasi jahitan episiotomi dibanding laserasi
spontan, tetapi episiotomi berkaitan dengan tingginya kejadian ruptura perineum
derajat tiga dan empat. Meskipun telah dikenali dan dilakukan penjahitan yang
sesuai, masih terdapat dampak jangka panjang dalam kehidupan selanjutnya,
paling bermakna adalah terjadinya inkontinensia flatus dan alvi (45, 46).
 Nyeri dan edema jaringan merupakan temuan yang paling sering terdapat pasca
episiotomi. Keadaan ini seringkali hilang dalam beberapa hari, terutama apabila
tindakan sitz baths dapat dilakukan beberapa kali dalam sehari segera setelah
pasca persalinan.
 Pada beberapa wanita mungkin dapat terjadi dispareunia hingga tiga bulan
postpartum.
 Salah satu komplikasi episiotomi paling serius adalah infeksi, menyebabkan
morbiditas yang tinggi tetapi jarang menyebabkan mortalitas (44).

Metoda
 Jika ada indikasi, episiotomi dilakukan pada saat kontraksi dan kepala janin
tampak di vulva dengan diameter 3 – 4 cm. Bila episiotomi dilakukan terlalu
cepat, dapat terjadi perdarahan banyak. Jika terlambat dilakukan, terjadi
regangan berlebihan pada perineum dan vagina.
 Dengan anesthesi lokal, pudendal atau regional yang memadai, ungkit perineum
dari kepala janin dan lakukan episiotomi medial dengan cara melakukan insisi
pada daerah perineum yang berbentuk segitiga ke arah anus dan vagina. Insisi
yang adekuat harus dibuat agar tindakan episiotomi tersebut mempunyai nilai.
Hati-hati jangan sampai menyayat muskulus sphinkter ani atau rektum, kecuali
tindakan tersebut memang diperlukan. Jika perineum pendek atau kemungkinan
akan terjadi ruptura perineum derajat tiga atau empat, lakukan episiotomi
mediolateral (43, 47).
 Proses melahirkan bayi harus dilakukan dengan hati-hati oleh penolong
persalinan untuk mencegah perluasan luka episiotomi, dengan cara menahan
bagian atas perineum dengan tangan yang memakai sarung tangan dan kain
bersih.
 Bagian paling kritis dari pertolongan persalinan adalah saat mengambil
keputusan untuk melakukan episiotomi. Kebanyakan persalinan dapat dilakukan
tanpa episiotomi, dan usulan bahwa episiotomi lebih menguntungkan belum
pernah terbukti.

JJE-20080203 33
Partus Normal

Melahirkan Plasenta

Upaya melahirkan plasenta dapat dilakukan dengan cara menunggu atau melakukan
manajemen aktif kala tiga.

Manajemen Pasif
 Secara normal, plasenta akan lepas secara spontan dari dinding uterus dalam
waktu sekitar 5 menit, tetapi dapat hingga 20 – 30 menit. Tidak perlu melakukan
tindakan untuk menarik plasenta sebelum plasenta lepas dari tempat
implantasinya.
 Tanda-tanda lepasnya plasenta :
o Fundus uteri berubah bentuk menjadi lebih globular
o Konsistensi fundus uteri berubah menjadi lebih keras
o Tiba-tiba keluar darah banyak dari vagina
o Umbilikus bertambah panjang.

 Bila plasenta telah lepas, dengan bantuan pemijatan fundus yang memadai dan
tarikan umbilikus terkendali kadang-kadang dapat melahirkan plasenta secara
cepat.
 Pada perasat Brandt-Andrew, lakukan penekanan pada segmen bawah uterus
kearah atas bersamaan dengan penarikan umbilikus (Gambar 2.13). Tangan
yang terletak di perut ibu mencegah terjadinya inversio uteri.
 Keuntungan dari cara menunggu pada kala tiga adalah tidak mengganggu
proses persalinan normal dan tidak memerlukan obat atau peralatan khusus.
Kerugian dari cara ini adalah kala tiga lebih lama dan meningkatkan risiko
perdarahan post partum dibanding manajemen aktif kala tiga (48).

Gambar 2.13. Melahirkan plasenta secara Brandt-Andrews. Setelah bagian fundus


menjadi keras lakukan tarikan umbilikus secara sedang sambil tangan yang satu
menekan uterus ke arah atas untuk melepaskan plasenta dari dinding uterus (Sumber
Wilson JR, dengan Stilwell D, illust. Atlas of obstetric technic. 2nd ed. St Louis: Mosby;
1969, dengan ijin.)

JJE-20080203 34
Partus Normal

Manajemen Aktif
 Setelah bahu depan lahir, atau segera setelah neonatus lahir, beri oksitosin
untuk merangsang kontraksi uterus.
 Jepit dan potong umbilikus.
 Tunggu hingga kontraksi uterus kuat kemudian lakukan traksi umbilikus secara
terkendali bersamaan dengan melakukan pendorongan dari suprasimfisis ke
arah atas berlawanan dengan arah peregangan umbilikus.
 Bila plasenta belum lahir, tunggu hingga timbul kontraksi berikutnya.
 Keuntungan dari manajemen aktif kala tiga adalah memperpendek waktu kala
tiga, mengurangi kehilangan darah ibu, menurunkan risiko perdarahan dan
anemia post partum dan mengurangi kebutuhan transfusi.
 Kerugian dari cara ini adalah meningkatkan kejadian mual, muntah dan sakit
kepala. Kejadian hipertensi juga meningkat apabila diberi ergometrin (48).

Ekstraksi Manual
 Jika plasenta belum lahir setelah 30 menit atau pelepasan plasenta tanpa
disertai keluarnya plasenta, lakukan pengeluaran plasenta secara manual untuk
mencegah terjadinya perdarahan banyak. Injeksi oksitosin kedalam vena
umbilikalis merupakan cara yang aman dan pada beberapa wanita dapat
mencegah dilakukannya tindakan pelepasan plasenta secara manual (49).
Secara teoritis, terdapat risiko kontaminasi bakteri pada waktu dilakukan manual
plasenta, tetapi komplikasi ini jarang terjadi.
 Cara melakukan : berikan anesthesi yang memadai (adekuat). Satu tangan
menggenggam fundus dan mempertahankan tetap kearah bawah. Dokter
penolong harus menghindari terkontaminasi dengan cara memakai sarung
tangan panjang dan pelindung tangan. Dengan satu tangan dibagian luar, tangan
yang satu masuk ke kavum uteri dengan menysuri umbilikus kemudian
melepaskan plasenta dari tempat implantasinya secara hati-hati, perlahan, dan
melingkar sehingga seluruh plasenta lepas. Sekarang plasenta dapat
dikeluarkan. Pemijatan fundus uteri secara aktif dapat mengurangi terjadinya
perdarahan.

Pemeriksaan Plasenta
 Plasenta harus diperiksa untuk mencari kotiledon yang hilang atau bukti-bukti
adanya jaringan lain yang belum dilahirkan.
 Periksa selaput ketuban untuk melihat apakah ada pembuluh darah yang
berjalan di atasnya dan terputus pada tepi robekan, bila ada, kemungkinan
terdapat plasenta suksenturiata yang belum dilahirkan.
 Potongan umbilikus harus diperiksa untuk melihat adanya dua arteri dan satu
vena. Bila ditemukan arteri umbilikalis tunggal, kemungkinan terdapat kelainan
kongenital pada neonatus.
 Bila dicurigai terdapat abnormalitas plasenta, lakukan pemeriksaan patologi
anatomi.

Tindakan Pencegahan Aktif melawan Atonia Postpartum


 Meskipun pasca persalinan fundus uteri berkontraksi dengan baik, hal ini tidak
selalu terjadi. Kontraksi uterus yang buruk akan mengarah terjadinya perdarahan
yang cepat dan banyak. Oleh karena itu, sangat bijaksana bila dilakukan upaya
pencegahan atonia uteri post partum.
 Pemijatan eksternal fundus uteri secara hati-hati tetapi cukup keras harus selalu
merupakan bagian dari manajemen post partum. Umumnya lebih bijaksana bila

JJE-20080203 35
Partus Normal

memberikan oksitosin, apakah secara intramuskular setelah bahu depan lahir


(10 unit oksitosin) atau drip intravena setelah plasenta lahir (20 unit, dalam 1000
ml dekstrosa 5%, 100 tetes per menit). Cara terakhir lebih disukai karena kala
tiga dapat lebih dikendalikan. Oksitosin dapat menyebabkan hipotensi berat bila
diberikan dalam bentuk bolus intravena. Kadang-kadang pemberian oksitosin
tidak cukup, sehingga diperlukan tambahan obat lainnya.
 Masukkan misoprostol 600 – 800 µgr ke rektum, sangat efektif dalam
pengobatan perdarahan post partum masif karena atonia uteri.
 Pemberian methylergonovine maleate (Methergine) 0,2 mg intramuskular
seringkali cukup untuk merangsang kontraksi uterus dan mengatasi atonia uteri.
Methylergonovine tidak boleh diberikan pada penderita hipertensi (hipertensi
dapat bertambah buruk) dan juga harus dihindari pemeberiannya pada keadaan
hipotensi (menyebabkan berlanjutnya vasokontriksi perifer pada pasien yang
sedang dalam keadaan syok hipovolemik sehingga dapat menyebabkan
amputasi jari sekunder terhadap insufisiensi vaskular).

Perbaikan Laserasi dan Episiotomi

Laserasi Jalan Lahir


 Setelah plasenta lahir, dokter harus memeriksa jalan lahir apakah terdapat
laserasi.
o Dinding vagina dan forniks harus diinspeksi dan palpasi.
o Laserasi di daerah periurethra sering tidak diketahui kecuali bila labium
minus di buka (ditampakkan).
o Seringkali laserasi berbentuk linear dan kearah atas, laserasi ini dapat
diatasi dengan jahitan satu-satu atau jelujur.

 Dengan menempatkan telapak tangan ke dalam vagina sebagai retraktor, serviks


dapat ditampakkan. Bibir depan serviks harus diperiksa dan diangkat agar
keseluruhan serviks dapat dilihat. Jika terdapat laserasi serviks , visualisasi
serviks dapat lebih jelas dengan bantuan seorang asisten yang menekan fundus
uteri ke arah bawah. Bantuan asisten untuk menekan retraktor dapat
mempermudah pemeriksaan. Pemeriksaan laserasi vagina kadang-kadang
dapat dipermudah dengan cara pertama kali menempatkan satu jahitan pada
ujung atas luka untuk menarik dan mengetahui batas tepi atas luka.
 Penjahitan dengan memakai benang sintetis yang dapat diserap dapat
mengurangi nyeri jangka pendek dan dispareunia pada bulan ke 12
dibandingkan dengan jahitan catgut. Teknik penjahitan jelujur yang tidak terlalu
rapat juga mengurangi nyeri jangka pendek dibandingkan dengan jahitan satu-
satu.

Episiotomi
 Penjahitan luka episiotomi memakai benang yang dapat diserap berukuran 2-0
atau 3-0. Jahitan satu-satu mungkin diperlukan untuk menjahit lapisan dalam
korpus perineum. Jahitan jelujur saling mengunci dipergunakan untuk menjahit
mukosa vagina, perhatikan jangan sampai puncak vagina tidak terjahit. Perineum
didekatkan dengan jahitan jelujur subkutaneus dan subkutikular dengan
memperhatikan tanda-tanda petunjuk seperti cincin himen.
 Perluasan robekan hingga sphinkter ani (Ruptur derajat tiga) harus dijahit secara
satu-satu, bersama lapisan fasia otot sebagai penguat. Cara penjahitan

JJE-20080203 36
Partus Normal

tumpang-tindih tidak terbukti lebih efektif dari cara akhir ke akhir (end-to-end
technique).
 Jika robekan mengenai mukosa rektum (ruptura derajat empat), penjahitan harus
dilakukan satu-satu dalam dua lapis, antar jahitan berjarak 5 mm dan diperkuat
dengan jaringan fasia yang dijahit jelujur. Perhatikan jangan sampai benang jahit
menembus mukosa rektum sehingga benang berada dalam lumen rektum.
Diingatkan tentang cara penjahitan ini secara rutin. Penjahitan ruptur derajat
empat di kamar operasi dengan pencahayaan yang baik dan dibantu asisten
perlu dipertimbangkan karena lapang pandang operasi akan lebih baik.
Pemberian cairan garam isotonik yang cukup untuk irigasi saat penjahitan dapat
mempermudah proses penyembuhan.

Partus dengan Tindakan


 Partus dengan tindakan dilakukan bila persalinan spontan per vaginam tidak
dapat dilakukan.
 Cara yang dapat dipilih apakah seksio sesarea atau partus per vaginam dengan
bantuan alat. Pada cara terakhir dapat dipilih ekstraksi forseps atau vakum.
 Pilihan partus operatif dan permasalahannya dibahas secara rinci pada Bab 10.

PENDIDIKAN PASIEN
 Pendidikan pasien untuk partus sudah dimulai saat asuhan antenatal dan juga
termasuk siapa yang diinginkan ibu sebagai pendamping saat melahirkan.
 Pasien harus sangat dianjurkan untuk mengikuti kelas perinatal sebagai
persiapan persalinan.
 Tenaga kesehatan harus menjelaskan sedemikian rupa bahwa kehamilan dan
persalinan merupakan proses fisiologis normal.
 Pendidikan pasien dapat dilakukan oleh dokter dan atau perawat terdaftar yang
bertanggung jawab terhadap penanganannya.
 Informasi yang diinginkan pasien terdiri dari :
o Keluhan dan tanda partus
o Bagaimana dan kapan menghubungi kamar bersalian
o Hal rutin apa yang dilakukan di kamar bersalin
o Pilihan analgesia dan anesthesia
o Dukungan inisiasi dini untuk menyusui dilakukan segera setelah
persalinan

 Selama proses persalinan, pasien dan pendamping pendukung harus tetap


waspada terhadap kemajuan partus dan keadaan ibu.
 Persetujuan tindak medik (informed consent) dari pasien diperlukan sebelum
melakukan tindakan intervensi, prosedur, analgesia, atau anestesia.

Kepustakaan

JJE-20080203 37

You might also like