You are on page 1of 3

KODE ETIK ADVOKAT, ETIKA PERILAKU DALAM PROFESI ADVOKAT Author: Fahmi Yanuar Siregar, S.H., LL.M.

// Category: Uncategorized

Etika Perilaku dalam Profesi Advokat

Dalam bagian pembukaan Kode Etik Advokat ditegaskan bahwa sudah semestinya suatu organisasi profesi memiliki Kode Etik yang berfungsi beban kewajiban sekaligus pula bentuk perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesi. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskannya dalam Pasal 1 butir 1 bahwa Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Hal ini juga diperkuat dengan Pasal 26 Undang-undang tentang Advokat yang menyatakan bahwa untuk menjaga martabat dan kehormatan profesinya maka disusunlah Kode Etik Advokat. Dengan demikian jelaslah bahwa Advokat adalah suatu profesi dan dibebani oleh Kode Etik dalam menjalankan profesinya. Profesi Advokat merupakan profesi yang terhormat (officium nobile), yang berarti dalam menjalankan profesinya sebagai bagian dari catur wangsa penegakan hukum berada di bawah perlindungan hukum yaitu Undang-undang tentang Advokat dan Kode Etik itu sendiri. Advokat memiliki independensi kebebasan yang berlandaskan pada kemandirian, kejujuran, kerahasian, dan keterbukaan. Perjalanan profesi tersebut merupakan etika perlaku kehormatan dan kepribadian Advokat.

Kode Etik profesi Advokat mengatur mengenai hubungan dengan kepribadian advokat pada umumnya, Advokat dengan klien, Advokat dengan teman-teman sejawat, hubungan Advokat terhadap hukum, Undang-undang kekuasaan dan para pejabat pengadilan, sekaligus mengatur tentang cara bertindak menangani perkara.

Berlandaskan Kode Etik profesi Advokat tersebut, ada fenomena yang menarik untuk dicermati dalam perkembangan profesi Advokat. Kasus yang baru terjadi adalah pengaduan terjadinya pelanggaran Kode Etik oleh Advokat senior Todung Mulya Lubis, yang dinilai telah melakukan pelanggaran berat yaitu melanggar larangan konflik kepentingan dan lebih mengedepankan materi dalam menjalankan profesinya. Hal ini menjadi menarik karena Majelis Kehormatan Daerah PERADI DKI Jakarta memberhentikan secara tetap Todung Mulya Lubis sebagai Advokat. Perkembangannya Todung Mulya Lubis akan banding terhadap Putusan tersebut ke Dewan kehormatan PERADI Pusat.

Kasus lainnya yang menarik dicermati mengenai gencarnya pernyataan-pernyataan Advokat yang bertindak seolah-olah dalam rangka pembelaan suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya. Mewakili fenomena ini diantaranya adalah perseteruan antara Ahmad Dhani dan istrinya yang melibatkan pengacara Elza Syarif untuk ikut berkomentar mendukung maia, bukan sebagai kuasa hukum yang semestinya memberikan argumentasi yuridis perihal perkara kilennya saja. Namun, sudah berimbas pada hal-hal yang bersifat privasi antara klien dan pengacaranya dan hal ini semestinya tidak menjadi konsumsi publik. Hal ini mengantarkan kita pada suatu pertanyaan sederhana, sampai sejauhmanakah tindakan Advokat dalam rangka mewakili klien atau perkaranya? bagaimana ukuran dari pemberian kuasa tersebut dalam kerangka mewakili kepentingan hukum kliennya? Bahkan sampai sejauhmanakah indikator yang disebut sebagai kuasa hukum suatu klien, apakah hanya sampai pada hal-hal yang berkaitan dengan duduknya perkara ataukah lebih dari itu? Bukankah Advokat sebagai profesi terhormat penegak hukum yang terikat akan adanya Kode Etik agar dapat menjalankan profesinya secara jujur dan bertanggung jawab kepada klien, pengadilan, Negara, masyarakat dan terutama sekali kepada dirinya sendiri.

Berbicara mengenai Kode Etik tidak terpisahkan dari etika perilaku itu sendiri, sehingga menjadi beralasan pula apa yang dikemukakan oleh E.Y. Kanter dalam bukunya Etika Profesi Hukum Sebuah Pendekatan Sosio-Religius, dikutip oleh Fauzi Yusuf Hasibuan dalam makalahnya bahwa tindakan kekerasan dan main hakim sendiri dapat terjadi karena orang telah melupakan nilai dan norma moral dalam pergaulan sosial. Tidak ada salahnya cerminan diri sendiri, bahwa Advokat berorentasi pada keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam penegakan hukum bukan sebagai pembelaan perkara hanya karena honorarium semata. Hal yang membedakan dengan pelayanan jasa seorang pebisnis yang mengutamakan profit sedangkan Advokat adalah profesi yang terhormat yang didalamnya ada lingkup kegiatan etis yang bernilai, ada pemahaman keilmuwan dan tindakan yang berdasar pada moral. Profesi yang mencirikan profesionalisme seorang Advokat yang menjujung tinggi supremacy of moral bukan hanya supremacy of law sehingga tercapailah apa yang disebut sebagai keadilan yang substantif.

You might also like