You are on page 1of 20

MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Oleh : Sutopo Patria Jati

PENDAHULUAN
Dalam sebuah seminar kesehatan tanggal 15 Januari 2004 di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, salah seorang
pembicara dari Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pemberdayaan Konsumen
Kesehatan Indonesia yaitu dr. Taufik Kresno Dwiyono, SpPD, menyatakan bahwa
“ Akhir-akhir ini sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menempuh pendidikan
dokter spesialis di Fakultas Kedokteran (FK) UNDIP terutama yang menggunakan
jalur pendidikan mandiri (bukan dari PNS) cenderung dikenakan biaya seleksi
masuk yang sangat besar, khususnya bagai masyarakat yang akan memilih
beberapa jenis pendidikan spesialis yang dikenal favorit, salah satu informasi yang
membuat heboh kita adalah agar dapat diterima menjadi peserta pendidikan dokter
spesialis bagian Kulit dan Kelamin salah seorang calon dimintai kontribusi sebesar
Rp 1 Milyar dan dia dikabarkan telah menyanggupinya !”
Kebijakan pemerintah untuk menjadikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
sebagai sebuah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) diidikasikan telah membuat
masyarakat semakin terbebani dalam pembiayaan pendidikannya. Konsekuensi
logis akibat kebijakan tersebut menyebabkan setiap PTN berusaha keras mencari
sumber pendanaan baru secara mandiri / otonom agar dapat menutup kehilangan
subsidi dana pendidikan yang selama ini diperoleh dari anggaran pemerintah.
Salah satu upaya mencari dana kompensasi yang relatif paling mudah dilakukan
adalah dengan cara memungut dana pendidikan yang lebih tinggi bagi para peserta
didik / masyarakat. Ada beberapa pola yang dipakai dalam penggalian dana
tersebut antara lain melalui metode menjual beberapa jatah kursi bagi calon
mahasiswa agar dapat diterima tanpa test (jalur khusus) dari setiap
fakultas/program studi dengan tarif yang berbeda tergantung kefavoritan masing-
masing Di UNDIP juga telah menerapkan metode yang sama, untuk dapat
diterima jalur khusus selain harus masuk dalam rangking 10 besar disekolah maka
calon mahasiswa/masyarakat harus berani melakukan proses tawar menawar
dengan panitia khusus pada saat tahap penyeleksian. Meskipun berdasarkan surat
edaran dari pimpinan UNDIP telah ditetapkan plafon tarif standar ditiap fakultas /
prodi, namun pada kenyataanya sering terjadi masyarakat rela membayar jauh
lebih tinggi diatas plafon tarif terutama di beberapa fakultas/prodi favorit. Salah
satu contoh terjadi di pendidikan S1 FK UNDIP yang seharusnya ditetapkan
plafon tarif Rp.100.000.000,- ternyata berdasarkan informasi dari calon
mahasiswa/ masyarakat yang diterima di jalur khusus tersebut berani membayar
hampir dua kali dari plafon tariff tersebut.
Ilustrasi diatas sekedar menggambarkan sebuah fenomena yang bagi
masyarakat awam tentu sangat mengherankan dan membingungkan serta sangat
ironis terlebih lagi jika dihubungkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini yang
masih diterpa berbagai krisis multidimensi sebagai akibat dari krisis keuangan dan
perekonomian negara sejak tahun 1997. Sampai sekarang dan mungkin sampai
masa mendatang akan terus terjadi berbagai keironisan tersebut terkait problem
pembiayaan atau pendanaan yang harus ditanggung masyarakat untuk
mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan lebih tinggi termasuk di
pendidikan dokter spesialis. Hal yang menarik meskipun telah diketahui oleh
masyarakat luas terkait dengan munculnya fenomena semakin mahalnya ( semakin
tidak rasionalnya) pembiayaan pendidikan bagi dokter spesilai tersebut, ternyata
disisi lain masih sangat langka dijumpai upaya melakukan kajian yang
komprehensif dari berbagai pihak (stakeholders) termasuk para ahli pendidikan
tentang bagaimana dampak penerapan kebijakan pembiayaan khususnya bagi
pendidikan dokter spesialis yang cenderung tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat dan dikhawatirkan mungkin akan semakin dieksploitasi untuk
kepentingan-kepentingan diluar pendidikan itu sendiri.
Atas dasar kondisi tersebut maka paper ini akan berusaha mengkritisi
fenomena tersebut menggunakan pendekatan disiplin ilmu ekonomi pendidikan
dan dilihat dari perspektif kepentingan konsumen / masyarakat, institusi
penyelenggara (provider) jasa pendidikan dan pemerintah selaku regulator bidang
pendidikan.
PEMBAHASAN

TEORI PERILAKU KONSUMEN JASA PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


Setiap konsumen dalam membeli produk mempunyai perilaku yang berbeda.
Untuk mempelajari perilaku calon dokter spesialis dapat menggunakan konsep
kotak hitam pembeli seperti yang terlihat dalam gambar 1 dibawah ini :

Rangsangan dari Luar Kotak Hitam Pembeli (calon Tanggapan


dokter spesialis) Pembeli
Lingkungan Pemasaran Karakteristik Proses Pilihan Produk /
Pembeli Keputusan Jasa Pendidikan
Pembeli
Ekonomi Produk Kebudayaan Masalah Pilihan Jenis
Spesialisasi
Teknologi Harga Informasi Pilihan Disain
(Jalur Kedinasan
atau biaya
sendiri/mandiri)
Politik Distribusi Sosial Evaluasi Timing & alokasi
waktu untuk
pendidikan
Budaya Promosi Keputusan Jenjang
Pendidikan
(spesialis –
superspeialis )
Fisik Individu Perilaku Pilihan Tempat
Purna Beli Pendidikan
Gambar1 : Modifikasi Model Perilaku Calon Dokter Spesialis (Sumber :
Modifikasi dari Membongkar Kotak Hitam Konsumen.) 1)

Agar dapat lebih memahami perilaku konsumen jasa pendidikan harus


dibedakan berbagai peran yang dimainkan orang dalam keputusan pembelian
2)
sebagai berikut:
1. Siapa yang mengambil inisiatif dalam pembelian (inisiator)
2. Siapa yang mempengaruhi atau memberi nasehat dalam pembelian (influencer)
3. Siapa yang mengambil keputusan membeli meliputi apa, bagaimana dan
dimana membelinya (decider)
4. Siapa yang melakukan pembelian (buyer)
5. Siapa yang menggunakan produk (user).
Untuk melihat perbedaan perilaku calon dokter spesialis yang satu dengan
yang lain perlu dipertimbangkan berbagai tahap proses keputusan pemilihan
/pembelian jasa pendidikan . Proses pembelian jasa pendidikan dari calon dokter
spesialis ada beberapa tahap, yaitu: 3)
a. Keinginan dan kebutuhan apa yang mendorong calon dokter spesialis untuk
menggunakan suatu jasa pendidikan . ( need arousal )
Proses pembelian dimulai dengan pengenalan masalah. Calon dokter
spesialis menyadari adanya perbedaan antara keadaan sebenarnya dan keadaan
yang digunakan. Kebutuhan dapat digerakkan oleh rangsangan dari dalam diri
atau dari luar calon dokter spesialis. Untuk rangsangan kebutuhan terhadap
jasa pendidikan dokter spesialis terutama yang melalui jalur biaya mandiri
pada umumnya berasal dari dalam diri calon spesialis yang bersangkutan
disebabkan oleh tuntutan dan keinginan untuk mengembangkan profesi
maupun karier mereka , selain itu fackor lain yang tidak kalah penting adalah
dorongan dari keluarga terutama orang tua calon yang memiliki latar belakang
profesi yang sama ( dokter umum atau dokter spesialis ).
b. Apakah calon dokter spesialis mengumpulkan informasi berkaitan dengan
kebutuhan yang dirasakan. (information gathering )
Seorang konsumen yang mulai tergugah minatnya mungkin akan atau
mungkin tidak mencari informasi yang lebih banyak lagi. Andaikata konsumen
berusaha menghimpun informasi lebih banyak, hal penting bagi pemasar
adalah sumber-sumber informasi pokok yang akan diperhatikan konsumen dan
pengaruh relatif setiap informasi terhadap rangkaian keputusan membeli.
Sumber-sumber informasi konsumen jasa pendidikan dokter spesialis yang
paling sering digunakan adalah :
 Sumber pribadi, meliputi : keluarga dan teman seprofesi
 Sumber pengalaman, meliputi : pengalaman atau keterbatasan mereka
dalam menangani pasien sebagai dokter umum.
Sedangkan sumber informasi lain yang hampir tidak pernah digunakan adalah:
 Sumber Niaga, meliputi : iklan petugas penjualan, penjualan, pameran.
 Sumber umum, meliputi : media masa, organisasi profesi dan organisasi
konsumen.
Hal ini mungkin disebabkan karena memang dari pengelola pendidikan dokter
spesialis tidak pernah mempublikasikan secara terbuka di media masa atau
menyelenggarakan semacam pameran pendidikan.
c. Bagaimana calon dokter spesialis mengevaluasi alternatif .(decision
evaluation)
Beberapa konsep dasar tertentu membentuk/ memperjelas proses
penilaian konsumen. Pertama adalah sifat-sifat produk/jasa. Kita beranggapan
bahwa konsumen memandang suatu produk/jasa pendidikan dokter spesialis
sebagai himpunan sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu misalnya : status sosial dan
status profesional yang masih langka dan dihormati masyarakat maupun
sesama kolega dokter . Kedua, konsumen mungkin mengkaitkan bobot
pentingnya ciri-ciri yang berbeda dengan ciri-ciri yang sesuai. Pembedaan
dapat dibuat antara pentingnya suatu ciri dengan penonjolannya. Ciri-ciri yang
menonjol adalah ciri-ciri yang masuk dalam benak konsumen ketika dia
diminta untuk mempertimbangkan ciri-ciri suatu produk, untuk calon dokter
spesialis ciri-ciri menonjol yang biasanya masuk dalam benak mereka antara
lain : bahwa menjadi seorang dokter spesialis memberi kesan sebagai
seseorang yang sangat dihormati karena kepandaian dan keterampilan
pemberian terapi yang selalu lebih dipercaya dibandingkan profesional
kesehatan lain . Ketiga, konsumen/calon dokter spesialis mungkin
mengembangkan seperangkat kepercayaan merek/gelar spesialis di mana
setiap merek menonjolkan setiap cirri misalnya dengan menyandang gelar
tertentu dibelakang nama mereka dari sebatas gelar dokter spesialis biasa
sampai dengan gelar superspesialis atau konsultan bahkan gelar yang diambil
dari pendidikan / pelatihan tertentu yang diakui oleh dunia internasional.
Seperangkat kepercayaan yang dipegang insitusi pendidikan sehubungan
dengan merek-merek tertentu disebut citra merek. Keempat, konsumen/calon
dokter spesialis dianggap akan dapat memiliki sebuah fungsi kemanfaatan
untuk setiap ciri. Fungsi ini menggambarkan bagaimana konsumen
mengharapkan kepuasan yang dapat diperoleh dari suatu produk /gelar dengan
tingkat alternatif yang berbeda-beda bagi setiap ciri. Kelima, sikap konsumen
terhadap beberapa pilihan merek terbentuk melalui prosedur penilaian.
Konsumen ternyata menerapkan prosedur penilaian yang berbeda untuk
membuat satu pilihan diantara sekian banyak ciri-ciri obyek. Hal ini juga
terjadi pada saat calon spesialis menentukan pilihan jenis spesilasisasinya
apakah akan memilih yang “favorit” atau “kurang favorit”. Eksistensi dari
pemahaman tersebut cenderung sangat subyektif dan diartikan semakin sempit
karena lebih didasarkan pada harapan dan peluang kemungkinan untuk
berhasil dalam karier mereka sebagai dokter spesialis yang dapat segera
menjadi terkenal ,laris/ memiliki banyak pasien atau memiliki kekayaan yang
melimpah.
Pendangkalan terhadap pengertian/konsep favorit dan tidak favorit
tersebut paling tidak sudah menjadi indikator awal adanya orientasi para calon
dokter spesialis yang dikhawatirkan lebih mengarah pada komersialisasi
jabatan atau profesi dibandingkan pemahaman mereka pada konsep
pengabdian pada profesi maupun motivasi untuk pengembangan ilmu
pengetahuan kedokteran demi kesejahteraan bagi masyarakat luas yang
memang sangat membutuhkan jasa mereka.
d. Bagaimana calon dokter spesialis memanfaatkan jasa.pendidikan (decision
execution )
Tahap penilaian keputusan menyebabkan konsumen/calon dokter
spesialis membentuk pilihan diantara beberapa merek/jenis dan gelar
spesialisasi yang tergabung dalam perangkat pilihan. Konsumen mungkin juga
membentuk maksud untuk membeli dan cenderung membeli merek/ jenis dan
gelar spesialisasi yang disukainya. Terhadap keputusan membeli/memilih ada
dua faktor penting yang sering mencampuri konsumen dalam keputusannya.
Pertama, adalah sikap orang lain. Seberapa jauh sikap orang lain akan
mengurangi alternatif yang disukai seseorang tergantung pada intensitas sikap
negatif pihak lain terhadap pilihan alternatif konsumen, dan motivasi calon
dokter spesialis tunduk pada keinginan orang lain. Faktor kedua adalah yaitu
faktor situasi yang tak terduga mungkin muncul dan mengubah maksud
pembelian. Keputusan konsumen untuk mengubah, menangguhkan atau
membatalkan keputusan membeli banyak dipengaruhi oleh persepsi terhadap
resiko. Sebagai contoh apabila seorang calon spesialis memilih jenis spesialis
yang termasuk favorit ternyata dihadapkan pada risiko harus membayar biaya
yang jauh lebih besar sedangkan kondisi keuangannya tidak mendukung maka
dia akan beralih pada pilihan spesialisasi lain yang “lebih murah” meskipun
risikonya menjadi dokter spesialis dari jenis yang dianggap kurang favorit.
Faktor lain yang memiliki pengaruh mendasar terhadap perilaku
konsumen dalam pembelian yakni faktor sosial budaya dalam bentuk penilaian
sub budaya dan kelas sosial pembeli. Setiap budaya memiliki kelompok-
kelompok sub budaya lebih kecil yang merupakan identifikasi dan sosialisasi
yang khas untuk setiap anggotanya. Fenomena yang mungkin lebih jelas untuk
menggambarkan kondisi ini adalah dari latar belakang profesi orang tua calon
dokter spesialis tersebut muncul kecenderungan yang kuat bahwa orang tua
calon tersebut jika berprofesi sebagai dokter spesialis maka akan mendorong
anak mereka untuk menjadi dokter spesialis pula.
e. Bagaimana sikap calon dokter spesialis setelah memanfaatkan jasa pendidikan
( post decision assessment )
Setelah membeli produk atau menempuh pendidikan spesialis, konsumen
akan mengalami beberapa tingkat kepuasan atau ketidakpuasan. Bagi peserta
pendidikan dokter spesialis hal ini menarik untuk dikaji mengingat cukup besar
biaya yang harus dikeluarkan selama proses pendidikannya apakah seimbang
dengan manfaat langsung dan tidak langsung yang akan dirasakan setelah lulus
pendidikan.
Dalam kondisi tertentu konsumen bisa melompati beberapa tahap mungkin
juga urutannya tidak sesuai dengan urutan tersebut. Hal ini terkait dengan
karakteristik konsumen dan analsisi demand – supply pendidikan dokter spesialis
yang memiliki ciri antara lain : 4)
1. Consumer’s ignorance
Calon dokter spesialis cenderung kurang memiliki akses informasi yang
memadai pada saat mereka menentukan pilihan jenis pendidikan tertentu.
Keterbatasan informasi dan pengetahuan dari konsumen ini biasanya
menyangkut informasi tentang kualitas jasa pendidikan meliputi fasilitas fisik
dan kompetensi sumber daya manusia dari penyelenggara pendidikan,
termasuk jaminan kepastian karier bagi alumni dari jasa pendidikan tersebut.
Hal ini biasanya dialami oleh calon dokter spesialis yang berasal dari daerah
dan tidak punya background keluarga atau orang tua yang berprofesi sebagai
dokter spesialis tertentu.
2. Supply induced demand
Sebagai salah satu konsekuensi dari ketidak tahuan calon dokter spesialis
tersebut maka demand terhadap jasa pendidikan sebagian besar bukan berasal
dari keputusan individu / konsumen bersangkutan melainkan diciptakan oleh
supplier / provider jasa pendidikan .
Oleh karena itu demand terhadap pendidikan berbeda dengan demand dalam
ekonomi secara murni oleh karena demand dan supply yang terbentuk dapat
dikatakan tidak berinteraksi secara konvensional.
Konsep lain tentang perilaku konsumen pendidikan adalah konsep Ability to
Pay (ATP) atau kemampuan membayar suatu jasa pendidikan dokter spesialis dan
konsep Willingnes to Pay (WTP) atau kemampuan untuk membayar suatu jasa
pendidikan dokter spesialis. Kemampuan untuk membayar konsumen dipengaruhi
oleh harga/ tarif jasa dan pendapatan konsumen, sedangkan kemauan untuk
membayar dipengaruhi oleh harga/tarif jasa lain, pendapatan dan factor lain seperti
selera, persepsi terhadap jasa dan lain-lain. Konsep WTP dapat menjelaskan
kelebihan kepuasan konsumen (consumer’s surplus) yang diperoleh konsumen,
sehingga sebenarnya harga/ tarif pendidikan yang ditetapkan tidak akan
memberatkan konsumen atau mungkin malahan dapat dinaikkan ( dapat menjadi
pertimbangan provider / produsen dalam strategi kebijakan harga/tarif barang atau
jasa termasuk dalam pendidikan). Consumer’s surplus diartikan sebagai perbedaan
diantara tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dalam mengkonsumsi
sejumlah barng/jasa dengan pembayaran yang harus dibayarkan oleh konsumen
tersebut. Dalam memahami jasa pendidikan konsep ATP dan WTP tersebut sangat
penting untuk dikaji karena apabila masyarakat/ konsumen pendidikan memiliki
ATP tetapi tidak WTP maka jasa pendidikan doker spesialis tersebut akan
mengalami underutilitation sebaliknya jika masyarakat mempunyai WTP namun
tidak didukung ATP maka jasa pendidikan cenderung mengalami overutilitation.
Pada kondisi ideal yang seharusnya ingin dicapai adalah masyarakat memiliki ATP
sekaligus WTP terhadap jasa pendidikan. 4)

TEORI PEMBENTUKAN TARIF DAN BIAYA PENDIDIKAN


Apabila demand dan supply bertemu akan memberikan gambaran
keseimbangan/ kesepakatan harga/ tarif jual dari produk / jasa tertentu di pasar
melalui suatu proses tawar menawar sebelumnya. Karakteristik pasar sangat
memperngaruhi proses tawar menawar tersebut, untuk karakteristik pasar jasa
pendidikan ternyata sangat bervariasi mulai dari model pasar yang cenderung
mengarah pada persaingan sempurna sampai pasar yang cenderung monopoli.
Ada empat jenis biaya dasar yang sering dipertimbangkan konsumen dalam
pembelian produk/ jasa termasuk jasa pendidikan yaitu : uang, waktu, kegiatan
kognitif dan upaya perilaku. Cara sederhana untuk mengungkapkan makan harga
bagi konsumen adalah dengan cara membandingkan biaya-biaya tersebut dengan
nilai dan kegunaan apapun yang diberikan produk
Dalam pemrosesan informasi harga secara kognitif, konsumen dapat
membuat perbandingan antar harga yang ditetapkan dengan sebuah harga atau
rentang harga yang telah terbentuk dalam benak konsumen untuk produk tersebut.
Harga yang digunakan untuk perbandingan ini disebut harga referensi internal
(internal reference price). Pada dasarnya referensi internal harga bertindak sebagai
pedoman dalam mengevaluasi apakah harga yang ditetapkan dapat diterima
konsumen atau tidak. Harga referensi eksternal (external reference price) adalah
perbandingan langsung dari harga/biaya yang ditetapkan dengan harga/tarif jasa
pendidikan lain yang disebutkan dalam iklan, pengumuman dan lain-lain.
Calon doker spesialis pada umumnya lebih memilih menggunakan patokan
referensi tarif internal dibandingkan referensi harga eksternal, beberapa indikator
dan alasan yang mendukung pernyataan ini antara lain :
 Tingkat persaingan yang semakin tajam dilihat dari rasio jumlah calon spesialis
yang mendaftar dan ingin diterima cenderung makin banyak dibandingkan
jumlah alokasi /tempat yang disediakan setiap periodenya.
 Publikasi atau pengumuman resmi /tertulis yang dikeluarkan oleh pihak
penyelenggara pendidikan dokter spesialis selama ini hanya mencantumkan
batas / limit minimal khususnya untuk komponen dana sumbangan
pengembangan /pembangunan institusi (SPI) yang besarnya “hanya” sekitar
Rp. 25 juta,- per peserta didik.
 Dampak dari semakin ketatnya persaingan dalam proses penerimaan calon
dokter spesialis secara langsung maupun tidak langsung akan mendorong
setiap calon dokter spesialis untuk meningkatkan posisi tawar mereka agar
lebih berpeluang diterima dengan jalan berani memasang harga penawaran
yang setinggi-tingginya sesuai dengan persepsi dan keyakinan masing-masing
terutama untuk komponen dana sumbangan pengembangan / pembangunan
institusi sehingga pada akhirnya tercapai “kesepakatan” harga yang jauh
melebihi plafon minimal seperti yang diumumkan secara resmi tersebut.
Pembahasan tentang teori perilaku konsumen/ calon dokter spesialis tidak
bisa dipisahkan dengan konsep / teori demand, dimana demand dalam hal ini
dapat diartikan sebagai sejumlah barang atau jasa yang dibeli dalam berbagai
kemungkinan harga yang berlaku dipasar dalam suatu waktu tertentu. Sedangkan
hukum demand menyebutkan bahwa apabila harga barang/jasa tertentu naik, maka
jumlah pembeliannya akan berkurang atau sebaliknya. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi demand terhadap jasa pendidikan dokter spesialis adalah:5)
1. Biaya / tarif pendidikan dokter spesialis ( jalur biaya sendiri / mandiri)
Jika diperhitungkan berdasarkan kondisi saat ini maka di UNDIP besar
komponen biaya pendidikan dokter spesialis khususnya jalur biaya sendiri
/mandiri meliputi : uang SPP sebesar Rp. 1,5 juta / semester dan uang SPI
minimal Rp. 25 juta per orang, biaya hidup minimal di Kota Semarang jika
berdasarkan upah minimal kota (UMK) tahun 2004 sekitar Rp. 473.000,- /
bulan untuk satu orang pekerja , sedangkan jika sudah berkeluarga belum ada
data yang pasti, namun diperkirakan minimal dua sampai dengan tiga kali lipat
besar UMK tersebut. Jika diasumsikan sebesar rata-rata Rp.1,5 juta,- / bulan /
keluarga untuk biaya hidup minimal di Kota Semarang, sedangkan waktu
tempuh studi menjadi dokter spesialis rata-rata 5 tahun atau 60 bulan, maka
dana yang harus disediakan calon dokter spesialis minimal Rp. 90 juta,-.
Sedangkan biaya pendidikan lain misalnya untuk pembelian buku dan
penelitian dan lain-lain , sampai saat ini juga tidak ada data yang pasti, namun
diperkirakan rata-rata mencapai Rp. 400.000 ,- / bulan atau total sekitar Rp. 24
juta ,- per orang selama menempuh pendidikan dokter spesialis. Kondisi
tersebut masih belum memperhitungkan alokasi biaya untuk kebutuhan
rekreasi dan pengeluaran darurat jika sakit atau ada musibah lain selama masa
pendidikan 5 tahun , jika diasumsikan untuk kebutuhan lain-lain sekitar 10%
dari total biaya yang ada, maka rekapitulasi dari biaya minimal yang harus
ditanggung oleh seorang dokter spesialis jika masa studinya dianggap lancar
selama 5 tahun dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini :
Tabel 1 Perkiraan Investasi Biaya Pendidikan Calon Dokter Spesialis
Selama 5 tahun di FK UNDIP Semarang
No Item Biaya Estimasi Estimasi Unit Cost Estimasi Total
Waktu (Rp) Investasi (Rp)
1 SPP per semester 10 1.500.000 15.000.000
2 SPI minimal (resmi) - 25.000.000 25.000.000
3 Biaya buku & penelitian 60 400.000 24.000.000
rata-rata per bulan
4 Biaya hidup minimal 60 1.500.000 90.000.000
(sudah ber keluarga )
SUBTOTAL 154.000.000
5 Biaya tidak terduga/ lain-lain (10% dari total) 15.400.000
TOTAL 164.400.000
Sumber : Data primer yang diolah

2. Pendapatan calon dokter spesialis


Program pemerintah mengangkat dokter umum menjadi PNS melalui
Instruksi Presiden sejak tahun 1990 diganti dengan program Pegawai Tidak
Tetap (PTT) dengan struktur penggajian saat ini berkisar antara Rp. 1 juta /
bulan untuk penempatan di daerah biasa dan Rp. 1,5 juta,- untuk daerah
terpencil serta daerah sangat terpencil sebesar Rp.2 juta / bulan selama 3 tahun
masa kontrak. Peluang untuk mendapatkan sumber pendapatan diluar gaji
terutama melalui pelayanan praktek perorangan diluar jam kerja sangat
tergantung dengan kepintaran dokter tersebut, lokasi dan masyarakat diwilayah
puskesmas atau Rumah Sakit yang ditempati serta nasib baik dokter PTT
tersebut. Disamping itu karena jasa praktik dokter amta ditentukan oleh factor
kepercayaan dari masyarakat atau pasien yang relative membutuhkan waktu
yang panjang untuk mencapainya sedangkan masa kerja dokter PTT dipatok
hanya 3 tahun maka kondisi ini menyebabkan banyak dokter PTT yang kurang
berhasil dalam menambah pendapatan mereka melalui praktik pribadi.Hal ini
mengakibatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka cenderung hanya
mengandalakan dari gaji atau pendapatan lain misalnya dari dana proyek atau
program kesehatan yang sifatnya tidak rutin dan tidak pasti. Apabila
diasumsikan mereka mampu menutupi kebutuhan hidup selama 3 tahun masa
PTT dokter tersebut dari pendapatan lain selain gaji, sehigga mereka mampu
menabung seluruh gaji PTT selama 3 tahun maka total pendapatan yang
berhasil diterima hanya berkisar Rp. 36 juta sampai dengan Rp. 72 juta.
Padahal berdasarkan kebijakan dari penyelenggara pendidikan spesialis pada
umumnya melarang para calon dokter spesialis untuk praktik perorangan
selama periode tertentu masa pendidikan spesialis mereka. Kondisi ini
menyebabkan peluang meraih sumber pendapatan selama masa pendidikan
dokter spesialis praktis tidak ada, apalagi jadwal kegiatan pendidikan memang
cenderung sangat padat untuk kegiatan piket jaga di RS maupun untuk kegiatn
belajar mengajar lainnya.
Jika dilihat proporsi dalam kondisi normal antara jumlah pendapatan
berdasarkan skenario diatas dibandingkan dengan total biaya minimal yang
harus ditanggung oleh calon dokter spesialis tersebut , maka hampir dapat
dipastikan akan terjadi defisit yang sangat besar yaitu berkisar antara Rp. 82
juta ,- sampai dengan Rp. 118 juta ,- . Hal ini tentu berakibat langsung pada
minat para dokter PTT untuk melanjutkan pendidikan spesialis cenderung
sangat kecil.
3. Biaya / tarif jasa substitusi dari pendidikan dokter spesialis
Ketidak mampuan dokter PTT untuk melanjutkan pendidikan spesialisasi
(jalur pendidikan profesi) berdasarkan struktur pendapatan dan biaya yang
harus dikeluarkan tersebut memang akan berpengaruh secara nyata pada minat
mereka untuk memilih atau melanjutkan studi di luar pendidikan spesialisasi
yaitu jalur pendidikan akademik (S2 bidang kesehatan atau umum). Hal ini
dikaitkan dengan struktur biaya pendidikan non spesialis / akademik yang
relatif jauh lebih murah dan lebih cepat / mudah ditempuh walaupun dari sisi
penghargaan maupun jenjang karier jelas berbeda dengan karier dan
penghargaan jika menjadi seorang dokter spesialis yang lebih kearah
fungsional medis. Sebagai contoh perbandingan perkiuraan biaya pendidikan
jalur akademik S2 Kesehatan / Kedokteran di UNDIP saat ini adalah seperti
yang terlihat dalam tabel 2 berikut ini :
Tabel 1 Perkiraan Biaya Pendidikan S2 Kesehatan / Kedokteran
Selama 2 tahun di UNDIP Semarang
No Item Biaya Alokasi Unit Cost Total
Waktu (Rp) (Rp)
1 SPP per semester 4 1.500.000 6.000.000
2 SPI minimal (resmi) - 10.000.000 10.000.000
3 Biaya buku & penelitian 24 400.000 9.600.000
rata-rata per bulan
4 Biaya hidup minimal 24 1.500.000 36.000.000
(sudah ber keluarga )
SUBTOTAL 61.600.000
5 Biaya tidak terduga/ lain-lain (10% dari total) 6.160.000
TOTAL 67.760.000
Sumber : Data primer yang diolah

Dari perhitungan diatas jika dibandingakan dengan biaya pendidikan calon


dokter spesialis maka proporsi untuk pendidikan S2 Kesehatan / Kedokteran
hanya sebesar 40 % atau dengan kata lain biaya untuk meluluskan 1 orang
dokter spesialis adalah proporsional dengan biaya meluluskan 2 sampai 3 orang
S2 Kesehatan / Kedokteran di UNDIP. Meskipun relative jauh lebih murah
dibandingkan pendidikan dokter spesialis akan tetapi untuk dapat memilih
pendidikan jalur akademik S2 ternyata probabilitasnya juga masih
dipertanyakan disebabkan alokasi biaya untuk pendidikan S2 relatif masih
terjangkau namun dengan syarat masa tempuh pendidikannya tepat waktu dan
tidak semua dokter PTT memiliki kemampuan menabung sebesar Rp. 60 juta-
an ,- selama 3 tahun masa kontrak mereka. Pemilihan substitusi jenis
pendidikan ini tentu saja bukan hanya dipengaruhi kemampuan dari aspek
financial saja namun juga oleh keseuaian antara selera / minat dari para dokter
PTT dengan jenis / jalur pendidikan S2 yang disediakan oleh UNDIP.
Alternatif lain yang dianggap sebagai substitusi pendidikan dokter spesialis
adalah jalur pendidikan non formal melalui berbagai kursus dan pelatihan yang
dieselenggarakan oleh organisasi profesi atau pemerintah, namun kendala
untuk substitusi dari jenis pendidiikan ini adalah model pendidikan non formal
tersebut masih belum terselenggara secara sistematis dan kontinyu serta
terkadang diragukan mutunya karena belum ada lembaga yang diakui secara
nasional apalagi internasional yang memang berkompeten dan berwenang
untuk memberikan sertifikasi hasil model pendidikan ini. Disisi lain belum
pernah dilakukan kajian khusus terkait dengan bagaimana benefit – cost
analysis bagi dokter calon spesialis yang memilih model pendidikan non
formal tersebut, sehingga sulit diprediksi dampaknya bagi pengembangan
karier dan profesi mereka di masa mendatang.
4. Selera calon dokter spesialis / masyarakat.
Konsep terbentuknya selera calon dokter spesialis dipengaruhi oleh faktor
persepsi pribadi / subyektif calon tersebut, menurut pandangan mereka jenis
spesialiasisi tertentu dianggap favorit sehingga persaingannya lebih ketat
terutama yang termasuk bidang klinik: Penyakit Kebidanan & kandungan
(Obsgyn ), Interna ( Penyakit Dalam), Bedah Umum , Anak, Kulit & Kelamin,
Syaraf / Neurologi, Mata, Telinga Hidung Tenggorokan (THT), , Anesthesi
sedangkan yang relatif kurang diminati antara lain Radiologi, Forensik,
Rehabitasi Medik (termasuk bidang klinik), Patologi Klinik , Patologi Anatomi,
Miklobiologi dan Parasitologi (termasuk bidang preklinik). Asumsi yang
melandasi selera mereka dalam pemilihan jenis spesialisasi biasanya
berdasarkan atas minat yang terbentuk mungkin sejak saat menempuh
pendidikan dokter umum/ praktik ko-as, atau setelah melalui tahap pengalaman
praktik di lapangan yaitu selama mengikuti program PTT 3 tahun. Selain itu
juga kemungkinan karena factor peluang dan formasi kebutuhan tenaga
spesialis tertentu yang masih sangat dibutuhkan oleh sarana pelayanan
pemerintah atau masyarakat maupun oleh karena pengaruh dari keluarga /
orang tua yang berprofesi dan/ memiliki sarana pelayanan kesehatan
spesialistik tertentu.
5. Kebijakan ekonomi dan/ pendidikan dari pemerintah
Pemberian subsidi yang diterapkan dalam pembiayan pendidikan oleh
pemerintah saat ini hanya memprioritaskan untuk pendidikan dasar melalui
konsep wajib belajar 9 tahun , subsidi yang terbatas ini disebabkan oleh
kemampuan keuangan negara yang sangat kurang serta komitmen yang lemah
dalam mengalokasikan APBN maupun APBD untuk pembiayaan sektor
pendidikan yang seharusnya berdasarkan UU Sistem Pendikan Nasional No 20
Tahun 2003 telah secara tegas mengamanatkan batas minimal alokasi
anggaran pendidikan sebesar 20%,6) namun pada kenyataannya sampai
sekarang belum dapat direalisasikan dengan berbagai pertimbangan dan alasan
baik dari pemerintah pusat melalui APBN maupun pemerintah daerah melalui
APBD.
Apabila menggunakan pendekatan politk ekonomi maka sebenarnya sector
pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab negara karena termasuk dalam
kategori public goods yang orientasi utamanya adalah not for profit karena
pendididkan sudah dinyatakan sebagai hak azasi dari warga negara dan
kewajiban azasi negara untuk dapat mencerdasakan kehidupan bangsa ( seperti
yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945) melalui komitmen penuh untuk
mendukung pembiayaan pendidikan yang semakin terjangkau, merata dan
berupaya sekuat tenaga untuk melindungi kepentingan masyarkat agar
mendapatkan mutu pendidikan yang terbaik untuk mereka.
Disisi lain kebijakan pemerintah bagi tenaga dokter khususnya dan tenaga
kesehatan pada umumnya terkait dengan rekrutmen PNS sampai saat ini tetap
dipertahankan menggunakan model “ zero growth minus” sehingga berdampak
pada kebijakan pendidikan dokter spesialis yang tetap terbagi menjadi jalur
kedinasan / dibiayai oleh instansi tertentu (pemerintah atau swasta) dan jalur
biaya sendiri / mandiri. Dalam rangka antisipasi berlakunya peraturan untuk
menjadikan PTN menjadi BHMN termasuk di UNDIP maka disusun suatu
format pembiayaan dalam pendidikan yang digariskan yaitu untuk jalur
kedinasan dari pemerintah maka subsidi pendidikan dari pemerintah tetap
dipergunakan seperti yang ditetapkan sesuai peraturan, sedang jalur kedinasan
dari swasta maupun jalur pribadi subsidi biaya pendidikan pemerintah akan
dibatasi seminimal mungkin bahkan ditiadakan sama sekali. Sampai saat ini
belum ada data yang pasti mengenai besar subsidi pemerintah bagi pendidikan
dokter spesialis, sehingga kebijakan pencabutan subsidi dan sekaligus
kompensasi yang harus ditanggung oleh calon dokter spesialis yang melalui
jalur kedinasan dari swasta maupun jalur biaya sendiri menjadi tidak jelas, dan
akhirnya diserahkan kepada masing –masing bagian atau fakultas. Kondisi ini
yang mungkin menyebabkan munculnya fenomena komersialisasi yang
cenderung tidak masuk akal dan sulit dikontrol baik oleh masyarakat maupun
oleh pemerintah khususnya dalam penetapan biaya pendidikan dokter spesialis.

6. Harapan akan perubahan tarif/ biaya pendidikan dokter spesialis


Saat ini sudah mulai muncul berbagai protes dan keluhan berasal dari
mahasiswa terutama di 4 buah PTN yang dijadikan model penerapan kebijakan
BHMN akibat melambungnya biaya pendidikan dimasing-masing PTN
tersebut. Disisi lain para pengelola PTN yang belum mengikuti jejak termasuk
di UNDIP diberitakan juga cenderung menolak kebijakan BHMN di institusi
mereka karena berbagai alasan yang menunjukkan kekurang siapan mereka jika
harus berubah menjadi BHMN, salah satunya adalah kekhawatiran terjadinya
lonjakan biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh mahasiswa.
Kebijakan BHMN seharusnya menuntut penyelenggara pendidikan di PTN
lebih kreatif menggali sumber dana dari berbagai aktivitas dan kerjasama
dengan piahk diluar PTN karena mereka telah diberikan otonomi luas untuk
mengelola aspek keuangan dan aspek operasional lain dan ternyata masih
mendapatkan subsidi pembiayaan bagi pos penggajian bagi PNS yang ada di
PTN tersebut. Namun pada kenyataannya strategi yang umumnya dilakukan
oleh pengelola PTN cecnderung mengambil jalan pintas yang paling mudah
yaitu dengan jalan membebankan biaya yang muncul akibat penghilangan
subsidi pemerintah langsung kepada masyarakat melalui kenaikan biaya
pendidikan (SPP dan SPI) yang cenderung makin lama makin besar.
Dengan demikian harapan akan perubahan tarif / biaya pendidikan di
UNDIP terutama pendidikan dokter spesialis meskipun masih terbuka akan
tetapi terkesan masih sulit dan membutuhkan proses yang panjang karena
terkait dengan kemampuan dan kreatifitas pengelola PTN untuk menggali
sumber dana baru diluar alokasi yang berasal dari sumbangan masyarkat /
mahasiswa serta kemungkinan munculnya kesediaan pemerintah untuk
merevisi kebijakan tentang BHMN yang sebagai konsekuensinya pemerintah
harus tetap mengalokasi dana susbidi yang besar di sector pendidikan tinggi,
sedangkan disisi lain kondisi keuangan negara masih mengalami defisit yang
amat besar akibat krisis nasional yang berkepanjangan sejak tahun 1997
sampai sekarang.
7. Faktor-faktor non ekonomi (politik, sosial, budaya, demografi, kesehatan dan
lain sebagainya )
Dampak dari berbagai transisi yang terjadi sekarang ini yaitu meliputi :
o Transisi demografi dimana strukur masyarakat yang berubah dengan
komposisi golongan usia produktif semakin banyak , pola pertambahan
penduduk yang cenderung masih tinggi ,dan umur harapan hidup yang
semakin panjang serta adanya mobilitas penduduk yang semakin tinggi
akibat kemajuan transportasi
o Transisi epidemiologi yaitu perubahan pola penyakit yang ditandai dengan
munculnya kembali penyakit yang dahulu sudah hilang, semakin
banyaknya penyakit kronis dan degeneratif akibat perubahan gaya hidup
o Kemajuan IPTEK kesehatan dan pendidikan yang mempengaruhi
perubahan pola needs dan demands masyarakat terhadap jasa pendidikan
dan pelayanan kesehatan yang cenderung semakin spesialistik
o Transisi penjaminan mutu akibat memasuki era perdagangan bebas dan
globalisasi termasuk dampaknya terhadap industri pendidikan dan
kesehatan yang harus berkompetisi secara langsung dengan mutu industri
dari asing.
Akibat lebih lanjut dari beberapa transisi yang terjadi di masyarakat
maupun dunia pendidikan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran baik dari
pihak masyarakat sebagai konsumen pendidikan maupun penyelenggara
pendidikan baik milik swasta nasional maupun pemerintah. Kehhawatiran yang
berasal dari pihak masyarakat antara lain berupa semakin mahalnya baiaya
pendidikan dan semakin sulitnya mendapatkan manfaaat yang seimbang
/memadai terutama setelah lulus pendidikan sesuai dengan jumlah investasi
yang harus dikeluarkan selama menempuh pendidikan tersebut.
Sedangkan kekhawatiran dari pihak penyelenggara pendidikan umumnya
terkait dengan upaya untuk bertahan hidup menghadapi persaingan dalam
aspek mutu maupun efisiensi pembiayaan terutama dengan industri pendidikan
yang dikelola secara professional dari negara asing karena mereka relative
lebih kuat dalam aspek permodalan dan teknologi serta kualitas sumber daya
manusia. Dipihak lain kewenangan pemerintah untuk memproteksi industri
pendidikan secara otomatis akan semakin tidak efektif selain karena
konsekuensi akibat adanya kebijakan perdagangan bebas yang telah
ditandatangani oleh pemerintah dengan organisasi internasional maupun karena
berbagai kendala dan keterbatasan sumber daya (man , money, methode/
manajemen di departemen pendidikan nasional) dalam rangka mendukung
kesiapan industri pendidikan nasional memasuki globalisasi dan era
perdagangan bebas tersebut.
PENUTUP
Kebijakan biaya pendidikan dokter spesialis di FK UNDIP sebagai bagian
dari kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan maupun sektor kesehatan serta
terkait dengan munculnya transisi demografi, transisi epidemiologi, transisi karena
kemajuan IPTEK pendidikan dan kesehatan, transisi karena globalisasi dan era
perdagangan bebas menyebabkan peningkatan biaya yang akhir-akhir ini dirasakan
semakin tidak masuk akal dan memberatkan bagi masyarakat. Dipihak lain posisi
tawar masyarakat sendiri cenderung masih sangat lemah disebabkan oleh
fenomena consumer’s ignorance dan supply induced demands serta ability to pay
yang relatif rendah meskipun willingness to pay mereka cukup tinggi . Hal ini
diakibatkan struktur dan peluang untuk memperoleh pendapatan yang masih
terbatas terkait dengan kebijakan zero growth minus , sehingga mengakibatkan
mereka semakin tidak memiliki akses yang memadai untuk memilih dan
melanjutkan pendidikan tinggi khususnya pendidikan dokter spesialis, sedangkan
fungsi kontrol baik dari masyarakat maupun pemerintah terhadap makin
meningkatnya biaya pendidikan dokter spesialis cenderung makin tidak efektif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Simamora Bilson, Membongkar Kotak Hitam Konsumen, Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta, 2003

2. Kotler, Philip. Manajemen Pemasaran Edisi Milenium, Prenhallindo,Jakarta,


2002

3. Peter Paul J & Jerry C, Olson, Consumer Behavior, Perilaku Konsumen dan
Strategi Pemasaran, Jilid 2, Ed. 4, Erlangga,Jakarta,1996

4. Perhimpunan Peminat Ekonomi Kesehatan Indonesia, Proceedings Lokakarya


Ekomomi Kesehatan, Perumusan dan Aplikasi Ilmu Ekonomi Kesehatan
Indonesia, Cimacan, 1989

5. Partadiredja Ace, Pengantar Ekonomika , BPFE, Jogyakarta, 1994

6. Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional, CV. Duta Nusindo, Semarang, 2003

You might also like