You are on page 1of 3

Perekonomian Jepang dan Kerjasama dengan Negara Dunia ketiga

Pasca kekalahan Jepang pada Perang Dunia II infrastruktur Jepang mengalami kehancuran tak terkecuali pada bidang perekonomiannya. Untuk memperbaiki keruntuhan perekonomiannya Jepang mulai menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat yang ditandai bergabungnya Jepang dalam sistem Bretton Woods.

Bretton Woods merupakan sebuah sistem perekonomian bentukan Amerika Serikat untuk menaggulangi perekonomian negara-negara yang terlibat dalam PD II agar dapat bangkit kembali (pemulihan perekonomian pasca perang).

Kerjasama tersebut mulai membuahkan hasil sehingga pada tahun 1990 perekonomian Jepang mulai membaik jika dibandingkan dengan dua atau tiga dekade sebelumnya. Pada awal tahun 90an Jepang mulai membuka kembali kerjasama perekonomiannya dengan negara-negara lain hal ini menandai pulihnya liberalisasi perekonomian Jepang dibawah naungan AS.

Dengan

berkembang

pesatnya

perekonomian

Jepang

serta

adanya

liberalisasi

perekonomian, Jepang mulai bekerjasama dengan negara-negara berkembang. Salah satu kerjasama yang dilakukan Jepang dengan negara-negara berkembang adalah kerjasama Jepang dengan ASEAN, yang sudah dimulai sejak tahun 1970. Kerjasama tersebut meliputi sektor perdagangan, investasi dan ODA (Official Development Assistance). Bahkan, Jepang sampai dewasa ini masih sebagai penanam modal asing (Foreign Direct Investment/FDI) terbesar di Indonesia. Kerjasama ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan yang ada di antara negara-negara anggota ASEAN.

Dalam hal ini, Jepang juga membantu mengembangkan pembangunan malaysia dengan menjalin kerjasama ekonomi yang intens sehingga hal ini menjadikan Jepang sebagai salah satu negara penggerak perekonomian Malaysia pada tahun 1970an

Hubungan Jepang dengan ASEAN memang mengalami pasang surut. Salah satu surutnya terjadi ketika demonstrasi anti-Jepang di Thailand dan Jakarta pada 1974. Selain itu Jepang juga menjalin kerjasama dengan negara-negara berkembang di Amerika Latin.

Jepang dan Amerika Latin memiliki hubungan yang kuat berdasarkan sejarah migrasi orang Jepang. Orang Jepang mulai bermigrasi ke Amerika Latin pada akhir abad ke-19 dengan pelayaran yang dipimpin oleh Kasato Maru.

Dengan banyaknya warga keturunan Jepang yang menetap di Amerika Latin khusunya Brazil sehingga pada akhirnya Jepang memutuskan untuk membuka hubungan kerjasama ekonomi dengan Brazil.

Di Jepang sendiri, terdapat sekitar 300.000 orang Brazil yang bekerja di sana, yang diharapkan dengan aktivitas orang-orang tersebut dapat semakin memperkuat hubungan keduanya.

Hubungan resmi antara Jepang Brazil (hubungan diplomatik) dimulai pada November 1895 dengan ditandatanganinya Treaty of Amity, Commerce and Navigation Maksud dari investor Jepang menanamkan modalnya di Brazil adalah mencapai pasar regional yang lebih luas ; Pertama, dari Brazil, kemudian, ke negara-negara Amerika Selatan. Atau dengan kata lain,Jepang menjadikan Brazil sebagai pintu masuk perdagangannya ke Benua Amerika kemudian merambah ke Benua Eropa.

Beberapa produk yang menjadi komoditas ekspor antara kerjasama Jepang dan Brazil adalah berupa biji besi, produk logam, baja, kopi, ayam, kedelai. Sedangkan komoditas impornya meliputi mesin dan peralatannya, produk kimia, produk logam.

Adanya perjanjian kemitraan dalam mendukung perdagangan bebas antara Thailand dan juga Jepang yang saling bertukar barang pertanian serta baja untuk kepentingan produksi mobil di Thailand.

Jepang juga menjalin hubungan perdagangan dengan India, dalam rangka menghidupkan kembali ekonomi yang melemah dan dan menurunkan hambatan dalam perdagangan di negara negara Asia. Jepang merasa perlu membuka diri dalam rangka meningkatkan perekonomiannya setelah menurun selama sekitar 2 dekade terakhir.

Perjanjian Jepang dengan India yaitu dalam 10 tahun, Jepang akan menghapuskan tarif 97 % terhadap impor India, dan India akan menghapus 90 % tarif impor dari Jepang. Mereka akan saling bertukar akses pasar seperti kari, daun teh, kayu, udang, serta muffler mobil, kamera video, DVD Players, persik, stroberi serta pemanis Jepang.

Memasuki masa pasca gempa yang menimpa Jepang pada hari Jumat, 12 Maret silam serta adanya kebocoran nuklir dan masalah lain yang timbul, pasar bursa Jepang mengalami kekacauan di Nikkei.

Nilai mata uang Yen Jepang yang menguat malah mempersulit Jepang karena mempengaruhi keuntungan perusahaan Jepang dan barang yang menjadi lebih mahal. Biaya rekonstruksi yang akan dibutuhkan Jepang untuk memulihkan kembali keadaan negaranya sekitar $180Triliun yang 50 % dari yang dibutuhkan setelah gempa Kobe pada 1995 dan tentu akan mempengaruhi angka produk domestik bruto Jepang, serta produksi yang pasti menurun akibat kejadian ini.

Bank Sentral Jepang (BOJ) mengucurkan 15 triliun yen (US$ 182 miliar) kepada sistem keuangan negara itu pada Senin dan menggandakan skema pembelian aset untuk menahan ekonomi Jepang pascagempa dan tsunami.

Banyak sekali perusahaan perusahaan raksasa Jepang yang harus dalam sementara waktu menghentikan produksinya atau menutup beberapa pabriknya dikarenakan kerusakan yang menimpa Jepang.

Investasi dan permasalahan ekspor atau impor antara Jepang dengan Indonesia pasca gempa ini akan terganggu karena walaupun Jepang sebisa mungkin memulihkan keadaannya, Jepang akan sibuk dalam usaha memulihkan keadaan negaranya.

You might also like