You are on page 1of 43

1

ASPEK METODOLOGI
DALAM PENELITIAN ERGONOMI




Oleh
Dr. Drs. I Made Gede Arimbawa, M.Sn










PROGRAM STUDI KRIYA SENI
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR
2011
2

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i
DAFTAR ISI ... ii
I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
II PEMBAHASAN........................................ 1
2.1 Tahap Diagnosis dalam Penelitian Ergonomi..... 1
2.2 Tahap Treatment dalam Penelitian Ergonomi ................ 25
2.3 Tahap Follow-up dalam Penelitian Ergonomi ..................................... 35
III PENUTUP........................................................................................................ 36
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 37






















3


ASPEK-ASPEK METODOLOGI
DALAM PENELITIAN ERGONOMI


I PENDAHULUAN
Istilah ergonomi berasal dari bahasa Yunani: ergein artinya bekerja dan terdiri dari
dua kata, yaitu: ergos yang berarti kerja dan nomos berarti hukum alam (natural law),
sehingga ergonomi berarti peraturan atau tata cara kerja yang alamiah (Hafid, 2002;
Shadily, 1990). Menurut Manuaba (1992) ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni yang
berupaya menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan
dan batasan manusia untuk terujudnya kondisi lingkungan kerja yang sehat, aman,
nyaman dan efisien yang setinggi-tingginya. Batasan ini senada dengan yang disampaikan
oleh Bridger (1995) dan Phesant (1991) bahwa ergonomi mempelajari tentang manusia
baik sosok fisik sosio psikologis dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Ergonomi terkait dengan industri juga disebut human engineering atau
applied/industrial ergonomic, karena banyak hal yang dihubungkan dengan aplikasi data
maupun pertimbangan faktor manusia (human factors engineering) dalam proses
perancangan, modifikasi dan evaluasi dari produk (peralatan atau fasilitas) yang
digunakan dalam sebuah sistem kerja (Wignjosoebroto, 2006, Moroney, 1995).
Dari pengertian tersebut, maka ergonomi adalah merupakan ilmu yang multi
disiplin, sehingga dalam penelitian ergonomi terdapat banyak faktor yang terkait dan
berpengaruh, oleh sebab itu permasalahan yang dihadapi tidak dapat dipecahkan secara
parsial, melainkan harus dipecahkan secara komprehensif dengan memper-hitungkan
sebanyak mungkin faktor atau variabel yang berpengaruh. Terkait dengan hal tersebut,
maka dalam penelitian ergonomi dimungkinkan untuk menerapkan berbagai metode
penelitian yang terkait untuk mencapai tujuan penelitian. Hal ini sesuai dengan strategi
gabungan atau triangulation strategies artinya pemecahan masalah dengan memadukan
beberapa metode secara sekaligus (Axelsson, 2000). Dengan cara ini pemecahan masalah
ergonomi dapat lebih menyeluruh dan dapat memenuhi kebutuhan semua pihak,
manusiawi, competitif serta berkesinambungan.

II PEMBAHASAN
Secara garis besarnya metodologi ergonomi terdiri dari tiga tahap proses dasar
penelitian dan perancangan (Depkes RI. 2006), yaitu: (1) tahap diagnosis; (2) tahap
penentuan perlakuan atau treatment dalam bentuk intervensi ergonomi, dan (3) Follow-up.
2.1 Tahap Diagnosis dalam Penelitian Ergonomi
Dalam penelitian ergonomi, pelaksanaan tahap diagnosis atau dalam pengumpulan
data agar efektif dan tearah, maka perlu berpedoman pada delapan aspek ergonomi,
yaitu: data yang berkaitan dengan gizi, aplikasi tenaga otot, posisi tubuh, lingkungan kerja,
kondisi berhubungan dengan waktu, kondisi sosial-budaya, kondisi informasi dan
interaksi manusia/mesin.
4

Sehubungan dengan hal tersebut, maka beberapa metode pengumpulan data
tentang manusia kerja diarahkan mengenai struktur tubuh, fungsi, pemaanfaatan perilaku
dan kondisi lingkungan kerja. Seperti metode wawancara dengan pekerja, metode
observasi tempat kerja, paralatan kerja dan sikap kerja, metode checklist yang lebih
menekankan pada kesan, metode pengukuran fisik pekerja (subjektif dan objektif), dan
metode pengukuran lingkungan kerja.
Dari beberapa metode yang digunakan dalam diagnosis tersebut ada beberapa jenis
data yang akan diperoleh. Berdasarkan sumber data dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok yaitu data primer dan data sekunder, sedangkan berdasarkan sifatnya data yang
akan diperoleh adalah data subjektif dan data obyektif dan berdasarkan kontinum data
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu data kualitatif dan kuantitatif.
a) Metode Wawancara
Metode wawancara merupakan suatu rangkaian kesatuan dari beberapa
pertanyaan. Wawancara berbeda dengan pertanyaan seperti pada kuesioner. Wawancara
bertujuan untuk mengurangi kekakuan dalam sebuah pertanyaan untuk mendapatkan
jawaban yang lebih dapat diterima. Seorang pewawancara harus lebih bijaksana dan
fleksibel dalam mengajukan pertanyaan untuk menggali informasi (Wilson and Corlet,
1990).
Dalam ergonomi metode tersebut dilakukan untuk mengetahui informasi
mengenai kondisi kerja sebelum dan sesudah perbaikan yang diperoleh dari para pekerja.
Data ini dapat dipakai sebagai salah satu dasar analisis, sintesa dan evaluasi. Data yang
diperoleh dari wawancara dapat berupa data primer, kualitatif dan subyektif.
Metode kuesioner pada umumnya menggunakan dua jenis metode yaitu metode
ranking dan rating dan lebih baik dari jenis yang lain. Kuesioner sering dibuat pertanyaan
secara tetap dengan memberikan range yang tetap untuk tiap alternatif jawaban
b) Metode Observasi
Metode observasi dilakukan dengan pengamatan secara langsung pada suatu
sistem kerja dan datanya sangat diperlukan sebelum dilakukan intervensi atau analisis
lebih lanjut. Mengkombinasikan data yang sudah ada (arsip) seperti data kondisi kerja
dengan pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek (seperti tempat kerja,
peralatan kerja, sikap kerja dan lain-lain). Tujuan pengamatan langsung adalah untuk
mendapatkan data sebagai dasar untuk menentukan perbaikan yang sesuai dalam
menyelesaikan masalah.
Dalam melakukan penelitian perlu melakukan observasi awal untuk mengetahui
tata letak, deskripsi kerja dengan mengamati secara langsung untuk mencapai tujuan dan
hubungan sistem yang diteliti sebelum pengamatan formal dilakukan. Metode observasi
sangat berguna dalam mengumpulkan data yang tidak hanya data kuantitif (produk setiap
jam, cacat per produk dll) akan tetapi perlu mengumpulkan data kualitatif seperti urutan
produk, urutan tugas dan sebab-sebab kemacetan proses.
Pengumpulan data hasil observasi sebuah sistem perlu batasan yang jelas, karena
banyak kejadian yang ada cukup kompleks. Batasan tergantung bagaimana data tersebut
digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ada lima jenis informasi yang dapat
dikumpulkan dalam observasi tersebut antara lain (Wilson and Corlet, 1990) :
5

1) urutan aktivitas yaitu aktivitas yang mengikuti aktivitas lain yang dilakukan oleh
operator atau oleh produk yang diperoses ;
2) durasi aktivitas yaitu lama waktu aktivitas yang dilakukan ;
3) frekuensi aktivitas berupa frekuensi aktivitas sejenis atau mirip yang terjadi dalam
sistem
4) waktu tiap bagian yaitu waktu yang digunakan pada aktivitas khusus untuk tiap
bagian proses dalam suatu aktivitas ;
5) ruang gerak yaitu perpindahan unit kerja, operator dan mesin dari satu aktivitas
ke aktivitas lainnya selama hari kerja.
c) Metode Checklist
Checklist berisikan daftar beberapa item yang diisikan sesuai dengan situasi yang
ada, atau mencatat suatu kejadian dalam sistem kerja.
d) Metode Pengukuran Secara Subjektif dan Objektif
Sebelum melakukan pengukuran, beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai
justifikasi kemampuan alat ukur yang digunakan, baik untuk memperoleh data subjektif
maupun objektif yaitu (Kerlinger, 1969) :
1. Validitas
Apakah pengukuran tersebut memiliki hubungan langsung terhadap fenomena
yang terdapat pada hipotesis? Seperti: Apakah pengukuran denyut nadi merupakan
pengukuran yang valid untuk beban metabolisme ?. Kondisi ini akan valid jika
tidak ada tekanan panas, ketegangan otot statis dan tekanan emosional. Dengan
demikian secara teknis validitas merupakan korelasi antara variabel yang diukur
dengan fenomena yang di representasikan pada hipotesis.
2. Reliabilitas
Apakah pengukuran tersebut memberikan hasil yang konsisten ketika digunakan
secara berulang-ulang ?. Seperti: Apakah pengukuran denyut nadi yang berubah-
ubah menjadi pengukuran beban metabolisme yang dapat dipercaya?. Validitas
mempertanyakan seberapa baik sebuah pengukuran berhubungan dengan
fenomena eksternal, sedangkan reliabilitas mempertanyakan seberapa baik
pengukuran tersebut berhubungan dengan pengukuran itu sendiri.
3. Sensitivitas
Apakah pengukuran tersebut memberikan reaksi yang cukup baik terhadap
perubahan pada variabel bebas?. Dalam suatu pengukuran sangat mungkin
pengukuran yang dipilih valid dan reliabel akan tetapi tidak menunjukkan pengaruh
yang cukup besar terhadap variabel bebas. Oleh karena itu semua pengukuran
harus mengikuti tiga kriteria tersebut yaitu valid, reliabel dan sensitif.
Metode Pengukuran Secara Subyektif
Untuk aplikasi sebuah intervensi, maka diperlukan data atau informasi dan
pengetahuan agar penelitian dapat berjalan dengan lancar. Informasi yang diperlukan
tentunya sesuai dengan kebutuhan intervensi yang akan dilakukan tersebut. Dalam hal ini
6

informasi bisa didapat dari pengguna atau pekerja dan akan digunakan sebagai acuan
menentukan intervensi dan evaluasi.
Beberapa metode subjektif yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi
dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Wilson, et al, 1987):
a. Metode observasional:
1. Studi eksperimental terdiri dari :
a. eksperimen laboratorium ;
b. simulasi ; dan
c. eksperimen lapangan.
2. Studi observasional
b. Metode data base terdiri dari :
1. buku, jurnal, hasil penelitian ;
2. catatan dari sistem terdahulu ; dan
3. data dari para ahli
Metode pengukuran subjektif terdiri dari: (a) metode ranking ditekankan pada jenis
pertanyaan dan me-ranking dari yang terbaik sampai terburuk atau sebaliknya. Selanjutnya
responden disuruh untuk me-rangking dari awal sampai akhir dengan kriteria mudah
untuk dibaca sampai sukar dibaca dan (b) metode rating berkaitan dengan jenis
pertanyaan dan diberi skala pada tiap jenis pertanyaan. Skala yang digunakan
dikategorikan: sangat mudah, mudah sedang, sulit, dan sangat sulit. Metode yang umum
digunakan adalah :
1. metode dengan skala rating sederhana ;
2. teknik perbandingan berpasangan;
3. metode interval equel openning; dan
4. skala Likert
Data yang diperoleh dengan metode pengukuran subjektif adalah data yang
dikumpulkan berdasarkan sensasi dan perasaan yang dirasakan oleh subjek. Data ini tidak
dapat diukur seperti pada pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lain-lain. Data yang
dikumpulkan umumnya bersekala nominal dan ordinal (Daniel, 1999).
Ada beberapa data subjektif yang sering dipakai dalam kaitan dengan intervensi
ergonomi diperoleh dengan metode sebagai berikut:
a. Metode Pengukuran Keluhan Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal atau istilah lainnya Musculo Skeletal Disorders (MSDs) atau
Repetitive Strain Injuries(RSIs) atau Work-related Upper Extremity Disorders (UEDs) (Melhorn,
1996) adalah keluhan nyeri atau sakit yang dirasakan pada sistem otot rangka. Banyak
faktor penyebab terjadinya gangguan pada sistem muskuloskeletal, seperti: sikap kerja yang
buruk atau tidak alamiah yang dilakukan dalam waktu yang relatif lama (Chavalitsakulchai
dan Shahnavaz, 1993). Untuk mengukur lokasi dan intensitas keluhan tersebut didata
dengan menggunakan kuesioner Nordic Body Map (NBM) (lihat lampiran 1)yang
dimodifikasi dengan empat skala Likert (Fenety & Walker, 2002; Sutjana dan Sutajaya,
2000).
7

Selain menggunakan Nordic Body Map (NBM), keluhan muskuloskeletal juga dapat
diketahui dengan Rula (Rapid Upper Limb Assessment) (McAtamney and Corlett, 1993)
(lihat Gambar 1), yaitu suatu cara dalam ergonomi untuk mengetahui adanya keluhan
muskuloskeletal. Rula adalah suatu alat ukur untuk mengetahui biomekanik dan beban
yang diterima oleh keseluruhan tubuh. Rula dikhususkan untuk mengetahui keluhan
muskuloskeletal daerah leher, badan, anggota gerak atas, dan sangat sesuai untuk
pekerjaan-pekerjaan yang statis atau menetap, seperti misalnya pekerjaan pada komputer.
Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan Rula mengindikasikan tingkat intervensi yang
diperlukan untuk mengurangi adanya resiko keluhan muskuloskeletal.
Metode pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan Rula (Rapid Upper Limb
Assessment) dilakukan dengan mengadakan pengamatan mengenai gerakan badan pekerja
saat beraktivitas, mulai dari gerak anggota badan atas; lengan atas. Jika posisi lengan atas
seperti gambar 1, right upper arm (RUA - A), maka memiliki nilai 1; RUA-B = 2; RUA-C =
2; RUA D = 3; RUA E = 4, dan ditambahkan masing-masing dengan nilai 1, jika
pada saat bekerja bahu terangkat dan anggota gerak atas dibengkokkan. Serta nilai
dikurangi 1, jika pada saat bekerja lengan disangga.
Lengan bawah, jika posisi lengan bawah seperti Gambar 1 (right lower arm-A), maka
memiliki nilai 1, RLA-B = 1; RLA-C = 1 dan masing-masing ditambahkan dengan nilai 1,
jika pada saat bekerja lengan bawah mengambil benda secara menyilang, dan mengambil
benda di luar tubuh pekerja (RLA D)
Posisi tangan. Jika posisi tangan seperti Gambar 1 (right wrist A), maka nilai adalah
1, RW-B = 2; RW-C = 3; RW D = 3, ditambahkan dengan nilai 1, jika tangan
dibengkokkan ke kiri atau ke kanan (RW E)
Posisi putaran tangan. Jika tangan memutar benda masih dalam posisi normal nilai
1 (right wrist twist A), dan jika tangan memutar benda sampai mendekati batas maksimal
dari kemampuan tangan untuk memutar nailainya 2 (right wrist twist B).
Posisi leher. Jika posisi leher seperti pada Gambar 1 (neck A) nilai 1; neck B =
2; Neck C = 3; Neck D = 4. Leher berputar (neck twist), leher menekuk ke samping
(neck side bend), maka masing-masing ditambahkan dengan nilai 1
Posisi badan. Jika posisi badan tegak (trunk A) nilai 1; trunk B = 2; trunk C =
3 dan trunk D = 4, badan terpelintir dan miring ke samping (trunk side bend A/B),
maka masing-masing ditambahkan dengan nilai 1 (trunk twist A/B)
Posisi kaki. Jika posisi anggota gerak bawah berdiri dalam keadaan seimbang nilai 1
(legs A), jika posisi anggota gerak bawah berdiri tidak dalam keseimbangan (legs C).
Penggunaan tenaga otot. Gerakan cedrung statis atau gerakkan tersebut
berlangsung selama lebih dari satu menit, pengulangan lebih dari empat kali dalam satu
menit, maka nilai ditambahkan dengan 1
Sedangkan penilaian beban pada leher, badan dan kaki, ditampilkan pada tabel 1:

Tabel 1: Beban Yang Dilakukan Tubuh dan Waktu Pembebanan
0 1 2 3
< 2 kg dan hanya
sebentar
2 10 kg dan hanya
sebentar
2 10 kg menetap atau
berulang
> 10 kg terus-
menerus atau
8

berulang.
Setelah semua nilai tersebut terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah
memasukkan ke dalam suatu lembar nilai RULA Employee Assessment Worksheet (lihat
Tabel 2)
A B C D E F
Right Side:
R
i
g
h
t

U
p
p
e
r

A
r
m



























raised
is abducted
support-ing the
weight of the
arm
R
i
g
h
t

L
o
w
e
r

A
r
m



across the
midline of the
body or out to
the side

R
i
g
h
t

W
r
i
s
t






bent away
from
midline
R
i
g
h
t

W
r
i
s
t

T
w
i
s
t


F
o
r
c
e

&

L
o
a
d

f
o
r

t
h
e

R
i
g
h
t

h
a
n
d

s
i
d
e

SELECT ONLY ONE OF THESE:
or force
10kg intermittent load or force
-10kg repeated loads or


Muscle Use minute or repeated more than 4
times per minute

Left Side:
L
e
f
t

U
p
p
e
r

A
r
m




raised
is abducted
supporting the
weight of the
arm
L
e
f
t

L
o
w
e
r

A
r
m




across the
midline of the
body or out
to the side

L
e
f
t

W
r
i
s
t






bent away
from
midline
L
e
f
t

W
r
i
s
t

T
w
i
s
t



F
o
r
c
e

&

L
o
a
d

f
o
r

t
h
e

R
i
g
h
t

h
a
n
d

s
i
d
e

SELECT ONLY ONE OF THESE:
or force
10kg intermittent load or force
-10kg repeated loads or


9

Muscle Use ute or repeated more than 4
times per minute

N
e
c
k



N
e
c
k

T
w
i
s
t



N
e
c
k

S
i
d
e
-
b
e
n
d


T
r
u
n
k




T
r
u
n
k

T
w
i
s
t




T
r
u
n
k

S
i
d
e
-
b
e
n
d



L
e
g
s


Legs and feet
are well
supported
and in an
evenly
balanced
posture.

Legs and feet are
NOT evenly
balanced and
supported.

Force & Load for
the neck, trunk
and legs
SELECT ONLY ONE OF THESE:

10kg intermittent load or force
- 10kg or more
intermittent load or force
buildup
Muscle Use
4 times per minute

Gambar 1: Rula (Rapid Upper Limb Assessment)

b. Metode Pengukuran Kelelahan
Kelelahan menurut Ganong (2001) kelelahan adalah reaksi fungsional dari pusat
kesadaran, di korteks serebri yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonik, yaitu sistem
penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat terdapat
dalam talamus yang mampu menurunkan reaksi manusia dan cenderung menyebabkan
10

leleh dan ngantuk, sedangkan sistem penggerak terdapat pada famatio retikularis yang
dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk bekerja. Keadaan seseorang sangat
dipengaruhi oleh kedua sistem ini. Apabila sistem penghambat lebih kuat, maka tubuh
akan mengalami keadaan kelelahan. Demikian sebaliknya, apabila sistem aktivasi lebih
kuat maka tubuh akan terasa segar untuk bekerja (Grandjean, 1993). Kelelahan juga
diakibatkan tidak cukupnya ketersediaan nutrient energi yang diperlukan dari glikogen otot
atau glukosa darah. Mungkin juga akibat tidak berfungsi sistem energi secara optimal
akibat defisiensi nutrient lain seperti vitamin dan mineral. Kelelahan dapat diatasi secara
lebih efektif karena zat gizi cadangan dapat digunakan untuk kembali pada keadaan
homeostasis (Wolinsky, 1994).
Munculnya kelelahan secara ergonomis disebabkan oleh pekerjaan yang
monotone, kerja fisik yang berat, rentang waktu pekerjaan terlalu lama, mikroklimat yang
buruk, masalah mental, adanya penyakit, rasa sakit waktu bekerja dan kurang energi
(Manuaba, 1983
2
). Kelelahan juga dapat memunculkan gejala yang dikenal sebagai
burnout. Menurut (Greenberg dalam Sinungan 1987) bahwa burnout merupakan suatu
sindrom yang berisikan gejala-gejala kelelahan fisik, emosional dan mental, akibat dari
stress yang berkepanjangan, seperti: mudah marah, mudah tersinggung, frustasi, cepat
lelah, lari dari kenyataan, berdalih dan lain-lain.
Ditinjau dari sudut fisiologi adalah merupakan kelelahan otot, yaitu suatu keadaan
di mana otot mengalami gerakan atau aksi (tekanan, ketegangan dan tarikan) yang
berlebihan dalam waktu relatif lama, hal ini terlihat pada beberapa gejala tremor otot,
penurunan tenaga, gerak otot yang lambat dan koordinasi otot menurun. Penyebab
kelelahan otot dimungkinkan karena sikap kerja yang statis, sehingga aliran darah ke otot
terhambat, suplai oksigen dan glukosa menurun, terjadi penumpukan sisa metabolisme,
sehingga terjadi nyeri atau sakit (Manuaba, 1983
1
; Guyton, 1995).
Data tingkat kelelahan berupa keluhan subjektif yang dialami oleh pekerja setelah
melakukan pekerjaan diukur dengan menggunakan kuesioner 30 item self ranting test (skala
empat) (lihat lampiran 2). Kusioner ini telah mendapat rekomendasi dari Japan Association
Industrial Helth (JAIH) berupa daftar pertanyaan tentang gejala-gejala yang berhubungan
dengan kelelahan (Adiputra, 1998). Aplikasi kuesioner ini adalah dengan menanyakan
kepada para pekerja yang telah selasai melakukan pekerjaanya. Jawaban yang diberikan
bersifat subjektif dan diusahakan sesuai dengan yang dirasakannya. Jenis pertanyaan
dikelompokan menjadi tiga kelompok. Kelompok I (item 1- 10) mengenai adanya
pelemahan aktivitas. Kelompok II (item 11- 20) mengenai adanya penurunan motivasi,
dan Kelompok III (item 21- 30) mengenai adanya kelelahan fisik.
c. Metode Pengukuran Stress
Pengukuran stress yang relevan sebaiknya terfokus pada : (a) persepsi menyeluruh
seseorang pada situasi yang menimbulkan stress atau (b) pada berbagai macam elemen
proses penilaian, yaitu derajat tuntutan yang diterima, sumber daya pribadi, sifat dan
tingkat dukungan serta hambatan dalam penanganan yang diterima. Metode yang telah
dikembangkan untuk mengukur respon emosional pada kondisi yang penuh tekanan
salah satunya adalah stress arousal checklist (SACL).
SACL dikembangkan oleh Cox dan Mackay di Nottingham dengan
menggunakan teknik analitik faktor untuk mengukur kejiwaan. Checklist mereprentasikan
11

dari 30 tingkat kejiwaan yang relatif umum dengan mendeskripsikan perasaan mereka
saat itu. Model yang mendasari checklist ini sifatnya dua dimensional. Satu dimensi terkait
dengan perasaan tidak menyenangkan atau menyenangkan atau stress dan dimensi yang
lain berkaitan dengan rasa kantuk atau penuh semangat. Dan dimensi stress bisa
merefleksikan daya dukung lingkungan eksternal yang diterima, dengan demikian dimensi
stress dipengaruhi oleh aspek kognitif.
Metode Pengukuran Objektif.
Pengukuran secara objektif dilakukan dengan memgunakan alat-alat ukur dan data
yang diperoleh umumnya memiliki skala interval dan rasio (Daniel, 1999). Dalam
pengukuran ini instrumen yang digunakan harus sesuai dengan standar tertentu dan telah
diuji validitas serta reabilitasnya, sehingga dapat dipertanggung-jawabkan (Arikunto,
1998). Ada beberapa data objektif yang umum dikumpulkan untuk keperluan
penelitian ergonimi, yaitu:
a. Beban Kerja
Menurut Adiputra (1998), secara umum beban kerja dibedakan menjadi dua
kelompok besar yaitu:
1) external load = stressor adalah: beban kerja yang berasal dari pekerjaan yang sedang
dilakukan, yang mempunyai ciri khusus yang berlaku untuk semua orang. Yang
termasuk dalam external load ini adalah: task, organisasi dan lingkungan;
2) internal load atau functional load / strain adalah reaksi tubuh seseorang terhadap
suatu external load yang diberikan. Untuk mengetahui pengaruh external load,
dapat diukur melalui denyut nadi/jantung.
Menurut Rodahl (1989) beban kerja fisik yang terpapar pada tenaga kerja dapat
diukur secara objektif dengan cara:
a) pengukuran secara langsung kebutuhan energi yang diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut. Misalnya, dengan mengukur asupan oksigen
yang diperlukan selama bekerja dengan analisis ekspirasi;
b) secara tidak langsung dengan merekam denyut nadi selama kerja.
Denyut nadi merupakan respon fisiologis yang dapat dihitung secara praktis pada
saat ingin mengetahui beban kerja seseorang, karena untuk mengetahui jumlah denyut
nadi per menit cukup dilakukan dengan meraba pada radialis dengan teknik palpasi atau
dengan alat pulsemonitor. Parameter fisiologis dengan denyut nadi per menit tersebut lazim
digunakan sebagai indikator penilaian beban kerja karena: (1) proses pengukurannya
sederhana, (2) biaya murah dan (3) tidak terlalu banyak mengganggu pekerja.
Denyut nadi dapat digunakan untuk memprediksi atau sebagai indikator penilaian
beban kerja seseorang, yaitu dengan mengkonversikan pada tabel kategori beban kerja
menurut Christensen (1991) dengan menghitung frekuensi denyut nadi per menit, seperti
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3: Katagori Beban Kerja Dinilai dari Frekuensi Denyut Nadi Kerja
No Denyut Nadi Kerja (Denyut Per Menit) Katagori beban kerja
1. 60 70 Sangat ringan = Istirahat
12

2. 75 100 Ringan
3. 100 125 Sedang
4. 125 150 Berat
5. 150 175 Sangat berat
6. 175 < Ekstrim
Sumber: Christensen (1991)
1. Metode Pengukuran Denyut Nadi
a) Metode Palpasi
Cara untuk mengetahui denyut nadi dengan metode palpasi dilakukan dengan
diraba di tempat-tempat tertentu pada permukaan kulit, misalnya: (a) pada pergelangan
tangan di bagian depan sebelah atas pangkal ibu jari (arteri radialis); (b) pada leher sebelah
kiri atau kanan di depan otot sterno cleido mastoideus (arteri carolis); (c) pada dada
sebelah kiri, tepat di apex jantung (arteri temperalis); (d) pada pelipis. Cara menghitung
denyut nadi secara manual dengan teknik palpasi dapat dilakukan dengan cara: (a) denyut
nadi dihitung selama 6 detik; hasilnya dikalikan 10; (b) denyut nadi dihitung selama 10
detik; hasilnya dikalikan 6; (c) denyut nadi dihitung selama 15 detik; hasilnya dikalikan 4;
(d) denyut nadi dihitung selama 30 detik; hasilnya dikalikan 2.
Metode palpasi yang lazim digunakan dalam ergonomi adalah dengan sepuluh
denyut atau ten pulses method. Metode ini dapat dilakukan selama bekerja atau pada akhir
bekerja selama 30 detik dan hasilnya dikalikan dua dan metode ini dapat dipakai untuk
menggambarkan denyut nadi kerja. (Astrand, et al. 1986; Adiputra, 2002).
Cara menghitung adalah dengan menggunakan stopwatch, berapa lama waktu yang
diperlukan mulai denyut yang dirasakan pertama sampai denyut nadi kesebelas dan
hasilnya dihitung dalam detik.
Misalnya: lama waktu 10 denyut = 6 detik, maka denyut nadi per menit
=
10
6
60
X
denyut = 100 denyut.........................................................................................(1)
Prosedur Kerja
1. Suruh orang coba atau subjek penelitian untuk duduk tenang selama 2- 3 menit
2. Ukur denyut nadi orang coba dengan meraba arteri radialisnya. Hitung jumlah
denyut selama 1 menit.
3. Lakukan percobaan 2 dengan menghitung 15 detik pertama (dikalikan 4), 30
detik pertama (dikalikan 2). Dibandingkan hasilnya.
4. Lakukan pengukuran denyut nadi dengan metode 10 denyut yaitu menghitung
lamanya waktu yang dipergunakan untuk 10 denyut.
b) Metode Pulsemeter
Metode lain untuk pengukuran denyut nadi juga dapat dilakukan dengan
menggunakan alat yang disebut pulse meter. Ada beberapa jenis, seperti pulse meter
dengan pegas dengan angka dan pulse meter dengan alat elektronik. Pulse meter dengan
pegas jarumnya akan menunjukkan simpangan ke kiri dan ke kanan. Kalau sudah
menunjuk satu angka maka angka itulah sebagai denyut jantung per menitnya. Sedangkan
13

pulse meter dengan alat elektronik atau pulsemonitor (lihat pada Gambar 2), angka yang
terlihat pada layar display langsung menunjukkan denyut jantung per menitnya, sehingga
pemeriksa tinggal membacanya saja. Sensornya biasanya dilekatkan pada daun telinga
atau pada ujung telunjuk (Andersen,at al., 1978; Depdiknas, 2004). Dengan cara ini
denyut jantung dapat ditunjukkan sampai dengan angka ganjil seperti 111 atau 121 per
menit.

Gambar 2: Foto Alat Pengukur Denyut Nadi
Pulsemonitor

Gambar 3: Foto Stop watch digital
merk Citizen
c) Metode Auskultasi
Metode ini menggunakan stetoskop (alat dengar) untuk mendengarkan denyutan
jantung. Tinggal menghitung berapa denyut dalam waktu 5 detik, atau 10 detik atau
dalam 15 detik. Hasilnya dikalikan dengan 12, 6 atau 4 seperti di atas sesuai dengan
lamanya mendengarkan detikan tadi. Cara ini baik dipakai bila subjeknya diam tidak
bergerak (Andersen, 1978; Astrand and Rodahl, 1986). Hasil perhitungan denyut jantung
per menit selalu dalam angka genap; hal itu merupakan kekurangan sistem palpasi dan
auskultasi.
d) Metode elektrokardiografi
Metode ini dengan menggunakan alat elektrokardiograf (EKG) grafik aktivitas
listrik jantung, dapat direkam. Dari rekaman gambar listrik jantung tersebut
(elektrokardiogram) dihitung berapa denyut jantung per menit. Alat EKG tentu mahal
harganya dan menjadi sangat tidak praktis di lapangan (Astrand and Rodahl, 1986).
Untuk subjek bergerak hal ini tidak bisa dilakukan. Metode ini sangat populer di bidang
kesehatan, untuk evaluasi penderita di ruang bangsal/perawatan.
e) Metode dengan EKG Tanpa Kabel
Metode tersebut dengan menggunakan alat sensor yang dipasang di dada, lalu
secara telemetri rekaman dapat diterima oleh penerima dan langsung digambar listrik
jantungnya. Kembali hasil dapat dihitung. Dengan alat tersebut subjek yang sedang
bergerak aktif dapat dimonitor dari jauh tanpa mengintervensi gerakan yang sedang
dilakukan (Andersen, 1978).
f) Metode dengan Sport tester
Metode tersebut mengunakan alat perekam yang dipasang di dada, kemudian hasil
rekaman seluruh denyut jantung dapat ditampilkan pada layar monitor komputer
(Andersen, 1978). Hasil direkam ini akan diproses secara komputer, seperti: dapat
ditampilkan dalam bentuk grafik atau perhitungan statistik lainnya. Di samping itu
14

dengan cara ini dapat dihitung denyut jantung pada saat tertentu, misalnya jam kerja ke-3.
Cuma metode ini sebaiknya disertai dengan time and motion study (Wilson and Corlett,
1990), untuk dapat menjelaskan seandainya terjadi perubahan atau lonjakkan denyut
jantung yang mencurigakan.
Data denyut nadi yang perlu diketahui terkait dengan beban kerja adalah:
1) Denyut nadi istirahat atau denyut nadi pada waktu tidak bekerja. Disebut sebagai
denyut nadi istirahat, karena pengukuran dilakukan pada subjek dalam keadaan
istirahat. Pada orang dewasa normal, denyut nadi saat istirahat berkisar antara 60 -
80 denyut setiap menit. Dalam suatu penelitian yang memakai denyut nadi
sebagai salah satu indikator beban kerja, maka denyut nadi istirahat dianggap
sebagai kondisi yang menggambarkan kondisi awal subjek (Adiputra, 2002).
Denyut nadi istirahat dihitung berdasarkan denyut nadi radialis di pergelangan
tangan kiri dengan metode sepuluh denyut. Metode pengukuran dilakukan tiga
kali berturut-turut dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih konstan.
Subjek yang akan diukur diusahakan dalam keadaan tenang. Pada saat dilakukan
palpasi, posisi subjek boleh duduk, berdiri atau dalam posisi terlentang (Andersen,
1978; Adiputra, 2002).
2) Denyut nadi kerja (nadi saat kerja fisik) yaitu denyut nadi yang diukur pada saat
subjek sedang melaksanakan pekerjaan. Kecepatan denyut nadi yang terjadi saat
bekerja adalah sebagai akibat dari kecepatan dari metabolisme dalam tubuh
(Grandjean, 1988; Adiputra, 2002). Penghitungan denyut nadi kerja dilaksanakan
selama kerja, apabila alat pengukur memungkinkan, jika tidak, maka
penghitungan dapat dilakukan setiap lima menit, tiga puluh menit atau bahkan
setiap satu jam sejak mulai kerja sampai akhir kerja, tergantung dari jenis
pekerjaan yang dilakukan. Pengukuran dengan menggunakan metode sepuluh
denyut (ten pulses method) (stopwatch ditekan start saat denyutan satu dan ditekan stop
pada denyutan ke sebelas) dapat dilakukan selama bekerja atau pada akhir bekerja
selama 30 detik dan hasilnya dikalikan dua dan metode ini lazim dipakai untuk
menggambarkan denyut nadi kerja. (Astrand and Rodahl,1986; Adiputra, 2002).
3) Denyut nadi pemulihan atau recovery heart rate yaitu denyut nadi yang dialami saat
pekerja selesai melaksanakan pekerjaannya. Beban kerja yang diterima pekerja
saat bekerja dapat pula diketahui dengan mengukur denyut nadi pemulihan.
Ketika mulai berhenti bekerja, maka saat itu denyut nadi akan mulai mengalami
penurunan denyut nadinya sampai kembali ke kondisi awal (sebelum bekerja)
kondisi denyut nadi tersebut disebut nadi pemulihan (Grandjean, 1988; Adiputra,
2002). Denyut nadi pemulihan biasanya diukur satu menit setelah pekerjaan
dihentikan, kemudian dilanjutkan lagi pada menit kedua, ketiga, keempat dan
kelima, masing-masing dihitung berdasarkan denyut nadi radialis dipergelangan
tangan kiri dalam 30 detik dan hasilnya dikalikan dua yang dilakukan setelah
selesai bekerja. Denyut nadi pemulihan memberikan fakta tentang perubahan
metabolisme tubuh dari keadaan aktif ke kondisi istirahat (Kilbom, 1990;
Adiputra, 2002)
Cara lain untuk mengetahui external load adalah dengan metode Brouha (Kilbom,
1990; Intaranont dan Vanwonterghem, 1993) yang dilaksanakan dengan cara mengukur
denyut nadi istirahat dan denyut nadi pemulihan yang diukur sesaat setelah selesai bekerja
15

sebanyak lima kali (P1, P2, P3, P4 dan P5) dan masing-masing diukur dalam 30 detik dan
hasilnya dikalikan dua, dengan cara ini dapat diketahui pengaruh lingkungan terhadap
tubuh dan simpanan panas dalam tubuh (Adiputra,1998):
a) extra cardiac pulse due to metabolism (ECPM);
b) extra cardiac pulse due to heat transfer to periphery (ECPT)
dengan rumus sebagai berikut:
) 2 ..( .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... 0
3
5 4 3
P
P P P
ECPT
+ +
=

( )
( )
) 3 ( .......... .......... .......... .......... .......... ..........
3
5 4 3
3 2 1
P P P
P P P ECPM
+ +
+ =
di mana:
P0 = denyut nadi istirahat;
P1 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-1 pada pemulihan
P2 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-2 pada pemulihan
P3 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-3 pada pemulihan
P4 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-4 pada pemulihan
P5 = denyut nadi per 30 detik dari menit ke-5 pada pemulihan
Dari hasil perhitungan dengan rumus tersebut dapat diketahui:
a) ECPT=ECPM, maka berarti bahwa panas oleh faktor lingkungan memberikan
efek yang sama dengan panas oleh karena proses metabolisme yang dihasilkan
oleh panas tubuh;
b) ECPT >ECPM, maka berarti ada external load dari lingkungan kepada tubuh;
c) ECPM >ECPT, maka berarti memang proses metabolisme karena otot-otot aktif
yang lebih dominan.
Gambar 4: Indeks WBGT Dengan mengetahui nilai yang didapatkan dan
membandingkan dengan pedoman di atas, maka dapat diketahui ke arah mana upaya-
upaya perbaikan akan dilaksanakan. Sedangkan peningkatan denyut nadi istirahat ke
denyut nadi kerja yang diijinkan menurut Grandjean (1988) agar tercapainya kerja yang
bisa berlangsung 8 jam berkesinambungan adalah 35 denyut/menit (denyut nadi istirahat
dihitung pada saat duduk), sedangkan kalau denyut nadi istirahat dihitung pada saat
berdiri peningkatan yang diijinkan adalah 30 denyut/menit.
Selain itu berdasarkan denyut nadi pemulihan dapat pula diketahui beban kerja selama
melakukan pekerjaan antara lain:
1) penumpukan beban kerja berat dari hari kehari dalam waktu yang lama, sehingga
denyut jantung pemulihan lama tidak mencapai nilai istirahat. (Adiputra, 1998);
2) dengan mempergunakan metode Brouha (Wilson dan Corlet, 1990) denyut nadi
pemulihan yang dihitung sebanyak tiga kali (P1, P2 dan P3) dapat pula diketahui
hal-hal sebagai berikut:
16

a) jika P
1
- P
3
> 10, dan jika P1, P2 dan P3 semuanya berada di bawah 90, maka
nadi pemulihan adalah normal;
b) jika rerata P1 selama pengukuran < 110, dan P1 - P3 > 10, beban kerja tidak
berlebihan;
c) jika P1 - P3 < 10, dan jika P3 > 90, berarti beban kerja berlebihan.
Beban kerja dapat pula dinilai dengan menghitung cardiovascular load (%CVL)
dengan klasifikasi Vanwonterghem yang berdasarkan pada peningkatan denyut nadi kerja
dibandingkan dengan denyut nadi maksimum (220-umur) (Intaranont dan
Vanwonterghem, 1993), dengan rumus sebagai berikut:
( )
( )
) 4 ..( .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
8 max
100 %
HRr H Hr
HRr HRW
x CVL

=
HRW = rata-rata denyut nadi kerja
HRr = denyut nadi istirahat
Hr max 8H = denyut nadi maksimal yang diperbolehkan untuk 8 jam kerja {1/3.
(220-umur)}
Sedangkan untuk mengetahui beban kerja dipergunakan pedoman sebagai berikut:
00 - < 30%, tidak terdapat kelelahan dan tidak diperlukan tindakan tertentu (no particular
fatigue, no action requred. 30 - < 60%, perlu mendapat perhatian dan diperlukan
penghitungan terhadap lingkungan (attention level, improvement measurements advised). 60 - <
80%, perlu tindakan tertentu dalam kurun waktu tertentu (actions required on short term). 80
- < 100%, perlu tindakan segera (immediate actions required). > 100%, pekerjaan tidak
diperkenankan (no activity allowed)
Untuk memonitor external load yang bersumber dari suhu lingkungan dapat pula
dihitung dengan mempergunakan WBGT index (Wet Bulb Globe Temperature), yang aslinya
diperkenalkan oleh Yaglou dan Minard tahun 1957 (Crokford, 1981). Kemudian ISO
7243-1982 merekomendasikan bahwa, nilai WBGT dapat dihitung berdasarkan indeks
panas dasar baik di luar di bawah sinar matahari maupun di dalam ruangan, dengan
formula sebagai berikut(Persons, 1990; Intaranont dan Vanwonterghem, 1993) :
WBGT
outdoor
: 0,7 WB + 0,2 GT + 0,1 DB ........................................................................( 5)
atau :
WBGT
indoor
: 0,7 WB + 0,3 GT ............................................................................................( 6)

Dimana :
WB : suhu bola basah (natural wet bulb temperature)
GT : suhu bola hitam (black globe temperature)
DB : suhu bola kering (dry bulb temperature of ambient)
Metode pengukuran nilai WB, GT, dan DB dilakukan dengan sebuah peralatan
khusus yang dikenal dengan black globe yang dilengkapi dengan tiga sensor pembacaan
secara otomatis yaitu dry thermometer, wet thermometer dan globe temperature. DB atau dry-bulb
17

temperature diukur dengan sebuah dry thermometer yang diletakkan di dalam sebuah black
globe untuk mengetahui temperatur udara dan radiasi. WB atau wet bulb temperature diukur
dengan wet thermometer yang dilengkapi dengan sumbu basah untuk merespon kelembaban
udara dan pergerakan udara. Sedangkan GT atau globe temperature dapat dibaca dari
termometer yang ada di pusat lapisan hitam dengan diameter 15 cm. Indeks ideal untuk
para pekerja berat di lingkungan panas yang direkomendasikan oleh World Health
Organization (WHO) tidak boleh melebihi 38

C (100,4

F).
Dari hasil perhitungan tersebut, dengan berpedoman pada indek WBGT dapat diketahui
upaya-upaya yang harus dilaksanakan untuk tercapainya suatu kerja yang
berkesinambungan selama 8 jam. Gambar 4 berikut memperlihatkan tabel dari indek
WBGT : dan periode istirahat.
(Sumber: Crockford,1981)

Gambar 4: Indeks WBGT dan periode istirahat
(Sumber: Crockford (1981)


b. Metode Pengukuran Antropometri
Antropometri merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
mendesain alat-alat kerja atau tempat kerja, sebagai upaya untuk memperoleh kondisi
kerja yang enase (efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien) dan produktivitas kerja yang
maksimal (Sumamur,1995), Antropometri adalah cabang dari ilmu ergonomi yang
berkaitan dengan ukuran dimensi dan karakteristik tertentu dari tubuh manusia, seperti
volume, titik berat, dimensi dan massa (Cormick dan Sanders,1993). Antropometri
merupakan sistem pengukuran sifat fisik tubuh manusia, terutama mengenai dimensi
ukuran dan bentuk tubuh manusia (Bhattacharjee dan McGlothlin, 1996). Merupakan
18

ukuran dan proporsi tubuh manusia yang mempunyai manfaat praktis untuk
menentukan ukuran tempat duduk, meja kerja, jangkauan, genggaman, ruang gerak dan
batas-batas gerakan sendi dan sebagainya (Penero, and Zelnik, 1979).
Pemanfaatan data antropometri memungkinkan para perancang untuk
mengakomodasi kebutuhan yang diinginkan dari populasi potensial. Sumber perbedaan
antropometri dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : (1) umur ; (2) jenis kelamin ; (3) etnis
; (4) lingkungan geografi ; (5) tingkat sosial ; dan (6) jenis pekerjaan. Perbedaan
antropometri akan berpengaruh terhadap nilai rata-rata dan standar deviasi, yang akan
membedakan nilai persentil. Dimensi tubuh pria memiliki ukuran yang lebih besar
dibandingkan wanita, misalkan panjang lengan dan kaki, panjang dan besar tangan. Akan
tetapi untuk ukuran pinggul wanita memiliki ukuran yang lebih besar. Orang-orang
Eropa dan Amerika memiliki ukuran tubuh lebih tinggi. Orang Afrika memiliki bentuk
kaki yang lebih panjang. Sedangkan orang-orang timur memiliki ukuran kaki yang lebih
pendek.
Dimensi tubuh manusia yang beranekaragam dapat digunakan sebagai bahan
untuk melakukan penelitian, dengan fungsi perhitungan diketahui sebagai distribusi
normal. Johann Gauss (1777-1855), seorang ahli matematika dan psikologi Jerman
memusatkan perhatiannya kepada kerusakan fisik (cacat tubuh). Sir Francis Galton
(1822-1911) seorang ahli antropologi dan genetik asal Inggris mengemukakan model
matematika untuk menghitung distribusi normal dan karakteristik antropometri. Ada dua
parameter yang digunakan untuk menggam-barkan distribusi normal yaitu rerata dan
standar deviasi. Rerata adalah nilai rata-rata dari jumlah variabel distribusi normal yang
disebut juga sebagai persentil 50. Jika rerata dan standar deviasi dari variabel distribusi
normal diketahui, maka nilai persentil dapat dihitung, dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut (Clark, 1996) :

p x X P
p
= s ) (

p s x x X P x X P
p p
= s = s / ) ( / ) [( ) (
_
o

p z Z P
p
= s ) (

s x x z
p p
/ ) (
_
=
s z x x
p p
.
_
+ = .....................................................................................................................(7)

N
x
x
i
= .......................................................................................................................... ..(8)

1
(

=

N
x x
S
i
..........................................................................................................(9)
dengan :
Xp : Nilai persentil ke p
19

x : Nilai rata-rata
Zp : Nilai standar normal
S : Standar deviasi


Tabel 4 : Nilai standar normal (Zp)
Persentil kecil
Persentil 0,5 1 2,5 5 10 15 25
(p) 0,005 0,01 0,025 0,05 0,1 0,15 0,25
Zp -2,575 -2,327 -1,96 -1,645 -1,282 -0,675
Persentil besar
Persentil 75 85 90 95 97,5 99 99,5
(p) 0,75 0,85 0,9 0,95 0,975 0,99 0,995
Zp 0,675 1,282 1,645 1,96 2,327 2,575

Alat yang digunakan untuk mengukur disebut anthropometer, seperti Gambar 5:


Gambar 5: Foto Anthropometer Merk Toyota, Buatan Jepang
Secara sederhana ada beberapa data antropometri yang perlu diukur untuk
memperoleh kesuaian dengan peralatan yang digunakan (Sutajaya, 2006) seperti:
1) Tinggi siku. Ketentuan yang harus diperhatikan dalam pengukuran tinggi siku adalah:
a) Diukur dari tempat berpijak sampai tepi bawah siku (lihat Gambar 6).
b) Ukuran standarnya (pada persentil 5) adalah untuk pria 104,9 cm dan untuk
wanita 98,0 cm.
c) Dimanfaatkan sebagai tinggi meja atau tinggi bidang kerja.
20

d) Jika tidak sesuai antara tinggi bidang kerja dengan tinggi siku maka lengan
akan terangkat (terlalu tinggi), punggung akan membungkuk (jika terlalu
rendah), presisi atau power tidak terpenuhi.
e) Cara mengukur tinggi siku seperti Gambar 6
Menurut Grandjean (1998) bahwa dalam upaya merancang peralatan untuk
pekerjaan yang tergolong halus dan memerlukan ketelitian, maka tinggi bidang kerja
antara 5-10 cm di atas tinggi siku. Sedangkan untuk pekerjaan manual menggunakan
tangan, maka tinggi bidang kerja disarankan antara 10-15 cm di bawah siku, dan untuk
pekerjaan yang menggunakan berat badan untuk menekan, maka diperlukan bidang kerja
antara 15 - 40 cm lebih rendah dari tinggi siku berdiri.

(Sumber: Sutjana dan Sutajaya. 2000)
Gambar 5. Cara Mengukur Antropometri dalam Posisi Berdiri

Gambar 6 Cara Mengukur Tinggi Siku

Gambar 7 Cara Mengukur Jangkauan ke Depan
(Sumber: Sutjana dan Susila. 1997)
21

2) Jangkauan ke depan, ketentuan yang harus diperhatikan dalam pengukuran jangkauan
ke depan adalah:
a) Diukur dari belakang punggung sampai titik tengah tongkat yang dipegang (lihat
Gambar 5).
b) Ukuran standar (pada persentil 5) adalah: untuk pria 75,4 cm dan wanita 67,6 cm.
c) Dimanfaatkan untuk menentukan jarak penempatan alat, bahan dan kontrol yang
ada di depan tubuh.
d) Jika penempatan alat/ bahan/kontrol tidak sesuai dengan jangkauan ke depan,
maka akan terjadi sikap kerja yang tidak alamiah.
e) Cara mengukur jangkauan ke depan seperti Gambar 7.
Selain itu, untuk keperluan pengukuran alat yang digunakan dengan cara
digenggam (handtool) berupa pegangan (grip), maka dibutuhkan data antropometri tangan
dengan persentil 5 dan cara mengukur antropometri tangan yang sering dimanfaatkan
dalam mendesain peralatan kerja dan keperluan lain. (lihat Gambar 8). Terkait dengan
peralatan yang mamakai handel, Dul and Weerdmeester (1993), memberi syarat untuk
mencapai kenyamanan dalam pemakaiannya, maka pegangan atau handel peralatan agar
dirancang berdiameter 3 cm dengan panjang 10 cm.

(Sumber: Sutjana dan Sutajaya, 2000)
Gambar 8 Cara Mengukur Antropometri Tangan
Dalam melakukan suatu perancangan maka diperlukan kreteria metode
antropometri agar produk yang dibuat sesuai dengan fungsinya.
Kriteria antropometri yang digunakan dalam perancangan terdiri dari 3 kategori,
yaitu clerance, reach dan posture.
1) clearence dimensions (dimensi ruang) yaitu area minimum yang diperlukan operator
untuk melakukan aktivitas kerja pada tempat kerja (ditentukan dari orang
terbesar dalam populasi pengguna). Dalam hal ini digunakan nilai standar
normal (Zp) dengan persentil besar yaitu persentil 90 sampai dengan 99 ;
2) reach dimensions (dimensi jangkauan) yaitu area maksimum yang dapat dilakukan
oleh operator yang mengoperasikan peralatan (ditentukan dari orang terkecil
22

dalam populasi pengguna). Dalam hal ini digunakan nilai standar normal (Zp)
dengan persentil kecil yaitu persentil 1 sampai dengan 10 ; dan
3) posture merupakan hal yang cukup rumit misalkan meja kerja yang terlalu tinggi
tidak diinginkan oleh pekerja yang terlalu rendah. Dalam kondisi ini solusinya
adalah merancang stasiun kerja yang dapat disesuaikan (adjustable). Atau
merancang peralatan tunggal dengan cara kompromi para pengguna yaitu jika
pengguna banyak yang posture nya tinggi maka dibuat perancangan yang tinggi
begitu juga sebaliknya.
c. Metode Pengukuran Berat dan Tinggi Badan
Berat badan atau body weight adalah bobot tubuh seseorang atau seorang subjek
penelitian yang diukur dengan timbangan badan , seperti timbangan badan merk Detecto
Medical Scale, model 439 buatan Amerika dengan ketelitian 0,2 kg (lihat Gambar 9).
Sedangkan tinggi badan atau body height adalah ukuran tinggi tubuh seseorang yang diukur
pada posisi berdiri tegak dengan antropometer tegak lurus dari lantai sampai ubun-ubun
atau vertex.
Cara mengukur berat badan adalah dengan menyuruh seorang subjek penelitian
berdiri pada bidang (daun) timbangan tanpa alas kaki dan tanpa membawa sesuatu. Geser
batu timbangan yang terdapat pada mistar timbangan sambil memperhatikan ujung
mistar sampai satu titik dengan ujung penunjuk. Kemudian baca angka dalam satuan kg
yang ditunjukkan oleh batu timbangan pada mistar tersebut.



Gambar 9: Timbangan Badan Merk Detecto Medical Scale, Model 439 Buatan
Amerika dengan ketelitian 0,2 kg
Sedangkan cara mengukur tinggi badan adalah dengan menyuruh seorang subjek
penelitian untuk berdiri tegak dengan sikap bersiap, pandangan lurus ke depan. Usahakan
tumit, pantat, punggung dan kepala bagian belakang menyentuh tembok atau pada posisi
segaris. Diukur dari lantai kemudian seku-siku digerakkan sampai menyentuh vertex
(Sutjana dan Susila, 1997) (lihat Gambar 10)
23


Gambar 10: Cara Mengukur Tinggi Badan atau Body Height
dengan Antropometer Tegak Lurus dari Lantai Sampai Ubun-Ubun atau Vertex.
Data pengukuran berat dan tinggi badan para pekerja bermanfaat untuk
mengetahui ukuran badan yang ideal. Sebab dengan perbandingan antara berat dan tinggi
badan yang ideal dapat dipakai sebagai salah satu indikator kesehatan tubuh dan
memungkinkan pekerja akan dapat bekerja lebih optimal. Sebaliknya perbandingan yang
tidak ideal (dengan asumsi berat badan melebihi daya topang tubuh) dapat menimbulkan
keluhan muskuloskeletal, seperti: rasa nyeri atau sakit pada pinggang, lutut, atau pada
pergelangan kaki. Berat badan yang ideal dapat dihitung dengan rumus: tinggi badan -
100 (hasil pengurangan 10%) (Aryatmo, 1981).
d. Metode Pengukuran Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan tenaga yang dipompakan dari jantung untuk melawan
tahanan pembuluh darah atau sejumlah tenaga yang dibutuhkan untuk mengedarkan
darah ke seluruh tubuh. Sepanjang hari, tekanan darah akan berubah-ubah tergantung
dari aktivitas tubuh (Hartati, 2004). Dalam pengukuran tekanan darah dikenal dua jenis
tekanan darah: (1) tekanan darah sistol, yaitu tekanan tertinggi yang terjadi saat ventrikel
berkontraksi dan (2) tekanan darah diasto, yaitu tekanan terendah yang terjadi saat jantung
berada dalam fase relaksasi. Menurut World Health Organization (WHO), bahwa tekanan
darah dalam keadaan normal, jika tekanan darah systolic kurang atau sama dengan 140
mmHg dan tekanan darah diastolic kurang atau sama dengan 90 mmHg. (Depkes RI,
2007). Di kalangan medis alat yang digunakan untuk mengukur tekanan darah disebut
Sphygmomanometer, sedangkan di masyarakat lazim disebut dengan tensimeter (lihat Gambar
11). Alat ini digunakan untuk mengukur tekanan darah pada pembuluh arteri perifer.
Cara pengukuran tekanan darah adalah dengan menggunakan Sphygmomano-meter
pada lengan atas dan selangnya dipasang tepat pada pembuluh arteri, selain itu, juga
dipasang stethoscope pada pangkal siku bagian dalam. Kemudian dipompa sampai pada
tekanan 150 mmHg dan selanjutnya diturunkan secara perlahan sambil memdengarkan
bunyi detakan pada stethoscope. Bunyi detakan atau 'dug' yang pertama kali terdengar
adalah merupakan tanda tekanan darah systolic dan dari sini terus akan terdengar bunyi
'dug' yang semakin melemah sampai hilang. Tepat pada saat bunyi 'dug' menghilang
adalah tanda dari tekanan darah diastolic. Pengukuran dilakukan 2 kali berturut-turut
dengan interval 2 menit. Apabila terdapat selisih tekanan darah >10 mmHg pada peng-
ukuran ke 1 dan ke 2 baik pada systolic dan atau pada diastolic, kembali perlu dilakukan
24

pengukuran ke 3 (Hartati, 2004).Pengukuran dilakukan dengan posisi duduk, setelah
orang coba beristirahat sedikitnya 10 menit.


Gambar 11: Sphygmomanometer atau Tensimeter
Alat Pengukur Tekanan Darah
e. Metode Pengukuran Suhu Kering, Suhu Basah, Kelembaban Relatif dan
Gerakan Udara
Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembaban, kecepatan angin atau
gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja
sebagai akibat pekerjaannya. Suhu kering (dry bulb temperature) adalah suhu yang
ditunjukkan oleh thermometer suhu kering, sedangkan suhu basah alami (nature wet bulb
temperature) adalah suhu yang ditunjukkan oleh termometer bola basah alami ( Idris, 1999)
Kelembaban udara relatif adalah perbandingan jumlah uap air dalam udara
(kelembaban absolut) dengan jumlah uap air maksimum yang dapat dikandung oleh
udara tersebut dalam suhu udara pada saat dan tempat yang sama.Untuk mengukur
kelembaban relatif dapat dilakukan dengan mengkonversikan hasil pengukuran suhu
basah dan kering pada Psychometric Chart (lihat Tabel 5) dan hasilnya dalam prosentase (%)
kelembanan (Manuaba, 1998).
Kecepatan angin dalam ruang kerja adalah gerakan udara atau hembusan angin
yang dirasakan pekerja saat melakukan aktivitasnya dalam ruangan kerja. Gerakan udara
juga memberi pengaruh kepada suhu dalam suatu ruangan. Terkait dengan hal tersebut,
agar gerakan udara tersebut tidak menimbulkan dampak buruk terhadap para pekerja,
maka dianjurkan gerakan udara di dalam ruangan tidak lebih dari 0,2 m/detik (Manuaba,
1998; Grandjean, 1998).
Untuk mengetahui suhu basah dan kering pada ruang kerja, diukur dengan
menggunakan alat sling thermometer (lihat Gambar 12). Pengukuran dilakukan pada lima
titik, yaitu di tiap pojok dan di pusat ruang dapur dan dilaksanakan pada rentang waktu
tertentu, dengan maksud untuk mendapatkan suhu awal kerja dan suhu paling ekstrim
hari tersebut. Cara mengukur suhu basah dan kering dengan menggunakan sling
thermometer dilakukan dengan:
a) membasahi salah satu thermometer yang terdapat pada sling themometer (pada
bagian ujungnya).
b) memutar alat tersebut selama lima menit pada titik- titik yang akan diukur.
25

c) membaca suhu kering pada themometer yang ujungnya tidak dibasahi dan suhu
basah pada thermometer yang ujungnya dibasahi.
Pengukuran kelembaban relatif dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi
lingkungan antara sebelun dan sesudah perlakuan. Jika melalui perhitungan statistik
terdapat perbedaan yang bermakna, berarti suhu lingkungan akan berpengaruh terhadap
hasil intervensi yang diberikan, sebab kondisi udara yang panas dan lembab akan
berpengaruh kepada kenyamanan pekerja dalam ruang kerja, merugikan pekerja, baik dari
segi kesehatan fisik maupun mental. Kondisi tersebut dapat menyebabkan keringat tidak
dapat berevaporasi, kulit tubuh tetap basah, dan panas tubuh meningkat. Terkait dengan
hal ini, Grandjean (1998) memberikan batas suhu tinggi sebesar 35-40
0
C kelembaban 40-
50%; perbedaan suhu permukaan < 4
0
C.

Gambar 12: Foto sling Thermometer Alat Pengukur suhu Basah dan Kering.

Tabel 5: Psychometric Chart
Sedangkan Panduan umum untuk pengukuran lingkungan dingin hampir sama
dengan penilaian lingkungan panas. Penilaian dilakukan dengan menghitung indeks
udara dingin yang dikenal dengan Wind Chill Index (WCI).
a
t - V)(33 - 10/45 (V (10 WCI + =
.......................................................................................(10)
26

Di mana V adalah kecepatan udara (m/detik) dan t
a
adalah suhu udara (
o
C). Beberapa
nilai WCI dan pengaruhnya seperti pada Tabel 6 berikut :
Tabel 6 : Nilai WCI dan pengaruhnya
No Nilai WCI Pengaruh
1
2
3
4
5
6
200
400
1000
1200
1400
2500
Nyaman
Agak dingin/sejuk
Dingin
Dingin sekali
Sangat dingin sekali
Tidak tertahankan

Dalam kondisi seperti tersebut, maka pakaian menjadi sangat penting dalam
lingkungan dingin untuk mengurangi pengaruh kesehatan dan performansi lingkungan
kerja. Suhu lingkungan antara 20 - 25C akan dapat mempertahankan performasi dan
kenyamanan. Sedangkan suhu lingkungan dibawah 15C akan terasa tidak nyaman.
Disamping itu performansi akan sangat tergantung pada lama waktu tugas yang
dijalankan.
Kecepatan angin diukur dengan menggunakan alat yang disebut animometer.
Seperti anemometer digital merk Lutron AM 4201 (lihat Gambar 13). Cara penggunaannya
dalam ruangan sebagai berikut:
a) Menggeser tombol sakelar pada posisi on.
b) Menghadapkan baling-baling animometer atau sensor head berlawanan dengan
aliran angin yang masuk ke dalam ruangan dapur selama lima menit.
c) Kemudian membaca hasilnya pada display.


Gambar 13: Foto Anemometer digital merk Lutron AM 4201,
Alat Pengukur Kecepatan Angin
f. Metode Pengukuran Produktivitas
Pada prinsipnya peranan implementasi ergonomi dalam berbagai bidang adalah
bertujuan untuk mengeleminir dampak buruk yang ditimbulkan akibat kerja dan
menciptakan suasana kerja yang enase (efektif, nyaman, aman, sehat, dan efisien) dan
berimplikasi pada peningkatan produktivitas (Manuaba, 2004
1
). Menurut Ravianto (dalam
27

Revida, 2004) bahwa produktivitas dapat diketahui dengan pendekatan multidisiplin yang
secara efektif merumuskan tujuan dan pelaksanaan (operasional) dengan menggunakan
sumber daya secara efisien namun tetap menjaga kualitas. Pengertian produktivitas
berkaitan erat dengan sistem produksi yaitu sistem pengelolaan dengan cara yang
terorganisir mengenai tenaga kerja, modal atau kapital berupa mesin, peralatan kerja,
bahan baku, bangunan, untuk mewujudkan barang atau jasa secara efektif dan efisien.
Cara mengukur produktivitas (P) adalah dengan membandingkan jumlah masukan
(M) dan hasil yang diperoleh sebagai luaran (L) serta banyaknya waktu (W) yang
diperlukan dalam satu siklus kerja antara sebelum dengan sesudah diberi perlakuan. Jadi
dapat dihitung dengan:

Rumus:

..........................................................................................................(11)

dimana:
P = Produktivitas
L = Luaran
W = Waktu

2.2 Tahap Treatment Dalam Penelitian Ergonomi
Treatment adalah upaya perbaikan dalam bentuk intervensi ergonomi yang
bertujuan untuk memperoleh solusi atau pemecahan masalah kerja yang paling optimal,
sehingga dapat meningkatkan kualitas keja dan produktivitas yang setinggi-tingginya
(Manuaba, 2003). Pemecahan masalah ergonomi melalui pemberian intervensi sangat
tergantung pada data dasar yang diperoleh pada tahap diagnosis. Aplikasi dari data yang
terkumpul sebagai acuan untuk perbaikan atau pengembangan perancangan sistem kerja.
Di sini data harus disintesis ke dalam konsep perancangan, prototipe perancangan akhir
secara ergonomi. Metode akan men-terjemahkan data dasar tentang manusia ke dalam
kriteria dan informasi lain yang digunakan dalam perancangan tugas dan juga proses
perbaikan atau pengembangannya. Treatment dalam bentuk intervensi ergonomi yang
diimplementasikan dalam perbaikan desain sistem kerja, organisasi dan lingkungan tidak
selalu rumit dan canggih, namun kadang perlakuan berupa tindakan yang sangat
sederhana, seperti mengubah posisi tempat duduk, memberi bantalan pada alat yang
digunakan dan sebagainya (Depkes RI. 2006).
Selain hal tersebut, mengingat dalam pemecahan masalah dalam suatu sistem kerja
berbasis ergonomi dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga dalam upaya pemecahan
masalah dengan pemberian perlakuan tidak dapat dipecahkan secara parsial, namun
solusi yang diberikan harus secara komprehensif dengan memperhi-tungkan sebanyak
mungkin faktor-faktor atau variabel-variabel yang terkait dan berpengaruh. Hal ini sesuai
dengan pendapat Marras dan Allread (2004) dan OSHA (2004) bahwa masalah-masalah
ergonomi hanya dapat dipecahkan bila semua aspek yang terkait turut diperhitungkan.
Salah satu metode yang memungkinkan untuk memecahkan permasalahan tersebut
28

adalah dengan strategi gabungan atau strategi triangulasi, yaitu merupakan multi metode
yang tepadu digunakan dalam penelitian (Axelsson, 2000.; Wilson, 1990).
Menurut Wilson and Corlett (1990) strategi triangulasi adalah penggunaan dua atau
lebih metode untuk memperbaiki efisiensi, kelengkapan dan wawasan dalam studi.
Dengan penerapan strategi triangulasi memungkinkan kelemahan yang ada dalam suatu
metode yang diterapkan dapat dilengkapi dengan metode lainnya. Suatu studi dengan
menggunakan triangulasi metode dapat dilakukan dengan menggunakan campuran dari
teknik-teknik atau metode-metode penelitian kualitatif, kuantitatif, lapangan,
laboratorium. Meurut Axelsson (2000) bahwa dengan melakukan strategi triangulasi, cara
pandang dapat lebih diperluas, sehingga mencakup: (1) triangulasi data (data triangulation)
(menggunakan banyak sumber informasi atau data) sebagai acuan dalam penentuan
intervensi ergonomi yang optimal. Data yang dimaksud seperti telah dipaparkan pada
tahap diagnosis, (2) triangulasi peneliti atau penyelidik (investigator triangulation)
(berdasarkan riset pendukung), yaitu penggunaan temuan-temuan terkait dari peneliti lain
dan mendukung penelitian utama dengan tujuan untuk memperluas perspektif dalam
pemecahan masalah. (3) triangulasi teori (theory triangulation) (menerapkan beragam cara
pandang) dan (4) triangualasi metode (method triangulation) (mengunakan multi
metode).Penggunaan metode penelitian yang terpadu akan meningkatkan validitas dan
reliabilitas yang disimpulkan dan digeneralisasikan menjadi lebih optimal Metode yang
dipilih harus sesuai dengan hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian. Penyeleksian
dan menguji penelitian dari beberapa sudut yang mencakup sejumlah cara yang berbeda,
dan dapat digambarkan seperti pada Gambar 14.


Gambar 14: Strategi Triangulasi (Axelsson, 2000)

a) Treatment Pada Penelitian Berbasis Ergonomi Makro
Berdasarkan pada strategi triangulasi yang dikemukakan Axelsson (2000), maka hal
ini sangat relevan diterapkan dalam penentuan perlakuan pada penelitian ergonomi,
seperti dalam penelitian-penelitian yang berbasis ergonomi makro. Hal ini mengingat
ergonomi makro ditinjau dari sejarah merupakan sub displin dari human faktor atau
ergonomi, juga merupakan pengetahuan impiris bersumber dari penelitian sistem
sosioteknologi tradisional sampai penelitian laboratoriun modern tentang hubungan
antara teknologi, personal, organisasi, design,variabel lingkungan dan mengenai
29

interaksinya. Merupakan pengetahuan ilmiah yang baru mengenai sistem kerja dan desain
sistem kerja. Sistematik metodelogi ergonomi makro adalah untuk analisis dan mendesain
sistem kerja yang lebih baik, bersifat lebih umum sedangkan ergonomi makro lebih
khusus. Ergonomi makro memberi cara pandang tentang ergonomis dengan apresiasi
yang lebih luas. Suatu cara pandang yang memberi kemungkinan lebih sukses dari
interversi secara ergonomi micro (Hendrick and Kleiner. 2000).
Sehubungan dengan hal tersebut ergonomi micro bertujuan memecahkan masalah
melalui pendekatan yang terdiri dari empat komponen subsistem yaitu subsistem
personil, subsistem teknologi, subsistem organisasi dan subsistem lingkungan. Aspek
penting ergonomi makro meliputi struktur organisasi, interaksi antar manusia dalam
organisasi, dan motivasi. Isu tambahan mengenai ergonomi makro bersifat psiko-sosial,
seperti perancangan kerja, siklus kerja, perilaku pihak manajemen, dan keterlibatan
pegawai dalam pengambilan keputusan (Hendrick and Kleiner. 2000). Oleh sebab itu
dalam ergonomi makro sering diterapkan kombinasi dua atau lebih metode yang
digunakan secara bersama-sama dalam analisa, intervensi dan evaluasi. Sebagai contoh:
dalam implementasi pendekatan partisipatori ergonomi yang digunakan pada suatu
proses intervensi ergonomi makro, dalam hal ini akan melibatkan beberapa metode,
seperti metode yang digunakan:
1. dalam pelaksanaan suatu studi lapangan untuk mengamati sistem kerja yang ada
dan terkait dengan ukuran pencapaian
2. dalam membuat suatu studi simulasi laboratorium tentang suatu perbaikan
sistem kerja yang diusulkan kepada para pekerja.
3. dalam pelaksanaan suatu eksperimen tentang modifikasi bagian dari sistem
pekerjaan dan dalam mengamati pengaruhnya
4. penggunaan metode focus group untuk mengevaluasi suatu eksperimen
5. penggunaan suatu metode kuesioner dan mensurvei setelah menerapkan re-
design sistem kerja untuk memperoleh respon dari para karyawan terkait dengan
perbaikan yang telah dilakukan.
Pendekatan partisipatori dalam pendekatan ergonomi makro yang mampu
meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja (Imada, 1993). Demikian juga menurut
Nagamachi (1993), bahwa pendekatan partisipartori dalam konteks ergonomi makro
adalah keterlibatan semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam menerapkan ergonomi
di tempat kerja. Hal ini mengingat dengan perbaikan kondisi kerja melalui ergonomi
partisipatori secara tidak langsung akan berdampak juga pada peningkatan produktivitas
dan kualitas produk (Gilad, 1998; Carrivick, et al, 2002). Demikian juga dari sudut
pandang total quality management; adalah merupakan upaya keterlibatan dari seluruh tingkat
hirarki perusahaan harus dimanfaatkan secara optimal apabila menghendaki perbaikan
terus-menerus (Ibrahim,1997). Sehingga menurut Adiputra (2000), dengan penerapan
ergonomi akan lebih berhasil jika didasari juga dengan penerapan asas partisipatori
manajemen, karena pengalaman menunjukkan bahwa perbaikan yang dilakukan secara
sepihak tanpa melibatkan pekerja atau pemakainya akan tidak berkelanjutan.
b) Treatment Pada Penelitian Berbasis Ergonomi Total
Demikian juga dalam merancang intervensi sebagai perlakuan dalam upaya
pemecahan masalah melalui pendekatan ergonomi total sangat memungkinkan untuk
menggunakan metode campuran. Hal ini mengingat pendekatan ergonomi total
30

merupakan pendekatan konseptual yang muncul dalam upaya memecahkan
permasalahan yang berkaitan dengan kerja atau aktivitas lainnya yang dilakukan manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Manuaba (2005
2
) ergonomi total juga
sebagai sisi lain dari mata uang logam Total Quality Management (TQM), yang belakangan
ini menjadi pilihan manajemen untuk meningkatkan kualitas. Dalam artian, dengan
melaksanakan prinsip-prinsip ergonomi sudah pasti pada saat yang sama juga akan dapat
mencapai tujuan (kualitas dan kepuasan pelanggan) yang sama. Dalam penerapan
pendekatan ergomomi total, permasalahan ergonomi yang ditemukan tersebut dianalisis
dengan pendekatan SHIP yaitu secara: Pendekatan sistemik (systemic approach) maksudnya,
permasalahan yang dijumpai di lapangan harus diselesaikan melalui pendekatan sistem, di
mana semua aspek atau unsur yang terkait disusun dan dikerjakan secara sistem, sehingga
dengan pendekatan ini diharapkan tidak ada masalah yang tertinggal. Pendekatan holistik
(holistic approach) maksudnya, semua faktor dan sistem-sistem yang berhubungan dengan
permasalahan yang terjadi, dipecahkan secara proaktif serta menyeluruh dari hulu sampai
hilir. Pendekatan interdisipliner (interdisciplinary approach) adalah suatu upaya
mendayagunakan seluruh disiplin ilmu yang terkait karena kompleksitas persoalan yang
akan dipecahkan (termasuk masalah sosial-budaya). Dengan keterlibatan berbagai disiplin
ilmu, maka simpulan yang diperoleh lebih luas dan kritis. Pendekatan partisipatori
(participatory approach). Menurut Manuaba (2000) dan Michelle (2006) bahwa pendekatan
ergonomi partisipatori adalah keterlibatan mental dan emosi setiap orang (pengguna dan
penyelenggara) dari suatu kelompok tertentu yang mendorong mereka untuk
berkontribusi dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama. Pendekatan ini
semestinya dilaksanakan dari awal proses produksi dengan melibatkan partisipasi aktif
dari seluruh elemen yang terkait, seperti produsen dan pemakai, sehingga dapat lebih
efektif dan efisien serta sesuai dengan permintaan dan kemungkinan kesalahan dapat
diminimalis (Manuaba, 2004
2
; 2005
2
). Kemudian dalam upaya pemecahannya didasari
dengan pendekatan teknologi tepat guna (TTG) melalui enam kriteria: (a) ekonomis, (b)
teknis, (c) ergonomis, (d) sosial-budaya, (e) hemat energi dan (f) melindungi lingkungan
(Manuaba, 1983
1
; 2005
1
). Penerapan ergonomi total dalam penentuan treatment dapat
digambarkan seperti Gambar 15



Gambar 15. Penerapan ergonomi total dalam penentuan treatment
c) Penentuan Treatmen Berdasarkan Metode Analisis Tugas
Menurut Stammers, et. al (dalam Wilson and Corlett. 1990) analisis tugas adalah
metode menganalisis sistem lama agar menjadi sistem yang lebih baik. Analisis tugas
31

bertujuan untuk membantu mendapatkan informasi yang relevan untuk merancang
sistem manusia-mesin yang baru atau untuk mengevaluasi rancangan sis-tem yang sudah
ada. Hal ini dapat dicapai dengan menganalisis secara sistematik dari kebutuhan tugas
operator dan tindak-tanduk tugas. Analisis tugas mungkin dapat di aplikasikan selama
proses perancangan untuk mengevaluasi tuntutan tugas baru. Proses evaluasi selama
analisis tugas di aplikasikan selama sistem beroperasi.
Pemikiran dasar proses analisis tugas dalam perancangan adalah mempelajari
tugas pada sistem yang ada dan menyajikan informasi yang relevan terhadap perilaku
manusia dalam sistem yang diusulkan. Perubahan yang mendasar dari perubahan sistem
akan berdampak pada operator. Tidak menutup kemungkinan operator lama tidak
digunakan dalam sistem baru atau operator dari sistem lama akan terlibat dalam sistem
baru. Aplikasi analisis tugas dalam perancangan sistem dapat digambarkan seperti
Gambar 16 berikut :


Gambar 16 : Aplikasi analisis tugas dalam perancangan sistem
Sumber : (Wilson and Corlett 1990)

Terdapat 3 aplikasi analisis tugas dalam merancang sistem, antara lain :
1) analisis tugas yang digunakan untuk memperbaharui sistem yang sudah ada
(gambar 2.1) ;
2) analisis tugas yang digunakan dalam beberapa sistem yang sudah ada dan saling
berhubungan sehingga didapatkan informasi yang relevan untuk mendapatkan
sistem baru (gambar 2.2) ; dan
32

3) analisis tugas yang digunakan untuk membuat sistem yang benar-benar baru, atau
sistem lama sudah tidak menguntungkan lagi (gambar 2.3).
Dalam menganalisis tugas terdapat komponen tugas yang harus diperhatikan,
antara lain :
1) kebutuhan tugas yaitu mendefinisiskan tujuan berdasarkan pada sistem yang
dijalankan ;
2) lingkungan tugas yaitu kondisi lingkungan secara langsung maupun tidak
langsung sangat mempengaruhi tugas yang dilakukan ; dan
3) perilaku tugas yaitu merupakan suatu tindakan nyata yang dilakukan oleh
operator dalam batasan lingkungan tugas untuk memenuhi kebutuhan tugas.
Proses analisis tugas terdiri dari tiga tahap utama yaitu tahap pengumpulan data,
tahap deskripsi dan tahap analisis. Pengumpulan data melibatkan dokumentasi dan
pengumpulan data dari beberapa sumber. Deskripsi tugas berisi rincian tugas yang
digunakan untuk analisis akhir dalam hal ini informasi tugas khusus diperlukan oleh para
analis. Tahap terakhir adalah analisis data yang melibatkan beberapa elemen untuk
mendapatkan sistem target dari suatu sistem. Pada tahapan aplikasi ada beberapa jenis
aplikasi analisis tugas, antara lain :
1) perancangan atau evaluasi sistem merupakan aplikasi dari informasi yang
berhubungan dengan alokasi fungsi antara manusia dan mesin yang dapat
mendukung operator atau pengguna dalam mendapatkan keuntungan ;
2) perancangan atau evaluasi pelatihan merupakan aplikasi dari informasi tentang
pengguna tugas yang digunakan dalam proses program pelatihan baru atau
meningkatkan program yang sudah ada ;
3) perancangan atau evaluasi interface merupakan aplikasi dari informasi kebutuhan
pengguna tugas untuk mendukung perancangan human-machine interface atau
evaluasi perancangan yang lama ;
4) perancangan tugas merupakan aplikasi penggunaan informasi tentang tugas pada
sistem lama yang akan digunakan ke sistem selanjutnya. Yang nantinya dapat
digunakan untuk memprediksi dan merencanakan kebutuhan di masa yang akan
datang ;
5) pemilihan personal merupakan aplikasi penggunaan informasi tentang aspek
mental dan fisik personal sebagai bahan kriteria pemilihan personal ; dan
6) analisis reliabilitas sistem bertujuan memprediksi reliabilitas sistem yang akan
datang berdasarkan kesalahan aplikasi data untuk tiap identifikasi komponen
tugas.
Proses analisis tugas digambarkan seperti Gambar 17:

33


Gambar 17 : Proses analisis tugas
Sumber : Wilson and Corlett (1990)

Pada analisis tugas dalam bidang ilmu ergonomi ada beberapa metode yang dapat
digunakan antara lain :
1. Hierarchical task analysis
Pada metode ini analisis dilakukan dengan cara membagi tugas menjadi sub
bagian yang paling kecil, kamudian membuat tujuan dari bagian tersebut ke
tingkat yang lebih tinggi.
2. Abilities requirements analysis
Metode ini menganalisis ciri-ciri tugas yang dapat mengoptimalkan performansi
dengan mengidentifikasi kemampuan yang diperlukan dari tugas.
3. Task analysis for knowledge description
Dalam perkembangannya sistem akan menjadi semakin kompleks dan serba
otomatis. Peranan manusia sudah berubah dari pekerjaan yang sifatnya manual
menjadi proses yang melibatkan kognitif. Pada metode ini pendekatan lebih pada
sisi teoritis daripada prakteknya. Oleh karena metode ini banyak menitik beratkan
pada pemecahan masalah dengan menggunakan sistem pakar.
4. Link analysis
Pemilihan metode analsis tugas harus merefleksikan sistem dan tugas yang ada.
Dalam sistem dengan skala besar dimana penggunaan tenaga sedikit maka
metode analisis tugas akan lebih berguna. Sebaliknya tugas yang sederhana
mungkin hanya perlu analisis yang sederhana untuk evaluasi dan perancangan.
34

Link analysis digunakan hanya untuk mengukur beban kerja dan tata letak tempat
kerja.
5. Formal and semiformal method
Akhir-akhir ini analisis tugas lebih ditekankan pada metode logik, kualitatif dan
metode formal. Metode formal telah digunakan secara luas dalam pengembangan
dan rekayasa perangkat lunak. Kecenderungan ini telah sampai ke
pengembangan dan penggunakan metode analisis tugas dalam perancangan
interface pengguna. Dengan metode formal tugas diekspresikan dengan cara yang
lebih sederhana dan tidak membingungkan. Metode ini lebih menguntungkan
dibandingkan metode subjektif yang tergantung pada bahasa alamiah dalam
mengekspresikan tugas. Bahasa alamiah bersifat individual sehingga makin
banyak individu yang menilai maka mendapatkan hasil yang bias.
6. Job process chart
Metode analisis tugas ini sering didasarkan pada teknik gambar dari disiplin lain
khususnya yang berhubungan dengan analisis sistem atau pengetahuan
komputer. Flow chart adalah sistem penggambaran proses secara standar dan
dapat dengan mudah diaplikasikan untuk mengembangkan dan analisis tugas.
d) Penentuan Treatment Dengan Metode Pemodelan dan Simulasi
Pemodelan atau Prototipe dan simulasi adalah bentuk representasi dari suatu
sistem. Simulasi merupakan bentuk fisik dan model berisikan simbol yang
menggambarkan peralatan, aktivitas dan performansi tugas (Wilson et.al, 1990).
1. Pemodelan
Mempelajari sebuah sistem terkadang dimungkinkan untuk melakukan uji coba
dengan sistem tersebut. Akan tetapi tidak mungkin untuk melakukan uji coba bila sistem
tersebut masih dalam bentuk hipotesis. Dalam uji coba tentunya perlu dibuat beberapa
alternatif prototipe. Tetapi cara seperti ini dapat menjadi sangat mahal dan menghabiskan
waktu. Bahkan dengan sistem yang telah ada, sering kali uji coba menjadi tidak mungkin
dan tidak praktis. Sehingga studi tentang suatu sistem umumnya dilakukan pada model
sistem tersebut. Jadi model sistem tidak hanya merupakan pengganti sistem tetapi juga
merupakan penyederhanaan sistem.
Model menjadi cukup penting ketika sistem nyata atau simulasi fisik tidak ada atau
ketika sistem baru sedang dikembangkan dengan parameter baru yang belum diketahui.
Kegunaan lain dari model ketika fenomena dan kondisi yang sedang dipelajari terlalu
komplek untuk dijalankan. Oleh sebab itu model harus mewakili sistem nyata yang
dipelajari dan dibuat secara sistematis.
Model yang digunakan dalam mempelajari sistem dapat diklasifikasikan dalam
banyak cara. Secara garis besar model dibedakan menjadi model fisika dan model
matematika. Model fisika didasarkan pada analogi antara sistem seperti sistem mekanis
dan elektris. Dalam model fisika, atribut sistem digambarkan oleh pengukuran se-perti
pengukuran tegangan. Sebagai contoh, laju gerak jarum pengukur pada motor arus searah
bergantung pada tegangan yang diberikan pada motor. Jika tegangan tersebut dipakai
untuk menggambarkan kecepatan mesin, maka jumlah putaran jarum pengukur
merupakan ukuran jarak yang telah ditempuh. Sedangkan model matematika
35

manggunakan simbol dan persamaan matematika dalam menggambarkan sebuah sistem.
Atribut sistem dipresentasikan oleh variabel dan aktivitas berdasarkan fungsi matematika
yang menghubungkan variabel yang ada.
Disamping itu model dibedakan antara model statik dan model dinamik. Model
statik hanya dapat menunjukkan nilai yang dimiliki oleh atribut ketika sistem berada
dalam keseimbangan. Sebaliknya, model dinamik mengikuti perubahan yang dihasilkan
oleh aktivitas sistem sepanjang waktu. Model matematika dibedakan menjadi model
analitik dan numeris. Menggunakan metode analitik berarti memakai teori matematika
deduktif untuk menyelesaikan model. Oleh karena itu, teknik analitik merupakan cara
untuk mendapatkan model yang dapat diselesaikan sesuai dengan sistem yang dipelajari.
Sementara itu, metode numeris melibatkan penggunaan prosedur komputasi untuk
menyelesaikan persamaan-persamaan yang ada. Tahapan yang harus dilakukan dalam
pengembangan model, antara lain : (1) formulasi masalah ; (2) membangun model ; (3)
menterjemahkan model ; (4) verifikasi ; (5) perencanaan percobaan ; (6) implementasi
percobaan ; (7) analisis ; (8) utilisasi ; dan (9) dokumentasi.
2. Simulasi
Simulasi berlaku secara umum yang tidak terbatas pada simulasi fisik. Definisi
simulasi secara umum adalah usaha untuk menyelesaikan masalah yang dibuat dalam
bentuk model yang merepresentasikan sistem nyata. Perkembangan simulasi telah
mengikuti perkembangan teknologi dengan hasil yang lebih akurat dan lebih dapat
merepresentasikan sistem nyata yang kompleks. Beberapa pendekatan simulasi dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1) simulasi dengan kejadian diskrit didefinisikan sebagai kejadian dimana variabel
sistem berubah dengan jumlah yang tetap pada kejadian yang pasti dalam periode
simulasi ;
2) simulasi dengan kejadian kontinyu didefinisikan sebagai kejadian dimana variabel
sistem berubah secara kontinyu ; dan
3) kombinasi diskrit-kontinyu merupakan simulasi gabungan antara diskrit dan
kontinyu. Perilaku model sistem mensimulasikan dengan menghitung nilai variabel
kontinyu ke dalam kejadian kecil dan selanjutnya meng-hitung nilai variabel kejadian
secara diskrit.
e) Analisis Titik Impas dalam Penentuan Treatment
Menurut Djamin (2003) bahwa, suatu usaha merupakan rangkaian kegiatan
penanaman modal atau investasi yang disertai dengan harapan untuk mendapatkan
keuntungan (profit) setelah dalam jangka waktu tertentu. Demikian juga halnya, dalam
melakukan treatment atau perlakuan pada suatu sistem kerja, maka perlu
memperhitungkan keuntungan dan kapan mulai diperoleh. Dari perhitungan ini juga
dapat diketahui efektivitas perlakuan yang diberikan. Kemungkinan keuntungan
(profitability) tersebut akan mulai dapat diperoleh apabila usaha tersebut sudah pulang
pokok, sehingga untuk mengetahui hat tersebut, maka analisis yang umum digu-nakan
adalah analisis pulang pokok atau titik impas (break even point) dan disingkat BEP. Dalam
analisis ini memerlukan derevasi dari berbagai macam hubungan, di antaranya: biaya tetap
(fix cost), biaya tidak tetap (variable cost), pendapatan bersih, dan total pengeluaran. BEP
36

adalah keadaan di mana jumlah pendapatan sama dengan biaya tetap dan biaya variabel
yang digunakan untuk menentukan unit produksi atau volume penjualan di mana usaha
tersebut mencapai titik impas (Arifin, 2000). Analisis BEP memberikan kesempatan
kepada pihak manajemen untuk menghitung jumlah penjualan yang dibutuhkan oleh
sebuah usaha untuk menghasilkan keuntungan nol atau kosong (Anonim, 2003)
Analisis titik impas (BEP) merupakan indikator di dalam suatu perencanaan suatu
proyek, sehingga dipakai sebagai penilaian apakah biaya investasi yang akan dilakukan
memang dapat diandalkan atau menguntungkan. Kadariah, et all (1999). Dalam
menganalisis BEP harus dibedakan antara biaya tetap dan tidak tetap. (a) Biaya tetap (fix
cost) adalah biaya yang bersifat konstan pada periode tertentu, walapun volume penjualan
mengalami pluktuasi (meningkat atau menurun). Unsur-unsur yang termasuk dalam
komponen biaya tetap, seperti:biaya penyusutan, bunga modal, pajak, asuransi dan
sebagainya, sedangkan (b) biaya tidak tetap (variable cost) adalah berubah-ubah sesuai
dengan perubahan volume penjualan dan merupakan biaya yang saling berhubungan erat
dengan berbagai keperluan untuk menunjang kelancaran produksi dan penjualan. Seperti:
biaya bahan bakar, perawatan, perbaikan, ongkos operator atau pekerja, biaya bahan baku
dan sebagainya. Nilai titik impas (BEP) per unit dapat ditentukan sebagai berikut:


............................(12)
Dimana:
BEP per unit = Break Even Point tiap unit.
Bt = Biaya tetap
Hj = Harga jual
Bv per unit = Biaya variabel tiap unit

Analisis titik impas digambarkan dalam analisis grafif seperti gambar 18

(Sumber: Deptan, 2006)
Gambar 18. Analisis Grafik Titik Impas

37

dimana:



.......(13)
..(14)
..(15)
Dalam rencana investasi dana, analisis titik impas dilakukan melalui perhitungan
sebagai berikut:
1) Menghitung biaya yang dikeluarkan dapat dikelompokan menjadi dua:
a) Biaya tetap (fix cost) seperti:
1. Biaya penyusutan peralatan (Rp/tahun)
2. Biaya bunga modal (Rp/tahun)
b) Biaya tidak tetap (variable cost) seperti:
1. Biaya bahan bakar (kayu bakar dan listrik dalam Rp/jam)
2. Biaya bahan baku (buah kelapa dalam Rp/jam)
3. Biaya ongkos pekerja (Rp/jam)
4. Biaya perawatan peralatan (Rp/tahun)
c) Biaya perbaikan (perbaikan gizi pekerja, perbai kan peralatan dan
lingkungan kerja dalam Rp/jam)
3) Menghitung pengeluaran total untuk perbaikan sistem produksi minyak kelapa dalam
Rp/jam
4) Menghitung pendapatan total dari hasil penjualan minyak kelapa Rp/jam.
2.3 Tahap Follow-up dalam Penelitian Ergonomi
Follow-up dilakukan dengan menganalisis tugas terhadap perancangan sistem kerja
sekaligus mengevaluasi tingkat kelayakan dalam penerapan perlakuan ergonomi.
Tindakan evaluasi dilakukan berdasarkan data objektif atau subjektif (seperti telah
dipaparkan pada sub Bab diagnosis) terhadap perlakuan yang diberikan dengan metode
komparasi dan analisis statistik antara sebelun dengan sesudah perlakuan. Dari hasil
komparasi ini akan dapat diketahui adanya pengaruh dari perlakuan yang diberikan.
Indikator keberhasilan dari perlakuan ini dapat dilihat seperti Tabel 7. berikut ini
Tabel 7. Indikasi Keberhasilan Intervensi
Aspek yang Dinilai Indikasi
Angka beban kerja menurun
Angka n keluhan muskuloskeletal menurun
Angka kelelaha menurun
Angka produktivitas meningkat
Sumber: (Fauzan, 2005)


38

III PENUTUP
Ergonomi merupakan ilmu yang multidisplin oleh sebab itu dalam pemecahan
suatu masalah dimungkinkan untuk menerapkan beberapa metode, baik dalam tahap
diagnosis, penentuan perlakuan dalam bentuk intervensi, maupun dalam mengevaluasi
hasil. Hal ini sesuai dengan strategi triangulasi. Semakin banyak metode yang terkait
diterapkan dalam pemecahan masalah akan memberi perspektif dan hasil yang lebih
optimal. Namun dalam pemilihan metode-metode yang akan digunakan terlebih dahulu
harus diketahui dan memahami permasalahan yang akan dipecahkan dengan lebih
cermat.
Dalam pemilihan metodologi ergonomi, pertimbangan manusia merupakan
permasalahan utama, selain itu pertimbangan biaya dan manfaat, karena menentukan
kesinambungannya dan memberikan ukuran dari penelitian yang sesuai dengan harapan
dari berbagai pihak yang terkait.























39

DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, N. 2002. Denyut Nadi dan Kegunaannya dalam Ergonomi. Jurnal Ergonomi
Indonesia 3: 22-26
Adiputra,N. 1998. Metodelogi Ergonomi. Monograf yang diperbanyak oleh Program
Studi Ergonomi dan Fisiologi Kerja, Program Pascasarjana Unud. Denpasar.
Andersen, K.L. 1978. Habitual Physical Activity and Health. Copenhagen: WHO Regional
Office for Europe
Anonim, 2003. Membuat Analisis Titik Impas. Wacana Mitra.com Edisi 50/Tahun II /
27 January 2003 [cited 9 February 19] Available at: URL:
http://www.wacanamitra. com/wm250/kiatbisnis.htm
Arifin, H. 2000. Evaluasi Proyek, Pengertian dan Cara Menganalisis. Inspektorat Jenderal
Dep. Kimbangwil [cited 2007 July 19] Available from: URL:http://www.pu.go.
id/itjen/buletin/2324eva.htm
Arikunto, S. 1998, Prosedur penelitian : Suatu pendekatan praktek, Jakarta, Rineka Cipta.
Aryatmo, T. 1981. Obesitas. Jakarta: Komisi pengembangan Riset dan Perpustakaan,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Astrand, P.O and Rodahl, K. 1986. Textbook of Work Physiology. 2
nd
Edition. Philadelphia:
WB Saunders Co.
Axelsson, Jan RC, 2000. Quality and Ergonomics - Towards successful integration.
Doctoral in Quality and Human-Systems Engineering, Linkpings: Linkpings
University
Bhattacharjee and McGlothlin, J. 1996. Occupational ergonomics; Theory and
Applications, New York. Basel. Hongkong: Marcel Dekker, Inc
Bridger, R.S. 1995. Introduction to Ergonomics. Singapore: McGraw-Hill. Inc.
Carrivick, P.J.W., Lee, A.H., Kelvin, K.W.Y, 2002. Effectiveness of a Participatory
Workplace Risk Assessment Team in Reducing The Risk and Severity of
Musculoskeletal Injury. Journal Occupational Health, 44:221-225
Chavalitsakulchai, P., H. Shahnavaz. 1993. Ergonomics method for prevention of The
musculoskeletal discomfort among female industrial workers: Physical
characteristics and Work Factor. Journal of Human Ergology.22: 95-113
Christensen, E.H. 1991. Physiology of Work. Dalam Parmeggiani. L. Editor Encyclopedia
of Occupational Health and Safety 3
nd
(revised) Ed. Geneva Ill. 1698-1700.
Clark, D.R. 1996. Anthropometry. In : Bharattacharya, A. and McGlothlin, J.D. editors.
Occupational Ergonomics Theory and Application. New York : Marcel Dekker Inc.
Corlett, E.N. 1992. Static Muscle Loading and Evaluation of Posture. In : Wilson, J.R. &
Corlett, E.N. editors. Evaluation of Human Work a Practical Ergonomics Methodology.
London :Taylor & Francis. p. 542-570.
Cormick, Mc.E.J., Sanders, M.S. 1993. Workplace Design. Human Factors in Engineering and
Design. 7th ed. Singapore : Mc Grow-Hill International.
40

Crockford, G.W. 1981. The Thermal Environment. Dalam Schilling R.S.F. (Ed.),
Occupational Health Practice. London: Butterworths.
Daniel, W.W, 1999. Biostatistics. A Foundation for Analysis in the Health Sciences. 7
th

edition. New York: John Wiley & Sons, Inc
Depdiknas, 2004. Pengukuran Denyut Nadi. Dinas Pendidikan Nasional. [cited 2006
October 12]. Available from: URL: http://www.setjen.depdiknas.go.id/pusjas/
file/denyut2.html
Depkes RI, 2007. Pedoman Pengukuran dan Pemeriksaan, Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Depkes RI. 2006. Kesehatan bagi Pekerja Wanita. Pusat Kesehatan Kerja Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. [cited 2006 October 8] Available at: URL: http://
www.depkes.go.id/
Depkes RI. 2006. Kesehatan bagi Pekerja Wanita. Pusat Kesehatan Kerja Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. [cited 2006 October 8] Available at: URL: http://
www.depkes.go.id/
Djamin, Z. 2003. Perencanaan dan Analisis Proyek, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta.
Dul.J., Weerdmeester, B.A. 1993. Ergonomics for Beginners a Quick Reference Guide. 9th
Edition. English Edition Translated by R.E Vander Putter. London: Taylor &
Francis Ltd.
Fauzan, A. Z. 2005. Hubungan Antara Manajemen, Keselamatan, Biaya dan Kualitas
dalam Lingkup Manajemen Keselamatan pada Sebuah Perusahaan. Semarang:
Prog. Studi Teknik Perkapalan F. Teknik UNDIP.
Fenety, A; Walker, 2002 Shortterm Effects of workstation exercises on musculoskeletal
discomfort and postural changes in seated video display unit works. Physical
Therapy. June; 82(6):578-589.
Ganong, W.F. 2001. Review of Medical Physiology. 20
th
Edition. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division.
Gilad, I. 1998. Ergonomic Participatory Plan in The Diamond Industry. In: Scott, P.A.,
Bridger, R.S., Chartervis, Journal. Editors. Global Ergonomic. Amsterdam: Elseviers.
1:919-923
Grandjean, E. 1988. Fitting the Task to The Man. A Textbook of Occupational
Ergonomics. 4
th
New York: Taylor & Francis. Ltd.
Grandjean, E. 1993. Fiting the Task to the Man, 4
th
ed. Taylor & Francis Inc. London.
Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. (terjemahan). Jakarta: EGC.
Penerbit Buku Kedokteran
Hafid. 2002. Peranan Egronomi Dalam Meningkatkan Produktivitas. Jakarta: Metal
Industries Development Center (MIDC) Depperindag RI.
41

Hartati, K. 2004. Jus Bagi Penderita Hipertensi. Departemen Farmasi ITB. [cited 2007
July 26] Available from: URL: http://www.pikiran rakyat.com/cetak/ 1004/
14/cakrawala/lainnya4.htm
Hendrick, H.W. and Kleiner, B.M, 2000. Macro Ergonomics: An Introduction to Work
System Design. America: Human Factor and Ergonomics Society.
Ibrahim, B. 1997. TQM ( Total Quality Management), Panduan Untuk Menghadapi
Persaingan Global, Jakarta : Djambatan.
Idris, F. 1999. Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. Keputusan Menteri
Tenaga Kerja Nomor : Kep51/Men/I999) Jakarta : Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonsia
Imada, A.S. 1993. Macro ergonomic Approaches for Improving Safety and Health in
Flexible, Self Organizing Systems. The Ergonomics of Manual Work, Proceedings of
the International Ergonomics Association World Conference on Ergonomics of Materials
Handling and Information Processing at Work, Warsaw, Poland, 14-17 June 1993.
Intaranont, K. dan K. Vanwonterghem 1993. A Study of the Exposure Limits in Cons-training
Climatic Conditions for Strenuous Task: An Ergonomic Approach. Bangkok: Departement
of Industrial Engineering Chulangkorn University.
Kerlinger, F.N. (1969). Foundations of Behavioral Research (London: Holt, Rinehart and
Winston).
Kilbom, A. 1990. Measurement and Assessment of Dynamic Work. Dalam John R. Wilson dan
E. Corbett Nigel (Ed.), Evaluation of Human Work: A Practical Ergonomics
Methodology. London: Taylor & Francis.
Manuaba, A. 1983
1
. Peningkatan Kondisi dan Lingkungan Kerja di Sektor Industri Kecil,
Program Internasional untuk Peningkatan Kondisi dan Lingkungan Kerja.
Lokakarya Nasional 13 Sampai 14 Desember 1983
Manuaba, A. 1983
2
. Aspek Ergonomi Dalam Perencanaan Kompleks Olah Raga dan
Rekreasi. Disampaikan pada panel Diskusi Rencana Induk Gelora, Jakarta 21
September 1983
Manuaba, A. 1992. Penerapan Ergonomi Untuk Meningkatkan Kualitas Sumber Daya
Manusia dan Produktivitas. Disampaikan pada Seminar K3 dengan thema
Melalui Pembudayaan K3 Kita Tingkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Dan
Produktivitas Perusahaan di IPTN Bandung, 20 Februari 1992 [cited 2006
January 27] Available from: URL: http://www.balihesg.org/fullpapers-%20A.-
%20Manuaba/ad5.htm
Manuaba,A.1998. Bunga Rampai Ergonomi I. Kumpulan Makalah Denpasar: Program
Studi Ergonomi-Fisiologi Kerja, Universitas Udayana denpasar.
Manuaba, A. 2000. Participatory Ergonomics Improvement at The Workplace. The
Indonesian Journal of Ergonomics 1: 6-1
Manuaba, A. 2003. Aplikasi Ergonomi Dengan Pendekatan Holistik Perlu, Demi Hasil
Yang lebih Lestari Dan Mampu Bersaing. Makalah. Temu Ilmiah dan Musyawarah
Nasional Keselamatan dan Kesehatan Kerja Ergonomi. Hotel Sahid Jakarta.
42

Manuaba, A. 2004
1
. Kontribusi Ergonomi dalam Pembangunan, dengan Acuan Khusus
Bali. Presented at The 2
nd
national Seminar on Ergonomics, UGM, Yogyakarta, 9
Oktober 2004.
Manuaba, A. 2004
2
. Pendekatan Total Perlu untuk adanya proses Produksi dan produk
yang Manusiawi, Kompetitif dan Lestari. Disampaikan pada: Seminar teknik
Industri Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004
Manuaba, A. 2005
1
. To Achieve A Better Life Through Total Ergonomic SHIP
Approach Technology. Presented at The 2nd National technology Seminar: The
Application of Technology toward a Better Life, University of Technology
Yogyakarta, 10 December 2005.
Manuaba, A. 2005
2
.

Total Ergonomics Enhancing Productivity, Product Quality And
Customer Satisfaction. Jurnal Ergonomi Indonesia 6:1-38
Marras, W.S. and Allread,W.G. 2004. How to develop and manage an Ergonomics
Process. Intitute for Ergonomics, The Ohio Sytate University, Colombus Ohio,
[cited 2006 May 12]. Available from: URL http://osuergo.eng.ohiostate.edu/
institute/guidelines.htm.
McAtamney, L. and Corlett, E.N. 1993 "RULA" : A survey method for investigation of
work-related upper limb disorders. Applied Ergonomics, Whilst COPE
Occupational Health and Ergonomic Services Ltd (COPE) and Osmond Group
Limited 24(2), 91-99 [cited 2006 October 8] Available from: URL: http://
www.ergonomics.co.uk or:
Melhorn, JM. 1996. A Prospective Study for Upper-Extremity Cumulative Trauma
Disorders Of Workers In Aircraft Manufacturing. Journal Occup. Environ Med;
38:64-71.
Michelle, M. 2006. Macro Ergonomics: A Work System Design Perspective. [cited 2006
January 24]. Available from: URL: http://www.ergonomieself.org.
Moroney, W. F., 1995, The Evolution of Human Engineering: A Selected Review (Jon
Weimer. Research Techniques in Human Engineering. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice-Hall PTR)
Nagamachi, M. 1993. Participatory Ergonomics; A Unique Technology Science, The
Ergonomics of Manual Work, Proceedings of the International Ergonomics
Penero, J and Zelnik, M, 1979. Human Dimension and Interior Space: A Source Book of
Design Reference Standards. London: The Architectural Press
Pheasant, S. 1991. Ergonomics Work and Health. London: Macmillan Press Scientific &
Medical.
Revida, E., 2004. Gaya Kepemimpinan Situasional dan Produktivitas Kerja. Digitized by
USU digital library [cited 2006 July 1] Available from:URL:http://
library.usu.ac.id/modules.php?op
=
modload&name
=
Downloads
&file
=
index&req
=
getit&lid
=
105
Rodahl, K. 1989. The Physiology of Work. Philadelphia: Taylor & Francis.
Shadily, H. 1990. Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve
43

Sinungan, M. 1987. Produktivitas Apa dan Bagaimana. Jakarta. PT Bina Aksara.
Sumamur, PK. 1995. Higene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Toko Gunung
Agung.
Sutajaya, M. 2006. Manfaat Praktis Ergonomi. Kerjasama Bagian Faal Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Dengan Jurusan Perdidikan Biologi Fakultas Pendidikan
MIPA Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali. Denpasar: Bagian Faal
Fakultas Kedokderan Universitabs Udayana.
Sutjana, D.P. dan Susila, IGN. 1997. Pedoman Pengukuran Anthropometri. Denpasar:
Program Studi Strata Dua (S2) Ergonomi. Universitas Udayana
Sutjana, D.P. dan Sutajaya I M. 2000. Penuntun Tugas Lapangan Mata Kuliah
Ergonomi-Fisiologi Kerja. Denpasar: Program Pascasarjana.Program Studi
Ergonomi-Fisiologi Kerja Universitas Udayana.
Sutjana, D.P., Sutajaya I M. 2000. Penuntun Tugas Lapangan Mata Kuliah Ergonomi-
Fisiologi Kerja. Denpasar: Program Pascasarjana.Program Studi Ergonomi-
Fisiologi Kerja Universitas Udayana.
Wignjosoebroto, S. 2006. Aplikasi Ergonomi dalam Peningkatan Produktivitas dan
Kualitas Kerja Industri. (makalah Lepas) disampaikan dalam acara seminar
Nasional Ergonomi-K3 peranan Ergonomi dan K-3 Dalam Peningkatan
Produktivitas dan Mutu Kerja Surabaya: Jurusan Teknik Industri FTI-ITS dan
perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI) ITS Surabaya.
Wilson, J.R. and Corlett, E.N. (1990). Evaluation of human work. A practical ergonomics
methodology. (Nottingham : University of Nottingham).
Wilson, J.R. and Corlett, E.N. (1990). Evaluation of human work. A practical ergonomics
methodology. (Nottingham : University of Nottingham).
Wilson, J.R., Corlett, E.N. and Manenica, I. (1987). New Methods in Applied Ergonomics.
(London: Taylor and Francis), pp. 283 + x.
Wolinsky, I., Hickson, J.F.1994. Nutrition in Exercise and Sport. London: CRC. Press.

You might also like