You are on page 1of 11

IZIN POLIGAMI BAGI PNS DAN AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI UU NO. 1 TAHUN 1974, PP. No.

10 TAHUN 1983 jo PP. No. 45 TAHUN 1990


(Studi di Pengadilan Agama Malang)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Hukum

Disusun Oleh :

E R N A W A TI
Nomor Pokok : 99.100.322

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG FAKULTAS HUKUM 2003

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan Dalam kehidupan ini Allah telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan wanita untuk hidup bersama menjadi suami istri yang saling menyayangi dan kemudian dengan lahirnya anak-anak mereka terbentuklah suatu keluarga yang diharapkan menjadi keluaraga yang mawadah warakmah atau keluarga yang sakinah yang berlandasrkan syariat Islam. Sehingga Allah SWT telah mensyariatkan perkawinan dengan tujuan agar tercipta hubungan yang harmonis antara laki-laki dan wanita di bawah naungan syariat Islam dan batasan-batasan hubungan antar mereka. Tampak adanya hubungan yang erat antara laki-laki dan wanita dijelaskan dalam firman Allah SWT yaitu : Danm diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istriistri dari jenismu sendiri supata kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rumm : 21). Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga suami istri harus saling membantu dan melengkapi, agar masing2

masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Dan dijelaskan dalam pasal 3 ayat 1 bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya dioperbolehkan mempunyai seorang istri, dan sebaliknya wanita hanya mempunyai seorang suami.1) Dari pasal tersebut di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 menganut suatu asas perkawinan monogami tetapi dalam pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Yang berarti UU perkawinan menurut memberikan perkecualian bagi orang-orang tertentu yang menurut peraturan agama yang dianutnya memang diijinkan untuk menikah lebih dari satu untuk itu, walau dengan syarat-syarat yang cukup berat. Poligami menurut agama Islam dapat diketahui dalam Kitab Suci Alquran Surat An-Nisa ayat 3 yang artinya : Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak perempuan yatim (jika kamu nikahi), hendaklah kamu menikahi siapa saja diantara perempuanperempuan yang kamu sukai 2 orang atau 3 orang atau 4 orang. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak dapat adil terhadap mereka, cukuplah seorang saja atau kamu mengambil budak-budak perempuan kamu. Demikian itu lebih dekat menjadikan kamu berbuat tidak dzalim.2) Ayat di atas menjelaskan 3 hal sebagai berikut :
1 2 2

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Muhammad Thalib. Tuntutan Poligami dan Keutamaannya.

1. Orang-orang yang khawatir berlaku tidak adil dalam mengurus harta anak perempuan yatim tidak boleh menikahinya agar terjauhkan dari berbuat dzalim terhadap hartanya tersebut. 2. Mereka hendaklah memilih perempuan lain sebagai istri diantara perempuanperempuan yang disukainya, boleh 2 orang atau 3 orang, atau 4 orang. 3. Jika seorang lelaki muslim takut tidak dapat berbuat adil dalam berpoligami, ia lebih baik beristri seorang saja. Jika tidak mampu beristri seorang, lebih baik dia mengambil budak perempuannya untuk menjadi pasangan hidupnya. Dari penjelasan di atas menerangkan bahwa Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntutan kehidupan. Allah paling mengetahui kemaslahatan hamba-Nya. Allah SWT telah mensyariatkan poligami untuk diterima tanpa keraguan demi kebahagiaan seorang mukmin di dunia dan akhirat. Tetapi Islam juga memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur serta membatasi keburukan dan mudharath poligami dan tujuannya untuk memelihara hak-hak wanita memelihara kemuliaan mereka yang dahulu terabaikan karena poligami yang tanpa ikatan, persyaratan dan jumlah tertentu.3). Dengan demikian seorang yang akan berpoligami sebelum berlakunya UU No. Tahun 1974 tidak ditentukan syarat-syarat harus ada ijin dari pengadilan, dan tidak diharuskan ada persetujuan dari isteri mereka. Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 maka bagi seorang yang beristri lebih dari seorang, wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (pasal 4 ayat (1)) dan pengadilan hanya memberikan izin kepada
3

Musfir Aj-Jahrani. Poligami dari Berbagai Persepsi.

seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak boleh melahirkan keturunan Dengan melihat ketentuan yang ada dapat diketahui bahwa bagi seorang yang beristri lebih dari seorang harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UU No. 1 Tahun 1974 dan agama yang dianutnya membolehkan atau tidak. Kedua syarat tersebut dapat dipertimbangkan dan diputuskan oleh Pengadilan apabila syarat tersebut terpenuhi. Walaupun UU No. 1 Tahun 1974 telah menentukan prosedur dan syaratsyarat tertentu bagi seseorang yang beristri lebih dari seorang. Ada pula syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi golongan tertentu untuk beristri lebih dari seorang yaitu golongan ABRI dan Pegawai Negeri Sipil yang harus memenuhi peraturan-peraturan khusus (Lex Specialis) disamping peraturan-peraturan umum (Lex Generalis). Sebagai Lex Specials, prinsip-prinsip yang dikandung oleh Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 dengan sendirinya tidak bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, bagi Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, bagi Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 hanyalah kelanjutan dari kedua perundangan tersebut, dimana sama-sama menganut

asas monogami dan untuk memperketat adanya poligami, hanya saja dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 lebih ditekankan pada perijinan dari pejabat atasannya. Dengan ketentuan yang ada bahwa seorang yang bermaksud hendak beristri lebih dari seorang harus melakukan beberapa ketentuan yaitu : Mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-alasannya seperti dimaksud pasal 4 dan pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974 jo pasal 41. PP No. 9 Tahun 1975 kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tiggalnya dengan membawa Kutipan Akta Nikah yang terdahulu dan surat-surat izin yang diperlukan. Kemudian Pengadilan Agama memeriksa hal-hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk mengeluarkan penetapan yang berbentuk izin untuk boleh atau tidaknya beristri lebih dari seorang dan pengadilan harus memperhatikan juga apakah agama pemohon memperbolehkan untuk bersitri lebih dari seorang, dan apabila pemohon adalah Pegawai Negeri Sipil maka harus memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 pasal 5 ayat 2 yang berbunyi : Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian, atau untuk beristri lebih dari seorang, maupun untuk menjadi istri kedua atau ketiga atau keempat, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud. 6

Maksud dari penjelasan di atas ialah : Bagi seorang yang hendak beristri lebih dari seorang harus memenuhi ketentuanketentuan yang ditetapkan (sesuai dengan uraian di atas) dan meminta prmohonan izin untuk beristri lebih dari seorang kepada pejabat yang berwenang dengan memberikan alasan-alasan yang tepat untuk beristri lebih dari seorang. Maka setiap pejabat yang menerima permohonan izin untuk melakukan perceraian atau beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan secara tertulis dan pejabat tersebut harus memuat hal-hal yang digunakan oleh pejabat dalam mengambil keputusan, apakah permintaan itu mempunyai dasar yang kuat atau tidak. Dan sebagai bahan dalam membuat pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat meminta keterangan dari suami atau istri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang dipandangnya dapat memberikan keterangan yang menyakinkan. Berangkat dari penjelasan latar belakang penjelasan tersebut di atas, maka penulis bermaksud dan tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam wujud skripsi dengan judl : Tinjauan Yuridis tentang Izin Beristri Lebih dari Seorang oleh Pegawai Negeri Sipil Ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993. (Studi di Pengadilan Agama Malang). B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan-permasalahan yang kemudian timbul adalah sebagai berikut : 1. Apakah faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan Pengadilan Agama

Malang untuk memberikan izin beristri lebih dari seorang ? 2. Bagaimana akibat hukum jika Pegawai Negeri Sipil meminta izin beristrberistri lebih dari seorang ? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang dipakai oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara permohonan izin beristri lebih dari seorang. 2. Untuk mengetahui akibat hukum bagi Pegawai Negeri Sipil yang meminta izn beristri lebih dari seorang tanpa memenuhi prosedur yang telah ditentukan. D. Metode Penelitian Dalam hal ini metode penelitian yang penulis gunakan adalah sebagai berikut : 1. Sumber Data a. Data Lapangan Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui wawancara responden yang sangat erat hubungannya dengan materi penelitian ini. Untuk itu penulis menentukan sampelmya secara langsung seperti kepada kepala bagian masalah perkawinan dan yang menyangkut obyek data di Kepaniteraan Pengadilan Agama Kodya Malang, sehingga permasalahannya akan mejadi jelas dan gamblang. 8

b. Data Kepustakaan Yaitu data yang diperoleh dengan cara membaca, mempelajari, mencatat dari buku-buku literatur, majalh-majalah serta bahan kepustakaan lainnya yang dapat menunjang selesainya penulisan ini. 2. Teknik Pengum[ulan Data lapangan Agar dapat diperoleh data yang sangat sesuai dengan permasalahan

dalam penelitian ini sangatlah perlu digunakan teknik pengumpulan data. Adapun teknik tersebut adalah sebagai berikut : a. Wawancara Yaitu proses tanya jawab secara lisan, dimana penulis mengajukan pertanyaan secara langsung kepada responden dan mencatat semua informasi yang diberikan responden. Penulis disini mewancari langsung dnegan Seksi Kabag masalah perkawinan di Pengadilan Agama Kotamadya malang guna memperoleh data yang valid tentang tingkat dan prosentasi mengenai izin bersitri lebih dari seorang oleh pegawai negeri sipil saat ini. b. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mendukung persoalan data, dengan menggunakan sumber-sumber catatan, arsip-arsip dan berdasarkan keterangan secara tertulis yang tersimpan secara sistematis di lokasi penelitian. Teknok dokumentasi ini merupakan teknik pelengkap dalam pengumpulan data hasil wawancara, karena tidak semua data yang diperoleh itu lengkap.

Disamping itu dokumentasi merupakan data yang otentik mengenai kejadian atau kondisi yang telah lalu serta obyektif. 3. Analisa Data Data yang diperoleh dalam penulisan ini akan dianalisa secara deskriptif kualitatif yaitu suatu analisa yang menggambarkan fakta-fakta yang di dapat di lapangan secara obyektif. Untuk menjawab persoalan yang ada dalam penelitian dan mencari pemecahan menurut ketentuan hukum yang berlaku, sehingga hasil dari analisa tersebut disusun secara sistematis, serta dapat ditarik suatu kesimpulan dan saran. E. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam pembahasan skripsi yang penulis susun ini adalah : BAB I : Pendahuluan Pada bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang dari permasalahan yang diteliti, kemudian dijelaskan mengenai perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penlitian, serta sistematika penulisan. BAB II : Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Pada bab ini penulis akan membahas tentang pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan, syarat-syarat perkawinan, sahnya perkawinan, asas-asas perkawinan, akibat hukum suatu perkawinan. BAB III : Pembahasan Hasil Penelitian 10

Bab ini merupakan pembahasan tentang faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan Pengadilan Agama Malang untuk mengabulkan izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil dan akibat hukum jika Pegawai Negeri Sipil yang berpoligami. BAB IV : Penutup Dalam bab penutup ini berisikan mengenai kesimpulan-kesimpulan dari hasil penelitian dan sekaligus memberikan saran yang diperlukan.

You might also like