You are on page 1of 10

SISTEM INTEGRASI TERNAK DENGAN TANAMAN PERKEBUNAN

ANDI ISHAK

1. Abstrak Integrasi sapi dengan kelapa sawit merupakan suatu sistem usahatani tanaman ternak yang potensial dikembangkan di Indonesia karena didukung oleh luas pertanaman kelapa sawit sekitar 7 juta hektar dan kesesuaian adaptasi ternak sapi yang baik. Kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini belum swasembada dan sebagian masih diimpor dapat ditingkatkan populasi dan produktivitasnya melalui integrasi dengan perkebunan kelapa sawit. Integrasi ini juga dapat meningkatkan efisiensi usaha pada perkebunan kelapa sawit. Sinergi positif yang dapat dicapai dari integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah dapat menjamin suplai pakan bagi ternak sapi, penghematan penggunaan pupuk anorganik bagi tanaman kelapa sawit dan penghematan tenaga kerja dalam pengangkutan TBS kelapa sawit dan tenaga pencari rumput untuk pakan sapi. Dengan adanya integrasi, permasalahan limbah ternak sapi dan limbah kegiatan agribisnis kelapa sawit bukan saja dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali, namun juga memberikan nilai tambah bagi seluruh pelaku usaha. Usahatani integrasi ternak sapi dengan kelapa sawit ke depan juga dapat menyehatkan lahan-lahan pertanian melalui pengembangan penggunaan pupuk organik dan dapat meningkatkan nilai tambah produk CPO sebagai produk organik yang ramah lingkungan. Kata kunci: Integrasi, Sapi, Kelapa Sawit. 2. Pendahuluan Sapi merupakan ternak penghasil daging utama di Indonesia. Konsumsi daging sapi mencapai 19% dari jumlah konsumsi daging nasional (Dirjen Peternakan, 2009). Konsumsi daging sapi cenderung meningkat dari 4,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2006 menjadi 5,1 kg/kapita/tahun pada tahun 2007. Namun laju konsumsi ini tidak diimbangi dengan laju peningkatan populasi ternak (ketidakseimbangan antara supply demand), sehingga diseimbangkan dengan impor daging sapi setiap tahun yang terus meningkat sekitar 360 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 650 ribu ton pada tahun 2008 (Luthan, 2009). Jumlah ternak ruminansia lokal Indonesia menurut laporan Direktorat Jenderal Peternakan cukup besar yaitu 11,86 juta ekor yang dikelola sekitar 4,6 juta Rumah Tangga Peternak (RTP). Namun sampai saat ini hampir 42% konsumsi daging dalam negeri masih diimpor. Diperkirakan pada tahun 2015, bila tidak dilakukan upaya-upaya yang serius maka hampir 55% konsumsi daging sapi masyarakat akan dibanjiri oleh produk bakalan impor dan daging impor (Luthan, 2009). Menurut Chaniago (2009), Indonesia menghabiskan devisa sekitar 5,5 trilyun rupiah pada tahun 2008 untuk mengimpor sapi bakalan 550.000 ekor, daging sapi beku dan jeroan sapi ribuan ton. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor sapi potong, Departemen Pertanian mengeksekusi program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) dengan target pemenuhan kebutuhan daging pada 2010 secara domestik sebesar 90 95%. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain dengan mendistribusikan bibit sapi potong ke berbagai propinsi potensial untuk dikembangkan secara intensif. Idealnya peningkatan populasi sapi setidaknya mencapai 7% per tahun atau 15 juta ekor pada tahun 2008, namun kenyataannya populasi sapi pada tahun 2008 hanya dapat mencapai 11,9 juta ekor (Dirjen Peternakan, 2009). Yang jadi pertanyaan, mengapa Indonesia saat ini dapat berswasembada beras maupun dapat

mengekspor CPO namun mengeluarkan devisa yang sedemikian besar untuk mengimpor sapi, apakah pembangunan di bidang peternakan tidak menjadi perhatian untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat? Pertanyaan ini diantaranya dijawab oleh Handaka et al (2009) sebagai berikut: dalam kebijakan pengembangan sistem usahatani di Indonesia, hanya terfokus pada peningkatan produktivitas tanaman, sedangkan komponen ternak terabaikan. Konsekuensi yang terjadi adalah hasil padi dan tanaman perkebunan meningkat secara tajam, sedangkan peningkatan produktivitas ternak stagnan atau relatif konstan. Hal ini ditambah dengan mahalnya penelitian on-farm bidang peternakan, kendala pemasaran pada peningkatan produksi dan adanya kepercayaan bahwa hanya usaha ternak komersial yang menguntungkan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah pengembangan produksi peternakan diantaranya dengan usahatani sistem integrasi sapi tanaman, khususnya dengan tanaman perkebunan. Hal ini didukung oleh data dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2009) bahwa potensi sumberdaya lahan untuk pengembangan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 100,7 juta ha yang limbahnya dapat mencukupi biomassa pakan sapi sepanjang tahun (1-3 ekor sapi/ha). Bila tidak dimanfaatkan, limbah pertanian akan menjadi masalah dan kendala dalam agribisnis, karena pada saat panen terbuang dan menjadi pencemar. Keuntungan sistem integrasi tanaman ternak menurut Handaka et al (2009) adalah: (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya, (2) mengurangi resiko usaha, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan input produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia, (6) ramah lingkungan, (7) meningkatkan produksi, dan (8) pendapatan rumah tangga petani yang berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak memadukan sistem usahatani tanaman dengan sistem usahatani ternak secara sinergis sehingga terbentuk suatu sistem yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Menurut Chaniago (2009), tujuan integrasi kelapa sawit dengan ternak sapi adalah untuk mendapatkan produk tambahan yang bernilai ekonomis, peningkatan efisiensi usaha, peningkatan kualitas penggunaan lahan, peningkatan kelenturan usaha menghadapi persaingan global, dan menghasilkan lingkungan yang bersih dan nyaman. 3. Konsep Integrasi Tanaman Ternak Menurut Dirjen Peternakan (2009), secara garis besar integrasi terkait dengan sistem produksi ternak dibagi menjadi dua sistem yaitu: 1. Sistem produksi berbasis ternak (solely livestock production system) yaitu sekitar 90% bahan pakan dihasilkan dari on-farm-nya, sedangkan penghasilan kegiatan non peternakan kurang dari 10%. 2. Sistem campuran (mix farming system) yaitu ternak memanfaatkan pakan dari hasil sisa tanaman. Dengan integrasi tersebut maka akan tercipta sentra pertumbuhan peternakan baru dimana komoditi ternak dapat saja menjadi unggulan (solely) atau komoditi ternak hanya sebagai penunjang (mix faming). Tetapi bisa saja terjadi, ternak yang tadinya sebagai unsur penunjang kemudian secara bertahap menjadi unsur utama atau sebalikya. Perpaduan sistem integrasi tanaman dengan ternak, dicirikan dengan adanya saling ketergantungan antara kegiatan tanaman dan ternak (resource driven) dengan tujuan daur ulang optimal dari sumberdaya nutrisi lokal yang tersedia (Low External Input Agriculture Sistem atau LEIAS). Sistem yang kurang terpadu dicirikan dengan kegiatan tanaman dan ternak yang saling memanfaatkan, tetapi tidak tergantung satu sama lain (demand driven) karena didukung oleh

input eksternal (High External Input Agriculture Sistem atau HEIAS) (Dirjen Peternakan, 2009). Menurut Handaka et al (2009), sistem integrasi tanaman ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu kegiatan usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Sistem integrasi tanaman ternak dalam sistem usaha pertanian di suatu wilayah merupakan ilmu rancang bangun dan rekayasa sumberdaya pertanian yang tuntas. 4. Dukungan Potensi Sumberdaya Lahan Di Indonesia, ternak sapi dapat diintegrasikan dengan berbagai komoditi tanaman, seperi tanaman pangan (padi, jagung) serta tanaman perkebunan (kelapa sawit, kakao). Disamping itu ternak sapi sangat baik beradaptasi dengan pola iklim dan ketinggian tempat, sehingga dapat dipelihara pada lahan sawah, lahan kering semusim dan lahan kering tahunan dari dataran rendah sampai pegunungan. Kesesuaian lahan untuk pertanian yang berpotensi untuk usahatani sistem integrasi ternak sapi dengan tanaman disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kesesuaian Lahan untuk Pertanian di Indonesia. Lahan Kering Lahan Kering Sawah Jumlah (Tan. Semusim) (Tan. Tahunan) Wilayah . juta hektar .. Sumatera 6,05 6,06 16,84 28,89 Jawa 4,59 1,13 4,47 10,18 Bali dan Nusa Tenggara 0,48 1,15 1,54 3,17 Kalimantan 3,01 10,77 14,73 28,51 Sulawesi 2,38 1,87 4,80 9,06 Maluku dan Papua 8,04 4,40 8,52 20,96 Indonesia 24,56 25,32 50,89 100,77 Sumber: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, (2009). Pada Tabel 1 di atas, tampak bahwa peluang pengembangan lahan terbesar untuk integrasi tanaman ternak ada pada lahan kering yang ditanami dengan tanaman tahunan (perkebunan) yaitu 50,89 juta ha atau 50,5% dari potensi lahan yang ada yaitu 100,77 juta hektar. Sehingga lebih besar peluang pengembangan integrasi sapi dengan tanaman perkebunan di Indonesia. 5. Keragaan Petani Potensial Pelaksana Usaha Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit Petani di pedesaan umumnya memiliki jenis usaha yang beragam di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari pengamatan lapangan terlihat bahwa kebanyakan petani yang eksis dalam berusahatani tidak menggantungkan kehidupan mereka pada satu komoditi saja. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka memiliki lahan (tanaman semusim dan atau tahunan), ternak (ruminansia, unggas, dan atau ikan), atau kedua-duanya (lahan dan ternak), walaupun jumlah kepemilikan lahan dan ternak tersebut relatif terbatas. Dalam waktu tertentu, seorang petani dapat mengolah lahan dan memelihara ternak. Status mereka dapat berubah-ubah dari buruh tani, petani penggaduh, petani penyewa, dan atau sekaligus sebagai petani pemilik dalam satu kurun waktu. Diversifikasi usahatani telah tumbuh dan berkembang di perdesaan, salah satunya bertujuan untuk mengantisipasi resiko usaha dari kegagalan usahatani sejenis. Namun pola integrasi (mix farming) belum banyak dilakukan atau dikenal oleh petani skala kecil, karena umumnya pola

usaha yang dilakukan adalah subsisten. Padahal kesempatan untuk melakukan integrasi sangat besar ditinjau dari potensi lahan dan ternak yang ada. Salah satu penyebabnya adalah penguasaan dan pemanfaatan teknologi pertanian. Pada Tabel 2 ditampilkan karakteristik sistem usahatani dengan pemanfaatan teknologi pertanian menurut Handaka et al (2009). Tabel 2. Karakteristik Hubungan Sistem Usahatani dengan Pemanfaatan Teknologi Pertanian. Variabel Subsisten Integrasi Semi Komersial Komersial Input Semuanya Campuran antara Dibeli di pasar atau Dibeli di pasar diusahakan diusahakan sendiri dan kios, sudah memiliki dengan standar sendiri dibeli dari tetangga standar/sertifikat dan kualitas Tenaga kerja Semua tenaga Campuran antara dalam Sebagian besar tenaga Luar dan kerja sendiri keluarga dan luar kerja luar (sewa/upah) mekanisasi keluarga Penggunaan Untuk sendiri Kebanyakan untuk Sebagian dipakai Dijual output sendiri, surplus dijual sendiri, surplus dijual komersial Diversifikasi Tidak/belum ada Ada namun terbatas Ada Spesialisasi Kelembagaan Tidak/belum Masih antar Ada, perlu bantuan Mutlak dikenal atau tidak anggota/gotong royong kredit dari lembaga diperlukan terlibat kuat keuangan Mekanisasi Semuanya Manual/tenaga Sebagian mekanisasi Sebagian besar manual/hewan ternak/mekanisasi atau seluruhnya mekanisasi Tabel 2 menunjukkan bahwa sistem usahatani integrasi (mix farming), merupakan pengembangan dari sistem usahatani subsisten. Pada sistem integrasi ini, ada upaya petani untuk menggunakan modal dalam pembelian input, penggunaan tenaga kerja luar keluarga dalam pengelolaan usaha, menjual kelebihan hasil usahatani, menerapkan perpaduan pemanfaatan tanaman dengan ternak, melibatkan kelompok tani/kelompok masyarakat dalam usaha, serta telah mengenal mekanisasi dalam skala kecil. Dalam skala luas, integrasi sapi dengan kelapa sawit dapat saja melibatkan peranan perusahaan perkebunan swasta karena didukung oleh luas kepemilikan lahan yang besar. Sebagai contoh, pada tahun 2008 luas tanaman sawit di Indonesia sekitar 7 juta hektar yang tersebar di 18 propinsi, Perkebunan Besar Swasta (PBS) memiliki 3,5 juta ha (50%), Perkebunan Besar Negara (PBN) 650 ribu hektar (9,3%), dan Tanaman Sawit Rakyat (TSR) 2,85 juta ha (40,7%) (Chaniago, 2009). Luas kepemilikan kebun sawit oleh swasta yang sedemikian besar menjagi peluang yang juga sangat besar dalam pengembangan integrasi sapi dengan kelapa sawit yang dapat saja melibatkan petani pada kebun inti atau pada kebun plasmanya. 6. Integrasi Ternak Sapi dengan Kelapa Sawit Usahatani ternak sapi menghadapi tantangan penyusutan lahan sehingga produksi hijauan dan hasil samping pertanian yang dapat dijadikan pakan sapi juga ikut berkurang. Disisi lain, usahatani ternak sapi dituntut untuk terus memacu produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri yang terus berkembang. Memacu produksi melalui pemberian konsentrat tidaklah ekonomis, karena harganya terlalu mahal dan terus naik, karena bahan bakunya sebagian diimpor dan bahan baku asal dalam negeri bersaing dengan kebutuhan lain. Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumberdaya (Suharto, 2003). Jika dianalisis secara umum, dapat diketahui bahwa integrasi sapi dengan kelapa sawit yang

dapat dilakukan petani umumnya mengisi relung sistem pertanian integrasi atau semi komersial. Hal ini karena usahatani integrasi hanya dapat dilakukan oleh petani yang memiliki lahan kelapa sawit dan ternak sapi. Dari segi penguasaan modal produksi, petani pelaksana integrasi sapi dan kelapa sawit relatif memiliki taraf kehidupan yang lebih baik daripada petani subsisten. Dukungan perusahaan perkebunan swasta maupun pemerintah melalui sistem inti-plasma dapat ikut mendukung usaha integrasi sapi dan tanaman perkebunan jika hal ini menjadi salah satu perhatian perusahaan. Petani yang memiliki/merawat kebun dapat saja mengintegrasikan kebunnya sebagai sumber pendapatan utama dengan ternak sapi yang dibantu melalui kredit lunak oleh perusahaan perkebunan (bagi petani plasma) maupun melalui program pemerintah (petani rakyat). Limbah tanaman perkebunan yang melimpah dapat dijadikan pakan ternak sapi, sebaliknya ternak sapi dapat menjadi tenaga kerja dan sumber pupuk organik bagi tanaman. Melalui pola di atas, efisiensi usaha perkebunan meningkat melalui pengurangan pupuk kimia karena telah disubstitusi oleh pupuk organik yang dapat diolah dari kotoran sapi serta biaya angkut menjadi lebih murah karena dapat menggunakan sapi sebagai tenaga kerja, khususnya dari lokasi-lokasi kebun yang sulit dijangkau. Efisiensi usaha ternak dapat ditingkatkan melalui penyediaan pakan yang kontinyu dari limbah perkebunan, mudah dan murah diperoleh. Dengan demikian, masalah limbah, baik dari ternak sapi maupun dari kebun/pabrik dapat teratasi. Pengembangan peternakan sapi terkendala oleh penyediaan pakan yang berkualitas karena semakin terbatasnya lahan untuk penggembalaan dan untuk penanaman hijauan makanan ternak. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Program P2SDS mendorong agar usaha peternakan rakyat dapat diintegrasikan dengan usaha perkebunan atau pertanian pangan/hortikultura. Strategi ini penting karena usaha pertanian non peternakan menghasilkan limbah atau biomassa yang berpotensi sebagai sumber pakan bagi ternak, salah satunya berasal dari perkebunan kelapa sawit (Siahaan et al, 2009). Selanjutnya Siahaan et al (2009) menambahkan bahwa tanaman kelapa sawit yang diintroduksi sejak tahun 1848 ke Indonesia, merupakan komoditas penting bagi Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Bila daging sapi merupakan sumber protein hewani, kelapa sawit merupakan sumber utama minyak dan lemak nabati untuk pangan bagi penduduk Indonesia. Kontradiksinya yaitu bila ternak sapi masih diimpor, minya sawit merupakan barang ekspor yang pada tahun 2008 volume ekspornya mencapai 13 juta ton (72,2%) dari volume produksi 18 juta ton dengan nilai ekspor 12 milyar dollar Amerika Serikat. Ketergantungan terhadap ekspor ini mempunyai potensi pelemahan terhadap viabilitas industri kelapa sawit. Terbukti bahwa penurunan harga yang terjadi dua tahun terakhir ini terkait dengan krisis finansial global telah memukul pelaku bisnis kelapa sawit, dan yang paling terpengaruh adalah petani skala kecil (smallholder) (Siahaan et al, 2009; Chaniago, 2009). Selain itu biaya produksi juga meningkat karena harga pupuk yang melonjak tinggi akhir-akhir ini, biaya tenaga kerja yang juga meningkat dan semakin besarnya penyediaan Tandan Buah Segar (TBS) ke pabrik yang berdampak pada harga jual yang cukup rendah. Diversifikasi usaha perkebunan sawit yang terintegrasi dengan usaha lain perlu dilakukan untuk mengurangi gejolak perubahan harga. Salah satunya adalah integrasi perkebunan kelapa sawit dengan peternakan sapi. Chaniago (2009) melaporkan bahwa keuntungan integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah diperolehnya output tambahan yaitu lebih banyak produksi TBS dan Crude Palm Oil (CPO) akibat pupuk organik, penghematan biaya pembuatan kolam limbah pabrik kelapa sawit, penghematan biaya transportasi TBS, penghematan biaya pupuk karena menggunakan pupuk organik sendiri, penghematan pembuatan dan pemeliharaan jalan, pertambahan bobot hidup sapi dengan biaya murah karena pakan limbah yang murah, dan kebersihan lingkungan.

Peternakan sapi di sekitar perkebunan kelapa sawit dimulai dalam bentuk penggembalaan bebas untuk memanfaatkan ketersediaan hijauan berbentuk gulma di bagian bawah tanaman kelapa sawit. Awaludin dan Masurni (2004) melaporkan bahwa pada tahun 2002, terdapat 214 perkebunan kelapa sawit di Malaysia telah melaksanakan sistem integrasi dengan 127.589 ekor sapi dalam program pengendalian hama terpadu pada kebun kelapa sawit. Hasilnya, usaha penggemukan sapi dapat menekan perkembangan gulma sampai 77% sehingga dapat menghemat biaya pengendalian gulma pada perkebunan kelapa sawit. Di Indonesia, Pusat Penelitian Kelapa Sawit secara konservatif tidak menganjurkan penggembalaan, namun perkandangan pada integrasi sapi dengan kelapa sawit. Hal ini karena mengganggu pertanaman kelapa sawit seperti pengerasan tanah, kemungkinan sapi memakan pelepah muda tanaman sawit yang belum menghasilkan, disamping itu produktivitas sapi relatif rendah karena kurang terkendalinya kualitas dan kuantitas pakan (Siahaan et al, 2009). Selain menghasilkan CPO sebagai komoditas utama, industri kelapa sawit juga menghasilkan beberapa jenis hasil samping yang potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, yakni serabut mesokarp (palm press fibre/PPF), lumpur sawit (palm sludge/PS), bungkil inti sawit (oil palm frond/OPF), dan pelepah sawit (oil palm trunk/OPT) yang diperoleh dari kebun kelapa sawit. Gambar 2 menampilkan komposisi produk dan hasil samping pabrik kelapa sawit dan potensi pemanfaatannya sebagai pakan ternak (Elisabeth dan Ginting, 2004). Tandan Buah Segar (TBS) Tandan kosong sawit (TKS) (23%) PPF (13%) Minyak sawit (20-22%) Inti sawit (5%) Cangkang (7%) PS (2%, BK) OPF (45-46%) POS (2%, BK) Gambar 2. Produk dan Hasil Samping dari Pabrik Kelapa Sawit (tulisan yang dimiringkan dalam kotak adalah bahan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak). Untuk lebih jelasnya, hasil utama dan hasil ikutan perkebunan kelapa sawit (Wijono et al, 2004) adalah sebagai berikut: 1. Produk utama kelapa sawit Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak buah kelapa sawit. Palm Kernel Oil (PKO) adalah minyak inti biji sawit. 1. Produk hasil ikutan pengolahan kelapa sawit Palm Press Fibre (PPF) adalah serat buah sawit merupakan sisa perasan buah sawit. Palm Sludge (PS) adalah lumpur sawit merupakan cairan sisa pengolahan minyak sawit. Palm Kernel Cake (PKC) adalah bungkil kelapa sawit berupa sisa ekstraksi inti sawit. 1. Produk perkebunan kelapa sawit

Oil Palm Fronds (OPF) adalah pelepah daun sawit berupa bagian dalam pangkal batang daun kelapa sawit. Empty Fruits Bunch (EFB) adalah tandan buah kosong atau tandan yang dikastrasi atau tidak berbiji. 1. Produk lahan perkebunan Produk Hijauan Antar Tanaman (HAT) adalah vegetasi di lahan perkebunan (leguminosa, semak, ilalang, rumput lapangan). Komposisi nutrisi produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Produk Samping Tanaman dan Pengolahan Kelapa Sawit. Bahan/Produk Bahan Abu Protein Serat Lemak (% BETN Ca P GE Samping Kering Kasar Kasar BK) (Kal/g) (%) Pelepah 26,07 5,10 3,07 50,96 1,07 39,82 0,96 0,08 4,841 Bungkil inti 91,83 4,14 16,33 36,68 6,49 28,19 0,56 0,84 5,178 sawit Serat perasan 93,11 5,90 6,20 48,10 3,22 4,684 Tandan kosong 92,10 7,89 3,70 47,93 4,70 Sumber: Mathius et al (2005). Menurut Ruswendi et al (2006), pemberian pakan solid (lumpur sawit yang dikeringkan) 1,3 kg/ekor/hari dan pelepah daun kelapa sawit 1,5 kg/ekor/hari memperlihatkan produktivitas Sapi Bali yang digemukkan hampir mencapai 2 kali lebih baik daripada Sapi Bali yang hanya diberi pakan hijauan, yakni masing-masing memperlihatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,267 kg/ekor/hari berbanding 0,139 kg/ekor/hari. Hal ini diperkuat oleh Sudaryono et al (2009), bahwa Sapi PO yang diberi pakan solid sebanyak 5 kg/ekor/hari dan hijauan memiliki pertambahan berat badan sebesar 0,378 kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan sapi yang mengkonsumsi pakan hijauan saja (0,199 kg/ekor/hari), disamping efisiensi tenaga kerja dalam mencari pakan hijauan mencapai 50%. Selanjutnya Sudaryono et al (2009) menambahkan bahwa hasil pengamatan pada 6 ha tanaman kelapa sawit rakyat setelah 6 bulan perlakuan pemberian pupuk (SP-36, KCl dan Urea) sebanyak 70% dari dosis anjuran dan kompos kotoran ternak sapi 20 kg/batang/tahun menunjukkan bahwa berat TBS rata-rata meningkat dari 9,3 kg menjadi 13,8 kg/tandan atau meningkat 48,2%. Diwyanto et al (2004) mengamati bahwa penggunaan Sapi Bali sebagai tenaga penarik gerobak ataupun untuk mengangkut TBS di PT. Agricinal Bengkulu telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan pendapatan pemanen, penurunan biaya tenaga kerja, serta menghasilkan kompos yang sangat diperlukan untuk mengurangi biaya pemupukan. Secara sosial ekonomi keuntungan pada perusahaan perkebunan sawit diantaranya adalah efisiensi tenaga kerja pemanen yang dapat ditingkatkan sebesar 50% dengan introduksi sapi sebagai pengangkut TBS (Manti et al, 2004). Diatas telah diuraikan beberapa hasil penelitian integrasi sapi dengan kelapa sawit yang secara garis besar menguntungkan petani/peternak maupun pemilik perkebunan kelapa sawit. Mengapa integrasi ini perlu dan mendesak untuk dilakukan di perkebunan kelapa sawit, Chaniago (2009) menguraikan beberapa alasan tentang hal tersebut sebagai berikut: a. Hambatan utama pengembangan populasi sapi adalah pakan yang cukup dan berkualitas, sedangkan agribisnis kelapa sawit dapat menyediakan pakan sapi berkualitas lebih dari cukup.

Integrasi sapi dalam kawasan kebun sawit akan dapat mendorong pencapaian swasembada daging dalam waktu yang relatif singkat. b. Integrasi menggunakan lahan usahatani yang semakin terbatas secara lebih efisien. Satu lokasi lahan dapat digunakan untuk beberapa komoditi pertanian. c. Lahan pertanian sudah sangat lelah (fatique soil), miskin akan bahan organik, sehingga sulit untuk mempertahankan produktivitasnya. Dengan adanya sapi di kawasan kebun sawit, maka faeces sapi bersama dengan tandan kosong sawit, limbah organik lainnya, dan limbah cair pabrik kelapa sawit bisa diolah menjadi pupuk organik untuk memupuk kelapa sawit sehingga kesuburan lahan dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk meningkatkan produksi TBS. d. Untuk meningkatkan kelenturan dan efisiensi usaha bila terjadi kegoncangan harga TBS seperti yang terjadi beberapa kali, terakhir terjadi pada akhir tahun 2008 dan awal 2009. Hasil usaha ternak sapi yang harganya selalu meningkat bisa meningkatkan neraca usaha. Saat ini dalam persaingan yang semakin ketat dalam usaha agribisnis kelapa sawit, usaha integrasi dapat membantu keberlangsungan agribisnis kelapa sawit. e. Telah terlihat trend yang sangat kuat peningkatan permintaan akan bahan pangan organik, maka permintaan dan penggunaan pupuk organik akan semakin meningkat. Pupuk organik yang dihasilkan dapat digunakan sendiri dan kelebihannya dapat dijual untuk memenuhi permintaan pasar yang memberikan tambahan pendapatan. Dengan penggunaan pupuk organik sepenuhnya maka produksi CPO menjadi bahan pangan organik yang diminati oleh konsumen. f. Harga pupuk anorganik terus meningkat, ketersediaannya semakin terbatas dan banyak terjadi pemalsuan pupuk, sehingga dengan pupuk organik ketersediaan pupuk akan terjamin baik kualitas maupun suplainya yang harganya relatif lebih murah dibanding pupuk anorganik. 7. Simpulan Beberapa simpulan dari integrasi sapi dengan kelapa sawit adalah sebagai berikut: 1. Potensi pengembangan integrasi sapi dengan kelapa sawit masih sangat besar ditinjau dari luas kebun kelapa sawit di Indonesia yaitu sekitar 7 juta ha. 2. Integrasi sapi dengan kelapa sawit dapat mendorong peningkatan populasi dan produktivitas sapi dan efisiensi usaha perkebunan sawit. 3. Secara ekonomi, peningkatan populasi ternak sapi dapat mengurangi impor yang menghemat devisa negara, meningkatkan kelenturan agribisnis kelapa sawit dalam persaingan global. 4. Sistem integrasi sapi dengan kelapa sawit memberikan tambahan pendapatan bagi petani peternak maupun pekebun dari hasil samping yang diperoleh (pakan, efisiensi tenaga kerja, penggunaan pupuk organik). 5. Usahatani integrasi sapi dengan kelapa sawit ramah lingkungan dan berkelanjutan. 8. Ucapan Terima Kasih Segala puji bagi Allah penulis panjatkan, atas nikmat-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini yaitu tugas mata kuliah Penyajian Ilmiah dengan judul: Sistem Integrasi Ternak dengan Tanaman Perkebunan (Telaah Kasus pada Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit). Tulisan ini penulis susun berdasarkan telaah pustaka dari beberapa tulisan ilmiah. Dengan tulisan ini, bukan saja kewajiban penulis sebagai mahasiswa pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Bengkulu dapat terpenuhi dalam mata kuliah

Penyajian Ilmiah, namun juga mengasah kemampuan penulis dalam membuat suatu tulisan ilmiah berdasarkan hasil telaah pustaka. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Ir. Urip Santoso, S. IKom., M.Sc., Ph.D selaku pengasuh mata kuliah Penyajian Ilmiah yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis tentang bagaimana cara menulis suatu karya ilmiah yang baik. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan angkatan IV Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, khususnya kepada Bapak Herry Muzakkir yang telah membantu memperkaya ide penulis dalam beberapa kali diskusi. Akhirnya penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat.

Daftar Pustaka Awaludin, R. dan S.H. Masurni (2004). Systematic Beef Cattle Integration in Oil Palm Plantation with Emphasis The Utilization of Undergrowth. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 23-35. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2009. Perspektif Daya Dukung Lahan Pertanian dan Inovasi Teknologi dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis Sawit, Padi dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Chaniago, T. 2009. Perspektif Pengembangan Ternak Sapi di Kawasan Perkebunan Sawit. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Kebijakan Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I.W. Mathius, dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 11-22. Elisabeth, J. dan S.P. Ginting, 2004. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 110-119. Handaka, A. Hendriadi, dan T. Alamsyah. 2009. Perspektif Pengembangan Mekanisasi Pertanian dalam Sistem Integrasi Ternak Tanaman Berbasis Sawit, Padi, dan Kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Luthan, F. 2009. Implementasi Program Integrasi Sapi dengan Tanaman Padi, Sawit dan Kakao di Indonesia. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Manti, I., Azmi, E. Priyotomo, dan D. Sitompul. 2004. Kajian Sosial Ekonomi Sistem Integrasi Sapi dengan Kelapa Sawit (SISKA). Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 245-260.

Mathius, I.W., A.P. Sinurat, B.P. Manurung, D.M. Sitompul, dan Azmi. 2005. Pemanfaatan Produk Fermentasi Lumpur-Bungkil Kelapa Sawit sebagai bahan Pakan Sapi Potong. Prosiding Seminar Nasional Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Pp. 17-26. Ruswendi, W.A. Wulandari, dan Gunawan. 2006. Pengaruh Penggunaan Pakan Solid dan pelepah Kelapa Sawit terhadap Pertambahan Bobot Badan Sapi Potong. Prosiding Lokakarya Hasil Pengkajian Teknologi Pertanian. BBP2TP Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 105-108. Siahaan, D., Frisda R. Panjaitan, dan A. Purba. 2009. Dukungan Penelitian terhadap Pengembangan Integrasi Kelapa Sawit dengan Ternak Sapi. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Sudaryono, T., Ruswendi, dan U.P. Astuti. 2009. Keragaan Sistem Integrasi Sapi dengan Tanaman Sawit di Bengkulu. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Suharto. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit di Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 57-63. Wijono, D.B., L. Affandhy dan A. Rasyid. 2004. Integrasi Ternak dengan Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 147-155.

You might also like