You are on page 1of 55

STUDY VEGETASI MANROVE DI PULAU DUA, TELUK BANTENKABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN Oleh : RIDLO IQBAL (Taruna Sekolah

Tinggi Perikanan Jurusan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Semester 6) Email : riqbal42@yahoo.com/ ridloiqbal@yahoo.com

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas 17.508 pulau-pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantainya 95.181 km. Luas daratan Indonesia sekitar 1,93 juta km2 sementara luas laut Indonesia sekitar 3,1 juta km2. Salah satu ekosistem yang sangat erat kaitannya dengan perairan Pantai adalah Mangrove. Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem kompleks terdiri atas flora dan fauna daerah pantai, yang terletak di antara batas air pasang dan air surut. Ekosistem ini berperan dalam melindungi pantai dari erosi, gelombang laut dan angin topan. Hutan mangrove berperan juga sebagai buffer (perisai alam) untuk menstabilkan tanah dan memerangkap bahan endapan dari darat yang terbawa arus sungai. Hutan mangrove tumbuh subur di aliran sungai yang besar dengan muara yang lebar. Pantai yang tidak ada sungainya, daerah mangrovenya sempit. Hutan mangrove mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kadar garam dan karenanya dapat berkembang di daratan yang bersalinitas tinggi di mana tanaman lainnya tidak dapat tumbuh. Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat unik, merupakan sumber daya alam yang sangat potensial.

Di Indonesia, hutan mangrove yang luasnya sekitar 4.25 juta ha (Departemen Kehutanan, 1982), atau kurang lebih 25% luas hutan mangrove di dunia, dan terbesar di seluruh wilayah Indonesia, berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia, baik dari segi ekonomis, sosial maupun lingkungan. Disamping mendukung keanekaeagaman flora dan fauna dari komunitas terestis akuatik, dan berfungsi lindung bagi keberlangsungannya berbagai proses ekologis, hutan mangrove telah dimanfaatkan dalam skala komersial terutama untuk gelondongan sebagai bahan baku"pulp/kertas, rayon dan arang. Saat ini, kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan penomena umum di berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Kerusakan hutan ini terutama disebabkan oleh konversi mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi lainnya (industri, pertambangan dan lain-lain) yang tidak berlandaskan asas kelestarian serta oleh kegiatan eksploitasi yang tidak terkendali. Adanya konversi hutan mangrove ini telah menyebabkan semakin menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia Indonesia yaitu tinggal sekitar 4.25 juta ha (Departemen Kehutanan, 1982). Bahkan menurut PHPA dan AWB (1987) diperkirakan luas hutan mangrove tinggal sekitar 3.24 juta ha. Permasalahan mengenai kelestarian hutan mangrove adalah adanya kegiatan masyarakat sekitar yang memanfaatkan hutan mangrove baik kayunya yang digunakan untuk kayu bakar maupun konversi lahan mangrove yang dijadikan untuk lahan pertanian, pertambakan dan permukiman. Maka dari itu, diperlukan pengelolaan yang terpadu sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Melihat pentingnya ekosistem mangrove baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya maka penulis tertarik untuk

mengambil judul Studi Vegetasi Mangrove di Pulau Dua, Teluk BantenKabupaten Serang, Provinsi Banten. 1.2 Tujuan Tujuan dari Praktek Keahlian ini adalah untuk mengetahui struktur

komunitas vegetasi Mangrove serta identifikasi jenis dan penghitungan jenis jumlah dari vegetasi mangrove yang ada di Pulau Dua Teluk Banten Kabupaten Serang Provinsi Banten.

1.3 Batasan Masalah Pada Praktek Keahlian ini penulis membatasi kepada Vegetasi mangrove yang terdapat di Pulau Dua, Teluk Banten Kabupaten Serang Provinsi Banten dengan melakukan analisa tentang Kerapatan Relatif Jenis, Frekuensi Relatif Jenis, Penutupan Relatif Jenis dan Nilai Penting Jenis vegetasi mangrove baik jenis pohon, anakan, dan semai.

2. Tinjauan Pustaka 2.1 Pengertian Mangrove Istilah mangrove tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai mangue dan istilah Inggris grove, bila disatukan akan menjadi mangrove atau mangrave. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan mangi-mangi atau mangin. Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau, (Irwanto, 2006). Mangrove adalah jenis tanaman dikotil yang hidup di habitat payau. Tanaman dikotil adalah tumbuhan yang buahnya berbiji berbelah dua. Pohon mangga adalah contoh pohon dikotil dan contoh tanaman monokotil adalah pohon kelapa. Kelompok pohon di daerah mangrove bisa terdiri atas suatu jenis pohon tertentu saja atau sekumpulan komunitas pepohonan yang dapat hidup di air asin. Hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32 Lintang Utara dan 38 Lintang Selatan.

Gambar. 1. Penyebaran Mangrove di daerah Tropis, Irwanto,1999. Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut. Sebagai tambahan, tanaman tersebut mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya. Istilah bakau adalah sebutan bagi jenis utama pohon Rhizophora sp. yang dominan hidup di habitat pantai. Walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut hutan mangrove sebagai hutan bakau atau secara singkat disebut bakau (Irwanto. 2006).

2.2 Tipe Vegetasi Mangrove Komunitas mangrove di Indonesia pada dasarnya terdiri atas paling sedikit 47 jenis pohon, 5 jenis semak, 9 jenis herba/rumput, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Yayasan Mangrove, 1993). Menurut Sukardjo (1996), di Indonesia terdapat 75 jenis tumbuhan mangrove, sehingga Indonesia termasuk pula sebagai wakil pusat geografi beberapa marga mangrove, Rhizophora, Bruguiera, Avicennia, Ceriops, dan Lumnitzera. Meskipun demikian tidak semua 5

jenis mangrove tersebut ada pada setiap tipe komunitas mangrove, menyatakan bahwa mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan , 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (2 jenis). Menurut Noor et al., (1999), tipe vegetasi mangrove terbagi atas empat bagian antara lain : a) Mangrove terbuka, mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. b) Mangrove tengah, mangrove yang berada di belakang mangrove zona terbuka. c) Mangrove payau, mangrove yang berada disepanjang sungai berair payau hingga air tawar. d) Mangrove daratan, mangrove berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. 2.3 Zonasi Penyebaran Mangrove Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya. Mangrove yang kondisinya buruk karena terganggu, atau berada pada derah pantai yang sempit, tidak menunjukkan keteraturan dalam pembagian jenis pohon dan zonasi di sepanjang pantai. Fenomena zonasi ini belum sepenuhnya difahami dengan jelas. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis tanaman 6

terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah mempunyai kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan seperti perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda. Api-api dan pedada tumbuh sesuai di zona berpasir, mangrove cocok di tanah lembek berlumpur dan kaya humus sedangkan jenis tancang menyukai tanah lempung dengan sedikit bahan organik. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor lain dalam penentuan zonasi ini. Formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak. Pada daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan banyak ditumbuhi jenis bakau (Rhizophora spp.). Daerah ini tidak selalu terendam air, hanya kedangkadang saja terendam air. Pohon tancang tumbuh di daerah berikutnya makin menjauhi laut, ke arah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi dari biasanya.

Gambar.2. Zonasi penyebaran jenis pohon mangrove. Onrizal, 2007.

2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove Hutan mangrove mempunyai keterkaitan dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia sebagai penyedia bahan pangan, papan dan kesehatan. Fungsi mangrove dibedakan menjadi 5 golongan yaitu: 2.4.1 Fungsi Fisik a. Menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh dari abrasi air laut b. Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam hari c. Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru d. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke danau, atau sebagai filter air asin menjadi air tawar. 2.4.2 Fungsi Kimia a. Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen b. Sebagai penyerap karbondioksida c. Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal di laut. 2.4.3 Fungsi Biologi a. Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang serta berkembangbiak bagi burung dan satwa lain b. Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika c. Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut d. Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian

berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar e. Sebagai kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground) bagi udang f. Sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) bagi plankton

2.4.4 Fungsi Ekonomi a. Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, tekstil, makanan ringan b. Penghasil bibit ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu c. Penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga. 2.4.5 Fungsi Wisata a. Sebagai kawasan wisata alam pantai untuk membuat trail mangrove b. Sebagai sumber belajar bagi pelajar c. Sebagai lahan konservasi dan lahan penelitian Manfaat Hutan Mangrove Menurut Dixon, 1989 dalam Bengen, 2001 digambarkan pada ilustrasi gambar dibawah ini:

Gambar 3. Manfaat hutan mangrove (Dixon, 1989 dalam Bengen, 2001).

2.5 Jenis Jenis Mangrove Di dunia dikenal banyak jenis mangrove yang berbeda-beda. Tercatat telah dikenali sebanyak sampai dengan 24 famili dan antara 54 sampai dengan 75 spesies, tentunya tergantung kepada pakar mangrove yang mana pertanyaan kita tujukan. Ada yang menyatakan bahwa Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman dan jenis mangrovenya. Di Thailand terdapat sebanyak 27 jenis mangrove, di Ceylon ada 32 jenis, dan terdapat sebanyak 41 jenis di Filipina. Di benua Amerika hanya memiliki sekitar 12 spesies mangrove, sedangkan Indonesiadisebutkan memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai jenis mangrovetersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili.Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya.

2.5.1 Bakau (Rhizopora sp.) Pohon ini disebut juga dengan bakau besar, bakau genjah, tinjang, slindur, bakau merah, bakau akik atau bakau kurap, tergantung spesiesnya. Di dunia terkenal secara umum sebagai red mangrove. Kulit batangnya berwarna

10

kemerahan terutama bila basah. Pohon ini dapat tumbuh hingga 25 m. Termasuk dalam famili Rhizophoraceae. Pohon ini banyak terlihat sebagai pohon kecil yang tumbuh di air laut. Dapat tumbuh dengan toleransi yang cukup terhadap kadar garam mulai dari yang tawar sampai kadar yang tinggi. Disebut sebagai pohon yang facultative halophyte yang artinya dapat tumbuh di air asin tetapi tidak terbatas hanya di habitat yang demikian saja. Pohon kecil yang dapat dijumpai tumbuh sendiri di tempat dangkal berair seringkali adalah jenis bakau ini. Spesies bakau jenis ini antara lain adalah Rhizopora mucronata, Rhizopora stylosa, dan Rhizopora apiculata (Noor et al, 1999). Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 m dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah (Murdiyanto, 2003).

Gambar 4. Rhizophora sp, Onrizal, 2007.

11

2.5.2 Api-api (Avicennia sp.) Termasuk famili Avicenniaceae. Disebut juga sia-sia. Dikenal secara umum sebagai black mangrove. Pohon jenis ini mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kadar garam. Dapat tumbuh mencapai ketinggian 25 30 m. Pohon ini tidak mengeluarkan garam di bagian akarnya, tetapi mengeluarkan kelebihan garam melalui pori-pori daunnya yang akan terbawa oleh hujan dan angin. Seringkali garam terlihat sebagai lapisan kristal putih di bagian permukaan atas daun. Karena spesies Avicennia mudah menumbuhkan cabangnya, memungkinkan untuk diambil cabang dan rantingnya tanpa mengganggu batang pohonnya. Pohon jenis juga bersifat toleran terhadap air berkadar garam tinggi, dapat juga menahan lumpur dari pasir dan hempasan ombak. Oleh karenanya merupakan juga jenis bakau yang dapat menstabilkan pantai, mencegah erosi, dan memberi kesempatan pohon lain untuk tumbuh. Deskripsi umum : Belukar atau pohon yang tumbuh menyebar dengan ketinggian mencapai 25 m. Kumpulan pohon membentuk sistem perakaran horizontal dan akar nafas yang rumit. Akar nafas biasanya tipis, berbentuk jari (atau seperti asparagus) yang ditutupi oleh lentisel. Kulit kayu luar berwarna keabu-abuan atau gelap kecoklatan, beberapa ditumbuhi tonjolan kecil, sementara yang lain kadang-kadang memiliki permukaan yang halus. Pada bagian batang yang tua, kadang-kadang ditemukan serbuk tipis (Noor, 1999).

12

Gambar 5. Avicennia sp, Onrizal, 2007. 2.5.3 Tancang (Bruguiera sp.) Jenis pohon ini disebut juga lindur. Tancang termasuk juga dalam famili Rhizoporaceae. Tumbuh subur di lokasi yang kering, pada tanah yang dialiri air tawar, tetapi dapat tumbuh pula di tanah lumpur. Tingginya sekitar 15 m, tetapi bisa mencapai 36 m walaupun jarang yang mencapai ukuran tersebut. Jenis tancang termasuk yang usianya panjang diantara jenis-jenis bakau yang lainnya. Warna kulit pohon ini abu-abu, gelap, dan permukaannya kasar. Kulit batang pohonnya mengeluarkan bau khas yang tidak disukai ikan, sehingga bisa dipakai untuk mengusir ikan. Jenis ini mulai jarang ditemukan. Beberapa jenis ini adalah Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorhiza, dan Bruguiera parviflora. Deskripsi umum : Berupa semai atau pohon kecil yang selalu hijau, tinggi (meskipun jarang) dapat mencapai 20 m. Kulit kayu burik, berwarna abu-abu hingga coklat tua, bercelah, dan agak membengkak di bagian pangkal pohon. Akar lutut dapat mencapai 30 cm tingginya (Noor et al, 1999).

13

Gambar 6. Bruguiera sp, Onrizal, 2007. 2.5.4 Pedada (Sonneratia sp.) Dalam bahasa lokal jenis bakau ini disebut juga bogem atau prapat. Termasuk dalam famili Sonneratiaceae. Pohon dapat mencapai ketinggian 20 m. Menempati bagian pantai paling depan di sisi laut. Tumbuh di tanah berlumpur dan berpasir. Kulit batang berwarna abu-abu atau kecoklatan, permukaan kulit kasar, dan retak-retak. Pada pohon muda, kulit batangnya dilapisi semacam lapisan lilin untuk mengurangi penguapan air dari jaringannya. Bila dipangkas rantingnya mudah beregenerasi. Dahan dan rantingnya dapat dipanen asal dibatasi. Pohon pedada ini disukai bekantan yang memakan daunnya. Beberapa spesies jenis pohon ini antara lain adalah : Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Sonneratia ovata. Definisi umum : Pohon selalu hijau, tumbuh tersebar, ketinggian kadangkadang hingga 15 m. Kulit kayu berwarna putih tua hingga coklat, dengan celah longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul ke

14

permukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya mencapai 25 cm (Noor et al, 1999).

Gambar 7. Sonneratia sp, Onrizal, 2007.

2.5.5 Nyirih (Xilocarpus sp.) Termasuk dalam family Meliaceae, nyirih dapat tumbuh mencapai

ketinggian 5 - 20 m, memiliki akar nafas mengerucut berbentuk cawan. Kulit kayu halus, daunnya berwarna hijau gelap berbentuk elips dengan pangkal daun menyatu dengan batang, bunga berukuran kecil dan berwarna putih susu hingga putih kehijauan. Buahnya berbentuk bulat sangat besar dengan kisaran diameter antara 8 - 15 cm berwarna kekuningan. Kulit batang licin dan berwarna merahcoklat, mempunyai akar papan berbentuk seperti pita yang memanjang dan menopang pohon (Noor et al, 1999).

15

Gambar 8. Xilocarpus sp, Onrizal, 2007. 2.5.6 Tengar (Ceriops sp.) Dalam bahasa lokal jenis bakau ini disebut dengan Tengar. Termasuk dalam famili Rhizophoraceae, Pohon ini dapat tumbuh mencapai 25 m. Kulit kayu berwarna abu-abu, kadang-kadang coklat halus dan pangkalnya mengelembung. Pohon seringkali memiliki akar tunjang yang kecil, daunnya berwarna hijau mengkilap dan sering memiliki pinggiran yang melingkar ke dalam. Bunga mengelompok di ujung tandan, buah panjangnya 1,5 - 2 cm, dengan tabung kelopak yang melengkung. Membentuk belukar yang rapat pada pinggir daratan dari hutan pasang surut atau pada areal yang tergenang oleh pasang tinggi dengan tanah memiliki pengeringan yang baik. Juga terdapat di sepanjang tambak, menyukai substrat tanah liat (Noor et al, 1999).

16

Gambar 9. Ceriops sp, Onrizal, 2007. 2.6 Faktor Pembatas 2.6.1 Suhu Menurut Kolehmainen et al., (1973) dalam Supriharyono (2000), Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20 C, sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5 C. Suhu yang tinggi (>40 C) cenderung tidak mempengaruhi petumbuhan dan kehidupan mangrove. 2.6.2 Salinitas Bengen (1999), menyebutkan mangrove dapat hidup pada air bersalinitas payau (20-22 ) hingga asin (mencapai 38 ). 2.6.3 Derajat Keasaman (pH) Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses

17

biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah Effendi (2003). 2.6.4 Tipe Substrat Menurut Kint (1934) dalam Noor et al.,(1999), di Indonesia substrat berlumpur ini sangat baik untuk tegakan Rhizopora mucronata dan Avicennia marina. Menurut Bengen (1999), daerah yang paling dekat dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Meskipun demikian, Sonneratia akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organik (KMNLH, 1993). 2.7 Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Mangrove Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove,

menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 (Widigdo, 2000). Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 3,73 juta hektar. Tabel 1 : Beberapa Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove Kegiatan Tebang habis Dampak Potensial Berubahnya komposisi tumbuhan; pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai ekonominya rendah dan hutan mangrove yang

18

ditebang ini tidak lagi berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah

pengasuhan (nursery ground) yang optimal bagi bermacam ikan dan udang stadium muda Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi yang penting secara ekonomi Peningkatan salinitas hutan (rawa) mangrove menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin; ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan

salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove karena pasokan zatzat Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan hara melalui aliran air tawar berkurang. Mengancam regenerasi stok-stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan (rawa) mangrove sebagai nursery ground larva dan/atau stadium muda ikan dan udang. Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum hutanmangrove dikonversi dapat diikat oleh substrat hutan mangrove. Pendangkalan peraian pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan mangrove dikonversi mengendap di hutan mangrove.

19

Intrusi garam melalui saluran-saluran alam yang bertahankan keberadaannya atau melalui saluran-saluran buatan manusia yang bermuara di laut. Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi Pembuangan sampah cair (Sewage) mangrove Penurunan kandungan oksigen terlarut dalah air air, bahkan dapat terjadi keadaan anoksik dalam air sehingga bahan organik yang terdapat dalam sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida (H2S) dan aminia (NH3) yang keduanya merupakan racun bagi organisme hewani dalam air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat dijadikan indikasi berl angsungnya Pembuangan sampah padat dekomposisi anaerobik. Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat yang akan mengakibatkan kematian pohon-pohon mangrove. Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat yang kemudian larut dalam air ke perairan di sekitar Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan pembuangan sampah. Kematian pohon-pohon mangrove akibat

terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak. Kerusakan total di lokasi penambangan dan ekstraksi mineral yang dapat mengakibatkan 20

minyak dalam jumlah besar.

musnahnya daerah asuhan (nursery ground) bagi larva dan bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting di lepas pantai, dan dengan

Penambangan dan ekstraksi mineral

demikian mengancam regenerasi ikan danudang tersebut.

Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, et al., 1996.

2.8 Rehabilitasi Hutan Mangrove Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk menembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan di alihkan fungsinya kepada kegiatan lain. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove ini telah di rintis sejak tahun 1960 di kawasan pantai utara Pulau Jawa. Sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak dipantai utara Pulau Jawa di laporkan telah berhasil di rehabilitasi dengan menggunakan tanaman utama Rhizopora spp dan Avicenia spp. Dengan persen tumbuh hasil penanaman berkisar antara 60% - 70% (Soemodihardjo dan Soerianegara, 1989). Hal serupa juga dilakukan pada sekitar 105ha hutan mangrove yang rusak di Cilacap, di mana telah berhasil di rehabilitasi dengan menggunakan tanaman pokok Rhizopora spp dan Bruguiera spp.

2.9 Strategi Pelestarian Hutan Mangrove 21

Pelestarian hutan mangrove merupakan salah satu usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik berada disekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih besar. Dengan demikian yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan mangrove. Oleh karena itu, persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove perlu untuk di arahkan kepada cara pandang masyarakat akan pentingnya sumberdaya hutan mangrove. Dalam konteks di atas, pemahaman masyarakat pesisir akan pentingnya ekosistem hutan mangrove sangat menarik untuk di kemukakan. Sebagai contoh dapat dikemukakan pengalaman di Segara Anakan , Cilacap, dimana pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat tergantung dari kebutuhan dan jenis maka pencaharian yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan untuk kayu bakar, misalnya, apabila dipakai sendiri berkisar antara 0,5 m 3- 1,5m3 perhari. Tetapi apabila kayu mangrove tersebut akan di jual, maka masyarakat akan mengambil lebih banyak lagi, yaitu sekitar 5-12 m3 perhari (LPPM, 1998). Sementara itu, dalam konteks pelestarian hutan mangrove sebagian masyarakat tidak melakukan penanaman hutan mangrove dengan alasan : 1. Tidak tahu cara penanaman mangrove. 2. Lokasi hutan mangrove yang jauh. 3. Tidak punya bibit mangrove.

22

4. Masyarakat lebih senang menanam tanaman pangan daripada menanam tumbuhan mangrove. Berdasarkan kenyataan empiris tersebut, paling tidak sudah dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa masalah penegelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat disekitar hutan mangrove.

3. Metodologi 3.1. Waktu dan Tempat Praktek Keahlian dilakukan mulai tanggal 01 Maret sampai dengan 15 April 2009, di Bagian Adminstrasi Pelatihan Perikanan Lapangan (BAPPL) STP

23

Serang, pengamatan Mangrove dilaksanakan di Pulau dua daerah perairan teluk Banten 3.2. Alat dan Bahan A. Alat Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan praktek keahlian dapat di lihat pada tabel 2. Tabel 2. Alat-alat yang digunakan pada pelaksanaan Praktek Keahlian No 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. Nama alat 2 Tali Tambang Meteran Patok Kayu Kantong plastic Digital camera Scientific calculator Kegunaan 3 Pembuatan Transek line Pengukuran luas areal mangrove Pengikat Transek line Tempat sampel Dokumentasi gambar Menghitung analisa data vegetasi mangrove 1 7. 8. 9. 10 11. 2 Gunting, pisau Alat tulis Buku Identifikasi Refraktometer Termometer 3 Memotong ranting mangrove Pencatatan data Identifikasi jenis mangrove Pengukuran salinitas Pengukuran suhu air dari tiap plot 4 Contoh daun, batang, dan buah Data-data di lokasi Mangrove yang ada Ketelitian 1o /oo Ketelitian 1o C Spesifikasi 4 Panjang 100 m ketelitian 1 m Panjang 100 cm Ketelitian 0,5 cm Spectra 5 megapixel fx 3600

24

12.

Kertas lakmus

Pengukuran derajat keasaman

Ketelitian 1

B. Bahan Bahan dari kegiatan praktek ini yaitu komunitas mangrove yang ada di Pulau Dua 3.3. Metode 3.3.1. Metode Praktek 1. Survey Metode yang digunakan adalah metode survey yaitu pengamatan langsung terhadap vegetasi mangrove di Pulau Dua, Teluk Banten 2. Studi Literatur Studi literatur digunakan sebagai bahan perbandingan terhadap datadata yang telah diperoleh melalui teori-teori yang mendasari yang terdapat dalam buku-buku literatur tersebut dan yang terkait dengan topik dan tujuan praktek.

3.3.2 Metode Kerja 3.3.2.1 . Metode Pengumpulan Data Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan mangrove harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona hutan mangrove yang terdapat di wilayah kajian. Pada setiap lokasi ditentukan transek pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian, pada setiap stasiun pengamatan.

25

3.3.2.2 . Menentukan Jalur Transek yang akan dibuat. Jalur dibuat dengan menarik jalur transek dengan tali tambang/ plastik dengan arah tegak lurus dari arah laut ke arah darat sepanjang adanya mangrove. Jalur transek yang dibuat harus mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zona hutan mangrove yang terdapat wilayah kajian. 3.3.2 3. Menentukan Letak Petak/ Plot Sampel di Lapangan. Letak petak/ plot di sepanjang jalur di tentukan dengan menentukan jalur terlebih dahulu, setelah jalur dibuat, maka tentukan petak/ plot 2 x 2 m untuk mengidentifikasi tumbuhan mangrove tingkat semai, petak/ plot ukuran 5 x 5 m untuk mengidentifikasi tumbuhan mangrove sapihan, petak/ plot ukuran 10 x 10 m untuk mengidentifikasi tumbuhan mangrove tingkat tiang. Dan petak/ plot ukuran 20 x 20 m untuk mengidentifikasi tumbuhan mangrove tingkat pohon.

3.3.2.4 . Menentukan Tingkat Ukuran Tumbuh Mangrove Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai dengan tinggi < 1,5 m, dihitung Jumlahnya untuk setiap jenis pada petak ukuran 2 x 2 m. Sepihan/ Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai dengan diameter < 5 cm, dihitung jumlahnya untuk setiap jenis pada petak ukuran 5 x 5 m. Tiang : Pohon- pohon muda yang mempunyai diameter 5- 10 cm. Pohon muda pada tingkat. Ini dihitung jumlah dan diameternya pada petak ukuran 10 x 10 m.

26

Pohon : Pohon dengan diameter 10 cm. Pohon pada tingkat ini diukur jumlah dan diameternya untuk setiap jenis pada petak ukur dengan ukuran 20 x 20 m.

3.3.2.5 Mengukur Diameter Tumbuhan Diameter adalah panjang titik tunas yang melalui titik pusat lingkaran dan menghubungkan dua titik lingkaran pada batang lingkaran. Diameter pohon dimaksud adalah diameter setinggi 1,3 m atau 20 cm diatas perakaran.

Rumus dari diameter tersebut, yaitu :

Diameter (D) = K/ Keterangan : = 3,14 K = Keliling Pohon Pada setiap petak contoh yang ditentukan, determinasi setiap tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu tiap jenis, dan ukuran lingkaran batang setiap pohon, mangrove pada setinggi dada 1,3 m (Saraswati, 2003).

3.3.3 Metode Analisis Data Metode yang digunakan dalam praktek akhir ini adalah dengan metode deskriptif. Menjelaskan data mengenai jenis, jumlah tegakan, dan

27

diameter pohon yang telah dicatat pada table Tally Sheet Mangrove, diolah lebih lanjut untuk memperoleh data kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan nilai penting masing-masing jenis. Melakukan tabulasi data dan sortasi data sesuai dengan judul praktek akhir dan disajikan dalam bentuk gambar dan grafik. Selanjutnya perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumusrumus untuk perhitungan yang dikemukakan (Bengen, 2001) sebagai berikut: 1. Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam satu unit area:

Di = ni / A Dimana : Di ni A = Kerapatan Jenis i = Jumlah total tegakan dari jenis i = Luas total areal pengambilan sampel (luas total petak contoh/plot).

2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (ni) dan jumlah tegakan total seluruh jenis (n): RDi = ( ni / n) x 100 Dimana : RDi ni n = Frekuensi relatif suatu jenis i = jumlah total tegakan dari jenis i = Jumlah total tegakan seluruh jenis

28

3. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak/contoh yang diamati: Fi = pi /p Dimana : Fi pi p = Frekuensi Jenis i = Jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan jenis i = Jumlah total petak contoh/plot yang diamati

4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (F):

RFi = (Fi/F) x 100 Dimana : RFi Fi F = Frekuensi relatif jenis i = Frekuensi jenis i = Jumlah total frekuensi untuk seluruh jenis

5. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:

29

Ci = BA/A Dimana : Ci BA = Luas penutupan Jenis i = DBH2/4 (dalam cm2), (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter pohon dari jenis i, DBH = CBH/ (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada. A = Luas total areal pengambilan contoh/plot

6. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (C): RCi = (Ci/C) x 100 Dimana : RCi Ci C = Penutupan Relatif Jenis

= Luas areal penutupan jenis i = Luas total areal penutupan untuk seluruh jenis

7. Nilai Penting Jenis (IVi ) : IVi = RDi + RFi + RCi

30

Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 - 300. Nilai penting jenis ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. 8. Indek Keanekaragaman Indek Keanekaragaman adalah suatu pernyataan atau penggambaran matematika yang melukiskan struktur komunitas mangrove dan dapat memberikan informasi tentang jenis dan jumlah vegetasi tersebut. Perhitungan Indek Keanekaragaman dilakukan dengan menggunakan Indeks Shanon Weiner dalam Cahyo (2007) yang rumusnya sebagai berikut: H' = - pi log pi Dimana H' Pi ni : = Indek keanekaragaman = ni/ N = Jumlah jenis

N = Jumlah total perjenis.

Tabel 3. Kriteria Penilaian Pembobotan Kualitas Lingkungan Vegetasi

31

Keanekaragaman Jenis (H) >3,5 2,5-3,5 1,6-2,4 1,1-1,5 < 1,0

Sebutan

Kategori

Skala

Sangat mantap Mantap Cukup mantap Kurang mantap Tidak mantap

Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk

5 4 3 2 1

(Sumber

: Cahyo, 2007).

9. Indek keseragaman Indek keseragaman digunakan untuk mengetahui penyebaran jumlah individu tiap jenis yang mendominasi populasi, yaitu dengan cara membandingkan Indeks Keanekaragaman (H') dengan nilai maksimum (H maks), dimana (H maks = log S), dimana S adalah jumlah spesies. Indeks Keseragaman, dengan rumus menurut Brower dan Zar (1989) dalam Riski (2007) adalah sebagai berikut :

E=

H' H maks

E=

H' H maks
32

Dimana E H X

= Indek keseragaman = Log x = Jumlah jenis mangrove = indek keanekaragaman maksimum

H maks

Tabel 4. Indek Keseragaman Shanon- Weiner. no 1 2 3 Indek Keseragaman E < 0,4 0,4 < E < 0,6 E > 0,6 Kondisi Mangrove Keseragaman rendah Keseragaman sedang Keseragaman tinggi

33

4. Keadaan Umum Lokasi Praktek A.Keadaan Geografis Propinsi Banten merupakan salah satu propinsi termuda yang lahir melalui Undang Undang No. 33 Tahun 2000. Banten merupakan wilayah yang sangat strategis mengingat letak daerahnya berbatasan dengan Ibu kota negara dan juga sebagai jembatan gerbang antara Jawa dan Sumatera. Luas wilayah Banten hanya 8.561 km2, namun memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar untuk pembangunan di bidang industri, pariwisata, pertanian, dan perikanan. Sejumlah 7,8 juta jiwa penduduk mendiami wilayah di Banten, yang merupakan sumberdaya manusia yang cukup potensial yang diharapkan akan mampu mengoptimalkan pemanfaatkan potensi sumberdaya yang ada. Propinsi Banten mempunyai garis pantai sepanjang 816,99 km (sudah termasuk pulau pulau kecil yang terdapat di Banten) yang membentang dari mulai kecamatan Teluk Naga di Kabupaten Tanggerang sampai Kecamatan Bayah di Kabupaten Lebak. Namun demikian, Perkembangan kegiatan penangkapan ikan di propinsi Banten belumlah dapat menyamai kegiatan serupa di Propinsi propinsi lainnnya yang ada di pulau jawa, hal ini dapat dilihat dari jumlah dan kapasitas TPI yang ada terdapat sekarang. Secara geografis Kabupaten Serang berada pada kordinat 106 03' 20" - 106 11' 00" Bujur Timur

34

dan

05 49' 45" - 06 02' 00" Lintang Selatan. Wilayah perairan suatu daerah

merupakan suatu aset sumberdaya yang dapat dimanfaatkan bagi sumber pendapatan penduduk, pendapatan daerah maupun pendapatan negara (sumber devisa). Sumberdaya perikanan yang ada di wilayah Banten dapat dikategorikan ke dalam sumberdaya perikanan tangkap yang meliputi budidaya perairan payau, tawar, dan laut. Menurut catatan statistik perikanan tingkat nasional propinsi Banten mempunyai hasil produksi dari perikanan sekitar 4,58 juta ton, dimana sekitar 78,9 % berasal dari sektor penangkapan di laut, 6,6 % dari perairan umum, 8,1 %dari budidaya air payau, 0,6 % dari karamba, dan 5,8 % dari budidaya air tawar. Dari data statistik tersebut tampak bahwa potensi perikanan yang berasal dari budidaya air laut tampak masih relatif kecil. Gambar 10. Peta Pulau Dua

35

( Sumber : www.googleearth.com )

Keterangan : O : Daerah pengamatan Lokasi praktek ini bertempat di Pulau Dua (Pulau Burung) di Teluk Banten yang ditetapkan sebagai cagar alam tahun 1931 oleh pemerintah Hindia Belanda. Pulau Dua terlentang di desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Memiliki luas 9,38 Ha. Menurut masyarakat setempat, dahulu Pulau Dua tidak menyatu dengan pulau Jawa yang disebabkan sedimentasi, pulau tersebut saat ini telah menyatu dengan Pulau Jawa, Pulau ini berbatasan dengan, Utara Selatan Timur Barat : Teluk Banten : Kawasan Tambak Masyarakat : Teluk Banten : Teluk Banten

Letak geografis : 1061126-106 11 44 BT dan 06 00 23-0601 07 LS Tofografi : Relatif datar 0-4 m diatas permukaan laut.

36

5. Hasil dan Pembahasan 5.1 Kondisi Ekosistem Mangrove Berdasarkan dari hasil pengamatan mangrove di lokasi praktek telah ditemukan 6 (enam) jenis vegetasi mangrove di Pulau Dua, Teluk Banten. Jenis vegetasi mangrove yang ditemukan dalam pengamatan yaitu jenis Avicennia lanata, Rhizophora apiculata, Bruguiera excaristata, Rhizopora mucronata, Avicenia marina, Rhizopora stylosa.

Gambar 11. Kondisi Ekosistem Mangrove, Pulau Dua 5.2 Analisa Jenis Vegetasi Mangrove 5.2.1. Analisa Jenis Vegetasi Mangrove Pada Tingkat Pohon Dari hasil pengamatan yang telah dilaksanakan di Pulau Dua Teluk Banten terdapat 3 (tiga) jenis mangrove yaitu, Avicenia lanata,, Rhizophora apiculata, , Bruguiera excaristata dari jenis mangrove yang tumbuh di pulau dua yang paling dominan adalah Avicennia lanata dan Rizophora apiculata. Selain itu terdapat 37

keberadaan mangrove ikutan yang terdapat dalam plot antara lain adalah jenis Pohon Waru Laut (Thespesia popunema).

.Tabel 5. Jumlah Tegakan Mangrove pada tingkat Pohon No 1 2 3 4 5 Jenis Mangrove Avicenia lanata Avicenia marina Rhizopora apiculata Rhizopora mucronata Bruguiera excaristata Jumlah Tegakan (batang) 24 1 10 4 2

Dari tabel di atas menunjukan bahwa jenis vegetasi mangrove pada tingkat pohon yaitu jenis Avicenia lanata dengan jumlah sebanyak 24 tegakan pohon, jenis vegetasi mangrove Avicennia marina dengan jumlah sebanyak 1 tegakan pohon, jenis Rhizopora apiculata dengan jumlah sebanyak 10 tegakan pohon, Rhizopora mucronata dengan jumlah sebanayak 4 tegakan pohon dan Bruguirea excaristata dengan jumlah sebanayak 2 tegakan pohon. Berdasarkan dari hasil pengamatan untuk jenis vegetasi mangrove pada tingkat pohon yang paling banyak di temukan adalah jenis apiculata. Hasil analisa untuk kerapatan relatif jenis (RDi) dapat dilihat pada lampiran, terlihat bahwa Persentase kerapatan relatif dari vegetasi mangrove tersebut, yaitu Avicennia lanata 58,50 %, Avicenia marina 2,40 %, dan Avicenia lanata dan Rhizophora

38

Rhizophora apiculata 24,38 %, Rhizopora mucronata 9,75% dan Bruguirea excaristata 4,87%

Diagram 1. Persentase Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Tingkat Pohon

Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis (RFi) pada tingkat pohon Persentase frekuensi relatif jenis (RFi) yang dapat dilihat pada Gambar 6, yaitu sebagai berikut, untuk jenis Avicennia lanata adalah 60,25 %, Avicenia marina 3,04%, Rhizopora apiculata 24,45 %, Burguera excrasta 5,45% Rhizophora mucronata 6,81 %. Dan

Diagram 2. Diagram Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat Pohon

Hasil analisa Penutupan jenis (Ci) pada tingkat pohon dari keseluruhan plot dapat dilihat pada Lampiran, diketahui luas tutupan vegetasi mangrove di

39

lokasi pengamatan yaitu untuk Avicennia lanata dengan luas tutupan 430,97 m/ha, Avicenia marina dengan luas tutupan 13,73 m/ha, Rhizopora apiculata dengan luas tutupan 118,7 m/ha, Bruguiera excaristata dengan luas tutupan 66,77 m/ha dan Rhizopora mucronata 96,53 m/ha dengan luas tutupan.

Diagram 3. Persentase Penutupan Relatif Jenis (RCi) Tingkat Pohon Berdasarkan Gambar diatas, menunjukkan bahwa jenis yang paling besar persentasenya adalah Avicenia lanata sebesar 59,31 % atau 430,97 m/ha. Jenis mangrove Avicenia marina merupakan jenis yang paling kecil dengan persentase hanya sebesar 1,89 % atau 13,73 m/ha.

5.2.2. Analisa Jenis Vegetasi Mangrove Pada Tingkat Tiang Hasil analisa jenis vegetasi mangrove pada tingkat tiang yang terdapat di Pulau Dua, Teluk Banten dapat diketahui dari pengamatan dengan jumlah dari keseluruhan plot yang berjumlah 30 plot. Tabel 6. Jumlah tegakan jenis mangrove pada tingkat Tiang No 1 2 3 4 5 Jenis Mangrove Avicennia lanata Rhizophora apiculata Rhizopora muncronata Combretaceae lumnitzera racemosa Avicenia marina Jumlah Tegakan (batang) 61 pohon 34 pohon 3 pohon 1 pohon 33 pohon

40

Dari Tabel di atas menunjukan bahwa jenis mangrove pada tingkat tiang yaitu jenis mangrove Avicenia lanata dengan jumlah 61 tegakan tiang, jenis mangrove Rhizopora apiculata dengan jumlah sebanyak 34 tegakan tiang, jenis mangrove Avicennia marina dengan jumlah 33 tegakan tiang, jenis mangrove Rhizophora mucronata dengan jumlah sebanyak 3 tegakan tiang. Selain itu terdapat pula jenis mangrove ikutan yaitu Combretaceae lumnitzera racemosa sebanyak 1 tegakan tiang. Hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi) pada tingkat tiang dapat dilihat pada Lampiran, dan Gambar terlihat bahwa yang paling dominan adalah

Avicenia lanata sebesar 41,78 %, Rhizopora apiculata sebesar 23,29 %, Combretacea lumnitzera racemosa sebesar 0,68 %, Avicenia marina sebesar 22,60 % Rhizopora Styllosa sebesar 9,59 %, Rhizopora mucronata 2,05 %

1%

2%

Avicenia lanata 9% 42% Rhizopora apiculata Avicenia marina 23% Rhizopora m ucronata Com bretacea lum nitzera racem osa

23%

Diagram 4. Persentase Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Tingkat Tiang Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis (RFi) pada tingkat pohon Persentase frekuensi relatif jenis (RFi) yang dapat dilihat pada Gambar , yaitu sebagai berikut, untuk jenis Avicennia lanata adalah 41,77 %, Avicenia marina

41

3,04%, Rhizopora apiculata 23,25 %, Rhizophora mucronata 2,06%, Rhizopora Styllosa 9,67 % dan Combretaceae lumnitzera racemosa 0,62 %

Diagram 5. Diagram Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat Tiang Berdasarkan dari hasil analisa vegetasi mangrove tentang penutupan jenis (Ci) pada tingkat anakan dapat dilihat pada Lampiran, yaitu diketahui untuk Rhizophora mucronata dengan luas tutupan 25,10 m/ha, Rhizopora stylosa dengan luas tutupan 84,47 m/ha, Rhizophora apiculata dengan luas tutupan 227,23m/ha, Avicennia lanata dengan luas tutupan 381,37m/ha Avicennia marina dengan luas tutupan 207,97m/ha dan Combretaceae lumnitzera racemosa dengan luas tutupan 6,63 m/ha.
Avicenia lanata 41% 24% Rhizopora apiculata Rhizopora m ucronata Com bretaceae lumnitzera r Avicenia m arina Rhizopora Stylossa

9% 22% 1% 3%

Diagram 6. Diagram Persentase Penutupan Relatif Jenis Tingkat Tiang.

42

5.2.3. Analisa Jenis mangrove Pada Tingkat Pancang Hasil analisa mengenai jenis vegetasi mangrove pada tingkat Pancang yang terdapat di lokasi pengamatan dari keseluruhan plot yang berjumlah sebanyak 30 plot dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini : No 1 2 3 4 5 Jenis Jumlah tegakan (pancang) Avicennia lanata Rhizopora apiculata Bruguiera. Excaristata Rhizopora muncronata Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae 30 pohon 7 pohon 3 pohon 4 pohon 5 pohon

Pada Tabel 6 diatas menunjukkan jenis vegetasi mangrove pada tingkat pancang adalah Avicenia lanata sebanyak 30 tegakan pancang, Rhizopora apiculata sebanyak 7 tegakan pancang, Bruguiera excaristata sebanyak 3 tegakan pancang Rhizopora mucronata sebanyak 4 tegakan pancang dan Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae sebanyak 5 tegakan pancang. Jenis vegetasi mangrove pada tingkat pancang yang paling banyak ditemukan pada keseluruhan plot pada tingkat pancang adalah Avicenia lanata.

Diagram 7. Diagram Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Tingkat Pancang

43

Dari Gambar 7 di atas bahwa hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi) tingkat pancang dapat diihat pada Lampiran, dapat diperoleh persentase kerapatan relatif dari jenis vegetasi mangrove tersebut yaitu untuk Rhizophora Mucronata 8,16 %, Avicennia lanata 61,22 %, Rhizopora apiculata 14,28 %, Bruguiera excaristata 6,12 % dan Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae 10,21 % , Sehingga yang paling dominan adalah jenis Avicenia lanata dengan jumlah 61,22 % dan yang paling kecil persentasenya adalah jenis Bruguiera excaristata dengan jumlah 6,12 % dari jumlah Keseluruhan kerapatan relatif jenis yaitu 100 %. Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis mangrove (RFi) pada tingkat pancang dapat dilihat pada Lampiran, dan diperoleh hasil persentasenya yaitu untuk jenis vegetasi mangrove Rhizophora mucronata adalah sebesar 7,98 %, Avicenia lanata sebesar 61,35 %, Bruguiera excaristata sebesar 6,13 % Rhizopora apiculata sebesar 14,11 %, dan untuk jenis Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae sebesar 10,23 %

Diagram 8. Diagram Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat pancang

Berdasarkan dari hasil analisa vegetasi mangrove tentang penutupan jenis (Ci) pada tingkat anakan dapat dilihat pada Lampiran, yaitu diketahui untuk

44

Avicenia lanata dengan luas tutupan 35,43 m/ha, Rhizopora mucronata dengan luas tutupan 2,23 m/ha, Rhizophora apiculata dengan luas tutupan 9,23 m/ha, Bruguiera excaristata dengan luas tutupan 3,53 m2/ha dan Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae dengan luas tutupan 4,23 m/ha

4%

6%

8%

Avicenialanata Rhizopora apiculata

17% 65%

Rhizopora m ucronata Bruguieraexcaristata Rum biaceae seghipora h

Diagram 9. Diagram Persentase Penutupan Relatif Jenis Tingkat Pancang 5.2.4. Analisa Jenis mangrove Pada Tingkat Semai Hasil analisa mengenai jenis vegetasi mangrove pada tingkat semai yang terdapat di lokasi pengamatan dari keseluruhan plot yang berjumlah sebanyak 30 plot dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini No 1 2 3 4 Jenis Jumlah Tegakan Semai Avicennia lanata Rhizopora apiculata Bruguiera. Excaristata Rhizopora muncronata 231 pohon 73 pohon 2 pohon 5 pohon

Pada Tabel 7 diatas menunjukkan jenis vegetasi mangrove pada tingkat semai adalah Rhizophora mucronata sebanyak 5 tegakan semai, Rhizopora apiculata sebanyak 73 tegakan semai, Avicenia lanata sebanyak 231

45

tegakan semai dan Bruguiera excaristat sebanyak 2 tegakan semai. Jenis vegetasi mangrove pada tingkat semai yang paling banyak ditemukan pada keseluruhan plot pada tingkat semai adalah Avicenia lanata.

Diagram 10.. Diagram Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Tingkat Semai Dari Gambar di atas bahwa hasil analisa kerapatan relatif jenis (RDi) tingkat semai dapat diihat pada Lampiran, dapat diperoleh persentase kerapatan relatif dari jenis vegetasi mangrove tersebut yaitu untuk Avicenia lanata 74,28 %, Rhizopora apiculata 23,47 %, Rhizopora mucronata 18,33 % dan jenis Bruguiera excaristata 0,64 %, Sehingga yang paling dominan adalah jenis Avicenia lanata dengan jumlah 74,28 % dan yang paling kecil persentasenya adalah jenis Bruguiera excaristata 0,64 % dari jumlah Keseluruhan kerapatan relatif jenis yaitu 100 %. Untuk hasil analisa frekuensi relatif jenis mangrove (RFi) pada tingkat semai dapat dilihat pada Lampiran, dan diperoleh hasil persentasenya yaitu untuk jenis vegetasi mangrove Avicenia lanata adalah sebesar 74,25 %, Rhizopora apiculata sebesar 23,43 %, Rhizopora mucronata sebesar 1,64 % dan untuk jenis Bruguiera excaristata sebesar 0,68.

46

Diagram 11.Persentase Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Tingkat Semai

5.2.5. Perhitungan Indeks nilai penting jenis (IVi) 5.2.5.1 Indeks Nilai Penting Jenis (IVi) Tingkat Pohon Hasil analisa tentang kerapatan relative jenis (RDi), frekuensi relative jenis (RFi) dan penutupan relative jenis (RCi) diperoleh nilai penting suatu jenis mangrove yang terdapat di Pulau Dua, Teluk Banten Pada tingkat pohon untuk jenis vegetasi mangrove yang di temukan paling penting peranannya di lokasi pengamatan adalah Avicenia lanata dengan Indeks nilai penting (IVi) yaitu

sebesar 164,65 %, untuk Rhizopora apiculata dengan indeks nilai penting (IVi) yaitu sebesar 38,59 %, Indeks nilai penting pada Bruguiera excaristata yaitu sebesar 22,35 % , Indeks nilai penting pada Avicenia marina yaitu sebesar 22,34%, dan indeks nilai penting pada Rhizopora mucronata yaitu sebesar 30,63 % . Dengan demikian Jenis vegetasi mangrove pada tingkat pohon dengan Indeks nilai penting (IVi) yang paling besar peranannya adalah Avicenia lanata sedangkan nilai penting yang paling sedikit adalah Avicennia marina.

5.2.5.2 Indeks Nilai Penting Jenis (IVi) Tingkat Tiang

47

Hasil analisa tentang kerapatan relative jenis, frekuensi relative jenis dan penutupan relatif jenis diperoleh nilai penting suatu jenis mangrove yang terdapat di lokasi pengamatan menunjukan bahwa jenis Avicenia lanata dengan nilai penting (IVi) sebesar 124,43 %, jenis Rhizopora apiculata dengan nilai penting (IVi) sebesar 70,9 %, jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting (IVi) sebesar 6,8 %, jenis Combretaceae lumnitzera racemosa dengan nilai penting (IVi) Sebesar 2,01 % %, jenis avicenia marina dengan nilai penting (IVi) sebesar 67,52 %, jenis Rhizopora stylossa dengan nilai penting (IVi) sebesar 28,32 % dan oleh karena itu jenis vegetasi mangrove yang paling besar persentasenya pada Indeks nilai penting (IVi) adalah Avicenia lanata sedangkan Indeks nilai penting (IVi) yang paling kecil jumlah persentasenya adalah jenis Combretaceae lumnitzera racemosa.

5.2.5.3 Indeks Nilai Penting Jenis (IVi) Tingkat Pancang Hasil analisa tentang kerapatan relative jenis, frekuensi relative jenis dan penutupan relatif jenis diperoleh nilai penting suatu jenis mangrove yang terdapat di lokasi pengamatan menunjukan bahwa jenis Avicenia lanata dengan nilai penting (IVi) sebesar 187,35 %, jenis Rhizopora apiculata dengan nilai penting (IVi) sebesar 45,27 %, jenis Rhizophora mucronata dengan nilai penting (IVi) sebesar 20,22 %, jenis Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae dengan nilai penting (IVi) Sebesar 28,45 %, dan jenis Bruguiera excaristata dengan nilai penting (IVi) sebesar 18,07 % oleh karena itu jenis vegetasi mangrove yang paling besar persentasenya pada Indeks nilai penting (IVi) adalah Avicenia lanata

48

sedangkan Indeks nilai penting (IVi) yang paling kecil jumlah persentasenya adalah jenis Bruguiera excaristata. 5.2.5.4 Analisa Tentang Indek Keragaman dan Keseragaman Pengamatan mangrove di pulau dua memberikan gamabran nilai dari indek keragaman dan keseragaman, seperti pada Tabel 6 di bawah ini : a. Keragaman Tabel 9 . Indek Keragaman
No 1 2 3 4 5 6 7 8 Avicennia lanata Rhizophora apiculata Rhizopora muncronata Combretaceae lumnitzera racemosa Rumbiaceae seghipora hylrophyllaceae Bruguiera. Exacirstata Avicenia marina Rhizopora styllosa Jumlah Jenis Batang 346 51 8 1 5 8 34 95 548 Pi 0.637 0.092 0.014 0.001 0.009 0.014 0.062 0.175 Pi 0.405769 0.008464 0.000196 0.000001 0.000081 0.000196 0.003844 0.030625 log Pi -0.196 -1.036 -1.854 -3 -2.046 -1.854 -1.208 -0.757 PilogPi -0.124852 -0.095312 -0.025956 -0.003 -0.018414 -0.025956 -0.074896 -0.132475 -0.500861

a. Indeks Keragaman H' = = -Pi log Pi 0.500861

Nilai

indek

keragaman

adalah

0.500861, angka ini dapat mengambarkan bahwa keanekaragaman dari komunitas mangrove di pulau Dua tidak stabil dengan sebutan tidak mantap atau sangat buruk. Hal ini dapat diartikan bahwa jenis mangrove di Pulau Dua tidak sebanyak jumlah komunitas yang ada di pulau tersebut. Keragaman jenis mangrove masih sangat rendah sehingga jumlah setiap individu cukup tinggi.

49

b. Keseragaman H max = Log x log 10 =1

E=

H' H maks

= 0,500861 0,903 = 0,55466

Nilai indek

keseragaman

untuk analisa ini adalah 0.55466,

menggambarkan bahwa keseragaman komunitas tinggi. Nilai dari indek keseragaman ini memiliki arti bahwa individu menyebar secara merata, dalam komunitas ada dominasi spesies dan tekanan ekologis pada ekosistem.

6. Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan 1. Vegetasi mangrove di Pulau Dua (Pulau Burung) terdapat 6 (enam) jenis yaitu Avicennia marina, A. Lanata, Rhizophora apiculata, R. Sytolosa, R. mucronata dan, Bruguiera excaristata, sedangkan jenis

50

mangrove ikutan adalah Combretacea lumnitzera racemosa dan Rumbiacea seghipora hylrhopillaceae 2. Vegetasi mangrove di amati didominasi oleh Avicennia lanata dengan persentase Indek Nilai Penting (INP) untuk kategori pohon adalah sebesar 164,65% untuk kategori tiang adalah sebesar 124,43 % dan untuk kategori pancang adalah sebesar 187,35 % 3. Hasil perhitungan Indek Keragaman di peroleh sebesar 0,500861, angka tersebut menunjukan angka indek bernilai rendah. 4. Indek Keseragaman di peroleh sebesar 0,55466, angka tersebut menunjukan angka indek bernilai tinggi.

6.2 Saran 1. Penyuluhan kepada masyarakat sekitar Pulau Dua agar dapat memberikan informasi tentang pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan masyarakat. 2. Pengawasan oleh Pemerintah Daerah setempat terhadap Pulau Dua agar tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan pada ekosistem mangrove.

7. Daftar Pustaka Abdullah Achmad, 1990. Rasionalisasi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Dipandang Dari Sudut Konservasi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Arief Ahmad J, Soehardjono, 1990. Usaha Konservasi Hutan Bakau Di Batu Ampar, Kalimantan Barat : Suatu Tinjauan Ekologis. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor.

51

Bratamihardja Muljadi, 1990. Pengelolaan Hutan Payau Di Pantai Utara Pulau Jawa. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Bengen Dietriech G, DEA, 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL). Bogor. Effendi Hefni, 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Jakarta.

Effendi Riskan, 1990. Suatu Pemikiran Pemeliharaan Permudaan Alam Hutan Mangrove Untuk Meningkatkan Mutu Areal Bekas Tebangan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. I Yuliarsana Nyoman, 2002. Mengenal Karakteristik Beberapa Jenis Mangrove Kelompok Utama. Departemen Kehutanan Jakarta. Jakarta. Indiarto Yun, Suhardjono, Mulyadi, 1990. Pola Variasi Produksi Serasah Hutan Mangrove Pulau Dua, Jawa Barat. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Irawan Bambang, 1990. Prospek Pengembangan Hutan Mangrove Dengan Azas Pelestarian Di Provinsi Lampung. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta Kabinawa I Nyoman K, 1990. Struktur Dan Kelimpahan Perifiton Perairan Mangrove Ciparage. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Khairijon, 1990. Produksi Dan Laju Dekomposisi Serahan Di Hutan Bakau Hasil Reboisasi Yang Berbeda Kelas Umurnya. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. K. M. Grufran H Kordi, 2005. Pengelolaan Kualitas Air. Rineka Cipta. Jakarta.

52

Murdiyanto Bambang, 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. Naamin Nurzali, 1990. Penggunaan lahan Mangrove Untuk Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Noor Alfian, 1990. Pemulihan Ekosistem Mangrove Sesudah Pencemaran Minyak Bumi : Eksperimen In Situ. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Noor Yus Rusila, M. Khazali, I N. N. Suryadiputra, 1999. Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia. Wetlands Internasional. Bogor. Nugroho Sutopo Ghani,1990. Coupled Ecosystem Silvo-Fishery Bentuk Pengelolaan Hutan Mangrove-Tambak Yang Saling Mendukung dan Melindungi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Onrizal, 2007. Pengenalan Vegetasi Mangrove. Departemen Kehutanan. Universitas Sumatera Utara. Prosiding, 2006. Lokakarya Pengembangan Kelembagaan Mangrove. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta.

Rachmad Basuki, 2009. Jenis dan Komposisi Mangrove Serta Pengamatan Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhannya. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta. Setiadi Agus, 1990. Pengaruh Hutan Bakau Terhadap Sedimentasi Di Pantai Teluk Jakarta. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Simbolon Marham, 1990. Sumber Daya Hutan Mangrove Menjelang Tahun 2000. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Siswanto W,1997. Buku Petunjuk Kawasan Konservasi Di DKI Kehutanan Kantor Wilayah Jakarta. Jakarta.

53

Soedharma Dedi, Safwan Hadi, Bambang Widyanto, 1990. Pola Dinamika Massa Air dan Kaitannya Dengan Pengelolaan Mangrove Di teluk Lampung. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Soerojo, Sukristijono Sukardjo, 1990. Struktur Dan Komposisi Hutan Mangrove Di Grajagan, Banyuwangi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Soeroyo, S. Soemodihardjo, 1990. Tumbuhan Gulma dan Semai Alami Di Hutan Mangrove Segera Anakan, Cilacap. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. Suko Oliva, Atsuo Ida, Hideki Hachinohe, 1999. Manual Persemaian Mangrove di Bali. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kuta, bali. Taniguchi Keisuke, Shinji Takashima, Oliva Suka, 1999. Manual Silvikultur Mangrove. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. Warta Konservasi Lahan Basah, 2005. Hutan Mangrove Selamatkan Masyarakat Pesisir Utara Nias Dari Tsunami. Wetlands Internasional. Bogor. Wartaputra Sutisna, 1990. Kebijakan Pengelolaan Mangrove Ditinjau Dari Sudut Konservasi. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. , 2000. Inventarisasi dan Pengkajian Potensi Mangrove Menggunakan Teknologi Pengindraan Jauh. Proyek Pengembangan dan Penerapan Iptek Kelautan P30 LIPI. Jakarta. , .... Modul Pendidikan Lingkungan Mangrove. JICA LPP Mangrove Indonesia. Jakarta.

54

55

You might also like