You are on page 1of 9

Proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di kejaksaan Tinggi Oleh : Benny Sumardiana, S.H., M.H.

1
Penanganan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak empat dekade silam. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah disusun sejak lama. Namun efektivitas hukum dan pranata hukum yang belum cukup memadai menyebabkan iklim korupsi di Indonesia tidak kunjung membaik. Pada dasarnya praktek korupsi dapat dikenal dalam berbagai bentuk umum sebagai berikut : 1. Penyuapan (bribery), didefinisikan sebagai pembayaran (dalam bentuk uang atau sejenisnya) yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi, sehingga esensi korupsi dalam konteks penyuapan adalah baik tindakan membayar maupun menerima suap. 2. Penggelapan/pencurian (embezzlement), didefinisikan sebagai tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh pegawai pemerintah atau aparat birokrasi. 3. Penipuan, (fraud) didefinisikan sebagai kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan, penipuan, dan perilaku tidak jujur. Jenis korupsi ini merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisir dan melibatkan pejabat. 4. Pemerasan (extortion) didefinisikan sebagai jenis korupsi yang melibatkan aparat yang melakukan pemaksaan atau pendekatan untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.

Penyusun merupakan dosen fakultas hukum universitas negeri semarang bagian hukum pidana

Pada proses penanganan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Penulis menemukan beberapa kendala-kendala yang dihadapi oleh Penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Barat antara lain mengenai surat perintah penyidikan kasus tindak pidana korupsi makan minum kabupaten purwakarta. Berdasarkan surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat No. Print247/O.2/Fd.1/10/2007 Tanggal 10 Oktober 2007 sebagaimana telah diubah dengan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat No. Print-45/O.2/Fd.1/02/2008 Tanggal 14 Februari 2008, terhadap tersangka HJ. ETIN KARTINI, S.sos.,MM. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap saksi-saksi, dan data/dokumen SPP, SPMU dan SPJ atas 27 kode rekening yang tidak sesuai dengan peruntukkannya (fiktif) yang berkaitan dengan pengeluaran biaya makan minuman harian untuk biaya jamuan tamu tahun anggaran 2006 pada sekretaris daerah pemerintah Kabupaten Purwakarta, hal ini diduga terjadi karena adanya unsur kerja sama yang bersifat penyalahgunaan wewenang dan jabatan oleh tersangka Hj. Entin Kartini selaku pemeganga kas dengan Drs. H. Dudung B. Supardi, MM selaku sekretaris daerah Kab. Purwakarta dan Hj. Siti Yulia Farida Rochadi selaku pemilik catering. Hasil pemerikasaanatas bukti-bukti pertanggungjawaban APBD tahun anggaran tersebut adanya pertanggungjawaban keuangan berupa kwitansi

pembayaran untuk biaya makan minuman harian yaitu biaya jamuan tamu sebesar Rp 13.334.101.985,00 berupa : 1. Kwitansi pembayaran kepada catering sebesar Rp 5.694.057.750,00. 2. Kwitansi kepada catering lainya sebanyak 9 catering sebesar Rp 234.579.250. 3. Kwitansi pembayaran untuk biaya jamuan tamu kepada kepala sub bagian rumah tangga tanpa dilengkapi dengan kwitansi kepada pihak ketiga sebesar Rp 7.405.464.985,00.

Pertanggungjawaban keungan tersebut dibebankan pada kode rekening yang sesuai dengan peruntukkannya yaitu kode rekening anggaran biaya makan harian

(2.01.03.1.02.05.01) sebesar Rp 2.726.781.635,00, selain itu dibebankan juga kepada pada berbagai kode rekening lainnya sebanyak 27 kode rekening sebesar Rp 10.607.320.350,00. Jumlah pembayaran sebenarnya yang telah diterima oleh Yulia Catering atas catering yang telah dipesan oleh Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Purwakarta selama Tahun Anggaran 2006 adalah sebesar Rp 658.500.000,00 dan pembayaran kepada penyedia jasa catering lainnya adalah sebesar Rp 234.579.250,00. Perbuatan tersangka tersebut telah melanggar Undang-Undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, sehingga terdapat kerugian daerah atas pengeluaran biaya makan minuman harian untuk biaya jamuan tamu dengan bukti-bukti kwitansi pembayaran fiktif (tidak benar) sebesar Rp 12.441.022.735,00. Surat persetujuan tertulis tindakan penyidikan terhadap Wakil Bupati Purwakarta Drs. H. Dudung B Supardi, MM. Sebagai tersangka tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dan jabatan Nomor R-1125/O.2/Fd.1/08/2008 Tanggal 18 Agustus 2008, belum dapat dilakukan pemerikasaan sebagai tersangka dikerenakan ijin dari Presiden belum diterima oleh penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada bagian Tindak Pidana Khusus Subseksi Penyidikan, melakukan penanganan terhadap kasus yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi seperti, penggelembungan dana, pengadaan tanah, pengadaan seragam Linmas, pengadaan dana hibah dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan korupsi. Pada proses penanganan, pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melakukan hal-hal sebagai berikut : 1. Membuat surat perintah penyidikan 2. Membuat surat pemberitahuan dimulainya penyidikan

3. Pembentukan unit/tim dengan jumlah personel disesuiakan dengan keperluan dalam melakukan penyidikan atas tindak pidana korupsi. 4. Menyusun rencana kegiatan penyidikan yang meliputi hal-hal sebagai berikut : a. Menentukan sasaran penyidikan antara lain, pemanggilan saksi-saksi / ahli yang dipanggil untuk diperiksa, benda yang disita, pemanggilan tersangka,

penangkapan, penahanan, dan pemblokiran rekening dengan waktu yang telah ditentukan pada masa penyidikan. b. Persiapan sarana dan prasarana penyidikan.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Adapun kegiatan penyidikan dilakukan untuk memenuhi maksud sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa alat bukti yang sah ialah : 1. Keterangan Saksi Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. 2. Keterangan Ahli Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. 3. Surat

Surat adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu. 4. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaianya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

5. Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sementara itu pada penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, langkah-langkah dilakukan penyidik kejaksaan adalah : 1. Pemanggilan Pemanggilan dilakukan sesuai dengan pasal 7 ayat (1) huruf g dan pasal 112 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Secara umum, pemanggilan berpedoman kepada surat Kepja RI Nomor : Kep-518/A/J.A/11/2002 Tanggal 1 November 2001 Tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Kep132/J.A/11/1994 Tanggal 7 November 1994 Tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dengan model P-9, surat panggilan harus disampaikan kepada yang bersangkutan atau keluarganya tiga hari sebelum waktu yang telah ditentukan

dalam surat panggilan. Surat panggilan harus memuat alasan panggilan secara jelas dan identitas orang yang dipanggil serta alamat yang bersangkutan harus lengkap dan jelas. Demikian juga dengan pasal yang dipersangkakan dan status/peranan yang dipanggil (sebagai tersangka atau saksi). Surat penggilan harus ditanda tangani oleh pejabat penyidik yang berwenang, dengan tenggang waktu pemanggilan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman

No.14.PW.07.03/1983 butir 18 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Apabila yang dipanggil adalah pimpinan atau anggota MPR/DPR maka cara pemanggilan disesuikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tersangka/saksi yang tidak memenuhi

panggilan dengan alasan yang patut dan wajar, maka penyidik dapat membuat surat panggilan kedua dan pemeriksa dapat dating ketempat kediaman

tersangka/saksi untuk melakukan pemeriksaan. 2. Penangkapan Penangkapan dapat dilakukan berdasarkan Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 102 ayat (2), dan Pasal 111 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pelaksanaan pengakapan harus memperhatikan situasi dan kondisi tempat maupun orang yang akan ditangkap serta norma-norma yang berlaku didalam lingkungan masyarakat setempat.

3. Penahanan Penahanan dilakukan sesuai dengan Pasal 20 sampai dengan Pasal 31, Pasal 122 sampai dengan Pasal 124, dan pasal 131 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penahanan atau penahanan lanjutan diberlakukan terhadap tersangka

berdasarkan bukti yang cukup. Surat perintah penahanan diterbitkan pada saat tersangka akan ditahan dan setelah adanya barang bukti yang cukup serta memenuhi persyaratan untuk ditahan. Surat perintah penahanan atau surat perintah penahanan lanjutan diberikan kepada tersangka dan memberikan tembusannya kepada keluarga. Segera dibuat berita acara penahanaan setelah dilakukan penahanan dan kepada tersangka agar diberitahukan tentang hak-haknya diantaranya hal untuk mengajukan permohonan penangguhan, penahanan. Pertimbangan dilakukan penahanan terhadapa tersangka tindak pidana korupsi yaitu apabila dikhawatirkan akan melarika diri, merusak barang bukti, dan akan menghilangkan barang bukti serta akan mengulangi perbuatannya.

4. Penggeledahan Penggeledahan memiliki dasar hukum sesuai Pasal 32 sampai dengan Pasal 37, dan Pasal 123 sampai dengan Pasal 127 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pada pelaksanaan penggeledahan terlebih dahulu meminta ijin kepada ketua Pengadilan negeri setempat. Apabila penggeledahan dilakukan oleh penyidik maka ditunjukan tanda pengenal penyidik, dan apabila penggeledahan dilakukan oleh petugas kejaksaan lainnya harus menunjuk surat perintah penggeledahan. Pada keadaan yang sangat perlu dan mendesak dapat dilakukan tanpa ijin Ketua

Pengadilan Negeri setempat, namun setelah dilakukan penggeledahan segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapatkan persetujuan atas tindakan penggeledahan tersebut. Apabila pemilik rumah atau tempt tertutup lainnya menyetujui maka pelaksanaan penggeledahan disaksikan oleh dua orang saksi sesuai Pasal 33 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyidik setiap waktu berwenang memasuki setiap tempat yang dipandang perlu dalam hubungan dengan petugas pemeriksaan dan jika keadaan mengharuskannya, dibantu oleh alat kekuasaan Negara. Apabila pemilik rumah/tempat tertutup lainnya menolak atau tidaka hadir dalam penggeledahan, maka penggeledahan tersebut dilakukan bersama-sama dua orang saksi. Setelah selesai melaksanakan tindakan penggeledahan harus segera dibuat berita acara penggeledahan dan turunannya disampaikan kepada penghuni/pemilik paling lambat 2 (dua) hari setelah pelaksanaan penggeledahan. Untuk kelancaran serta keseksamaan pemeriksaan perkara yang bersangkutan, penyidik dapat setiap waktu meminta kepada tersangka dan setiap orang yang ada hubungan dengan perkara itu untuk memperlihatkan kepadanya segala surat dan barang-barang lain yang dipandang perlu untuk diperiksa dan penyidik dapat menyitanya. Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat-surat dan kiriman-kiriman melalui badan pos, telekomunikasi dan lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana korupsi yang sedang diperiksa.

5. Penyitaan Dasar hukum penyitaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah Pasal 38 sampai dengan Pasal 44, Pasal 128 sampai dengan Pasal 131,

Berdasarkan pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pengertian penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

You might also like