You are on page 1of 35

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN

KETERAMPILAN

PROSES

SAINS

SISWA

DALAM

Pembelajaran sebagai suatu rangkaian kegiatan terpadu dalam pendidikan, tersusun dari aktivitas belajar dan mengajar. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman (Sofyatiningrum, 2003: 10). Belajar menurut Syah (2003:89) adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Cronbach dalam Suryabrata (2002: 231) menyatakan: Learning is shown by cange in behavior as a result of experience. Belajar yang lebih efektif adalah dengan mengalami dan melakukan sesuatu secara langsung dengan menggunakan panca indera dan anggota tubuh lainnya. Kegiatan belajar menggunakan panca indera dan anggota tubuh lainnya bisa dilakukan dengan cara yang beragam diantaranya, menulis, membaca, dan mendengar. Menurut Vernon A magnesen dalam De Porter (1999: 57) menyatakan bahwa keberhasilan siswa dalam belajar dengan cara membaca hanya sebesar 10%; dengan cara mendengar sebesar 20%; dengan cara melihat sebesar 30%; 50% dengan cara melihat dan mendengar; 70% dengan cara dikatakan; dan dengan cara dikatakan dan dilakukan oleh siswa mencapai 90%. Oleh karena itu, tugas guru tidak hanya memberikan pengetahuan, melainkan menyiapkan sesuatu yang menggiring anak untuk bertanya, mengamati, mengadakan eksperimen atau menemukan fakta, dan konsep sendiri (Semiawan, 1987: 15). Sehingga setelah pembelajaran, seluruh potensi siswa dapat tereksploitasi secara maksimal. Dalam kurikulum 2004, sarana untuk mencapai pembelajaran efektif diantaranya dengan mengacu pada empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO yang terdiri atas belajar untuk melakukan (lerning to do), belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk

menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar untuk kebersamaan (learning to live together). Melalui hal ini diharapkan siswa memperoleh pengalaman belajar dari hasil interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan nara sumber lainnya. Upaya untuk mewujudkan hal tersebut, maka dalam pembelajaran perlu dikembangkan keterampilan proses sains. Melalui Keterampilan Proses Sains (KPS), siswa dapat mengembangkan konsep-konsep dan proses sains sekaligus (Rustaman, 1992: 6). Selain itu

melatihkan KPS pada siswa akan menumbuhkan sikap positif dan berkembangnya kemampuan dasar bekerja ilmiah. Latihan ini memberikan gambaran bahwa materi pengetahuan berupa fakta, konsep, prinsif, hukum-hukum dan teori-teori IPA diperoleh melalui proses. Pembelajaran

dengan mengembangan keterampilan proses bukan saja mengharuskan para siswa berperan aktif dalam proses pembelajarannya, melainkan juga dapat menumbuhkan sikap positif serta mengembangkan kemampuan-kemampuan dasar dalam bekerja secara ilmiah (Wahyudi, 1996: 1). Dengan demikian, melatih KPS pada siswa adalah memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan proses sains, dan tidak hanya memberikan produk sains. Keterampilan Proses Sains (KPS) menurut Semiawan (1987: 18) merupakan keterampilan ilmiah yang dimiliki siswa, yang dapat mendorong siswa agar mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta-fakta, konsep-konsep, sikap-sikap serta nilai ilmiah dalam suatu proses pembelajaran sehingga akan menciptakan kondisi belajar siswa aktif. Adapun keterampilan proses sains menurut Commission on Science Education, adalah komponen inquiri ilmiah, prosedur yang menjalankan pada perolehan pengetahuan dan memberikan definisi maknanya (Rustaman, 1992: 6). Keterampilan proses merupakan keterampilan intelektual yang membekali siswa dengan suatu kemampuan berpikir logis, dan sistematis dalam menghadapi sesuatu masalah di bidang manapun juga.

Dengan demikian keterampilan proses sains merupakan suatu keterampilan terpadu yang melibatkan tiga keterampilan yaitu: (1) keterampilan kognitif, karena dengan melakukan keterampilan proses siswa menggunakan pikirannya; (2) keterampilan manual karena akan melibatkan penggunaan alat dan bahan; dan (3) keterampilan sosial maksudnya siswa berinteraksi dengan sesamanya, misalnya mendiskusikan prosedur percobaan, atau

mendiskusikan hasil pengamatan (Rustaman, 1995: 3). Adapun alasan siswa harus memiliki keterampilan proses sains adalah sebagai berikut: (1) keterampilan proses merupakan suatu cara yang relevan untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupannya; (2) keterampilan proses mengembangkan potensi siswa untuk membentuk konsep sendiri, dan membantu belajar bagaiamana mempelajari sesuatu; (3) membantu siswa untuk mengembangkan dirinya sendiri; dan (4) dapat mengembangkan kreativitas siswa (Karso, 1993: 189).

B.

Indikator-Indikator Keterampilan Proses Sains (KPS) Adapun indikator-indikator KPS yang perlu dilatihkan pada siswa, terbagi menjadi dua,

yaitu keterampilan proses dasar dan keterampilan proses terpadu Muhamad (1996: 10). Keterampilan proses dasar meliputi pengamatan, pengukuran, klasifikasi, komunikasi, prediksi dan inferensi. Sedangkan keterampilan proses terpadu meliputi identifikasi variabel, pengontrolan variabel, interpretasi data, perumusan hipotesis, perumusan definisi operasional variabel, serta perencanaan dan pelaksanaan eksperimen. Menurut Rustaman (1995: 10), indikator-indikator KPS yang perlu dilatihkan pada siswa terdiri dari sebelas indikator, yaitu: 1. Mengamati Observasi atau mengamati tidak sama dengan melihat (Semiawan, 1987: 19). Pengamatan terhadap objek yang diamati melibatkan semua alat indera yaitu penglihatan, pembau, peraba,

pengecap, dan pendengar. Misalnya, siswa diminta untuk mengamati beberapa macam bakso yang mengandung boraks dengan bakso yang tidak mengandung boraks dengan cara dilihat, dicium, ditekan, dan dipantulkan. Sehingga siswa dapat membedakan karakteristik masingmasing bakso dengan betul, karena semua alat indera digunakan disini. Pembelajaran seperti ini dapat melatih siswa menggunakan semua alat inderanya dan diharapkan siswa dapat memiliki keterampilan mengamati dengan baik. Para siswa mungkin saja terbiasa melihat berbagai jenis bakso namun mereka tidak mengamatinya sehingga semuanya dapat dilihat tetapi berlalu begitu saja tanpa memperoleh suatu makna. 2. Mengelompokkan (Klasifikasi) Klasifikasi adalah proses yang digunakan untuk mengidentifikasi objek-objek atau kejadian-kejadian untuk mengukur kesamaan, perbedaan, dan hubungan timbal balik (Muhamad, 1996: 12). Misalnya, setelah mengamati macam-macam tahu, siswa diminta untuk mengelompokkan tahu tersebut berdasarkan kesamaan ciri-ciri fisiknya ke dalam jenis tahu yang berformalin dengan tidak mengandung formalin. Dalam mengelompokkan, dituntut kecermatan siswa dalam mengamati. 3. Menafsirkan Pengamatan (Interpretasi) Keterampilan interpretasi melibatkan keterampilan untuk mencari hubungan antara hasil pengamatan dengan pernyataan (Rustaman, 1992: 6). Dalam hal ini Karso (1993: 191) menambahkan bahwa dari hasil pengamatan mungkin saja ditemukan pola-pola atau kejadiankejadian, dan penemuan pola tersebut adalah dasar untuk menarik kesimpulan. Misalnya, siswa diminta untuk mencatat waktu yang diperlukan untuk mereaksikan HCl 1 M, 2 M, dan 3 M dengan pita magnesium sampai pita magnesium tersebut habis bereaksi. Data tersebut dicatat dalam sebuah tabel hasil pengamatan. Setelah data diperoleh, siswa dapat membaca atau

menginterpretasikan data tersebut, misalnya di antara ketiga reaksi tersebut, reaksi manakah yang memerlukan waktu paling lama. 4. Merencanakan Percobaan Dalam melakukan percobaan, guru perlu melatih siswa dalam merencanakan percobaan, karena tanpa rencana yang matang dapat mengakibatkan pemborosan waktu, tenaga, serta hasilnya mungkin tidak akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam merencanakan percobaan, siswa perlu dilatih menentukan alat dan bahan yang akan digunakan, objek yang akan diteliti, prosedur kerja, serta bagaimana mencatat atau mengolah data (Semiawan, 1987: 27). Sehingga keterampilan merencanakan percobaan merupakan keterampilan proses yang kompleks, karena melibatkan keterampilan penentuan alat, bahan yang akan digunakan, dan halhal yang akan dilaksanakan dalam langkah kerja, serta penentuan variabel atau faktor penentu. Misalnya, sebelum praktrikum identifikasi formalin dalam tahu, siswa berdiskusi mengenai prosedur kerja, alat dan bahan yang diperlukan, dan ciri-ciri tahu yang mengandung formalin. Sehingga pada saat praktikum siswa tahu apa yang harus dilakukan dan tidak banyak waktu yang terbuang akibat tidak ada alat dan bahan atau bingung apa yang harus dilakukan. 5. Menggunakan Alat dan Bahan Keterampilan menggunakan alat dan bahan adalah keterampilan mengetahui cara menggunakan alat dan bahan, keterampilan mengetahui alasan penggunaan alat dan bahan, serta memakai alat dan bahan. Misalnya, pada saat siswa melakukan praktikum titrasi asam dan basa, maka siswa akan memiliki keterampilan menggunakan buret, mengukur larutan, meneteskan larutan, menggoyang erlenmeyer, membuat larutan, serta mengetahui alasan penggunaan alat dan bahan. Selain itu juga, dapat melatih siswa untuk lebih bersabar dan teliti. 6. Melakukan Komunikasi

Para guru perlu melatih siswa untuk memiliki keterampilan mnelakukan komunikasi. Keterampilan mengkomunikasikan apa yang ditemukan adalah salah satu keterampilan yang mendasar yang dituntut dari para ilmuwan (Semiawan, 1987: 33). Keterampilan

melakukan komunikasi dapat dilatih dengan memberikan pengalaman belajar pada siswa berupa mencatat hasil pengamatan yang relevan dengan penyelidikan, mentransfer suatu bentuk penyajian ke bentuk penyajian lain. Misalnya, siswa diminta untuk menuliskan data hasil pengamatan dari praktikum pengaruh luas permukaan terhadap laju reaksi dalam bentuk tabel pengamatan. Kemudian data dalam bentuk tabel pengamatan diubah menjadi bentuk lain, misalnya dalam bentuk grafik. Sehingga siswa dapat terampil mengkomunikasikan data dalam berbagai bentuk. 7. Meramalkan (prediksi) Membuat prediksi berkaitan erat dengan observasi dan interpretasi, namun ketiga hal tersebut berbeda (Muhammad, 1996: 22). Untuk membedakan ketiga keterampilan tersebut dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: (1) informasi yang diperoleh melalui indera: observasi; (2) mengapa hal itu terjadi: interpretasi; (3) apa yang saya harapkan akan dapat diobservasi: prediksi. Keterampilan meramalkan dapat dilatih dengan cara memberikan pengalaman belajar pada siswa untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi sebelum melakukan percobaan atau berdasarkan data hasil pengamatan. Misalnya, ketika akan praktikum larutan elektrolit dan non elektrolit guru memberikan apresepsi mengenai pengertian larutan elektrolit, asam, dan basa. Siswa diminta untuk meramalkan diantara larutan NaOH dan CH3COOH larutan manakah yang akan menyalakan lampu dengan terang. Sehingga pembelajaran tersebut dapat melatih siswa memiliki keterampilan meramalkan. 8. Mengajukan pertanyaan

Keterampilan mengajukan pertanyaan adalah keterampilan bertanya untuk meminta penjelasan terhadap suatu hal yang berhubungan dengan percobaan atau kejadian. Contoh: memberi kesempatan pada siswa untuk mengajukan beberapa pertanyaan berkaiatan dengan praktikum yang telah dilakukan. 9. Mengajukan hipotesis Keterampilan mengajukan hipotesis adalah keterampilan mengetahui lebih dari satu kemungkinan penjelasan dari suatu kejadian dan menyadari bahwa suatu penjelasan perlu diuji kebenarannya dengan memperoleh bukti lebih banyak atau melakukan cara pemecahan masalah (Rustaman, 1995: 11). Dalam bekerja ilmiah, seorang ilmuwan biasanya membuat hipotesis yang kemudian diuji melalui eksperimen. Para guru dapat melatih siswa dalam membuat hipotesis sederhana. Misalnya dalam melakukan percobaan dengan lilin, jika lilin ditutup gelas akan padam mereka dapat membuat hipotesis mengapa terjadi demikian. 10. Menerapkan konsep Keterampilan menerapkan konsep dapat dilatih dengan cara memberikan pengalaman belajar pada siswa untuk menggunakan konsep yang telah dipelajari dalam situasi terbaru untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. Para guru dapat melatih siswa dalam menerapkan konsep. Misalnya, setelah mengetahui konsep bahwa jumlah oksigen dalam air bergerak lebih banyak daripada dalam air yang tenang, para siswa dapat menyarankan pada orang yang memiliki tambak ikan untuk tidak membiarkan air dalam kolam ikannya tetap tergenang dalam waktu yang lama, tetapi mengatur aliran air dalam kolam sedemikian rupa sehingga selalu bergerak. 11. Melakukan percobaan atau penelitian Indikator melakukan percobaan atau penelitian merupakan indikator KPS terpadu dimana semua aspek dalam keterampilan proses sains tercakup disini. Kegiatan melakukan percobaan

atau penelitian adalah kegiatan kerja ilmiah yang sesungguhnya, sehingga kegiatan ini dapat dilakukan pada siswa menengah atas. Misalnya pada pembelajaran praktikum elektrolisis CuSO4 dengan elektroda besi dan grafit tujuannya elektroplating yaitu melapisi besi. Kegiatan pertama yang dilakukan yaitu siswa dilatih untuk mengajukan pertanyaan mengenai posisi elektroda, lalu meramalkan posisi elektroda apakah di katoda atau anoda, dengan menerapkan konsep yang dimiliki siswa maka siswa dapat berhipotesis mengenai jika besi ingin dilapisi berarti besi akan mengalami reduksi dan posisinya di katoda. Dari kegiatan ini, berarti siswa dilatih untuk memiliki keterampilan mengajukan pertanyaan, meramalkan, menerapkan konsep, dan berhipotesis. Kegiatan selanjutnya, yaitu merencanakan percobaan. Disini siswa dilatih untuk menentukan alat dan bahan yang akan digunakan, objek yang akan diteliti, prosedur kerja, serta bagaimana mencatat atau mengolah data. Kemudian siswa melakukan percobaan dengan menggunakan alat dan bahan serta prosedur kerja yang telah ditentukan. Siswa mengamati setiap peristiwa yang terjadi dan menuliskannya dalam bentuk tabel pengamatan. Hasil berupa data pengamatan didiskusikan kemudian dikelompokkan ke dalam zat yang mengalami reaksi oksidasi atau reduksi. Tahap terakhir siswa menarik kesimpulan yaitu, di katoda terjadi reduksi besi dan di anoda terjadi oksidasi larutan CuSO4, dalam hal ini Cu yang mengalami oksidasi.

A.

Keterampilan Berpikir Kritis

Secara umum, berpikir diasumsikan sebagai proses kognitif yang merupakan aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. (Preseissen dalam Costa, 1985:43). Aktivitas mental yang dimaksud di sini berupa manipulasi input sensori untuk merumuskan pemikiran, penalaran, atau pertimbangan sesuatu. Menurut Muhibbin (1995:101), dalam perspektif agama, berpikir merupakan proses memberdayakan akal. Akal merupakan alat fisio-psikis dengan sistem psikis yang sangat kompleks dalam menyerap, menyimpan dan memproduksi item-item informasi. Adapun secara fungsional, akal berhubungan dengan indra visual (penglihatan) dan audio (pendengaran). Ketiga potensi tersebut merupakan anugerah dari Allah SWT yang harus disyukuri. Ayat Al-Qur`an berkenaan dengan hal tersebut adalah Surat An-Nahl:78, sebagai berikut:

Dan Allah mengeluarKan Kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidaK mngetahui apa-apa, dan Dia memberi Kamu pendengaran, penglihatan, dan af`idah (daya nalar) agar Kamu bersyuKur. Quraish Shihab (dalam Muhibbin, 1995:101) menafsirkan af`idah pada ayat di atas sebagai daya nalar. Adapun menurut Ruch (1967 dalam Jalaludin, 1994), secara garis besar, berpikir terbagi dua macam yaitu berpikir autistik dan realistik. Berpikir austistik bersifat menghayal (wishful thinKing), sedangkan berpikir realistik (reasoning) adalah berpikir dalam rangka beradaptasi dengan dunia nyata. Berpikir realistik terdiri dari: berpikir deduktif, indukatif, dan evaluatif.

Jalaludin (1994) menjelaskan bahwa: berpikir deduktif adalah berpikir dalam rangka mengambil keputusan dengan cara silogisme, berpikir induktif adalah berpikir dengan cara mengeneralisasi hal yang khusus, dan berpikir evaluatif adalah berpikir kritis untuk menilai baikburuk atau tepat-tidaknya suatu gagasan. Jones (2005) menjelaskan lebih lanjut mengenai berpikir kritis. Menurutnya, berpikir kritis tidak hanya mengakumulasikan informasi yang ada, sehingga seseorang dengan ingatan yang baik (good memory) dan mengetahui banyak fakta, belum tentu dapat berpikir kritis dengan baik. Pada kutipan yang sama, Jones menyatakan bahwa orang yang berpikir kritis akan dapat menarik kesimpulan dari apa yang ia tahu, dan dia tahu bagaimana menggunakan informasi yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah, serta mencari data yang relevan dari informasi yang ada sebagai informasi untuk dirinya. Dengan demikian, berpikir kritis sangat erat hubungannya dengan pemrosesan data berdasarkan informasi yang didapat (input sensory), sehingga

menghasilkan struktur informasi baru yang relevan (output). Pemrosesan informasi sebagai wujud aktivitas berpikir sesuai dengan model dari fungsi intelektual manusia menurut Toward (dalam Costa, 1985:64), seperti terlihat pada bagan berikut:

Input

Pemrosesan

Output

Perolehan data

Membuat pengertian dari data

Penerapan data evaluasi

Menyebutkan STM dan LTM

Metakognisi

Bagan 2.1 Model Fungsi Intelektual Manusia

Keterangan: = Ingatan jangka pendek = Ingatan jangka panjang STM (Short Term Memory) LTM (Long Term Memory)

Metakognisi = Kemampuan melihat diri sehingga tindakan terkontrol secara maksimal.

Costa (1985:62) menyebutkan bahwa model fungsi intelektual manusia pada bagan 2.1, menunjukan terjadinya proses berpikir kompleks karena: (1) Melibatkan penggambaran sejumlah data dari stimulus eksternal (input data), (2) Mengembangkan struktur data yang sudah ada, (3) Terbentuk struktur baru. Struktur baru sebagai hasil pemrosesan data melalui aktivitas tertentu yaitu berupa pengetahuan. Menurut Piaget (dalam Costa, 1985:62), pengetahuan selalu didapat melalui aktivitas tertentu sehingga mengubah struktur mental melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi digunakan untuk merespon lingkungan dan menghadapi masalah, sedangkan proses akomodasi melibatkan interaksi antara prinsip dengan pengalaman yang dimiliki. Menurut Jones (2005), berpikir kritis dengan baik dapat menjadi dasar dalam memperoleh pengetahuan. Pendapat Jones tersebut sesuai dengan pendapat Schafersman (1991), sistem pendidikan yang sesuai saat ini bukan lagi merupakan pola berpikir apa (what to thinK), tetapi bagaimana berpikir (how to thinK). Adapun cara berpikir bagaimana disebut juga berpikir kritis. Schaferman juga menyebutkan bahwa berpikir kritis sama dengan berpikir ilmiah (scientific thinKing), karena seluruh tahapan pada metode ilmiah memiliki kesesuaian dengan berpikir kritis. Pembuktian terhadap suatu hal melalui metode ilmiah, diantaranya meliputi: mengidentifikasi pertanyaan,

menyusun hipotesis, menemukan dan mengumpulkan data yang relavan, dan mengemukakan kesimpulan hasil pembuktian ilmiah. Mengingat perkembangan informasi saat ini terjadi dengan begitu pesat, maka cara berpikir pada pemrosesan informasi harus berlangsung dengan efektif. Jones (2005) mengatakan bahwa cara berpikir yang sesuai dengan sistem pendidikan modern adalah cara berpikir tingkat tinggi. Keterampilan berpikir kritis termasuk salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi atau keterampilan berpikir kompleks (Preseissen dalam Costa, 1985). Berdasarkan penjelasan mengenai berpikir kritis di atas, maka dapat menjadi catatan penting bahwa berpikir kritis merupakan proses berpikir yang berlangsung pada diri seseorang dengan daya nalar yang dimiliki. Selain itu, berpikir kritis juga mempunyai peranan penting dalam berbagai pembuktian ilmiah. Maka dari itu, berpikir kritis sangat tepat apabila digunakan dalam menguasai Ilmu Pengetahuan Alam (Science) termasuk Ilmu Kimia. Berikut adalah perkembangan definisi Keterampilan Berpikir Kritis yang dikemukakan oleh beberapa orang ahli: 1) Keterampilan Berpikir Kritis merupakan keterampilan untuk menganalisis fakta, menyusun dan mengorganisasikan gagasan, memberi penjelasan, membandingkan, menggambarkan kesimpulan, mengevaluasi argumen, dan menyelesaikan masalah (Chance, 1986). 2) Keterampilan Berpikir Kritis adalah kemampuan membuat kesimpulan berdasarkan pencarian secara kritis terhadap sesuatu yang dapat mempengaruhi hidupnya (Schafersman, 1991).

3) Keterampilan Berpikir Kritis adalah kemampuan bernalar dan berpikir reflektif untuk memutuskan hal-hal yang diyakini dan akan dilakukan (Ennis, 1992). Berdasarkan beberapa definisi Keterampilan Berpikir Kritis di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Keterampilan Berpikir Kritis adalah kemampuan daya nalar seseorang yang berperan dalam menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh sesuai dengan apa yang diyakininya. Keterampilan Berpikir Kritis menurut Ennis, et all (1991,1992) memiliki model berpikir yang terdiri dari aspek afektif, konatif, dan aspek tingkah laku dari kebiasaan berpikir kritis. Aspek-aspek tersebut didapat dari stimulus eksternal (input) yang dievaluasi melalui Keterampilan Berpikir Kritis. Hal ini, mengakibatkan terjadinya berpikir kritis yang dapat menegaskan keyakinan sebelumnya dan menetapkan keyakinan baru. Keyakinan tersebut, sebaliknya juga dapat mengakibatkan proses berpikir kritis. Pada proses selanjutnya, Keterampilan Berpikir Kritis menimbulkan kemampuan untuk bertindak yang menghubungkan rencana dan implementasi (konasi). Hasilnya, berupa tindakan dan visualisasi pengetahuan deklaratif yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keyakinan baru yang terbentuk. Konasi dan kemampuan bertindak, dipengaruhi oleh pengembangan pengetahuan prosedural dari lingkungan. Model dan modifikasi proses berpikir kritis menurut Ennis, et all (1991,1992), lebih jelasnya digambarkan pada bagan 2.2.

Menetapkan Keyakinan Baru

Memvisualisasikan pengetahuan Deklaratif

Stimulus Eksternal

KBK

Berpikir Kritis

Kemampuan Bertindak

Menghubungkan Rencana dan Implementasi

Tindakan

Menegaskan Keyakinan Sebelumnya

Mengembangkan Pengatahuan Prosedural

Timbal balik dari Lingkungan

Bagan 2.2 Model dan Modifikasi Berpikir Kritis

Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Ennis (dalam Costa, 1985: 54-56) dibagi menjadi lima kelompok yaitu: (1) Memberikan penjelasan sederhana (Elementary Clarification), (2) Membangun keterampilan sederhana (Basic Support), (3) Membuat kesimpulan (Inference), (4) Membuat penjelasan lebih lanjut (Advanced Clarification), dan (5) Mengatur strategi dan taktik (Strategies and Tactics). Adapun kelima indikator menurut Ennis (Costa, 1985) tersebut, diuraikan lebih lanjut dalam tabel 2.1. el 2.1 Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Ennis
Keterampilan Berpikir Kritis Memberi penjelasan sederhana (Elementary clarification) Sub Keterampilan Berpikir Kritis Memfokuskan pertanyaan Menganalisis argumen Penjelasan Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan Mengidentifikasi kriteria-kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin Menjaga kondisi pikiran

Mengidentifikasi kesimpulan Mengidentifikasi alasan yang

Bertanya, menjawab pertanyaan yang bersifat klarifikasi, dan menjawab pertanyaan yang menantang

dinyatakan Mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan Mengidentifikasi kerelevanan dan ketidakrelevanan Mencari persamaan dan perbedaan Mencari struktur dari suatu argumen Merangkum Menjawab pertanyaan mengapa Bertanya: - Apa intinya? - Apa contohnya? - Bagaimana penerapannya dalam kasus tersebut?

Membangun keterampilan dasar (Basic Support)

Mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber

Ahli Tidak adanya konflik interes Kesepakatan antar sumber Menggunakan prosedur yang ada Mengetahui resiko Kemampuan memberi alasan Kebiasaan berhati-hati Ikut terlibat dalam menyimpulkan Dilaporkan oleh pengamat sendiri Penguatan dan kemungkinannya Penggunaan teknologi yang kompeten Kepuasan observer atas kredibilitas kriteria Kondisi akses yang baik Kelompok logis Kondisi logis Membuat generalisasi Membuat kesimpulan dan hipotesis Latar belakang fakta Konsekuensi Menerapkan prinsip Memikirkan alternatif Menyeimbangkan, memutuskan

Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi

Inferensi

Membuat dan mempertimbangkan hasil deduksi Membuat dan mempertimbangkan induksi

Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan

Membuat penjelasan labih lanjut (Advanced Clarification)

Mendefinisikan istilah, mempertimbangkan definisi

Mengidentifikasi asumsi

Strategi dan taktik Memutuskan suatu tindakan (Strategies and tactics)

Berinteraksi dengan orang lain

Meliputi tiga dimensi, yaitu: Bentuk Strategi definisi Konten (isi) Penalaran implisit Asumsi yang diperlukan, rekonstruksi argumen Mendefinisikan masalah Menyeleksi kriteria untuk membuat solusi Merumuskan alternatif yang memungkinkan Memutuskan hal-hal yang dilakukan secara tentatif Mewawancara dan memonitor implementasi Memberi reaksi terhadap pemikiran yang salah Strategi logis dan retoris Menyajikan argumen secara lisan maupun tulisan

Tes pilihan ganda pada materi kelarutan dan hasilkali kelarutan dapat diukur dengan mengacu pada indikator Keterampilan Berpikir Kritis Ennis. Menurut Schrafersman (1991), apabila tes berbentuk pilihan ganda didesain secara benar, maka hal tersebut dapat mengukur dan meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis. Soal pilihan ganda sifatnya lebih repesentatif dalam menggali seluruh materi kelarutan dan hasilkali kelarutan. Pilihan jawaban disusun secara khusus untuk mengukur dan melatih Keterampilan Berpikir Kritis siswa. Untuk mempermudah pembuatan soal Keterampilan Berpikir Kritis, maka ketentuan umum soal untuk keenam indikator Keterampilan Berpikir Kritis disusun sebagai berikut: 1. Soal pada indikator keterampilan mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan, ketentuannya:

Fakta dipaparkan pada redaksi soal

b Soal menginstruksikan siswa mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan yang paling sesuai dengan fakta yang dipaparkan. c Pilihan jawaban berupa pertanyaan

d Pertanyaan sebagai jawaban soal merupakan pertanyaan paling esensi yang mencakup seluruh paparan fakta. Ketentuan soal untuk mengukur indikator keterampilan mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan dibuat berdasarkan contoh-contoh soal berikut: Manakah pertanyaan yang paling penting ditanyakan dalam menentukan apakah seseorang bersalah? a. Apa latar belakang kebudayaan hakim? b. Apakah terdakwa bersalah? c. Apakah hakim seorang perempuan atau lelaki? d. Apakah terdakwa diwakili oleh seorang pengacara? (Kneedler dalam Costa, 1985: 277) Contoh soal lainnya diperoleh dari soal pada salah satu penelitian materi kimia tentang radioisotop berikut: Analisis bacaan di bawah ini: Pembuatan isotop radioaktif yang sangat berguna dalam berbagai bidang dilakukan dalam reaktor melalui penembakan dengan neutron. Produksi radioisotop dilakukan dalam beberapa tahap yang dilakukan dengan pengawasan kualitas yang cukup ketat sebelum distribusi dan pemakaian. Indonesia saat ini telah memiliki tiga reaktor nuklir untuk penelitian dan produksi radioisotop, yaitu Triga Mark II di Bandung, Reaktor Kartini di Yogyakarta dan reaktor G. A. Siwabessy di Serpong Jawa Barat. Pertanyaan yang kemungkinan besar muncul setelah menganalisis bacaan di atas adalah.... a. Apa yang dimaksud dengan radioisotop?

b. c. d. e.

Bagaimana proses produksi radioisotop? Dimana bisa memperoleh radioisotop? Bagaimana wujud radioisotop? Apa kegunaan radioisotop? (Neneng, 2002: 65-66)

Soal dengan ketentuan di atas, dapat ditemukan pada soal instrumen nomor tiga. 2. Soal pada indikator keterampilan mencari persamaan dan perbedaan, ketentuannya: a. Dua atau lebih contoh disajikan untuk diamati. b. Contoh memuat beragam kondisi yang dapat diklasifikasikan antara contoh dengan kondisi (data) sama dibanding contoh dengan kondisi berbeda. c. Persaman dan perbedaan dari contoh disesuaikan dengan keinginan pertanyaan. Ketentuan soal untuk mengukur indikator keterampilan mencari persamaan dan perbedaan dibuat berdasarkan contoh soal berikut: Di antara larutan-larutan berikut, mana yang penurunan tekanan uapnya paling besar, diukur pada temperatur yang sama? a. 34,2 gram sukrosa (Mr=342) dalam 180 gram air b. 12,0 gram urea (Mr=60) dalam90 gram air c. 6,20 gram glikol (Mr=62) dalam 180 gram air d. 18,0 gram glukosa (Mr=180) dalam 90gram air e. 18,4 gram gliserol (Mr=92) dalam 180 gram air (Poppy, 2001: 109) Soal dengan ketentuan di atas, dapat ditemukan pada soal instrumen nomor dua dan sembilan. 3. Soal pada indikator keterampilan menerapkan prinsip yang diterima, ketentuannya: a. Soal menyajikan beberapa data. b. Data dimasukkan pada rumus yang tepat (prinsip yang dapat diterima). c. Jawaban berupa hasil perhitungan. Ketentuan soal untuk mengukur indikator keterampilan menerapkan prinsip yang diterima dibuat berdasarkan contoh soal berikut:

Garam NH4Cl sebanyak 5,35 gram dilarutkan dalam air sehingga volumenya 500 mL. jika Kb NH4Cl =2x105 dan Mr NH4Cl =53,5, maka pH larutan garam tersebut adalah... a. 5 b. 6 c. 7 d. 8 e. 9 (Ratih, 2002: 95) Soal dengan ketentuan di atas, dapat ditemukan pada soal instrumen nomor delapan, sebelas, dan tiga belas. 4. Soal pada indikator keterampilan menjawab pertanyaan mengapa, ketentuannya: a Fakta dipaparkan pada bagian informasi soal

b Soal menanyakan suatu alasan dari kondisi yang berhubungan dengan paparan fakta. c Alasan yang paling tepat merupakan pilihan jawaban

Ketentuan soal untuk mengukur indikator keterampilan menjawab pertanyaan mengapa dibuat berdasarkan contoh-contoh soal berikut: Altough 95% of the crust of the Earth is composed of either igneous or methamorfic rock, 75% of the exposed surface of the continental crust is sedimentary rock. This is because... a. Erosion of surface soil and rock has produced a veneer of sediments over most of the Earth, and lihitification of these sediments has produced sedimentary rock strata. b. The temperature of the Earth increases downward, leading to the creation of vast amount of igneous and methamorfic rocks. c. Oceanic crust, which covers about 70% of the Earth surface, is largely composed of igneous rock, such as basalt, which forms at oceanic ridges. d. Constitute such a small percentage of the surface of the Earth that they contribute much less material to the surface than do phsycal and chemical presipitation of sediment. (Schafersman, 1991)

Contoh soal indikator keterampilan menjawab pertanyaan mengapa di atas, merupakan bentuk pertanyaan yang menyajikan paparan fakta pada bagian informasi soal. Bentuk soal seperti ini dapat ditemukan pada soal-soal instrumen nomor 1, 10, dan 12. Adapun bentuk soal indikator menjawab pertanyaan mengapa yang tidak memaparkan fakta pada bagian informasi soal dapat dibuat seperti soal berikut: Mengapa untuk mengetahui proses penyerapan fosfor dalam tanaman dapat menggunakan P-32? a. Karena P-32 merupakan isotop fosfor yang stabil b. Karena P-32 merupakan isotop fosfor yang stabil c. Karena P-32 dapat memancarkan sinar radiasi yang dapat dideteksi oleh alat pencacah. d. Karena P-32 dibutuhkan tanaman dalam proses penyerapan fosfor. e. Karena P-32 sangat praktis untuk digunakan. (Neneng, 2002: 70) 5. Soal pada indikator keterampilan mengidentifikasi kesimpulan, ketentuannya: a. Soal memuat data b. Data dimasukkan pada rumus yang sesuai. c. Hasil perhitungan berupa data berbentuk angka d. Hasil akhir perhitungan diinterpresentasikan dari suatu keadaan Bentuk soal mengidentifikasi kesimpulan dapat dibuat dengan beberapa variasi soal. Variasi soal tersebut terletak pada penempatan data yang disajikan dalam soal, meliputi data yang disimpan pada bagian pilihan soal dan data yang disimpan pada bagian informasi soal. Berikut adalah contoh soal mengidentifikasi kesimpulan yang menyajikan data pada bagian pilihan soal: Pilihlah jumlah zat terlarut dan jumlah pelarut yang dapat menunjukkan harga penurunan titik beku molal pelarut! a. 1 mol terlarut, 1000 gram pelarut b. 1 mol terlarut, 100 gram pelarut c. 1 mol terlarut, 1000 mL pelarut d. 100 gram terlarut, 1000 gram pelarut e. 1 mol terlarut, 1000 mL pelarut

(Poppy, 2001: 114) Adapun contoh soal indikator menyimpulkan yang menyajikan data pada bagian informasi soal adalah sebagai berikut: Larutan garam NaCl (NH4)SO4 CH3COONa CH3COONH4 NH4Cl Asam Pembentuk Garam HCl H2SO4 CH3COOH CH3COOH HCl Basa Pembentuk Garam NaOH NaOH NH4OH NH4OH NaOH

Larutan garam yang mempunyai pH>7 adalah... a. b. c. d. e. NaCl (NH4)SO4 CH3COONa CH3COONH4 NH4Cl (Ratih, 2002: 93) Kedua variasi soal pada indikator mengidentifikasi kesimpulan tersebut dipakai sebagai dasar ketentuan umum soal yang dibuat pada instrumen penelitian nomor empat, empat belas, dan lima belas. 6. Soal pada indikator keterampilan mengidentifikasi kerelevanan, ketentuannya: a. Beberapa data yang disajikan pada informasi soal. b. Data lain yang berhubungan dengan data sebelumnya disajikan baik pada bagian informasi soal ataupun pada pilihan jawaban. c. Soal mengintruksikan siswa untuk mengidentifikasi kerelevanan dan

ketidakrelevanan antara data satu dan lainnya Ketentuan soal untuk mengukur indikator keterampilan mengidentifikasi kerelevanan dibuat berdasarkan contoh-contoh soal berikut:

Di antara garam yang terionisasi sempurna berikut ini, kelompok mana yang mempunyai harga I berturut-turut semakin besar (1)MgCl2, (2)MgSO4, (3)KCl (4)KNO3 , (5)Al2(SO4)3? a. 1, 2, 3 b. 4, 1, 5 c. 3, 2, 1 d. 3, 4, 5 e. 2, 3, 4 (Poppy, 2001: 116) Soal untuk mengidentifikasi ketidakrelevanan adalah seperti contoh berikut: Pernyataan berikut ini menunjukkan beberapa penggunaan radioisotop: 1. Pemeriksaan cacat pada logam 2. Mengontrol ketebalan bahan 3. Mengukur kecepatan gerak lumpur 4. Mengetahui laju aus komponen mesin 5. Mempelajari cara pemupukan yang baik Yang tidak termasuk penggunaan radioisotop untuk bidang industri adalah... a. b. c. d. e. 1 dan 2 3 dan 4 2 dan 4 3 dan 5 1 dan 5

Berdasarkan dua contoh untuk indikator mengidentifikasi kerelevanan (Poppy, 2001: 116) dan indikator mengidentifikasi ketidakrelevanan (Neneng,2002: 67), maka untuk lebih efektif, soal yang dibuat pada materi kelarutan dan hasilkali kelarutan kedua indikator di atas dirangkum menjadi satu indikator yaitu mengidentifikasi kerelevanan dan ketidakrelevanan. Adapun bentuk soalnya adalah menggabungkan data antara yang relevan dan tidak relevan untuk diidentifikasi. Soal dengan ketentuan di atas, dapat ditemukan pada soal instrumen nomor lima, enam, dan tujuh. Ketentuan umum pembuatan soal disesuaikan dengan masing-masing indikator Keterampilan Berpikir Kritis yang hendak diukur. Dengan demikian, maka tiap soal memiliki

ciri khas tersendiri yang menjadi dasar pembeda antara indikator Keterampilan Berpikir Kritis satu dengan indikator lainnya. Semua soal Keterampilan Berpikir Kritis tidak merupakan soal yang mengukur ingatan sederhana siswa, termasuk bentuk soal pilihan ganda. Berikut adalah contoh soal pilihan ganda yang tidak termasuk soal yang dapat mengukur dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis: Inti atom tersusun dari a. Proton dan ion b. Neutron dan elektron c. Proton dan elektron d. Isotop dan ion e. Neutron dan proton (Schafersman, 1991) Dengan demikian soal-soal pilihan ganda yang dirancang harus memenuhi ketentuan umum yang mengacu pada indikator Keterampilan Berpikir Kritis yang hendak diukur. Adapun menurut (Schafersman, 1991), soal pilihan ganda Keterampilan Berpikir Kritis selain dapat melatih siswa berpikir kritis, juga memiliki keunggulan yaitu: dapat digunakan pada kelas berukuran besar (kelas dengan banyak siswa) dan dinilai lebik objektif dalam mengevaluasi siswa.

2. Kecerdasan Logika-Matematika Kecerdasan logika-matematika merupakan kecerdasan parsial dari kecerdasan berganda yang dikemukakan oleh Howard Gardner. Teori kecerdasan berganda, yaitu multiple inteligent yang diperkenalkan oleh Gardner ini, dalam beberapa sumber disebut dengan istilah teori intelegensi ganda, kecerdasan ganda, kecerdasan jamak, kecerdasan majemuk, kecerdasan pelbagai, kecerdasan beragam dan sebagainya. Meskipun demikian, istilah tersebut menunjuk pada definisi yang dikemukaan oleh Gardner sebagai berikut:

"An intelligences entails the ability to solve problems or fashion product that are of consequence in a particular cultural setting. The problem-solving skill allows one approach a situation in which a goal is to be obtained and to locate the appropriate route to that goal. The creation of a cultural project is crucial to capturing transmitting knowledge or expressing one's, view or feelings. (Kompas Cyber Media:1992)

Dengan demikian, makna kecerdasan adalah berbagai kemampuan untuk memecahkan masalah atau menghasilkan produk yang merupakan konsekuensi penyelesaian pada situasi nyata dalam berbagai keadaan. Keterampilan pemecahan masalah memperkenalkan suatu pendekatan situasi yang bertujuan mendapatkan dan menempatkan jalan yang tepat untuk mencapai tujuan. Hal ini sangat penting untuk mentransmisikan pengetahuan atau pengalaman seseorang, pandangan atau perasaan-perasaannya. Kecerdasan seseorang tidak terpaku pada satu kemampuan, melainkan berbagai kemampuan dalam berbagai situasi. Oleh karena itu kecerdasan bukan kemampuan menyelesaikan tes IQ dalam ruang tetutup, melainkan kemampuan memecahkan persoalan dalam dunia nyata pada situasi yang beragam (Suparno, 2004:18). Pada awalnya, Gardner mengemukakan bahwa manusia memiliki tujuh kecerdasan. Namun berdasarkan hasil penelitiannya yang baru, ternyata dapat diketahui bahwa kecerdasan yang dimiliki manusia ada sembilan atau mungkin lebih. Sembilan kecerdasan tersebut meliputi: kecerdasan linguistik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan ruang/ visual, kecerdasan badan kinestetik, kecerdasan musikal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan lingkungan/ naturalis dan kecerdasan eksistensial (Suparno, 2004:19). Akan tetapi menurut DePorter (2001:96), teori kecerdasan berganda Gardner hanya ada delapan. Karena kecerdasan eksistensi disatukan dengan interpersonal. Untuk memudahkan mengingat kecerdasan berganda Gardner, digunakan akronim SLIM-n-BIL sebagai berikut: a. S = Spasial-Visual. Kecerdasan spasial-visual yaitu kecerdasan berfikir dalam citra dan gambar, melibatkan kemampuan untuk memahami hubungan ruang dan citra mental serta menguasai dunia visual. Dengan kecerdasan ini memungkinkan manusia untuk dapat memvisualisasikan bentuk dan wujud sesuatu secara nyata dalam mata pemikirannya kemudian dituangkan melalui media gambar (Rose, 2003:12). Tokoh yang sangat menonjol dalam kecerdasan ini diantaranya Leonardo Da Vinci, Picasso, dan Afandi. b. L = Linguistik-Verbal. Kecerdasan linguistik-verbal yaitu kemampuan untuk menggunakan inti operasional bahasa dengan jelas (English, Evelyn Williams, 2005:24). Kecerdasan linguistik verbal menyebabkan seseorang dapat bekomunikasi, berkata-kata, mahir berbahasa, berbicara, menulis, membaca, menghubungkan dan menafsirkan. c. I = Interpersonal. Kecerdasan interpersonal. yaitu kemampuan berfikir lewat interaksi dengan orang lain. Indikatornya: memimpin, berinteraksi, berorganisasi, berbagi, menyayangi berbicara, sosialisasi, manipulasi, menjadi pendamai (penengah), permainan kelompok, club, dan kerjasama. d. M= Musikal-Ritmik. Kecerdasan musikal-ritmik adalah kecerdasan dalam berirama dan melodi. Menurut Plato (dalam Merritt, 2003:1), musik adalah esensi keteraturan yang akan membawa pada semua hal

yang baik, adil dan indah. Kecerdasan musikal-ritmik terkait dengan bahasa yang diukur dengan sensitivitas yang dimiliki seseorang terhadap susunan suara dan kemampuan merespon pola-pola suara secara emosional. Setiap manusia memiliki kecerdasan musikal dasar. Hasil penelitian para ilmuwan saraf menemukan bahwa musik dapat mengaktifkan aliran impuls saraf ke jaringan srabut otak yang menghubungkan kedua belahan otak kiri dan kanan secara harmonis (Merritt, 2003:150). Tokoh dengan kecerdasan musikal-ritmik yang sangat menonjol diantaranya Carlos Santana, Alanis Moricete, Addie MS dan Hadad Alwi. e. n = Naturalis. Kecerdasan naturalis yaitu kecerdasan berfikir secara alamiah. Dalam hal ini kecerdasan naturalis berperan sebagai kemampuan menggunakan input sensorik dari alam untuk menafsirkan makna-makna yang terdapat dalam alam tersebut, mengenali unsur-unsur didalamnya, hidup selaras dengan alam dan memanfaatkannya secara produktif. Tokoh dalam kecerdasan ini biasanya berpropesi sebagai petani dan pemerhati lingkungan. f. B = Badan-Kinestetik. Kecerdasan badan kinestetik adalah kemampuan berfikir melalui sensasi/ gerak fisik. Dengan kecerdasan ini memungkinkan manusia untuk mengontrol, merancang dan menafsirkan aneka gerak tubuh menjadi gerakan ungkapan yang memiliki maksud dan makna khusus. Tokoh yang menonjol dengan kecerdasan ini diantaranya adalah David Becham, Susi Susanti, Ari Tulang, dan Bruce Lee. g. I = Intrapersonal. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan berfikir secara reflektif yang mengacu pada perasaan dan proses pemikiran diri sendiri. Dengan kecerdasan ini manusia dapat membuat rekan di sekelilingnya nyaman berada didekatnya, dapat memahami dan mengerti orang lain, dan memiliki dedikasi serta bersimpati terhadap orang lain. Tokoh yang menonjol dengan kecerdasan ini adalah Bunda Theresa dan RA. Kartini. h. L = Logika-Matematika Kecerdasan logika-matematika yaitu kecerdasan dan kemampuan menggunakan logika dalam penalaran, menangani angka dalam perhitungan dan berfikir sistematis pada suatu sistem kerja ilmiah (DePorter, 2001:96). Tokoh dengan kecerdasan ini diantaranya adalah Albert Einsten, Ibnu Sina, dan BJ Habibie. Definisi kecerdasan yang diungkapkan Gardner sejalan dengan definisi kecerdasan Colin Rose. Menurut Rose (2003:76), kecerdasan adalah serangkaian kemampuan dan keterampilan yang terlihat dari perbuatan dan prestasi seseorang. Kecerdasan mewakili cara berbeda dalam menjelajahi suatu topik, yakni kemampuan yang dapat dimanfaatkan saat diperlukan dalam menangani barbagi masalah. Sementara itu, Najati mendefinisikan kecerdasan yang mendukung kecerdasan Gardner. Menurut Najati (2002:37) kecerdasan seseorang pada akhirnya akan ditentukan oleh kemampuannya untuk mengambil keputusan dengan tepat, cepat, dan akurat dalam memecahkan masalah. Hal ini secara emosional berarti suatu kemampuan untuk memaknai tindakan yang akan, sedang, dan yang telah diambil. Mengenai definisi kecerdasan logika-matematika seperti telah diungkapkan sebelumnya, menurut DePorter (2001:96) yaitu kecerdasan dan kemampuan menggunakan logika dalam penalaran, menangani angka dalam perhitungan dan berfikir sistematis pada suatu sistem kerja ilmiah. Menurut Gardner, dalam kecerdasan logika-matematika tersebut terdapat kemampuan

yang lebih berkaitan dengan penggunaan bilangan dan logika secara efektif, termasuk kepekaan pada pola logika, abstraksi reflektif, kategorisasi dan perhitungan. (Suparno, 2004:29) Pola logika yang dimaksud adalah logika deduktif dan logika induktif. Sementara yang dimaksud abstraksi reflektif erat kaitannya dengan pengalaman logika-matematika dalam bereksperimen, membuat skenario, bertanya dan teka-teki seperti pada teori Piaget. Sedangkan kategorisasi meliputi pengorganisasian. Berdasarkan definisi di atas, indikator kecerdasan logika matematika menurut DePorter meliputi delapan yaitu: bereksperimen, menghitung, bertanya, mengorganisasikan, logika deduktif, logika induktif, skenario, dan teka-teki. 1) Pola Logika Logika didefinisikan sebagai suatu yang berhubungan dengan kegiatan berfikir rasional berdasarkan acuan tertentu yang mengarahkan seseorang untuk menghindari kemungkinan kesalahan berfikir dan mengambil keputusan. Logika memiliki pola penarikan keputusan yaitu logika deduktif dan logika induktif. a). Logika Deduktif Logika deduktif yaitu pola penalaran hasil pemikiran rasional yang bertolak dari hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus, jelas dan konkrit dalam memprediksi. Dalam hal ini logika deduktif diidentikkan dengan kemampuan mempredikasi atau meramalkan sesuatu di awal sebelum berlangsungnya sesuatu tersebut berdasarkan data dan konsep, menuju kepada penentuan gejala yang mungkin dan akan terjadi. Sedangkan prediksi itu sendiri menurut Mohamad Nur (1996:22), adalah ramalan tentang kejadian yang dapat diamati di waktu yang akan datang dalam arti belum terjadi. Misalnya pada saat melakukan elektroplating terhadap logam besi oleh tembaga, siswa/ mahasiswa harus menggunakan logika deduktif untuk mempredikasi kemungkinan reaksi yang akan terjadi berdasarkan data potensial reduksi standar. Apabila siswa/ mahasiswa dapat meramalkan reaksi yang akan terjadi sesuai dengan konsep elektrolisis, maka penentuan posisi besi dan tembaga sebagai elektroda positif dan negatif dapat dilakukan agar elektroplating bisa berlangsung baik. Dengan demikian, logam tembaga bisa melapisi besi. b). Logika Induktif Logika induktif yaitu pola penalaran hasil berfikir rasional dalam penarikan keputusan yang bertolak dari hal yang khusus kepada sesuatu yang bersifat general dan merupakan kesimpulan dari sesuatu yang telah dilakukan secara sistematis. Misalnya seperti pada saat melakukan identifikasi zat yang dihasilkan di anode pada praktikum elektrolisis larutan KI. Dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa ketika ditetesi indikator phenolptahalein tidak menunjukan perubahan apa-apa. Tapi pada saat di tetesi larutan amilum, terjadi perubahan warna menjadi ungu ke merah-merahan. Ini berarti dari pengamatan tersebut menunjukan dan dapat disimpulkan bahwa yang terelektrolisis atau teroksidasi di anode adalah I2 bukan OH-. Kedua pola logika ini merupakan indikator dari kecerdasan logika-matematika. Jika seseorang mengembangkan kecerdasan logika-matematikanya dengan baik maka akan dapat menarik logika deduktif dan indutif dengan tepat. 2) Abstraksi Reflektif Abstraksi reflektif erat kaitannya dengan pengalaman logika-matematika (logichamathematical experience). Dalam teori Piaget, pengalaman logika-matematika merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan

intelektual seseorang disamping pengalaman fisik dan pengalaman sosial. Pengalaman fisik diperoleh dari pengamatan fisik, pengalaman logika-matematika diperoleh dari hasil kontruksi tindakan-tindakan pengalaman fisik terhadap generalisasi kesimpulan, sedangkan pengalaman sosial diperoleh dari hasil interaksi dengan orang lain (Dahar, 1996:158). Menurut Piaget (dalam Dahar, 1996:157), pengalaman logika-matematika sebagai suatu pengalaman dari hasil konstruksi fikiran secara sungguh-sungguh. Pengalaman logikamatematika ini diperoleh ketika seseorang mengamati benda-benda. Setelah melakukan pengamatan, selain mendapatkan pengalaman fisik dari pengamatannya, maka pengalaman membangun atau mengkonstruksi hubungan-hubungan antar satu objek dengan objek lainnya atau dari satu faktor dengan faktor lainnya dapat diperoleh secara terperinci hingga mendapat suatu kejelasan konsep yang dapat ditarik suatu kesimpulan. Misalnya ketika seorang mahasiswa menghitung banyaknya gelas ukur yang digunakan untuk praktikum ternyata ada lima. Lima ini sebetulnya bukan sifat fisik dari gelas ukur, melainkan hasil konstruksi fikiran rasional mahasiswa tersebut dari pengalaman fisik menghitungnya ditranspormasikan menjadi pengalaman logika-matematika hingga mendapat kepastian kesimpulan yang tepat yaitu lima. Proses konstruksi tersebut merupakan proses abstraksi reflektif. Pengalaman fisik dan pengalaman sosial merupakan pengetahuan tentang isi (content). Baik pengetahuan fisik maupun pengetahuan sosial pengkonstruksiannya tidak secara langsung, melainkan melalui kerangka logika- matematika (Kamii dalam Dahar, 1996:156). Oleh karena itu pengembangan kecerdasan logika-matematika yang memiliki indikator eksperimen, membuat skenario eksperimen, bertanya dan memecahkan teka-teki, dapat mengembangkan pengalaman fisik, sosial dan terutama pengalaman logika-matematika, karena dalam proses pencapaian indikator-indikator tersebut pengalaman fisik, sosial dan terutama pengalaman logikamatematika diperoleh dan digunakan secara sistematis, proporsional, dan continue. Eksperimen dalam pendidikan adalah salah satu cara melakukan percobaan tentang sesuatu, diamati prosesnya, dicatat gejalanya, dikomunikasikan hasilnya, dan dievaluasi kesimpulannya (Roestiyah, 1991:80). Adapun bereksperimen yang dimaksud sebagai indikator kecerdasan logika-matematika adalah kemampuan dan keterampilan melakukan percobaan secara mandiri. Indikator skenario, yang dimaksud adalah kemampuan untuk membuat skenario eksperimen. Dalam membuat membuat skenario eksperimen mahasiswa dituntut untuk menentukan prosedural yang akan dilakukan dalam praktikum secara tertulis. Komponen skenario eksperimen meliputi penentuan judul dan waktu praktium, tujuan percobaan, prosedur kerja, alat-bahan dan sketsa rangkaian alat, menuliskan data hasil pengamatan dan analisis data, interpretasi dan hitungan, serta membuat kesimpulan. Indikator bertanya (to ask a question), mengajukan pertanyaan merupakan indikator kecerdasan logika-matematika yang menunjukkan seorang pembelajar telah atau sedang atau mau melakukan pembelajaran. Trik berfikir tentang pertanyaan ada tujuh, yaitu recall (mengingat), cause and effect (sebab akibat), similarities (kesamaan), difference (perbedaan), idea to examples (ide ke contoh-contoh), example to idea (contoh ke ide), dan evaluation (English, Evelyn Williams 2005:37) Indikator teka-teki yang dimaksud adalah kemampuan untuk mendapatkan solusi dari pesoalan/ permasalahan yang berkaitan erat dengan konsep ilmiah, tetapi disajikan dalam format tebakan. Dalam memecahkan teka-teki diperlukan penalaran deduktif dan induktif terhadap kemungkinan/ alternatif untuk mendapatkan solusi. 3) Kategorisasi

Kategorisasi yang dimaksud adalah kemampuan untuk mengorganisasikan fakta, gejala, ciri dan sifat dari objek yang diamati melalui konstruksi pengalaman fisik dan sosial oleh pencitraan logika matematika. Contohnya berdasarkan fakta dari data potensial reduksi standar dapat diorganisasikan, zat apa yang dapat mereduksi seng (Zn) dan zat mana yang tidak dapat mereduksinya. 4) Perhitungan Menghitung (calculation), adalah kemampuan melakukan perhitungan dalam mengendalikan dan menangani angka-angka. Pada suatu proses kenyataan menghitung dilakukan dengan cara menginterpretasi data-data yang akan dihitung melalui proses abstraksi reflektif kemudian menghubungkannya dengan aturan berupa rumus untuk mengetahui berapa hasil perhitungannya. Adapun data-data yang diinterpretasikan berupa data-data simbol kuantitatif dengan makna tertentu. Oleh karena itu kemampuan menginterpretasi dan abstraksi reflektif sangat diperlukan secara dominan dalam kegiatan menghitung. Contohnya ketika menentuan berapa massa zat yang diendapan di katode. Siswa/ mahasiswa terlebih dahulu harus mengidentifikasi rumus, kemudian komponen data kuantitatif yang diperlukan dalam perhitungan yaitu besar arus yang diperoleh dari hasil bagi tegangan dengan hambatan, waktu berlangsungnya proses, banyaknya elektron yang dialirkan dan konstanta faraday. Setelah diketahui baru dihitung secara matematis sesuai rumusnya. A. Model Pembelajaran Berbasis Masalah 1. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah suatu pendekatan pedagogis berdasarkan kemajuan terbaru dalam penelitian ilmu kognitif pada pembelajaran siswa. Dalam pembelajaran berbasis masalah, siswa belajar dalam konteks masalah yang akan dipecahkan. Tanggung jawab untuk belajar adalah dengan siswa bukan dengan fasilitator. Ada lima tahap yang jelas dalam pembelajaran berbasis masalah (PBL) yaitu: pengenalan, penyelidikan, selfdirected studi, meninjau kembali hipotesis, dan evaluasi. (Preetha Ram, 1999:1122). Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran (Moffit dalam Rusman, 2010:241). Menurut Tan (dalam Rusman 2010:229) Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam PBM kemampuan berpikir siswa betul-betul

dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan. Pembelajaran berbasis masalah merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada (Tan dalam Rusman, 2010:232). 2. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah Karakteristik pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut :a) Permasalahan menjadi starting point dalam belajar, b) Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur, c) Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective), d) Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar, d) Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama, e) Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBM, f) Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif, g) Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan, h) Keterbukaan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar; dan i) PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.

Alur proses Pembelajaran Berbasis Masalah dapat dilihat pada flowchart berikut ini: Menentukan Masalah Belajar Pengarahan Diri Analisis Masalah dan Isu Belajar Belajar Pengarahan Diri Pertemuan dan Laporan Belajar Pengarahan Diri Penyajian Solusi dan Refleksi Belajar Pengarahan Diri Kesimpulan, integras, dan Evaluasi Gambar 2.2 Bagan Keberagaman Pendekatan PBM (Rusman, 2010:233) Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) digunakan tergantung dari tujuan yang ingin dicapai apakah berkaitan dengan: 1) penguasaan isi pengetahuan yang bersifat multidisipliner; 2) penguasaan keterampilan proses dan disiplin heuristic; 3) belajar keterampilan pemecahan masalah; 4) belajar keterampilan kolaboratif; 5) belajar keterampilan kehidupan yang lebih luas (Rusman, 2010:233). Kemungkinan keberhasilan pedagogi (PBL) ini adalah : jika kita memberikan siswa tugas menantang yang melibatkan mereka, mereka akan belajar untuk memecahkan masalah dan mereka akan memperoleh pengetahuan yang terkait untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Mereka akan belajar lebih dalam dan lebih bermakna, sehingga pengetahuan mereka lebih lama tersimpan dalam memori mereka. Dengan itu, mereka telah membangun diri dalam konteks pembelajaran dan sebagai tanggapan terhadap kebutuhan. Pendukung PBL, Barrows dan

Kelson, telah mengembangkan strategi untuk menjamin keberhasilan proses PBL. Masalah PBL harus didasarkan pada pembelajaran menarik, situasi dunia nyata, menghasilkan beberapa hipotesis, latihan keterampilan untuk memecahkan masalah berpikir kreatif, pengetahuan dan keterampilan yang memenuhi tujuan kurikuler, dan diintegrasikan dengan mengandung komponen lebih dari satu (Preetha Ram, 1999:1122). Secara singkat kelima tahapan pembelajaran PBL adalah sebagaimana berikut: 1. Pengenalan atau pendahuluan. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. 2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. 3. Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. 4. Meninjau kembali hipotesis. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. 5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. B. Keterampilan Berpikir Kritis Berpikir secara umum dianggap sebagai proses kognitif, tindakan mental untuk memperoleh pengetahuan. Penekanan dalam keterampilan berpikir menegaskan penalaran

(reasoning) sebagai fokus utama kognitif. Berpikir merupakan pokok pangkal untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Reber (dalam Muhibbin Syah, 2000:119) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Selanjutnya, Muhibbin Syah (2000:119), berpendapat bahwa keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik, melainkan juga fungsi mental yang bersifat kognitif. Konotasinya pun luas sehingga sampai pada mempengaruhi orang lain secara tepat juga dianggap sebagai terampil. Menurut Norris dan Ennis (dalam Fisher, 2002:4) berpikir kritis ialah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan. Berpikir kritis didefinisikan sebagai suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif serta melakukan seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi (Henik 2005:29). Tyler (Redhana 2003:30) berpendapat bahwa pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan berpikir kritis siswa. Reber (dalam Muhibbin Syah, 2000:120) berpendapat bahwa dalam hal berpikir kritis, siswa dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan pemecahan masalah dan mengatasi kesalahan atau kekurangan. Keterampilan berpikir kritis menggunakan dasar berpikir menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap interpretasi untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, kemampuan memahami asumsi, memformulasi masalah, melakukan

deduksi dan induksi serta mengambil keputusan yang tepat. Ketrampilan berpikir kritis adalah potensi intelektual yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran. Setiap manusia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang kritis karena sesungguhnya kegiatan berpikir memiliki hubungan dengan pola pengelolaan diri ( self organization ) yang ada pada setiap mahluk di alam termasuk manusia sendiri (Liliasari 2001:4) Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu bagian dari keterampilan tingkat tinggi yang sangat relevan dikembangkan ditingkat SMA/MA. Menurut Ennis (1985) indikator keterampilan berpikir kritis siswa dikelompokan ke dalam lima bagian yaitu: 1. Memberikan penjelasan sederhana (Elementary Clarification) a) Memfokuskan pertanyaan, meliputi : Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan, merumuskan kriteria-kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin, dan menjaga kondisi pikiran. b) Menganalisis argumen, meliputi : Mengidentifikasi kesimpulan, mengidentifikasi alasan yang dinyatakan, mengidentifikasi alasan yang tidak dinyatakan,

mengidentifikasi kerelevanan dan ketidakrelevanan, mencari persamaan dan perbedaan, mencari struktur dari suatu argumen, dan merangkum. c) Bertanya, menjawab pertanyaan yang bersifat klarifikasi dan menjawab pertanyaan yang menantang, meliputi : Menjawab pertanyaan mengapa? , Bertanya: Apa intinya? Apa contohnya? Bagaimana penerapannya dalam kasus tersebut? 2. Membangun pengetahuan dasar ( Basic Support) a) Mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, meliputi : Ahli, tidak adanya konflik interest, kesepakatan antar sumber, menggunakan prosedur yang ada, mengetahui resiko, kemampuan memberi alasan, dan kebiasaan berhati-hati.

b) Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi, meliputi : Ikut terlibat dalam menyimpulkan, dilaporkan oleh pengamat sendiri, penguatan dan kemungkinannya, penggunaan teknologi yang kompeten, kepuasan observer atas kredibilitas kriteria, dan kondisi akses yang baik. 3. Menyimpulkan (Inference) a) Membuat dan mempertimbangkan hasil produksi, meliputi : Kelompok logis dan kondisi logis. b) Membuat dan mempertimbangkan induksi, meliputi : membuat generalisasi, dan membuat kesimpulan dan hipotesis. c) Membuat dan mempertimbangkan nilai keputusan, meliputi : Latar belakang fakta, konsekuensi, menerapkan prinsip, memutuskan memikirkan alternatif, dan

menyeimbangkan. 4. Memberikan penjelasan lebih lanjut (Advanced Clarification) a) Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi, meliputi : Meliputi 3 dimensi, yaitu : bentuk, strategi definisi, dan konten (isi). b) Mengidentifikasi asumsi, meliputi : Rekonstruksi argumen, penalaran implisit dan Asumsi yang diperlukan. 5. Mengatur strategi dan taktik (Strategy and Tacties) a) Memutuskan suatu tindakan, meliputi : Mendefinisikan masalah, menyeleksi kriteria untuk membuat solusi, merumuskan alternatif yang memungkinkan, memutuskan halhal yang dilakukan secara tentatif, dan mewawancara dan memonitor implementasi. b) Berinteraksi dengan orang lain, meliputi : Memberikan reaksi terhadap pemikiran yang salah, strategi logis dan retoris.

Dalam penelitian ini, keterampilan berpikir kritis yang akan dikembangkan adalah menyebutkan contoh, merumuskan masalah, mengemukan penjelasan sederhana, menganalisis data, dan mengidentifikasi pernyataan. Salah satu upaya guru untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa yaitu dengan menyusun dan mengembangkan strategi dan metode mengajar yang tepat dan sesuai dengan konsep yang akan diajarkan. Dalam hal ini, guru memiliki peranan penting untuk menentukan keberhasilan metode peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa. Pada pengembangan keterampilan berpikir kritis dapat pendidik lakukan melalui pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Model pendekatan ini dapat dirumuskan dalam beberapa variabel berikut: (a) Tujuan; (b) Kata Kunci Permasalahan; (c) Menyikapi Masalah; (d) Sudut Pandang; (e) Informasi; (f) Konsep (g) Asumsi; (h) Alternatif pemecahan masalah; (i) Interpretasi; (j) Implikasi.

You might also like