You are on page 1of 8

Prinsip-prinsip terapi obat antiepilepsi : 1.

Menentukan diagnosis yang tepat Penderita epilepsi akan meminum obat dalam jangka waktu yang lama yang berakibat pada kemungkinan adanya efek yang merugikan akibat obat antiepilepsi. 2. Menentukan kapan dimulainya terapi dengan obat antiepilepsi Salah satu kesulitan yang dihadapi seorang dokter dalam merawat pasien dengan serangan epilepsi adalah memutuskan kapan memulai pengobatan. Keputusan ini seharusnya dibuat setelah mendiskusikan dan mengevaluasi keadaan pasien, menimbang manfaat dan kerugian pengobatan. Setelah kejang pertama Langkah pertama untuk memulai pengobatan adalah menilai risiko terjadinya bangkitan selanjutnya. Jika bangkitan merupakan bangkitan non epileptik, pengobatan harus ditujukan pada faktor penyebab yang mendasari. Jika bangkitan hipoglikemik pada anak maka diterapi dengan glukosa, bangkitan karena putusnya alcohol dapat dikontrol paling baik dengan perubahan perilaku adiktif dan jika bangkitan karena masalah psikogenik dapat diatasi dengan konseling yang tepat. Terapi bangkitan epilepsi ditentukan oleh penilaian dua hal, risiko pengobatan dan manfaat pengobatan. Sebagai contoh, anak penderita epilepsi benigna dengan spikes di sentrotemporal mungkin tidak membutuhkan terapi dengan obat karena penelitian-penelitian menunjukkan bahwa setelah mengalami hanya sedikit serangan nokturnal, mereka jarang mengalami kondisi ini. Jika terdapat lesi struktural, biasanya bangkitan akan berulang (termasuk tumor otak, displasia kortikal dan malformasi arteriovenosa). Namun demikian, pada banyak kasus, penggalian faktor penyebab spesifik seringkali gagal. Keputusan untuk mulai memberikan pengobatan setelah kejang pertama, menurut Leppik (2001) dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan risiko terjadinya kejang selanjutnya, yaitu treat, possibly treat dan probably treat. A. Treat : 1. Jika didapatkan lesi struktural : a. Tumor otak seperti meningioma, glioma, neoplastik b. Malformasi arteiovenosa c. Infeksi seperti abses dan ensefalitis herpetika 2. Tanpa lesi struktural, namun dengan : a. Riwayat epilepsi pada saudara (bukan pada orang tua) b. EEG dengan pola epilepsi yang jelas (epileptiform) c. Riwayat kejang akut (kejang akibat penyakit tertentu atau kejang demam pada masa kanak-kanak) d. Riwayat trauma otak atau stroke, infeksi SSP, trauma kepala berat e. Todds postical paresis f. Status epileptikus B. Possibly : Bangkitan tanpa ada penyebab yang jelas dan tidak ditemukan faktor risiko di atas. Untuk keadaan seperti ini diperlukan pertimbangan yang matang mengenai keuntungan dan risiko dari pengobatan obat antiepilepsi. Risiko pengobatan obat antiepilepsi umumnya rendah, sedangkan akibat dari bangkitan kedua tergantung gaya hidup pasien.pengobatan mungkin diindikasikan untuk pasien yang akan mengendarai kendaraan atau pasien yang mempunyai risiko besar atau trauma jika mengalami bangkitan kedua. C. Probably not (meskipun terapi jangka pendek mungkin bisa digunakan) : a. Putusnya alkohol

b. Penyalahgunaan obat c. Kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik d. Kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala) e. Sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes sentrotemporal. f. Kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian

Setelah kejang lebih dua kali atau lebih Pada umumnya pasien yang mengalami serangan dua kali atau lebih membutuhkan pengobatan. Kecuali pada serangan-serangan tertentu seperti kejang akibat putusnya alcohol, penyalahgunaan obat, kejang akibat penyakit akut seperti demam tinggi, dehidrasi, hipoglikemik, kejang karena trauma(kejang tunggal dengan segera setelah pukulan di kepala), sindrom epilepsi benigna spesifik seperti : kejang demam atau epilepsi benigna dengan spikes sentrotemporal, kejang karena tidak tidur lama seperti kejang pada pelajar dalam waktu-waktu ujian dan kejang akibat penyebab non epileptik lainnya. Kejang akibat hal-hal di atas sebaiknya ditangani sesuai kausanya. Pada pasien yang mengalami kejang pertama namun tidak ada faktor risiko satupun yang ditemukan, maka kemungkinan terjadinya kejang yang kedua 10% pada tahun pertama dan 24% pada akhir tahun kedua setelah kejang yang pertama. Keputusan untuk memulai terapi diambil dengan pertimbangan risk and benefit setelah sebelumnya dokter berdiskusi dengan pasien. Sebagai contoh terapi diindikasikan untuk pasien yang bekerja sebagai sopir karena jika terjadi kekambuhan sewaktu-waktu maka akan membahayakan pasien bahkan mengancam nyawa pasien. Pengobatan yang dilakukan pada penderita yang mempunyai sedikit bahkan tidak mempunyai risiko terjadinya kejang kedua biasanya hanya terapi jangka pendek. Risiko terjadinya kekambuhan yang paling besar terjadi pada dua tahun pertama. Seandainya pasien diputuskan untuk diobati, maka penghentian pengobatan dilakukan setelah tahun kedua dari kejang yang pertama. 3. Memilih obat yang paling sesuai Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien 1. Tipe serangan Tabel 2 modifikasi brodie et al (2005) dan panayiotopoulos (2005) Tipe serangan Parsial simple & kompleks dengan atau tanpa general sekunder First-line Karbamazepine Fenitoin Fenobarbital Okskarbazepin Lamotrigin Topiramat Gabapentin Asam valproat Karbamazepine Fenitoin Fenobarbital Asam valproat Second-line/ add on Asam valproat Levetiracetam Zonisamid Pregabalin Third line/ add on Tiagabin Vigabatrin Felbamat Pirimidon

Tonik klonik

Lamotrigin Okskarbazepin

Topiramat Levetiracetam Zonisamid Pirimidon Lamotrigin Clobazam

Mioklonik

Topiramat Levetiracetam

Zonisamid Absence (tipikal dan atipikal) Atonik Asam valproat Lamotrigin Asam valproat Etosuksimid

Clonazepam Fenobarbital Levetiracetam Zonisamid Felbamat

Lamotrigin Topiramat Clonazepam Clobazam

Tonik

Asam valproat Fenitoin Fenobarbital

Epilepsy juvenil Epilepsy juvenil

absence

Asam valproat Etosuksimid Asam valproat Fenobarbital

Clonazepam

mioklonik

Clonazepam Etosuksimid

2. karakteristik pasien Dalam pengobatan dengan obat antiepilepsi karakteristik pasien harus dipertimbangkan secara individu. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat, harga, pola hidup dan usia pasien. Suatu obat antiepilepsi mungkin efektif pada pasien tertentu namun jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang tidak bisa ditoleransi maka sebaiknya penggantian obat dilakukan. Sebagai contoh asam valproat pada wanita, khususnya wanita yang masih dalam usia subur. 4. Optimalisasi terapi dengan dosis individu Table 3 dosis obat antiepilepsi untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005) Obat Dosis (mg/hari) awal Dosis yang paling umum (mg/hari) Dosis maintenance (mg/hari) Fenitoin Karbamazepin Okskarbazepin Lamotrigin Zonisamid Ethosuximid Felbamat Topiramat 200 200 150-600 12,5-25 100 500 1200 25-50 300 600 900-1800 200-400 400 1000 2400 200-400 100-700 400-2000 900-2700 100-800 400-600 500-2000 1800-4800 100-100 Frekuensi pemberian (kali/hari) 1-2 2-4 2-3 1-2 1-2 1-2 3 2

Clobazam Clonazepam Fenobarbital Pirimidon Tiagabin Vigabatrin Gabapentin Pregabalin Valproat Levetiracetam 5. Penggantian Obat

10 1 60 125 4-10 500-1000 300-400 150 500 1000

20 4 120 500 40 3000 2400 300 1000 2000-3000

10-40 2-8 60-240 250-1500 20-60 2000-4000 1200-4800 150-600 500-3000 1000-4000

1-2 1-2 1-2 1-2 2-4 1-2 3 2-3 2-3 2

Penggantian obat antiepilepsi pertama dilakukan jika : 1. Jika serangan terjadi kembali meskipun obat antiepilepsi pertama sudah diberikan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi, maka obat antiepilepsi kedua harus segera dipilih. 2. Jika terjadi reaksi obat pertama baik efek samping, reaksi alergi ataupun efek merugikan lainnya yang tidak dapat ditoleransi pasien. Terapi dengan obat yang kedua harus dimulai dengan gambaran sebagai berikut: pertama, dosis dari obat kedua harus dititrasi sampai pada range dosis yang direkomendasikan. Obat yang pertama harus diturunkan secara bertahap selama 1-3 minggu. Setelah obat yang pertama diturunkan, dosis obat kedua (monoterapi) harus dinaikkan sampai serangan terkontrol atau dengan efek samping yang minimal. Proses ini harus dilanjutkan sampai monoterapi dengan dua atau tiga obat primer gagal. Setelah proses tersebut dilakukan baru politerapi dipertimbangkan. Antiepilepsi Penggolongan obat antiepilepsi (1) Hidantoin Fenitoin Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf (11). Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat + dalam darah (12). Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na ) (13) yang mengakibatkan influk + (pemasukan) ion Na kedalam membran sel berkurang (11). dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terusmenerus pada neuron (4). Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam (10). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia (14).

(2) Barbiturat Fenobarbital Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik (11). Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama (15). Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (16) (aktivasi reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABA A (7) dan meningkatkan konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition (16). Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari (14). Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan Stevens-Johnson syndrome (10). (3) Deoksibarbiturat Primidon Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik (4). Primidon mempunyai efek penurunan pada neuron eksitatori (11). Efek anti kejang primidon hampir sama dengan fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA) (4). PEMA dapat meningkatkan aktifitas fenobarbotal (11). Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari (7). Efek samping yang sering terjadi antara lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan dikulit, dan impotensi (11). (4) Iminostilben (a) Karbamazepin Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik (4). Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada + + terapi kejang parsial dan tonik-klonik (11). Karbamazepin menghambat kanal Na (7), yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na kedalam membran sel berkurang (11) dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron (4). Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari (8). Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing, lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia (10). (b) Okskarbazepin Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug yang didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal (4). Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial (10). Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja karbamazepin (4). Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari (11). Efek samping penggunaan okskarbazepin adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin (10). Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450 (4). (5) Suksimid Etosuksimid Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens (11). Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid 2+ 2+ menghambat pada kanal Ca tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca tipe T pada kejang absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens (4). Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa 500 mg/hari (11). Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek

samping penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan (10). (6) Asam valproat Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik (11). Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium (10). Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik. Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati (10). Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan penggunaan obat terkait efek samping tersebut (12). (7) Benzodiazepin Benzodiazepin digunakan dalam terapi kejang (11). Benzodiazepin merupakan agonis GABA A, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABAA (7). Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 611 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari (7). Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi, dan mual (11). (8) Obat antiepilepsi lain (a) Gabapentin Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun kegunaan utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati (12). Uji double-blind dengan kontrol plasebo pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari) (15). Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran 2+ 2+ 2+ korteks saluran Ca tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus Ca pada saluran Ca tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan potensial aksi berulang terus-menerus (4). Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300 mg 3 kali sehari (11). Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan (10). (b) Lamotrigin Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum (10). Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah 2+ blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari (11). Penggunaan lamotrigin umumnya dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin (10). (c) Levetirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-pyrrolidine acetamide) (31). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik (10). Mekanisme levetirasetam dalam 2+ mengobati epilepsi belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat menghambat kanal Ca tipe N (11) dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari (7). Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam (10). (d) Topiramat Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Topiramat + mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na ), meningkatkan aktivitas GABAA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat anhidrase yang lemah (11). Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari (7). Efek samping utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal). Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan penurunan berat badan (10). (e) Tiagabin Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak 16 tahun. Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA (11), antagonis neuron atau menghambat reuptake GABA (7). Dosis tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari (11). Efek samping yang sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi (17). Penggunaan tiagabin bersamaan dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP (10). (f) Felbamat Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan bila terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia aplastik (11). Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA (4). Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari (11). Efek samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat penyakit cytopenia (10). (g) Zonisamid Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid (4) yang digunakan sebagai terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 2+ tahun dan dewasa (11). Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan menghambat kanal kalsium (Ca ) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari (7). Efek samping yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi. Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu ginjal (10). Tabel II. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik (10) Tipe seizure Seizure parsial Terapi pertama pilihan Obat alternatif Gabapentin Topiramat Levetiracetam Zonisamid Tiagabin Primidon Fenobarbital Felbamat Lamotrigin

Karbamazepin Fenitoin Lamotrigin Asam valproat okskarbanzepin

kejang

absens

Asam valproat

umum Mioklonik

Etosuksimid Asam valproat Klonazepam

Levetiracetam Lamotrigin, topiramat, felbamat, zonisamid, levetiracetam Lamotrigin, topiramat, primidon, fenobarbital, okskarbanzepin, Levetiracetam

Tonik-klonik

Fenitoin Karbamazepin Asam valproat

You might also like