Professional Documents
Culture Documents
digariskan Departemen Luar Negeri. Dengan demikian, bisa disimpulkan, pemerintahan ini tak membawa
perubahan.
Kesan ini mencuat tatkala kita berbicara tentang negara mana yang menjadi prirotas diplomasi: apakah
AS karena keadidayaannya? Apakah Jepang karena nilai investasinya paling tinggi? Atau apakah
ASEAN karena Indonesia salah satu pemainnya?
Pengurutan skala prioritas sangat perlu karena Indonesia menghadapi banyak urusan internasional yang
begitu kompleks, terutama di era sekarang ini, seperti ekonomi, bantuan luar negeri, dan perjanjian-
perjanjian bilateral. Seperti dikatakan tadi, semua isu selalu dikaitkan dengan HAM.
Kita ambil Aceh dengan GAM-nya, Papua dan Maluku, sebagai contoh kasus. Gejolak ini sekilas dilihat
sebagai persoalan dalam negeri. Tapi sejumlah negara yang terikat dalam perjanjian kerja sama dengan
Indonesia, melihat gejolak tadi sebagai persoalan mereka. Oleh karenanya, mereka sering ikut campur
tangan atau meminta Indonesia agar mereka terlibat.
Dalam menghadapi krisis investasi asing dan capital flight yang dilakukan pengusaha kaya Indonesia,
yang repot bukan semata menteri ekonomi atau penanaman modal asing, tetapi menteri luar negeri. Jadi,
alangkah tepatnya ketika Menlu Hassan Wirajuda mencanangkan diplomasi Indonesia sebagai a total
diplomacy.
Perubahan dalam strategi diplomasi pernah dilakukan negara-negara kaya dan berkuasa seperti AS dan
Jepang. Sebelum Perang Dingin berakhir, AS tidak canggung menempatkan bekas Wakil Presiden Walter
Mondale menjadi duta besar AS di Jepang. Penempatan seseorang yang sebelumnya berposisi lebih
tinggi ke posisi yang lebih rendah mencerminkan nilai strategis dari jabatan yang diembannya. Itulah
sinyal diplomatik tentang pentingnya Jepang di mata AS dengan mengirim mantan orang keduanya ke
sana.
Ketika Asia mengalami demam industrialisasi olahraga dalam 10 tahun terakhir, Jepang dan Korea
Selatan memindahkan medan diplomasi mereka ke olahraga, terutama sepak bola. Rujuk politik pun lebih
mudah dilakukan karena kedua negara memiliki minat yang sama dalam sepak bola. Ujung-ujungnya,
mereka menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2002.
Indonesia baru melaksanakan Pemilu Demokrasi yang ketiga kalinya Pertama tahun 1955,
Kedua Tahun 1999 dan yang Ketiga/terakhir tahun 2004. Selama selang waktu kurang lebih 44
tahun Indonesia mengalami kekosongan proses demokratisasi, karenanya wajarlah kalau Partai
Baru sebagai pelengkap proses demoratisasi belum menyiapkan Kaderisasi Partai melalui proses
rekrumen kader dari kader-kader yang baik dari Putra/i terbaik Indonesia yang akan
mendarmabaktikan pemikirannya untuk kemaslahatan Bangsa Indonesia.
Penulis sebagai pengamat awam yang membaca referensi dari berbagai media On Line Indonesia
rasanya tidak adil apabila Keberhasilan Kinerja Pemerintah hanya ditumpahkan pada Kinerja
Lembaga Kepresidenan, sedangkan Lembaga DPR yang didalamnya terdapat anggota dari
berbagai Partai Politik lepas dari pantauan Lembaga Survei Indonesia.
Keberhasilan pemerintahan Indonesia yang saat ini di Pimpin Oleh Presiden SBY + JK tidak
lepas dari Kinerja yang mulia Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang mendukung
SBY sebagai Kandidad yang dipilih Rakyat Indonesia secara langsung pada Pemilu 2004.
Betapa beratnya seorang SBY yang berangkat dari dukungan Partai kecil (”Partai Demokrat”)
yang baru bertisipasi dalam Pemilu 2004, menghadapi kekutan Besar Partai Golkar, PDI-P dan
PPP yang mereka telah dibesarkan pada Pemerintahan Orde Baru.
Kondisi inilah yang menurut hemat penulis membuat SBY penuh kehati-hatian yang diexploitir
media sebagai seorang peragu oleh lawan-lawan politik dan kelompok kepentingan seperti:
mantan-mantan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya. Dari itu dukungan Pemerintahan SBY
yang menurut Lembaga Survei Indonesia menurun pada akhir bulan Ramadhan ini patut kita
Sukuri, bahwa Beliau sosok Pemimpin yang tepat saat ini, beliau berakhlak mulia, jadi bukan
hanya berani tapi merugikan kepentingan Rakyat banyak.
Sudahkan Lembaga Survei Indonesia melakukan survei kwalitas Partai, Anggota DPR akan
keperduliannya kepada Rakyat Indonesia dengan membuat Program-Program Pemerintah untuk
memberdayakan Kesejahteraan Rakyat, hal ini merupaikan kata kunci sukes dari Pemerintaan
Indonesia saat ini dan yang akan datang.
Pemilu hanyalah merupakan alat untuk memilih Presiden dan Wakil Rakyat di DPR untuk
mencapai legitimasi Rakyat Indonesia, setelah Pemilu selesai tentunya semua Rakyat Indonesia
yang didalamnya termasuk yang mulia Anggota Dewan hendaknya mendukung Presiden yang
dipilih langsung oleh Rakyatnya.
Jadi tidaklah adil kalau kegagalan Pemerintahan hasil Pemilu 2004 dilimpahkan kepada SBY
dengan mempublikasikan hasil survei Lembaga Survei Indonesia dalam media Indonesia.
Di era Megawati, Indonesia menjual gas Tangguh ke Fujian, China dengan harga hanya US$ 2,4 per mmbtu (million
metric british thermal unit). "Padahal harga pasar saat itu mencapai US$ 16 per mmbtu,