Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
YANCE ARIZONA
02 140 037
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Demi masa
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan kerugian
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasihat-menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasuhat-menasehati supaya menetapi kesabaran
(Al-Ashr, Surat ke-103)
“Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya,.. dan hukum itu tidak ada untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu,... untuk harga diri
manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.”
(Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif)
“Barang siapa yang mengatakan bahwa teks undang-undang sudah sangat jelas,
sehingga tidak membutuhkan interpretasi lagi, sebenarnya yang menyatakan demikian,
sudah melakukan interpretasi sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah
merupakan hasil interpretasinya terhadap teks tersebut”
(Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum)
“The Propheesies of what the court will do... are what I mean by the law"
Apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya
artikan sebagai hukum.
(Oliver Wendel Holmes, Mantan Hakim Agung Amerika Serikat, disebut-
sebut sebagai pelopor aliran realisme hukum)
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
LEMBARAN PENGESAHAN
No. Reg: 223/PK-VI/03/07
Disusun Oleh:
YANCE ARIZONA
02 140 037
Pembimbing I Pembimbing II
Penguji I Penguji II
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
ABSTRAK
(Yance Arizona, 02140037, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Hal 141, 2007)
Salah satu ciri pokok Undang Undang Dasar 1945, disamping sebagai konstitusi
politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic
constitution), bahkan konstitusi sosial (social constitution). Hal ini dikarenakan Undang
Undang Dasar 1945 mengatur tentang pokok-pokok sistem perekonomian negara yang
bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Dalam pengembangan hukum tentang perekonomian tersebut lahirlah berbagai
undang-undang yang mengatur tentang bagaimana penyelenggaraan ekonomi, di mana
peranan negara, masyarakat dan pihak swasta? Diantaranya adalah Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Undang-undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air. Kemudian kedua undang-undang itu telah diajukan
permohonan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi, sebagaimana didalilkan oleh
pemohon, dalam kedua undang-undang tersebut terdapat muatan swastanisasi,
komersialisasi dan privatisasi cabang produksi penting dan kekayaan alam yang
seharusnya berada dibawah penguasaan negara (Pasal 33 UUD 1945). Tetapi, dalam
diktum putusannya, Mahkamah Konstitusi memutus kedua perkara tersebut berbeda
secara diametral, di mana pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan dikabulkan permohonannya, sedangkan pengujian Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2004 ditolak permohonannya.
Timbulnya perbedaan diktum putusan ini membuat hal tersebut menarik dikaji
secara hukum. Mungkinkah Mahkamah Konstitusi berbeda menafsirkan “penguasaan
negara” dalam kedua putusan tersebut? Untuk itulah penelitian ini dilakukan. Dengan
metode pendekatan sistem (systematical approach) dan didukung dengan pendekatan
kasus (case approach) penulis melihat Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Undang-undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan kedua putusan Mahkamah Konstitusi dalam
menguji undang-undang tersebut sebagai sebuah sistem yang harmonis.
Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa terdapat perbedaan metode tafsir yang
digunakan oleh Mahkmah Konstitusi dalam memutus kedua pengujian undang-undang
tersebut. Disamping itu, klausula Conditionally Constitutional yang diperkenalkan
Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air merupakan klausula yang bertentangan dengan sifat putusan
Mahkamah Konstitusi yang dijelaskan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar
1945 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
bila dilihat dengan pendekatan hukum sebagai sebuah sistem norma.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
KATA PENGANTAR
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
dan Pegawai Mahkamah Konstitusi (Mas Dian) yang telah banyak membantu dan
memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini
Rasa hormat penulis kepada “Guru Tata Negara Penulis yang Pertama,” Bapak
Muhammad A.R yang telah memberi bekal ilmu yang cukup banyak. Kemudian kepada
tokoh-tokoh yang telah banyak memberikan inspirasi bagi penulis lewat buku-buku:
Satjipto Rahardjo (hukum), Tan Malaka dan Fritjof Capra (filsafat) yang telah
memisahkan dan mengembalikanku kepada “Tuhan,” Gunawan Mohamad (budaya),
Jalaludin Rakhmat (komunikasi), Eric Fromm (psikologi), dan Sang Proklamator,
Soekarno (Politik). Buku-buku mereka adalah suatu wilayah pergulatan untuk “Menjadi”
dan merupakan referensi untuk tugas hidup penulis pada masa depan: Membuat Sejarah-
sejarah Kebajikan.
Kepada kawan-kawan semuanya yang pernah berinteraksi dengan penulis, penulis
mengucapkan terimakasih atas semua bantuan, dorongan atau segala perlakuan yang
telah dijalin dengan penulis. Seperti kawan-kawan di LAM&PK, Front Mahasiswa
Nasional (FMN) Padang 2002, FORMASI, IMK-UNAND, HMK SUMBAR, BEM FHUA
Periode 2006-2007, PMTN, KAM Pembaharuan, BAKo SUMBAR, LBH Padang, Uni An
(PBHI), Q-BAR, Walhi, Warsi, ISMAHI Wilayah III SUMBAGTENG, Rekan-rekan
Perbanas, para “Primus” (Pria Mushala) Al-Jadid Gerbang Kampus, seluruh kawan-
kawan HIMA dan LO Fakultas Hukum Universitas Andalas dan kawan-kawan lainnya
yang tidak penulis sebutkan secara eksplisit di sini.
Sebagai sebuah karya ilmiah, penulis mengakui dan menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis menerima segala bentuk kritik dan
saran dari berbagai pihak untuk kesempurnaan skripsi ini dimasa yang akan datang.
Skripsi ini hanyalah setangkai tunas di tengah belantara ilmu hukum, dan ilmu hukum
pun hanyalah bagian terkecil dari galaksi ilmu pengetahuan yang tak terhingga. Semoga
skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua
Penulis
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
DAFTAR ISI
Abstrak..........................................................................................................
Kata Pengantar ..............................................................................................
Daftar Isi .......................................................................................................
Daftar Tabel ..................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian............................................................................. 12
E. Tinjauan Pustaka................................................................................ 13
F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 23
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI.............. 28
A. Sejarah Lahirnya Mahkamah Konstitusi............................................... 28
1. Dunia ............................................................................................. 28
2. Indonesia ....................................................................................... 30
B. Fungsi dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Inodonesia .. 32
C. Hukum Acara dan Putusan Mahkamah Konstitusi............................... 36
1. Hukum Acara ................................................................................. 36
2. Putusan Mahkamah Konstitusi........................................................ 43
BAB III. PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA............................... 54
A. Pengertian dan Landasan Penafsiran Hukum ...................................... 54
1. Pengertian ...................................................................................... 54
2. Landasan penafsiran hukum ........................................................... 54
B. Penafsiran Hukum pada umumnya..................................................... 60
1. Penafsiran Hukum menurut Utrecht ............................................. 60
2. Penafsiran lainya .......................................................................... 66
C. Prinsip-prinsip Penafsiran Konstitusi menurut Jon Roland ................... 68
BAB IV. PEMBAHASAN .................................................................................
A. Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan ................................................................... 76
1. Pemohon dan Jenis Permohonan ................................................. 76
2. Bagian yang dimohonkan............................................................. 77
3. Dalil-dalil permohonan (isu hukum) dan petitum ......................... 79
4. Penafsiran Mahkamah Konstitusi .................................................. 82
B. Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air ................................................................... 88
1. Pemohon dan Jenis Permohonan................................................. 88
2. Bagian yang dimohonkan ............................................................ 91
3. Dalil-dalil permohonan (isu hukum) dan petitum ......................... 95
4. Penafsiran Mahkamah Konstitusi.................................................. 99
5. Dissenting Opinion ...................................................................... 110
C. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ......... 120
1. Penafsiran terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945.............. 121
2. Penafsiran terhadap Uindang-undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan ............................................................... 124
3. Penafsiran Terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air ............................................................... 125
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Daftar Tabel
Tabel 10. Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian yang dimohonkan
dalam PUU Sumber Daya Air ...............................................................91
Tabel 11. Metode penafsiran konstitusi dalam putusan PUU Sumber Daya Air.99
Tabel 12. Penafsiran Hakim Konstitusi yang dissenting opinion dalam PUU
Sumber Daya Air..................................................................................110
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia, dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah negara berdaulat yang
lepas dari penjajahan asing, pada tahun 1945, para tokoh nasional mempersiapkan suatu
naskah konstitusi yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya ditulis Undang Undang Dasar 1945 – Pen).
Undang-Undang Dasar 1945 disamping mengatur tata kenegaraan juga mengatur tata
kehidupan sosial, ekonomi dan kebudayaan seperti termuat dalam Pasal 31, Pasal 32,
Pasal 33, dan Pasal 34. Hal ini yang membedakan konstitusi Republik Indonesia dengan
tradisi penulisan konstitusi di negara-negara Eropa Barat dan Amerika yang lazimnya
memuat materi-materi konstitusi yang hanya bersifat politik. Tradisi yang dianut
Indonesia, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur, nampak dipengaruhi oleh
corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara-negara sosialis seperti negara-
negara di Eropa Timur. 1
Adanya perbedaan dalam susunan materi konstitusi yang digunakan oleh negara-
negara di dunia menjadikan bentuk konstitusi dapat dibedakan dalam dua kelompok.
Kelompok pertama disebut konstitusi politik (political constitution) seperti dalam
konstitusi negara Perancis, Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Belgia, Austia, Swiss,
Siprus, Yunani, Denmark, Finlandia, Islandia, Irlandia, Luxemburg, Monaco, dan
Liechtenstein. Sedangkan kelompok kedua terlihat dalam konstitusi negara Rusia,
Bulgaria, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah, Hongaria, dan Indonesia
yang dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution) dan bahkan
konstitusi sosial (social constitution). 2
Corak Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi ekonomi terlihat pada materi
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam perkembangannya, setelah amandemen Undang Undang Dasar 1945
keempat pada tanggal 10 Agustus 2002, Pasal ini ditambah dengan memasukkan 2
(dua) ayat baru, yaitu:
(4) perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
(5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang
Penambahan dua ayat dalam pasal ini merupakan upaya untuk mengakomodasi
ketentuan dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang telah dihapus, yaitu mengenai demokrasi ekonomi. Bila dilihat kembali
materi yang diatur dalam Penjelasan Pasal 33 disebutkan bahwa:
1 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005 (selanjutnya
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Dari pasal ini jelas sekali peranan negara dalam mengatur perekonomian besar
sekali. 4 Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorang.
Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan
sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33. 5
Jiwa Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk
kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan
anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan
kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi
yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya dan dilakukannya,
sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan penjabaran Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.
Tetapi, permasalahan yang sering kali muncul menyangkut Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945, yang perlu mendapat perhatian, ialah tentang aturan pelaksanaannya yang
lahir dalam bentuk undang-undang, yaitu tentang bagaimana peranan negara dalam
penguasaan sumber daya alam (ekonomi) yang ada. Hak negara dalam menguasai
sumber daya alam dijabarkan lebih jauh dalam beberapa undang-undang yang mengatur
sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan
menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta
mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam:
1. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria;
2. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan;
3. UU Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan kontinen;
4. UU Nomro 13 Tahun 1980 tentang Jalan;
5. UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
6. UU Nomor 20 Tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan;
7. UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat
8. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kehutanan;
9. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
10. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
11. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
12. UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
3 Arimbi HP dan Emmy Hafild, Makalah: Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 45, Wahana Lingkungan Hidup
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
6 Dasar dari teori ekonomi pasar adalah persaingan bebas yang menggerakkan mekanisme pasar. Dalam hal ini
penawaran dan permintaan bebas yang melatarbelakangi motif keuntungan pada pihak produsen, pedagang maupun
konsumen, menentukan harga-harga yang disebut harga tawaran bebas – dan selanjutnya menentukan apa dan berapa
banyak jenis dan jumlah barang yang akan diproduksi. Lihat Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan
UUD’45, Angkasa, Bandung, 1990, hal 35
7 Sepanjang kenyataan sejarah, sistem liberal-kapitalistis atau free enterprise atau lasses faire ini mampu
mengembangkan perekonomian industri yang hebat, tetapi juga disertai ketidak-adilan sosial yang parah. Lihat Tom
Gunadi, Ibid
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Untuk itu penulis, dalam hal ini akan melakukan penelitian dengan judul
PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PASAL 33 UNDANG-
UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
(Perbandingan Putusan Dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan dengan Putusan Perkara Nomor 058- 059-060-063/PUU-
II/2004 dan 008/PUU-III/2005 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
B. Perumusan Masalah
Untuk lebih terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah penulis kemukakan
di atas, penulis memberikan batasan masalah atau identifikasi masalah agar tidak jauh
menyimpang dari apa yang menjadi pokok bahasan. Mengacu kepada latar belakang
yang diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang Undang
Dasar 1945 dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 tentang
Ketenagalistrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air.
2. Metode Penafsiran apa yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 tentang Ketenagalistrikan dan
dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air.
3. Termasuk metode penafsiran apa klausula Conditionaly Constitutional dalam
Putusan Pengujian Undang-undang Nomor Registrasi Perkara 058-059-060-
063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian Undang-undang
Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan apa pengaruhnya terhadap
sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final dalam menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan, menerangkan, dan menjawab
permasalahan yaitu:
1. Untuk mengetahui, bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal
33 Undang Undang Dasar 1945 dalam Putusan Pengujian Undang-undang
Nomor 20 tentang Ketenagalistrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang-
undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
2. Untuk mengetahui, metode penafsiran apa yang digunakan oleh Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 tentang
Ketenagalistrikan dan dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air.
3. Untuk mengetahui, termasuk metode penafsiran apa, klausula Conditionally
Constitutional dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor Registrasi
Perkara 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai
Pengujian Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan
bagaimana pengaruhnya terhadap sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para
pihak, antara lain:
1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis
dan mengembangkan cakrawala berpikir penulis, khususnya menyangkut
Penafsiran Hukum atau Penafsiran Konstitusi.
2. Bagi masyarakat dan khalayak umum, penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan kesadaran untuk berpartisipasi dalam memantau pelaksanaan dari
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang tersebut.
3. Bagi Mahkamah Konstitusi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan dalam memutus perkara pengujian undang-undang terhadap Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di masa yang
akan datang.
4. Bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, penelitian
ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam membuat peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 di masa yang akan datang, agar dapat
membawa dampak yang positif bagi kemajuan kehidupan ketatanegaraan
Indonesia sehingga dapat tercipta kehidupan yang adil dan demokratis.
5. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya Hukum Tata Negara, hasil penelitian ini bisa
dijadikan sebagai penambah literatur dalam memperluas pengetahuan hukum
masyarakat serta memberikan sumbangan pemikiran bagi Hukum Tata Negara,
khususnya dalam kajian mengenai penafsiran hukum dan pengujian undang-
undang pada Mahkamah Konstitusi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Konstitusi
Istilah “konstitusi” 8 dalam arti pembentukan, berasal dari bahasa Perancis constituer,
yang berarti membentuk. 9 M. Solly Lubis, S.H, mengemukakan Istilah “konstitusi”
berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang berarti membentuk. Dengan pemakaian
istilah konstitusi, yang dimaksud ialah pembentukan suatu negara, atau menyusun dan
menyatakan suatu negara. 10
Prof. Herman Heller membagi pengertian konstitusi itu ke dalam tiga pengertian
yakni sebagai berikut: 11
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai
suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschaftliche Wirklichkeit) dan
belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein rechtsverfassung) atau
dengan perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau
politis dan belum merupakan hukum.
2. Baru setelah orang-orang mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup
dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka
konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die Verselbstandgle Rechtsverfassung).
Tugas untuk mencari unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut
dengan istilah abstraksi.
8 Istilah “konstitusi” dalam bahasa Indonesia antara lain berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Latin),
“constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constitutionnel” (bahasa Perancis), “verfassung” (bahasa
Jerman), “masyrutiyah” (bahasa Arab), lihat Astim Riyanto, Teori Konstitusi, YAPEMDO, Bandung, 2000, hal. 17.
9 Ibid.
10 Ibid.
11 Ibid, hal. 20.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
12 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita
VI. Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 288. Seperti dikutip oleh Maria Farida Indrawati Soeprapto,
Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hal. 28.
14 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, op.cit., hal. 11.
15 Ibid, hal. 12.
16 Ibid.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
2. Pengujian Konstitusional
Kehidupan hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil
law system). Hal ini masih dapat dibuktikan sampai hari ini dengan masih digunakannya
beberapa undang-undang yang menjadi “tulang punggung” hukum Indonesia modern,
misalkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan pengadopsian
dari Wet Boek Van Straftrechts di negeri Belanda tempo dulu. Begitu juga dengan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijke Wetboek)
Dalam sistem hukum civil law hukum dipandang hanya ada dalam peraturan
perundang-undangan formil, 21 peraturan perundang-undangan formil itu ada dalam
undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Bahkan undang-undang yang dibuat oleh
legislatif itu tidak dapat diganggu gugat karena ia merupakan hasil dari demokrasi
17 K.C Wheare, Konstitusi-konstitusi Modern, Cet II, Judul asli Modern Constitution, diterjemahkan oleh Muhammad
diterbitkan kerjasama antara Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusamedia, Bandung, 2004, hal. 16., yang merupakan
terjemahan dari Modern Political Constitutions: An Introduction to the Comparative Study Of Their History and Existing
Form, The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966.
20 Astim Riyanto, op.cit., hal. 27.
21 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 27.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
melalui pembuatnya, yaitu legislator. Sehingga yang berhak untuk merubahnya hanyalah
legislator itu sendiri. 22
Sebagai konsekuensi dari tidak dapat diganggu gugatnya undang-undang, maka
peran hakim dalam civil law system hanya sebagai cerobong dari undang-undang (la
bouche de la loi), hakim hanya menerapkan isi rumusan hukum tertulis. 23 Namun Dalam
perjalanan sejarah, bila dulu hakim disebut cerobongnya undang-undang, maka dalam
hukum modern ada freiheid, kebebasan hakim. Jadi hakim boleh menerapkan dan boleh
juga tidak menerapkan undang-undang (contra legem). 24 Kemudian juga ada istilah
rechtsverfijning atau pengkonkretan hukum. 25
Kebebasan hakim sebagaimana disebut di atas bahkan sampai kepada kewenangan
untuk melakukan pengujian terhadap peraturan yang dibuat oleh legislatif maupun
eksekutif. Kewenangan hakim melalui Pengadilan atau Mahkamah untuk menguji
peraturan perundang-undangan kemudian disebut judicial review¸ dan pengujian
terhadap konstitusionalitas suatu norma hukum terhadap konstitusi disebut pengujian
konstitusional (Constitutional Review).
Di Indonesia, masalah kebutuhan untuk melakukan pengujian hukum (undang-
undang) sudah cukup lama membara dalam pikiran kaum intelektual kita. Muhammad
Yamin misalnya, dilaporkan ingin memasukkan pengujian hukum tersebut dalam
Undang Undang Dasar. Tetapi, Soepomo menolaknya, dengan alasan, kita masih belum
siap melakukan itu. Kita belum punya ahli untuk pekerjaan itu, kata arsitek Undang
Undang Dasar 1945 itu. 26
Istilah pengujian konstitusional (Constitutional Review) berbeda dengan istilah
judicial review. 27 Pembedaan ini dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan.
Pertama, constitutional review selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh
lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana Undang-
Undang Dasar memberikan kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep
judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal
legalitas peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan
constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu terhadap
Undang-Undang Dasar. 28
Berkenaan dengan hal tersebut, memang dapat dikemukakan pula bahwa pengujian
konstitusionalitas itu merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh siapa saja atau
lembaga mana saja, tergantung kepada siapa atau lembaga mana kewenangan yang
diberikan secara resmi oleh konstitusi suatu negara. Seperti dapat dilakukan oleh
22 Hasil wawancara dengan Mahmud Aziz (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 25 Januari 2006. Hal
yang sama juga disampaikan oleh I Gede Dewa Palguna (Hakim Konstitusi) dalam wawancara yang dilakukan pada
tanggal 30 Januari di Mahkamah Konstitusi.
23 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op.cit, hal. 8.
24 Ibid, hal. 9.
25 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Toko Gunung Agung, Jakarta, 2002. hal. 148.
26 Satjipto Rahardjo, Peninjauan Hukum dan Cacat Undang-undang, dalam Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indonesia,
sebagai “power of courts to review decisions of another department or level of government.” Erick Barent mengemukakan
pengertian judicial review sebagai berikut “judicial review is a feature of a most modern liberal constitutions. It refers to the
power of the courts to control the compatibility of legislation and executive acts of the term of the constitutions.” Dalam
The Encyclopedia Americana, judicial review didefinisikan sebagai berikut: “judicial review is the power of the courts of the
country to determine if the acts of the legislature and executive are constitutional. Acts that the courts declare to be
contrary to the constitution are consideral null and void and therefore unenforceable.” Menurut Jimly Asshiddiqie, judicial
review merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem
pemisahan kekuasaaan negara (separation of power). Lihat Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimiliki Dalam
Sistem Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 5-9.
28 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
29 Ibid.
30 Ibid, hal. 6.
31 Ph. Kleintjes, seperti dikutip oleh Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi. kedua. Cetakan pertama,
Alumni, Bandung, 1997, hlm. 6. Lihat pula Subekti, Kekuasaan Mahkamah Agung RI, Cetakan kedua, Alumni, Bandung,
1992, hlm. 28. Lihat pula Fatmawati, op. cit., hal. 5.
32 Ibid, hal. 6.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
pengukur, maka kegiatan pengujian itu dapat disebut sebagai constitutional review atau
pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum
yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality of law). 33
Namun, apabila norma yang diuji itu menggunakan undang-undang sebagai batu
ujian, misalnya Mahkamah Agung menurut pasal 24A ayat 1 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka pengujian
semacam itu tidak dapat disebut sebagai constitutional review melainkan judicial review
on the legality of regulation. Dengan demikian, harus dibedakan juga antara upaya
pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dengan upaya pengujian legalitas
(legal review). Di samping itu, harus dibedakan pula kualifikasi dari norma hukum yang
diuji. Jika normanya bersifat umum dan abstrak (general and abstract), berarti norma
yang diuji itu adalah produk regeling, dan hal ini termasuk wilayah kerja pengujian
dalam konteks hukum tata negara. Akan tetapi, kalau norma hukum yang diuji itu
bersifat konkrit dan individual, maka judicial review semacam itu termasuk lingkup
peradilan tata usaha negara. 34
Sehingga dalam konteks sistem constitutional review tercakup dua tugas pokok.
Pertama, untuk menjamin berfungsinya sistem dalam demokrasi dalam hubungan
perimbangan peran atau interplay antara cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
lembaga peradilan (judiciary). Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan;
Kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan
oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin oleh
konstitusi. 35
F. Metodologi Penelitian
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan terhadap objek
penulisan atau suatu karya ilmiah guna mendapatkan informasi-informasi, pokok-pokok
pikiran dan pendapat lainnya dari pakar sesuai dengan ruang lingkup yang diteliti.
Dalam hal ini penulis menggunakan suatu metode yang berfungsi sebagai pedoman
dalam pelaksanaan penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian yang dilakukan termasuk tipe penelitian hukum normatif, yang
menekankan pada materi hukum, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan
perundang-undangan, dan didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok
masalah yang dibahas.
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian ini, pendekatan masalah yang akan digunakan adalah
pendekatan Sistem hukum (systematical approach), pendekatan yang menekankan
dengan melihat hukum sebagai sebuah sistem dari Undang-Undang Dasar, Undang-
undang, Putusan Mahkamah Konstitusi, dan peraturan lainnya. Disamping itu,
penelitian ini juga didukung dengan pendekatan kasus (case approach), yaitu
penelitian yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus-kasus tersebut dipelajari untuk
memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
hukum dalam praktik hukum, 36 yaitu penormaan dari kaidah-kaidah yang terdapat
di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945
3. Bahan Hukum 37
Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat bagi
setiap individu atau masyarakat, baik yang berasal dari Putusan Mahkamah
Konstitusi maupun peraturan perundang-undangan, antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
7) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang
8) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002
9) Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor Registrasi Perkara 001-021-
022/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
10) Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor Registrasi Perkara 058- 059-060-
063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami dan
menjelaskan bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, hasil penelitian,
hasil seminar, risalah sidang amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan hasil wawancara dengan hakim
konstitusi (I Dewa Gede Palguna) dan tenaga ahli Mahkamah Konstitusi
(Mahmud Aziz dan Wasis Susetio)
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
informasi, petunjuk, dan penjelasan, terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, misalnya: kamus-kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.
4. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum
Pengolahan dan analisa bahan hukum merupakan proses pencarian dan
perencanaan secara sistematis terhadap semua bahan hukum telah dikumpulkan agar
peneliti memahami apa yang akan ditemukan dan dapat menyajikannya pada orang
lain dengan jelas. Untuk dapat memecahkan dan menguraikan masalah yang akan
diteliti berdasarkan bahan hukum yang diperoleh maka diperlukan adanya teknik
analisa bahan hukum
Analisa bahan hukum dilakukan dengan analisis kualitatif, yaitu dengan cara
menafsirkan gejala yang terjadi, tidak dalam paparan perilaku, tetapi dalam sebuah
kecenderungan. Analisa bahan hukum dilakukan dengan cara mengumpulkan semua
36 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet II, Bayumedia, Malang, 2006, hal. 312.
37 Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah “data,” tetapi istilah “bahan hukum,” karena dalam penelitian
normatif tidak memerlukan data, karena yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap bahan hukum. Disamping itu
kata “data” memiliki makna empiris (ex-post) sehingga tidak diperlukan dalam penelitian hukum normatif (pure legal).
Lihat Johnny Ibrahim, Ibid, hal. 268-269.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
bahan hukum yang diperlukan, yang bukan merupakan angka-angka dan kemudian
menghubungkannya dengan permasalahan yang diteliti.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
38 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 5.
39 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005
(selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie II), hal. 18.
40 Write of mandamus merupakan suatu alas dasar bagi seseorang untuk menjalankan tugas yang sesuai dengan
kewenangan yang diberikan padanya. Pandangan Penulis yang didasarkan pada keterangan-keterangan dalam Jimly
Asshiddiqie II, Ibid, hal. 18-21.
41 Ibid, hal. 19.
42 Maruarar Siahaan, Op.cit., hal. 6.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review
menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah
dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda
dengan membentuk Constitutional Council (Conseil Constitutional). Negara-negara bekas
jajahan Perancis mengikuti pola Perancis ini. 43 Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang
mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan
negara ke 78 yang mengadopsikannya. 44
2. Indonesia
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk
memberdayakan Mahkamah Agung. Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah Agung
Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang
Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh suasana dan
paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik waktu itu.
Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi, bahkan Undang-Undang
Dasar cendrung disakralkan. 45
Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998
yang menghantam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Dilakukannnya
perubahan terhadap Undang Undang Dasar yang merupakan salah satu agenda penting
pada waktu itu. Sehingga pada perubahan ketiga tahun 2001 diadopsilah pembentukan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri di samping Mahkamah
Agung. Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi
selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya
dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus
2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19
Agustus 2003. 46
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan
lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. 47 Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga
negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya,
seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir
terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY).
Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan agar tersedia jalan hukum untuk
mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan
kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut
tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang
baku, transparan, dan akuntabel, melainkan dikelola secara objektif dan rasional
sehingga sengketa hukum tersebut dapat diselesaikan secara hukum pula. Oleh karena itu
Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai Lembaga Negara Pengawal Konstitusi atau
The Guardian and The Interpreter of The Constitution.
43 Ibid.
44 Ibid, hal. 7.
45 Ibid, hal. 8.
46 Ibid, hal. 9.
47 Perubahan ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB IX Kekuasaan Kehakiman.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Lembaga negara lain dan bahkan orang perorang boleh saja menafsirkan arti dan
makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Suatu konstitusi memang tidak selalu
jelas karena rumusannya luas dan kadang-kadang kabur. Akan tetapi, yang menjadi
otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Dan
tafsiran yang mengikat itu hanya diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas
permohonan yang diajukan kepadanya.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut: 51
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang
Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sekretariat Jenderal MKRI, 2004, Hal. iv. Seperti dikutip oleh Maruarar Siahaan, op.cit., hal. 12.
51 Lihat Pasal 24C Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 9 November
2001.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian
sebagai berikut: 52
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannnya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah
syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
55 Lihat Bab V Hukum Acara Pasal 28-85 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
57 Mr. P.A. Stein, Compendium Van Het Burgerlijke Procesrechts, 4e druk, Kluwer, 1977, hal. 158. dalam Maruarar
Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi cetakan pertama, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, (selanjutnya disebut Maruarar Edisi Revisi), 2006, hal. 235.
58 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Edisi IV, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 145.
59 Bambang Sutiyoso I, Op.cit, hal. 117-118.
60 Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 117,
seperti dikutip juga oleh Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-Upaya Membangun
Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan dan
Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 (Selanjutnya disingkat Bambang
Sutiyoso I), hal. 117.
61 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , Liberty, Yogyakarta, hal. 176, seperti dikutip Bambang
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang
menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak
merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. 66 Putusan yang bersifat declaratoir
dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi nampak jelas dalam amar
putusannya. Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: 67
“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan, ayat, pasal,
dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang
Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”
Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian
undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan
yang bersifat constitutief. 68
Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau
menciptakan satu keadaan hukum baru. 69 Menyatakan suatu undang-undang tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar
1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana telah diuraikan di atas, kebanyakan
jenisnya terutama dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir
constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi itu menciptakan atau meniadakan
satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator, 70
yang disebut Hans Kelsen adalah melalui satu pertanyaan. Sifat declaratoir tidak
membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi. 71
Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka untuk
umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu 1) kekuatan mengikat, 2) kekuatan
pembuktian, dan 3) kekuatan eksekutorial. 72 Hal ini dijelaskan sebagai berikut:
1. Kekuatan Mengikat
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi, berbeda dengan putusan
pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes)
yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan
memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang,
lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia
Ia belaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-
undang. Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislatoir yang
putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang. 73
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
2. Kekuatan pembuktian
Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi menentukan bahwa materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali.
Dengan demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menguji satu
undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah
diperoleh satu kekuatan pasti (gezag van gewijsde).
Kekuatan pasti satu putusan secara negatif diartikan bahwa hakim tidak boleh
lagi memutus perkara permohonan yang sebelumnya pernah diputuskan. Dalam
perkara konstitusi putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian
yang menyangkut materi yang sama sudah pernah diputus tidak dapat lagi
diajukan untuk diuji oleh siapa pun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah
berkekuatan tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan
pasti secara positif bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar.
3. Kekuatan eksekutorial
Hakim Mahkamah Konstitusi adalah negative-legislator dan putusannya
berlaku sebagai undang-undang tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus
dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu
dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945. Untuk itu,
putusan Mahkamah Konstitusi perlu dimuat dalam berita negara agar setiap
orang mengetahuinya.
Dalam hal kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap
konstitusionalitas dari suatu undang-undang. Maka karakteristik putusannya yaitu bahwa
selama undang-undang tersebut sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi masih tetap
berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi dikenal lembaga dissenting opinion, yaitu
dalam hal putusan tidak tercapai mufakat bulat, pendapat anggota majelis hakim yang
berbeda dimuat dalam putusan. Penyertaan pendapat hakim konstitusi yang berbeda ini
perlu disertakan agar masyarakat dapat mengetahui alasan masing-masing hakim
konstitusi dan menilai tingkat integritas serta kualitas seorang hakim konstitusi dalam
memutus suatu perkara. Dissenting opinion dikecualikan dalam perkara impeachment
karena perkara tersebut memiliki dimensi-dimensi politis. 74
Pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion), jika hakim yang bersangkutan
menghendaki dapat dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda diharapkan tidak
dilakukan dengan mencela putusan Mahkamah Konstitusi melainkan dengan
menekankan pada titik tolak pandangan atau teori yang dianut dalam memberikan
pendapat yang berbeda tersebut. 75
74 A. Fickar Hadjar, et. al, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN dan
Kemitraan, 2003, Hal. 51, seperti dikutip Bambang Sutiyoso I, Op. cit., hal. 122.
75 Maruarar Edisi Revisi, Op.cit., hal. 244.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
BAB III
PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA
Apa yang dikatakan oleh Achmad Ali senada dengan yang disebutkan oleh A. Pitlo,
bahwa “kata-kata apapun tak pernah jelas. Ia selalu membutuhkan penafsiran.” Hal ini
membantah pandangan lama yang menyebutkan In claris non est interpretation (aturan-
aturan yang jelas tidak membutuhkan penafsiran).
Adanya pandangan In claris non est interpretation atau aturan-aturan yang jelas tidak
membutuhkan penafsiran itu lahir dari sistem hukum eropa kontinental (civil law) yang
mengutamakan keberadaan undang-undang sebagai fondasi utama dalam berhukum.
Dalam doktrin Trias Politica Montesquieu, kekuasaan negara itu dipisah menjadi 3
bagian utama, yaitu legislatif sebagai pembuat undang-undang yang berasal dari
kedaulatan rakyat; eksekutif yang menjalankan undang-undang; dan yudikatif sebagai
lembaga yang menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bernegara dengan
76 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990, hal. 336.
77 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 154.
78 Jimly Asshiddiqie III, Op.cit., hal. 273.
79 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993,
hal. 12.
80 Achmad Ali, Op.cit., hal. 146-147.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
2006 (selanjutnya disingkat Jimly Asshiddiqie III), hal. 273.
84 R.M. Ananda. B. Kusuma, “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita,” Jurnal Konstitusi Volume I Nomor 3,
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan, UII Press,
Yogyakarta, 2006 (selanjutnya disingkat Bambang Sutiyoso II), hal. 70.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
maksud pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat. 87 Menurut
Polak, cara penafsiran ditentukan oleh: a. Materi peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan; b. Tempat perkara diajukan; dan c. Menurut zamannya. 88
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga peneliti hukum dan mereka
yang berhubungan dengan kasus (konflik) dan peraturan-peraturan hukum. Yang
dimaksud penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju
kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhadap
peristiwa konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. 89 Namun penafsiran hukum
oleh hakim mendapatkan posisi yang paling penting dalam hukum karena memiliki
karakteristik yang mengikat.
Landasan yuridis yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk melakukan
penafsiran hukum adalah ketentuan yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh
menolak perkara yang dihadapkan kepadanya dan hakim wajib menggali nilai-nilai yang
hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut tergambar dalam beberapa ketentuan antara
lain:
1. Pasal 22 A.B Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indische, yang disingkat
A.B (ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan perundang-undangan
Indonesia). Pasal 22 A.B mengandung pengertian: “Hakim yang menolak untuk
menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap,
maka ia dapat dituntut, untuk dihukum karena tidak mengadili.” Dengan
demikian, hakim memmpunyai kewenangan untuk menciptakan hukum (judge
made law). 90
2. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman. Dalam Pasal 16 ayat (1) disebutkan: “Pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.” Kemudian, Pasal 28 ayat (1) berbunyi: “Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat.”
Secara doktrinal atau ajaran para ahli hukum, kewenangan hakim untuk melakukan
penafsiran hukum dapat ditelusuri dari pendapat Paul Scholten dan Rescoe Pound.
Scholten menyatakan bahwa: “hukum memang ada di dalam undang-undang, tetapi
masih harus ditemukan.” Hal ini menunjukkan bahwa maksud dari suatu undang-undang
itu tidak hanya dapat dipahami lewat membaca teks undang-undang saja, tetapi juga
perlu ada pemaknaan atau pemberian makna dari teks yang tertulis.
Sedangkan Pound menyebutkan “Law is a tool of social engineering.” Ungkapan
Pound tersebut mengkonstruksikan hukum berperan sebagai alat rekayasa sosial. Bahkan
lebih dari itu, justru dipundak hukum juga mempunyai misi agar sektor hukum tersebut
dapat secara aktif memodernisasi masyarakat. 91 Hukum (law) yang dimaksud oleh
Pound di atas bukanlah berarti undang-undang, melainkan keputusan hakim. 92 Ajaran
87 Ibid.
88 Ibid, hal. 80
89 Bambang Sutiyoso II, hal. 79.
90 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Cet II, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 9. hal ini
dikuatkan oleh Mahmud Aziz (Tenaga Ahli Mahkamah Konstitusi RI) dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 25
Januari 2007
91 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal.
11.
92 Firman Muntaqo, Meretas Jalan Bagi Pembangunan Tipe Hukum Progresif melalui Pemahaman Terhadap Peranan
Mazhab Hukum Positivis dan Non Positivis dalam Kehidupan Berhukum Di Indonesia, dalam Satjipto Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal. 166.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
yang digagas oleh Rescoe Pound, yang menekankan pentingnya peranan pengadilan
dalam merubah masyarakat itu disebut ajaran atau mazhab realisme hukum. 93 Realisme
hukum kemudian mempengaruhi pemikiran hukum modern yang erkembang di Amerika
dan Skandinavia. Realisme hukum pada dasarnya meninggalkan pembicaraan mengenai
hukum yang abstrak dan melibatkan hukum kepada pekerjaan praktis untuk
menyelesaikan problem-problem dalam masyarakat. 94 Bahkan lebih lanjut pandangan
seperti ini dapat sampai pada mazhab hukum bebas (Freirechtslehre) di mana hakim
bebas melakukan penafsiran hukum.
93 Ibid.
94 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 300.
95 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Muh. Saleh Djindang, cet. XI, PT. Ichtiar
baru: Jakarta, 1983, hal. 208-217. dalam Jimly Asshiddiqie III, Op. Cit., hal. 280-282.
96 Ibid, hal. 290.
97 Utrecht, Op.cit., dalam Jimly Asshiddiqie III, ibid, hal. 294.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk
menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan. Misalkan
pada kalimat “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang Undang
Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.” 104
Metode penafsiran teleologis memusatkan perhatian pada persoalan, apa tujuan
yang hendak dicapai oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks (what does the
articles would like to achieve). Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau
formulasi kaidah-kaidah hhukum menurut tujuan atau jangkauannya. Tekanan
tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai
landasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi.
Dalam penafsiran yang demikian ini juga diperhitungkan konteks kenyataan
kemasyarakatan aktual. 105
Utrecht tidak mengenal penafsiran teleologis, sedangkan menurut Hoft,
penafsiran seperti ini dilakukan dengan cara mengacu kepada formulasi norma
hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Dalam menafsirkan secara teleologis,
fokus perhatian adalah fakta bahwa pada norma hukum mengandung tujuan yang
menjadi dasar atau asas sekaligus mempengaruhi interpretasi. Bisa jadi suatu norma
mengandung fungsi atau mengandung maksud unutk melindungi kepentingan
tertentu, sehingga ketika ketentuan itu diterapkan, maksud tersebut harus dipenuhi.
Penafsiran teleologis juga memperhitungkan konteks fakta kemasyarakatan aktual.
Cara ini tidak terlalu diarahkan untuk menemukan pertautan pada kehendak dari
pembentuk undang-undang pada waktu perumusannya. Maksudnya, lebih diarahkan
kepada makna aktual atau makna objektif norma yang ditafsirkan, sebagaimana
telah disinggung sebelumnya. 106
Panafsiran sosiologis/teleologis ini melihat tujuan hukum sebagai kenyataan
dalam masyarakat. Keberadaan hukum dalam memenuhi tujuan-tujuan
kemasyarakatan secara proporsional pernah disebutkan oleh Satjipto Rahardjo
bahwa: “Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya,.. dan hukum itu tidak
ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu,.. untuk
harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.” 107
5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)
Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie) menurut
Utrecht, merupakan penafsiran sesuai dengan tafsiran yang dinyatakan oleh pembuat
undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri. 108 Misalnya, arti kata
yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan Pitlo,
penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah
jelas dalam undang-undang. 109
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
2. Penafsiran lainnya
Disamping kelima metode di atas, para ahli hukum juga banyak menyebutkan
metode penafsiran hukum lainnya. Metode yang dimaksud adalah yang dikemukakan
oleh Visser’t Hoft, 110 Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, 111 Achmad Ali, 112 Ronal Dworkin, 113
Jimly Asshiddiqie, 114 dan Bambang Sutiyoso. 115 Metode dari para ahli tersebut dapat
dikumpulkan sebagai berikut:
1. Penafsiran Subsumptif
2. Penafsiran Komparatif
3. Penafsiran Antisipatif/Futuristis
4. Penafsiran Restriktif
5. Penafsiran Ekstensif
6. Penafsiran Interdisipliner
7. Penafsiran Multidisipliner
8. Penafsiran Dalam Kontrak atau Perjanjian
9. Penafsiran Evolutif-Dinamis
10. Creative Interpretation
11. Artistic Interpretation
12. Social Interpretation
13. Constructive Interpretation
14. Literal Interpretation
15. Conversational Interpretation
16. Teori Penafsiran Sosio-historis
17. Teori Penafsiran Filosofis
18. Teori Penafsiran Holistik
19. Teori Penafsiran Holistik Tematis-sistematis
110 Visser’t Hoft mengemukakan 7 (tujuh) model penafsiran hukum, yaitu: Penafsiran Gramatikal atau interpretasi
bahasa, Penafsiran Sistematis, Penafsiran Sejarah Undang-undang, Penafsiran Sejarah Hukum, Penafsiran Teleologis,
Penafsiran Antisipatif, Penafsiran Evolutif-Dinamis. Lihat Ph. Visser’t Hoft, Penemuan Hukum, judul asli Rechtsvinding,
diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Laboratorium FH Univ Parahiyangan: Bandung, 2001, hal. 15. dalam Jimly
Asshiddiqie III. ibid., hal. 282.
111 Sudikno dan A. Pitlo mengemukakan 8 (delapan) pembedaan jenis-jenis penafsiran atau interpretasi, yaitu:
Interpretasi menurut bahasa, Interpretasi Sosiologis atau Teleologis, Interpretasi Sistematis, Interpretasi Historis,
Interpretasi Komparatif, Interpretasi Futuristik, Interpretasi Restriktif, dan Interpretasi Ekstensif. Lihat Sudikno
Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya bakti berkerja sama dengan Konsorsium
Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation, Bandung, 1993, hal. 14-20.
112 Achmad Ali menambahkan interpretasi subsumptif sebagai salah satu jenis interpretasi yang kita anut dewasa ini.
Interpretasi ini melengkapi jenis-jenis interpretasi yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Lihat Ahmad
Ali, Op.cit., hal. 163.
113 Dworkin mempunyai pendapat yang berbeda lagi mengenai metode-metode penafsiran. Dworkin
mengidentifikasi ada 6 (enam) model interpretasi dalam ilmu hukum, yaitu: Creative Interpretation, Artistic Interpretation,
Social Interpretation, Constructive Interpretation, Literal Interpretation, Conversational Interpretation. Ronald Dworkin,
Law’s Empire, (Cambridge, Massachusetts, London, England: The Belknap of Harvard University Press, 1986). Dalam
Jimly Asshiddiqie III. Ibid., hal 286-289.
114 Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, menguraikan ada 9 (sembilan)
teori penafsiran dalam Hukum Tata Negara, yaitu: Teori Penafsiran Letterlijk atau harfiah, Teori Penafsiran Gramatikal
atau interpretasi bahasa, Teori Penafsiran Historis, Teori Penafsiran Sosiologis, Penafsiran Sosio-historis, Penafsiran
Filosofis, Penafsiran Teleologis, Teori Penafsiran Holistik, Penafsiran Holistik Tematis-sistematis. Jimly Asshiddiqie, Teori &
Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Cet. I, Ind.Hill Co: Jakarta, 1997, hlm 17-18. dalam Jimly Asshiddiqie III. Ibid., hal
274.
115 Bambang Sutiyoso menyebutkan penafsiran hukum terbagi atas 13 (tiga belas), yaitu: subsumptif, gramatikal,
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
116 Jon Roland, Principles of Constitutional Interpretation, the Constitution Society, diakses dari
http://www.constitution.org/cons/prin_cons.html, (4 April 2006)
117 Dalam pengertian sebenarnya, Roland menyebutkan Textual Interpretation sebagai Decision based on the actual
words of the written law, if the meaning of the words is unambiguous. Since a law is a command, then it must mean what
it meant to the lawgiver, and if the meaning of the words used in it have changed since it was issued, then textual analysis
must be of the words as understood by the lawgiver, which for a constitution would be the understanding of the ratifying
convention or, if that is unclear, of the drafters. Some Latin maxims: A verbis legis non est recedendum. From the words of
the law there is not any departure. 5 Coke 118. Noscitur à sociis. Meaning of words may be ascertained by associated
words. 3 T.R. 87.
118 Lihat pendapat Sudikno dan A. Pitlo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Penafsiran Restriktif
adalah penafsiran yang bersifat membatasi, yaitu untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang (teks: penulis) yang
ruang lingkupnya dibatasi. Bandingkan dengan pendapat Bambang Sutiyoso yang menyebutkan Penafsiran Restriktif
adalah penafsiran yang digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang di mana ruang lingkup ketentuan
itu dibatasi dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. Atau merupakan metode interpretasi yang bersifat
membatasi.
119 Lihat pendapat Jimly Asshiddiqie yang menyebutkan Penafsiran Letterlijk atau harfiah adalah penafsiran yang
menekankan kepada arti atau makna kata-kata yang tertulis (word). Pendapat Jimly sejalan dengan Utrecht yang
memberikan penjelasan tentang penafsiran menurut kata atau istilah (taalkundige interpretasi) sebagai kewajiban dari
hakim untuk mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli
bahasa. Kalaupun belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau
hubungannya dengan peraturan-peraturan lainnya.
120 Lihat pendapat Visser’t Hoft sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie. Penafsiran Gramatikal adalah penafsiran
yang menekankan kepada makna teks yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan. Penafsiran dengan cara demikian
bertolak dari makna menurut pemakaian bahasa sehari-hari atau makna teknis-yuridis yang lazim atau dianggap sudah
baku. Pendapat Utrecht tentang Penafsiran menurut kata atau istilah melingkupi juga penafsiran gramatikal ini. Sedangkan
Sudikno menambahkan bahwa penafsiran gramatikal dapat terbatas pada sesuatu yang otomatis, yang tidak disadari,
yang selalu kita rasakan pada saat kita membaca, dan hasil interpretasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, Sudikno,
ibid, hal. 15.
121 Penafsiran otentik adalah penafsiran resmi yang ditemukan dalam naskah undang-undang
122 Lihat pendapat Bambang Sutiyoso tentang penafsiran subsumptif
123 Tan Malaka, Madilog, Cet I, Pusat Data Indikator, Jakarta, 1999, hal. 192.
124 Ibid
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
a. “Semua manusia bakal mati” – major premis (simpulan besar atau hukum)
b. “Sokrates manusia juga” – minor premis (simpulan kecil atau peristiwa)
c. “Sokrates itu bakal mati” – conclusion (simpulan akhir atau putusan)
2. Historical
Dalam Penafsiran Historis atau Historical Interpretation, keputusan sedikit sekali
didasarkan pada kata-kata yang aktual dalam undang-undang, melainkan lebih
didasarkan kepada pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah dan pengesahan
undang-undang tersebut, demikian juga terhadap konstitusi atau aturan dasar. Kadang-
kadang penafsiran ini disebut sebagai sejarah legislasi, dan untuk putusan pengadilan
disebut sejarah kasus. Suatu analisa tekstual dari kata-kata yang diartikan bersentuhan
dengan analisa sejarah. 125
Karena merupakan pendekatan sejarah, Historical Interpretation tidak bertitik tolak
dari asas-asas hukum yang abstrak, betapa rasional pun, tetapi bersumber pada tradisi-
tradisi yuridis nasional, 126 yang merupakan gambaran dari kesadaran nasional bangsa
atau jiwa bangsa (volksgeist). Jiwa ini muncul secara alami ke permukaan di dalam
hukum kebiasaan setiap bangsa. 127
Historical Interpretation mencoba meninjau kembali konstruksi pemikiran dan
semangat masa lalu, kemudian menggunakan hal tersebut sebagai landasan yang original
dalam memutus perkara aktual. Hal ini dapat dilihat dari risalah sidang, makalah, buku
yang diterbitkan, dan lain-lain media yang merekam intensi para pembuat undang-
undang serta suasana pada saat undang-undang itu di buat.
3. Functional.
Dalam penafsiran fungsional (functional) atau disebut juga struktural, keputusan
didasarkan dari struktur hukum dan bagaimana aturan tersebut diharapkan jelas
keterkaitannya, sebuah sistem yang harmonis. 128
Functional interpretation melihat hukum sebagai suatu sistem yang harmonis.
Harmonisasi hukum itu dapat berupa keterkaitan secara horizontal, sesama undang-
undang, maupun yang bersifat vertikal. Disamping meninjau keterkaitan antara norma
hukum, functional interpretation juga mempertimbangkan bagaimana kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi dalam operasionalisasi suatu undang-undang. Jadi, ia juga
bersifat antisipatif, tetapi antisipatif yang dimaksud di sini adalah antisipatif yang terikat
pada penerapan suatu norma hukum dengan aturan hukum dibawahnya, bukan norma
hukum itu sendiri yang bersifat antisipatif.
125 Menurur Roland, Keputusan dengan penafsiran historis “based less on the actual words than on the understanding
revealed by analysis of the history of the drafting and ratification of the law, for constitutions and statutes, sometimes called
its legislative history, and for judicial edicts, the case history. A textual analysis for words whose meanings have changed
therefore overlaps historical analysis. It arises out of such Latin maxims as Animus hominis est anima scripti. Intention is the
soul of an instrument.”
126 John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, judul asli Historische Inleiding tot het Recht
disadur oleh Freddy Tengker, editor Lili Rasjidi, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 15.
127 Ibid
128 Menurut Roland, “Functional interpretation Also called structural. Decision based on analysis of the structures the
law constituted and how they are apparently intended to function as a coherent, harmonious system. A Latin maxim is
Nemo aliquam partem recte intelligere potest antequam totum perlegit. No one can properly understand a part until he
has read the whole.”
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
4. Doctrinal.
Dalam Penafsiran Doktrinal, keputusan didasarkan kepada praktik yang berlaku atau
pendapat hukum dari ahli hukum, terutama legislatif, eksekutif, atau yurisprudensi
pengadilan, yang dijadikan sebagai prinsip untuk digunakan bagi keputusan pengadilan,
yaitu tidak sebagai suatu nasehat belaka tetapi bersifat normatif. 129
Disamping pendapat atau putusan dari lembaga-lembaga hukum, Doctrinal
interpretation juga dapat bersumber dari pendapat-pendapat ahli dari bidang ilmu lain
seperti ekonomi, sosial, dan lain sebagainnya.
Doctrinal interpretation melakukan penafsiran berdasarkan sumber-sumber hukum,
yaitu dari sesuatu yang dianggap sebagai sebuah doktrin. Doktrin-doktrin tersebut lahir
pada masa lalu, namun hal tersebut harus dibedakan dengan penafsiran berdasarkan
sejarah (historical interpretation) karena doktrin-doktrin tidak dimaknai sebagai sumber
hukum yang berdasarkan waktu kelahirannya (tempus), melainkan dari kaidah-
kaidahnya yang berlaku lama.
5. Prudential.
Keputusan berdasar pada faktor di luar hukum atau kepentingan para pihak
(masyarakat) dalam perkara, seperti memberi batas waktu yang harus dipenuhi pejabat
publik, efisiensi kinerja pemerintah, menghindarkan dari pengaruh banyak hal, atau dari
tekanan politis. seperti satu pertimbangan, menghindari mengganggu suatu kegiatan
suatu lembaga, juga motivasi yang utama untuk metoda yang berkenaan dengan
doktrin. juga meliputi seperti pertimbangan apakah suatu kasus adalah " siap"
diputuskan, atau apakah perbaikan yang administratif menjelang diambil keputusan. 130
Prudential Interpretation berorientasi kepada kebijaksanaan yang dilahirkan dari
sebuah putusan. Ia berupaya menciptakan kondisi terbaik untuk memutus suatu perkara.
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat dikategorikan
menggunakan metode penafsiran prudensial, antara lain: putusan pengujian Undang-
undang APBN berkaitan prioritas alokasi anggaran pendidikan sedikitnya sebesar 20%
dari total APBN. 131 Undang-undang APBN yang tidak secara eksplisit memprioritaskan
anggaran pendidikan sebesar 20% adalah bertentangan dengan Undang Undang Dasar,
tetapi Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta membatalkan ketentuan Undang-undang
APBN yang belum meletakkan 20% dari total APBN untuk anggaran pendidikan,
karena bila ketentuan itu dibatalkan, maka akan diberlakukan Undang-undang APBN
tahun lalu yang lebih sedikit persentasenya untuk anggaran pendidikan.
Disamping itu, contoh lain penggunaan metode penafsiran prudensial dapat dilihat
dalam Putusan Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Terhadap Pasal
129 Menurut Roland, Keputusan dengan Penafsiran Doktrinal” Decision based on prevailing practices or opinions of
legal professionals, mainly legislative, executive, or judicial precedents, according to the meta-doctrine of stare decisis,
which treats the principles according to which court decisions have been made as not merely advisory but as normative.
Some Latin maxims are: Argumentum à simili valet in lege. An argument from a like case avails in law. Coke, Littleton, 191.
Consuetudo et communis assuetudo ... interpretatur legem scriptam, si lex sit generalis. Custom and common usage ...
interpret the written law, if it be general. Jenk. Cent. 273. Cursus curiæ est lex curiæ. The practice of the court is the law of
the court. 3 Buls. 53. Judiciis posterioribus fides est adhibenda. Credit is to be given to the latest decisions. 13 Coke 14. Res
judicata pro veritate accipitur. A thing adjudicated is received as true.”
130
Menurut Roland, Dalam Penafsiran Prudensial “Decision based on factors external to the law or interests of the
parties in the case, such as the convenience of overburdened officials, efficiency of governmental operations, avoidance of
stimulating more cases, or response to political pressure. One such consideration, avoidance of disturbing a stable body of
practices, is also the main motivation for the doctrinal method. It also includes such considerations as whether a case is
"ripe" for decision, or whether lesser or administrative remedies have first been exhausted. A Latin maxim is Boni judicis est
lites dirimere. The duty of a good judge is to prevent litigation.”
131 Undang-undang APBN yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 36 Tahun 2004 yang diputus tidak dapat
diterima (Niet Ovankelijke verklaar) oleh Mahkamah Konstitusi dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2005 yang
permohonannya dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
6. Equitable.
Penafsiran Ekuitabel atau Equitable Interpretationa bisa juga disebut penafsiran etis.
Dimana keputusan didasarkan pada perasaan keadilan, keseimbangan kepentingan dari
para pihak, dan apa yang baik dan buruk, tanpa memperhatikan apa hukum (tertulis).
Sering kali ditempatkan pada kasus di mana fakta tidak cukup untuk mengantisipasi atau
memadai dari pembuat undang-undang. Beberapa sarjana menaruh berbagai ukuran
keseimbangan dari kepentingan dan nilai-nilai dalam kategori kebijaksanaan. Tetapi
tindakan itu lebih baik digunakan untuk membedakan kebijaksanaan sebagai
keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dalam sistem hukum dari pada
kepatutan (equitable) sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai antara
para pihak. 132
Ciri pokok dari equitable interpretation adalah adanya dua atau lebih variabel yang
dipertimbangkan oleh hakim. Dua atau lebih variabel itu diakomodasi secara
proposional. Hal ini berbeda dengan penafsiran perbandingan (comparative
interpretation), bila comparative interpretation hanya memaparkan dua atau lebih
variabel secara deskriptif, maka equitable interpretation melihat variabel-variabel yang
ada sebagai hal yang dihimpun secara proporsional
7. Natural.
Dalam Penafsiran Natural, Keputusan didasarkan pada apa yang diwajibkan atau
anjuran dari hukum yang alamiah, atau barang kali dari sifat-sifat dasar manusia, dan
pada apa yang bersifat jasmaniah atau secara ekonomis mungkin atau dapat
dilakukan, atau pikiran yang bersifat aktual. 133
Penafsiran yang bersifat natural ini dapat dilihat dari putusan-putusan hakim yang
memaparkan benda-benda secara alamiah, baik itu perilaku manusia maupun
kejadian alam. Penafsiran ini, dalam putusan Mahkamah Konstitusi muncul dalam
bentuk pepatah-pepatah, seperti “buruk muka cermin dibelah.” Ungkapan seperti ini
132 Menurut Roland, dalam Equitable Interpretation, Also called ethical, decision based on an innate sense of justice,
balancing the interests of the parties, and what is right and wrong, regardless of what the written law might provide. Often
resorted to in cases in which the facts were not adequately anticipated or provided for by the lawgivers. Some scholars put
various balancing tests of interests and values in the prudential category, but it works better to distinguish between
prudential as balancing the interests and values of the legal system from equitable as balancing the interests and values of
the parties. It arises out of the Latin maxim, Æquitas est perfecta quædam ratio quæ jus scriptum interpretatur et emendat;
nulla scriptura comprehensa, sed sola ratione consistens. Equity is a sort of perfect reason which interprets and amends
written law; comprehended in no code, but consistent with reason alone”
133 Menurut Roland, dalam Penafsiran Natural, “Decision based on what is required or advised by the laws of nature,
or perhaps of human nature, and on what is physically or economically possible or practical, or on what is actually likely to
occur. This has its origin in such ancient Latin maxims as: Jura naturæ sunt immutabilia. The laws of nature are
unchangeable. Jacob. 63. Impossibilium nulla obligatio est. There is no obligation to do impossible things. D. 50, 17, 185.
Lex non cogit ad impossibilia. The law does not compel the impossible. Hob. 96. Lex neminem cogit ad vana seu inutilia
peragenda. The law requires no one to do vain or useless things. 5 Coke 21. Legibus sumptis desinentibus, lege naturæ
utendum est. Laws of the state failing, we must act by the law of nature.”
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
BAB IV
PEMBAHASAN
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
memberikan manfaat yang adil dan menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha
merata kepada konsumen; Penyediaan Tenaga Listrik. Untuk penyediaan tenaga
listrik skala kecil, prioritas diberikan kepada Badan
c. bahwa dalam rangka pemenuhan
Usaha kecil dan menengah.
kebutuhan tenaga listrik nasional dan
penciptaan persaingan usaha yang sehat, Undang-undang ini merupakan landasan dan
perlu diberi kesempatan yang sama acuan bagi pelaksanaan restrukturisasi sektor
kepada semua pelaku usaha untuk ketenagalistrikan agar pengelolaan usaha di sektor ini
ikut serta dalam usaha di bidang dapat dilaksanakan secara lebih efisien, transparan dan
ketenagalistrikan; kompetitif. Kompetisi usaha penyediaan tenaga listrik
dalam tahap awal diterapkan pada sisi pembangkitan
dan di kemudian hari sesuai dengan kesiapan perangkat
keras dan perangkat lunaknya akan diterapkan di sisi
penjualan. Hal ini dimaksudkan agar konsumen listrik
memiliki pilihan dalam menentukan pasokan tenaga
listriknya yang menawarkan harga paling bersaing
dengan mutu dan pelayanan lebih baik.
Perkembangan penerapan kompetisi di sisi penjualan
dimulai pada konsumen besar yang tersambung pada
tegangan tinggi, yang kemudian pada konsumen
tegangan menengah. Untuk mengatur dan mengawasi
penyediaan tenaga listrik di daerah yang telah
menerapkan kompetisi dibentuk Badan Pengawas Pasar
Tenaga Listrik. Badan ini yang mengeluarkan aturan
yang diperlukan dalam menunjang mekanisme pasar
meliputi aturan jaringan (Grid Code), aturan distribusi
(Distribution Code), aturan pentarifan (Tariff Code),
aturan untuk lelang pengadaan instalasi/sarana
penyediaan tenaga listrik (Procurement and
Competitive Tendering Code) dan lain-lain, termasuk
penegakan hukumnya (law enforcement). Dengan
adanya Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik, akan
mengurangi peranan Pemerintah dalam penetapan
regulasi bisnis ketenagalistrikan, namun tidak
mengurangi kewenangan Pemerintah sebagai pembuat
kebijakan.
PASAL 8 ayat (2) Penjelasannya
Usaha Penyediaan tenaga listrik meliputi jenis “Cukup jelas”
usaha :
a. Pembangkitan Tenaga Listrik
b. Transmisi Tenaga Listrik
c. Distribusi Tenaga Listrik
d. Penjualan Tenaga Listrik
e. Agen Penjualan Tenaga Listrik
f. Pengelola Pasar Tenaga Listrik
g. Pengelola Sistem Tenaga Listrik
PASAL 16 Penjelasannya
Usaha Penyediaan tenaga Listrik sebagaimana “Untuk terselenggaranya kompetisi yang adil dan sehat,
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan usaha penyediaan tenaga listrik perlu dilakukan secara
secara terpisah oleh Badan Usaha yang terpisah oleh badan usaha yang berbeda”
berbeda
PASAL 17 ayat (3) huruf a Penjelasannya
Larangan penguasaan pasar sebagaimana Cukup jelas
dimaksud dalam ayat (2) meliputi segala
tindakan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan persaingan usaha yang
tidak sehat antara lain meliputi :
a. menguasai kepemilikan
PASAL 22 Penjelasannya
(1) Usaha Penjualan Tenaga Listrik sebagaimana Ayat (1)
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
melakukan penjualan tenaga listrik kepada Pengelola Pasar Tenaga Listrik tidak bersifat
konsumen yang tersambung pada jaringan mencari keuntungan dan pembiayaannya
tegangan rendah dalam wilayah usaha didasarkan pada biaya yang dikeluarkan.
tertentu.
Ayat (2)
(2) Wilayah usaha untuk Usaha Penjualan
Cukup jelas
Tenaga Listrik sebagai-mana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Badan Ayat (3)
Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Cukup jelas
(3) Usaha Penjualan Tenaga Listrik dapat
Ayat (4)
membeli tenaga listrik dari pasar
tenaga listrik dan/atau secara bilateral Cukup jelas
dari pembangkit lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembelian tenaga listrik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Tenaga Listrik.
PASAL 30 Ayat (1) Penjelasannya
Di wilayah yang tidak atau belum dapat “Kondisi tertentu yang dimaksud dalam ayat ini antara
menerapkan kompetisi karena kondisi tertentu, lain faktor geografis dan atau sosial ekonomi. Yang
usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud secara terintegrassi adalah kepemilikan
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dapat secara vertikal sarana penyediaan tenaga listrik
dilakukan secara terintegrasi mulai dari pembangkitan tenaga listrik sampai
dengan penjualan tenaga listrik kepada konsumen”
PASAL 68 Penjelasannya
Pada saat Undang-undang ini berlaku, terhadap Tugas dan kewajiban penyediaan tenaga listrik untuk
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal
(PKUK) sebagaimana dimaksud dalam Undang- ini meliputi :
undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang 1. menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum
Ketenagalistrikan dianggap telah memiliki dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan
izin yang terintegrasi secara vertikal yang prinsip pengelolaan perusahaan.
meliputi pembangkitan, transmisi, distribusi, 2. mengusahakan penyediaan tenaga listrik dalam
dan penjualan tenaga listrik dengan tetap jumlah dan mutu yang memadai dengan tujuan
melaksanakan tugas dan kewajiban penyediaan untuk :
tenaga listrik untuk kepentingan umum sampai a. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
dengan dikeluar-kannya Izin Usaha Penyediaan rakyat secara adil dan merata serta mendorong
Tenaga Listrik berdasarkan Undang-undang ini. peningkatan kegiatan ekonomi;
b. mengusahakan keuntungan agar dapat membiayai
pengembangan tenaga listrik untuk melayani
kebutuhan masyarakat.
3. merintis kegiatan-kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
Tabel 2. Materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian yang dimohonkan dalam PUU Ketenagalistrikan
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
2) Swastanisasi atau privatisasi 134 dalam usaha penyediaan tenaga listrik yang
dilakukan secara terpisah-pisah (unbundling) 135
3) Tanggungjawab negara terhadap penyelenggaraan usaha penyediaan listrik
untuk kepentingan umum atau “penguasaan negara” dalam ketenagalistrikan
4) Perlindungan negara atas hak warga negara; atas kesejahteraan lahir dan
batin, hak berserikat dan berkumpul, jaminan sosial, jaminan perlindungan
dan kepastian hukum, yaitu hak untuk dapat memanfaatkan ketenagalistrikan
5) Akan terjadi PHK karena Pasal 8 ayat (2) jo Pasal 16 UU Ketenagalistrikan,
hal ini merugikan hak konstitusional pemohoan sebagaimana dimaksud Pasal
27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (3),
Pasal 33 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27
ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
b. Petitum
Petitum atau tuntutan yang sampaikan oleh pemohon kepada Mahkamah
Konstitusi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Petitum Perkara 001 Perkara 021 Perkara 023
Memohon 1 Menerima dan 1. Menyatakan menerima 1. Menyatakan
kepada majelis mengabulkan seluruh permohonan mengabulkan seluruh
hakim konstitusi permohonan ini; PEMOHON; permohonan Pemohon.
untuk: 2 Menyatakan UU No 20 2. Menyatakan bahwa 2. Menyatakan UU No. 20
Tahun 2002 tentang permohonan Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan PEMOHON Ketenagalistrikan, atau
bertentangan dengan dikabulkan; setidak-tidaknya Pasal 8
Undang-Undang Dasar 3. Menyatakan Pasal 8 ayat (2)f, Pasa116 Psal
1945; ayat (2), Pasal 16, Pasal 22, dan Pasal 68
3 Menyatakan UU No 20 30 ayat (1), serta Pasal bertentangan dengan
Tahun 2002 tentang 17 ayat (3) huruf a UU Undang-undang Dasar
Ketenagalistrikan tidak a quo secara Negara Republik
mempunyai kekuatan keseluruhan atau Indonesia Tahun 1945;
mengikat; setidak-tidaknya 3. Menyatakan UU No.20
4 Memerintahkan sebagian dari Pasal- Tahun 2002 tentang
pencabutan pasal tersebut Ketenagalistrikan, atau
Pengundangan UU No bertentangan dengan setidak-tidaknya Pasal 8
20 Tahun 2002 Pasal 33 ayat (2) UUD ayat (2) f, Pasa116 Pasal
tentang 1945 dan karenanya 22, dan Pasal 68 sebagai
Ketenagalistrikan dalam Pasal-pasal atau tidak mempunyai
Lembaran Negara sebagian dari Pasal- kekuatan hukum
Republik Indonesia dan pasal tersebut tidak mengikat
Tambahan Lembaran mempunyai kekuatan
Negara Republik hukum mengikat ;
Indonesia 4. Memerintahkan kepada
Pemerintah RI Cq.
Presiden RI dan DPR RI
untuk mencabut dan
menyatakan tidak
berlaku Pasal 8 ayat
(2), Pasal 16, Pasal 17
134 Elly Erawati dan J.S. Badudu secara etimologis menguraikan arti kata privatisasi sebagai terjemahan dari
privatization yakni “Proses perubahan bentuk diikuti dengan pengalihan hak-hak dari suatu perusahaan milik negara
menjadi perusahan swasta; penyerahan pengelolaan sektor-sektor ekonomi tertentu kepada pihak swasta.” Elly Erawati
dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, dalam Winarno Yudho et. Al, Privatisasi Ketenagalistrikan, Minyak dan Gas
Bumi: Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Kebijakan Politik Pemerintah, dan Penerapannya Di Indonesia,
Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
bekerjasama dengan Konrad-Adenauer-Stiftung, Jakarta, 2005, hal. 5.
135 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2006,
dikatakan: Padahal di Inggris yang pernah menerapkan unbundling policy, dahulu pada zamannya Thachter ada kebijakan
unbundling, tetapi di zaman Blair itu kemudian di bawa kembali kepada negara, bahkan tarif sampai sangat tinggi karena
unbundling policy, itu artinya merugikan masyarakat, karena siapa pun masyarakat modern menggunakan lsitrik
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
136 A. Irmanputra Sidin menyebutkan: “the economic system in the concept of essential product is relative. An extreme
examples is chili, which is now seen as unessential, but when some day this space becomes indispensable to the majority of
indoneesians, and the chili market gradually turns unfriendly, chili product will be vital and controlled by the state for
optimal public welafare.” Dalam A. Irmanputra Sidin, In Defense of RI’s Constitution Economy, The Jakarta Post, 5 Januari
2005
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
137 Wawancara dengan Mahmud Aziz (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) tanggal 25 Januari 2007: Jantung UU
kelistrikan dicabut, maka UU ini dicabut saja sekalian. Dari pada UU-nya “mati,” ini bukan ultra petita tetapi akibat.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
b. Permohonan 059/PUU-II/2004.
No Kategori Nomor Registrsai Perkara 059/PUU-II/2004
1 Pemohon 16 orang dari organisasi non-pemerintah yang menamakan diri Rakyat
Menggugat, antara lain terdiri dari WALHI, FSPI dan lain-lain
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
c. Permohonan 060/PUU-II/2004
No Kategori Nomor Registrsai Perkara 060/PUU-II/2004
1 Pemohon 868 perorangan WNI
2 Kategori pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang)
3 Tanggal Registrasi 29 Juli 2004, kemudian setelah diperbaiki, diserahkan kembali ke Mahkamah
Permohonan Konstitusi pada tanggal 8 September 2004
4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan pengujain materil
5 Objek permohonan UU No 7 Tahun 2004 secara keseluruhan
Tabel 7. Permohonan 060/PUU-II/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air
d. Permohonan 063/PUU-II/2004
No Kategori Nomor Registrsai Perkara 063/PUU-II/2004
1 Pemohon Suta Widya, perorangan WNI
2 Kategori pemohon Perorangan warga negara Indonesia
3 Tanggal Registrasi 26 Juli 2004, kemudian setelh diperbaiki, diserahkan kembali ke Mahkamah
Permohonan Konstitusi pada tanggal 22 September 2004
4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil
5 Objek permohonan Pasal 9, Pasal 26 ayat (7), Pasal 45 dan Pasal 46 UU No 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air
Tabel 8. Permohonan 063/PUU-II/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air
e. Permohonan 008/PUU-III/2005
Permohonan ini merupakan permohonan yang bersifat ad informandum. Hal
berdasarkan saran dari Mahkamah Konstitusi karena permohonan 008/PUU-III/2005
diajukan pada saat empat permohonan sebelumnya telah berjalan dan tinggal
menunggu putusan saja. ad informandum yang dimaksud adalah jika suatu permohonan
mempunyai kepentingan terhadap pasal-pasal sama dengan yang telah dimohonkan
sebelumnnya maka permohonan diajukan untuk memperkuat dalil, argumentasi
menyangkut pasal-pasal yang telah dimohonkan oleh pemohon sebelumnya.
No Kategori Nomor Registrsai Perkara 008/PUU-III/2005
1 Pemohon adalah 2063 orang WNI yang memberi kuasa kepada Bambang Widjojanto,
S.H., LLM., dkk, dari “Tim Advokasi Keadilan Sumberdaya Alam”
2 Kategori pemohon Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang)
3 Tanggal Registrasi 1 Maret 2005, kemudian setelah diperbaiki, diserahkn kembali ke Mahkamah
Permohonan Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2005
4 Jenis Pengujian Pengujian formil dan materil
5 Objek permohonan UU No 20 tahun 2002 secara keseluruhan
Tabel 9. Permohonan 008/PUU-III/2004 mengenai PUU Sumber Daya Air
138 Setiap cetak tebal dalam tabel ini adalah dari penulis
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
dan telah dikukuhkan dengan peraturan dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat
daerah setempat. hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum adat yang didasarkan atas
kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan.
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada
apabila memenuhi tiga unsur, yaitu:
a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya
sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui
dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;
b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat
tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan
wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat
mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan
tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh
para warga persekutuan hukum tersebut.
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Penjelasannya
(1) Hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1)
Pasal 6 ayat (4) berupa hak guna pakai Cukup jelas
air dan hak guna usaha air. Ayat (2)
(2) Hak guna air sebagaimana dimaksud pada Yang dimaksud tidak dapat disewakan atau
ayat (1) tidak dapat disewakan atau dipindahtangankan artinya hak guna air yang
dipindahtangankan, sebagian atau diberikan kepada pemohon tidak dapat disewakan
seluruhnya. dan dipindahkan kepada pihak lain dengan alasan
apapun.
Apabila hak guna air tersebut tidak dimanfaatkan
oleh pemegang hak guna air, Pemerintah atau
pemerintah daerah dapat mencabut hak guna air
yang bersangkutan.
Pasal 8 ayat (2) huruf c Penjelasannya
(2) Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memerlukan izin apabila:
c. digunakan untuk pertanian rakyat di
luar sistem irigasi yang sudah ada
Pasal 9 ayat (1) Penjelasannya
Hak guna usaha air dapat diberikan kepada Ayat (1)
perseorangan atau badan usaha dengan izin Yang dimaksud dengan perseorangan adalah
dari Pemerintah atau pemerintah daerah subjek non-badan usaha yang memerlukan air
sesuai dengan kewenangannya. untuk keperluan usahanya misalnya usaha
pertambakan dan usaha industri rumah
tangga.
Pasal 26 ayat (7) Penjelasannya
Pendayagunaan sumber daya air dilakukan Ayat (7)
dengan mengutamakan fungsi sosial untuk Yang dimaksud dengan prinsip pemanfaat
mewujudkan keadilan dengan memperhatikan membayar biaya jasa pengelolaan adalah penerima
prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa manfaat ikut menanggung biaya pengelolaan
pengelolaan sumber daya air dan dengan sumber daya air baik secara langsung maupun
melibatkan peran masyarakat. tidak langsung. Ketentuan ini tidak diberlakukan
kepada pengguna air untuk pemenuhan kebutuhan
pokok sehari-hari dan pertanian rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80.
Pasal 29 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Penjelasannya
(3) Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan Ayat (3)
pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian Apabila terjadi konflik kepentingan antara
rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
merupakan prioritas utama penyediaan pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk pertanian
sumber daya air di atas semua kebutuhan. rakyat misalnya pada situasi kekeringan yang
(4) Urutan prioritas penyediaan sumber daya air ekstrim, prioritas ditempatkan pada pemenuhan
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kebutuhan pokok sehari-hari.
ditetapkan pada setiap wilayah sungai oleh Ayat (4)
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai Cukup jelas
dengan kewenangannya. Ayat (5)
(5) Apabila penetapan urutan prioritas Kompensasi dapat berbentuk ganti kerugian
penyediaan sumber daya air sebagaimana misalnya berupa keringanan biaya jasa
dimaksud pada ayat (4) menimbulkan pengelolaan sumber daya air yang dilakukan
kerugian bagi pemakai sumber daya air, atas dasar kesepakatan antarpemakai.
Pemerintah atau pemerintah daerah
wajib mengatur kompensasi kepada
pemakainya.
Pasal 38 ayat (2), Penjelasannya
Badan usaha dan perseorangan dapat Ayat (2)
melaksanakan pemanfaatan awan dengan Cukup jelas
teknologi modifikasi cuaca setelah
memperoleh izin dari Pemerintah
Pasal 40 ayat (1), ayat (4) dan ayat (7), Penjelasannya
(1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air Ayat (1)
minum rumah tangga sebagaimana Yang dimaksud dengan air minum rumah tangga
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan adalah air dengan standar dapat langsung diminum
dengan pengembangan sistem penyediaan tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan
air minum. dinyatakan sehat menurut hasil pengujian
(4) Koperasi, badan usaha swasta, dan mikrobiologi (uji ecoli).
masyarakat dapat berperan serta dalam Yang dimaksud dengan pengembangan sistem
penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum adalah memperluas dan
penyediaan air minum. meningkatkan sistem fisik (teknik) dan sistem
(7) Untuk mencapai tujuan pengaturan nonfisik (kelembagaan, manajemen, keuangan,
pengembangan sistem penyediaan air peran masyarakat, dan hukum) dalam kesatuan
minum dan sanitasi sebagaimana dimaksud yang utuh untuk menyediakan air minum yang
pada ayat (5) dan ayat (6), Pemerintah memenuhi kualitas standar tertentu bagi
dapat membentuk badan yang berada di masyarakat menuju kepada keadaan yang lebih
bawah dan bertanggung jawab kepada baik. Pengembangan instalasi dan jaringan serta
menteri yang membidangi sumber daya air. sistem penyediaan air minum untuk rumah tangga
termasuk pola hidran dan pola distribusi dengan
mobil tangki air.
Ayat (4)
Dalam hal di suatu wilayah tidak terdapat
penyelenggaraan air minum yang dilakukan oleh
badan usaha milik negara dan/atau badan usaha
milik daerah, penyelenggaraan air minum di
wilayah tersebut dilakukan oleh koperasi, badan
usaha swasta dan masyarakat.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4), Penjelasannya
(3) Pengusahaan sumber daya air selain Ayat (3)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat Yang dimaksud dengan badan usaha pada ayat ini
dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, dapat berupa badan usaha milik negara/badan
atau kerja sama antar badan usaha usaha milik daerah (yang bukan badan usaha
berdasarkan izin pengusahaan dari pengelola sumber daya air wilayah sungai), badan
Pemerintah atau pemerintah daerah usaha swasta, dan koperasi.
sesuai dengan kewenangannya. Kerja sama dapat dilakukan, baik dalam
(4) Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada pembiayaan investasi pembangunan prasarana
ayat (3) dapat berbentuk: sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa
a. penggunaan air pada suatu lokasi pelayanan dan/atau pengoperasian prasarana
tertentu sesuai persyaratan yang sumber daya air. Kerja sama dapat dilaksanakan
ditentukan dalam perizinan; dengan berbagai cara misalnya dengan pola
b. pemanfaatan wadah air pada suatu bangun guna serah (build, operate, and transfer),
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
lokasi tertentu sesuai persyaratan yang perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak
ditentukan dalam perizinan; dan/atau manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa dan
c. pemanfaatan daya air pada suatu lokasi sebagainya. Pelaksanaan berbagai bentuk kerja
tertentu sesuai persyaratan yang sama yang dimaksud harus tetap dalam batas-batas
ditentukan dalam perizinan. yang memungkinkan pemerintah menjalankan
kewenangannya dalam pengaturan, pengawasan
dan pengendalian pengelolaan sumber daya air
secara keseluruhan.
Izin pengusahaan antara lain memuat substansi
alokasi air dan/atau ruas (bagian) sumber air yang
dapat diusahakan.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pemanfaatan wadah air pada lokasi tertentu antara
lain adalah pemanfaatan atau penggunaan sumber
air untuk keperluan wisata air, olahraga arung
jeram, atau lalu lintas air.
Huruf c
Pemanfaatan daya air antara lain sebagai
penggerak turbin pembangkit listrik atau sebagai
penggerak kincir
Pasal 46 ayat (2) Penjelasannya
Alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air Ayat (2)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus Alokasi air yang diberikan untuk keperluan
didasarkan pada rencana alokasi air yang pengusahaan tersebut tetap memperhatikan
ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber alokasi air untuk pemenuhan kebutuhan pokok
daya air wilayah sungai bersangkutan. sehari-hari dan pertanian rakyat pada wilayah
sungai yang bersangkutan.
Pasal 91 Penjelasannya
Instansi pemerintah yang membidangi sumber Pasal 91
daya air bertindak untuk kepentingan Cukup jelas
masyarakat apabila terdapat indikasi masyarakat
menderita akibat pencemaran air dan/atau
kerusakan sumber air yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat.
Pasal 92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Penjelasannya
(1) Organisasi yang bergerak pada bidang Ayat (1)
sumber daya air berhak mengajukan Yang dimaksud dengan organisasi yang bergerak di
gugatan terhadap orang atau badan usaha bidang sumber daya air antara lain adalah
yang melakukan kegiatan yang organisasi pengguna air, organisasi pemerhati
menyebabkan kerusakan sumber daya air masalah air, lembaga pendidikan, lembaga
dan/atau prasarananya, untuk kepentingan swadaya masyarakat bidang sumber daya air,
keberlanjutan fungsi sumber daya air. asosiasi profesi, dan/atau bentuk organisasi
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat masyarakat lainnya yang bergerak di bidang
(1) terbatas pada gugatan untuk melakukan sumber daya air.
tindakan tertentu yang berkaitan dengan Hak mengajukan gugatan pada ayat ini adalah
keberlanjutan fungsi sumber daya air gugatan perwakilan.
dan/atau gugatan membayar biaya atas Ayat (2)
pengeluaran nyata. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar
(3) Organisasi yang berhak mengajukan gugatan gugatan yang dilakukan oleh organisasi hanya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terbatas pada tindakan yang berkenaan dengan
memenuhi persyaratan: sumber daya air yang menyangkut kepentingan
a. berbentuk organisasi kemasyarakatan publik dengan memohon kepada pengadilan agar
yang berstatus badan hukum dan seseorang atau badan usaha diperintahkan untuk
bergerak dalam bidang sumber daya air; melakukan tindakan penanggulangan dan
b. mencantumkan tujuan pendirian pemulihan yang berkaitan dengan keberlanjutan
organisasi dalam anggaran dasarnya fungsi sumber daya air.
untuk kepentingan yang berkaitan Yang dimaksud dengan biaya atas pengeluaran
dengan keberlanjutan fungsi sumber nyata adalah biaya yang nyata-nyata dapat
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
5. Dissenting Opinion
Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air ini, ada 2 (dua) orang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda
(dissenting opinion), yaitu: A. Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan. Lebih lanjut,
pendapat berbeda tersebut diuraikan sebagai berikut:
Nama Hakim Pertimbangan Hukum Atau Penafsiran Hakim Metode
Konstitusi Penafsiran
1. Mukthie Fadjar Kami ciptakan manusia dari air (Q.S. 25: 54) Natural
Kami ciptakan semua hewan dari air (Q.S. 24: 45)
Kami ciptakan sesuatu yang hidup dari air (Q.S. 21: 30)
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
139 Dalam putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan: “Penguasaan negara juga termasuk dalam kepemilikan privat
yang tidak harus 100%. Artinya, pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi
yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak
(di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas
relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha
dimaksud. Dalam penyediaan tenaga listrik di Indonesia yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN)
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
140 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2007
dikatakan: Hak guna usaha diatur dalam pasal 9 UU SDA. Ketentuan disitu tidak ada persoalan, karena ia diberikan lewat
izin. Jadi bila dikaitkan dengan paradigma HAM, dalam hal ini negara adalah berperan dalam pengurusan, yaitu
memberikan perizinan bagi hak guna usaha
141 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2007,
dikatakan: Kalau dalam air tidak sama dengan unbundling meskipun air bersifat mengalir dan pengelolaannya dapat
dikelola oleh lebih dari satu pihak. Seperti sungai yang mengalir di negara-negara eropa, itu berlaku asas yang disebut
human haritage is minkand atau res comune. Jadi ini sifatnya hanya pengelolaan
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
142 Hal ini pernah dikatakan oleh I Dewa Gde Palguna dan Wasis Susetio dalam wawancara yang dilakukan pada
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
F. Conditionally Constitutional
1. Pengertian
Conditionally Constitutional merupakan istilah baru dalam ilmu hukum, khususnya
hukum tata negara. 143 Sehingga belum ditemukan literatur yang membahas khusus hal
tersebut. Istilah ini dapat dikatakan salah satu bentuk penemuan hukum dari Mahkamah
Konstitusi yang dilakukan dalam rangka menafsirkan ketentuan hukum tertulis (undang-
undang) terhadap Undang Undang Dasar.
Dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, Mahkamah Konstitusi menyebutkan:
“Bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah
cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya
pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah
disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan
putusan. Sehingga, apabila Undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan
lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas,
maka terhadap Undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk
diajukan pengujian kembali (Conditionally Constitutional)” 144
143 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2007
dikatakan: Conditionally Constitutional merupakan terminologi yuridis yang baru, ini merupakan penemuan hukum oleh
MK. Ia dianggap konstitusional dengan keadaan atau kondisi sebagaimana ditafsirkan oleh MK. Dalam hal ini sepanjang ia
dilakukan dengan perizinan, maka ia konstitusional. Tapi diluar itu, apa lewat perjanjian atau yang lain, maka ia
inkonstitusional.
144 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
Bila diamati Pasal 64 ayat (3) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun
2005, maka tidak ditemukan sedikitpun kata izin di sana. Dalam ketentuan itu, pihak
swasta, koperasi dan masyarakat dapat terlibat dalam usaha pengembangan sistem air
minum lewat pelelangan yang kemudian dilanjuti dengan perjanian. Kondisi seperti ini
lah yang dapat dikatakan bertentangan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya, namun hal ini masih perlu dibuktikan lagi di Mahkamah Agung atau
Mahkamah Konstitusi.
Pengujian kembali Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
dapat diajukan apabila syarat-syarat sebagaimana disebutkan Mahkamah Konstitusi
dalam putusannya tidak diperhatikan oleh Pemerintah, baik dalam peraturan
pelaksananya maupun dalam pelaksanaannya.
Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemerintah atau ditafsirkan lain oleh
Pemerintah, maka peraturan pelaksananya, seperti peraturan pemerintah yang dianggap
bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, maka peraturan pemerintah tersebut dapat diuji kepada Mahkamah Agung
terlebih dahulu.
Ketika peraturan pemerintah tersebut dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah
Agung, maka akan ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi terkait dengan
pengujian kembali Undang-undang Nomor 7 Tahuhn 2004 tentan Sumber Daya Air ,
antara lain:
1. Ketika sedang dalam tahap pemeriksaan Peraturan Pemerintah yang diuji kepada
Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air diajukan kembali permohonan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi
dengan mendalilkan bahwa Peraturan Pemerintah yang dimaksud bertentangan
dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian undang-
undang sebelumnya. Dalam hal ini, peraturan pemerintah yang dianggap
bertentangan tersebut dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang Mahkamah
Konstitusi.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
145 Pasal 55 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: Pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung dihentikan apabila undang-
undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai
ada putusan Mahkamah Konstitusi
146 Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar; b) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar; c) memutus pembubaran
partai politik; dan d) memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
147 Maruarar Siahaan, Op.cit., hal. 252.
148 Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: Terhadap materi
muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
149 Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) dalam wawancara yang dilakukan tanggal 30 Januari 2007
menyebutkan: upaya hokum melalui Conditionally constitutional ini semacam PK (Peninjauan Kembali)
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945
dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan dan Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air
a. Terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945
• Putusan pengujian undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan merupakan penafsiran Mahkamah Konstitusi yang pertama
kali Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, terurama mengenai Penguasaan
negara
• Makna “penguasaan negara” atas cabang-cabang produksi penting dan
sumber kekayaan alam, meliputi:
1) Mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad)
2) Pengaturan (regelendaad)
3) Pengelolaan (beheersdaad)
4) Pengawasan (toezichthoundensdaad)
b. Terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
• Listrik merupakan salah satu cabang produksi penting yang menguasai hajat
hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara
• Makna penguasaan negara atas ketenagalistrikan meliputi fungsi negara
sebagai pengatur (regelendaad) dan fungsi pengelolaan (beheersdaad), yaitu
terlibat langsung dalam manajemen BUMN
• Penyediaan tenaga listrik tidak dapat dipisah-pisah (unbundling), dan harus
dikelola langsung oleh negara, sedapat mungkin sepenuhnya
c. Terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
• Hak atas air merupakan hak asasi manusia, sehingga hak tersebut tidak hanya
tunduk pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 saja, tetapi juga
pada Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945
• Air bukanlah barang ekonomi, sesuai dengan prinsip “pemanfaat air
membayar jasa pengelolaan sumber daya air”
• Peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air hanya dapat dilakukan
dibawah izin dari pemerintah
• Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi cenderung melihat konstitusionalitas
norma (validitas norma), bukan keberlakuannya (eficacy norma)
• Modifikasi cuaca hanya dapat dilakukan dengan izin pemerintah
2. Metode penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi
a. Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi mengutamakan penafsiran historis dan
tekstual terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang dikuatkan dengan
penafsiran doktrinal, fungsional dan komparatif
b. Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, Mahkamah Konstitusi cenderung menafsirkan Undang-undang yang
dimohonkan dengan penafsiran fungsional (terutama izin). Sehingga Undang-
undang ini harus dilihat dulu penerapannya dalam ketentuan pelaksanannya (PP,
Perpres, Kepmen, Dll)
Penafsiran fungsional dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air cenderung melihat pemerintah secara
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
B. Saran
Beberapa saran yang ingin disampaikan dari hasil penulisan skripsi ini adalah:
1. Perlu adanya gambaran yang jelas tentang metode penafsiran yang digunakan
hakim dalam setiap putusannya, sehingga dapat memudahkan para pihak untuk
memahami putusan Mahkamah Konstitusi.
2. Bila klausula Conditionally Constitutional masih digunakan pada putusan
Mahkamah Konstitusi beerikutnya, maka harus ada penjelasan yang memadai
tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk menguji kembali materi
muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian unang-undang yang telah diuji.
3. Perlu ada penjelasan tentang keterkaitan antara klausula Conditionally
Constitutional dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat, oleh Mahkamah Konstitusi dalam penafsiran hukum dan
pertimbangan hukumnya.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis, Toko
Gunung Agung: Jakarta, 2002.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran
Hukum Media dan HAM. Konstitusi Press: Jakarta, 2005.
---------Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Jakarta, 2006.
Fatmawati, Hak Menguji (Toetsingsrecht) Yang Dimilki Dalam Sistem Hukum Indonesia,
Raja Grafindo Persada: Jakarta
Fuady, Munir. Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya
Bakti: Bandung, 2003.
Gilissen, John dan Frits Gorle. Sejarah Hukum: Suatu Pengantar, judul asli Historische
Inleiding tot het Recht, disadur oleh Freddy Tengker, Editor ahli Lili Rasjidi,
Refika Aditama: Bandung, 2005.
Gunadi, Tom. Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD’45, Angkasa: Bandung,
1990..
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media:
Malang, 2006.
Malaka, Tan. Madilog: Materialisme Dialektika dan Logika, Pusat Data Indikator:
Jakarta, 1999.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
---------Membedah Hukum Progresif, kumpulan tulisan, editor: Joni Emirzon, I Gede A.B.
wiranata, dan Firman Muntaqo, Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2006.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi,
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006.
Strong, C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk
Konstitusi Dunia, diterbitkan kerjasama antara Penerbit Nuansa dengan Penerbit
Nusamedia, Bandung: 2004. terjemahan dari Modern Political Constitutions: An
Introduction to the Comparative Study Of Their History and Existing Form, The
English Book Society and Sidgwick & Jackson Limited: London, 1966.
Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda. Teori Dan Hukum Konstitusi, Raja
Grafindo Persada: Jakarta, 2005.
Yudho, Winarno et. Al, Privatisasi Ketenagalistrikan, Minyak dan Gas Bumi: Dalam
Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Kebijakan Politik Pemerintah, dan
Penerapannya Di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia bekerjasama dengan
Konrad-Adenauer-Stiftung: Jakarta, 2005.
No Reg: 223/PK-VI/03/07
Penulis : Yance Arizona
Kategori : Skripsi Ujian Komprehensif Tanggal 9 Maret 2007
A. Irmanputra Sidin, In Defense of RI’s Constitution Economy, The Jakarta Post, 5 Januari
2005
Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketiga, Balai Pustaka, 1990.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara
Dalam Pengujian Undang-Undang