You are on page 1of 42

SKRIPSI

KOMUNIKASI PEMASARAN LEMBAGA NIRLABA RUMAH SAKIT DAN APLIKASINYA PADA MANAJEMEN MEREK
( Studi Kasus Strategi Ekuitas Merek Pada RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta )

Disusun Oleh: Nama NIM Konsentrasi : Andita Ramadhani : 07331023 : Public Relations

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

A. Latar Belakang Industri rumah sakit Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti beberapa tahun belakangan ini. Kebutuhan akan layanan rumah sakit yang bermutu semakin meningkat seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan derajat kesehatan masyarakat. Disamping itu, peningkatan jumlah industri rumah sakit juga didasarkan pada berbagai peraturan dan perundang-undangan yang bertujuan untuk mendorong investasi dan menciptakan kondisi bisnis dan jasa pelayanan rumah sakit yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya pemerintah yang berkewajiban menyediakan jasa layanan kesehatan kepada masyarakat, namun para pelaku bisnis akan turut aktif berinvestasi di industri rumah sakit Indonesia. Keputusan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) No.96 dan No.118 tahun 2000, mengatur bahwa investor asing dapat menguasai 49% kepemilikan saham dari suatu instansi rumah sakit. Peraturan ini membuktikan pemerintah telah sejak lama mendukung swasta dan investor asing untuk berperan dalam pengembangan rumah sakit di Indonesia, sehingga peraturan tersebut semakin mendorong maraknya pembangunan rumah sakit nasional berjenis joint venture dengan pemodal asing (Azhary, Economic Review ,2009). Jumlah rumah sakit di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 1.320 unit dan 657 unit diantaranya adalah milik swasta, kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 1.354 unit dan 699 unit rumah sakit swasta, sedangkan pada tahun 2010 telah mencapai 1.523 unit dengan ratarata pertumbuhan jumlah rumah sakit pertahun sekitar 1,14%. Jumlah rumah sakit swasta di Indonesia lebih banyak bila dibandingkan dengan rumah sakit pemerintah yang hanya berkisar kurang dari 50% (Depkes, 2011). data belum valid Selain dukungan dari pemerintah, potensi kebutuhan rumah sakit di Indonesia dapat ditunjukkan dari rendahnya rasio tempat tidur rumah sakit dibandingkan dengan jumlah penduduk. Apabila jumlah tempat tidur rumah sakit di Indonesia mencapai 143.000 sementara populasi di Indonesia mencapai 226 juta, maka perbandingannya adalah sekitar 1:1.580 (Depkes, 2008). Kondisi ini menunjukkan besarnya potensi pengembangan dan pemanfaatan rumah sakit di Indonesia, sehingga prospek bisnis rumah sakit di Indonesia untuk beberapa tahun kedepan masih terbuka lebar.

No.
1. 2. 3. 4. 5.

Kepemilikan
Departemen Kesehatan Pemerintah Provinsi / Kabupaten / Kota TNI / Polri BUMN Swasta Total

2003
31 396 112 78 617 1.234

2004
31 404 112 78 621 1.246

2005
31 421 112 78 626 1.268

2006
31 433 112 78 638 1.292

2007
31 446 112 78 652 1.319

2008
31 446 112 78 653 1.320

2009
31

2010
31

112 78 699 1.354

112 78

1.523

Sumber: Departemen Kesehatan RI (www.depkes.go.id)

Peningkatan jumlah rumah sakit membuat persaingan di bidang pelayanan kesehatan semakin ketat. Berubahnya nilai-nilai secara global dan masuknya Indonesia kedalam persaingan pasar bebas mengakibatkan mayoritas rumah sakit di Indonesia mulai bergeser ke arah sosio ekonomis. Selain mengedepankan praktik bisnis, industri rumah sakit harus tetap mengutamakan unsur-unsur sosial seperti tanggung jawab moral dan kemanusiaan (humanity) agar dapat mempertahankan mutu dan standar pelayanan rumah sakit. Trisnantoro (2005:49) mengidentifikasi kunci persaingan dalam bisnis rumah sakit yang harus dioptimalkan terdiri dari kualitas dan kuantitas dokter, kualitas peralatan dan teknologi yang ditawarkan, lokasi rumah sakit, pengenalan nama rumah sakit, kualitas pelayanan tenaga perawat, kemudahan untuk pengurusan administrasi, biaya, serta penentuan segmen pasar yang dilayani. Dalam menyikapi hal tersebut, manajemen rumah sakit harus mengubah paradigma pengelolaan rumah sakit ke arah sudut pandang konsumen, peningkatan pelayanan, hingga ke arah komunikasi pemasaran rumah sakit. Hal ini ditujukan agar instansi rumah sakit dapat mempertahankan eksistensinya dan berkembang menjadi lebih baik dalam hal pelayanan dan citra positif yang dimiliki. Instansi rumah Sakit merupakan suatu organisasi yang lekat dengan reputasi dan citra organisasi. Sebagian besar kepercayaan pelanggan pada rumah sakit berawal dari pengetahuannya terhadap citra dan reputasi organisasi. Salah satu upaya untuk membentuk dan mempertahankan citra positif adalah dengan melakukan kegiatan pemasaran seperti promosi. Rumah Sakit sebagai
3

penyedia pelayanan kesehatan membutuhkan media promosi untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun, pelayanan dalam bisnis rumah sakit merupakan jenis pelayanan yang unik, sehingga dalam melakukan kegiatan promosi harus mengacu pada Pedoman Etika Promosi Rumah Sakit yang telah disusun oleh PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) dan berbeda dengan strategi promosi konvensional yang diterapkan pada bidang jasa pelayanan lainnya. Promosi merupakan upaya yang tidak terlepas dari aktivitas komunikasi pemasaran. Penggunaan komunikasi pemasaran yang tepat dapat membantu untuk mengatasi persaingan bisnis rumah sakit, sebab dengan komunikasi pemasaran masyarakat dapat mengetahui informasi tentang produk dan layanan yang tersedia serta dapat memperkuat citra dan nama baik instansi rumah sakit. Hal ini dapat dipahami dengan menguraikan kedua harmonisasi unsur pokoknya, yaitu komunikasi dan pemasaran. Komunikasi adalah proses penyampaian pemikiran dan pemahaman antar individu. Sedangkan pemasaran adalah kegiatan perusahaan dalam mentransfer nilai-nilai antara mereka dan pelanggannya. Sehingga jika digabungkan, komunikasi pemasaran merepresentasikan gabungan kedua unsur kedalam bauran pemasaran merek, yang memfasilitasi terjadinya pertukaran dengan menciptakan arti dan nilai kepada pelanggannya (Alifahmi, 2008:xviii). Komunikator pemasaran, didalam berbagai kapasitas mereka (pengiklan, public relations, wiraniaga, dsb) mengembangkan dan menyampaikan pesan dari obyek yang berbeda seperti produk, jasa, atau seorang individu. Walaupun istilah-istilah tersebut menjelaskan obyek pemasaran yang berbeda, namun terdapat satu istilah yang dapat meringkas keseluruhan bentuk obyek pemasaran, yaitu merek. Hal ini dikarenakan, sebagian besar bentuk komunikasi pemasaran terjadi di tingkat merek (Shimp, 2003:7). Manajemen merek merupakan salah satu alat untuk meningkatkan dan mempertahankan citra produk maupun citra organisasi. Secara internal, merek yang kuat memberikan pemahaman kepada para karyawan tentang posisi merek tersebut dan hal-hal yang dibutuhkan untuk menopang reputasi atau janji yang diberikan merek tersebut. Manfaat lain yang diperoleh dari merek yang kuat yaitu memungkinkan perusahaan untuk menarik calon karyawan terbaik. Para karyawan yang memberikan pelayanan terbaik dapat menciptakan loyalitas pelanggan, sehingga pelanggan yang loyal mungkin akan mengabaikan jika suatu saat perusahaan membuat kesalahan (Susanto &

Wijanarko, 2004:14). Dalam instansi rumah sakit, pengelolaan merek terjadi di tingkat organisasi dan berkaitan dengan nama suatu instansi yang menjadi nama merek (brand name) dan berpengaruh pada reputasi dan citra organisasi (brand image). Citra merupakan aset intangible yang penting dari suatu organisasi. Keasadaran, pengertian, dan dukungan publik tidak akan timbul dengan sendirinya. Organisasi harus berupaya untuk membangun dan mempertahankan citra di mata publiknya sekaligus juga berupaya untuk menumbuhkan kepercayaan publik pada organisasi. Fungsi Hubungan Masyarakat atau Public Relations (PR) berperan penting dalam upaya pengelolaan merek untuk meningkatkan maupun mempertahankan citra organisasi. Hal ini mengacu pada definisi PR yang menjadi jembatan utama antara organisasi dengan publiknya. Tugas-tugas PR senantiasa berhubungan erat dengan kepuasaan pelanggan dan citra organisasi. Citra organisasi didapat dari upaya publisitas merek (brand publicity) yang mampu membangun kesadaran terhadap suatu merek (brand awareness) dan menciptakan pengetahuan terhadap suatu merek (Ardianto, 2008:136). Kegiatan pemasaran rumah sakit yang dibatasi dengan adanya kode etik membuat instansiinstansi rumah sakit di Indonesia tidak leluasa dalam menjalankan aktivitas pemasarannya. Namun, instansi rumah sakit tetap dituntut untuk dapat mempertahankan citra ditengah-tengah arus persaingan jasa layanan kesehatan sebagai konsekuensi dari liberalisasi perdagangan. RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah rumah sakit umum kelas A yang memberikan pelayanan medik, rujukan medik dan kesehatan serta tempat pendidikan, penelitian dan pengembangan medik dan non medik yang diintegrasikan dalam pelayanan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. RSUP Dr. Sardjito dipilih sebagai objek penelitian karena berdasarkan status kepemilikan, rumah sakit ini merupakan rumah sakit pemerintah yang berdiri sejak tahun 1954. RSUP Dr. Sardjito sebagai rumah sakit yang tergolong telah lama berdiri mampu mempertahankan citra positif organisasi ditengah-tengah perkembangan jumlah rumah sakit lain khususnya rumah sakit swasta. Hal ini terbukti dengan dijadikannya RSUP Dr. Sardjito sebagai rumah sakit rujukan untuk daerah Provinsi D.I.Y dan Jawa Tengah bagian selatan. Penelitian ini berupaya untuk menganalisis tugas-tugas kehumasan RSUP Dr. Sardjito
5

Yogyakarta dan aplikasinya pada pengelolaan merek yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan citra organisasi. Manajemen merek di dalam penelitian ini menggunakan konsep publisitas merek organisasi (brand publicity) dan kekuatan merek organisasi (brand equity). Dengan adanya penelitian ini, instansi Rumah Sakit mampu meningkatkan dan mempertahankan citra positif dengan memperhatikan fungsi-fungsi kehumasan dalam pengelolaan merek organisasi (brand image). B. Rumusan Masalah Penelitian: 1. Bagaimana perencanaan atau perancangan strategi komunikasi pemasaran RSUP Dr. Sardjito? 2. Bagaimana pelaksanaan strategi komunikasi pemasaran RSUP Dr. Sardjito? 3. Bagaimana dampak publisitas merek sebagai bagian dari strategi komunikasi pemasaran terhadap kekuatan merek organisasi (brand equity)? 4. Apa yang menjadi indikator keberhasilan strategi komunikasi pemasaran?

C. Tujuan Penelitian: 1. Mengetahui perencanaan strategi komunikasi pemasaran RSUP Dr. Sardjito. 2. Mengetahui proses pelaksanaan strategi komunikasi pemasaran RSUP Dr. Sardjito. 3. Menganalisa dampak publisitas merek sebagai bagian dari strategi komunikasi pemasaran terhadap kekuatan merek organisasi (brand equity). 4. Mengetahui indikator keberhasilan strategi komunikasi pemasaran.

D. Manfaat Penelitian: 1. Dari segi akademis, manfaat penelitian ini adalah: a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian teoretik mengenai

komunikasi pemasaran rumah sakit khususnya dalam konteks manajemen merek (brand equity dan brand publicity) organisasi. b. Penelitian diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya yang memiliki bidang sejenis.

2. Dari segi praktis, manfaat penelitian ini adalah: a. Bagi masyarakat, konsep manajemen merek diharapkan dapat menjadi rujukan dalam melihat dan menilai citra sebuah perusahaan. b. Bagi perusahaan layanan kesehatan yang dirujuk, penelitian ini bermanfaat sebagai masukan untuk menerapkan konsep pengelolaan ekuitas merek dan publisitas merek efektif sebagai upaya kualitas mempertahankan pelayanan citra meningkatkan masyarakat. c. Bagi peneliti, konsep manajemen merek dalam industri rumah sakit dapat menjadi bahan pengembangan bagi studi disiplin ilmu komunikasi. kesehatan yang dan pada

E. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya mengenai strategi ekuitas merek dilakukan oleh Arif Hadianto pada tahun 2005 yang berjudul Strategi Komunikasi Pemasaran Dalam Branding Surat Kabar (Studi Kasus Strategi Komunikasi Pemasaran Dalam Mempertahankan Brand Equity Kompas Melalui Peningkatan Brand Awareness Suplemen Daerah Edisi Jogja). Penelitian tersebut menggunakan
7

teori Ekuitas Merek dari David A. Aaker dan developing road map the brand dari Terrence A. Shimp dan Earl J. Wilkinson. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa strategi komunikasi pemasaran dalam membangun brand equity kompas adalah melalui tahapan analisa permasalahan pemasaran surat kabar, perencanaan, building brand, implementasi strategi komunikasi pemasaran, dan evaluasi pelaksanaan komunikasi pemasaran. Dalam membangun ekuitas merek kompas di Jogja, manajemen memilih kombinasi bauran komunikasi pemasaran yang terdiri dari periklanan, kehumasan, personal selling, promosi penjualan, dan pemasaran langsung. Hal itu bertujuan untuk menyeimbangkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing elemen. Selain itu, penelitian lain yang membahas mengenai komunikasi pemasaran terpadu atau Integrated Marketing Communication (IMC) dilakukan oleh Leciana Widya Sari pada tahun 2007 yang berjudul Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu (IMC) Telkomsel Simpati di Regional II Jawa Barat (Studi Deskriptif mengenai Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu Telkomsel Simpati di Regional II Jawa Barat). Penelitian tersebut menggunakan teori komunikasi pemasaran dari Philip Kotler dan Gary Armstrong serta strategi komunikasi pemasaran dari Lawrence R. Jacob. Hasil penelitian menunjukkan tahapan yang digunakan dalam strategi komunikasi pemasaran terpadu pada Telkomsel Jabar meliputi proses analisis situasi, identifikasi khalayak sasaran, penentuan tujuan komunikasi pemasaran, penetapan anggaran komunikasi pemasaran, dan pengembangan program komunikasi pemasaran. Disamping itu, penelitian ini menggunakan bauran promosi dasar yang terdiri dari push dan pull strategy serta siklus kehidupan produk (product life cycle). Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dari penelitian sebelumnya dari segi obyek, subyek, dan fokus yang digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti akan membahas mengenai komunikasi pemasaran rumah sakit melalui upaya pengelolaan merek. Peneliti menggunakan konsep brand equity dan brand publicity sebagai salah satu upaya pencitraan terhadap merek organisasi. Selain itu, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori komunikasi pemasaran terpadu dari George E. Belch dan Michael A. Belch, teori ekuitas merek dari David A. Aaker, serta teori publisitas merek dari Tom Duncan. Teori-teori ini menyoroti bentuk kesinambungan antara komunikasi pemasaran terpadu dalam proses pengembangan dan mempertahankan identitas serta kekuatan merek yang dihasilkan melalui upaya publisitas merek.

2.

Komunikasi Pemasaran Terpadu

/ Integrated Marketing Communications (IMC) Dewasa ini terdapat pandangan baru tentang komunikasi sebagai dialog interaktif antara perusahaan dan pelanggannya yang berlangsung selama tahap pra-penjualan, penjualan, pemakaian, dan pasca-pemakaian. Setiap kontak merek memberikan kesan yang dapat memperkuat atau memperlemah pandangan pelanggan mengenai perusahaan tersebut. Komunikasi menjadi aspek penting dalam keseluruhan proses pemasaran. Don E. Schultz berpendapat bahwa pemasaran di era 1990-an adalah komunikasi dan komunikasi adalah pemasaran (Ries&Trout, 2001:6). Dalam komunikasi pemasaran terdapat dua unsur pokok, yaitu komunikasi dan pemasaran. Komunikasi dipandang sebagai proses penyampaian pesan antar individu, atau antara organisasi dengan individu untuk mencapai sebuah pemahaman bersama (Mulyana, 2007:61). Sedangkan Belch&Belch (2007:8) mengemukakan definisi konsep pemasaran sebagai fungsi organisasi dan seperangkat proses untuk kreasi, komunikasi, dan penyampaian nilai kepada para pelanggan serta mengelola hubungan pelanggan yang memberikan manfaat bagi organisasi dan stakeholders yang memiliki hubungan erat dengan organisasi. Komunikasi pemasaran merupakan gabungan dari dua pengertian tersebut. Belch&Belch (2007:11) mengutip definisi dari Don E. Schultz yang menyatakan bahwa komunikasi pemasaran terpadu sebagai suatu fungsi manajemen strategis atau bisnis strategis (perencanaan atau formulasi, implementasi hingga evaluasi strategi), program komunikasi merek yang persuasif dalam jangka panjang, menjangkau khalayak internal dan eksternal serta mencapai tujuan finansial jangka pendek dan membangun nilai jangka panjang bagi suatu merek dan pemegang saham. Berdasarkan definisi tersebut, esensi komunikasi pemasaran adalah menggabungkan tiga disiplin ilmu dan profesi yaitu strategi, pemasaran, dan komunikasi. Hifni Alifahmi (2008:xxi) menggambarkan hubungan tersebut kedalam segitiga emas Strategic Marketing Communications yang menggunakan komunikasi pemasaran strategis sebagai titik sentralnya, yakni perpaduan antara konsep manajemen strategis yang berurusan dengan strategi bisnis atau korporat dengan pemasaran dan komunikasi.

Spirit

Sense

Sense

Spirit

Konsep Strategic Marketing Communication sebagai titik sentral identik dengan definisi komunikasi pemasaran terpadu yang dipaparkan oleh Don E. Schultz dalam buku Belch&Belch. Masing-masing elemen dalam segitiga emas tersebut perlu memiliki sense of strategy, sense of marketing, dan sense of communications sehingga akhirnya menjadi spirit yang terus bergerak. Integrasi dari tiga disiplin ilmu tersebut menciptakan tujuh dimensi komunikasi pemasaran terpadu untuk mencapai tujuan organisasi, yaitu (Alifahmi, 2008:7): 1) Reputasi. Muara dari keseluruhan proses IMC adalah

terbangunnya reputasi organisasi. Pencapaian reputasi tersebut merupakan hasil penjabaran visi, misi, dan budaya organisasi menjadi strategi dan program aksi. 2) Pesan. Keselarasan tujuan, strategi, dan program komunikasi organisasi serta promosi produk sangat penting untuk menghasilkan kesan. 3) Khalayak. Keselarasan dalam hal ini dapat diciptakan secara bertahap melalui segmen pasar yang fokus dan potensial. 4) Media. Pemilihan media komunikasi yang sesuai dengan reputasi yang hendak dibangun dan khalayak yang akan dibidik. 5) Insani. Untuk menciptakan kerjasama antarbagian, masing-

masing profesi antara insan pemasaran, komunikasi, penjualan harus memahami konsep IMC dengan paradigma komunikasi terpadu. 6) Organisasi. Keselarasan dalam organisasi memerlukan fungsi komunikasi pemasaran dalam organisasi. Pengembangan organisasi idealnya mengarah kepada penerapan IMC. 7) Kampanye atau Aksi. Dalam pelaksanaan ini, masing-masing profesi berbaur dan bekerjasama untuk memahami dan mengetahui posisi produk yang dikaitkan dengan penerimaan khalayak yang dikaji dari konsep AIDA. Kerangka AIDA tersebut terdiri dari empat variabel pokok dan saling berhubungan dengan tugas-tugas promosi, yaitu (Swastha, 2008:347): a) Mendapatkan perhatian (Attention) b) Mempertahankan minat (Interest) c) Menimbulkan keinginan (Desire) d) Memperoleh perlakuan (Action)

Saat ini, komunikasi pemasaran terpadu telah dianggap sebagai sebuah filosofi komunikasi pemasaran yang memiliki ciri permanen. Kelima ciri-ciri utama tersebut antara lain (Shimp, 2003:24): 1) Mempengaruhi perilaku. Tujuan IMC adalah untuk

mempengaruhi perilaku khalayak sasarannya. Komunikasi pemasaran harus melakukan lebih dari sekedar mempengaruhi kesadaran merek atau memperbaiki perilaku konsumen terhadap merek. Sebaliknya, kesuksesan IMC membutuhkan usaha-usaha komunikasi yang diarahkan kepada peningkatan beberapa bentuk
11

respon dari perilaku konsumen. Pada akhirnya, kesuksesan program IMC dinilai dengan memperhatikan keberhasilan program dalam mempengaruhi perilaku. 2) Berawal dari pelanggan dan calon pelanggan. Proses IMC diawali dari pelanggan atau calon pelanggan, kemudian berbalik kepada komunikator merek untuk menentukan metode yang paling tepat dan efektif dalam mengembangkan program komunikasi persuasif. IMC cenderung menggunakan pendekatan outside in untuk menentukan metode komunikasi yang paling baik dalam melayani kebutuhan informasi pelanggan serta memotivasi mereka untuk membeli merek. 3) Menjalin hubungan. Didalam komunikasi pemasaran yang sukses membutuhkan terjalinnya hubungan antara merek dengan pelanggannya. Dapat dikatakan bahwa pembinaan hubungan adalah kunci pemasaran dan IMC merupakan kunci terjalinnya hubungan tersebut. Suatu hubungan merupakan pengait yang tahan lama antara suatu merek dengan konsumennya, ia dapat membangkitkan pembelian yang berulang dan loyalitas terhadap merek. 4) Menciptakan sinergi, merupakan upaya untuk menciptakan sinergi atau kesinambungan dari seluruh elemen komunikasi (iklan, promosi penjualan, event, humas, dll) harus berbicara dalam satu suara. Koordinasi tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk menghasilkan citra merek yang kuat dan utuh, serta dapat membuat konsumen melakukan aksi. 5) Menggunakan seluruh bentuk kontak. Proses IMC

menggunakan seluruh bentuk komunikasi yang menghubungkan merek dengan pelanggan sebagai jalur penyampai pesan yang potensial. Kontak merupakan segala jenis media penyampai

Develop IMC Program Budget Determination Analysis Promotional Program Situation Analysis Review of Marketing Plan of of Communications Process

pesan yang dapat meraih pelanggan dan menyampaikan merek yang dikomunikasikan melalui cara-cara yang mendukung. Dalam mengembangkan strategi komunikasi pemasaran terpadu, suatu organisasi idealnya mengkombinasikan berbagai elemen komunikasi pemasaran seperti periklanan, pemasaran langsung, internet markeing, promosi penjualan, public relations, dan penjualan personal untuk menyelaraskan kekuatan dan kelemahan dari masing-masing elemen. Para pemasar harus mempertimbangkan elemen-elemen yang akan dipilih untuk dapat mencapai tujuan komunikasi pemasaran. Perencanaan memainkan peran penting dalam pengembangan dan implementasi program komunikasi pemasaran. Belch&Belch (2007:26) merumuskan tahapan perencanaan IMC yang menjadi panduan untuk menyusun strategi komunikasi pemasaran terpadu. Perencanaan tersebut terbagi menjadi enam tahap yang meliputi review rencana pemasaran, analisis situasi, analisis proses komunikasi, penetapan anggaran, sasaran dan strategi komunikasi pemasaran, strategi pesan dan media, integrasi bauran komunikasi pemasaran, serta evaluasi dan kontrol. Framework An Integrated Marketing Communications Planning Model

13

Monitor, Evaluate, and Mar.Comm Strategies Integrate and ImplementControl IMC program Advertising Direct Marketing Internet Marketing Sales Promotion Public RelationsPersonnal Selling

1) Tahap pertama, Mempelajari Rencana Pemasaran Sebelum mengembangkan rencana promosi, organisasi harus memahami

kedudukannya, posisi terkini organisasi, tujuan menciptakan produk atau jasa, dan bagaimana rancangan sistem komunikasi untuk dapat mencapai tujuan. Sebagian besar informasi tersebut berisi tentang rencana pemasaran yang memiliki lima elemen dasar, yaitu: a) Analisis situasi organisasi yang terdiri dari internal marketing dan analisis eksternal kompetisi pasar. b) Tujuan pemasaran yang memberikan

petunjuk mengenai aktivitas pemasaran dan mekanismenya dalam mengukur kinerja pemasaran. c) Strategi dan program pemasaran yang

menelaah sasaran pemasaran yang hendak dicapai, termasuk penetapan targeting dan segmenting. d) Implementasi strategi pemasaran, termasuk menentukan pembagian job desk atau tugastugas yang akan dipertanggungjawabkan.

e) Proses monitoring dan evaluasi. 2) Tahap kedua, Analisis Situasi Program Promosi Terdiri dari analisis internal dan analisis eksternal. Aspek analisis internal meliputi penilaian kekuatan merek organisasi serta pelayanan dari perspektif citra (image). Sedangkan aspek analisis eksternal terfokus pada karakteristik konsumen, keputusan pembelian atau penggunaan, dan kompetitor. 3) Tahap ketiga, Analisis Proses Komunikasi Tahapan ini mempelajari cara organisasi dalam menciptakan komunikasi efektif dengan publik. Organisasi harus mempertimbangkan efek yang dihasilkan dari perencanaan program pemasaran. Hal ini akan mempengaruhi kesadaran dan pengetahuan konsumen terhadap suatu produk atau jasa. Selain itu, proses komunikasi dari Harold Lasswell perlu dipertimbangkan dalam tahap ini agar mencapai komunikasi yang efektif, yaitu:

Source Message

Channel

Receiver

Effect

4) Tahap keempat, Menetapkan Anggaran Idealnya, jumlah anggaran yang dikeluarkan ditentukan oleh strategi komunikasi (poin 3) yang telah terlaksana. Untuk dapat menghemat biaya, salah satu strategi komunikasi yang dapat digunakan adalah melalui publisitas merek (brand publicity). 5) Tahap kelima, Mengembangkan dan Mengimplementasikan Program IMC Tahap inilah yang menentukan keberhasilan implementasi rencana komunikasi
15

Identifying Markets Determining Market SegmentationMarket to Target Selecting a Positioning Through Market Strategy

pemasaran. Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), kesiapan organisasi, turut menentukan kualitas pemasaran internet, penyebaran siaran pers, hingga penyelenggaraan konferensi pers. 6) Tahap keenam, Monitoring, Evaluasi, dan Kontrol Evaluasi ketepatan strategi dan pengukuran tiga lapis efektivitas program yang terdiri dari: a) Output, mengukur pemuatan pesan melalui media. b) Outgrowth, mengukur pemahaman publik terhadap isi pesan. c) Outcome, mengukur pengaruh pesan

terhadap perubahan opini, persepsi, sikap, dan perilaku khalayak.

Selain merumuskan tahap perencanaan IMC, hal penting yang harus dilakukan adalah mengembangkan strategi pemasaran untuk memuaskan konsumen atau pelanggan yang berbeda. Karakteristik perbedaan kebutuhan pelanggan tersebut dipetakan menjadi mapping strategy yang terdiri dari tiga elemen yaitu segmenting, targeting, dan positioning. Perencanaan programprogram pemasaran yang telah matang tidak akan berhasil tanpa melakukan mapping strategy terlebih dahulu. Belch&Belch (2007:46) menyebutnya sebagai target marketing yang terdiri dari empat langkah, yaitu:

1) Identifikasi Pasar Ketika memanfaatkan strategi target marketing, para pemasar mengidentifikasi kebutuhan beberapa kelompok orang secara spesifik, kemudian memilih salah satu diantara kelompok tersebut sebagai target, dan mengembangkan program-program pemasaran. Pendekatan ini mampu meningkatkan perubahan dalam pasar, dengan kata lain konsumen lebih tersegmentasikan dilihat dari segi kebutuhan mereka, sikap, dan juga gaya hidup. Para pemasar harus memahami konsumen agar dapat merancang program pemasaran yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. 2) Segmentasi Pasar Segmentasi pasar dapat diartikan sebagai proses pengelompokan pasar keseluruhan yang heterogen menjadi kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan dalam hal kebutuhan, keinginan, perilaku, dan respons terhadap program pemasaran yang spesifik. Basis segmentasi pasar terpola menjadi beberapa bagian yaitu geografis, demografis, psikografis, sosial, dan perilaku. 3) Memilih Target Pasar Targeting berfungsi untuk mengevaluasi daya tarik masing-masing segmen dan memilih satu atau lebih segmen sasaran yang ingin dilayani berdasarkan potensi laba (biaya melayani setiap segmen) segmen tersebut dan kesesuaiannya dengan strategi korporat. Dalam pemilihan segmen pasar tersebut, setiap perusahaan perlu mempertimbangkan lima alternatif pola seleksi pasar sasaran (Tjiptono, 2005:71), antara lain: a) Single Segment Concentration Pemilihan satu segmen pasar tunggal. Melalui keputusan berkonsentrasi pada hanya satu segmen, perusahaan mendapatkan pemahaman mengenai kebutuhan segmen bersangkutan dan dapat mewujudkan
17

posisi pasar dan citra merek yang kuat. b) Selective Specialization Perusahaan memilih sejumlah segmen pasar yang menarik dan sesuai dengan tujuan dan sumber daya yang dimiliki.

c) Market Specialization Perusahaan berspesialisasi pada upaya melayani berbagai kebutuhan dari kelompok atau segmen pelanggan tertentu. Perusahaan bias mendapatkan reputasi yang kuat dalam melayani kelompok tersebut dan menjadi acuan pokok bagi pelanggan bersangkutan. d) Product Specialization Dalam spesialisasi produk, perusahaan memusatkan diri pada penyediaan jasa spesifik tertentu yang dipasarkan kepada berbagai segmen pasar. Melalui strategi ini, perusahaan memperoleh reputasi kuat dalam bidang produk yang spesifik. e) Full Market Coverage Perusahaan melayani semua kelompok pelanggan dengan semua produk yang mungkin dibutuhkan. 4) Positioning Pasar Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Positioning: The Battle For Your Mind (2001:24) mengungkapkan bahwa persaingan menguasai benak konsumen (mind share) menjadi isu utama dalam bagian mapping strategy ini. Para pemasar harus memposisikan merek yang tepat dalam benak pelanggan. Apabila suatu produk atau jasa terbilang kalah di bidang market share, namun tetap memiliki mind share atau heart share yang masih kuat, maka peluang untuk meraih market share yang hilang masih terbuka lebar. Ries dan Trout mengemukakan definisi positioning,

Positioning is something (perception) that happens in the minds of the target market. It is the aggregate perception the market has of a particular company, product or service in relation to their perceptions of the competitors in the same category. Positioning merupakan persepsi yang terjadi di benak konsumen dan merupakan keseluruhan persepsi pasar terhadap perusahaan, produk atau jasa yang membedakannya dengan kompetitor. Proses positioning mencakup:

a) Menggambarkan kondisi pasar yang akan dijadikan tempat bersaing. b) Mengidentifikasi atribut-atribut yang

menggambarkan product space. c) Mengumpulkan informasi dari beberapa pelanggan mengenai persepsi mereka terhadap produk. d) Menentukan disampaikan. e) Menentukan posisi terkini produk dalam product space. f) Menentukan atau menyeleksi target pasar. g) Menguji kelayakan antara posisi produk dengan posisi yang ideal. h) Position. Setelah menentukan mapping strategy, selanjutnya yang perlu dilakukan adalah
19

pesan

produk

yang

akan

mengimplementasikan marketing mix atau bauran pemasaran yang merupakan komponen penting dalam pembuatan program pemasaran. Marketing mix didefinisikan oleh Kotler sebagai kombinasi dari empat atau lebih variabel kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran perusahaan. Kegiatan-kegiatan ini perlu dikombinasikan dan dikoordinir agar perusahaan dapat melakukan tugas pemasarannya seefektif mungkin, sehingga perusahaan tidak hanya memilih kombinasi yang terbaik saja, namun juga harus mengkoordinir berbagai macam elemen dari marketing mix untuk melaksanakan program pemasaran secara efektif (Kotler, 2005:53). Marketing mix terdiri dari empat elemen yang dikenal dengan 4P, yaitu: 1) Products Produk merupakan bentuk penawaran organisasi yang ditujukan untuk mencapai tujuan organisasi melalui pemuasan kebutuhan dan keinginan pelanggan. 2) Pricing Keputusan penentuan harga yang berkenaan dengan kebijakan strategis dan taktis seperti tingkat harga, struktur diskon, dan syarat pembayaran. 3) Place Keputusan distribusi yang menyangkut kemudahan akses bagi para pelanggan. 4) Promotion Kegiatan mengkomunikasikan pesan secara efektif terhadap suatu barang maupun jasa yang ditawarkan. Dalam konteks penelitian ini, obyek yang digunakan adalah industri jasa rumah sakit dan produk yang ditawarkan berupa produk jasa, sehingga terdapat penambahan elemen dalam marketing mix. Hal ini dikarenakan bahwa penerapan 4P dalam marketing mix terlampau terbatas atau sempit untuk perusahaan layanan jasa yang memiliki keunikan tersendiri. Produk jasa memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan produk barang dan berdampak pada cara memasarkannya . Tjiptono (2005:18) menunjukkan beberapa karakteristik jasa, yaitu: 1) Intangibility

Apabila barang merupakan suatu obyek, maka jasa adalah suatu perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja, atau usaha. Oleh karena itu, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi. 2) Inseparability Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual dan dikonsumsi. Namun, jasa pada umumnya dijual terlebih dahulu, kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Misalnya, dokter tidak dapat memproduksi jasanya tanpa kehadiran pasien. Pasien secara tidak langsung ikut terlibat dalam proses produksi dengan cara menjawab pertanyaan dokter dan menjelaskan gejala penyakit yang dirasakannya. 3) Variability Jasa bersifat sangat variabel karena memiliki banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung kepada siapa, kapan, dan dimana jasa tersebut diproduksi. 4) Perishability Jasa bersifat tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Misalnya, ruang rawat inap dan ruang operasi yang tidak digunakan akan berlalu atau hilang karena tidak dapat disimpan. 5) Lack of Ownership Pada pembelian barang, konsumen memiliki hak penuh atas penggunaan dan manfaat produk yang dibelinya. Sedangkan pada jasa, pelanggan hanya memiliki akses personal atas suatu jasa dengan jangka waktu yang terbatas.

Booms dan Bitner mengusulkan 3P tambahan untuk pemasaran jasa, sehingga marketing mix untuk produk jasa terdiri dari 7P. Adapun 3P tambahan tersebut yaitu (Kotler, 2005:116):

21

1) People Bagi sebagian besar jasa, orang merupakan unsur vital dalam bauran pemasaran. Oleh sebab itu, setiap organisasi jasa harus secara jelas menentukan apa yang diharapkan dari setiap karyawan dalam interaksinya dengan pelanggan. 2) Physical Evidence Karakteristik intangible pada jasa menyebabkan pelanggan tidak dapat menilai suatu jasa sebelum mengkonsumsinya. Oleh karenanya, organisasi jasa harus menawarkan bukti fisik dari karakteristik jasa. Misalnya, pemilihan seragam perawat, ruang praktik dokter anak yang didekorasi dengan nuansa anak-anak, dll. 3) Process Proses produksi atau konsumsi merupakan faktor penting bagi konsumen. Misalnya, kenyamanan pasien sangat terpengaruh oleh cara perawat melayani mereka.

3. Brand (Merek) Keseluruhan program-program IMC dibuat, dirancang, dan dikomunikasikan untuk memaksimalkan nilai positive dan meminimalkan nilai negative dari sebuah brand, baik dalam level organisasi atau korporat maupun pada suatu produk. Sebuah brand yang terkenal dan terpercaya merupakan aset penting yang tak ternilai. Brand memiliki peran strategis yang menjadi pembeda antara produk yang ditawarkan suatu organisasi dengan brand para kompetitornya. Menurut Bilson Simamora (2002:45) brand memiliki lima fungsi, antara lain: 1) Brand menciptakan pilihan akan berbagai produk yang muncul di pasar 2) Brand menyederhanakan keputusan, agar tidak membingungkan konsumen menentukan pilihan 3) Brand menawarkan jaminan mutu dan mengurangi resiko penipuan

4) Brand membantu mengekspresikan diri, dengan produk bermerek akan menaikkan gaya hidup dan status seseorang 5) Brand menawarkan persahabatan dan kesenangan

Aaker (dalam Susanto&Wijanarko, 2004:6) memberikan pengertian brand sebagai nama maupun symbol yang bersifat membedakan untuk mengidentifikasi barang atau jasa serta membedakannya dari para pesaing. Sedangkan Duncan (2005:70) memandang: A brand is more than just a product. Brand is defined as a perception resulting from experiences with, and information about a company or a line of products. In the marketplace, perceptions are the collective result of everything a customer or other stakeholder sees, hears, read, or experience about a company and its brands. Brand merupakan persepsi yang timbul dari penerimaan informasi dan pengalaman seseorang terhadap suatu organisasi dan penggunaan produk yang dihasilkannya. Pada awalnya, brand hanya berupa nama untuk membedakan. Namun pada perkembangan selanjutnya, brand dianggap mewakili sebuah obyek dan kemudian berkembang menjadi citra. Misalnya, Honda dianggap mewakili sepeda motor, Sanyo mewakili pompa air, rokok Dji Sam Soe mencerminkan kejantanan, Mercedez Benz mencerminkan kemapanan, dsb. Proses menciptakan citra merek dan menanamkannya pada pikiran dan hati pelanggan disebut Duncan dengan istilah branding. Lebih lanjut, Duncan menyebutkan: Although a company may own a brand name and logo, and greatly influence what people think about its brands, the actual brand meaning that influences behavior resides in the heads and hearts of customers and other stakeholders. Brand image yang kuat, baik pada nama maupun symbol yang digunakan, dapat berpengaruh pada sikap pelanggan. Pembentukan brand image tersebut dapat diciptakan melalui brand messages yang berfungsi untuk menginformasikan, menanamkan kesan, mempengaruhi, dan menstimulasi respons. Duncan (2005:107) mengadopsi proses komunikasi yang sebelumnya telah dikenalkan
23

4. Noise 2. Message 3. Communication Channel 5. Receiver Physical and Psychological Distraction ompany Brand Agency Public Relations, Marketing Communications (Marketing Mix) Media, TV, Newspaper, Radio, Internet Customers, Prospects, Other Stakeholders 1. Source

oleh Harold Lasswell dan kemudian mengembangkannya kedalam branding.

How Brand Communication Works

6. Feedback-Interactivity Immediate Response Delayed Response No Response

1) Source Sebagian komunikasi pemasaran memulai proses komunikasinya dari produk yang hendak dijual oleh organisasi. Sender pesan-pesan komunikasi pemasaran yaitu organisasi atau brand name yang muncul dari setiap pesan yang dikirimkan. 2) Brand Messages Brand messages adalah keseluruhan informasi dan pengalaman yang berdampak pada cara pelanggan mempersepsikan sebuah brand. Duncan menekankan brand messages pada penggunaan marketing mix, yaitu elemen 7P untuk pemasaran jasa.

3) Media Channel Media merupakan saluran yang menghubungkan organisasi dengan pelanggannya. Mayoritas pesan komunikasi pemasaran disalurkan melalui media massa seperti televisi, surat kabar, majalah, radio, dan internet. Namun, penggunaan nontraditional media tetap diaplikasikan melalui pembentukan buzz atau word of mouth.
25

4) Noise Noise merupakan gangguan yang mengakibatkan pesan komunikasi pemasaran tidak tersampaikan dengan efektif. Noise dapat terjadi karena pemilihan waktu penyampaian pesan yang tidak tepat, brand message yang ambigu, dan kebingungan dalam menterjemahkan pesan akibat inkonsistensi brand promise. 5) Receiver Dalam komunikasi pemasaran, penerima pesan yang dituju adalah target audience, yaitu sekelompok orang potensial yang mampu memberikan respon positif dari brand messages. Persepsi dari target audience merupakan hasil dari proses komunikasi dan kunci menuju keberhasilan pembentukan sebuah brand. 6) Feedback Umpan balik mengindikasikan bahwa pelanggan dan stakeholders organisasi telah tersentuh oleh brand messages. Duncan membagi umpan balik menjadi tiga jenis, yaitu: a) Immediate feedback, umpan balik yang diterima secara langsung sejak brand messages disampaikan. b) Delayed feedback, respons diberikan setelah jangka waktu tertentu. c) No feedback, tidak ada respons dari target audience. Organisasi perlu mencari tahu dan memperbaiki letak kesalahan pengiriman pesan komunikasi pemasaran.

3.1 Brand Equity Pada hakikatnya, brand merupakan janji pemasar untuk memberikan beberapa ciri, manfaat, dan layanan tertentu kepada pelanggan. Organisasi harus membangun visi dan misi dari sebuah brand dan berpikir apa yang harus dilakukan oleh brand yang dimilikinya agar sesuai dengan visi dan misi yang dibangun. Brand yang terkenal, terpercaya, dan telah mempunyai citra yang bagus menjadi harta bagi organisasi. Brand yang kuat akan mendorong terjadinya loyalitas pelanggan dan kerentanan organisasi terhadap pesaing menjadi berkurang. Kekuatan sebuah brand terangkum dalam konsep brand equity. Brand equity membuat pelanggan memperlihatkan preferensi mereka terhadap suatu produk atau layanan dan bersedia membayar lebih dibandingkan dengan brand lain pada kelas yang sama (Kotler, 2005:86). David A. Aaker mengatakan brand equity merupakan seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan symbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh barang atau jasa kepada organisasi dan pelanggan. Nilai yang diberikan kepada pelanggan berarti besarnya kepuasan yang diberikan atas penggunaan sebuah produk atau layanan dibanding dengan pengorbanan atau biaya yang dikeluarkan dan membantu membuat keputusan pembelian, sedangkan bagi organisasi berarti besar kecilnya keuntungan yang diterima dan merupakan keberhasilan program jangka panjang (Susanto&Wijanarko, 2004:127). Aaker meringkas unsur-unsur ekuitas brand sebagai berikut (1996:103):

27

Brand Associations Brand Loyalty

Provides value by enhancing: Perceived Quality Brand Awareness to firm Other Proprietary Brand Asset

Efficiency and effectiveness of marketing programme ides value to customer by enhancing customers: Brand Loyalty pretation / processing of information Process / margins idence in the purchase decision Brand extension satisfaction Trade leverage Competitive advantage

Aakers model of brand equity

1) Brand Awareness Salah satu elemen brand equity adalah adanya pengenalan terhadap sebuah brand. Sebuah brand tidak akan memiliki ekuitas hingga konsumen menyadari keberadaan brand tersebut. Shimp (2003:11) mendefinisikan brand awareness sebagai kemampuan suatu brand untuk muncul dalam benak konsumen ketika mereka sedang memikirkan kategori produk atau layanan tertentu. Hal ini berarti brand awareness dipandang sebagai suatu tindakan dalam menciptakan kesadaran publik terhadap brand dengan memaksimalkan pengenalannya. Kesadaran terhadap suatu brand berada pada rentang antara perasaan yang tak pasti pada pengenalan brand sampai dengan perasaan yakin bahwa produk merupakan satu-satunya dalam kelas produk tersebut. Rentang ini meliputi pengenalan brand, brand recall, dan top of mind. Pengenalan sebuah brand adalah tingkat minimal dari brand awareness yang diperoleh dari pengingatan kembali melalui bantuan. Brand recall diperoleh dengan pengingatan kembali sebuah brand dalam suatu kelas produk tanpa bantuan. Selanjutnya, brand yang pertama kali disebutkan berhasil meraih top of mind awareness. Jika suatu brand menjadi satusatunya yang diingat oleh konsumen, maka brand tersebut layak disebut sebagai dominant brand (Susanto&Wijanarko, 2004:131). Aaker menggambarkan bentuk kesadaran tersebut kedalam model piramida kesadaran brand sebagai berikut (Durianto et.al, 2004:7): Tingkatan Piramida Brand Awareness

29

a) Unaware of brand, merupakan tingkatan terendah kesadaran terhadap sebuah brand, konsumen tidak mengenali dan tidak menyadari keberadaan brand tersebut. b) Brand recognition, konsumen mulai mengenal brand tersebut, tetapi masih menggunakan bantuan dalam mengenalinya seperti jingle, slogan, atau logo. c) Brand Recall, konsumen mengenal brand kategori produk atau layanan tertentu tanpa alat bantu. d) Top of mind, merupakan brand yang pertama kali disebutkan ketika mengingat kategori produk atau layanan tertentu. 2) Brand Loyalty Loyalitas adalah dimensi penting dari brand equity. Loyalitas menjadi ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah brand. Pada dasarnya, loyalitas bermula dari kepuasan yang diterima pelanggan dan menjadi ukuran seberapa besar kemungkinan pelanggan akan pindah ke brand pesaing. Pertumbuhan jangka panjang dan profitabilitas bergantung pada penciptaan dan peningkatan brand loyalty. Dua praktisi pemasaran, Larry Light dan Richard Morgan mengatakan pentingnya brand loyalty ini (Shimp, 2003:14): Aset yang sebenarnya adalah loyalitas terhadap merek. Tanpa loyalitas dari pelanggan, sebuah merek hanya akan menjadi sebuah

merek dagang. Merek mengidentifikasikan sebuah janji. Merek yang kuat adalah janji yang dapat dipercaya, relevan, dan istimewa. Ia adalah suatu kepercayaan dengan berbagai nilai. Penciptaan dan peningkatan loyalitas merek akan menghasilkan peningkatan nilai-nilai kepercayaan terhadap merek. Aaker mengemukakan tingkatan brand loyalty kedalam model piramida sebagai berikut (Durianto et.al, 2004:21):

a) Switcher / Price Buyer Merupakan tingkatan loyalitas terendah. Dalam tingkatan ini, konsumen berpindah-pindah dari satu brand mengutamakan harga. b) Habitual Buyer
31

ke brand yang lain. Brand hanya

memiliki peranan kecil dalam keputusan pembelian dan konsumen lebih

Pembelian dilakukan karena kebiasaan dan tidak ada alasan yang kuat untuk berganti brand, terlebih harus mengeluarkan biaya yang ditanggung dalam pergantian tersebut. c) Satisfied Buyer Pembeli yang puas dalam mengkonsumsi sebuah brand, namun masih memungkinkan melakukan pergantian brand dengan menanggung switching cost. d) Likes The Brand Merupakan pembeli yang benar-benar menyukai brand tersebut. Hal ini dikarenakan pengalaman penggunaan brand sebelumnya atau persepsi kualitas yang tinggi. e) Commited Buyer Adalah pembeli yang setia. Mereka memiliki kebanggan dalam

menggunakan suatu brand dan puas terhadap manfaat fungsional maupun emosional sebuah brand, bahkan mereka dengan sukarela menjadi agen promosi word of mouth yang merekomendasikan brand tersebut kepada orang lain.

3) Perceived Quality Persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan produk atau jasa layanan sesuai dengan maksud yang diharapkannya (Kertajaya, 2004:65). Persepsi kualitas terdiri dari (Susanto&Wijanarko, 2004:129):

a) Kualitas obyektif, perluasan ke suatu bagian dari produk atau jasa yang memberikan pelayanan yang lebih baik.

b) Kualitas isi produk, merupakan karakteristik dan kualitas unsur, bagianbagian, atau pelayanan yang disertakan. c) Kualitas proses manufaktur, kesesuaian dengan spesifikasi dan hasil akhir yang tanpa cacat (zero defect).

Persepsi terhadap kualitas menjadi basis diferensiasi dengan produk pesaing dan menjadi alat positioning dibenak pelanggan. Brand yang memiliki persepsi kualitas yang baik menjadi dasar loyalitas konsumen dan memungkinkan untuk menjadi dasar perluasan brand.

4) Brand Associations Brand associations merupakan symbol maupun slogan yang diasosiasikan dengan manfaat suatu brand, dan berupa atribut-atribut dari suatu brand yang berasal dari pikiran konsumen ketika mengingat brand tersebut. Aaker memandang brand associations sebagai (dikutip dalam paper presentation Nzuki Kithunga, University of Nairobi): Anything that is linked in memory to a brand. The association reflect the fact products are used to express lifestyles whereas other associations reflect social positions and professional roles. Asosiasi tersebut merupakan refleksi dari ekspresi gaya hidup, kedudukan sosial masyarakat, maupun berhubungan dengan pekerjaan target audience. Oleh sebab itu, asosiasi brand biasanya dibentuk oleh identitas yang dimiliki merek tersebut dan merupakan basis positioning serta diferensiasi produk. Brand associations dapat terbentuk dari (http://www.managementstudyguide.com/brand-association.htm): a) Kontak pelanggan dengan organisasi dan para karyawannya b) Periklanan
33

c) Publisitas word of mouth d) Biaya e) Brand Ambassador / celebrity f) Kualitas produk dan layanan g) Kategori produk h) Point of purchase

5) Other Proprietary Brand Asset Merupakan aset kepemilikan lain dari sebuah organisasi meliputi paten, merek dagang, surat keputusan menteri, dan atribut-atribut lain yang membantu konsumen ketika harus menyaring dari sekumpulan pilihan. Merek dagang melindungi brand dari peniruan nama, paten berfungsi melindungi organisasi dari persaingan langsung, dan surat keputusan menteri berfungsi sebagai basis pembangunan instansi pemerintahan tertentu.

3.2 Brand Publicity Salah satu cara untuk dapat membangun dan mempertahankan brand equity adalah dengan melakukan brand publicity. Brand publicity merupakan salah satu aktivitas public relations (PR) atau kehumasan yang berhubungan langsung dengan stakeholders organisasi khususnya pihak eksternal. Brand publicity biasanya dilakukan dengan upaya bersentuhan langsung dengan media massa. Pada umumnya, kegiatan brand publicity tidak membutuhkan alokasi anggaran yang terlalu besar. Namun, beberapa organisasi atau korporat tidak segan-segan mengeluarkan biaya lebih untuk aktivitas ini, seperti pembelian media atau media buying. Duncan (2005:543) memandang brand publicity sebagai: The use of nonpaid media messages to deliver brand information designed to

positively influence customers and prospects. Brand publicity berupa pesan media berbiaya rendah untuk menyampaikan informasi yang dapat mempengaruhi masyarakat secara positif. Pengertian tersebut menyiratkan bahwa brand publicity berguna untuk membangun ekuitas dan kredibilitas merek serta berguna untuk membuat pengumuman mengenai produk atau jasa yang ditawarkan.

Dalam implementasi brand publicity diperlukan perancangan kegiatan agar pesan dapat memberikan dampak yang optimal. Duncan (2005:545) merumuskan brand publicity planning yang meliputi: 1) Reviewing The Situation Peninjauan kembali atas situasi terkini organisasi, kondisi pasar, produk dan layanan, serta konsumen atau pelanggan. 2) Setting Objectives Didalam tahapan ini, organisasi menentukan tujuan brand publicity secara spesifik. Brand publicity dapat digunakan untuk membentuk: a) Meningkatkan brand awareness b) Meningkatkan pengetahuan terhadap suatu produk atau layanan c) Menciptakan buzz atau word of mouth d) Mempengaruhi pembentukan opini melalui opinion leaders e) Membangkitkan rasa keterlibatan pelanggan terhadap organisasi Di beberapa progam brand publicity, tahapan ini berfungsi untuk mendapatkan penyebutan nama merek (brand recall) di media massa dengan asumsi jika penyebutan nama merek sering termuat di media massa, maka top of mind awareness
35

akan dapat dicapai. 3) Developing Strategies and Tactics Pengembangan strategi dan taktik untuk merancang publisitas merek bertujuan agar membangun kredibilitas merek dan menjangkau target konsumen yang sulit dijangkau. Misalnya melalui penggunaan media massa lokal dan internet marketing. Dalam penggunaan media massa lokal, praktisi PR atau humas dapat mengembangkan strategi dan taktik dengan menjalin hubungan media (media relations). PR harus memahami cara kerja media massa, memberikan informasi secara terbuka dan jujur, dan membuat serta memahami karakteristik berita yang akan dipilih media massa untuk dipublikasikan. Disamping itu, pemilihan jenis media massa harus dipertimbangkan secara matang oleh PR, sebab hal ini akan berpengaruh pada keefektifan kegiatan brand publicity.

4) Evaluation Tahapan monitoring dan evaluasi digunakan untuk mengetahui keberhasilan brand publicity.

Aktivitas atau alat-alat pemilihan publikasi melalui media massa bertujuan untuk meraih publisitas secara positif. Alat-alat tersebut berfungsi untuk membantu praktisi PR dalam menjalin hubungan dengan media massa dan menyampaikan pesan secara efektif kepada publik. Di dalam brand publicity tools terdapat beberapa kegiatan untuk mendapatkan porsi pemberitaan di media massa, antara lain: 1) News Release Tulisan maupun rekaman yang ditujukan langsung kepada media massa dengan untuk membuat pengumuman yang memiliki nilai berita agar dipublikasikan di media massa.

2) News Kit Sekumpulan informasi yang berupa foto, gambar, map, latar belakang organisasi atau produk yang dimiliki, contact person, dll. 3) Press Conference Acara khusus sebagai sarana untuk mengumumkan, menjelaskan, atau

mempromosikan produk dengan mengundang para awak media massa secara resmi. 4) Media Tour Rangkaian kunjungan yang dilakukan oleh juru bicara organisasi ke media-media lokal untuk mencapai suatu kesepakatan kerja sama. 5) Media Event Membuat acara yang layak diliput oleh media massa yang bertujuan untuk meraih publikasi melalui media massa. 6) Speeches Berupa pembuatan pernyataan baik secara lisan maupun tertulis kepada publik dengan mengundang media massa untuk mempublikasikannya. Misalnya permintaan maaf terbuka organisasi pada publik.

7) Pitch Letter Berupa surat baik dalam bentuk konvensional maupun surat elektronik (email) yang dibuat oleh praktisi PR kepada editor maupun reporter media massa. 8) Fact Sheet Berupa pemuatan data-data faktual tentang organisasi yang dipublikasikan di media massa. Misalnya neraca keuangan, pengalihan saham dan obligasi, dsb.
37

Brand Publicity melalui media seperti yang telah dipaparkan pada brand publicity tools, memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Namun, hal tersebut tidak mengurangi manfaat dari kegiatan brand publicitybrand publicity yang mampu membantu terbentuknya ekuitas brand. Adapun kelebihan dan kekurangan tersebut yaitu: 1) Strengths of Brand Publicity a) Building Acceptance, membangun kondisi penerimaan masyarakat terhadap organisasi dan brand yang dimilikinya. b) Increasing Credibility, meningkatkan level kepercayaan dan kredibilitas terhadap organisasi. c) Clutter Busting, meminimalisir gangguan atau kekacauan pada saat penyampaian pesan. Pada hakikatnya, brand messages dapat berjalan dengan optimal apabila terdapat nilai berita atau human interest didalamnya. d) Reaching The Hard To Reach, mampu menjangkau konsumen yang sulit dijangkau dengan iklan atau bentuk-bentuk brand messages lainnya. e) Cost Effectiveness, biaya yang lebih terjangkau apabila dibandingkan dengan penyampain brand message melalui iklan. 2) Limitations of Brand Publicity Brand publicity memiliki beberapa kelemahan, sebab pesan yang disampaikan pada media massa harus difilterisasi terlebih dahulu oleh gatekeepers, yaitu editor dan reporter yang memutuskan apakah akan mempublikasikan pemberitaan tersebut atau tidak. Implikasi dari hal tersebut ialah publisitas yang sulit untuk dikontrol dan frekuensi penayangan pesan tidak dapat diprediksi dan tidak terjamin.

4. Public Relations dalam Membangun Brand Equity Rumah Sakit Public Relations (PR) merupakan salah satu komponen komunikasi pemasaran sehingga memiliki tujuan memberikan kontribusi terhadap efektivitas dan efisiensi pemasaran melalui komunikasi dengan stakeholders organisasi. Meskipun profesi PR saat ini turut berbaur dengan marketing, namun pada dasarnya kedua profesi tersebut memiliki separasi konsep yang berbeda. PR berkaitan erat dengan konsep relasi baik internal maupun eksternal organisasi. Dalam bidang relasi eksternal organisasi, PR berfungsi untuk mengkomunikasikan seluruh aktivitas organisasi pada publik luar. Hal ini membuat PR dipandang sebagai (Wilcox et.al, 2000:15), Management process whose goal is to attain and maintain accord and positive behaviors among social groupings on which an organization depends in order to achieve its mission. Its fundamental responsibility is to build and maintain a hospitable environment for an organization. Kedudukan PR dalam organisasi adalah membentuk dan mempertahankan sikap serta opini positif publik pada organisasi untuk dapat mencapai misi organisasi. Apabila PR terfokus dengan tugasnya membangun relasi dan menciptakan goodwill bagi organisasi, maka marketing terfokus pada hubungannya dengan pelanggan dan upaya menjual produk atau layanan. Pernyataan James Grunig yang dikutip oleh Wilcox menyebutkan perbedaan kontras antara PR dengan marketing, The marketing function should communicate with the markets for an organizations goods and services. PR should be concerned with all the publics of the organization. The major purpose of marketing is to make money by increasing the slope of the demand curve. The major purpose of PR is to save money by building relationships with publics that constrain or enhance the ability of the organization to meet its mission. Tujuan utama marketing adalah untuk menghasilkan laba dengan cara meningkatkan kurva permintaan, sedangkan tujuan utama PR adalah untuk mempertahankan pendapatan organisasi melalui upaya membangun relasi dengan publik yang dapat meningkatkan kemampuan organisasi dalam mencapai misi organisasi. Selain itu, Wilcox menjelaskan lebih lanjut cara PR dalam memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan marketing, yaitu:

39

1) Mengembangkan target audience dalam memperluas pembentukan pasar. 2) Memberikan dukungan dalam bentuk media relations berupa publisitas melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi. 3) Meningkatkan penjualan, biasanya melalui press release atau advertorial. 4) Membuat perencanaan untuk penjualan. 5) Menghemat biaya iklan dan promosi, sebab PR dapat bergerak dengan sedikit atau tanpa porsi biaya dalam media. 6) Mencapai target penjualan dengan biaya murah, artikel-artikel yang telah disusun oleh PR dapat dicetak kembali sebagai artikel informatif untuk calon konsumen. 7) Menetapkan organisasi sebagai sumber informasi produk atau layanan yang berwenang. 8) Membantu menjual produk yang tidak memiliki alokasi anggaran yang besar.

41

You might also like