You are on page 1of 13

HUKUM MENGGERAKAN JARI TELUNJUK SAAT SHALAT DALAM TAHIYATUL AKHIR

retnoeno Uncategorized October 31, 2011 HUKUM MENGGERAKAN JARI TELUNJUK SAAT SHALAT DALAM TAHIYATUL AKHIR Jika kita perhatikan, saat duduk tasyahhud dalam shalat memang tidak semua orang menggerakkan jari telunjuk dengan cara yang sama. Ini semata-mata karena perbedaan ulama dalam memahami hadits. Perbedaan ini terjadi sejak zaman tabiin dan ulama mazhab. Perbedaan ini tidak menyebabkan tidak sahnya shalat dan tidak pula menyebabkan kesesatan, karena perbedaannya dalam hal furuiyah yang masing-masing mempunyai dalil hadits Rasulullah SAW. Adapun hadits yang dipahami berbeda-beda oleh ulama adalah hadits Rasulullah saw.: : ,

Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW jika duduk untuk tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan membentuk angka lima puluh tiga, dan memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya (HR Muslim). Yang dimaksud dengan membentuk angka lima puluh tiga ialah suatu isyarah dari cara menggenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah disebut angka tiga, dan menjadikan ibu jari berada di atas jari tengah dan di bawah jari telunjuk. Adapun penyebab terjadinya perbedaan ulama tentang cara isyarah dengan jari telunjuk saat tasyahhud apakah digerakkan atau diam saja dan kapan waktunya adalah karena ada hadits yang sama denga di atas dengan tambahan teks (matan) dari riwayat lain, yaitu hadits yang diceritakan dari Sahabat Wail RA:

.. Kemudian beliau mengangkat jarinya sehingga aku melihatnya beliau menggerakgerakkanya sambil membaca doa. (HR: Ahmad). Sedangkan hadits yang diriwayatk dari Ibn Zubair RA:

Bahwa Nabi SAW memberi isyarat (menunjuk) dengan jarinya jika dia berdoa dan tidak menggerakkannya. (HR Abu Daud dan Al Nasai) Dari Hadits tersebut Imam Mazhab fiqh sepakat bahwa meletakkan dua tangan di atas kedua lutut pada saat tasyahhud hukumnya adalah sunnah. Namun juga para imam mazhab berbeda pendapat dalam hal menggenggam jari-jari dan berisyarat dengan jari telunjuk (Alawi Abbas al Maliki, Ibanahtul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, Indonesia: al Haramain, Juz 1, h. 435-437. Dan lihat pula Al Juzayri, Kitab

al-Fiqh Ala Madzahibil Arbaah, Beirut: Darul Fikr, 1424 H. Juz 1, h. 227-228). 1. Menurut ulama mazhab Hanafi, mengangkat jari telunjuk dilakukan pada saat membaca lafadz Laa Ilaaha, kemudian meletakkannya kembali pada saat membaca lafadz illallah untuk menunjukan bahwa mengakat jari telunjuk itu menegaskan tidak ada Tuhan dan meletakkan jari telunjuk itu menetapkan ke-Esa-an Allah. Artinya, mengangkat jari artinya tidak ada Tuhan yang berhak disembah dan meletakkan jari telunjuk untuk menetapkan ke-Esa-an Allah. 2. Menurut ulama mazhab Maliki, pada saat Tasyahhud tangan kanan semua jari digenggam kecuali jari telunjuk dan ibu jari di bawahnya lepas. kemudian menggerakgerakkan secara seimbang jari telunjuk ke kanan dan ke kiri 3. Menurut ulama mazhab Syafii, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah. Kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk sekali saja saat kalimat illallah ( ) diucapkan: 4.Menurut mazhab Hambali, mengenggam jari kelingking, jari manis dan jari tengah dengan ibu jari. kemudian memberi isyarat (menunjuk) dengan jari telunjuk saat kalimat Allah ( ) diucapkan ketika tasyahhud dan doa 5. Pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140). bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz Tasyahhud. Imam al-Baihaqi menyatakan: :

Kemungkinan maksud hadits yang menyatakan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan saat tasyahhud adalah isyarat (menunjuk), bukan mengulang-ulang gerakkannya, agar tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair yang menyatakan tidak digerakkannya jari telunjuk tersebut. Hikmah memberi isyarah dengan satu jari telunjuk ialah untuk menunjukkan keEsa-an Allah dan karena jari telunjuk yang menyambung ke hati sehingga lebih mendatangkan kekhusyuan. Hukum Menggerakkan Jari Telunjuk Ketika Bertasyahud dalam Shalat Apa hukum menggerakkan jari telunjuk ketika bertasyahud dalam shalat? Apakah hal itu adalah bidah? Jawaban Dewan Fatwa Para fuqaha bersepakat bahwa menunjuk dengan jari telunjuk ketika bertasyahud adalah sunah. Menunjuk dengan jari telunjuk ini merupakan tanda atas ketauhidan dan keikhlasan. Hanya saja para ulama berselisih pendapat mengenai cara mengepalkan tangan dan cara menunjuk dalam tasyahud tersebut. Perselisihan mereka ini berkisar pada keafdalan (keutamaan) amalan, bukan pada boleh tidaknya perbuatan itu. Perselisihan ini disebabkan adanya beberapa hadist yang menunjukkan beberapa cara dalam melakukan perbuatan itu. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa cukup hanya menunjuk dengan jari telunjuk, sedangkan yang lain berpendapat bahwa dianjurkan pula untuk menggerakkannya. Semua hal itu termasuk dalam sunnah haiah yang tidak sepatutnya menghilangkan kekhusyuan dalam shalat. Wallahu subhanahu wa taala alam

Hadits Mengerakan Jari Telunjuk Ketika Tasyahud Pertanyaan Pertama: Terlihat dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yang menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. Mana yang paling rojih (kuat) dalam masalah ini dengan uraian dalilnya? Jawab : Fenomena semacam ini yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu Syarah AlMuhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Quda mah, kitab Al-Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Mustaan. Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerakgerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut : Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis : 1.Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali. 2.Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan. 3.Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak. Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar, Abu Muhammad As-Saidy, Wa`il bin Hujr, Saad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya. Maka yang perlu dibahas di sini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).

Hadits-Hadits yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali. Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut. Hadits Pertama

Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam AlMujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Dua no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin Ajlan dari Amir bin Abdillah bin Zubair dari ayahnya Abdullah bin Zubair kemudian beliau menyebutkan hadits di atas. Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini sebagai Berikut:: Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawa kib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lainlainnya. Ibnu Juraij. Nama beliau Abdul Malik bin Abdil Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata A khbarani (memberitakan kepadaku). Muhammad bin Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur). Amir bin Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh abid (terpercaya, ahli ibadah). Abdullah bin Zubair. Sahabat. Derajat Hadits Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz. Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk : Pertama: Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.

Syadz karena menyelisihi. Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah

Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya. Maksud rawi maqbul adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud rawi yang lebih utama adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dhoif (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits. Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin Ajl an karena beberapa perkara : 1.Muhammad bin Ajl an walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya. 2.Riwayat Muhammad bin Ajl an juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) . 3.Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin Ajl an dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah : a.Al-Laits bin Saad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131. b.Abu Kha lid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syiar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, Abd bin Humaid no.99. c.Yahya bin Said Al-Qothth on, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132. d.Sufyan bin Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879. e.Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerakgerakkan). Akan tetapi, Muhammad bin Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Saad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). 4.Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari Amir bin Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin Ajlan juga meriwayatkan dari Amir ini akan tetapi tiga orang

rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) , maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah : a.Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu Aw anah 2/241 dan 246. b.Ziyad bin Saad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879. c.Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/237 no.1161 dan AlBaihaqy 2/132. Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Saad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin Ajl an. Wallahu Alam. Hadits Yang Kedua

Dari Ibnu Umar -radhiyallahu anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon. Dan beliau berkata : Adalah Rasulullah shalallahu alaihi wasalam mengerjakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi dari Ibnu Hibban. Derajat Hadits Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan tadil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dhoif tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi dari Ibnu Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi dari Ibnu Umar, akan tetapi dari Ali bin Abdirrahman Al-Muawy dari Ibnu Umar. Tujuh rawi tersebut adalah : 1.Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam AlIhsan no.193, Musnad Abu Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675. 2.Ismail bin Jafar bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu Awanah 2/243 dan 246 dan AlBaihaqy 2/132. 3.Sufyan bin Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26. 4.Yahya bin Sa id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712. 5.Wuhaib bin Kh alid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu Awanah 2/243.6. Abdul Azi z bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648. 7.Syubah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292. Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab : a.Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) . b.Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : Ubaidullah bin Umar Al-Umary dari Nafi dari Ibnu Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) . Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu Awanah 2/245 no.245, AlBaihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan AthThobara ny dalam Ad-Dua no.635. Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu Alam. Kesimpulan: Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah . Hadits-Hadits yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :

Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerakgerakkannya berdoa dengannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan AlMawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghda dy dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari Ashim bin Kulaib bin Syih ab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Derajat Hadits Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari illat (cacat) dan syadz. Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan) . Kesimpulan:Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wail bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah . Wallahu Alam. <<<<Pendapat Para Ulama dalam Masalah Ini>>>> Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat : Pertama: Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm. Kedua: Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Yala dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah. Ketiga: Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu taala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam

keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh AlAlbany rahimahullahu taala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak. Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan. Namun, dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah. Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau. Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz (Arab) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata berIsyaratt itu mempunyai dua kemungkinan: Pertama: Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah. Kedua: Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : Dimana letak kitab Shohih AlBukhory? Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih AlBukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya. Walaupun kata berisyarat itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara : Pertama: Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan bahwa Ash Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah), maksudnya adalah tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Quran maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Quran dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan. Kedua: Dalam hadits Abdullah bin Masud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0. dan Imam Muslim No.538 :

Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan

Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Quran atau hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam yang shohih. Kesimpulan: Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerakgerakkan. Wallahu Alam. Lihat pembahasan di atas dalam : Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah , Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, Aunul Mabud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160. Madzhab Hanafiyah lihat dalam: Kifayah Ath-Tholib 1/357. Madzhab Malikiyah: Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192. Madzhab Syafiiyyah dalam: Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu 3/416-417, Al-Iqna 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muht aj 1/173. Madzhab Hambaliyah lihat dalam: Al-Mubdi 1/162, Al-Furu 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qon a 1/356-357. Pertanyaan Kedua: Dikalangan masyarakat ada sebagian orang yang berisyarat dengan jari telunjuknya pada saat duduk antara dua sujud sebagaimana berisyarat dengan jari telunjuk pada saat tasyahud, apakah hal tersebut ada tuntunan dalilnya dari hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam ?. Jawab: Ada hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut, yaitu hadits Wa`il bin Hujr yang berbunyi :Saya melihat Nabi shalallahu alaihi wasalam takbir lalu beliau mengangkat tangannya ketika takbir, yakni beliau memulai sholat dan beliau mengangkat kedua tangannya ketika beliau takbir dan mengangkat kedua tangannya ketika beliau ruku dan mengangkat tangannya ketika beliau berkata : Samiallahu liman hamidah dan beliau sujud kemudian meletakkan tangannya sejajar dengan kedua telinga beliau kemudian beliau sujud kemudian beliau duduk membaringkan kaki kirinya kemudian beliau meletakkan kedua tangannya, yang kiri di atas lututnya yang kiri dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya kemudian beliau berisyarat dengan jari telunjuknya dan meletakkan ibu jari di atas jari tengah kemudian beliau menggenggam seluruh jari-jarinya kemudian beliau sujud . Hadits ini diriwayatkan oleh Abdur Razza q dalam Al-Mushonnaf 2/68 no.2522, Ahmad dalam Musnad nya 4/317 dan lafadz di atas adalah lafadz beliau, Ath-Thobarany 22/34 no.81 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/429-430. Semua meriwayatkan dari Abdur Razzaq dari Sufyan Ats-Tsaury dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Hadits ini merupakan kunci penyelesaian dalam permasalahan ini, apabila hadits ini shohih (bisa diterima) maka berisyarat dengan telunjuk dalam duduk antara dua sujud adalah perkara yang disyariatkan tapi sebaliknya bila hadits ini lemah maka artinya perkara tersebut tidaklah disyariatkan, karena itulah kami mengajak untuk melihat derajat hadits ini. Derajat Hadits Berisyarat Saat Duduk Diantara Dua Sujud

Telah dijelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan yang meriwayatkan dari Ashim bin Kulaib ada 23 orang rawi dimana 23 orang rawi ini sepakat menyebutkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam berisyarat dengan jari telunjuknya, akan tetapi ada tiga bentuk riwayat yang menjelaskan tempat berisyarat dengan telunjuk pada riwayat mereka : 1.Ada riwayat yang menjelaskan bahwa tempat berisyarat hanya ketika tasyahud dan hal ini tersebut dalam riwayat Musa bin Abi Kats ir dan sebagian riwayat Syubah bin Hajjaj, Ibnu Uyainah dan Abdullah bin Idris. 2.Riwayat yang tidak menjelaskan dimana letak berisyarat dengan telunjuk tersebut tapi Zhohirnya hal tersebut dalam tasyahud. Bisa dilihat dalam riwayat Bisyr bin Mufadhdhal, Sufy an Ats-Tsaury, Abdul Wahid bin Ziyad, Zuhair bin Muawiyah, Khalid bin Abdullah Ath-Thahhan, Muhammad bin Fudhail, Sallam bin Sulaim, Abu Awanah, Ghailan bin J ami, Qois bin Rabi, Musa bin Abi Katsir. 3.Dua riwayat di atas diselisihi oleh Abdur Razzaq dalam periwayatannya dari Sufyan AtsTsaury dari Ashim dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr kemudian menyebutkan isyarat dengan jari telunjuk pada duduk antara dua sujud. Dari uraian di atas sangat jelas bahwa riwayat Abdur Razz aq dari Sufyan Ats-Tsaury yang menjelaskan bentuk ketiga. Telah meyelisihi riwayat 22 orang rawi yang menjelaskan bentuk pertama maupun kedua. Maka bisa dipastikan bahwa riwayat Abdur Razzaq terdapat kesalahan yang menyebabkan penyebutan berisyarat dengan telunjuk ketika duduk antara dua sujud dianggap syadz, sehingga riwayat ini tidak bisa diterima. Kesalahan yang terjadi dalam hadits ini mungkin berasal dari Sufyan Ats-Tsaury dan mungkin dari Abdur Razzaq. Akan tetapi, meletakkan kesalahan pada Abdur Razzaq adalah lebih beralasan karena dua hal : Pertama: Abdur Razz aq walaupun seorang rawi tsiqoh (terpercaya) dan hafidz (seorang penghafal), tetapi beliau mempunyai awham (kesalahan-kesalahan) yang menyebabkan sebagian para ulama mengkritik beliau. Kedua: Abdur Razzaq telah menyelisihi dua rawi dari Sufyan Ats-Tsaury yang kedua rawi meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsaury dan menyebutkan isyarat pada duduk antara dua sujud. Dua rawi tersebut adalah : 1.Muhammad bin Yusuf Al-Firy aby, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no. 1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78. 2.Abdullah bin Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318. Riwayat dua orang rawi ini khususnya Al-Firy aby yang termasuk orang yang paling hafal riwayat-riwayat Sufyan Ats-Tsaury, semakin menguatkan bahwa riwayat Abdur Razzaq adalah riwayat syadz. Maka jelaslah lemahnya riwayat ini yang dijadikan sebagai dalil disyariatkannya berisyarat dengan telunjuk pada duduk antara dua sujud. Karena itulah riwayat ini telah dilemahkan oleh dua orang ulama besar ahli hadits zaman ini yaitu Syaikh

Al-Albany -rahimahullahu taala- dan Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadiiy -rahimahullahu taala-. Kesimpulan : Tidak disyariatkan mengangkat telunjuk pada saat duduk antara dua sujud karena hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah hadits syadz (lemah). Lihat : Al-Bisyarah hal.75-77 dan Tamamul Minnah hal.214-216. Pertanyaan Ketiga : Apakah ada tuntunan dalam hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam ketentuan bahwa ketika disebutkan(), jari telunjuk mulai diangkat pada ucapan () (tepatnya di ucapan huruf hamzah) ?. Jawab: Madzhab kebanyakan orang-orang Syafiiyyah menyatakan bahwa disunnahkan berisyarat dengan jari telunjuk kemudian diangkat jari telunjuk tersebut ketika mencapai kata hamzah) dari kalimat (). Hal ini disebutkan oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu 3/434 dan dalam Minhaj Ath-Tholibin hal.12.Dan hal yang sama disebutkan oleh Imam Ash-Shon any dalam Subulus Salam 1/362 dan beliau tambahkan bahwa hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy. Namun tidak ada keraguan bahwa yang disyariatkan dalam hal ini adalah mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud hingga akhir. Hal ini berdasarkan hadits-hadits shohih yang sangat banyak jumlahnya yang telah tersebut sebagiannya pada jawaban pertanyaan no.1 yang menjelaskan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam ketika duduk tasyahud beliau menggenggam jari-jari beliau lalu membuat lingkaran kemudian mengangkat telunjuknya, maka dzohir hadits ini menunjukkan beliau mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud sampai akhir. Adapun bantahan terahadap madzhab orang-orang Syafiiyyah maka jawabannya adalah sebagai berikut : 1.Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqy itu adalah hadits Khaf af bin Ima dan di dalam sanadnya ada seorang lelaki yang tidak dikenal maka ini secara otomatis menyebabkan hadits ini lemah. 2.Hal yang telah disebutkan bahwa dzohir hadits-hadits yang shohih menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam mengangkat jari telunjuk dari awal hingga akhir menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqy tersebut sehingga ini semakin mempertegas lemahnya riwayat Al-Baihaqy tersebut. 3.Orang-orang Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari telunjuk ketika mencapai huruf hamzah () dari kalimat (), karena Imam An-Nawawy dalam AlMajmu 3/434 menukil dari Ar-Rafiy (salah seorang Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir. 4.Hal yang disebutkan oleh orang Syafiiyyah ini tidak disebutkan di dalam madzhab para ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa yang dipakai oleh para ulama adalah mengangkat jari telunjuk pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.

Kesimpulan: Jadi, yang benar di dalam masalah ini adalah bahwa jari telunjuk disyariatkan untuk diangkat dari awal tasyahud hingga akhir dan tidak mengangkatnya nanti ketika mencapai huruf hamzah () dari kalimat () . Wallahu Alam.. + Catatan kesimpulan diatas: Semuanya meriwayatkan dari Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Menyelisihi dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan) . Dari Uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Zaidah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharrikuha (digerak-gerakan) adalah SYADZ. Kesimpulan 1: Penyebutan lafadz yuharrikuha (Jari telunjuk digerak-gerakan) dalam hadits Wail bin Hujr adalah LEMAH tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu Alam. Kesimpulan 2: Tersimpul dari pembahasan diatas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah TIDAK DIGERAK-GERAKAN. Wallahu Alam.

You might also like